Sabtu, 18 Juli 2020

Syahid Muthahhari ra dan Pelajar Agama

seri tanya jawab Bande Husein Kalisatti dengan Sinar Agama
July 22, 2013 at 8:49pm

Bande Husein Kalisatti: (17-3-2013) Kota Bogor, Yang menjadi tujuan pelajar agama bukanlah ijazah. Urutan urutan angka bukanlah menjadi petunjuk kedudukan seorang murid. Majelis majelis diskusi, kritikan, dan bantahan yang dilontarkan ketika ustadz menyampaikan pelajaran dan juga ketika dirinya menyampaikan pelajaran adalah sebaik-baiknya petunjuk bagi seorang pelajar ilmu agama (Syahid Murtadho Muthahari)

Sinar Agama Gunawan Harianto Sang Pencinta HenDy Laisa Sabara Putra Borneo Alia Yaman Fajar Hidayat Muhammad Yusuf Syahdani Tarigan


Sinar Agama: Salam dan terimakasih tag-an-nya: Sekedar mau memberikan catatan kaki:

1- Maksud ijazah di tulisan itu, adalah ijazah fatwa, bukan ijazah dalam bahasa Indonesia yang berarti sertifikat kelulusan sekolah. Memang, keduanya memiliki maksud kelulusan, tapi sangat beda jauh dilihat dari isinya. Btw, ijazah yang dimaksud adalah ijazah fatwa, yakni tanda pencapaian ijtihad bagi seorang murid.


2- Majelis diskusi yang dimaksud di tulisan itu, bukan sembarang majlis, seperti kajian-kajian yang ada di negara kita. Akan tetapi majelis ilmu khusus yang ada di hauzah/pesantren yang disampaikan oleh para ustadz yang telah lulus dari ustadz-ustadz sebelumnya.

3- Bantahan murid dan debatannya, yang dimaksudkan adalah bantahan yang berbobot yang dilontarkan murid kepada guru di majelis yang ada di hauzah itu.

4- Sebenarnya, kelulusan seorang murid ketika diuji oleh mujtahid atau gurunya, bisa menjadi ukuran bagi ketinggian ilmu sang murid. Akan tetapi, yang lebih memberikan pencerahan adalah kegigihannya memecahkan berbagai pemecahan walau harus mendebat gurunya. Karena itulah, maka kejelian-kejelian itu dan tidak berperasaan kuduk/patut dalam ilmu kepada gurunya, merupakan jalan terbesar menuju ketinggian ilmu.

5- Kalimat di atas, tidak mau mengurangi ijazah para mujtahid atau kelulusan-kelulusan sebelum tingkatan mujtahid itu, karena hal itu jelas ilmiah dan merupakan pertanggungjawaban bagi seorang alim. Persis seperti kejujuran bagi perawi yang akan menentukan nilai tinggi riwayat yang diriwayatkannya.

Akan tetapi beliau ra ingin memberikan penjelasan dan penerangan kepada para pelajar itu sendiri agar hendaknya lebih mementingkan kegigihan dalam kajiannya dalam bentuk aktif dan bukan pasif. Jadi, jangan terlalu fokus pada keijtihadan yang harus dilewatinya itu, sekalipun harus tetap dilakukan, akan tetapi lebih fokus pada penelitian tiap hari hingga selalu hadir dalam kelas dalam bentuk aktif.

Ilustrasi: Teringat pada teman senior di bahtsulkhaarij yang selalu mendebat guru kami. Dia, selalu dikerumunin oleh teman-teman sekelasnya untuk dimintai pendapatnya. Kulihat dia, bertahun-tahun seperti itu, malah setiap pagi sebelum sang guru datang, dia sudah memberikan kajian mukaddimah bagi yang mengaguminya walau, tentu saja banyak orang hebat. Walhasil, dari sekitar seribu murid yang hadir di majelis Bahtsulkhaarij itu, ada sekitar sepuluh orang yang selalu mengitarinya.

6- Dengan penjelasan itu, maka beliau ra ingin mengatakan bahwa aktif di kelas dengan berbagai pengajuan bantahan bermutu, akan lebih memberikan petunjuk ketimbang pasif dan hanya mencukupkan kelulusan di akhir ujian keijtihadan. 

Hal itu, karena murid yang seperti itu, di rumahnya mengurangi tidurnya dan melakukan penelitian dan pelanglangan dalam setiap bahasan hingga ia sudah membawa bekal yang banyak sebelum sang guru menjelaskan bab-bab pelajarannya. 

Karena itulah, maka biasanya di hauzah, kalau ada murid yang sama-sama lulus ujian ijtihad, misalnya seratus orang, maka yang biasanya dikatakan a’lam atau paling pandai, adalah yang paling banyak mengajukan bantahan yang bermutu itu.

Pentutup:

Memang maksud dari beliau ra itu adalah untuk para pelajar hauzah. Akan tetapi hal itu bisa diterapkan juga pada pelajar-pelajar lain yang, tentu saja kalau memiliki guru yang terbuka dadanya seperti para ulama di hauzah itu dimana mereka malah bangga kalau sampai bisa dikalahkan murid-muridnya dan nantinya sang murid itu akan dikenali sebagai a’lam di kalangan ulama dan hauzah. Btw, mencari guru seperti itu di dunia yang se-kwikkwik Indonesia ini, akan seperti mencari jarum di lautan Hindia.

Berteriaklah bahwa kamu pandai, kamu hebat, kamu melebihi orang lain, kamu ustadz handalan, kamu cendekiawan pandai, kamu pemikir kondang, kamu ustadz penuh akhlak, kamu fb-ker piawain, kamu pemotifasi, kamu arif, kamu ......, tapi demi Allah, dalam kesendirianmu, sudah pasti kamu tahu siapa dirimu dan apa ijazahmu serta seberapa cuil dapatanmu dari samudra ilmu ini dan, itupun belum tentu benar lagi.

Tolong jangan permainkan umat, jangan jual akhirat mereka demi menggemukkan ego dan namamu, kasihanilah, kasihanilah... Dan takutlah pada Tuhan, karena di akhirat kelak, kamu akan bergabung dalam setiap kebodohan dan maksiat yang kamu sebabkan secara pasti.

Tolong jangan hambat ilmu itu dengan cuit-cuit di balik panggung. Datang dengan manis, dan bermain di depan pentas. Adu ilmu dan kemampuanmu dengan penuh keikhlasan hingga kalau menang dalam diskusi terbuka itu, kamu bisa bahagia dan bersyukur padaNya karena kamu untuk sementara sudah mendapat dalil kebenaranmu (walau untuk sementara kalau nanti ada yang lebih benar) dariNya, dan kalau kalahpun, kamu akan bahagia dan bersyukur padaNya karena kamu telah mendapatkan kebenaran dari rekanmu sebelum matimu.

Karena itu, jangan berusaha menutup orang mengkritikmu dengan berbagai dalih yang tidak dipahami orang awam terlebih pengagummu. Misalnya berkata “Jangan beramar makruf kepada orang yang kamu tahu dia meyakini kebenaran yang ia lakukan!”. Karena hal ini, selain bertentangan dengan fatwa  marja’mu, juga jelas-jelas bertentangan dengan syarat amar makruf yang mensyarati bahwa harus tahu kesalahan yang mau dinasihati itu dan kita harus tahu yang benarnya seperti apa. 

Kalau kita yakin bahwa orang telah melakukan kebenarannya dengan yakin lalu kita tidak boleh menasihatinya sekalipun kita tahu salahnya, maka amar makruf ini tidak akan pernah terwujud. Karena pada umumnya, setiap orang melakukan ibadah-ibadah dan perbuatan baik, sudah tentu akan meyakini kebenarannya. Karena itu, jangan berusaha jadi marja’ kalau kulit-kulit kitab saja belum kamu sentuh. Dan kalau kamu bertaqlid, maka betapa bagusnya kalau kamu tidak mencurinya dan, betapa indahnya andai fatwa itu tidak kamu hubungkan denganmu. Wassalam.

Khommar Rudin: Allahumma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad.

Bande Husein Kalisatti: Sinar Agama ; syukron catatan kakinya..betul kata antum. Status itu ana
buat setelah baca buku ceramah-ceramah Syahid Muthahari tema “KESULITAN POKOK DI DALAM LEMBAGA KEROHANIAN” pada bab kelebihan-kelebihan Hawzah Ilmiah. Dan antum serta Ustadz yang ana kenal selalu mengajarkan pada kami diskusi, kritik, bantah dengan argumentasi namun tetap dalam kesantunan dengan tujuan mencari kebenaran.

Masih ada keterangan lain dalam buku tersebut pada sisi kekurangannya; redaksi +- sebagai berikut ; “Pembahasan yang berlebihan di dalam ushul fiqh, di samping menciptakan satu bentuk kemampuan kecerdasan di dalam daya pikir para pelajar agama namun pada saat yang sama juga mempunyai kekurangan. 

Yaitu,telah menjauhkan pola pikir para pelajar agama dari realitas masalah-masalah sosial. Di samping itu, perhatian yang kurang terhadap ilmu logika aristoteles telah menyebabkan metode berpikir para pelajar agama lebih banyak bernuansa debat. Dan ini merupakan faktor terbesar yang menyebabkan para pelajar agama tidak mempunyai perhatian terhadap masalah-masalah sosial. “keif ust @Sinar Agama..?

Sinar Agama: Bande: Ada dua jalur keruhanian (sebutan ulama di Syi’ah karena harus meninggalkan dunia) di Syi’ah:

Pertama yang meninggalkan filsafat dan Ke Dua, yang mempelajari filsafat.

Golongan Pertama: Mereka tidak pernah meninggalkan masyarakat dan sosial-sosialnya. Malah shufi di Syi’ah, dikecam karena meninggalkan masyarakat. Tentu saja selain akidahnya yang biasanya sesat. Dan, tentu saja shufi yang Mutashawwifah dalam peristilahan Mullah Shadra ra, yakni yang sok shufi sebagaimana sudah sering dijelaskan di fb ini (lihat catatan).

Akan tetapi, golongan pertama ini, karena tidak melihat pentingnya filsafat, maka mereka meninggalkan filsafat dan bahkan melarangnya.

Sangat mungkin, yang dimaksud beliau ra, adalah golongan pertama ini. Dan, kalau ini benar, dimana didukung lahiriah tulisannya itu, maka maksud beliau ra yang mengatakan bahwa golongan ini kurang perhatian terhadap urusan-urusan masyarakat dengan kurangnya perhatian pada logika Arestotalian, adalah (+/-):

Masyarakat pada waktu beliau ra hidup, mengalami bencana baru dalam pemikian dan akidah, yaitu Liberalisme dan Sosialisme. Musibah dan bencana ini, sampai sekarang masih berlarut, khususnya di negara-negara Sunni dan Syi’ah yang dari golongan pertama itu. Bayangin saja, Indonesia pada masa-masa itu juga mengalami hal serupa dan sosialis ini sempat menguat dan membawa korban yang tidak terhitung.

Dan sampai sekarang, di Indonesia dan dimana-mana dunia, baik barat atau timur, masih memiliki penyakit kronis Sosialism ini. Tentu saja i samping ism-ism yang lain seperti Kapitalism, Meterialism (yang merenggut wahabi sampai ke cicit-cicitnya dan mungkin sampai hari kiamat kelak seperti meyakini Tuhan duduk di ‘Arsy, punya dua tangan...dan seterusnya), Liberalism (yang meyakini bahwa agama tidak boleh ikut campur urusan politik dan kenegaraan)....dan seterusnya.

Jadi, maksud beliau ra, bukan meninggalkan masyarakat dari dimensi-dimensi kehidupannya sehari-hari, karena ijtihad itu justru demi keterarahan umat tersebut hingga dalam fikihpun dikatakan bahwa taqlid kepada orang yang sudah mati, kalau dari permulaan, adalah batal.

Karena itu, maksudnya adalah kurang lengkap memikirkan masyarakat yang sedang dilanda musibah baru yang menangkalnya harus dengan mengkaji Logika Arestotalian dan filsafat itu. Itulah mengapa ketika ayatullah Thaba Thabai ra disuruh berhenti mengajar filsafat oleh ayatullah Burujurdi ra dengan mengutus muridnya untuk menyampaikan perintahnya itu, beliau ra menjawab:

“Kalau hal tersebut adalah perintah, maka saya akan berhenti (maksudnya, sekalipun beliau ra sendiri mujtahid dan tidak boleh taqlid dan menerima fatwa orang lain, akan tetapi karena ayatullah Burujurdi ra waktu sebagai yang a’lam hingga dalam masalah-masalah sosial dan politik harus dijadikan rujukan oleh yang mujtahid sekalipun). 

Akan tetapi, kalau yang kamu sampaikan ini hanya pendapat saja dan fatwa saja, maka saya akan terus mengajar filsafat karena masyarakat sekarang memiliki problema yang tidak dimiliki oleh umat sebelumnya (maksudnya, kalau sebelumnya paling-paling hanya Mu’tazilah, Asy’ariyah, wahabiah, Ismailiyyah, Zaidiyyah, Khabariyyah...dan seterusnya, akan tetapi pada waktu itu sudah bertambah Liberalism, Materialism, Kapitalism, Nasionalism...dan seterusnya.)”

Dan beliau ra sebagai guru ayatullah Muthahhari ra, meneruskan pelajarannya itu walau, saya sempat mendengar bahwa syahriah atau bantuan bulanan bagi pelajar agama dari para marja’, diputus olehnya bagi yang belajar filsafat tersebut.

By the way, maksud ayatullah Muthahhari ra itu, adalah seperti yang sudah dijelaskan di atas itu dan, tulisannya itu sama sekali tidak akan pernah dipahami kecuali oleh orang yang benar-benar belajar lama di hauzah dan sungguh-sungguh fokus tanpa mengharap pujian dan sanjungan serta dukungan siapapun, karena semua itu, berbau dunia. 

Sepi kenikmatan dunia demi hakikat, adalah pondasi terdalam bagi seorang pelajar agama hingga karena itulah dijuluki Ruhani atau Pendeta. Ini bahasa umum hauzah, bukan menandakan bahwa saya sudah melakukannya, tapi merupakan wasiat para guru yang kita semua wajib berusaha mengamalkannya.

Golongan Ke Dua: Sedang golongan ke dua ini, adalah golongan minoritas di hauzah, yaitu yang mempelajari filsafat dengan cermat. Golongan ini, semakin banyak diikuti setelah revolusi. Syukurlah ada beberapa orang yang merupakan warisan ayatullah Thaba Thabai ra, seperti ayatullah Muthahhari ra sendiri, ayatullah Jawodi Omuli hf, ayatullah Anshaari hf, ayatullah Hasan Zodeh Omuli hf, ...dan seterusnya. 

Syukur pada Tuhan yang tidak bosan-bosannya menghujani umat Islam ini dengan berbagai hidayahNya. Karena akal, dengan argumentasi gamblangnya, adalah hidayah tertinggi Allah dimana bahkan dalam memilih agama dan madzhab saja, tidak akan pernah benar, tanpa melaluinya dan harus melaluinya terlebih dahulu dan, sudah tentu kalau akal ini tidak lurus, maka pilihannya juga akan bengkok. 

Apalagi dalam memahami agama dan madzhabnya itu. Yakni akal, bukan hanya dalam memahami agama dan madzhab, dalam memilih agama dan madzhab saja sudah diperlukan dimana tampanya tidak akan terjadi pemilihan yang benar. Tanpanya, yakni tanpa argumentasi akal yang gamblangnya. Wassalam.

Bande Husein Kalisatti: Syukron...semoga Allah selalu memberi kebaikan pada antum Sinar
Agama. Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar