Sabtu, 11 Juli 2020

Penjelasan “Umi Kultsum putri Imam Ali menikah dengan Umar bin Khattab”?


Oleh Ustad Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/243413822370088/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 4 September 2011 pukul 15:42


Ghibran Banajer Ali: Ustadz mau tanya, benarkah Umi Kulstum putri Imam Ali menikah dengan Umar bin Khattab ? Terimakasih.
Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

(1). Jawaban yang ada di site yang dinukil oleh Abu Musa itu sudah bagus untuk jawabannya. 

(2). Artinya, sejarah tersebut banyak versi hingga tidak bisa dijadikan sandaran apapun untuk membuktikan secara meyakinkan terhadap apapun. Misalnya, apakah hubungan Umar dengan Ahlulbait as itu baik atau buruk. Jadi, untuk membuktikan baik buruknya hubungan tersebut, harus memakai dalil lain selain sejarah di atas itu yang dikarenakan kontroversialnya itu.

(3). Point-point di atas itu, yakni disebut dalam jawaban tersebut, adalah point-point kontro- versialnya. Jadi, bisa jadi kita atau siapa saja, cocok dengan yang satunya dan tidak cocok dengan yang lainnya. Jadi, kalau seperti Abstrak merasa cocok dengan sebagian dan tidak cocok dengan sebagian lainnya, bukan suatu yang aneh dan bukan pula sesuatu yang membatalkan beberapa versi sejarah yang dimaksud dimana versi-versi itu menjadi penyebab tidak bisa dipastikannya peristiwa yang ada baik dari sisi penerimaannya atau penolakannya.

(4). Khusus untuk al-akh Amran A, bahwa bagi orang Islam yang sampai ke tingkat tinggi, maka suami atau istri itu sudah tidak jadi masalah baik mereka. Seseorang yang diperintahkan menjadi pasangan yang baik itu, umumnya, untuk menghindari diri dari berpindahnya keburukan pasangannya kepada pemilihnya. Tetapi kalau ia sudah kuat sekali, seperti Nabi saww, imam as dan para wali-wali Tuhan, maka memilih pasangan tersebut atau tetapnya berpasangan dengan orang yang tidak baik, bisa sangat mungkin disebabkan oleh faktor lain. Hal itu, karena dari sisi dirinya sudah aman dari perubahan ke arah negatif. Jadi, bisa saja tujuannya tidak seperti kalau kita-kita mencari pasangan hidup.

Tujuan terbaik dan termungkin dari semua itu adalah agama Islam atau keadilan atau keTuhanan. Siti ‘Asyiah yang tetap memilih hidup dengan Fir’un, bukan berarti kecintaan kepadanya atau cinta harta dan kemewahannya, akan tetapi bisa karena hal-hal lain seperti melindungi sebisanya orang-orang yang berjalan di jalan Tuhan. Dan, apa lagi hasil besar yang melebihi perlindungannya dari melindungi nabi Musa as?

Rasul saww sendiri memiliki istri yang benar-benar diancam oleh Qur'an dengan adzab dua kali kalau tidak bertaubat dari dosanya. Dan dosa apa lagi yang besarnya melebihi dari dosa menyakiti dan mengkhianati Nabi saww? Sementara dua dari istri beliau saww telah melakukan itu di Qur'an.

Jadi, kawinnya orang baik yang umumnya sudah kuat dan tahan pengaruh negatif dari calon pasangannya, sangat bisa dihitung sebagai jihad di jalan Allah. Misalnya demi melindungi orang-orang yang harus dilindungi. Misalnya dengan banyak merayu dan mencegah suaminya melakukan kejahatan. Dan, kalaulah tidak bisa mencegah semuanya, minimal bisa menguranginya. Dan, kalaulah terpaksa, bisa menjadi pelindung bagi yang terancam. Misalnya, mengabari orang yang terancam dari ancaman suamiya (pasangannya).

Karena itu, kawinnya seorang wali atau pejuang, tidak mesti bisa dicontoh oleh orang-orang seperti kita ini. Ini yang pertama.

Yang ke dua, Ahlulbait as itu memang tidak pernah takut. Ngapain orang takut atau penakut dikatakan maksum. Tetapi bukan berarti orang tidak takut melakukan apa-apa yang baik dalam persepsi kita. Karena kebaikan dalam persepsi kita sangat mungkin berbeda dari persepsi islam yang sesungguhnya.

Jadi, kalau ada yang menafsirkan karena ancaman, maka orang taqiah dalam ancaman itu bukan mesti karena takut. Tetapi bisa saja karena hal lain. Misalnya, dari awal sudah tidak menyodorkan anaknya. Karena tidak menyodorkan tidak membahayakan. Tetapi ketika dipinang oleh yang dipandang mengancam, maka syariat sudah mengijinkan untuk memberikan anaknya. Akan tetapi, dalam pada itu pula didukung dengan dalil-dalil yang lain, seperti yang sudah diterangkan di atas itu.

Jadi, ancaman itu tidak mesti dipasangkan dengan rasa takut pada keselamatan diri (dimana hal ini juga boleh), tetapi bisa dipasangkan dengan perjuangan hingga bisa melindungi Islam dan muslimin sekuat mungkin.

Dan kalaulah dipasangkan dengan takut, juga tidak mesti dipasangkan dengan takut akan keselamatan diri sendiri. Akan tetapi bisa rasa takut akan kehilangannya kaum muslimin dari jalan lurusnya. Pesis seperti sekarang dimana Tuhan tidak mengjijinkan imam Mahdi as untuk mengenalkan dirinya.

Wassalam.


Chi Sakuradandelion dan 6 orang lainnya menyukai ini.


Muhammad Alwi: Salam : Mohon link Abu (Musa disertakan.. supaya bermanfaat bagi yang lainnya. Terimakasih.

19 September 2011 pukul 23:02 · Suka


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar