Jumat, 03 Juli 2020

Memahami Definisi Keadilan Dalam Fiqh



Oleh Ustad Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/243410945703709/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 4 September 2011 pukul 15:28

Sinar Agama : Teman-teman Syi'ah yang memiliki tim ru'yat sendiri, tolong mengerahkan orang adil (tidak punya dosa besar dan kecil) hari ini supaya bisa jadi dalil syar'i. Karena sudah tidak bisa mengandalkan peru'yatan madzhab lain, karena mereka mungkin sudah kukut dari lapangan sehubungan dengan keputusannya itu. Atau, kalau tidak punya orang yang tidak berdosa, maka kerahkan sebanyak-banyaknya hingga bisa dijadikan sandaran syar'i (syiyaa'un).

Bande Huseini: Salam..ustadz.. apakah keadilan seseorang perlu bukti..? Afwan.

Anandito Birowo: Afwan ustad, apa batasan "kerahkan sebanyak-banyaknya"? 50 orang harus ikut merukyat?

Fais Buchanant: Selain syarat orang yang adil kan masih ada persyaratan yang lain pak ustadz, apakah itu masih kurang...??

Mukhtar Luthfi: Sejak kapan ‹Adil' diartikan tidak ‹berdosa' ustad? Definisi dari mana? Tolong antum definisikan sesuai yang diajarkan dalam istilah fikih, agar ikhwan/t tidak salah memahami.


Sinar Agama: Salam dan terimakasih untuk semua jempol dan komentnya.

@Bande” Keadilan itu memang perlu bukti. Setidaknya disaksikan orang-orang banyak (atau dua orang adil lainnya) secara lahiriahnya bahwa dia tidak melakukan dosa -besar dan kecil- dan tidak pernah meninggalkan kewajiban agamanya. Atau disaksikan oleh orang banyak (atau dua orang adil) bahwa ia, walaupun dulu pernah melakukan dosa -besar atau kecil- tetapi sudah bertaubat (sudah tidak pernah melakukan dosa lagi).

Jadi, buktinya adalah lahiriahnya saja. Tetapi harus banyak orang hingga dapat diyakini atau 2 orang adil lainnya yang menyaksikannya. Jadi,buktinya cukup lahiriah saja, tidak seperti maksum yang harus disaksikan Ya Maha Tahu Ghaib. Dan, tentu saja antum bisa meyakini secara pribadi, kalau antum yang memang selalu menyaksikan perbuatannya yang tidak pernah melakukan dosa itu.

@Ivan: Kita harus menghormti setiap orang, karena memang terpaksa seperti itu untuk hidup di dunia ini. Tetapi kita harus pula memberikan pengarahan sekalipun kepada yang beda itu, sebab kalau kita benar, supaya yang salah itu tidak lebih parah.

@Iyus: Saya tidak paham dengan maksud antum, afwan ...kalau bisa tolong diterangkan lagi.

@Moldiy’ Ada bingung yang mulia, yaitu setelah yakin sebelumnya dimana keyakinannya itu tidak diatasdasarkan pada dalil. Nah, yakinmu itu tidak diatasdasarkan pada dalil, jadi jauh di bawah yang bingung itu. Karena yang bingung itu ingin mengeluarkan dirinya dari kebingungandan keyakinan yang tidak berdasar sebelumnya.

Jadi, kalau kamu tidak pernah bingung, dan yakinnya juga tidak ada dasarnya dan belum diadu dengan yang lainnya, maka ketahuilah, yakinmu itu sama dengan khayal dan nanti kamu akan bingung di kuburan ketika dihujat oleh para malaikat. Karena itu, berbingunglah sekarang, supaya cari dalil dan tidak bingung di kuburan dan akhirat kelak.

@Rafka” Derajat-derajat itu tidak bisa dipakai karena hisab. Jadi, biar berapa derajatpun kalau tidak terlihat mata, maka wajib puasa. Dan kalau maksud antum sekarang dalam arti hari ini, bukan kemarin sore atau tadi malam, maka hitungannya ke hari ini, jadi lebarannya besok. Itupun kalau terlihat mata dan tidak tertutup mendung dan sebagainya.

@Livi” Melengkapi hitungan 30 hari itu memang sudah pasti dan merupakan fatwa. Akan tetapi masalahnya bagi yang puasa tanggal 2 agustus, maka 30 harinya itu tanggal 31 agustus.

Jadi, yang seperti aku yang mengikuti ru'yat yang ada, hingga puasa tanggal 1 agustus, maka besok adalah lebarannya secara mutlak dan tidak ada keraguan, karena sekalipun hari ini bulan tidak terlihatpun, maka hari ini adalah hari ke 30. Jadi, besok lebaran.

@Anandito” Kalau di fatwa imam Khumaini ra, selain 2 adil, dikatakan beberapa orang yang bisa membuat kita bisa meyakini kebenarannya. Karena itulah saya katakan bahwa tanggal 1 agustus itu sudah masuk bulan Ramadhan, karena setidaknya tiga titik NU sudah menyaksikan dimana sudah pasti di tiga titik itu banyak orangnya dan diterima juga oleh NU lainnya. Karena itu, kalau pandangan ana ini benar secara syar'i,maka yang tidak puasa di tanggal 1 tersebut, harus qodho' dan kaffarah. Karena secara syar'i sudah benar. Kecuali kalau pandangan dan alasan saya itu tidak bisa diterima syara' (syariat).

Nah, yang jadi ukuran selain 2 orang adil itu, kalau menurut Rahbar hf adalah syiyaa' atau umum. Jadi, hitungannya berapa itu tidak ditentukan. Yang penting sudah dilihat secara ramai-ramai orang hingga bisa dikatakan secara umumnya orang sudah melihatnya. Karena itu saya suruh mereka mengerahkan orang-orangnya yang banyak dan di banyak tempat, supaya syiyaa' itu dapat dicapai.

Sedang untuk penetapan NU kemarin di awal Ramadhan itu juga bisa dimasukkan ke syiyaa'nya Rahbar hf. Karena beberapa alasan di atas itu. Yakni ada tiga titik, dan pasti banyak orang serta diakui oleh semua tim lain dari NU, jadi bisa dikatagorikan ke syiyaa'/umum. Allahu A'lam.

@Fais + Mpldiy” Ukuran yang antum punya, silahkan saja jalani, dan yang kami punya, biarkan kami yang menjalaninya.


Sinar Agama: @Mukhtar L” Adil yang bermakna tidak melakukan dosa itu, ada sejak adanya fatwa para marja' itu sendiri. Setahu saya makna adil ini adalah muttafakun ‹alaihi di semua fatwa. Antum bisa merujuk ke fatwa Rahbar hf, imam Khumaini ra, ayt Sistani hf dan lain-lainnya.

Bahkan kalau imam Khumaini ra dan Rahbar hf berat sekali. Karena bukan hanya meninggalkan dosa besar dan kecil seperti yang terlihat di lain fatwa (lain marja'), tetapi bermakna "Malakah ketakwaan yang memestikan dirinya melakukan yang wajib dan menghindari yang haram".

Dan malakah ini, tidak cukup dengan sebulan atau setahun tidak melakukan dosa, tetapi sebegitu terpatrinya dan sebegitu rusyukhnya, dan sebagitu substansialnya, dan sebegitu kokohnya, dan sebegitu terkarakternya, hingga tidak mungkin lagi melakukan dosa.

Dan hitungan tidak punya dosanya itu adalah hari ini, bukan sebelum-sebelumnya yang sudah ditaubati secara substansial dan TIDAK MUNGKIN KEMBALI KE DOSA LAGI. Ingat, kalau menurut Rahbar hf dan imam Khumaini ra, sudah tentu taubatnya tidak cukup dengan sehari dua hari atau setahun, tetapi sampai diyakini sebegitu mengkarakternya ketakwaan dan menghindari dosa tersebut.

Jadi, kalau mengikuti fatwa Rahbar hf dan imam Khumaini ra, kalau seseorang itu walau nampak tidak melakukan dosa, tetapi kalau masih mungkin sekali melakukannya, maka ia tidak bisa masuk ke dalam katagori adil, karena menjauhi dosa (takwa) itu baginya belum menjadi malakah atau substansial.

Jadi, ringkasnya adil adalah tidak punya dosa. Karena kalau dari awal memang tidak melakukan dosa, maka ia memang tidak punya dosa, dan kalau pernah melakukan dosa tetapi sudah ditaubati (dengan sebegitu malakahnya dan terkarakternya), maka ia sudah diampuni hingga tak punya dosa.


Alfi Ramadhan: Kayaknya ustad Sinar udah bisa jadi marja di indonesia. Apalagi di indonesia kan tidak ada marja, dan kalau selalu ngikutin Iran kan jelas kondisinya jauh berbeda. Jadi harus segera ada marja di Indonesia agar bisa menjawab masalah kontemporer. Ayo dukung ustad Sinar for marja :D

Umat Jelata: Wah definisi adilnya berat. Apa tim rukyat ikhwan di Indonesia sudah sesuai dengan syarat adil antum ustad??


Sinar Agama: @Alfi: Indonesia sama sekali tidak pelu marja'. Yang diperlukan adalah keterbukaan dan ketelitian dalam memahami fatwa. Tidakterburu-buru dan tidak emosi. Tidak takut disalahkan, karena tahu kesalahan itu kan rahmat dan rejeki yang tidak bisa dibanding dengan seisi alam ini. Lagi pula kemarja'an satu orang Indonesia, tidak menjamin selesainya masalah-masalah karena bisa saja orang-orang tidak taqlid kepadanya. Dan, apalagi yang marja' indonesia ini memang tidak a'lam dari yang lainnya, maka jelas TIDAK BOLEH DITAQLIDI.

@Umat” Syarat adil itu bukan dari aku, tetapi dari para marja'. Begitu pula definisnya. Saya tidak menyertakannya disini karena saya pikir sudah pecaya. Kalau tidak, maka akan saya sebutkan sampai ke halaman duanya, in syaa Allah.


Muhsin Labib: Paling perlu adalah kewara'an setiap mukallaf, saat menentukan hilal maupun saat mengkritisinya. Oya, mohon maaf atas semua kesalahan, termasuk bila comment saya ini melukai hati. Sekali lagi mohon keikhlasan antum dan semua friend antum untuk memaafkan saya yang bodoh ini.


Sinar Agama: @ML: Tidak ada yang bodoh dan tidak ada yang pintar. Kita tidak dalam perlombaan kepintaran, akan tetapi karena rasa kasih sesama syi'ah dan muslim secara umum. Kalau antum mengatakan kewaraan yang terpenting, itu adalah hak sepenuhnya antum. Tetapi ijinkan kami menyandarkan semuanya kepada fatwa dari marja'-marja kami. Itu saja. Saya tidak akan menanyakan pendapat antum itu dari marja' siapa, karena saya tahu tidak akan ada selain ke-adil-an itu. Jadi, saya hanya bisa memulangkan masalah antum itu kepada antum sendiri dan sayapun menghormatinya.


Muhsin Labib: Permohonan maaf ana belum dibalas ya?


Sinar Agama: Tentu saja wara' yang bukan dalam artian adil. Tetapi kalau yang dimaui adalah adil, karena bisa bermakna menjaga diri dari dosa, maka itu yang memang saya pahami dari fatwa-fatwa yang ada. Dan rinciannya sudah saya utarakan di atas.

@ML: he he he afwan ... tadi lagi nanggepin selainnya. Ahlan wa sahlan, tidak ada yang perlu dimaafkan dalam diskusi ya ustadz. Antum bukan hanya dimaafkan (karena memang tidak salah berkoment), tetapi bahkan selalu dalam doa-doa kami semua. Percayalah bahwa tidak akan ada yang mengotori cinta ini kepada antum dan teman-teman yang lainnya.


Muhsin Labib: Alhamdulillah, lega rasanya, meski ana sekarang sakit. Mohon doa karena beberapa hari lagi akan berobat.


Sinar Agama: Sebaliknya, sayalah yang perlu antum maafkan dengan setulus hati dan juga menyertakan ana dan teman-teman lainnya dalam doa-doa antum, afwan dan terimakasih banget.


Rahadian Shalati: Ya Allah, semoga engkau berikan kesehatan dan keselamatan pada guru-guru (ustad Muhsin Labib dan ustad Sinar) kami ini..


Sinar Agama: @Rahadian: Terimakasih doanya, terimakasih sekali. Ketahuilah ya ukhti bahwa menjawab pertanyaan-pertanyaan dan diskusi dimana terkadang sampai ke tingkat debat, benar- benar sangat melelahkan dan menggerogoti badan lahir dan ruh batin. Mana yang takut pada Tuhan, mana yang nggak enak kalau diteruskan dan berbagai keruwetannya. Apalagi berdiskusi dengan para ustadz, yang kadang jauh lebih berat dari dialog dengan wahabi. Hal itu, karena beban mental dan moral yang terjepit antara takut Tuhan dan tidak enak pada rekanan.

Jadi, intinya, bantulah kami dengan doa-doa tulus antum semua, please. Karena dunia ini benar- benar akan segera kita tinggalkan dan, tidakakan tersisa kecuali keilmuan gamblang yang aplikatif dan ketawadhuan yang profesional (tidak mencampurkannya dengan ilmu, yakni hormat dan sayang serta cinta, bukan berarti berhenti berdalil dan berkata-kata), serta saling sayang dalam kebenaran dan ketakwaan serta saling doasetulus-tulusnya.

@ML: Bagi teman-teman yang membaca komentku ini, ijinkan aku meminta pada antum semua, satu shalawat -setidaknya- untuk kesembuhan ustadz Muhsin Labib. Allahumma shalli 'alaa Muhammadin wa aali Muhammad. Semoga Allah segera menyembuhkan antum, supaya tidak mengurangi aktifitas, khususnya silaturrahim yang penuh berkah di hari lebaran ini.


Muhsin Labib: Jazakumullah kharian katsiran.


Mukhtar Luthfi: Maaf ustad... berkaitan dengan definisi Adil yang antum ketengahkan yang -ana kuatir salah paham- dengan kemaksuman, karena antum mengidentikkan adil=tidak berdosa, besar maupun kecil. Apakah para marja' berpendapat demikian? Afwan, ana tidak sependapat. Selain itu terlalu ideal untuk alam realita, juga adanya gradasi dalam konsep keadilan. Tapi untung, antum sedikit jelaskan maksud antum di komentar yang ada.

Imam Khumaini RA dalam tahrir wasilah jilid pertama hal 10 kalau di cetakan tempat ana, pada masalah 28 menyebutkan bahwa memang adil adalah satu tingkatan ketakwaan dimana ia akan selalu berusaha (sadar) untuk mengerjakan semua kewajiban dan meninggalkan dosa. Dinyatakan bahwa tanda-tanda orang adil yaitu tidak melakukan dosa-dosa besar dan tidak mengulang- ulang dosa-dosa kecil, tentu di depan publik. Karena masalah keadilan adalah masalah berkaitan dengan publik, sebagiamana yang juga antum singgung.

Begitu juga sy Imam Ali Khamenei HF dalam Amuzesy-e Ahkam (kalau tidak salah sudah diterjemahkan ke bhs: Indonesia oleh ustad Marzuki denganjudul Daras Fikih), pada masalah taqlid di kajian syarat- syarat marja', dinyatakan bahwa adil merupakan kondisi seseorang yang dapat mendorongnya untuk selalu bertakwa. Takwa dalam arti; melakukan hal-hal wajib dan meninggalkan yang haram. Ketika sifat itu dimiliki maka ia masuk kategori adil. Jadi adil=tingakatan tertentu dari ketakwaan yang menyebabkan ia tidak melakukan dosa DENGAN SENGAJA, di mata publik.

Itupun, sebagimana yang ana katakan, bersifat gradual. syarat adil yang ada pada imam shalat jamaah tentu berbeda dengan radius keadilan pada syarat imam shalat jumat. Syarat adil imam shalat jumat berbeda dengan seorang marja'.Sebagaimana syarat adil pada Wali Fakih juga akan berbeda....semakin tinggi tugasnya maka syarat keadilannya juga memiliki radius yang lebihluas....
jadi adil tidak benar jika diartikan mutlak tidak melakukan dosa, besar ataupun kecil. apalagi syarat adil untuk pelaku ru'yah mau disamakan dengan konsep keadilan seorang Wali Fakih? Ya akhirnya gak ada yang bisa ru'yah' walaupundi Iran sendiri, apalagi negara seperti Indonesia... itu terlalu ideal ustad.... afwan lho ustad. cuman sebagai bahan pertimbangan aja. Yang kita inginkan adalah yang sesuai realita fatwa dan di lapangan, bukan idealisme...

BTW... Sekali Mohon maaf lahir batin..... salam buat semua saudara-saudaraku di tanah seberang sana.... doakan kami di negeri derita ini :). !?


Sinar Agama: @Mukhtar L:

(1). Yang antum jelaskan dari adil itu hanya benar dalam penukilan, tetapi tidak benar dalam pemahaman. Pemahaman adil yang benar itu adalah yang sudah saya terangkan di atas itu. Kalau di hauzah, tidak ada yang tidak tahu beda tidak melakukan dosa besar dan kecil dengan malakah tersebut. Dan kedua pandangan imam Khumaini ra dan Rahbar hf itu, sangat dikenal. Sampai-sampai ayatullah Khatami hf mengatakannya sebagian sangat berat. Tetapi imam ra dan Rahbar menjadikan malakah itu sebagai ukuran adil, seperti:

"Adil adalah, malakah/karakter yang raasikhah (yang begitu kentalnya atau tidak mungkin goyang) yang memunculkan konsekuensi ketakwaan, yaitu meninggalkan semua yang diharamakaan, dan melaksanakan semua yang diwajibkan." Antum perhatikan pada haram dan wajib itu diberi alif dan lam yang, mau diapakan saja tetap memiliki maksud, "semua yang haram" dan "semua yang wajib."

(2). Antum mengatakan bahwa adil itu di mata umum, ini lebih aneh dan ajib lagi. Karena, umum itu fungsinya dalam penyaksiannya dan tidak ada hubungannya dengan definisinya. Jadi, antum telah mencampur adukkan definisi adil dengan pembuktian adil.

(3). Yang saya terangkan itu bukan idealnya, tetapi justru itulah definisi fikihnya.

(4). Adil itu kadang beda dalam pembuktiannya dan/atau kebutuhannya (itupun kalau diterangkan, tetapi kalau tidak maka harus tetap mengambilnya sebagai dasar), bukan definisinya, misalnya kalau antum baca pembuktian dan kebutuhan adil di fikih imam Khumaini rauntuk shalat, atau kesaksian pengadilan, atau marja, maka cukup sebagai keadilan lahiriah (dan poin ini yang sedikit membingungkan antum hingga tercampur dengan definisinya).

Jadi, kalau secara lahiriah kita yakini orang itu adil (tidak melakukan dosa besar dan kecil), dan kenyataannya ia masih memiliki dosa secara hakikatnya di hadapan Tuhan dan si imam itu sendiri juga mengetahuinya bahwa dirinya tidak adil, maka ia boleh menjadi imam shalat tersebut.

Tetapi coba antum lihat di bab cerai, imam mengatakan bahwa syarat adil untuk cerai itu adalah hakiki. Karena itu, sekalipun kita tahubahwa secara lahiriah saksi tersebut adil, tetapi ternyata tidak adil secara hakikinya, maka kalau saksi itu nekad jadi saksi cerainya, maka cerainya menjadi batal. Dan kalau suatu saat suaminya yang mencerainya itu tahu, bahwa kala ia menjadi saksi ia tidak adil, maka cerainya itu batal. Karena itu si istri juga kalau tahu, maka ia tidak boleh kawin dengan orang lain. Beda dengan shalat jama'ah tadi, dimana kalaulah imam mengetahui dirinya tidak adil, tetapi kalau makmumnya secara lahiriah meyakininya, maka shalat jama'ahnya sudah syah.

(5). Antum mengatakan takut salah paham dengan maksum. Lah ...ini lebih jauh lagi. Karena, maksum itu adalah ketidak pemilikan dosa besar dan kecil dari sejak kecil, serta ketidak pemilikan kesalahan walaupun tidak dosa seperti tidak sengaja.

Tetapi kalau adil, hanya ketidak pemilikan dosa. Dan dosa itu hanyalah yang disengaja atau semi sengaja (seperti berkata dan beramal tanpa ilmu dan tidak mau menanyainya kepada yang tahu atau tidak mau mengajinya dengan benar sesuai dengan sumber yangterbentang di hadapannya -muqashshir).

Sedang maksum, adalah bersih dari semua kesalahan, baik sengaja atau tidak. Dan ini penting bagi kemaksuman ini karena mereka paramaksum itu adalah para sumber syariat. Jadi, kalau mereka masih punya salah seperti tidak sengaja atau lupa, maka bagaimana mungkin umat ini bisa meyakini jalan yang lurus tanpa salah itu?

Jadi, sangat jauh bedanya adil dan maksum. Dan hal ini, sangat jelas bagi kita semua.

(6). Antum mengatakan bahwa adil adalah menghindari dosa besar dan tidak mengulang dosa kecil. Awalan, ini sudah berat bagi yang antumkatakan tentang Indonesia itu. Ke dua, definisi antum sangat jauh dari definisi fikih, karena mengulang dosa kecil itu sudah masuk ke dalam dosa besar. Karena itu Nabi saww mengatakan: "Tidak ada dosa besar kalau ditaubati, dan tidak ada dosa kecil kalau diulang."

Karena itu pula imam Khumaini ra mengatakan bahwa: keadilan ini akan hilang dengan hanya melakukan dosa kecil, lihat:
"Sifat adil itu akan hilang secara hukum -fikih- dengan melakukan dosa besar, atau mengulang- ngulang dosa kecil, bahkan dengan hanya melakukan dosa salah satu dosa kecil secara hati- hatinya (hati-hati wajib). Dan keadilan yang hilang itu, bisa kembali kalau sudah taubat."

Dalam bahasa istilah pesantrenan, dua pandangan itu tidak asing. Artinya selalu dibahas. Yaitu yang mencukupkan bahwa adil itu cukup dengan hanya meninggalkan dosa besar dan kecil, dan yang mengatakan bahwa hal itu tidak cukup dan harus berupa malakah atau karakter yang mengakar tersebut.

Adil yang dipakai dimana saja, memiliki satu makna, dan tidak memiliki gradasi. Gradasi dalam meninggalkan maksiat untuk arti adil ini tidak memiliki gradasi apapun kecuali kalau dari sisi bahwa satu orang tidak pernah dosa, dan yang lainnya pernah dosa tetapi sudah taubat dan taubatnya sudah mengkrakter padanya.

Tetapi adil dalam arti melakukan yang wajib, maka bisa saja bergradasi. Karena yang satu melakukan shalat kurang khusyu', tetapi yanglainnya lebih khusyu'. Nah, kalau mau dipaksakan adanya gradasi, maka dari sisi menjalankan kewajiban ini, bukan di meninggalkan dosanya. Karena itu, yang sama-sama tidak dosa, kalau ada beberapa orang maka dipilih mana yang paling berilmu, atau yang paling fasih,atau yang sayyid, atau yang tampan dan semacamnya seperti yang diterangkan di fikih. Tetapi semua gradasi itu adalah gradasi fadhilah dan keutamaan, atau setidaknya di dalam nilai spiritual atau kekhusyukan ketaatannya, bukan dari meninggalkan dosanya. Karena itu, biar yang satunya itu ustadz dan mujtahid, tetapi kalau masih melakukan dosa kecil, tidak syah jadi imam shalat (kalau diketahui sebagaimana yang sudah diterangkan di atas itu), dan si awam (asal tau masalah-masalah hukum shalat, bukan dalilnya) atau muridnya yang ilmunyajauh di bawahnya itu adil, maka ialah yang wajib jadi imam shalat.

Ada lagi bahwa terkadang yang dibutuhkan dalam suatu masalah itu adalah adil tetapi bisa juga cukup dengan kejujurannya. Apapun itu, makna adilnya adalah tetap, tetapi kebutuhannya dalam hal tersebut tidak mesti adil. Misalnya syarat penukil fatwa, seperti:
“Cara mengambil fatwa dari marja’ itu bisa dengan tiga cara: Mendengarkannya langsung darinya; Dinukil oleh dua orang adil atau satu orang adil atau mengambil dari bukunya yang sudah aman dari kesalahan, atau bahkan cukup bisa mengambil dari orang yang jujur dan perkatannya dapat dipercaya (yakni sekalipun melakukan dosa di masalah lain selain kejujuran); Mengambil dari kitabnya yang sudah aman dari kesalahan.”

Nah, disini dijelaskan bahwa dalam penukilan fatwa itu harus dari 2 adil, atau bisa dari 1 adil atau bahkan bisa hanya dari orang yang jujur saja tanpa harus adil.

Kalau semua itu diperhatikan, maka adilnya tetap saja dalam definisi awalnya itu, akan tetapi perbedaannya itu terletak di sejauh mana kebutuhan kepada adilnya tersebut. Karena itu bisa jadi keperluannya adalah adil yang hakiki (di hadapan Allah, seperti saksi cerai), bisa juga hanya lahiriah saja dalam pembuktiannya (seperti syarat imam shalat dan marja’), dan bisa saja tidak terlalu urgent karena itu cukup dengan kalau dilakukan oleh orang jujur saja (seperti menukil fatwa itu).

Dari paparan antum itu seperti nya ada bau keharusan beda antara definisi agama di satu tempat dengan tempat lain. Ini bagi alfakir ini benar-benar sangat aneh. Karena dimanapun, agama itu adalah satu. Jadi, adil di Iran atau dimana saja, tetap sama. Adil di jaman Nabi saww dan sekarang juga sama. Begitu pula shalat, puasa, dan lain-lainnya. Atau thaharah, wudhu' dan seterusnya.


Begitu pula ada bau ketidakbisaan agama ini dilakukan manusia dimana akan berakhir pada ketidakbenaran firman Allah yang mengatakan bahwa tidak memerintah manusia kecuali sesuai dengan kemampuannya. Nah, semua perintah Tuhan telah turun, baik berupalarangan mengerjakan dosa besar dan kecil, atau mewajibkan kepada suatu perintah. Artinya, agama ini sudah lengkap menurunkan semua perintahnya dan tidak ada terluputkan. Dan, semua itu, menurut Allah, sudah sesuai dengan kamampuan manusia.

Jadi, kalau mustahil melaksanakan agama Islam itu, dan apalagi disebut-sebut sebagai idealnya, dalam arti boleh tidak ideal, maka jelas, apa yang diberitakan Tuhan itu adalah bohong. Padahal sudah pasti tidak demikian.

Allah sendiri mengatakan bahwa shalat itu saja bisa menjauhkan manusia dari dosa (besar dan kecil). Apalagi kalau ditambah denganpuasa, dzikir, haji, ziarah, berbakti pada orang tua, belajar ilmu dan lain-lain kewajiban atau kebaikan, maka manusia akan lebih bisa menjauhi yang dosa atau mungkar itu.

Nah, kalau kita dari awal sudah mengatakan bahwa hal itu, yakni adil, yakni tidak melakukan dosa, sulit dicapai, maka ini juga adasemacam bau keputus asaan yang kurang membangun atau bahkan membuka peluang bagi mengentengkan dosa dan, lebih parah lagidijadikannya saksi hilal/ru'yat dan semacamnya. Nah, kalau hal ini terjadi, maka yah ,. apapun petaka (agama dan alam) yang akan menimpa masyarakat kita, maka kita tidak perlu heran lagi dan tinggal tunggu tanggal mainnya saja di akhirat manakala saksi-saksi itu, danpemuka-pemuka agama itu sudah menghadapi pertanyaan-pertanyaan Tuhan satu demi satu dari apapun yang disampaikan kemasyarakat.

Afwan yang tak terhingga dan tak terbatas atas segalanya dan mohon jangan lupa si alfakir yang pendosa ini dalam doa-doa antum dan semua teman-teman lainnya. Sekali lagi dan afwan.


Bande Huseini: Yang bersilangan yang mana..bro..?


Sinar Agama: @FA: Terlepas antum ini maunya apa, tetapi sepintas antum seperti orang yang sok Qur'an dan hadits dan menghindari akal,padahal Qur'an dan hadits yang dipakai adalah yang pasti antum pahami dengan akal yang didakwakan keduanya.

Karena itu, antum sudah merasa bahagia dengan Qur'an-hadits ala pahaman antum itu. Karena- nya, biasanya, kalau tidak dapat membuktikankebenarannya, maka langsung mengatakan bahwa orang lain pakai akal atau ra’yu sedangkan antum pakai wahyu dan sunnah. Emangnyaantum ini Tuhan atau Nabi apa, sehingga memastikan bahwa yang antum pahami dari keduanya itu adalah keduanya yang hakiki??!! Haihaat minna al-zhillah.

Satu lagi kebiasan dari para nabi-nabi yang berkeliaran di masa kini, adalah suka mengatakan terhadap dalil akal sebagai yang tak sempurna dan ada cela, sementara sifatnya hanya dakwaan tanpa dalil, serta selalu menyeru manusia-manusia yang kurang memfungsikan akalnya, untukke jalan dirinya sebagai nabi masa kini.

Kita ini -sebagai pengikut keluarga maksum Nabi saww- bukan Tuhan dan bukan pula maksum. Tetapi apakah tidak wajar kalau manusia berusaha menepis perasaannya, emosinya, egonya, dan khayalannya di jalan lurus, khayalannya sebagai Islam hakiki, khayalannya sebagai ahlu surga, khayalannya sebagai yang diridhai Tuhan, dan berusaha untuk mengetes dirinya dengan memaparkan keyakinannya kepada duniasembari mencari pengetes untuk mengetes pahamannya -apakah sudah benar atau masih salah tentang khayalan-khayalannya itu- dengan lapang dada, demi mencari ridhaNya, agamaNya, surgaNya, jalan lurusNya dan seterusnya yang lebih bersifat hakiki sesuai kemampuannya sebagai manusia?


Bande Huseini: @sinar agama : dalam kitab daras fiqh ( ringkasan fatwa Imam Ali Khamanei ) hal. 24 ada penjelasan tentang adil - berkenaan dengan syarat keadilan seorang marja.

1. Adil adalah kondisi jiwa yang dapat mendorong seseorang untuk senantiasa bertakwa sehingga ia tidak mungkin meninggalkan hal-hal yang diwajibkan dan melakukan hal-hal yang diharamkan (Ajwibah al istifta”at no.562)

2. Seseorang dikatakan adil apabila menyandang sifat tersebut. Dengan ungkapan lain bahwa ketakwaan sampai kepada tingkatan yang ia tidak akan melakukan dosa dan maksiat (meninggalakan hal hal yang wajib atau melakukan hal-hal yang haram) dengann sengaja (Ajwibah al Istita”at no.13 dan Istifta” dr kator rahbar bab talid masalah -masalah)

3. Untuk menilai keadilan seseorang, cukup hanya dengan memperhatikan kebaikan lahiriahnya saja. (Ajwibah al Istfta’at no.562)

Pertanyaan saya.. apakah syarat keadilan meru‘yah disyaratkan seprti itu jugaa..? apakah juga sama dengann syarat keadilan imam sholat ?

Dalam kitab yang sama : daras fiqh hal 247 + tentang metode menentukan awal bulan ;

1. Rukyat (melihat bulan) dari mukallaf sendiri.

2. Kesaksian dari dua orang adil.

3. Kemasyhuran yang menimbulakan keyakinan dan pengetahuan.

4. Berlalunya 30 hari.

5. Hukum dari hakim. (ajwibah al istita”at no.848)


Bahezte Ashmore: @UST Sinar ; dalam fiqh seperti point 3 dr comment @Bande yaitu “mengetahui adil cukup lahiriah saja “ lalu bolehkah mengikuti orang dalam beribadah or bermakmum sholat tanpa harus mengenal keadilannya.. pokoknya ikut saja tanpa harus tahu tentangkeadilan orang tersebut, (padahal dalam fiqh disyaratkan keadilan..)”tolong penjelasannya”.


Sinar Agama: @Bande:

(1). Saya terharu sekali dengan pertanyaan antum. Demi Allah saya terharu dan kagum. Karena, kalau orang memahmi nafas tulisanku pasti dia akan menemukan point-point dari yang antum sebut sebagai pertanyaan itu. Artinya, walaupun antum tidak pernah nyantri, akan tetapi karena antum tulus dan rajin membaca fatwa dan, tidak hanya pada satu bab (seperti adil ini yang antum lihat di beberapa bab), maka antum sudah mulai menyentuh apa-apa yang saya maukan yang, sudah tentu dimaukan pemberi fatwa atau para maraji’.

Saya kalau dalam diskusi yang atum jadikan catatan itu, berdiskusi dengan bukan pelajar agama seperti antum, maka sudah pasti saya tidak akan menggunakan metode yang terlalu menyantuni dan sindiran-sindiran. Tetapi itulah beratnya diskusi dengan sesama rekanan.

(2). Dalam catatan antum itu alfakir ini sudah banyak memberikan arahan memahmi adil dalam perincian di pelbagai babnya dan, sudah dipahami oleh sebagian, tetapi tidak dipahami oleh sebagian. Yang sudah memahami dengan sindiran, maka ia sudah tahu arah tulisantersebut, tetapi bagi yang tidak cukup, maka ia akan terus berlaga sesuai dengan keyakinannya bahwa harus berlaga dalam adu argumentasi demi mencari kebenaran (in syaa Allah niatnya semuanya begitu). Nah, yang kewalahan itu adalah sayanya yang tidak mungkin mengajari seperti dengan mengajari antum. Jadi, itu juga kerepotan yang lainnya.

(3). Sekarang saya akan mengajari antum -afwan banget ya pak Bande- wahai saudara yang amat ana cintai, bahwa:

Dalam catatan alfakir itu sudah saya sebutkan, bahwa ada beberapa point yang berkenaan dengan adil ini (tetapi dalam catatan di atas mungkin belum masuk secara gamblangnya, tetapi hanya berupa isyarat saja, tetapi di dalam dialog berikutnya telah saya sistematiskan secara agak acak, jadi tolong antum lengkapi dengan koment-koment berikutnya kalau belum dimasukin ke catatan antum di atas). Yaitu tentang: esensinya, pembuktian dan pemakaiannya.

Adil, dimana saja dipakai, apakah di kemarjaan, kewilayatulfakihan, saksi perkara atau saksi peru’yatan bulan, imam shalat, saksi cerai dan seterusnya memiliki makna yang sama.

Dari sisi pembuktiannya juga, memiliki cara yang bisa dikatakan sama. Yakni membuktikannya lewat lahiriah (tidak sama dengan maksumyang lahir batin seperti kesaksian Tuhan dan Nabi saww).

Tetapi dari pemakaiannya, bisa tidak sama. Karena yang diinginkan dalam hampir semua keadilan selain saksi cerai, disebutkan sebagai adil yang hanya memerlukan pembuktian lahiriah. Artinya, yang diinginkan itu memang tetap adil, tetapi hujjah keadilannya ke kita itu hanya cukup lahiriahnya yang telah dibuktikan dengan dua orang adil lainnya, atau sangat dikenal oleh orang umum sebagai orang yang memang tidak pernah melakukan dosa.

Tetapi kalau dalam saksi cerai, maka dikatakan adil disini harus hakiki. Jadi, yang tidak adil tidak bisa melakukan kesaksian.

Memang, kita yang akan memakai orang adil sebagai saksi cerai itu tetap menggunakan lahiriahnya karena tidak ada jalan lain bagi kita. Tetapi kalau suatu saat terbukti bahwa orang itu ternyata tidak adil, maka cerainya menjadi batal dan kalau si bekas istrinya sudah kawin dengan orang lain, maka bisa menjadi batal juga. Ini salah satu beda penggunaannya. Jadi, penggunaan yang berbeda ini, bukan karena adil yang dimaksudkan di dalamnya atau definisinya atau esensinya itu menjadi berbeda. Tetapi kebutuhan kepadanya -adil- itulah yang beda.

Begitu pula beda di beberapa tempat, seperti penukilan fatwa. Dalam penukilan fatwa adil disini bisa dipahami sebagai keutamaan. Karena dikatakan bisa diambil dari dua orang adil, tetapi cukup dari satu adil saja, dan bahkan cukup hanya diambil dari orang jujur saja. Nah, dalam pemakaian adil disini, bukan berarti terus merubah definisi adil tsb menjadi beda hingga bisa dikatakan misalnya, bahwa adil dalam penukilan fatwa adalah jujur. Bukan begitu. Tetapi maksudnya, bahwa dalam penukilan fatwa itu cukup hanya seorang yang jujur, dan tidak mesti orang yang adil.

Dalam shalat juga begitu. Karena syarat imam itu adalah adil. Tetapi adil ini cukup dengan keyakinan makmumnya. Jadi, adilnya, memiliki makna yang sama, yaitu mustahil melakukan dosa (mustahil secara umum, bukan seperti mustahilnya para maksumin as), tetapi dari sisi pemakaiannya, tidak perlu adil hakiki dan bahkan tidak perlu adil menurut keyakinan si imam shalatnya itu terhadap dirinya. Akan tetapi cukup dengan adil menurut keyakinan makmumnya.

Jadi, definisi dan esensi keadilannya itu tetap sama, tetapi agama sendiri yang memberikan batasan-batasan penggunaannya. Misalnya, kalau dalam cerai mestilah adil yang hakiki (diyakini pemakai dan diri si saksi itu sendiri), kalau dalam shalat cukup menurut keyakinan makmumnya dan dalam fatwa bahkan tidak perlu adil ini.

(4). Dengan penjelasan no 3 di atas itu, dapat dipahami arti adil dalam saksi peru’yatan tersebut.

Yaitu bahwa adil di sini sama saja, yaitu mustahil melakukan dosa.

Tetapi dari sisi penggunaannya, cukup dengan pembuktian lahiriahnya. Jadi, ia perlu dibuktikan dan pembuktiannya cukup lahiriahnya saja. Karena kalau tidak cukup dengan lahiriahnya (dalam arti adil hakiki seperti di saksi cerai), maka sudah pasti disebutkan dalam fatwa tersebut.

Karena itu, adil dalam ru’yat adalah mustahil melakukan dosa (secara umum yakni secara umum tidak akan berubah, bukan seperti mustahilnya para maksum as). Tetapi dalam pembuktiannya bagi yang selain si saksi itu, juga menurut lahiriahnya.

(5). Lalu bagaimana kalau adil itu berbeda antara pengambil saksi dan yang menjadi saksi? Apakah ia seperti imam shalat itu? Karena di imam shalat imam yang tahu dirinya tidak adil bisa menjadi imam bagi makmum yang meyakini dirinya adil?

Jawabannya adalah tidak sama. Karena kalau hal itu sama, maka sudah pasti dijelaskan dalam fatwanya. Inilah yang dalam istilah fikih dikatakan mutlak. Jadi, kalau tidak ada qoidnya, atau pendkondisinya, atau pengecualiannya, maka ia harus dipahami sesuai kemutlakannya. Jadi, orang yang tidak adil, sudah tentu tidak boleh jadi saksi dan kalau tetap menjadi saksi, maka kesaksiannya batal. Tetapi bagi yang menjadikannya saksi, maka kebatalannaya itu tergantung kepada pengetahuannya terhadp saksi tersebut di kemudian hari. Kalau sampai kiamat tidak terbukti ketidak adilannya itu, maka puasanya sah-sah saja dan tidak perlu qodho (kalau terjadi kesalahan penyaksian ru’yat). Tetapi kalau suatu saat terbukti ketidak adilannya itu, maka harus diqodho’ kalau terjadi kesalahan ru’yat.

Tetapi bagi penyaksi yang tidak adil itu, maka kewajibannya adalah selain ia harus mengqodho’ puasanya (kalau terjadi kesalahan peru’yatan), maka ia juga harus membayar kaffarah. Dan, ia juga harus melakukan taubat, yaitu tidak menjadi saksi lagi dan, sangat mungkin harus juga mengumumkan ketidak adilannya di tahun penyaksiannya itu dan mencabut kesaksiannya.

Begitu pula, bagi orang yang menjadikan orang tidak adil itu sebagai saksi sementara dirinya tidak yakin terhadap keadilannya saksitersebut sejak dari awal, maka kalau terjadi kesalahan peru’yatannya, maka ia disamping harus mengqodho’ puasanya, ia juga harus membayar kaffarah.

Bagaimana kalau ia itu -pengambil kesaksian- melakukan puasa di hari-hari syak dimana pada bulan itu telah terjadi kesalahan ru’yat tetapi karena ia melakukan puasa syak maka ia tidak perlu qodho’?

Jawabannya, maka untuk hari syaknya itu memang tidak perlu qodho’. Tetapi pada hari lebarannya, maka dilihat, apakah lengkap 30 hari atau tidak. Kalau lengkap 30 hari, maka tidak ada masalah. Tetapi kalau tidak lengkap, apapun penyebabnya, tetapi di hari iednya keiedannya itu tidak disebabkan oleh ru’yat yang benar, maka ia pada hari iednya tersebut harus mengqodho’ puasanya dan membayar kaffarah.

Dan kalau di hari syaknya itu tidak melakukan puasa syak, maka ia harus mengqodho’ puasanya untuk hari pertama Ramadhan dan juga membayar kaffarah.

Contoh nyatanya tahun sekarang ini:

Orang-orang syi’ah yang tidak mengambil ru’yatnya NU yang sudah syah itu (karena masuk dalam umum karena diterima NU lainnya sebagaimana sudah ratusan tahun seperti itu, atau kalau menurut imam Khumaini ra sudah termasuk ke dalam beberapa orang yang sudah bisa dipercaya), maka kalau tidak puasa di hari syaknya itu, maka ia harus membayar qodho’ dan kaffarahnya juga. Tetapi kalau iapuasa di hari syak itu, maka ia harus membayar qodho’ dan kaffarah untuk hari iednya, karena tidak lengkap 30 hari. Hal itu karena tidak adanya 2 orang adil yang telah menyatakan melihat bulan dan kalau tidak adanya orang adil, karena tidak adanya orang umum yangmenyatakan telah melihat bulan (fatwa Rahbar hf) atau tidak adanya beberapa orang yang bisa diyakini kebenaran beritanya (fatwa imam Khumaini ra). Memang, kalau ada kesaksian itu, maka untuk hari iednya tidak perlu qodho dan kaffarah.

Tambahan:

Hukum dari hakim yang dimaksud dalam fatwa Rahbar hf itu adalah hakim syar’i, yaitu negara Islam yang dipimpin oleh marja’ yang adil dan pemberani, bukan sembarang hakim syar’i. Jadi, kalau tidak ada hakim syar’i maka harus tetap memakai ru’yat yang biasa itu. Dan, sekalipun hakim syar’ipun tetap memakai ru’yat, tetapi kita sebagai masyarakat, bisa tidak usah repot-repot mengecek saksinya itu (apakah adil atau tidak), tetapi cukup mendengar pemberitaan dari Rahbar hf (pemimpin tertinggi) tersebut.


@Fathul:

(1). Karena kurangnya pengetahuan antum tentang Qur'an dan Hadits, maka sudah pasti antum mengatakan seperti yang antum tulis itu, yaitu bahwa dalil-dalil kita itu adalah akal dalam artian ra’yu. Coba saja antum memahami Qur'an dan tahu banyak hadits, maka jelas antum akan malu mengatakan hal-hal yang tersbut di atas itu. Saya tidak tahu berapa ayat Qur'an dan berapa hadits yang antum pahami dan ingat dikala menulis koment di atas tersebut.

(2). Akal itu adalah akal, bukan akal-akalan. Iblis itu tidak menggunakan akalnya. Bagaiamana mungkin akal bisa mengijinkan dirinya membantah Tuhannya dan merasa lebih tahu dari Tuhannya? Karena itulah maka saya benar-benar merasa heran pada antum ketikamengatakan bahwa yang dikatakan iblis itu benar secara sepintas. Saya tidak tahu ketidakbenaran yang tidak sepintas menurut antum, tetapi apapun itu, maka kebenaran sepintas inipun sudah cukup membuatku terperangah, karena walaupun mungkin antum wahabi, tetapisetidaknya antum muslim. Lalu akal mana yang masih bisa mensepintaskan benarnya perkataan iblis itu?

(3). Orang berakal, walau akal SD, tetap mengatakan bahwa Tuhan adalah Maha Pandai dan Bijak serta Adil dan Segala-galanya. Lah ..kok bisa akal sepintas antum itu membenarkan perkataan iblis tersebut?

(4). Lalu, akal mana, atau bahkan akal sepintas yang seperti apa yang hanya menjadikan ukuran kesempurnaan itu adalah api, atau apalagikeasalan dari api. Api saja belum tentu lebih afdhal dari tanah, apalagi yang berasal dari api.

(5). Ketahuilah bahwa yang digunakan iblis itu bukan akal, tap analogi fikih (bukan analogi ilmu logika) yang biasa disebut kiyas/qiyas.

(6). Nasihat ana buat antum, adalah barhati-hatilah dengan akal antum itu, karena ia jelas-jelas dapat diperkirakan ada kesamaannya dengan akal-akalannya iblis itu. Karena itu, masih belum dapat melihat dengan jelas kesalahan iblis tersebut dan masih mensepintaskannya sebagai kebenaran.

(7). Definisi-definisi para marja’ itu antum tidak usah ikut campuri, karena yang begitu sederhana saja antum tidak memahaminya. Fatwa Rahbar hf dan imam Khumaini ra itu sama secara makna walau mungkin beda dalam kalimatnya. Dan, kalaulah ada perbedaan para marja’, maka hal itu hanya menyangkut yang menaklidinya dimana para penaklid ini hanya berkewajiban menaklidinya dan tidak boleh membahasnya dan apalagi membahas dalilnya (karena bukan mujtahid).

@Baheste:

Bemakmum kepada imam yang kita tidak tahu keadilannya itu adalah tidak boleh dan shalatnya batal. Tetapi mengetahui keadilan itu kan bisa dari umumnya orang? Nah, kalau kita tahu bahwa di suatu daerah itu pada umumnya orang-orangnya sudah mengenal fikih dengan baik dan tahu hukum-hukum shalat berjam’ah dan syarat-syarat imam (seperti masyarakat Iran yang pada umumnya sudah tahu fikih, dan tidak seperti Indonesia yang pada umumnya bisa dikatakan belum tahu fikih dengan baik), dan mereka bermakmum pada seorang imam, maka kita dapat meyakini imam tersebut sebagai adil. Inilah yang dikatakan syiyaa’ atau umum dimana menjadi salah satu alat mengenal keadilan seseorang itu.

Fahmi Husein, Chi Sakuradandelion, Muhammad Wahid dan 16 lainnya menyukai ini.


Khommar Rudin: Allah humma shalli alla Muhammad wa alli Muhammad.

Muhammad Wahid: Allahumma shalli’ala Muhammad wa ali Muhammad.

Fahmi Husein: Masyaallah, membaca artikel-artikel semacam di atas ini, rasanya jauh banget keilmuan (khususnya alfaqir), harus “extra bekal” untuk mengikutinya.

Semoga antum termudahkan untuk menjawab persoalan-persoalan yang alfaqir rasa “menyulit- kan” antum ustad, demi ‘terbuka’-nya kebenaran.

Edo Saputra: Hati selalu berdo’a untuk mu ustad SA, semoga antum selalu diberikan kesehataan jasmani dan rohani. Allahumma sholli ala Muhammad wa’aali Muhammad.

Sinar Agama: Salam dan terimakasih atas semua baik sangka, kepercayaan dan doanya, semoga antum semua juga selalu dalam kehangatan HidayahNya, amin.


1 Januari 2013 pukul 4:34 · Suka



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar