Sabtu, 25 Juli 2020

Akal Konvensional dan Akal Universal ??!!!


Seri tanya-jawab: Dedy Hadi dan Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/250778364966967/ by Sinar Agama (Notes) on Friday, September 16, 2011 at 9:49pm


Dedy Hadi: Apa bedanya akal konvensional dengan akal universal ?

Al Louna dan Paidi Bergitar menyukai ini.

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:
Mukaddimah dan Rabaan:

(1). Saya tidak terlalu terbiasa dengan peristilahan selain Arab atau Parsi. Tapi saya akan berusaha sebisanya menjelaskan beda dari keduanya. Istilah ini sebenarnya penting karena seringkali dalam satu istilah, berbeda makna di beberapa disipilin ilmu. Misalnya akal di logika dan akal di fikih. semoga usaha saya ini kalaulah tidak sesuai dengan kenyataannya, semoga saja tidakterlalu jauh. Saya perlu mengatakan hal ini, karena bisa saja kedua istilah yang ditanyakan itu berbeda makna di fikih dan di filsafat.

(2). Kalau boleh saya raba pada rabaan pertama ini, maka yang ditanyakan antum dari akal konvensional adalah akal ‘uruf atau pada umumnya orang berakal yang dalam arti hal-hal mudah yang sudah disepakati bersama. Seperti jual beli, baik-buruk, hormat dan tidak... dan seterusnya yang, dalam istilah bahasanya adalah hal-hal yang bersifat kesepakatan bersama. Tentu saja, kesepakatan ini memiliki akar akal, karena tanpa dimensi akal, ia tidak akan disepakati setidaknya oleh kebanyakan orang. Kalau benar makna konvensional adalah rabaan pertama ini, maka beda keduanya adalah:

  • (a). Akal konvensional adalah akal yang berdasarkan hal-hal sederhana dan telah disepakati bersama. Misalnya, ketika seseorang itu jujur, maka secara sederhana dipahami dan disepakati bahwa beritanya adalah benar. Karena itu, tidak masuk akal kalau tidak menerima berita orang yang dikenal jujur.

Agama Tuhan, biasanya diturunkan dengan berdasarkan pada akal konvensional dengan makna ini. Jadi, kalau agama mengatakan pakailah akal, maka yang dimaksudkan adalah akal ini. Tentu saja, semua itu ada alasannya.

Yaitu dalam sepanjang sejarah manusia, dimana Tuhan membekalinya akal, maka dengan akal inilah manusia berkembang sesuai dengan peradabannya. Dan sudah tentu akal yang menjadi landasan hidup manusia ini adalah kebenaran dimana dengannya manusia memiliki aturan dan adab satu dengan yang lainnya.

Tuhan dengan menurunkan agamaNya pada manusia, sudah tentu disesuaikan dengan kemajuan akal konvensional tersebut. Karena itulah, maka setiap generasi, diturunkan agama yang baru. Karena kalau agama lama yang tetap dipakai, maka akal manusia sudah berkembang dan telah menguak banyak hakikat lain dalam kehidupannya. Pendek kata agama sebelumnya kalaulah sudah benarpun, tapi tetap saja tidak meliputi hal-hal baru yang ditemukan manusia. Apalagi ada juga hal-hal yang sebelumnya sudah benar karena kondisinya tapi sekarang sudah tidak benar. Di jaman tidak ada baju, maka cukuplah kewajiban menutup aurat itu dengan apa adanya, akan tetapi ketika manusia sudah menemukan baju, maka sudah tentu kewajiban sebelumnya itu sudah tidak bisa dianggap cukup.

Sebaliknya, kalau agama maju diwajibkan atas umat sebelumnya, maka sudah pasti akan merupakan kewajiban di atas kemampuan dimana sangat tidak disukai oleh Tuhan sendiri.

Tentu saja, dengan berakhirnya turunnya agama, berarti akal konvensional ini sudah sempurna hingga Tuhan dapat menurunkan agamaNya yang terakhir dan termaju.

Kalau kita lihat hukum dagang dalam Islam, sangat banyak yang dijadikan hukum Tuhan itu adalah hukum kesepakatan manusia itu. Mungkin lebih dari sembilan puluh persen hukum Islam tentang bisnis berasal dari kesepakatan masyarakat manusia ini.

Tentu saja, ketika Tuhan menurunkan agama dan mengambil kesepakatan manusia sebagai hukumNya, bukan berarti menyetujui apa saja yang sudah disepakati manusia. Karena perkembangan manusia ini, tidak selalu menghasilkan yang benar. Jadi, yang diambil itulah yang sudah benar, tapi yang tidak diambil maka itu yang kenyataannya tidak benar. Ketika dagang dibolehkan, dan riba yang juga dianggap dagang pada waktu itu tidak diterima, maka Tuhan melihat bahwa kesepakatan pada waktu itu tentang riba yang dianggap dagang itu adalah tidak benar.

Ayatullah Jawadi Omuli hf, mengatakan bahwa dengan bukti ini dapat disimpulkan bahwa akal itu bisa mencapai kebenaran. Karena itu dalam ushulfikih dikatakan bahwa akal itu disebut dengan Thariqiyyah. Yakni jalan menuju kebenaran. Jadi, kebenaran itu tidak hanya bisa lewat agama, tapi bisa juga lewat akal.

Beliau hf mengatakan hal tersebut untuk mengkritiki orang-orang yang tidak berani menggunakan akal dan hanya mewajibkan menggunakan Qur'an dan hadits. Mereka mengira bahwa jalan menuju kebenaran itu hanya Qur'an dan hadits. Padahal akal yang diberikan kepada manusia sejak awal penciptaannya adalah pemberian Tuhan untuk mengerti kebenaran.

Tentu saja dalil beliau hf itu seperseribu dari yang beliau hf punya. Karena untuk memahami Qur'an dan haditspun, tanpa akal, tidak akan bisa dipahami. Karena itu, maka siapapun mau menghindari akal, tetap harus menggunakan akal. Walaupun dari yang kelompok ke dua ini akalnya dinamakan Qur'an dan hadits. Wahabi, biasanya, selalu mendakwa seperti ini. Karena itu mereka mengira bahwa Qur'an dan hadits yang mereka pahami itu adalah benar-benar keduanya. Padahal akalnya benar tidak dilandasi dengan kaidah akal. Kalau seseorang belum bisa memahami bahwa apapun yang dilihat mata itu pasti materi dan terbatas, bagaimana bisa mengartikan bahwa Tuhan itu dilihat di surga. Sudah tentu mereka akan mengartikan dilihat dengan mata. Karena mereka belum memahami secara akal bahwa yang terlihat itu terbatas (setidaknya dengan depan hingga tidak ada di belakang).

  • (b). Kalau benar rabaan pertama tentang makna konvensional tersebut, maka akal universal berarti akal filosofis, yakni yang sesuai dengan kenyataannya. Misalnya, kalau akal umum harus mempercayai beritanya orang jujur, maka akal filosofis tidak bisa seperti itu. Karena, walau ia jujur, bisa saja sekali itu tidak jujur. Atau sekalipun ia tidak bermaksud bohong, bisa saja salah dalam melihat masalah atau mendengar berita sebelumnya hingga apa yang ia beritakan itu tidak sesuai dengan kenyataanya.

Atau ketika Tuhan, sesuai dengan akal umum (konvensional), mencukupkan mencuci najis kencing dengan 3 kali siraman dan sudah dianggap suci, tapi kalau akal falsafi, mengatakan belum tentu bersih. Karena, secara filosofis, kalau dilihat pakai lab atau microskop, maka akan didapatkan atom-atom kencing di tempat atau badan yang terkena najis kencing itu.

Banyak sekali teman-teman yang tidak bisa membedakan keduanya. Karena itu, sering dalam membahas fikih memakai akal universal ini dan tidak memakai yang konvensional. Padahal, kalau membahas fikih dan hukum-hukum sosial, harus menggunakan akal konvensional. Tentu yang sudah diterima sebagai kebenaran oleh Islam.

Namun demikian, walaupun ada beda dalam kedua akal tersebut, dan terlihat bahwa akal filosofis itu yang lebih nyata dengan hakikat kenyataannya dimana karena itu ia dikatakan filosofis atau nyata atau hakikat, akan tetapi Tuhan dalam hukum-hukumNya tetap memakai akal konvensional dan meninggalkan akal filosofis.

Hal itu, karena kalau hukum-hukum syariat itu diatasdasarkan pada akal filosofis, maka di samping akan keluar dari kemampuan manusia, bisa juga menyebabkan keluarnya tujuan penurunan agama itu sendiri.

Karena agama cukup membersihkan manusia dari mudharat tertentu dari kencing (misalnya), dan atom-atom tersisa itu tidak mudharat baginya. Ini yang berkenaan dengan tujuan agama. Jadi, kalau harus membersihkan atom-atomnya juga, maka di samping manusia sebelum ada microskop tidak bisa mengamalkannya, manusia setelah microskop juga tidak bisa mengamalkannya. Karena harus membawa microskop ke mana, dan memicroskop apa saja yang disentuhnya, dimakannya, dipakainya ...dan seterusnya. Karena itu, Tuhan Yang maha Bijak, dari awal sudah tahu bahwa yang bisa dilakukan manusia itu hanya akal konvensionalnya dan Begitu pula yang cukup menyelamatkan dirinya hanya akal konvensional itu (bc: hukum- hukum yang didasarkan pada akal konvensional).

Dalam Istilah Ushulfikih, hukum-hukum yang kalau didasarkan pada akal universal (bc: falsafi atau filosoifis), maka diistilahkan dengan Masyakkat atau Memberatkan, alias di luar kemampuan manusia dan tidak bisa diamalkan.

Sudah tentu, kalau maksud akal konvensional itu adalah rabaan pertama di atas, maka mengistilahkan akal universal pada akal filosofis itu, serasa kurang nyaman. Jadi, sebaiknya yang menjadi lawanan istilah akal konvensional ini adalah akal falsafi (filosofis atau nyata). Btw, sekali lagi saya mohon maaf kalau rabaan pertama ini tidak sesuai dengan istilah yang sudah ada di tanah air kita ini.


(3). Dalam rabaan ke dua ini, saya akan merabanya dari makna akal universal. Bedanya dengan rabaan pertama adalah mengartikan akal konvensional dulu baru bisa memahami universal, sedang rabaan yang ke dua ini adalah mengerti akal universal dulu baru mencoba mengartikan akal konvensional.

Alasan perabaan dari memahami yang pertama lalu memaknai yang ke dua atau sebaliknya, adalah karena Akal-akal tersebut dapat lebih mudah diraba secara mandiri. Karena itu, diraba saja secara satu persatu, lalu lawannya itu dipahami dengan rabaan pada masing- masingnya itu.

Di sini saya akan mencoba meraba maksud akal universal itu sesuai dengan yang umum dipakai di peristilahan arab dengan ‘Aqlun Kulliyyun.

Tentu saja banyak makna di filsafat tentang akal-kulli ini. Tapi saya akan memaknai dengan mengkondisikannya dengan akal konvensional itu.

Karena itu, Akal Kulli dapat diartikan dengan kesimpulan universal. Jadi, makna sebenarnya adalah pahaman universal itu sendiri yang, sudah tentu diambil dari pahaman-pahaman partikulir atau juz-i yang, mungkin dalam istilah antum ini, dikatakan akal konevensional. Jadi, mengambil makna konvensionalnya di sisi kondisinya saja alias tidak mengambil dari sisi kesepakatannya seperti rabaan pertama.


Karena itu, maka beda keduanya adalah:

(a). Akal konvensional adalah akal partikulir atau pahaman individu.

(b). Akal universal adalah kesimpulan universal akal yang diambil dari pahaman-pahaman partikulir tersebut.


Penjelasan:

Banyak orang mengira, bahwa universal itu diambil dari kenyataan luar akal alias keberadaan di alam nyata. Seperti Joko, Budi, Siti, Agoest, Endang dan seterusnya yang ada di sekitar

kita. Dengan melihat banyaknya manusia di alam nyata yang bernama ini dan itu, maka akal menyimpulkan bahwa mereka itu bersekutu atau tergabung dalam suatu hakikat tertentu. Yaitu yang bernama “Manusia”. Nah, manusia inilah yang kemudian dikatakan sebagan universal. Karena bisa diterapkan pada Siri, Joko dll-nya itu.

Padahal, kenyataannya tidak demikian. Artinya, yang disimpulkan oleh akal kita itu, bukan Joko, Siri, Agoest dll-nya itu yang berada di alam nyata itu. Akan tetapi Joko, Siti dll-nya itu yang ada di pahaman kita atau akal kita.

Artinya, ketika kita melihat Joko, Siti dll-nya itu, maka akal kita memahami akan adanya mereka di alam nyata. Jadi, sekarang ada dua hal, yang pertama keberadaan mereka di alam nyata, dan keberadaan mereka di akal kita. Karena itulah kita mengingat mereka dan bisa melihat mereka dalam ingatan kita.

Nah, dari pahaman akal kita itulah lalu disimpulkan oleh akal secara berikutannya, bahwa mereka itu bergabung dalam pahaman lain yang namanya “manusia”. Jadi, yang tadi hanya Joko, Siti dll-nya itu, kita sudah dapat disimpulkan dari pahaman tentang mereka itu menjadi pahaman lain yang luas dan bisa diterapkan pada mereka semua, yaitu pahaman dan pengertian “manusia”.

Nah, pahaman “manusia” inilah yang dikatakan dengan akal universal.

Kalau rabaan ini benar terhadap makna akal universal itu, yaitu sesuai dengan maksud antum (karena kalau dilihat dari sisi bahasannya yang saya urai itu sudah benar, yang saya khawatirkan adalah dari kecocokan pemakaian istilahnya), maka akal-konvensional itu adalah Akal-Juz-i yang ada di ilmu logika.

Dan, akal-juz-ii ini juga meliputi apapun yang dipahami akal sesuai dengan apa yang dilihat panca indranya. Disinilah lalu muncul apa yang dikatakan eksperimen dan ilmiah. Jadi, yang dikatakan ilmah adalah apa saja yang dipahami akal sesuai dengan pembuktian panca indra di laboratorium. Dan, pengikut madzbab laboratoris atau saintis ini, sangat menolak apa yang disebut dengan akal-universal itu.

Hal itu, karena akal universal, bagi mereka tidak ilmiah. Hal itu karena tidak didukung oleh eksperimen yang berlandaskan laboratorium panca indrais.

Para filosof, biasanya tidak menolak eksperimen, akan tetapi menolak keuniversalannya sebelum ditemukan sebab-sebab universalnya. Baik dari sisi kaidah yang akan diambil darinya atau dari jamannya yang luas. Jadi, bagi filosof dan bahkan bagi ahli eksperimen itu sendiri, diyakini bahwa kebenaran suatu kesimpulan eksperimen, sangat mungkin bisa keliru dan bisa dibuktikan kekeliruannya itu di masa datang. Bahkan para ahli sains mengatakan bahwa mustahil penemuan seseorang itu bisa berumur lebih dari sepuluh tahun tanpa koreksi.

Bagi para filosof, eksperimen itu cukup berharga, tapi tetap saja memiliki keterbatasannya yang sangat sempit di samping sangat mungkin salahnnya.

Banyak lagi kelemahan akal eksperimen ini. Diantaranya tidak adanya hubungan satu eksperimen dengan yang lainnya. Atau tidak ada rakitan global yang meliputi semua alam yang sangat terkait ini. Karena itu, sangat-sangat tidak bisa dipakai untuk dasar-dasar kehidupan dan nilai moral serta sosial (ekonomi, politik dll-nya). Apalagi mau meneliti Tuhan, atau akhirat yang akan wujud di masa datang. Begitu pula bagaimana mungkin bisa melihat yang telah silam dengan pasti.

Tapi kalau akal, dengan kaidah Akal-akal universalnya itu, yang berdasar pada ilmu-ilmu mudah dan dharurat itu, bisa melanglang kemana saja manusia itu mau. Mau membahas masa datang, bisa. Mau membahas masa lalu, bisa. Mau membahas Tuhan, bisa. Mau membahas akhirat, juga bisa. Dan begitu seterusnya.


Dua cara saintis:

Para ahli eksperimen yang dikenal dengan kaum saintis atau ilmiah, memiliki dua cara menghadapi para pengikut akal universal itu:

1. Komunis:Mengatakan bahwa apapun penemuan yang dihasilkan manusia, maka itulah kebenaran. Tapi kebenaran pada waktu itu. Nah, disinilah mungkin lalu dikenal dengan akal konvensional itu. Yakni kebenaran di jamannya sendiri. Jadi, kesalahan hari ini, merupakan kebenaran kemarin. Inilah yang kemudian dikenal dengan Komunis Marxist.

2. Tapi selain Marxist mengatakan bahwa memang benar bahwa kesalahan kemarin itu adalah kesalahan yang sebenarnya. Karena hakikat itu adalah sama antara kemarin dan hari ini. Api yang panas, tetap panas, sekalipun kemarin diyakini dingin. Kelompok ini lebih mudah mendapat hidayah.

Sedang untuk menghadapi serangan akal universal tentang ketidak terkaitan satu penemuan dengan lainnya, maka mereka bersegera mencari jalan keluarnya dan, akhirnya mereka temukan apa yang diistilahkan dengan “Filsafat Sain”.

Padahal, semua itu adalah hal-hal yang berantem sendiri dilihat dari sendi-sendinya sendiri. Jadi, sebenarnya mereka tidak mampu sama sekali mempertahankan konsep saintis mereka itu. Akan tetapi, karena mereka lebih duluan maju karena dulu menjajah kita supaya tidak maju, maka sampai hari ini mereka banyak diikuti orang beriman sekalipun. Tapi dengan lahirnya Iran yang Islami dengan kemajuan teknologinya yang jauh lebih cepat dari barat kala itu, maka nanti mereka akan menjadi pedagang asongan yang sama sekali tidak akan menarik hati muslimin untuk membelinya.

Pembahasan kedua madzab pemikiran ini, yakni pengikut akal eksperimen atau akal sains atau akal konvensional (kalau benar pemakaiannya) dan pengikut akal universal biasa dikenal dengan filsafat, dapat dirujuk di kitab-kitab atau buku-buku yang telah tersedia. Dan ringkasannya (tentu dengan tidak menyebut semua dimensinya), adalah yang sudah diterangkan di atas ini.


Bantahan dari akal universal (filosof) seperti:

1. Bahwa akal eksperimen tetap tidak akan bisa meninggalkan akal universal. Karena dalam eksperimennya, ia tidak akan mungkin mengeksperimen semua obyek yang ada. Padahal kesimpulannya mencakup esensi obyeknya. Misalnya, nyamuk yang diperiksanya dengan spesien tertentu itu, yang kemudian melahirkan kesimpulan universal tentang penyakit yang diakibatkannya, seperti malaria, adalah nyamuk-nyamuk yang ada di laboratotiumnya saja. Yakni dia tidak mungkin membuat penelitian terhadap milyarand nyamuk spesien malaria di dunia ini. Tapi kesimpulannya, tetap saja universal. Mereka tentu mengatakan dengan alasan ini dan itu. Nah, alasan ini dan itulah yang kita katakan akal universal. Jadi, meraka tidak bisa melepaskan diri dari akal universal.

2. Akal universal, kalau diambil dari pahaman-pahaman mudah yang merupakan akal eksperimen, seperti menyentuh api yang selalu panas, yang kemudian disimpulkan bahwa semua api itu panas dimana penyimpulannya ini setelah tahu sebab-sebab panasnya, bukan sekedar panca idrawinya tapi tahu sebab-sebab panasnya, maka sudah tentu dapat diyakini sebagai kebenaran mutlak dimana karena itulah dikenal dengan akal universal, yakni benar dimana saja dan kapan saja. Dan apapun yang sulit-sulit di pemahaman manusia, kalau berdasar pada pahaman-pahaman yang mudah tadi, maka dapat pula disimpulkan sebagai kebenaran mutlak.

Misalnya, ketika kita melihat dan tahu sebabnya hingga dapat menyimpulkan bahwa setiap suatu yang terbatas itu memiliki sebab, maka sudah tentu dapat meyakini dengan pasti bahwa alam raya ini pasti ada sebabnya karena ia terbatas dimana keterbatasannya itu diketahui dengan pasti karena ia merupakan kumpulan yang terbatas. Karena itu, maka apapun kumpulan terbatas itu akan tetap terbatas. Karena itu alam ini, walau semilyard tahun yang lalu, sudah pasti ada sebab adanya dan tidakmungkin ada dengan sendirinya. Tapi kalau eksperimen, maka sudah tentu tidak dapat menyimpulkan dengan pasti apapun yang menyangkut masa lalu tersebut.

Kalau yang dimaksud dengan akal universal di pertanyaan antum itu adalah yang dirabaan ke dua ini, maka mungkin kurang nyaman kalau akal eksperimen itu atau akal partikulir itu, diistilahkan dengan akal konvensional.


Penutup:

Kalau dengan dua rabaan itu masih juga tidak sesuai dengan yang dimaksud antum atau peristilahan yang ada, maka pertama maafkanlah alfakir ini. Ke dua, semua yang diurai itu sudah benar walaupun dalam penerapan atau pencocokan istilah tidak tepat.

Untuk mempelajari lebih jauh akan akal universal dan konvensional ini, dapat dipelajari di filsafat kalau sesuai rabaan ke dua, dan di kitab-kitab ushulfikih dan fikih, kalau memaui rabaan pertamanya.

Sekali lagi maafkan atas semua kekurangannya.


Susulan:

Tentu saja masih ada makna-makna lain tentang akal universal itu yang kalau saya tulis semua mungkin akan melelahkan sementara di satu sisi belum pasti akan maksud yang antum inginkan. Misalnya:

1. Akal Universal itu tidak dimaknai Pahaman, tapi benar diartikan Akal. Kalau diartikan akal dan bukan pahaman akal, maka Akal Universal itu adalah Akal yang berupa wujud non materi yang berada di atas materi terkhusus yang ada di atas Makhluk Barzakhi atau Makhluk Mitsal atau Makhluk Ide atau Makhluk Qadha dan Qadar.

Kalau demikian yang diinginkan, maka akal konvensional adalah akal manusia. Yakni akal juz-i atau partikulir yang pertikulir kenyataan luar akal atau obyek luarnya. Kalau yang sebelumnya itu adalah pahaman partikulir yang pahamannya ini jelas berupa wujud dalam akal, tapi yang ini adalah akalnya itu yang sebagai wujud luar akal yang dikatakan akal partikulir.

2. Ada lagi Akal universal yang berupa pahaman manusia tapi tidak dilihat dari sisi pahamannya sebagai pahaman, tapi pahamannya dilihat dari sisi derajat keberadaannya. Yakni semua pahaman universal yang ada pada manusia, bukan pamahan universal insan yang berhadapan dengan pahaman Joko, Siti ..dan seterusnya. Tapi semua pahamannya yang universal itu yang berhadapan dengan semua pahaman partikulir.

Bagian ke dua ini bisa diikutkan pada yang sebelumnya. Akan tetapi, karena ada maksud- nya tersendiri, sering atau bisa dilainkan dari yang bagian-bagian sebelumnya itu.

Maksud pengungkapan akal universal yang ke dua ini di kitab-kitab filfasat, adalah untuk menjelaskan bahwa akal universal yang ada pada manusia ini tidak sama dengan akal yang ada pada makluk Akal-akhir, Akal-sebelum-akhir ..dan seterusnya sampai ke Akal- satu. Karena keuniversalannya berbeda.

Karena universal yang ada pada akal manusia hanya mencakupi partikulirnya hanya dalam wujud dalam akalnya saja (tidak mencakupi obyek luarnya), akan tetapi keuniversalan yang ada pada makhluk-makhluk Akal itu (malaikat tinggi) mencakupi wujud luar semua yang menjadi partikulirnya.

Misalnya, pahaman manusia tentang pohon yang ada di akalnya dimana pohon ini merupakan pahaman universal. Di sini, pohon tersebut, hanya mencakupi pahaman- pahaman yang ada pada akalnya juga yang berupa pohon ini dan itu. Atau kalau pahaman manusia tentang makna universal dari manusia itu sendiri, di sini pahaman tentang manusia yang universal itu hanya mencakupi Joko, Siti ...dan seterusnya yang ada di akal dan pahamannya juga, tidak mencakup yang di luar akalnya.

Maksudnya, pahaman tentang manusia itu tidak bisa diterapkan pada Joko, Siti ...dan seterusnya itu sebagai pahaman, bukan sebagai ekstensinya atau wujud luar yang kepadanya diterapkan. Jadi, berbeda antara pahaman tentang manusia yang sebagai pahaman dan dengan manusia yang sebagai wujud luar akal atau nyata tersebut. Memang, dari sisi esensinya sama saja, tapi yang satu dikatakan sebagai wujud dalam akal atau pahaman dan yang lainnya sebagai wujud luar atau nyata atau ekstensi.

Tapi keuniversalan makhluk-makhluk Akal itu, mencakupi yang di bawahnya seperti Barzakh dan alam materi. Artinya di dalam wujud-wujud luar atau nyata yang ada pada apa saja yang dicipta atau lahir dari makhluk Akal itu, yaitu makhluk Barzakh dan Makhluk Materi, dalam semua itu, terdapat apa yang disebut dengan akal universal tadi. Jadi, mereka atau wujud-wujud partikulir itu di alam nyatanya tidak bisa melepaskan diri dari akal universal tersebut. Hal itu karena Akal universal itu berposisi sebagai illat atau sebab bagi semua wujud di bawahnya itu. Dan karena akibat tidak akan pernah bisa lepas dari sebabnya, maka sudah pasti wujud-wujud Partikulir itu tidak bisa lepas dari akal universal tersebut. Inilah yang dikenal di filsafat dengan istilah Universal-Si’iy, atau Universal-Mencakup. Yakni mencakupi secara wujud nyata tidak seperti universal pahaman yang hanya mencakupi partikulir dalam kepahamannya saja.

Kalau yang dimaksud dengan akal universal adalah yang seperti ini, maka akal konvensional tetap saja berupa akal partikulir yang berupa pahaman manusia itu seperti yang ada pada susulan pertama di atas.

Sayang sekali saya tidak bisa memastikan yang antum maksudkan itu. Tapi karena ada waktu sedikit, maka saya coba memberikan gambaran umum dari makna keduanya yang sering dipakai dalam filsafat atau ilmu-ilmu lainnya. Terlepas sesuai dengan yang antum inginkan atau tidak. Karena itu, kalau ingin pastinya, maka sebutkan dimana antum menjumpai istilah itu. Apakah di filsafat atau di ushulfikih. Kalau di filsafat di bab apa. Karena terkadang lain bab lain makna walau satu istilah. afwan


Dedy Hadi: Saya sering membaca buku-buku penulis ulama Iran. Lalu kalau penjelasan antum demikian...bagaimana dengan bertafakur/berefleksi...termasuk akal universal atau konvensional. Dan bagaimana dengan ajaran nabi Isa (tapi yang sudah terdistorsi)...kemudian apa hubungannya dengan pencerahan/ a Ligthment ?


Sinar Agama: Mas Dedy, keselamatan atas antum:

(1). Kalau antum sebutkan buku itu sedang membahas apa yang ada istilah akal konvensionalnya itu, maka saya akan lebih bisa memastikan (tentu kalan saya sendiri mengetahuinya). Saya sendiri lebih cenderung kepada rabaan pertama kalau penerjemahnya itu sudah ahli dalam ilmu-ilmu agama. Tapi kalau tidak, maka sulit juga dipastikan. Karena itu, saya memberikan beberapa rabaan sebelumnya.

(2). Perintah Tafakkur dalam Qur'an dan Hadits itu pada semua kedua bagian akal tersebut dan pada semua rabaan di atas dan yang lainnya yang tidak disebutkan di sini.

Jadi mau berfikir tentang apa saja, sangat dianjurkan oleh Allah atau agama kita. Baik akal eksperimen, akal partikulir, akal fikih dan, apalagi akal universal yang berupa perenungan yang menghasilkan kaidah-kaidah universal, seperti tentang agama itu sendiri, tentang manusia, tentang alam, tentang madzhab,tentang ayat, tentang hadits, tentang Nabi saww, tentang pemimpin setelah Nabi saww (harus makshum apa tidak dimana kalau makshum apa bagusnya dan kalau tidak makshum apa akibatnya ...dll), tentang Qur'an, tentang malaikat atau yang paling penting adalah tentang Tuhan itu sendiri dan Sifat-sifatNya.

Semua tafakkur itu memiliki pahala kalau dikarenakan Tuhan. Memang derajat pahalanya akan disesuaikan dengan derajat obyeknya. Yang termasuk paling tinggi untuk direnungi adalah tentang fikih. Karena itu fikih ini adalah termasuk hikmah yang dimaksudkan Tuhan dalam firmanNya yang berbunyi: “Barang siapa diberi hikmah, maka ia telah diberi kebaikan yang banyak.” Karena hikmah itu adalah sesuatu yang kuat atau muhkam. Jadi, alam yang kuat susunannya ini juga dicipta dengan hikmah. Fikih yang kuat dalilnya bahwa ianya harus diikuti karena dari Tuhan, adalah dalil yangsangat kuat hingga ia juga dikatakan hikmah. Dan, kalau antum masih ingat, maka perenungan fikih ini termasuk akal konvensional. Memang banyak juga kaidah fikihnya bersifat akal universal, tapi karena dasar penerapannya terhadap rumus-rumus dalil ushulfikihnya itu harus diisi dengan akal konvensional, maka ia termasuk komponen penting di dalam bahasan fikih, jadi bisa dimasukkan ke konvensional walau ada juga universalnya.

Meneliti obyek personal yang dipahami dengan akal pertikulir di laboratorium, juga akan mendapat pahala kalau dikarenakan Allah. Bahkan kalau ikhlash dan bermanfaat untuk kebaikan orang umum seperti kesehatan, maka melek malamnya di ruang laboratoriumnya itu -pahalanya- tidak bisa dibanding dengan shalat dan tahajjud malam. Karena pahala sosial itu akan jauh lebih banyak dan tinggi. Dengan syarat benar-benar karena Allah. Karena itu, sarjana atau dokter atau ahli kimia kalau di negara Islam, akan nampak seperti para ahli ibadah malam yang penuh tawadhu’ dan ma’rifah itu. Tapi kalau niatnya hanya untuk karir,maka kalaulah dapat pahalapun tidak akan sebanyak itu dan tidak akan memberikan efek sebaik itu.

Semakin perenungannya itu menyentuh yang maknawi dan ukhrawi atau agami dan Tuhani, maka akan semakin banyak pahala dan semakin bagus efeknya bagi kehidupan seorang pemikir, hingga ia akan benar-benar semakin taat, tawadhu’, kuat berpandangan dengan dalil, tidak mencampur hormat sosial dengan kuat lemahnya argument pembuktian kebenaran, semakin banyak khawatir akan akhiratnya, semakin banyak menangis dan menyembunyikan amal-amalnya, semakin dan semakin ...dan seterusnya.

Karena itu tidak heran kalau Nabi saww merangsang muslimin belajar ke orang kafir China (yang waktu itu sumber teknologi) untuk mempelajari ilmu-ilmu teknologi yang tergolong ilmu-ilmu akal konvensional. Tapi di lain pihak Nabi saww juga mengatakan +/-: “Tinta ulama lebih afdhal dari darah syuhada.” Atau mengatakan: “Yang belajar agama akan didoakan oleh semua malaikat langit.”

(3). Untuk ajaran nabi Isa as, jangankan yang sudah dirubah, biar yang masih asli juga sudah tidak bisa dipakai lagi kecuali yang ada di Qur'an dan hadits.

Kalau yang ada di buku biografi tentang nabi Isa as yang didakwa sebagai kitab Injil itu, maka jelas tidak perlu direnungi kecuali kalau ditujukan untuk mencari cara menghidayahi orang- orang Kristen, atau untuk membuktikan kebenaran Islam atau Syi’ah dari kitab-kitab biografi mereka yang didakwa sebagai Injil itu dan dipahami mayoritas muslimin bahwa kitab itu adalah Injil yang sudah tercampur (padahal kitab itu bukan Injil yang tidak asli, tapi benar-benar kitab biografi nabi Isa as yang ditulis oleh murid-murid beliau).

(4). Ketika akal, baik konvensional atau universalnya itu digunakan dengan profesional argumen- tatif gamblang dan kuat, maka ia akan mengetahui obyek yang direnunginya dengan benar. Nah, ketika akalnya yang dimaksimalkan itu sudah dapat mengerti obyek sebagaimana ia, berarti akalnya sudah berfungsi dengan tepat. Yaitu sebagai obor atau cahaya petunjuk. Inilah yang mungkin antum maksudkan dengan light atau petunjuk itu.

Jadi, petunjuk Tuhan itu bukan dikirim lewat post atau malaikat sewaktu-waktu. tapi Allah yang tidak pernah redup itu, tak pernah menghentikan cahayaNya dan hidayahNya. Jadi, masalahnya bukan siapa yang akan dapat atau tidak dapat, karena semua dihujani dan diselimuti dengan hidayah-hidayah dan Cahaya-cahaya itu tanpa henti sedetikpun. Tapi yang manjadi masalah adalah, siapa yang mau mengambilnya dan siapa yang tidak mau. Begitu pula siapa yang mampu mengambilnya dan siapa yang tidak mampu.

Jadi, petunjuk Tuhan itu sudah terbentang dan terus terbentang tanpa henti. Tapi manusia sendirilah yang harus memau-i, berusaha dan mampu mengambilnya.

Manusia, bisa saja ia tidak mau mengambilnya. Orang seperti ini biar dituruni malaikat juga tidak akan pernah mengambilnya. Apalagi dari sekedar bunyi dan dzikir kodok yang ada di samping rumahnya.

Ada lagi orang yang mau, tapi malas mencarinya. Orang seperti ini juga tidak akan dapat apa- apa dan, kalaulah dapat maka tidak akan kokoh dan bisa sangat mudah berubah.

Ada lagi orang yang mau, dan berusaha, tapi tidak gigih dan tidak sabaran. Orang seperti ini juga tidak berbeda jauh dengan orang-orang sebelumnya.

Ada lagi orang yang mau terhadap hidayah itu dan mencarinya dengan gigih, akan tetapi tidak profesional. Karena itu ia berguru tentang agama pada insinyur, dan bertanya tentang bangunan pada ustadz agama. Atau ia sudah belajar kepada ustadz tentang agama, tapi tidak ketahuan utstadznya itu telah belajar apa di sekolah apa dan telah lulus ujian atau tidak di pelajaran apa ...dan seterusnya, juga tidak tahu. Orang seperti ini bisa lebih parah dari yang sebelumnya. Karena sering merasa tahu, tapi sebenarnya tidak tahu.

Ada lagi orang yang mau dan mencari dan profesional. Nah, orang ini akan menjadi ahli di bidangnya. Kalau tentang teknik ia akan menjadi mahir, kalau tentang agama ia menjadi ustadz kokoh dan bagus dan argumentatif, kalau tentang filsafat ia akan menjadi filosof ...dan seterusnya.

Kalau kita perhatikan semua itu, atau golongan-golongan itu, maka akan terlihat dengan jelas bahwa letak kunci keberhasilannya itu ada pada akalnya. Karena ialah yang akan menentukan tujuan, jalan, cara, kesungguhan, istiqomah, niat ikhlash. dan seterusnya. Jadi, semuanya kembali ke akal konvensional dan universal.

Jadi, hubungan akal dan pencerahan atau hidayah, adalah hubungan suami istri. Hidayah tanpa akal, sama sekali tidak akan berarti karena tidak akan dipahami. Lalu apanya yang dicahayai? Begitu pula sebaliknya, bahwa akal tanpa hidayah, berarti akal tidak ada gunanya dicipta. Dan, sudah tentu jangan pernah lupa, bahwa akal dan hidayah kalau tanpa argument, maka tidak akan pernah nyambung dan kawin.

Karena itu bisa disimpulkan bahwa dari satu sisi ada hidayah atau cahaya, dan di lain pihak ada akal yang siap memahami dan menjangkau hidayah tersebut (baik hidayah alami atau akli), serta di sisi lain ada penghubung keduanya, yaitu dalil dan argument. Satu saja tidak ada dari ketiga unsur itu, maka semuanya menjadi tidak ada gunanya.

Coba antum lihat, betapa banyaknya orang yang merasa di jalan lurus, padahal kalau ditanya apakah kamu makshum dalam arti ilmu Islammu sudah lengkap seratus persen dan benar semua? Maka ia akan menjawab tidak sama sekali. Nah, kalau demikian halnya, maka dari mana ia sok yakin bahwa ia di jalan lurus, padahal jalan lurus itu adalah jalan Islam yang secara keilmuan dan amal lengkap dan benar seratus persen.

Antum tahu sebabnya mengapa mereka begitu naif hingga jatuh ke jurang lebar dan mematikan yang dibuat mereka sendiri dan nampak jelas juga di depan mata mereka tapi mereka tetap jatuh ke dalamnya? Jawabnya karena mereka tidak mengerti secara profesional akan ketiga unsur dan kaitannya itu.

Jadi, untuk menjadi selamat dan untuk mengaplikasikan akal dan cahaya, maka harus tahu esensi dan fungsi keduanya dan tahu pula apa penghubung diantara keduanya itu (argument). Karena itu, hubungan akal dan cahaya hidayah itu sangat erat akan tetapi harus dieratkan dengan yang namanya dalil.

Dan dalil ini sudah sering saya katakan bahwa dalil yang bisa dipercaya adalah yang jelas, menantang (bc: terbuka), mudah dan gamblang. Dan manusia yang sudah berusaha profesional dan gigih serta iklash hingga tidak diombang ambing kecenderungan-kecenderungannya dalam mencari ilmu, maka ia akan mandapatkan cahaya itu alias mengambilnya. Dan kalau sebaliknya, maka akan sebaliknya pula. Tapi kalau sudah bagus dan profesional, tapi masih belum dapat atau salah menyimpulkan, maka orang seperti ini bukan hanya tidak layak mendapat adzab dari Tuhan, akan tetapi bahkan tetap layak mendapat pahalaNya. Karena sudah berusa dan sudah profesional dan sudah pula memenuhi syarat-syarat lainnya.

Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar