Sabtu, 25 Juli 2020

Hukum Shalat Jum’at dan Sholat Ied


Oleh Ustad Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/250778534966950/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 20 September 2011 pukul 16:43


Jajar Genjang: Salaam, ustad.. Saya ingin bertanya. Dari segi hukum, bagaimana shalat Jum’at dan shalat Ied? Saya masih bingung dengan soal ini, ada 2 versi jawaban dari beberapa orang ustad yang sempat saya tanyakan. Mohon bimbingan..

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyananya:

(1). Saya sudah sering atau setidaknya pernah menjelaskan hal ini, tetapi saya sudah tidak ingiat di catatan yang mana.

(2). Shalat Jum’at itu, kalau dikerjakan dengan syarat-syarat yang ada di syi’ah, seperti imamnya syi’ah dan tidak melakukan dosa dan dalam jumlah tertentu, maka ia wajib ikhtiari. Yakni wajib tidak tertentukan. Artinya bisa memilihnya dan bisa memilih shalat zhuhur.

(3). Tetapi kalau tidak memenuhi syarat-syarat syi’ahnya, maka shalat jum’at tersebut tidak boleh dipilih dan wajib shalat zhuhur secara tertentukan. Yakni tidak boleh memilih Jum’at.

(4). Tetapi kalau shalat tersebut sudah memenuhi syarat-syarat yang ada di syi’ah, dan imam Mahdi as sudah keluar mengenalkan diri, maka shalat Jum’at menjadi wajib tertentukan. Artinya tidak boleh memilih shalat zhuhur, kecuali ada udzur terntentu.


Anandito Birowo: Berarti kalau kita sholat jumat dalam keadaan seperti sekarang ini, kita masih harus sholat zuhur juga ya ustad?

Sinar Agama: Antum kurang teliti membacanya. Kalau seperti sekarang yang antum maksud itu adalah di berjamaah dengan yang tidak memenuhi syarat, maka wajib shalat zhuhur dan sama sekali tidak boleh memilih Jum’at. Jadi, kata juga tidak benar. Karena kalau antum pergi shalat Jum’at, hal itu bukan kewajiban dan mungkin dilakukan hanya untuk adabtasi sosial. Sedang shalat zhuhur adalah wajib tertentukan. Karena itu, tidak benar memakai kata juga pada shalat zhuhurnya, karena keduanya tidak sama.

Jajar Genjang: Maaf, ustad. Jika berkenan, mohon syarat-syarat wajibnya dituliskan secara mendetail, sehingga kami paham.

1. Artinya, jika pun syarat-syarat wajib shalat Jum’at terpenuhi, dalam masa ke-ghaib-an, ia tetaplah wajib ikhtiari dan tidak akan menjadi wajib tertentukan, seperti istilah ustad.

2. Lalu, bagaimana dengann shalat Ied, apakah berlaku hal yang sama sebagaimana shalat Jum’at?

3. Bagaimana pandangan ustad mengenai hadith-hadith populer yang secara tegas mengecam orang-orang yang tidak melaksanakan shalat Jum’at?

4. Apakah memang lebih afdal, shalat secara sendiri dalam semua shalat dibanding berjama’ah dimana keadilan sang imam diragukan, padahal ia sendiri melakukan dosa yang besar?

5. Dosakah seorang yang hidup di lingkungan Sunni turut pergi menunaikan shalat Jum’at padahal syaratnya tidak terpenuhi?

Maaf ustad, atas kebodohan ini. Mohon pencerahan.. Untuk poin 3, memang salah satu syarat imam jamaah adalah syiah.. namun dalam kondisi jumatan sekarang ini, yang dimana kita tinggal di negeri myoritas sunni dan berimam kepada imam sunni dalam sholat jumat, sesuai dengan fatwa rahbar ikut serta dalam solat jumat yang berkondisikan sperti itu dengan tujuan persatuan muslimin, maka tidak bermasalah dan tidak ada kewajiban melakukan solat zuhur seusai solat jumat.


Sinar Agama: Jajar’ Kalau mau detail bisa dilihat di buku yang berjudul Belajar Fikih Untuk Pemula yang bisa diambil di google yang diterjemah oleh mabk Emy hf. Dan untuk ringkasnya, maka sebagai berikut:

(1). Shalat Jum’at yang memenuhi syarat itu, kalau dilakukan sudah bisa meninggalkan shalat zhuhur. Tetapi tidak wajib melakukan Jum’at dan meninggalan zhuhur, jadi boleh juga memilih zhuhur dan meninggalkan Jum’at (hal sudah jelas kalau antum teliti membacanya dan sabar).

(2). Shalat eid, untuk syarat-syarat syahnya shalatnya, sama dengan Jum’at, seperti imamnya syi’ah dan adil (tidak melakukan dosa). Tetapi hukumnya, adalah wajib kalau ada maksum as, dan sunnah kalau tidak ada maksum. Jadi dari sisi kewajiban dan tidaknya ini, shalat ied tidak sama dengan shalat Jum’at.

(3). Tetang hadits itu tidak ada salahnya, yakni sudah benar. Tetapi kalau yang memanggilnya untuk shalat Jum’at itu Nabi saww atau imam maksum. Karena dalam ayat tidak dijelaskan wajibnya shalat Jum’at. Yang diwajibkan itu adalah MEMENUHI PANGGILAN SHALAT JUM’AT. Jadi, bukanlah yang wajib itu shalat Jum’atnya, tetapi memenuhi panggilannya. Nah, kalau memenuhi panggilannya, maka kalau yang memanggil itu bukan imam yang maksum, maka sudah jelas tidak wajib. Dan karena di syi’ah sudah dikatakan oleh imam maksum sendiri, bahwa kalau dipanggil shalat jum’at oleh orang yang memenuhi syarat (adil) tapi ia tidak maksum, sementara imamnya sedang ghaib, maka kewajibannya menjadi ikhtiari, yakni bisa pilih Jum’at (memenuhi panggilannya) dan bisa milih zhuhur. Saya sudah menjelaskan hal ini sebelumnya, silahkan merujuk ke catatan atau dokumen.

(4). Kalau keadilan imamnya tidak diyakini, maka bukan hanya tidak afdhal shalat dengannya, tetapi bahkan batal bermakmum kepadanya dan shalatnya harus diulang lagi sendirian atau bermakmum pada yang syi’ah dan adil (tidak melakukan dosa).

(5). Orang syi’ah yang shalat dengan sunni, kalau tidak tahu hukum dan, apalagi tidak melakukan shalat zhuhur, maka jelas dosa karena sudah meninggalkan zhuhur. Tetapi kalau shalat dengan mereka untuk menghormati secara sosial dan setelah itu shalat zhuhur, maka sudah tentu hal itu tidak dosa dan tidak pula meninggalkan kewajiban. Wassalam, kalau bisa sering- singgahlah berkunjung ke catatan-catatanku atau dokumen-dokumenku yang ada di group, in syaa Allah akan ada manfaatnya, semoga.

Ana sudah berkali-kali mengatakan hal itu, tetapi kalau tujuanya untuk persatuan. Jadi, shalat antum di masjid tersebut harus dengan cara syi’ah, seperti lurus tangan, pakai alas sujud yang dibolehkan dan lain-lain. Tetapi kalau pakai cara sunni, maka taqiah persatuannya tidak berlaku dan shalat Jum’atnya batal dan harus shalat zhuhur juga.

Chi Sakuradandelion dan 6 orang lainnya menyukai ini.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar