Tampilkan postingan dengan label Umar bin Khaththaab. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Umar bin Khaththaab. Tampilkan semua postingan

Kamis, 10 Desember 2020

Seri Diskusi: Mengenali Siapa Abu Bakar, Umar, Usman dan Aisyah


Oleh Ustadz Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/295080980536705/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 17 Desember 2011 pukul 13:31


Sang Pecinta: Salam, ustadz.

Di mana letak Makam siti Aisyah, bagaimana dan kapan ia meninggal.
Apakah setelah perang Jamal imam Ali dengan ia berdamai. Terimakasih, ustadz.

Sabtu, 11 Juli 2020

Penjelasan “Umi Kultsum putri Imam Ali menikah dengan Umar bin Khattab”?


Oleh Ustad Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/243413822370088/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 4 September 2011 pukul 15:42


Ghibran Banajer Ali: Ustadz mau tanya, benarkah Umi Kulstum putri Imam Ali menikah dengan Umar bin Khattab ? Terimakasih.

Kamis, 18 Juni 2020

Penjelasan Hadits Imam Ja’far Tentang Pengikutnya


Oleh Ustad Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/238687326176071/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 26 Agustus 2011 pukul 2:06


Zen Assegaf: "Jadilah kalian penghias kami dan janganlah kalian mencoreng wajah kami". "Tidak berhak seorang mengatasnamakan Agama atau alasan membela Sinar Agama melakukan dengan cara mencaci maki" (Imam Ja'far as)

Bani Hasyim: Ja'far Shadiq berkata: "Ada sekelompok orang yang berkata bahwa aku ini imam mereka. Demi Allah, saya bukan imam mereka. Sama sekali bukan. Semoga Allah melaknat mereka. Mereka itu, setiap kali saya menutupi sesuatu, mereka malah membukanya. Semoga Allah mengungkapkan keburukan-keburukan mereka.

Dan setiap kali aku berkata "...begini...", mereka berkata: "...maksud imam adalah begitu.."Lihat: Ikhtiyaar Ma'rifat ar Rijaal, Syeikh ath Thuusi, Vol. 2, hal. 590

Jumat, 05 Juni 2020

Imam Ali as Membaiat Umar bin Khattab ?


Oleh Ustad Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/236093706435433/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 20 Agustus 2011 pukul 21:51


Hega Sevenfold: Salam ustad, langsung saja ustad saya ingin menanyakan hadist dengan sanad- nya bahwa imam Ali r.a telah membaiat Umar binKhattab ?? Dan bagaimana dengan tanah fadak ?? Mohon penjelasannya ustad.

Rabu, 18 Desember 2019

Sedekap Dalam Fatwa-Fatwa dan Kitab-Kitab Sunni, Bag-2


October 28, 2013 at 1:53 pm

  • 8-4- Hadits-hadits yang berderajat Mauquuf (yang dilakukan oleh orang yang bershahabat dengan Nabi saww) atau Marfuu’ (yang dihubungkan kepada Nabi saww) dimana dalam kesepakatan para ahli hadits, bahwa hadits-hadits yang berderajat seperti ini tidak bisa dijadikan dalil dalam menentukan hukum. Namun demikian, untuk melengkapi bahasan, maka kami nukilkan di sini dimana nanti akan terbukti bahwa selain masalah keMauquufannya ini, juga dibarengi dengan dha’iifnya para perawinya. Jadi, semakin tidak bisa dipakai karena selain Mauquuf, hadits-hadits ini juga dha’iif.
  • 8-4-a- Yang diriwayatkan oleh Sahl bin Sa’d. Hadits ini diriwayatkan oleh berbagai pengumpul hadits Sunni, seperti Bukhari (Shahih Bukhari yang disyarahi Ibnu Hajar, 2/224; al-Sunanau al-Kubraa Baihaqii, 2/28). Diriwayatkan dari jalur ‘Abdullah bin Maslamah, dari Maalik, dari Abu Haazim bin Diinaar dan Sahl bin Sa’d, bahwa ia berkata:

“Orang-orang diperintah untuk meletakkan tangan kanannya di atas lengan kirinya dalam shalat.”Abu Haazim berkata:“Yang ku tahu bahwa dia hanya menghubungkannya (marfuu’) kepada Nabi saww.” Berkata Ibnu Hajar dalam Syarahannya (keterangannya) terhadap Shahih Bukhari bahwa maksud Yunmaa yang Rafa’ahu, yakni menghubungkannya saja kepada Nabi saww (Fathu al-Baarii, 5/325)

Kritikan terhadap hadits ini:

Pertama, dalam hadits ini jelas tidak ketahuan siapa yang memerintah. Mestinya, kalau Nabi saww yang memerintah, ia berkata: “Kami diperintah”, bukan berkata: “Orang-orang diperintah.” Kata-kata dalam hadis ini, jelas bahwa yang memerintah itu bukan Nabi saww.

Ke dua, perawi yang meriwayatkan dari Sahl sendiri –Abu Haazim- mengatakan bahwa si Sahl itu telah menghubungkannya saja kepada Nabi saw.

Ke tiga, Manuver dari hadits ini adalah dari Maalik, sementara imam Maalik sebagai salah satu imam madzhab Sunni, memakruhkan bersedekap. Jadi, terlihat bahwa hadits ini dihubungkan saja kepada imam Maalik.

Ke empat, umur Sahl waktu meninggal adalah 100 th dan meninggalnya di tahun 91 H. Jadi, umur dia di waktu wafatnya Nabi saww adalah 19 th. Karena itu, mestinya ia mengatakaan bahwa kami diperintah Nabi saww, bukan orang-orang diperintah. Terlebih perawi darinya, yakni Abu Haazim mengatakan bahwa dia hanya menghubungkannya kepada Nabi saww.

Ke lima, dilihat dari umur Sahl yang 100 th dan meninggalnya yang di th 91 H, maka ia hidup di jaman berbagai pemerintahan setelah Nabi saww, sejak dari jaman Abu Bakar, Umar, Utsman, Imam Ali as, Imam Hasan as, Mu’awiyyah, Yaziid dan Marwan. Jadi, bisa saja maksud Sahl bukan merafa’kan atau menghubungkan perintah itu kepada Nabi saww, akan tetapi memang maksudnya adalah salah satu dari pemerintahan itu. Kalau hal ini ditambah dengan riwayat dari kitab-kitab Syi’ah yang mengatakan bahwa yang menyuruh sedekap dalam shalat itu adalah Umar, yaitu ketika ia memeriksa tawanan orang-orang Iran yang mana para tawanan meletakkan tangan kanannya di dada sambil membungkuk ke Umar lalu Umar bertanya perbuatan apa ini, kemudian dijawab penghormatan, maka Umar mewajibkan orang-orang untuk meletakkan tangan ke dada ketika shalat untuk menghormati Tuhan. Dan karena Tuhan lebih mulia dari selainNya, maka tangan yang diletakkan di dada, adalah dua-duanya, bukan satu tangan. Perbuatan Umar ini, konon, untuk membuat orang-orang Iran lebih cepat menerima Islam.

  • 8-4-b- Yang diriwayatkan dari imam Ali as. Riwayat ini diriwayatkan di kitab Ibnu Syaibah, Abu Daaud, al-Daaru Quthni dan Baihaqi dari jalur ‘Abdu al-Rahmaan bin Ishaaq Abu Syaibah al-Waasithi, dari Ziyaad bin Zaid al-Siwaa-ii, dari Abu Juhaifah, dari imam Ali as yang berkata:

“Meletakkan telapak tangan ke atas telapak tangan dalam shalat di bawah pusar, adalah sunnah.”

Kritikan terhadap hadits ini:

Pertama, hadits ini jelas tidak bisa dipakai karena dihubungkan ke perkataan shahabat, karena hal ini dikatakan dengan Mauquuf sebagaimana maklum.

Ke dua, semua ahli hadits dan rijal Sunni melemahkan hadits ini kecuali Ibnu al-Qayyim dimana ia satu-satunya orang Sunni yang menshahihkan hadits ini. Sedangkan yang melemahkannya banyak sekali, seperti: al-Nawawii dimana bahkan ia mengatakan bahwakedha’iifannya adalah merupakan kesepakatan; al-Daaru Quthnii; Baihaqii; dan lain-lain.

Ke tiga, ada perawi yang bernama ‘Abdu al-Rahmaan bin Ishaaq yang dilemahkan oleh Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Mu’iin, Abu Haatim, AbuZar’ah, Abu Bakar bin Khaziimah, al-Bazzar, Ibnu ‘Uddaa, al-‘Uqaili, Nasaai (al-Dhu’afaa-u), al-Daaru Quthni (al-Dhu’afaa-u wa al-Matruukiin).

Ke empat, juga terdapat orang yang bernama Ziyaad bin Zaid dimana Abu Haatim, al-Khazrajii, Dzahabi dan Ibnu Hajar mengatakannya sebagai Majhuul (yang tidak ketahuan identitasnya).

  • 8-4-b- Yang diriwayatkan dari Imam Ali as secara Mauquuf adalah yang diriwayatkan oleh Abu Daaud dan Ibnu Syaibah dari jalur Abu Thaaluut ‘Abdu al-Salaam, dari Ibnu Jariir al-Dhabii, dari ayahnya yang berkata:

“Aku melihat Ali ra menyentuh tangan kirinya dengan tangan kanannya di pergelangan di atas pusar.”

Yang dari Abu Syaibah:


“Ali ketika berdiri melakukan shalat, meletakkan tangan kanannya di atas pergelangan tangan kirinya, sampai ia melakukan ruku’, kecuali kalau ia mau membenahi bajunya atau menggaruk badannya.”

Ibnu Hazm juga meriwayatkan tentang imam Ali as:


“Kalau shalat Ali lama/panjang dalam berdiri, maka ia memegang lengan kirinya dengan tangan kanannya dari tapak tangannya kecuali kalau membenahi bajunya atau menggaruk badannya.”

Riwayat ini, yaitu yang menandakan bahwa bolehnya seseorang menggunakan tangan dalam shalat ketika perlu, dikuatkan oleh Bukhari dalam shahih Bukhari-nya (hadits ke: 521). Yaitu dengan memasukkan peletakan tangan kanan imam Ali as di atas tangan kirinya ini, dalam “Babu Isti’aanati al-Yadi Fi al-Shalaati”, yakni “Bab menggunakan tangan dalam shalat.”

Maksud dari penjelasan ini adalah bahwa kalau shalat imam Ali as itu sudah panjang atau lama dan terasa lelah di tangan, maka boleh ditelakkan ke atas yang lain. Artinya, bukanlah sedekap itu ajaran Islam, tapi dibolehkan saja seperti menggaruk badan.

Kritikan terhadap hadits ini:

Pertama, semua ahli hadits Sunni melemahkan hadits ini, seperti: Ibnu Hajar, al- Syaukaanii, Abu al-Thayyib al-Abaadii.

Ke dua, terdapat perawi yang bernama Jariir al-Dhabii dimana Ibnu Jariir mengatakan bahwa dia itu tidak diketahui identitasnya (al-Miizaan).

Ke tiga, terdapat orang yang bernama Ibnu Jariir, dimana orang ini tidak ada yang mentsiqahkannya kecuali Ibnu Habban sementara Ibnu Habbaan terkenal mentsiqahkan Majaahiil (orang yang tidak ketahuan identitasnya).

Ke empat, haditsnya muththarib alias berbeda-beda kata. Muththarib ini, salah satu kelemahan hadits sebagaimana disepakati ahli hadits.


  • 8-4-c- Yang diriwayatkan atau dihubungkan ke Abu Hurairah. Riwayat ini diriwayatkan oleh Abu Daaud, al-Daaru Quthnii, dari jalur ‘Abdu al-Waahid bin Ziyaad, dari ‘Abdu al-


Rahmaan bin Ishaaq al-Kuufii, dari Sayyaar Abu al-Hakam, dari Abu Waail Syaqiiq bin Salamah al-Asadi yang berkata bahwa Abu Hurairah berkata:


“Memegang tangan dengan tangan di bawah pusar dalam shalat adalah sunnah” ( yang diriwayatkan Abu Daaud).

“Meletakkan tangan di atas tangan dalam shalat adalah dari sunnah.” (yang dari al-Daaru Quthni).

Kritikan terhadap hadits ini:

Pertama, matannya muththaribah seperti sebelum-sebelumnya. Karena itu tidak bisa dijadikan sandaran hukum. Karena yang satu mengatakan “meletakkan” dan yang lainnya mengatakan “memegang”. Satu haditsnya mengatakan di bawah pusar dan yang lainnya, tidak mengatakan apa-apa.

Ke dua, hadits ini dilemahkan oleh banyak ulama Sunni seperti: Abu Daaud, Baihaqii, Abu al-Thayyib al-Abaadii, Ibnu ‘Abdu al-Bar.

Ke tiga, ada perawi-perawi yang dikenal sebagai dha’iif, seperti ‘Abdu al-Rahmaan bin Ishaaq al-Kuufii, Syaqiiq bin Salamah.

  • 8-4-d- Yang diriwayatkan dan dihubungkan kepada Ibnu Zubair. Riwayat ini dikeluarkan oleh Abu Daud dan dari Jalur/thariiq Baihaqi, diriwayatkan kepada kami oleh Nashr bin ‘Ali, dari Abu Ahmad, dari al-’Alaa’ bin Shaalih, dari Zar’ah bin ‘Abdurrahmaan yang berkata: Aku mendengar Ibnu Zubair berkata:

“Meratakan dua kaki dan meletakkan tangan di atas tangan adalah sunnah”

Kritikan terhadap hadits ini:

Pertama, berkata Ibnu al-Madiinii: ‘Alaa’ bin Shaalih itu banyak meriwayatkan riwayat- riwayat yang mungkar (tidak bisa diterima).

Ke dua, Abu Daud tidak meriwayatkan hadits dari Zar’ah bin ‘Abdurrahman kecuali dalam hadits ini. Jadi dia ini bukan perawi yang dibesarkan Abu Daud.

Ke tiga, tidak ada yang mentsiqahkan/menshahihkan Zar’ah bin ‘Abdurrahman ini kecuali Ibnu Habbaan dimana ia memang suka mentsiqahkan orang-orang yang dikenal (majaahiil/majhuul).

  • 8-4-e- Yang diriwayatkan dan dihubungkan kepada ‘Aisyah. Riwayat ini dikeluarkan oleh al-Daaru Quthnii dan Baihaqii dari jalur/thariiq Syujaa’ bin Mukhallad al-Falaas, dari Hasyiim, yang berkata Manshuur bahwa telah diriwayatkan kepada kami dari Muhammad bin Abaan al-Anshaarii, dari ‘Aisyah yang berkata:


“Ada tiga hal dari kenabian: Mempercepat buka puasa, memperlambat sahur dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat.” (Baihaqi berkata: Riwayat ini paling shahihnya riwayat dalam pandangannya).

Kritikan terhadap hadits ini:

Pertama, sekali lagi, bahwa hadits ini tergolong bagian hadits mauquuf yang tidak bisa dipakai. Beda kalau ‘Aisyah berkata seperti “Aku melihat Nabi saw shalat dengan meletakkan tangan kanannya di atas tangan kiri”. Karena riwayat seperti ini, tidak akan dikatakan riwayat atau hadits Nabi saw, bukan pendapat ‘Aisyah yang bisa dikatakan mauquuf atau juga marfuu’. By the way.

Ke dua, riwayat dari ‘Aisyah ini, hanya melalui satu orang saja, yaitu si Muhammad bin Abaan. Karena itu, tidak bisa dijadikan pegangan (tentu selain kemarfuu-’annya di atas).

Ke tiga, Muhammad bin Abaan ini adalah seorang yang majhuul (tidak diketahui siapapun identitasnya) hingga karena itu, tidak bisa dijadikan pegangan karena tidak bisa dinilai ketsiqahan dan tidaknya.

Ke empat, riwayat kata-kata ‘Aisyah dari Muhammad bin Abaan ini dinilai oleh Bukhari sebagai terputus (terputus antara Muhammad dan ‘Aisyah yang sudah tentu lebih lemah lagi dari terputusnya seorang perawi dari Nabi saww itu sendiri). Bukhari berkata “Tidak ada cerita/riwayat bahwa Muhammad mendengar/berjumpa dari/ dengan ‘Aisyah.

Ke lima, Ibnu Habbaan berkata bahwa yang mengira bahwa Muhammad bin Abaan ini mendengar/berjumpa dari/dengan ‘Aisyah, maka ia telah mengkhayal.

Ke enam, Ibnu Hajar berkata bahwa tidak pernah terdengar bahwa Muhammad bin Abaan itu telah mendengar/berjumpa dari/dengan ‘Aisyah dimana hal ini dikatakan oleh Bukhari.

Ke tujuh, Yang dimaksud dengan Manshuur dalam riwayat ini, adalah Manshuur bin Zaadzaan, bukan Manshuur bin al-Mu’tamar yang dikenal sebagai haafizh hadits dan tsiqah/dipercaya.

Ke delapan, kalau menurut Baihaqi riwayat ini adalah paling shahihnya riwayat dalam hal bersedekap dalam shalat ini, maka bagaimana dengan hadits-hadits lainnya.

  • 8-4- f- Yang diriwayatkan dan dihubungkan kepada Abu Bakar. Riwayat kata-kata/ perbuatan Abu Bakar ini, diriwayatkan oleh Ibnu Syaibah dari jalur Ibnu Mundzir, dari Yahya bin Sa’iid, dari Tsaur, dari Khaalid bin Ma’daan, dari Abi Ziyaad maula/pembantu Aali Darraaj yang berkata:

“Aku tidak pernah melihat sesuatu lalu melupakannya. Aku tidak pernah lupa bahwa kalau Abu Bakar melakukan shalat, seperti ini (lalu ia meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya).” (ini versi yang diriwayatkan oleh Abu Syaibah). Sedang yang riwayat versi Ibnu al-Mundziir seperti ini:

“…..ia –Abu Bkar- berdiri seperti ini (lalu ia meletakkan tapak tangan kanannya ke atas siku lengan kirinya dengan menempelkan pergelangannya).”

Kritikan terhadap hadits ini:

Pertama, sebagaimana yang telah lalu, hadits ini tergolong hadits marfuu’ dan mauquuf yang tidak bisa dijadikan pegangan.

Ke dua, Ibnu Hajar berkata bahwa Abu Ziyaad maula Aali Darraaj itu, tidak diketahui orangnya.

Ke tiga, al-Daaru Quthnii berkata bahwa Abu Ziyaad itu matruuk (ditinggalkan/tidak- dipakai).

Ke empat, adanya Taur bin Yaziid yang tidak bisa dipakai sebagaimana sudah diurai di atas di bahasan hadits Thaawuus (point 8-2-f).

  • 8-4-g- Yang diriwayatkan dan dihubungkan kepada Abu al-Dardaa’. Penghubungan ini diriwayatkan oleh Ibnu al-Mundzir dari jalur Hajjaaj yang berkata bahwa telah diriwayatkan kepada kami oleh Hamaad bin Zaid, dari ‘Ali bin Abi al-‘Aaliyah, dari Mauriq al-’Ajalii yang berkata bahwa Abu al-Dardaa’ telah berkata:


“Tiga hal termasuk dari kebaikan: Mempercepat ifthar (buka puasa), menyempurnakan sahur dan meletakkan tangan di atas tangan dalam shalat.”

Dan Abu Syaibah juga meriwayatkan kata-kata Abu al-Dardaa’ di atas itu, melalui Wakii’, dari Ismaa’iil bin Abi Khaalid, dari al-A’masy, dari Mujaahid, dari Mauriq al-’Ajalii, dari Abu al-Dardaa’ yang berkata:


“Salah satu akhlak para nabi adalah meletakkan tangan kanan ke atas tangan kiri dalam shalat.” (al-Hasitsamii hanya mengisyaratkan terhadap hadits ini dalam kitab Majma’nya dan ia menyebutkan bahwa al-Thabrani telah meriwayatkannya dalam kitab al-Kaabir-nya).

Kritikan terhadap hadits ini:

Pertama, tentang yang diriwayatkan oleh Ibnu al-Mundzir, sebagaimana maklum bahwa hadits ini tidak bisa dipakai karena marfuu’ dan mauquuf.

Ke dua, dalam riwayat itu ada yang bernama ‘Ali bin Abi al-’Aliyyah dimana orang ini tidak dikenal.

Ke tiga, Bukhari mengatakan bahwa riwayat ‘Ali bin Abi al-’Aliyyah dari Mauriq adalah mursal (diriwayatkan seseorang dari orang lain yang tidak pernah ketemu).

Ke empat, tentang yang diriwayatkan oleh Abu Syaibah maka selain kemauquufan- nya, terdapat perawi yang bernama Ismaa’iil bin Abu Khaalid dan al-A’masy dimana keduanya telah disifati para ahli hadits sebagai Mudallis (menyembunyikan kekurangan perawi yang darinya mengambil riwayat atau menyembunyikan kelemahan riwayatnya, seperti merawikan dari anak kecil lalu namanya diganti dengan fulan, atau dari orang yang tidak pernah ketemu tapi diucapkan seperti pernah bertemu dengannya…dan seterusnya).

  • 8-4-h- Yang dihubungkan kepada ‘Abdullah bin Jaabir al-Bayaadhii. Riwayat tentang ‘Abdullah bin Jaabir ini, diriwayatkan oleh al-Thabraanii dalam kitab al-Kaabir-nya dan Ibnu al-Atsiir dalam Usdu al-Ghaabah-nya dari jalur Hisyam bin ‘Ammaar, dari Abdullah bin Abu Sufyaan –orang Madinah- yang berkata “Aku mendengar dari kakekku ‘Uqbah bin Abi ‘Aisyah yang berkata”:


“Aku melihat shahabat Nabi saw yang bernama ‘Abdullah bin Jaabir al-Bayaadhii meletakkan salah satu tangannya ke atas sikunya dalam shalat.”

Kritikan terhadap hadits ini:

Pertama, Abdullah bin Abi Sufyaan itu seorang yang majhuul/tidak-dikenal.

Ke dua, Abu Daud berkata bahwa Hisyaam bin ‘Ammar telah meriwayatkan 400 hadits yang bersanad tapi tidak ada asalnya (hakikatnya).

Ke tiga, Musallamah berkata tentang Hisyaam bin ‘Ammaar bahwa dia banyak dicela (dibincangkan keburukannya).

Ke empat, Dzahabi berkata bahwa Hisyaam bin ‘Ammar itu banyak kemungkarannya (hadits-hadits mungkar/tertolak-nya) dan telah diriwayatkan dari Ahmad bin Hanbal bahwa dia itu sangat tidak tentu arah (kurang akal dan kurang ingatan) semoga Allah membunuhnya.

Ke lima, dinukilkan dari Ibnu al-’Ajami bahwa ia termasuk orang yang mensifati Hisyaam itu dengan “kacau” atau “campur baur”.

Ke enam, dalam riwayat itu juga terdapat perawi yang bernama ‘Uqbah dimana orang ini majhuul/tidak-dikenali dan tidak ada satu orangpun yang mentsiqahkannya.

Ke tujuh, Bukhari dan Abu Haatim tidak berkata apa-apapun tentang ‘Uqbah itu kecuali hanya berkata bahwa ia meriwayatkan dari Abdullah bin Jaabir dan Abdullah bin Abi Sufyaan (yakni tidak mengomentari apapun, baik tsiqahnya, nyambungnya, tidak terputusnya, majhuulnya…dan seterusnya…dimana hal ini berarti, tidak dianggapnya shahih karena tidak mendapat perhatiannya).

  • 8-5- Dalil sedekap yang diambil dari penafsiran ayat yang berbunyi:


“Maka shalatlah untuk Tuhanmu dan bernaharlah”

Nahar ini memiliki makna kata “leher”. Selalunya dan umumnya, para mufassir Sunni dan Syi’ah, menafsirkan dengan penyembelihan. Yakni karena Nabi saw telah diberi Kautsar, maka beliau saww diperintah shalat dan menyembelih binatang atas nama Allah swt.

Walau begitu, terlihat tafsir lain dari nahar di ayat ini, seperti mengangkat tangan sampai ke leher ketika melakukan takbiratul-ihram dalam shalat. Begitu pula tafsiran-tafsiran yang lain seperti menghadap kiblat dan lain-lainnya.

Nah, salah satu tafsiran yang dilemahkan Sunni sendiri, adalah meletakkan tangan ke atas tangan yang lain dalam shalat (sedekap). Poin kita sekarang ini, akan membahas tentang penafsiran “sedekap” dalam shalat pada ayat di atas. Dan kita akan melihat kenyataan kelemahannya menurut Sunni sendiri seperti hadits-hadits di atas yang juga dilemahkan para ulama Sunni sendiri.

Riwayat tentang penafsiran “sedekap” ini, dihubungkan kepada Anas, Ibnu Abbaas dan imam Ali as. Misalnya di tafsir al-Durru al-Mantsuur, Suyuthi, setelah menulis tafsiran- tafsirannya tentang “nahar” itu, ia juga menukilkan bahwa ada makna lain yang dinukilkan dari Ibnu Syaibah, Bukhari (dalam kitab taarikhnya), Ibnu Jariir Thabari, Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Haatim, al-Daaru Quthni, Abu al-Syaikh, Hakim , Murdawaih dan Baihaqi yang diriwayatkan dari imam Ali as.:


in'syaa Allah, kita akan melihat periwayatan/penukilan tafsir di atas satu persatu-satu.


  • 8-5-a- Yang dihubungkan kepada Anas. Tafsiran Anas ini diriwayatkan oleh Ibnu Hazm dari Anas yang berkata:


“Yang termasuk akhlak kenabian adalah meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di bawah pusar.”

Kritikan terhadap hadits ini:

Pertama, hadits seperti ini jelas dari Anas sendiri dan bukan dari Nabi saww karena Anas tidak sedang menukil hadits Nabi saww. Karena itu, ia adalah hadits mauquuf (perbuatan atau pendapat shahabat dan bukan Nabi saw) yang sama sekali bukan hujjah seperti yang sudah disepakati ulama hadits Sunni dan Syi’ah.

Ke dua, Al-Mubaarakfaurii berkata: “Aku tidak menemukan sanad hadits ini. Ulama-ulama dari madzhab Hanafi menyebutkannya dan menjadikannya hujjah akan tetapi tidak menyebutkan sanadnya. Karena itu tidak bisa dijadikan hujjah.”

Ke tiga, pengarang kitab Al-Durrah berkata: “ Hadits Anas yang berkata: Yang termasuk akhlak kenabian….’, yang dikatakan oleh al-’Ainii bahwa Ibnu Hazm telah meriwayatkannya, maka sanadnya tidak ada hingga karena itu tidak dapat dilihat apakah rijal-rijalnya (perawi-perawinya) adalah orang-orang yang dapat diterima/ tsiqah atau tidak.

Ke empat, diriwayatkan pula oleh Baihaqii dari jalur ‘Aashim al-Ahwal dari seorang lelaki dan Anas seperti riwayat yang diriwayatkan dari Ali danAbbaas dalam tafsir ayat fashalli lirobbika wanhar. Dan hadits yang dari satu sisi sudah bukan dari Nabi saww dan dari sisi yang lain, juga majhuul/tidak-dikenal. Karena dikatan dari seorang lelaki. Jadi, tidak ada nilainya dan tidak bisa dijadikan hujjah/dalil/dasar.

Ke lima, justru ada riwayat yang terkenal dari Anas yang beda dari hadits di atas. Yaitu yang menafsirkan nahar itu bukan bersedekap. Seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Jariir Thabari, dari Hamiid, dari Haaruun bin al-Mughiirah, dari ‘Anbasah, dari Jaabir, dari Anas bin Maalik yang berkata:


“Pada awalnya Nabi saww bernahar (menyembelih atau apa saja yang penting bukan sedekap dalam shalat) sebelum shalat. Kemudian diperintah untuk shalat dulu baru setelah itu bernahar.”

  • 8-5-b- Yang dinukilkan dan dihubungkan kepada imam Ali as. Riwayat ini diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah, al-Daaru Quthni, Haakim, Bukhari (dalam kitab Taarikhnya), Ibnu Jariir (dalam tafsirnya), melalui jalur ‘Aashim al-Jahdari, dari ‘Aqabah bin Zhahiir atau Ibnu Dhabyaan atau Ibnu Shabyaan (terdapat perbedaan periwayatan nama), dari Ali yang berkata:


“(wanhar) Adalah meletakkan tangan kananmu ke atas tangan kirimu dalam shalat.”

Dan dalam riwayat yang lain dikatakan: “Meletakkan tangan kanannya ke atas pertengahan lengannya di atas dadanya.”

Kritikan terhadap hadits ini:

Pertama, sebagaimana maklum bahwa imam Ali as di Sunni, tidak seperti di Syi’ah. Yakni tidak diakui sebagai makshum sekalipun hadits-hadits Sunni mengatakan mak- shum. By the way, beliau di mata mereka bukan penerus agama hingga karena itu, pendapatnya tidak bisa disejajarkan dengan hadits Nabi saww hingga dijadikan dalil. Karena itu, hadits ini, sekali lagi, tergolong hadits mauquuf yang tidak bisa dijadikan dalil.

Orang Syi’ah juga tidak bisa mengambil hadits ini, karena banyak cacatnya dalam periwayatannya sebagaimana akan dijelaskan di bawah ini.

Ke dua, Ibnu Katsir berkata bahwa penukilan pendapat Ali ini, tidak benar.

Ke tiga, Ibnu al-Turkemaani berkatan bahwa dalam sanadnya memiliki goncangan (tidak searah).

Ke empat, matannyapun (kalimatnya) banyak memiliki goncangan (tidak satu/tidak menentu).

Misalnya Bukhari dalam kitab sejarahnya (Taariikh al-Bukhaari), meriwayatkan dengan kalimat:


“Meletakkan tangannya di atas pertengahan lengannya di atas dadanya.”

Ibnu Syaibah, Ibnu Jariir, Haakim, al-Daaru Quthnii dan Baihaqii meriwayatkan dalam bentuk seperti ini:


“Meletakkan tangan kanan ke atas tangan kiri dalam shalat.” Baihaqi dan Ibnu Jariir, juga meriwayatkan dalam bentuk seperti ini:


“Meletakkan tangan kanannya ke atas pertengahan lengan kirinya, kemudian meletak- kannya ke atas dadanya.”

Ke lima, sanadnya juga muththaribah (goncang atau beda-beda).

Misalnya Bukhari dan Ibnu Syaibah, silsilah perawinya yang dari Yaziid bin Ziyaad, merawikan dari ‘Aashim, dari ‘Uqbah dan dari Ali.

Dan di tempat lain dalam Taariikhnya, Bukhari dan juga Haakim, perawian yang dari Hamaad bin Zaid, dari ‘Aashim al-Jahdari, dari Ayahnya, dari ‘Uqbah, dari Ali. Di sini nampak ada kelebihan perawi setelah ‘Aashim, yaitu ayahnya.

Ahli hadits Sunni, Ibnu Abi Haatim, telah menjelaskan kegoncangan perawi hadits tersebut dalam kitabnya, al-Jarahu wa al-Ta’diilu. Dan ulama lain yang bernama Ibnu al-Turkemaani dalam kitabnya, al-Jauharu al-Naqii.

Ke enam, karena disebutkan dari imam Ali as, maka perlu adanya penyebutan salah satu dari hadits-hadits Syi’ah yang datang dari Ahlulbait as. Hal ini, perlu disajikan di sini karena Ahlulbait as lebih tahu tentang keadaan bait/rumah-nya. Jadi, riwayat yang tidak sama dari riwayat Ahlulbait sendiri, maka tidak bisa diterima. Saya akan menyebutkan beberapa seperti:

Dari imam Ja’far as berkata:


“Al-Nahru/nahar di hadapan Allah adalah tegap dalam berdiri (tidak miring kanan dan kiri atau ke depan dan belakang), yaitu dengan meluruskan tulang punggungnya dan lehernya dan tidak bersedekap, karena bersedekap itu dilakukan oleh majusi.”

Ke tujuh, penafsiran al-nahru dengan leher-binatang, lebih cocok dari tafsiran-tafsiran yang lain hingga karena itu, tidak mungkn imam Ali asyang merupakan murid teragung Nabi saww, perlu menafsirkan nahru itu kepada makna yang tidak lumrah (meletakkan tangan kanan ke atas tangan kiri) dimana tafsiran yang tidak lumrah ini, sama sekali tidak berkaitan dengan asal kata yang dipakai Qur'an, yaitu al-nahru.

Ke delapan, al-Roozi juga berpendapat seperti itu, yakni menguatkan tafsiran tegapnya badan dari yang lainnya:


“Penggunaan al-nahru kepada makna leher-binatang, lebih umum dari penggunaan yang lainnya. Karena itu wajib kita memaknai ayat ini dengan makna tersebut.”

Ke Sembilan, Ibnu Jariir al-Thabari berkata:


“Yang lebih utama bagiku dan paling benar, adalah yang mengatakan bahwa makna ayat tersebut adalah seperti ini: ‘Jadikanlah shalatmu untuk Tuhanmu secara menye- luruh dan secara ikhlash serta tidak diiringi dengan yang lainNya dari tuhan-tuhan lain. Begitu pula jadikan qurbanmu untukNya dan bukan untuk patung-patung, sebagai rasa syukur kepadaNya terhadap apa-apa yang telah diberikanNya kepadamu sebagai kemuliaan dan kebaikan yang tidak bisa dibayar dengan apapun, dan telah mengkhususkanmu dengannya, yaitu dengan memberikanmu al-Kautsar.’.”

Ke sepuluh, Ibnu Katsiir juga berkata:


“Apa yang dikatakannya ini (Ibnu Jariir) adalah sebaik-baiknya perkataan. Sebelum dia, Muhammad bin Ka’ab al-Qurzhii dan ‘Athaa’, telah sampai kepada kesimpulan ini.”

Ke sebelas, Ibnu Katsiir juga berkata setelah menukilkan berbagai riwayat-riwayat yang bermacam-macam itu:


“Semua penafsiran-penafsiran ini, sangat aneh. Yang benar adalah pendapat yang pertama, bahwasannya yang dimaksud dengan nahru adalah menyembelih qurban haji.”


  • 8-5-c- Yang dinukilkan dan dihubungkan dengan Ibnu ‘Abbaas. Penukilan tafsiran Ibnu ‘Abbaas ini diriwayatkan oleh Baihaqii dari jalur Ruuh bin al-Musayyad, dari Umar bin Maalik, dari Abu al-Jauzaa’, dari Ibnu ‘Abbaas dalam firmannya yang berbunyi (fashalli lirobbika wanhar), ia berkata:


“Meletakkan tangan kiri ke atas tangan kanan di dekat leher dalam shalat.”

Kritikan terhadap hadits ini:

Pertama, Ibnu Habbaan berkata bahwa Ruuh bin al-Musayyab itu adalah orang yang merawikan hadits-hadits maudhu dari tsiqah lalu merubah sanad-sanadnya dan juga menghilangkan mauquufnya. Riwayatnya tidak boleh dinukilkan atau ditulis, kecuali kalau hanya untuk pemberitaan (baca: bukan untuk menjadikannya dalil atau hujjah).

Ke dua, Abu Haatim berkata bahwa Ruuh bin al-Musayyab itu orang shalih akan tetapi dhaif/lemah.

Ke tiga, Ibnu Mu’iin berkata bahwa Ruuh bin al-Musayyab itu shalih kecil (kata ejekan atau pelemahan dalam ilmu hadits).

Ke empat, Ibni ‘Uddaa berkata dalam kitabnya “Al-Dhu’afaa’” (orang-orang yang didhaif- kan) tentang Ruuh bin al-Musayyab itu bahwasannya dia itu meriwayatkan dari Tsaabit dan Yaziid al-Raqqaasyi hadits-hadits yang tidak terjaga.

Ke lima, Dalam riwayat itu terdapat perawi yang bernama ‘Umar bin Maalik al-Nakarii dimana Ibnu Habbaan dalam kitabnya “Al-Tsiqaat”: Dia suka salah dan mengharibkan hadits (baca: meriwayatkan hadits-hadits asing/aneh).

Ke enam, Ibnu ‘Uddaa berkata bahwa ‘Umar bin Maalik itu menukil hadits-hadits mungkar (yang mesti ditolak) dan suka mencuri hadits. Dan dia juga berkata bahwa ‘Umar bin Maalik itu, juga meriwayatkan dari Abu al-Jauzaa’, hadits-hadits yang tidak terjaga.

Ke tujuh, Abu Ya’laa berkata bahwa ‘Umar bin Maalik itu adalah seorang yang dhaif/ lemah.

Ke delapan, Ibnu Hajar berkata bahwa Bukhari mendhaifkannya.

Ke Sembilan, terdapat jarak yang terputus (munqathi’) antara Abu al-Jauzaa’ dengan Ibnu ‘Abbaas. Bukhari juga berkata bahwa sanadnya Abu al-Jauzaa’ itu memiliki problem. Ia juga berkata bahwa orang-orang bersengketa tentangnya.

Ke sepuluh, Ibnu ‘Uddaa berkata bahwa Abu al-Jauzaa’ itu meriwayatkan dari shahabat Nabi saww seperti Ibnu ‘Abbaas, ‘Aisyah dan Ibnu Mas’uud, dimana hal ini tidak bisa dibenarkan bahwa ia mendengar riwayat-riwayat itu dari mereka (para shahabat).

Ke sebelas, Abu Zar’ah berkata bahwa hadits ini mursal. Dan berkata Ibnu Jariir bahwa Abu al-Jauzaa’ itu banyak memursalkan hadits (menghubungkan kepada orang lain yang tidak ditemuinya hingga seakan ia meriwayatkan langsung dari mereka).

Ke dua belas, yang paling terkenal dari Ibnu ‘Abbaas bahwa ia menafsirkan ayat tersebut dengan qurban di waktu haji. Seperti yang diriwayatkan Ibnu Jariir al-Thabari:


Ke tiga belas, hadits di atas telah dilemahkan oleh para haafizh hadits dari Sunni sendiri seperti Ibnu Jariir yang berkata: “Sanad hadits ini, lemah/dha’if.”

Tambahan Keterangan:

1- Kejelasan Shalat dan Ketertutupan/kesamaran Sedekap.

Kita telah kaji dalil-dalil tentang sedekap dalam shalat dimana semua hadits-haditsnya, tidak bisa dijadikan dalil dan hujjah karena kelemahannya. Kalau kita perhatikan dalilnya yang lemah itu, maka sangat kontradiksi dengan sifat shalat itu sendiri. Artinya, shalat yang sebegitu besarnya arti dan posisinya dalam Islam dimana menjadi penentu sejati tidaknya iman seseorang, akan sangat aneh, kalau salah satu kewajibannya, terlihat samar.Karena itu, sangat diragukan bahwa sedekap yang samar itu, bagian dari ajaran shalat yang terang tersebut.

Kesamaran dalil sedekap ini, menjadi lebih samar dengan banyaknya pengingkar terhadapnya yang datang dari para shahabat dan pembesar salaf yang mana mereka meluruskan tangan ketika shalat.

2- Banyak sekali shahabat dan para pembesar salaf yang meluruskan tangannya dalam shalat.

Ibnu Syaibah berkata:


“Al-Hasan, al-Mughiirah, Ibnu Zubair, Ibnu Siiriin, Ibnu al-Musayyab, Sa’iid bin Jubair dan al- Nakha’ii, meluruskan tangan dalam shalat dan tidak meletakkan salah satu tangannya ke atas yang lain. Bahkan sebagian mereka, mengingkari/melarang orang yang melakukannya (sedekap).” (al-Mushannaf, 1/343; al-Majmuu’, 3/311; al-Mughnii, 1/549; Syarhu al-Kabiir, 1/549; ‘Umdatu al-Qaari, 5/279).

3- Imam Maalik bin Anas, sebagaimana sudah dijelaskan di atas, sebagai salah satu imam madzhab Sunni, memakruhkan sedekap dalam shalat wajib. Pemakruhan imam Maalik ini, tidak lain karena memang tidak ada ajaran sedekap itu dalam islam.

Empat hal penting menyangkut Imam Maalik bin Anas ini:

  • a- Ia sebagai alim terbesar salaf yang tidak ada yang tidak mengenalnya.
  • b- Ia lahir hidup diantara th 93-179 H. Artinya, sangat dekat dengan jaman syariat. 
  • c- Ia tinggal di Madinah yang sebagai pembesar alim di kota tersebut.
  • d- Ia seorang yang sangat tsiqah/terpercaya.

Dari keempat hal di atas, maka pandangan beliau ini, sangat memiliki kekhususan. Artinya, dapat diyakini kebenarannya bahwa sedekap itu memang tidak diajarkan Nabi saww. Karena itu, ketika Maalik ditanya tentang sedekap dalam shalat, ia menjawab:

لا أعرفه في الفريضة

“Aku tidak mengetahui/mengenalnya dalam shalat wajib.” (al-Mudawwanah, 1/76).

Karena Nabi saww tinggal di Madinah, dan imam Maalik juga seperti itu, dan ia sangat dekat dengan jaman Nabi saww, ditambah sebagai alim besar di kota tersebut dan ditambah ketsiqahannya, maka dapat diyakini bahwa sedekap ini, bukan ajaran Nabi saww. Terlebih semua alim meriwayatkan bahwa madzhab orang-orang Madinah, adalah tidak sedekap dalam shalat.

4- Sebagaimana pentingnya pandangan imam Maalik terhadap sedekap ini, maka tak kalah pentingnya pandangan orang-orang Madinah kala itu. Karena Madinah, adalah kota tempat tinggalnya Nabi saww dimana orang-orangnya, sudah pasti lebih tahu tentang perbuatan beliau saww. Nah,karena imam Maalik juga mengambil dari sebelum-sebelumnya dari orang-orang Madinah, maka jelas pandangan penduduk Madinah adalah tidak bersedekap dalam shalat.

Allaamah al-Fudhail berkata:


“Perkataan Maalik itu (“aku tidak mengetahuinya”) memiliki arti bahwa tidak ada orang Madinah yang mengetahuinya –sedekap. Karena itu, orang madzhab Maaliki, semuanya tidak ada yang melakukan sedekap dalam shalat sampai hari ini. Dan para ahli fikih Maalikiyyah dalam kitab-kitab mereka, berkata: “Sesungguhnya meluruskan tangan dalam shalat itu, adalah ijma’/kesepakatan semua orang Madinah”. (al-Risaalataan, 9-10).

5- Riwayat shalat yang paling terkenal di Sunni, adalah hadits berikut ini dimana tidak menyebutkan adanya sedekap dalam shalat. Hadits ini, sangat penting. Karena perawinya yang juga shahabat (Abu Humaid al-Saa’idii) semacam sedang dites oleh 10 shahabat yang lain. Dalam riwayat ini, sama sekali tidak menyebut sedekap. Karena itu, sedekap itu, memang tidak pernah diketahui shahabat-shahabat Nabi saww.

  1. مارويعنأبي ُحَمْيٍدالّساِعِدّيفقد ُسِمع -وهوفي َعْشَرةمنأصحابالنبيصلىاللهعليهوآلهوسلم، منهم أبي قتادة الأنصاري،  ( وأبي هريرة، وأبي أسيد، وسهل بن سعد) -يقول :أنا أعلمكم بصلاة رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم.
    قالوا :لم ؟ فالله ماكنت أقدمنا له صحبةً ولا أكثرنا له إتياناً.قال :بلى، قالوا :فاْعِرض .
    فقال :كان رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم إذا قام إلى الصلاة اعتدل قائماً ورفع يديه حتى يحاذي بهما منكبيه، فإذا أراد أن يركع رفع يديه حتى يحاذي بهما منكبيه، ثم قال :الله أكبر، وركع، ثم اعتدل، فلم  
    يصوب رأسه ولم يقنع، ووضع يديه على ركبتيه ( وفرج بين أصابعه ثم هصر ظهره 
    ثم قال :سمع الله لمن حمده، ورفع يديه واعتدل، حتى يرجع كل عظم في موضعه معتدلاً، ثم أهوى إلى الأرض ساجداً، ثم قال :الله أكبر، ثم جافى عضديه عن إبطه، وفتح أصابع رجليه، )وأمكن أنفه وجبهته وأمكن الأرض بكفيه وركبتيه وصدور قدميه( ثم ثنى رجله اليسرى وقعد عليها، ثم اعتدل حتى يرجعكل عظم
في موضعه معتدلاً، ثم أهوى ساجداً،
ثمقال:اللهأكبر،ثمثنىرجلهوقعدواعتدلحتىيرجعكلعظمفيموضعه،ثمنهض .ثمصنعفيالركعة الثانية مثل ذلك، حتى إذا قام من السجدتينكبر ورفع يديه، حتى يحاذي بهما منكبيه،كما صنع حين افتتح الصلاة،ثمصنعكذلكحتىكانتالركعةالتيتنقضيفيهاصلاتهأّخررجلهاليسرىوقعدعلىشقهمتوركاً، ) فافترش رجله اليسرى وأقبل بصدر اليمنى على قبلته ووضعكفه اليمنى على ركبته اليمنى وكفه اليسرى على
 ركبته اليسرى وأشار بأصبعه(، ثم سلم 

Abu Humaid al-Saa’idii ketika berada di hadapan 10 orang shahabat yang diantaranya Abu Qutaadah al-Anshaari (dan Abu Hurairah, Abu Asiid dan Sahlbin Sa’d) berkata: “Aku lebih tahu dari kalian tentang shalat Rasul saww.”

Mereka berkata: “Mengapa bisa begitu? Demi Allah kamu tidak lebih lama dari kami menjadi shahabat beliau saww dan tidak lebih banyak dari kami dalam mendatangi beliau saww.

Ia menjawab: “Benar”.

Mereka berkata: “Kalau begitu, paparkanlah!” Ia berkata:

“Ketika Rasulullah saww berdiri mendirikan shalat, beliau saww berdiri dengan tegap/lurus dan mengangkat kedua tangannya hingga sama rata dengan kedua bahu beliau saww. Kalau ingin melakukan rukuk, beliau saww mengangkat kedua tangan beliau saww sampai rata dengan kedua bahu beliau saww sambil mengucap ‘Allaahu Akbar’, lalu rukuk. Setelah itu beliau saww berdiri lurus lagi (I’tadala) tanpa merendahkan kepala beliau saww dan tidak menghinakannya. Lalu beliau saww meletakkan kedua tangannya di atas kedua lutut beliau saww (dan beliau saww membuka jemari-jemari beliausaww dan membungkukkan punggung beliau saww).

Kemudian beliau mengucapkan, ‘Sami’allaahu Liman Hamidahu’ sambil mengangkat kedua tangan beliau saww dan berdiri tegak hingga semua tulang-tulang beliau saww kembali ke posisinya seperti semula. Lalu beliau saww menjatuhkan ke tanah bersujud sambil mengucap ‘Allaahu Akbar’. Beliau saww menjauhkan kedua lengan bagian atas beliau saww dan ketiak beliau saww dan membuka jemari kedua kaki beliau saww (dan menyentuhkan hidung, dahi, kedua telapak tangan, kedua lutut beliau dan ujung kaki beliau saww ke atas tanah). Kemudian beliau saww melipat kaki kirinya dan duduk di atasnya dengan tegap hingga semua tulang pada posisinya, lalu melakukan sujud sambil mengucap ‘Allaahu Akbar’. Kemudian beliau saww melipat kaki kiri beliau saww dan duduk di atasnya dengan tegak hingga semua tulang kembali ke posisinya sebelum kemudian bangkit.

Kemudian beliau saww melakukan hal yang sama pada rakaat ke dua. Ketika beliau saww bangkit dari kedua sujud beliau saww, mengucap takbir sambil mengangkat kedua tangan beliau saww hingga rata dengan kedua bahu beliau saww seperti waktu memulai shalat. Begitu seterusnya hinggaketika sampai akhir shalat, beliau saww mengakhirkan kaki kiri beliau saww dan duduk menyamping dengan meletakkan kedua tangan beliau saww diatas kedua pangkal paha beliau saww (beliau saww menghamparkan kaki kiri beliau saww dan menghadapkan dengan dada beliau saww yang bagian kanan ke arah kiblat dan meletakkan tapak tangan kanan beliau saww ke atas lutut kanan beliau saww dan tangan kiri beliau saww ke atas lutut kiri beliau saww sambil menunjuk dengan jari telunjuk beliau saww) kemudian mengucap salam.”

(Riwayat ini diriwayatkan di: Turmudzi, 2/105, no. 304. Sedang yang dilengkapi dengan tulisan di dalam kurung, adalah riwayat yang diriwayatkan oleh: Shahih Bukhari, 2/11; Abu Daud, 1, no. 730-734; Nasai, 2/211; Ibnu Maajah, 1/337; Ibnu Khaziimah, 1, no. 587, 651 dan 700; Musnad Ahmad bin Hanbal, 5/424; Ibnu Habbaan, 5, no. 1866, 1867, 1869, 1870, 1871 dan 1876; Ibnu Abi Syaibah, 1/235; Sunan Baihaqi, 2/116).

Catatan Kecil:

a- Hadits ini dishahihkan oleh banyak ulama Sunni kecuali satu orang yang bernama Ibnu Hazm (al Muhallaa, 3/30) yang, sudah tentu ditentang oleh ulama-ulama Ahlussunnah yang lain.

b- Abu Humaid ini sedang menjelaskan penglihatannya tentang shalat Nabi saww kepada 10 shahabat yang lain yang sedang mengetesnya dimana sudah pasti kalau ada kekurangan, akan segera ditegurnya. Akan tetapi, mereka tidak menyalahkannya sama sekali sementara dalam penjelasannya itu, sama sekali tidak menyebut tentang sedekap. Karena itu, dapat diyakini bahwa Nabi saww tidak bersedekap ketika melakukan shalat.

Semoga tulisan pendek ini, dapat memberikan manfaat (amin) walau, topiknya tidak terlalu urgen/darurat/penting karena dari awal, yang melakukan sedekap, tidak menganggapnya sebagai kewajiban kecuali dari golongan orang awam agama, yaitu orang-orang yang tidak mengerti banyak tentang agama dan tidak mempelajarinya secara spesifik.

Yang jelas, tulisan ini masih memiliki banyak kekurangan dan terlalu ringkas bagi pelajar agama. Tapi ia sudah cukup rinci dan bahkan bertele-tele dan bisa membosankan bagi orang umum. Semoga kekurangannya diampuni Allah dan dimaklumi serta dimaafkan antum semua, amin.

Tulisan ini telah ditulis sejak lama, tapi karena selalu melayani pertanyaan keseharian di dinding dan inbox, akhirnya menjadi terlantar. Karena itu, bagi yang merasa lama menunggu janji saya tempo hari tentang penjelasan sedekap ini, saya mohon maaf dan keridhaannya.

Dengan tidak membuka fb sama sekali di tanggal 27-10-2013, akhirnya penyelesaian akhir dari tulisan ini, dapat terselesaikan. Sudah tentu, tanpa ijin takwiniNya (pewujudan), tidak mungkin tulisan pendek ini selesai. Semoga saja Ia, sudi memberikan ijin tasyri’iNya terhadap tulisan yang tidak seberapa ini, hingga dapat menjadi pencerah bagi pencari pencerahan dan membuahkan keberkahan dunia dan akhirat kelak bagi alfakir sendiri dan bagi semua teman-teman budiman sekalian, amin.

Wassalam.


Artikel sebelumnya:
================


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Minggu, 14 Oktober 2018

Siapa dan Mengapa Ummu Kultsuum Istri Umar bin Khaththaab ?!




Seri tanya jawab Muhammad Dudi Hari Saputra dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Thursday, May 10, 2012 at 12:19 am



Muhammad Dudi Hari Saputra: Salam ustadz,,, Apa kabar ustadz?? Semoga sehat selalu.. ^_^

Ustadz,, pertanyaan filsafat saya belum dibalas,,hhe dan mohon bantuannya teman-teman apakah ada yang menyimpan arsip mngenai pernikahan Umar bin Khattab dengan Umi Kalsum (putri Imam Ali).. mohon bantuannya.. syukron ya afwan.,.. 


Hamidah Nurjamilah Adiwijaya: “Ummu kulthum yang di nikahi Umar bin khattab meninggal sebelum tahun 50 hijriyah, hasan bin Ali As, Abdullah bin Umar dan Sa’ad bin Abi Waqash diminta Umar untuk menyolatinya. 




Sejarah mencatat bahwa ummu kulthum binta Ali As ikut dalam rombongan karbala dan menjadi saksi pembantaian Putra Suci As Syahidu Syabab As pada tahun 61 hijriyah.

Dan juga sejarah mencatat bahwa setelah peristiwa duka tersebut Ummu kulthum binta Ali As menikah dengan Abdullah bin Jafar At thayyar.”. 



SIAPA AJA ISTRI UMAR (yang tercatat di Kitab al-Faruq) 


Umar Khottob mempunyai 7 orang istri, yang pertama bernama zainab saudari dari uthman bin mazun

Istri yang ke dua bernama qariba putri dari Ibn Umait al makzami dan saudara dari Ummul mukminin ummu Salamah ra. Qariba bercerai dari Umar pada tahun 6 sebelum masehi setelah perjanjian hudabiyah

Istri ketiga bernama malaika anak dari Jarul al khuzai yang juga dipanggil Ummu kulthum, karena ia menolak islam maka malaika (ummu kulthum binta jarul) ini pun di ceraikan pada tahun yang sama (tahun 6 sebelum masehi).

Istri yang ke empat bernama Jamila anak dari Asim bin Thabit. Nama asli jamila adalah Asya yang kemudian oleh Rasul Saww diganti rasul Saww menjadi Jamila saat ia di dalam ISLAM.

Istrinya yang lain adalah ummu Hakim anak dari Al harith bin hisyam al makhzumi dan lainnya adalah Fukhia yamania dan Atika putri dari Zaid bin Amr bin naf

Muhammad Dudi Hari Saputra: Jadi Ummu Kulthum yang di maksud sebagai isteri Umar bukanlah Ummu Kulthum binti Ali tetapi adalah Ummu Kulthum binti Jarul..?

Syukron..

Hamidah Nurjamilah Adiwijaya: Iya, smoga ustadz bisa memberikan penjelasan lebih baik.

Sang Pecinta: Salam, Penjelasan” umi kulstum putri Imam Ali menikah dengann Umar bin khatab? Oleh Ustad Sinar Agama,

http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/243413822370088/

Berlangganan Catatan-catatan Sinar Agama: Sang Pecinta: terkait dengan Imam Ali dan Umar... http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/236093706435433/

Berlangganan Catatan-catatan Sinar Agama


Sinar Agama: Salam dan terimakasih atas tagihan dan pertanyaannya. Karena menjawab perta- nyaan ini agak panjang, harap sabar. Mungkin nanti malam kalau tidak ada pertanyaan masuk.

Sang Pecinta: @Ustadz: jawaban tentang Umi Kultsum sudah saya tukilkan di atas ustadz, afwan..

Muhammad Dudi Hari Saputra: Terima kasih sebesar-besarnya untuk ustadz Sinar Agama dan Sang Pencinta dan juga teman-teman yang lain,, semoga bisa berkumpul bersama kalian di saat ma’ad kelak,, ^_^

Sinar Agama: Hdh Ummu Kultsuum as (hdh Zainab as): 
Bismillaah:

(1). Masalah Ummu Kultsum ini terjadi perbedaan pendapat baik di sunni atau di syi’ah.

(2). Di Syi’ah sendiri, ada tiga pendapat:

a. Mengingkari keberadaannya sebagai putri imam Ali as dan hdh Faathimah as.

b. Tidak mengingkari keberadaannya akan tetapi mengingkari perkawinannya dengan Umar bin Khaththab. Kelompok ini seperti Syaikh Mufiid ra dalam kitabnya al-Masaailu al-‘Ubkariyyah dan Sayyid Naashir Husain al-Hindii dalam kitabnya, Ifhaamu al-A’daa’ wa al-Khushuum.

c. Tidak mengingkari keberadaan dan perkawinannya dengan Umar akan tetapi dalam keadaan terpaksa. Kelompok ke tiga ini seperti Sayyid Murtadhaa dalam kitabnya, Tan- ziihu al-Anbiyaa’, dan seperti riwayat-riwayat yang ada di al-Kaafii-nya al-Kulaini ra.

(3). Dari ketiga pandangan itu, yang paling kuat, sebagaimana akan dijelaskan kemudian, adalah pandangan yang pertama, yaitu yang mengatakan tidak adanya putri imam Ali as dan hdh Faathimah as yang bernama Ummu Kultsuum.

(4). Dalil-dalil pandangan pertama:

a. Sebenarnya, siapapun yang menuliskan bahwa anak-anak imam Ali as dengan hdh Faathimah as itu 5 orang, imam Hasan as, imam Husain as, Muhsin (yang gugur dari kandungan dalam penyerbuan Abu Bakar dan Umar), hdh Zainab ra dan Ummu Kul- tsuum, hanya menyimpulkan dari riwayat-riwayat yang ada. Artinya, riwayat-riwayat itu tidak pernah menyebut dua nama terakhir itu dalam satu periwayatan. Karena itu, dapat dipahami bahwa hdh Zainab ra dan Ummu Kultsuum itu sebenarnya satu orang. Hdh Zainab ra adalah namanya dan Ummu Kultsuum adalah julukannya yang, memang diberikan oleh Nabi saww.

b. Ibnu Bathuuthah (w 779 H), dalam kitabnya, Rihlatu Ibnu Bathuthah, 1/113, cetakan Muassasah al-Risaalah, Bairuut, th 1405 H Q, menuliskan: 



وبقرية قبلي البلد وعلى فرصخ منها مشهد أم كلثوم بنت علي بن أبي طالب من فاطمة عليهم السالم

ويقال أن اسمها زينب وكناها النبي صلى اهلل عليه وسلم أم كلثوم 



“Dan menjelang kota, sekitar satu farsyakh (5,6 km) sebelumnya, terdapat makam Ummu Kultsuum bintu Ali bin Abii Thaalib (as) dengan Faathimah (as) dan dikatakan bahwa namanya adalah Zainab yang dijuluki Nabi saww dengan Ummu Kultsuum.”

c. Di kitab Taariikh Damasyq, 2/309, juga dikatakan bahwa dia itu (yang dikubur di makam tersebut), adalah Ummu Kultsuum. Akan tetapi mengatakan bahwa penulis tidak tahu putri imam Ali yang mana. Karena Ummu Kultsuum yang putrinya imam Ali yang dikawin Umar, meninggal di Madinah.

d. Shahih Bukhari, 5/1963, meriwayatkan: 




وَجَمَعَ عبد اللَّهِ بن جَعْفَرٍ بين ابْنَةِ عَلِيٍّ وَامْرَأَةِ عَلِيٍّ



“Dan Abdullah Bin Ja’far telah mengawini keduanya dari putri Ali dan Janda Ali.”

Dalam syarah hadits ini, ulama Sunni mengatakan bahwa putri imam Ali as yang dimaksud- kan itu adalah Zainab, sementara jandanya adalah Lailaa bintu Mas’uud (Mukaddimatu Fathu al-Baarii, 1/321).

Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa putri yang dimaksud itu adalah Ummu Kultsuum (Sunanu al-Baihaqii al-Kubraa, 7/167).

Ulama sunni, supaya terlepas dari masalah bertentangannya dua riwayat ini, memberikan jalan keluar. Bahwa kedua-dua putri tersebut, yaitu Zainab dan Ummu Kultsuum, sama- sama dikawin oleh Abdullah bin Ja’far, akan tetapi dalam waktu yang berlainan (Fathu al-Baarii, 9/155).

Padahal riwayat-riwayat sunni meriwayatkan bahwa Ummu Kultsuum ikut menyolati kedua saudaranya (imam Hasan as dan imam Husain as) ketika keduanya syahid. Begitu pula diriwayatkan di sunni dan syi’ah bahwa hdh Zainab as dikawin Abdullah bin Ja’far di jaman hidupnya imam Ali as sampai wafatnya –hdh Zainab- setelah kesyahidan imam Husain as.

Karena itu, apakah maksud Ibnu Hajar, yang mengatakan bahwa Zainab dan Ummu Kultsuum dikawini Abdullah bin Ja’far di dua jaman yang berlainan, adalah mentalak hdh Zainab langsung setelah syahidnya imam Ali as, lalu setelah itu langsung mengawini Ummu Kultsuum, lalu setelah itu kawin lagi dengan hdh Zainab as setelah wafatnya Ummu Kultsuum? Bukankah mereka telah sepakat bahwa hdh Zainab menjadi istri Abdullah bin Ja’far sejak imam Ali as masih hidup sampai akhir hayatnya setelah syahidnya imam Husain as??!!!

e. Di sejarah imam Ali as, semua mengatakan bahwa di malam syahidnya imam Ali as, berbuka di rumah Abdullah bin Ja’far suami hdh Zainab as. Dan di riwayat yang lain dikatakan di berada di rumah Ummu Kultsuum.

Kesimpulan semua dalil terdahulu: 


1. Dengan semua dalil-dalil di atas itu, tidak bisa tidak, dapat diyakini bahwa hdh Zainab as dan Ummu Kultsuum adalah satu orang adanya, bukan dua orang.

2. Dari satu sisi, kita tahu bahwa Umar sama sekali tidak pernah kawin dengan hdh Zainab as.

3. Karena itu maka riwayat yang mengatakan bahwa Umar mengawini Ummu Kult- suum bintu imam Ali as itu adalah tidak benar. Jadi, Umar sebenarnya kawin dengan Ummu Kultsuum yang lain, sebagaimana nanti akan dibuktikan.

f. Siapa Ummu Kultsuum ini sebenarnya?

Di dalam riwayat-riwayat, sebenarnya tidak ada yang mengatakan bahwa Ummu Kul- tsuum ini adalah putri imam Ali as dengan hdh Faathimah as. Yang ada hanya mengatakan bahwa Ummu Kultsuum yang ada di rumah imam Ali as-lah yang dikawini Umar. Bisa saja Ummu Kultsuum ini memang ada, akan tetapi merupakan putri imam Ali as dengan istri- istri yang lain. 

Karena itu poin berikut ini baik diketahui: 


f-1- Ulama-ulama sunni, tentang Zaid bin Umar bin Khaththab, mengatakan bahwa Zaid adalah putra Umar dengan Ummu Kultsuum bintu Jarwal/Jaruul yang sewaktu Umar masuk Islam, ia tidak mau masuk islam hingga ditalak oleh Umar.

Dikatakan di Taariikh Madinati Damasyq, 38/58, bahwa Umar memiliki anak ber- nama Zaid al-Ashghar (kecil) dan ‘Ubaidillah yang keduanya terbunuh di perang Shiffiin ketika bersama Mu’awiyyah memerangi imam Ali as.

Sebagian sunni berusaha menakwil-nakwil dan mengatakan bahwa Zaid Al-Ashghar memang anak Umar bersama Ummu Kultsuum bintu Jarwal/Jaruul akan tetapi Zaid yang lain adalah putra Umar bersama Ummu Kultsuum bintu imam Ali as.

Akan tetapi takwilan ini jelas diada-adakan, karena Zaid yang pertama disebut dengan al-Ashghar, yakni lebih kecil. Lalu bagaimana ia menjadi lebih kecil dari Zaid yang lahir dari perkawinan Umar dengan Ummu Kultsuum bintu imam Ali as yang dikawininya di masa khilafahnya –Umar???!!! Bagaimana mungkin anak yang lahir di jaman Jahiliyyah lebih kecil dibanding dengan anak yang lahir dari istrinya yang dikawin di masa ia menjadi khalifah?

f-2- Ulama besar pensyarah shahih Muslim yang bernama Nawawi, dalam kitabnya Tahdziibu al-Asmaa’, 2/1224, mengatakan bahwa ‘Aisyah memiliki dua saudari yang bernama Asmaa’ dan Ummu Kultsuum yang dikawin oleh Umar bin Khaththaab. 

4221 - أختا عائشة: اللتان أرادهما أبو بكر الصديق ، رضى اهلل عنه ، بقوله لعائشة : إنما هما أخواك وأختاك ، قالت : هذان أخواى ، فمن أختاى ؟ فقال : ذو بطن بنت خارجة ، فإنى أظنها جارية . ذكر هذه القصة فى باب الهبة من المهذب ، وقد تقدم بيانهما فى أسماء الرجال فى النوع الرابع فى األخوة ، وهاتان األختان هما أسماء بنت أبى بكر ، وأمكلثوم ، وهى التىكانت 
حمالً ، وقد تقدم هناك إيضاح القصة ، وأمكلثوم هذه تزوجها عمر بن الخطاب، رضى اهلل عنه . 

f-3- Masih ada lagi cerita-cerita buatan yang berkeinginan memaksakan perkawinan Umar dengan Ummu Kultsuum bintu imam Ali as. Yaitu yang bermula bahwa Umar meminang Ummu Kultsuum bintu Abu Bakar. Tapi ‘Aisyah menolaknya karena Umar terkenal kasar pada wanita. Akan tetapi ‘Aisyah berkata bahwa ia akan memilihkan perempuan lain yang juga bernama Ummu Kultsuum dari putra imam Ali as dan hdh Faathimah as (al-Kaamil fii al-Taariikh, 3/54-55; Taariikh Thabari, 3/270).

Sebegitu memaksanya permainan politik di jaman itu hingga tetap saja ingin menggandengkan Umar dengan Imam Ali as untuk menutupi kudeta kekhalifaan hingga sebegitu memaksakannya hingga apa-apa yang tidak mungkin dilakukan ‘Aisyah sendiri, dipaksakannya juga, yaitu dia sendiri tidak ingin dicelakai Umar tapi mencelakakan keluarga Rasul saww yang bernama Ahlulbait as yang ia sendiri menyaksikan di shahih Muslim dan lain-lain-nya bahwa mereka (imam Ali as, hdh Faathimah as, imam Hasan as dan imam Husain as) adalah yang diumumkan kemakshumannya oleh Tuhan di Qur'an di ayat Tathhiir.

Dengan penjelasan-penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Ummu Kultsuum yang ada di rumah imam Ali as itu adalah putri dari Abu Bakar, bukan putri imam Ali as. Jadi ada dua Ummu Kultsuum sesuai dengan riwayat-riwayat sunni di atas, yang pertama adalah putri Jarwal/Jaruul yang memiliki anak benama Zaid dan lain-lain- nya dan yang ke dua putri dari Abu Bakar.

Mungkin ada yang bertanya, mengapa Ummu Kultsuum ini ada di rumah imam Ali as? Jawabnya adalah, karena setelah Abu Bakar meninggal, sebagian dari istri-istri Abu Bakar dikawin oleh imam Ali as. Karena itulah maka sebagian anak Abu Bakar juga menjadi anak Imam Ali as seperti Muhammad bin Abu Bakar yang besar di rumah imam Ali as. Salah satu dari anak-anak itu adalah Ummu Kultsuum putri Abu Bakar ini.

Jadi, para pemamrih dalam perawian sejarah ingin menyalahgunakan kesamaan nama Ummu Kultsuum itu. Artinya, keberadaan Ummu Kultsuum di rumah imam Ali as, walau ia adalah anak Abu Bakar, tetap saja ingin dijadikan Ummu Kultsuum yang menjadi istri Ummar. Padahal mereka tahu bahwa Ummu Kultsuum yang menjadi istri Umar itu adalah putri Jarwal/Jaruul

f-4- Pertama kali orang membawa cerita tentang kawinnya Umar dengan Ummu Kult- suum bintu imam Ali as adalah Ibnu Sa’ad (w 230 H): 

أمكلثوم بنت علي بن أبي طالب بن عبد المطلب بن هاشم بن عبد مناف بن قصي وأمها فاطمة بنت رسول اهلل وأمها خديجة بنت خويلد بن أسد بن عبد العزى بن قصي تزوجها عمر بن الخطاب وهي جارية لم تبلغ فلم تزل عنده إلى أن قتل ولدت له زيد بن عمر ورقية بنت عمر ثم خلف على أمكلثوم بعد عمر عون بن جعفر بن أبي طالب بن عبد المطلب فتوفي عنها ثم خلف عليها أخوه محمد بن جعفر بن أبي طالب بن عبد المطلب فتوفي عنها فخلف عليها أخوه عبد 
اهلل بن جعفر بن أبي طالب بعد أختها زينب بنت علي بن أبي طالب . 

الطبقات الكبرى، محمد بن سعد، ج 8، ص 264 - .364 

“Ummu Kultsuum bintu Ali bin Abii Thaalib bin Abdu al-Muththallib....dan ibunya Faathimah bintu Rasul saww dari istri beliau saww yang benama Khadiijah as bintu....., yang –Ummu Kultsuum- dikawin oleh Umar bin Khaththaab yang waktu itu belum baligh. Ia menjadi istri Umar sampai Umar terbunuh, dan ia memiliki anak dari Umar itu yang bernama Zaid bin Umar dan Ruqayyah bintu Umar. Kemudian setelah itu ia kawin dengan ‘Aun bin Ja’far bin Abii Thaalib... yang kemudian meninggal setelah itu. Lalu ia kawin lagi dengan saudara ‘Aun yang bernama Muhammad bin Ja’far bin Abi Thaalib yang kemudian meninggal juga. Lalu setelah itu ia kawin dengan Abdullah bin Ja’far bin Abi Thaalib setelah cerai dengan saudarinya Zainab.”

Bayangin, sebegitu berusahanya sejarah fiktif ini ingin menghubungkan Umar dengan imam Ali as. Syukurlah karena Tuhan tidak membiarkan orang-orang seperti ini, baik sengaja atau tidak. Karena itulah ahli sejarah inipun, telah melupakan sejarah yang nyata. Di dalam riwayat ini dikatakan bahwa Ummu Kultsuum kawin dengan ‘Aun dan Muhammad dan yang lainnya setelah maninggalnya Umar. Sementara sejarah bersepakat bahwa ‘Aun dan Muhammad ini meninggal di peperangan Syuster (Suster) tahun 16 atau 17 Hijriah di jaman khalifah Umar itu sendiri.

Ibnu Hajar di kitabnya al-Ishaabah, 4/619, menulis:

“Abu Umar berkata: ‘ ‘Aun bin Ja’far syahid di peperangan Suster di jaman khalifah Umar dan ia tidak meninggalkan anak.’.”

Ibnu ‘Abdu al-Bir dalam kitabnya al-Istii’aab, 3/1247, berkata:

“.....’Aun bin Ja’far dan saudaranya Muhammad bin Ja’far, syahid di perang Suster dan keduanya tidak meninggalkan anak.”

Dengan semua penjealan ini, lalu bagaimana mungkin Ummu Kultsuum kawin dengan orang yang telah meninggal sebelumnya, yakni di masa ia masih di rumah suaminya yang sekarang, yaitu Umar??!! Atau bagaimana mungkin Abdullah bin Ja’far mengawini dua orang yang bersaudari sekaligus? Karena sejarah mengatakan bahwa hdh Zainab as menjadi istri Abdullah bin Ja’far sampai meninggalnya dan, itupun setelah tragedi Karbala di tahun 65 H???!!!

g. Pemaksaan perkawinan ini, jelas menabrak semuanya, termasuk perbedaan umur. Baya- ngin Umar yang sudah berumur 57 tahun mengawini Ummu Kultsuum yang berumur 7 tahun. Tentu saja, kalau mau dipaksakan bahwa Ummu Kultsuum yang ada di rumah imam Ali yang dikawini Umar.

Hal itu karena Ummu Kultsuum lahir di akhir-akhir masa kenabian Nabi saww, sementara pinangan Umar di tahun ke 17 H sebagaimana dikatakan oleh: Ya’quubi dalam kitab Taariikhnya, Ibnu Sa’ad dalam kitabnya, Thabaqaatu al-Kubraa, 8/462-463 yang mengatakan “Umar mengawini Ummu Kultsuum yang masih berupa anak-anak yang belum baligh”

Ibnu Sa’ad ini juga menulis di kitab tersebut, 8/464: 

لما خطب عمر بن الخطاب إلى علي ابنته أم كلثوم قال يا أمير المؤمنين إنها صبية 

“Ketika Umar meminang anaknya Ali yang bernama Ummu Kultsuum, Ali berkata: ‘Wahai amirulmukminin, sesungguhnya ia masih anak-anak yang belum baligh.”

Sementara itu ketika Umar terbunuh di tahun ke 23 H, ia berumur 63 tahun. Jadi, waktu di tahun 17 H itu meminang Ummu Kultsuum, berarti usianya adalah 57 tahun. Nah, apakah mereka-mereka para pembuat sejarah itu begitu pentingnya menghubungkan Umar dengan Imam Ali as hingga menyepelekan Umar dengan mengatakan bahwa Umar mengawini anak umur 7 tahun sementara ia sendiri berumur 57 tahun?

Memang, mereka mengharap umat melupakan tahun dan umur, karena menutupi kudeta itu adalah sangat penting dan menjadi nomor pertama bagi kelanggengan pandangan dan madzhabnya.

Bayangin saja, di atas dikatakan bahwa Umar terkenal sangat kasar pada wanita hingga ditolak ‘Aisyah tapi ia memilihkan putri imam Ali as, dimana riwayat ini telah memburukkan ‘Aisyah dan Umar sendiri dan, di sini dikatakan bahwa Umar yang 57 tahun tega mengawini anak yang berumur 7 tahun. Padahal Umar adalah penentang perkawinan yang beda umur seperti ini: 

اتقوا اهلل ولينكح الرجل لمته من النساء ، ولتنكح المرأة لمتها من الرجال يعني شبهها . 

“Bertaqwalah kalian kepada Allah, karena itu hendaknya para lelaki mengawini perempuan yang sama umurnya dan hendaklah para wanita kawin dengan lelaki yang sama umurnya (Taariikhu al-Madiinah, 2/769; Kanzu al-‘Ummaal, 15/716, hadits ke: 42857)

Apakah Umar melupakan ayat ini: 

أَ تَأُْمُرو َن النَّا َس بِالْبِّر َو تَن َسْو َن أَنُف َس ُك ْم َو أَنتُ ْم تـَتـْلُو َن الْ ِكتَا َب أَ فََال تـَْعِقلُون 

“Apakah kalian menyuruh orang-orang untuk berbuat baik sementara kalian sendiri melupakan diri kalian, padahal kalian membaca al-Kitaab, apakah kalian tidak berakal?”

Lah, anehnya lagi anaknya juga bernama Zaid. Karena itulah mereka memaksakan bahwa Zaid yang dari Ummu Kultsuum bintu Jarwal/Jaruul itu adalah ashghar (lebih kecil) dan yang dengan Ummu Kultsuum bintu Ali as adalah yang lebih besar. Lah, bagaimana mungkin anak yang lahir di jaman Jahiliyyah lebih kecil dari anak yang lahir setelah wafatnya Nabi saww?

Karena itulah, maka Ummu Kultsuum istri Umar itu hanya satu saja, yaitu bintu Jarwal/ Jaruul itu dan anaknya yang bernama Zaid juga hanya satu.

h. Umar sendiri mengatakan bahwa imam Ali as menganggapnya sebagai pembohong, lalu apakah mungkin imam Ali as mengawinkan putrinya dengan pembohong? Dalam kitab shahih Muslim, 5/152, di kitab Huduud diriwayatkan bahwa Umar berkata kepada imam Ali as dan Abbas: 


ثُمَّ توُُفِّيَ أَبُو بَكْرٍ وَأَنَا وَلِيُّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَوَلِيُّ أَبِي بَكْرٍ فَرَأَيْتُمَانِي كَاذِبًا آثِمًا غَادِرًا خَائِنًا


“Kemudian meninggallah Abu Bakar dan aku adalah wali Rasulullah saww dan wali dari Abu Bakar, akan tetapi kalian berdua melihat aku sebagai pendusta, pendosa, perusak dan pengkhianat.”

Dengan demikian, anggap memang ada yang namanya Ummu Kultsuum di rumah imam Ali as, walaupun anak Abu Bakar, atau anaknya sendiri, tapi apakah beliau as akan memberikan kepada orang yang disifatinya seperti di atas itu?

i. Dalam beberapa riwayat di syi’ah seperti di Ushuulu al-Kaafii, meriwayatkan seperti ini: 



محَمَّدُ بْنُ أَبِي عُمَيْرٍ عَنْ هِشَامِ بْنِ سَالِمٍ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ عليه السلام قَالَ لَمَّا خَطَبَ إِلَيْهِ قَالَ لَهُ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ إِنَّهَا صَبِيَّةٌ قَالَ فَلَقِيَ الْعَبَّاسَ فَقَالَ لَهُ مَا لِي أَ بِي بَأْسٌ قَالَ وَ مَا ذَاكَ قَالَ خَطَبْتُ إِلَى ابْنِ أَخِيكَ فَرَدَّنِي أَمَا وَ اللَّهِ لَُعَوِّرَنَّ زَمْزَمَ وَ لَ أَدَعُ لَكُمْ مَكْرُمَةً إِلَّ هَدَمْتهَُا وَ لَُقِيمَنَّ عَلَيْهِ شَاهِدَيْنِ بِأَنَّهُ سَرَقَ وَ لََقْطَعَنَّ يَمِينَهُ فَأَتَاهُ الْعَبَّاسُ فَأَخْبَرَهُ وَ سَأَلَهُ أَنْ يَجْعَلَ الَْمْرَ إِلَيْهِ فَجَعَلَهُ إِلَيْهِ



Muhammad bin Abii ‘Umair meriwayatkan dari Hisyaam bin Saalim dari Abii ‘Abdillah as yang berkata: “Ketika ia –Umar- meminang kepadanya –imam Ali as- imam Ali berkata kepadanya: ‘Ia –Ummu Kultsuum- masih anak-anak balita.’ Kemudian ia –Umar- bertemu dengan Abbas dan berkata: ‘Ada apa denganku, apakah aku ada celanya?’ Ia –Abbas- menjawab: ‘Ada apa gerangan?’ Ia –Umar- menjawab: ‘Aku meminang pada sepupumu –imam Ali as- tapi ia menolakku. Demi Allah akan kupenuhi zamzam (ditutup) dan akan kuhilangkan semua kehormatan kalian, serta akan kuangkat dua orang untuk bersaksi bahwa ia –Imam Ali as- mencuri hingga kupotong tangan kanannya.’ Lalu ia – Abbas- datang kepadanya –imam Ali as- dan mengabarkan tentang hal tersebut seraya meminta untuk menyerahkan urusan itu kepadanya –Umar. Lalu kemudian ia –imam Ali- menyerahkan kepadanya -Umar.” 

Keterangan hadits: 


i-1- Anggap riwayat ini benar adanya, tetap tidak menunjukkan bahwa Ummu Kultsuum yang dimaksud adalah putri imam Ali as dengan hdh Faathimah. Karena bisa saja putri Abu Bakar sebagaimana maklum atau dari istri-istri yang lain.

i-2- Orang sunni tidak akan menggunakan hadits-hadits syi’ah ini karena semuanya yang ada meriwayatkan tentang buruknya hubungan dari perkawinan tersebut, sementara saudara-saudara sunni ingin membuat hubungan baik antara keduanya dengan menjadikan Umar sebagai mantu imam Ali as.

i-3- Di riwayat-riwayat sunni sendiri, telah diriwayatkan tentang pemaksaan ini, seperti: i-3-1- Mu’jamu al-Kabiir, 3/45, karya Thabrani dan Majma’u al-Zawaa-id, 4/272, karya Haitsami, diriwayatkan:

“Ketika imam Ali as meminta pendapat ‘Aqiil, Abbas dan imam Hasan tentang masalah pinangan itu, ‘Aqiil menentang pendapat imam Ali as dan berkata bahwa kalau kamu menolaknya akan begini dan begitu. Lalu imam Ali as berkata: ‘Demi Allah, ia tidak memberi nasihat, akan tetapi ketakutannya kepada Umarlah yang membuatnya seperti itu.’.”

1-3-2- Ibnu Mas’uud dalam kitabnya al-Thabaqaatu al-Kubraa, 8/464, meriwayatkan:

“Ketika Ali menolak Umar dengan alasan bahwa Ummu Kultsuum masih anak balita, Umar berkata: ‘Demi Allah aku tahu bahwa engkau menolakku bukan karena itu, akan tetapi ada hal lainnya.’.”

i-3-3- Thabraanii dalam kitabnya Mu’jamu al-Kabiir, 3/45, dan Haitsamii dalam kitabnya, Makma’u al-Zawaa-id, juga meriwayatkan:

Ketika Umar mendengar bahwa ‘Aqiil menentang pendapat imam Ali as , Umar berkata: 



ويح عقيل ، سفيه أحمق 



“Dasar si ‘Aqiil itu memang seorang yang cacat pikiran dan bodoh..”.

i-3-4- Ahmad bin Abdullah al-Thabarii dalam kitabnya, Dzakhaa-iru al-‘Uqbaa, hal 167-168, meriwayatkan:

Ketika Umar meminang Ummu Kultsuum kepada Ali, ia berkata kepada Umar: “Sesungguhnya ia masih balita.” Lalu Umar menjawab: “Tidak demikian, akan tetapi demi Allah aku tahu bahwa kamu hanya ingin menolakku.”

Kesimpulan poin (i):


Dengan semua penjelasan di atas itu, kalaulah Ummu Kultsuum benar-benar ada dalam sejarah, sekalipun ia anak tiri imam Ali as atau anak sungguhan dari istri manapun, maka jelas tergambarkan bahwa Umar sebagai penguasa kala itu telah memaksa imam Ali as hingga membuat beliau as tidak berdaya.

Dengan demikian, lalu masih adakah sisa-sisa keinginan sebagian saudara- saudara sunni yang ingin mengatakan bahwa hubungan keduanya sangat dekat karena yang satu mertua dan yang lainnya menantu?

Bahkan jelas sebaliknya, dengan mengumpulkan semua data-data di riwayat- riwayat sunni dapat dipahami bahwa hubungan keduanya adalah berseteru sepanjang masa dan, kalaulah perkawinan itu terjadi, maka dengan sangat jelas sebagai pemaksaan dan penjajahan.

j. Kritikan Hadits Sunni.

Dalam hadits-hadits sunni banyak sekali perawian yang menunjukkan Umar memiliki istri dari keluarga Rasul saww, yakni Ummu Kultsuum. Misalnya seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam shahihnya, dalam Kitaabu al-Jihaadi wa al-Sairi, bab: 66, bab: Hamlu al-Nisaa’ al-Qiraba ilaa al-Naasi fi al-Ghazwi: 


حَدَّثَنَا عَبْدَانُ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ، أَخْبَرَنَا يُونُسُ، عَنِ ابْنِ شِهَاب [ زهري ]، قَالَ ثَعْلَبَةُ بْنُ أَبِي مَالِك إِنَّ 
عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رضى الله عنه قَسَمَ مُرُوطًا بَيْنَ نِسَاء مِنْ نِسَاءِ الْمَدِينَةِ، فَبَقِيَ مِرْطٌ جَيِّدٌ فَقَالَ لَهُ بَعْضُ 
مَنْ عِنْدَهُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ أَعْطِ هَذَا ابْنَةَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم الَّتِي عِنْدَك  
يُرِيدُونَ أُمَّ كُلْثُوم بِنْتَ عَلِيّ  فَقَالَ عُمَرُ أُمُّ سَلِيط أَحَقُّ  وَأُمُّ سَلِيط مِنْ نِسَاءِ الأَنْصَارِ، مِمَّنْ بَايَعَ رَسُولَ 
اللَّهِ صلى الله عليه وسلم  قَالَ عُمَرُ فَإِنَّهَا كَانَتْ تَزْفِرُ لَنَا الْقِرَبَ يَوْمَ أُحُد  قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ تَزْفِرُ تَخِيطُ



‘Abdaan meriwayatkan kepada kami, dari Abdullah dari Yuunus dari Ibnu Sihaab (Zuhri), berkata Tsa’labah bin Abi Maalik: “Umar bin Khaththaab membagi-bagi baju kepada wanita-wanita Madinah. Lalu tersisa satu baju yang bagus sekali. Satu orang yang ada di sisinya berkata kepadanya: “Wahai khalifah, berikan ia kepada putri Rasulullah saww yang ada di rumahmu.’ Maksudnya adalah Ummu Kultsuum bintu Ali. Berkata Umar: ‘Ummu Saliith lebih berhak.’ Dan Ummu Saliith dari wanita Anshaar yang berbaiat kepada Rasulullah saww. Umar berkata lagi: ‘Karena ia di perang Uhud menjahit Qirbah (tempat air dari kulit) yang robek.’

Dalam riwayat ini ada orang yang benama Syihaabuddin Zuhri. Ia termasuk orang- orangnya Bani Umayyah bagian pembuat hadits-hadits palsu sebagaimana ditulis oleh ulama sunni, seperti:

- Ibnu ‘Asaakir di kitabnya Taariikhu Madinati Damasyq, 42/228:

Diriwayatkan kepada kami oleh Ibnu Ibrahiim al-Ja’farii yang berkata: “Aku berada di sisi al-Zuhri dan mendengarkan perkataannya. Lalu ada perempuan tua yang mendekatinya dan berkata: ‘Wahai Ja’farii, jangan tulis apa-apa yang ia katakan. Karena ia cenderung kepada Bani Umayyah dan penerima hadiah-hadiahnya.’ Aku bertanya kepada al-Zuhri: ‘Siapa wanita ini?’ al-Zuhri menjawab: ‘Ia adalah saudariku yang tersesat.’ Ia menjawab: ‘Yang tersesat itu adalah kamu karena kamu telah menutup-nutupi keutamaan keluarga Muhammad.’.”

- Hakim pengarang kitab al-Mustadrak, menukil dari Ibnu Mu’iin yang berkata: “Paling bagusnya sanad adalah A’masy dari Ibraahiim dari ‘Aqamah dari Abdullah.” Seseorang yang ada di sekitarnya bertanya kepadanya: “Apakah A’masy seperti Zuhrii?” Ibnu Mu’iin menjawab:

“Amit-amit kalau A’masy seperti Zuhrii. Karena Zuhri mencari dunia, harta dan mencari hadiah-hadiah serta bekerja untuk Bani Umayyah. Sedang A’masy adalah orang yang miskin, sabar, menjauhi para pejabat, wara’ dan alim tentang Qur'an.”

- Dzahabi dalam kitabnya Sairu A’laami al-Nubalaa’, 5/337, berkata tentang Zuhrii:

“Zuhrii memiliki harta dan uang yang banyak sekali dan memiliki nama serta kehormatan di pemerintahan Bani Umayyah. Ketika Abdu al-Malik meninggal ia menempel pada anaknya, al-Waliid, kemudian menempel ke Sulaimaan, kemudian Umar bin Abdu al- Aziiz, kemudian Yaziid dimana pada jaman Yaziid ini ia menjabat sebagai Hakim Agama.”

- Hasan Segaaf, dalam kitabnya yang berjudul Tanaaqodhaatu al-Baani al-Waadhihaat (Kontradiksi Yang Terang Dari al-Baanii), 3/336, berkata:

“Zuhri adalah orang yang suka menyisipkan kata-katanya sendiri di hadits-hadits Nabi saww, dari pahamannya sendiri atau tafsirannya sendiri. Bukhari telah memperingati hal tersebut sebagaiman imam-imam hadits yang lain seperti Rabii’ah, syaikh dari imam Maalik......”

- Ibnu Hajar dalam kitabnya, Fathu al-Baarii, 2/23, berkata:

“.............. kata-kata itu kalau bukan tambahan dari kata-kata Bukhari, atau Anas atau Zuhri sebagaimana kebiasaannya.”

Banyak sekali ulama sunni yang mengatakan bahwa Zuhri ini memiliki kebiasaan menyi- sipkan kata-katanya sendiri di tengah-tengah kalimat hadits-hadits Nabi asww. Karena itu, maka kata-kata: “Yang mereka maksudkan adalah Ummu Kultsum bintu Ali.” Di dalam riwayat yang menceritakan bahwa Umar sedang membagi-bagi baju pada para wanita- wanita Madinah, adalah tambahan dari Zuhri ini.

- Ibnu Hajar al-‘Askalaani, dalam kitabnya, Ta’riifu Ahli al-Taqdiis Bi Maraatibi al-Maushuu- fiina Bi al-Tadliis, hal. 109, mengatakan bahwa Zuhri adalah orang peringkat ke tiga di dalam golongan tukang palsu hadits (tadliis). Dan maksud golonga ke tiga adalah: “Orang yang terlalu banyak menipu hadits, karena itu maka para imam-imam hadits tidak ada yang mengambil haditsnya kecuali yang dijelaskan bahwa hanya menukil yang didengar. 

Akan tetapi sebagian imam-imam hadits, menolak secara mutlak hadits-hadits mereka (penipu golongan tiga).

- Ibnu Abi al-Hadiid, dalam kitabnya Syarhu Nahji al-Balaaghah, 4/102, mengatakan bahwa Zuhri ini bermusuhan dengan imam Ali as.

Masih terlalu banyak ulama yang mencela Zuhri dan tidak mengambil hadits-haditsnya.

Kesimpulan:


1. Perkawinan Umar dengan Ummu Kultsuum bintu imam Ali as itu adalah dongeng yang dibuat di siang bolong. Baik tujuannya untuk menutupi kudeta Umar terhadap imam Ali as, yaitu dengan berusaha mendekatkannya dengan imam Ali as atau karena memang merupakan tangan-tangan Bani Umayyah yang mengafirkan dan melaknati imam Ali as di mimbar-mimbar Jum’at sampai 40 tahun lamanya.

2. Kalaulah Ummu Kultsuum itu ada, maka ia adalah hdh Zainab as itu sendiri karena Ummu Kultsuum julukan yang diberikan Nabi saww kepada beliau as. Kalaulah mau dipaksakan ada juga dan bukan hdh Zainab as, maka ia adalah putrid Abu Bakar atau putri imam Ali as dengan selain hdh Faathimah as. Siapapun dia, jelas bukan istri Umar. Karena Ummu Kultsuum yang istri Umar itu adalah putri Jarwal/Jaruul.

3. Dan kalaulah pula sebagian orang ingin memaksakan bahwa Umar kawin dengan Ummu Kultsuum ke dua (walau tidak ada sejarah yang berkata seperti ini, karena Ummu Kultsuum istri Umar hanya satu orang), maka tetap saja tidak akan bisa dijadikan sebagai bukti hubungan baik antara imam Ali as dan Umar. Karena riwayat-riwayat yang ada, walau sulit dishahihkan, tetap saja mengatakan bahwa perkawinan itu adalah dengan paksa dan ancaman.

Peringatan:


1. Pada tulisan-tulisan yang telah lalu, alfakir pernah menjelaskan ajaran Islam dan filsafat perkawinan Umar atau Utsman dengan keluarga Nabi saww atau imam Ali as. Semua itu, berdasarkan ajaran Islamnya atau filosofisnya dimana tidak mesti seseorang itu kawin dengan yang setingkat dalam ketaqwaan atau maqam-maqamnya, bukan dilihat dari pembahasan historisnya.

2. Dengan penjelasan-penjelasan ini, dan begitu pula dengan penjelasan mengenai sejarah hdh Khadiijah as, maka dapat dipahami bahwa dengan adanya berbagai bentuk sejarah, akan tetapi kita meyakini bahwa yang benar itu adalah yang menjelaskan tidak adanya hubungan Umar dengan imam Ali as atau Utsman dengan Nabi saw.

3. Jadi, pembahasan filosofis dan agamis tentang perkawinan Umar dan Utsman itu, adalah pembahasan yang terjadi pada obyek yang berupa anggapan. Yakni anggap bahwa per- kawinan itu memang benar-benar terjadi.

4. Dengan demikian maka rute pembahasannya menjadi jelas. Pertama, tidak benarnya per- kawinan-perkawinan tersebut. Ke dua, kalaulah benar pula, penjelasan agama Islamnya dan filosofisnya adalah seperti yang sudah ditulis sebelum-sebelumnya itu. 



Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ