Tampilkan postingan dengan label Tawassul. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tawassul. Tampilkan semua postingan

Minggu, 06 September 2020

Bertawassul Dengan Orang Shaleh Yang Telah Wafat


Oleh Ustadz Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/272651696112967/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 8 November 2011 pukul 16:03


Aep Fadhlurrahman: Ustadz, bagaimana hukumnya bertawassul dengan orang shalih yang sudah meninggal? Terimakasih sebelumnya Ustadz. Semoga Allah swt selalu mengkaruniai hikmah serta senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada Ustadz.

Kamis, 23 Agustus 2018

Doa, Ikhtiar, Tawassul, Syafaat dan Berkah



Seri tanya jawab: Bintang Ali dan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, June 21, 2011 at 12:49 pm 




Bintang Ali : Salam ustad, semoga ustadz diberi kelapangan dan ridhoNya beserta keluarga ustad.. Stad, apa relasinya antara ihktiyar dan doa? Apakah ikhtiyar seseorang bisa di dilancarkan/ digagalkan dengan doa? Apakah Ikhtiyar dan doa itu sejajar? Gimana menjelaskan ikhtiyar orang non muslim padahal dia tidak berdoa kepada Allah? Mohon penjelasannya stad.

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

(1). Saya sudah pernah merinci ini, tapi entah dimana. Sekali lagi kalau si Anggelia aktif, maka mungkin bisa ditanyakan ke dia. Tapi sayang dia sepertinya sudah tidak aktif lagi dan membuatku juga kehilangannya.

(2). Tidak ada yang sulit untuk mengerti doa dan ikhtiar. Karena doa itu bagian dari ihkhtiar itu sendiri.

(3). Pada prinsipnya kan kita sebagai orang Syi’ah tidak meyakini adanya takdir Tuhan yang bermakna penasiban manusia. Karena dalam Islam ajaran seperti itu tidak ada dan adanya hanya dalam agama-agama seperti Kristen, Yahudi atau Hindu. Karena itu, semua yang akan menyangkut manusia, yakni tentang seluk beluk kehidupannya, akan ditentukan oleh ikhtiarnya.

(4). Akan tetapi ikhtiar manusia ini, tidak mansidi hingga menjadi penentu satu-satunya terjadinya perbuatan manusia. Karena itu ada ikhtiar ke dua di balik ikhtiar pertama. Misalnya kita sudah tidur sebelum setir mobil supaya tidak tidur di mobil. Ini adalah ikhtiar pertama.

Tapi di tengah jalan ternyata kita tabrakan, karena sopir lain dalam ikhtiarnya tidak memilih tidur hingga ia menabrak kita. Nah, dalam peristiwa ini, ikhtiar pertama kita sudah benar, yaitu istirahat yang cukup. Tapi apakah tabrakan ini tidak menyangkut ikhtiar kita hingga kita kembalikan ia kepada ketentuan Tuhan? Tidak sama sekali. Karena kita ketika memilih menyetir mobil, sekalipun kita sudah tidur dengan cukup, tetap saja akal kita mengatakan bahwa tetap sangat mungkin terjadi tabrakan dengan sopir lain yang tidur dan menabrak kita. Akan tetapi kita terus saja memilih turun ke jalan dan menyetir mobil sambil berkata ”itu sudah resiko”. Nah, tetapnya kita turun ke jalan itulah yang disebut dengan ikhtiar ke dua. Yakni kita tidak ingin secara perasaaan untuk tabrakan, tapi karena tetap turun ke jalan, maka secara filosofis berarti kita menginginkannya yang, kemudian kita katakan resiko.

(5). Sebelum kuteruskan, barangkali perlu sekali antum merujuk ke catatanku yang berjudul “Pokok-pokok dan Ringkasan Ajaran Syi’ah.” bagian ke 2-a dan 2-b.

(6). Doa adalah bagian dari ikhtiar kita. Terutama kita dalam memilih masing-masing ikhtiar kita, diselimuti dengan jutaan ikhtiar orang lain (seperti sopir lain yang ketiduran itu) atau diselimuti jutaan hukum alam (seperti berlayar mencari ikan dengan pikiran tidak akan ada gelombang karena cerah). Nah, dalam masing-masing ikhtiar kita diselimuti dengan jutaan ikhtiar orang lain atau hukum-hukum alam. Karena itulah dikatakan bahwa manusia itu lemah dan tiada berdaya.

Dalam keadaan seperti itulah maka manusia berdoa kepada Allah, agar seandainya ikhti- arnya yang dikira baik itu ternyata tidak baik dan menjurus kepada kecelakaan, dapat dihindarkan olehNya. Dan apapaun yang akan dilakukan Tuhan, karena doa kita itu, maka ia bagian dari ikhtiar kita tsb. Tentu saja doa yang maqbul dan diterima. Misalnya, ketika sudah tidur cukup, lalu ketika keluar rumah berdoa kepada Allah untuk diselamatkan sampai tujuan, maka kalau doa kita itu qabul, bisa saja Tuhan memberikan sedikit energi kepada sopir yang akan ketiduran manakala ia akan salipan dengan kita di jalan itu. Atau Tuhan memberikannya ilham dan rasa takut hingga ia berhenti di pinggir jalan dan tidur sejenak. Atau membuat bayinya di rumahnya nangis-nangis terus hingga ia -calon sopir yang akan menabrak kita itu- tidak jadi keluar rumah dan menyetir dalam keadan mengantuk tsb. Jadi berbagai cara dan sejuta cara untuk mengadakan pencegahan.

Itulah mengapa orang shalih bisa mensyafaati orang lain, walau masih di dunia ini, walau tidak dimintanya. Seperti contoh di atas itu. Sopir ke dua yang nekad itu, menjadi selamat karena doa orang pertama terhadap dirinya sendiri. Tapi berkah doanya untuk dirinya itu bisa menyelimuti sopir ke dua tersebut.

Karena itu tidak heran manakala malaikat pencabut nyawa kebingungan dikala mau mencabut wali-wali Tuhan. Karena kalau tidak dicabut, tidak akan bertambah dekat dengan Tuhannya dan menunda pertemuannya. Tapi kalau dicabut, berkahnya akan hilang di dunia ini.

(7). Tentu saja tidak ada doa yang ditolak oleh Allah swt. Karena Dia sendiri sudah berjanji di dalam Qur'an untuk menerima doa kita dan Dia pasti akan memenuhi janjiNya. Dalam QS: 40: 60, Tuhan berfirman:

”Dan Tuhan kalian berkata: ’Mintalah kepadaku niscaya Aku pasti mengabulkannya!’”

Di sini Tuhan tidak memberikan syarat-syarat apapun untuk pengqabulan doa tersebut.

Akan tetapi karena pengqabulanNya, sesuai dengan sifat-sifatNya seperti Bijaksana, Kasih dan semacamanya, maka tidak mesti berupa apa yang kita minta kepadaNya. Misalnya kita minta mobil, tapi kalau Ia tahu mobil itu akan membuat kita celaka dunia-akhirat, maka bisa saja, sekali lagi, bisa saja, Dia tidak akan memberikannya. Tapi sudah tentu akan memberikan atau menggantikan dengan yang lainnya, seperti pahala, pangampunan dosa, sawah atau rumah dan semacamnya.

(8). Karena itu maka tawassul dan perbuatan-perbuatan baik lainnya, yang yang dianjurkan oleh agama untuk dilakukan sebelum berdoa demi membuat doa menjadi istijabah/diterima, adalah untuk mengistijabahkan yang didoakannya, bukan doa itu sendiri. Seperti minta mobil pada contoh di atas. Artinya, tawassul, shalawat, sedekah, wudhu, shalat sunnah, menangis ...dan seterusnya itu adalah mukaddimah doa hingga doanya diterima sesuai yang diminta (seperti mobil dalam contoh di atas) dengan tanpa adanya resiko dan efek-efek sampingannya.

Jadi, kalaulah kita banyak dosa dimana doa kita itu tidak mustajab dalam bentuk yang diminta dan digunakan oleh Tuhan untuk menghapus dosa kita sebagai pengabulanNya, maka dengan mukaddimah-mukaddimah doa tadi, dosa kita sudah terhapus hingga doa minta mobil itu tidak lagi ada halangannya. Atau kalau minta mobil itu memiliki resiko, maka mukaddimah-mukaddimah itu diharapkan bisa menghilangkan resikonya.

(9). Untuk orang-orang kafir, maka biasanya mereka akan lebih lancar dalam masalah-masalah dunianya. Karena pemberian-pemberian Tuhan itu dimaksudkan mengingatkannya akan kepapaan mereka. Artinya, mereka bukanlah orang yang dipilihkasih-i olehNya dalam pemberian. Hal itu karena memang kelas mereka di situ saja. Yakni bahwa Allah tidak menghambatirikan mereka dari kaum beriman. Jadi, mereka akan teruji dengan pemberian- pemberian itu dan tidak lebih. Dan bagi kafirin yang doanya dan hajat-hajatnya tidak terpenuhi, maka dimaksudkan supaya sadar akan kelemahannya dan mengimani yang Maha segala-galanya sebelum kemudian menaatiNya.

Akan tetapi muslimin, yakni telah menerimaNya, maka mereka berarti siap untuk diuji dengan ujian-ujian lainnya. Karena itu, maka muslimin bisa sangat lebih menderita dan menghadapi ujian yang bertubi-tubi. Tentu saja tidak semua musibah itu dariNya. Karena bisa saja dari kesalahan kita sendiri dalam memilih ikhtiar yang salah, seperti menyetir dalam keadaan ngantuk itu.

Nah, kalau ada musibah yang memang dari Tuhan, seperti banjir yang bukan karena sampah di sungai dan bukan karena penebangan hutan, dan lain-lain sabab yang bersumber dari tangan manusia, maka hal itu disebabkan karena Tuhan ingin menaikkan derajat kita. Persis seperti kelas di sekolah yang mana kalau kelas bawah ingin naik ke kelas atas harus menghadapi ujian terlebih dahulu.

Nah, muslimin itu adalah orang-orang yang mendaftar ke kelas-kelas itu dan mendaftar untuk diuji. Sementara orang-orang kafir ibarat orang yang tidak sekolah dan tidak mendaftar untuk diuji. Jadi sudah pasti ujian muslimin akan jauh lebih besar dari kafirin.

Jadi, seorang muslim yang ada sedikit iri dan cemburu dengan kekayaan kafir, biasanya disebabkan ketidak mengertiannya tentang hal ini. Sudah tentu kalau muslim dan kafirnya di sini sudah selevel. Artinya dalam kecerdasan, usaha dan ikhtiar-ikhtiarnya. Misalanya sama hebat dalam berbisnis dan menentukan moment serta menentukan partner. Tapi kalau muslimnya bahlol (maaf), ya .... karena memang keburukan ikhtiarnya yang malas belajar ilmu (bisnis misalnya) dan malas berusaha gigih. Jadi, dalam konsidi seperti ini, irinya dia itu benar tidak pada tempatnya. Tapi kalau sama-sama hebat, tapi yang muslim tidak berhasil tapi yang kafir berhasil, maka bisa saja karena ia telah mendaftar untuk menjadi murid yang akan diujiNya, dan, sudah tentu si muslim tadi sedang menumpuk pahala dan keberhasilan akhiratnya dalam tanpakan ketidak berhasilannya di dunianya.

Misalnya, ia tidak korupsi untuk cepat berhasil. Ia juga tidak menyoigok untuk berhasil. Ia tidak menipu orang dalm bisnis hingga tidak menjaul barang kecuali yang baik. Ia sangat cinta dengan hukum Tuhan walau ia akan mengalami ketidak berhasilan. Nah, di sini ia bisa tidak berhasil di dunia, tapi ia di Mata Tuhan, di dunia ini justru telah berhasil. Karena di MataNya, berhasil di dunia itu bukan kaya, tapi beramal sesuai dengan nilai-nilaiNya.

Penutup: Fiddun-ya hasanah (di dunia mendapat kebaikan), bukan berarti dapat harta, sehat badan, dan ketentraman. Akan tetapi menjalani hidup sesuai dengan kemauanNya yang telah dituangkan dalam syariatNya (akidah dan fikih). Wassalam.


Bintang Ali: Syukran stadz..sangat memuaskan,,hehe.

Bande Huseini: Syukron..telah menambah keyakinanku.

Maryam Bunda Isa Almasih: Iya Ustad, dengan memahami bahwa kita dalam posisi Di Uji, meringankan beban kita. Terima kasih Pencerahannya.

Aufa Opa: Maaf ustad.. Mau tanya tentang ayat yang mengisaratkan dan menunjukkan bahwa Allah telah merıdhoı sahabat (al-fath : 19) dımana jelas Allah berfırman bahwa DIA telah meredhoı mereka yang berbaiat ”tahtasy syajarah”... Dimana dalam ayat tersebut termasuk Abu Bakar, Umar dal lain-lain,, benarkah, atau bagaimana ??? Mohon penjelasannya ustad,,,

Sinar Agama: Aufa,:

(1). Bukan ayat itu yang biasa dijadikan dalil tentang keridhaan Tuhan pada shahabat, tapi surat Taubah ayat 100 yang berbunyi: ”Dan orang-orang terdahulu dari muhajrin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka Allah meridhai mereka dan mereka juga meridhaiNya. Dan Allah menjanjikan kepada mereka surga-surga yang mengalir sungai di bawahnya. Mereka kekal abadi di dalamnya. itulah kemenangan yang agung.”

(2). Sebagian muslimin dengan ayat tersebut, terus mengunci mati apapun yang bisa membuat para shahabat itu bisa celaka. Artinya, ayat tersebut sudah harga mati dan tidak bisa diganggu gugat. Yakni bahwa semua shahabat itu dan siapapun yang mengikuti mereka akan mendapat kemenangan agung itu (surga).

(3). Padahal, kalau kita merujuk ke berbagai tafsir dan ayat-ayat lainnya, maka hal seperti itu tidak ada dalam Islam. Karena itu siapa saja yang shalih diantara shahabat itu, maka dialah yang akan masuk surga.

(4). Bukti yang sangat nyata adalah, bahwa para shahabat itu saling berperang dan membunuh sampai-sampai di perang Jamal saja (perang antra imam Ali as dan ‘Aisyah) jatuh korban 7000 orang yang setidaknya bisa diperkirakan bahwa separuh mereka adalah shahabat. Belum lagi peperangan di jaman Abu Bakar dimana sampai jenderalnya yang bernama Khalid bin Walid bahkan membakar hidup-hidup beberapa shahabat di depan umum.

Lihat sejarah Sunni tentang korban yang terbunuh di Perang Jamal, antara Imam Ali as dan ‘Aisyah:

Muruuju al-Dzahab, Al-Ma’uudii, 2/367, menyatakan ada 20.000 korban. Al-Muntazhim, Ibnu Jauzii, 2/99, menyatakan ada 10.000 korban.

Taariikh Thabari, Thabarii, 5/542-555, menyatakan ada 15.000 korban. Taariikh Khaliifah, Bin Khiyaath, menyatakan ada lebih dari 6.000 korban.

Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 7/546 dan Fathu al-Baarii, 13/62, menyatakan ada 32.000 korban.

Catatan: Keterangan pertama, ke tiga, ke empat dan ke lima, diambil dari kitab Siiratu Amiiru al-Mukminiin Ali bin Abi Thalib, karya Ali Muhammad Muhammad al-Shulaabii, dicetak pertama kali tahun 2005. Tentu saja, penulisnya hanya menukil sebelum menolaknya dengan hitung-hitungan khayalnya dan tanpa melalui data sejarah. Untuk keterangan ke dua, saya ambil sendiri dari kitab yang telah disebutkan di atas itu.

(5). Baiklah, biarkan dulu hal pahit di masa lalu itu. Walaupun ia bagus dibahas secara ilmiah karena bisa melahirkan segala macam persepsi terhadap Islam sekarang yang kita pahami ini. Bayangin saja, orang Syi’ah dikafirin hanya karena kritis walau terhadap shahabat, padahal.. para shahabat itu bukan hanya mengkritisi satu sama lain, akan tetapi saling mengafirkan dan saling bunuh dan banyak kali peperangan yang dilakukan diantara mereka sendiri. Nah, kalau mengkritisi saja kafir, atau anggap deh mengecam shahabat itu kafir, lah ... bagaimana dengan yang mengafirkan dan membunuh shahabat?

(6). Kembali kepada masalah ayat di atas itu (Taubah:100), maka sebenarnya masalahnya sangat mudah, asal dada ini dikosongkan dulu dari doktrin yang diatasnamakan Islam itu.

(7). Study gampangannya, baca saja terus ayat berikutnya. Nih kalau ditulis lengkap seperti ini:

”Dan orang-orang terdahulu dari muhajrin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka Allah meridhai mereka dan mereka juga meridhaiNya. Dan Allah menjanjikan kepada mereka surga-surga yang mengalir sungai di bawahnya. Mereka kekal abadi di dalamnya. itulah kemenangan yang agung.”

”Dan di sekitar kalian dari orang-orang pinggiran (desa) terdapat orang-orang munafik. Dan bahkan orang-orang yang ada di kota, mereka keterlaluan dalam kemunafikan. Kalian tidak bisa mengenali mereka, tapi Kami mengenali mereka. Kami akan mengazab mereka dua kali sebelum Kami ceburkan mereka ke dalam azab yang agung.”

”Dan sebagian mereka telah mengakui bahwa mereka mencampur perbuatan baik dan buruk. Semoga saja Allah kembali kepada mereka dan mengampuni mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Kasih.”

”Ambillah sebagian harta mereka sebagai sedekah (seperti zakat) untuk membersihkan dan mensucikan meraka. Dan berterimakasihlah dan berdoalah untuk mereka karena hal itu menenangkan hati mereka. Dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.”

”Apakah mereka tidak tahu bahwa Allah itu menerima taubat dan menerima sedekah, dan bahwasannya Allah itu Maha Penerima taubat?”

”Dan katakan -Muhammad: ’Berbuatlah kalian sesuka hati kalian, karena sesungguhnya Allah, Rasul saww dan orang-orang mukmin (sejati) akan melihat perbuatan kalian itu, dan kemudian kalian akan dikembalikan ke alam ghaib dan syahadah (akhirat) lalu dikabarkan kepada kalian apa-apa yang telah kalian lakukan.”

”Dan sebagian mereka, urusannya, diserahkan kepada Allah, apakah akan mengazab mereka atau mengampuni mereka. Dan sesungguhnya Allah itu Maha Mengetahui dan Bijaksana.”

(8). Kalau kita baca terus ayat 100 itu sampai dengan 106, maka jelas bahwa keridhaan yang dimaksud Tuhan itu mestilah memiliki kondisi. Artinya tidak mutlak. Yakni baik kondisi orangnya atau perbuatan yang telah membuat ridha Tuhan itu. Kalau melihat orangnya, banyak mufassir yang menafsirkan bahwa mereka itu adalah Muhajirin dan Anshar yang melakukan baiat Ridwan. Ada lagi yang juga tafsir Sunni, yang mengatakan bhw mereka itu adalah Muhajirin dan Anshar yang shalat di dua kiblat. Jadi tidak semua Muhajarin dan Anshar.

(9). Kemudian ayat 100 itu sendiri telah menerangkan perbuatan yang membuat Allah ridha, baik baiat atau shalat bersama Nabi saww itu. Yaitu ”kebaikan”. Baik ditafsirkan dengan ”mengikuti mereka dengan baik”, atau ditafsirkan dengan ”mengikuti kebaikan mereka”. Artinya, kalau ditafsirkan dengan yang pertama ini, maka ayatnya akan berbunyi bahwa:

”Tuhan ridha kepada Muhajirin dan Anshar KARENA TELAH MELAKUKAN KEBAIKAN BERUPA PERJUANGAN DAN BAIAT SAMPAI PADA BAIAT RIDWAN ATAU TABAH BERJUANG DENGAN NABI SAMPAI KEPADA BERUBAHNYA KIBLAT, dan yang mengikuti mereka dengan baik DALAM KEBAIKANNYA ITU.”

Atau kalau dengan makna ke duanya, akan bermakna seperti ini:

”Tuhan telah ridha kepada Muhajirin dan Anshar karena telah melakukan kebaikan berupa perjuangan dan baiat sampai pada baiat Ridwan dan/atau sampai pada berubahnya kiblat, DAN ORANG-ORANG YANG MENGIKUTI KEBAIKAN MEREKA.”

Kalau kita lihat kedua makna itu, maka tekanan ridha Tuhan itu pada perbuatan baik, seperti Islam, iman, berjuang, tabah, baiat dan semacamnya. Jadi, ia adalah keridhaan yg(yang) bergantung kepada sesuatu, yaitu kebaikan dan perbuatan baik. Jadi tidak mutlak keridhaan tanpa melihat apapaun. Dan kalau kita memutlakkannya maka kita telah menjadikan Tuhan bebas nilai dan syariatNya ini adalah palsu. Bukankah Tuhan mengatakan siapa berbuat kebaikan akan mendapat pahala dan yang berbuat jelek mendapat dosa? Nah, kalau keridhaan ini dimutlakkan, yakni semua shahabat diridhai, tanpa alasan apapun, maka berarti ajaran Islam yang berdasar pada keadilan balasan itu, menjadi roboh sampai ke akar- akarnya. Dan tidak ada satu orang Sunnipun yang akan berkata seperti itu.

Jadi keridhaan Tuhan itu, walau pada shahabat, adalah karena kebaikan dan ketaatannya. Tidak lain dan tidak bukan.

(10). Sekarang, kalau keridhaan Tuhan itu karena kebaikan, dan memang seperti itu, maka pertanyaannya, bagaimana kalau kebaikan itu berubah jadi keburukan, atau dicampur dengan keburukan? Jawabnya jelas akan keluar dari keridhaan pertama ini. Karena itulah kalau ayat 100 itu diteruskan maka akan terlihat dengan nyata, bhw diantara mereka itu terdapat orang-orang munafik dan bahkan dikatakan bahwa mereka keterlaluan dalam kemunafikannya itu. Yakni sebegitu rupa mereka dapat menyembunyikan kemunafikan mereka hingga SEMUA MUSLIMIN DAPAT DITIPUNYA KECUALI ALLAH. Karena itulah Alllah mengatakan bahwa ”kalian tidak mengetahui mereka tapi Kami mengetahui mereka”. Ini karena kehebatan mereka dalam menyembunyikan kemunafikan mereka sampai-sampai TAK SEORANGPUN DARI KAUM MUSLIMIN YANG MENGETAHUI MEREKA.

(11). Dengan keterangan poin 10 dapat diketahui bahwa munafikin keluar dari keridhaan Tuhan ini. Jadi tidak semua shahabat diridhai.

(12). Kalau diteruskan lagi ayatnya, maka kedapatan bahwa sebagian mereka (shahabat) ini telah mencampur taat dengan maksiat. Nah, golongan ini sudah jelas keluar dari ridha dan janji Tuhan di atas. Urusan mereka ini nanti terserah kepada mereka atau terserah kepada Tuhan. Yang jelas Tuhan merangsang mereka untuk taubat, tapi siapa yang taubat dan siapa yang tidak, hanya Tuhan yang tahu. Artinya, dengan ini kita tidak bisa mengatakan bahwa semua shahabat diridhai dan dijanjikan surga.

(13). Kalau diterusin lagi ayatnya, maka Tuhan menyuruh Nabi untuk mengambil sedekah (zakat) dari mereka untuk mensucikan mereka dari dosa-dosa mereka. Di sini juga bisa dipahami bahwa ridha dan janji Tuhan itu, masih harus diteruskan dengan perbuatan baik lainnya dari sekedar Islam, iman , berjuang ...dan seterusnya yang sampai ke masa pergantian Kiblat atau baiat ridhwan. Artinya, terlihat sekali bahwa ridha dan janji itu sangat bisa berubah. Yakni kalau tidak bayar zakat dan semacamnya. Kalau dalam bahasa ilmiah keridhaan dan janji di ayat 100 itu masih Muta’alliq, yakni berkondisi dan bergantung. Yaitu bergantung kepada ketaatan-ketaatan yang lain seperti zakat ini. Jadi, walau sudah diridhai sampai pada waktu itu, akan tetapi tidak bayar zakat, maka dosa mereka tidak bersih dan akan masuk neraka.

(14). Ketika zakat dapat mengeluarkan mereka dari ridha dan janji surga itu, maka ibadah-ibadah lainnya juga demikian. Seperti shalat, puasa, murtad ...dan seterusnya. Artinya, KERIDHAAN DAN JANJI ITU TIDAK BAKU DAN BISA BERUBAH KAPAN SAJA.

(15). Dan kita dengan melihat sejarah dan banyaknya pertempuran diantara shahabat dengan shahabat dapat dipastikan bahwa keadaan mereka sudah berubah. Dan betapa agungnya perubahan mereka. Karena bukan hanya tidak shalat dan tidak bayar zakat, tapi bahkan saling mengafirkan dan saling bunuh dan bahkan membakar hidup-hidup mereka.

(15). Ketika sudah kita yakini terjadi perubahan itu, MAKA SUDAH SELAYAKNYA BAGI KITA UNTUK MENYELEKSI MEREKA-MEREKA ITU HINGGA MENGIKUTI YANG BAIK -bi ihsaan- DAN MENINGGALKAN YANG TIDAK BAIK -berubah.

(16). Terakir dari ayat di atas adalah, kalau diterusin lagi, maka kita akan melihat dengan jelas ANCAMAN TUHAN PADA PARA SHAHABAT ITU, dengan firmanNya:

”Dan katakan -Muhammad: ’Berbuatlah kalian sesuka hati kalian, karena sesungguhnya Allah, Rasul dan orang-orang mukmin (sejati) akan melihat perbuatan kalian itu, dan kemudian kalian akan dikembalikan ke alam ghaib dan syahadah (akhirat) lalu dikabarkan kepada kalian apa-apa yang telah kalian lakukan.”

Di sini jelas bahwa Tuhan mengancam para shahabat Nabi saww bahwa siapa saja yang akan berubah dan/atau berbuat kejahatan, maka Tuhan akan mengazabnya.

(17). Kalau kita hubungankan dengan ayat lain di surat lain seperti: di surat Fath ayat 10 yang berbunyi:

”Sesungguhnya yang berbaiat padamu -Muhammad- adalah berbaiat pada Allah, maka barangsiapa yang mengkhianati baiatnya setelah itu, maka ia telah mengkhianati dirinya sendiri, dan yang setia maka Allah akan mengganjarnya dengan pahala yang besar.”, maka jelas akan terlihat, bahwa siapaun yang beriman dan Islam serta berjuang di jaman Nabi saww sampai pada baiat Ridhwan atau berubahnya Kiblat itu, memiliki dua kemungkinan. Artinya bisa tetap setia dan bisa saja berkhianat.

Yang setia pada iman, Islam, Tuhan dan Nabi saww sampai akhir hayatnya, maka merekalah yg telah diridhai dan dijanjikan surga oleh Tuhan tanpa mengalami perubahan.

Yang tidak setia dan khianat pada iman, Islam, Tuhan dan Nabi saww, setelah itu, maka mereka yang telah diridhai dan dijanjikan surga oleh Tuhan, tapi sudah mengalami perubahan. Artinya ridha dan janji Tuhan itu berubah menjadi murka dan neraka, dikarenakan perubahan mereka sendiri.

Dan sudah tentu, dengan adanya berbagai perang dan pengkafiran, pembunuhan serta pembakaran diantara mereka, maka sudah jelas telah terjadi perubahan.

Terakhir: Kalau digabung dengan ayat lain seperti QS: 47: 38, yang berbunyi:

”.... dan kalau kalian -shahabat- berubah, maka Allah akan mengganti kalian dengan umat yang lain, DAN MEREKA TIDAKLAH SEPERTI KALIAN.”

Lihatlah ayat ini dengan seksama.

Pertama: ia mengatakah ”Kalau kalian berubah”. Maka ini jelas menggambarkan bahwa mereka sangat mungkin berubah.

Ke dua: ayat ini, walaupun terlihat hanya menggambarkan akan bisanya terjadi perubahan, akan tetapi kalau direnung-renung, seperti memang mengabarkan akan terjadinya peru- bahan itu. Karena itulah Tuhan mengatakan akan mengganti kalian dengan umat lain YANG TIDAK SEPERTI KALIAN.

Ke tiga: Tuhan dalam ayat ini benar-benar memburukkan shahabat itu karena telah mengatakan DAN MEREKA TIDAK SEPERTI KALIAN. Artinya, apakah memang akan terjadi, atau dalam perumpamaan, maka bisa dikatakan bahwa mereka mencela shahabat-shahabat itu. Apalagi celaan ini dapat dipastikan mengingat golongan ayat pertama dari surat Taubah itu dimana menceritakan bahasa sebagian mereka munafik, sebagian mencampur dengan maksiat dan secara umum mereka diancam Tuhan dengan mengatakan :

”Berbuatlah kalian sesuka hati karena Allah, Nabi dan mukminin (sejati) akan melihat perbuatan kalian itu dan kalian akan dikembalikan ke alam ghaib dan kemudian akan dikabarkan kepada kalain apa-apa yang telah kalian lakukan.”

Celaan itu juga dapat dipastikan karena sebenarnya ayat di atas memberikan kabar tentang akan munculnya umat yang lebih baik dari mereka para shahabat di akhir jaman. KARENA DIKATAKAN DALAM HADITS-HADITS SUNNI YANG BANYAK DIMUAT DALAM BANYAK TAFSIR- TAFSIR SUNNI BAHWA UMAT PENGGANTI ITU ADALAH IRAN.

Lihat tafsir: Al-Durru al-Mantsuur, karya Suyuuthi; Kasysyaaf, karya Zamakhsyarii; Ibnu Katsiir; al-Aaluusii; Baidhaawii; al-Tsa’aalibii; Tsa’labii; Fakhru al-RAaazii; Thabarii; Qurthubii; dan lain-lainnya.

Penutup: Saya tidak halalkan siapa saja yang menggunakan tulisan saya tentang shahabat ini untuk perpecahan umat muslim (Sunni dan Syi’ah). Karena tulisan ini hanya untuk kajian semata sesuai dengan salah satu tinjuannya yang saya yakini kebenarannya dimana keyakinan saya ini tidak menjamin kebenaran di sisiNya. Jadi, ia hanya bersifat kajian untuk direnungkan, bukan untuk dikobar-kobarkan dimana bisa menimbulkan kesalahpahaman dan perpecahan. Keyakinan yang saya maksud adalah bahwa shahabat itu adalah umat seperti umat-umat lainnya yang, bisa diridhai Tuhan dan bisa dimurkai, bisa juga diridhai tapi setelah itu dimurkai ..dst. Artinya ayat 100 surat Taubah itu bukan jaminan bagi shahabat dan bukan perintah mutlak kepada kita untuk mengikuti shahabat secara mutlak. Jadi, yang diridhai Tuhan dan dijanjikan surga adalah shahabat yang baik dan kebaikannya itu tidak berubah, begitu pula orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan mereka itu. Wassalam.

Aufa Opa: Terima kasih ustad...

Komarudin Tamyis: Ahsan wa syukran.

Sinar Agama: Aufa + Tamyis: ok, sama-sama. 



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ


Jumat, 17 Agustus 2018

Tawassul dan Sekelumit Filsafatnya




Seri tanya jawab, Bocah X Arus dengan Sinar Agama 
by Sinar Agama (Notes) on Sunday, November 27, 2011 at 1:43pm


Bocah X Arus: Salam...Ustadz...Mau tanya apakah urgensinya bertawasul kepada Nabi, Ahlulbait dan orang-orang sholih...

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Keharusan bertawassul itu memiliki berbagai dimensi:

1. Banyaknya dosa kita hingga doa-doa dan harapan-harapan kita bisa terganjal karenanya. Karena itu, perlu kepada tawassul seperti yang diungkap di QS: 4: 64:

”Dan Kami tidak mengirim seorang rasul kecuali untuk ditaati dengan ijin Allah. Kalaulah mereka -umat- menzhalimi diri mereka sendiri -dengan dosa- lalu datang kepadamu -Muhammad- dan meminta ampun kepada Allah dan RasulNyapun memintakan ampun untuk mereka, maka sudah pasti mereka akan mendapati Allah itu Maha Penerima Taubat dan Maha Kasih.” 

2. Menerimanya (bc: penerimaan) manusia akan apa-apa yang disayang Allah dan memang harus diimani manusia, seperti para nabi dan rasul. Karena itu, jangankan manusia biasa, para nabi dan rasul sendiri, saling bertawassul diantara mereka. Karena itulah maka Tuhan menyembuhkan buta mata dari nabi Ya’quub as dengan usapan baju anaknya, nabi Yusuf as. 

Kasih sayang Tuhan memperlancar dan menajamkan serta memustajabkan setiap doa seorang hamba manakala ia mengakui kemuliaan orang-orang yang dipilihNya seperti nabi, rasul dan Imam makshum. Dan, tawassul itu adalah pengikraran penerimaan dan pengagungan serta pemuliaan terhadap manusia-manusia mulia yang telah Tuhan pilih sebagai kekasihNya karena ketaatan yang hebat dari mereka-mereka yang dipilih itu. 

3. Pengaplikasian dari penerimaan di atas. Artinya, Tuhan itu tidak hanya merestui orang- orang yang mencintai manusia-manusia pilihanNya saja tanpa alasan dan hikmah yang lebih luas dari sekedar hikmah pribadi-pribadi yang mengakuinya. Akan tetapi sungguh memiliki dampak aplikatif. Yakni, ketika seseorang mengakui dan bertawassul dengan para manusia suci, maka sudah pasti ia menerima mereka sebagai tauladan dalam hidup. Karena itu, sosok penawassul ini, akan berusaha berkarakter seperti yang ditawassuli itu. Karena itu, maka tawassul ini selain memiliki dampak pribadi yang baik untuk setiap pribadi itu, ia juga memiliki dampak aplikatif yang juga baik untuk dirinya. Yaitu berupa ketakwaan kepadaNya. Karena, itu, tawassul itu, di samping mengurangi dosa dan memustajabkan doa-doa kita, ia juga akan memotivasi kita untuk taat dan taqwa kepada Allah swt.

4. Karena itulah maka Tuhan dalam QS: 5:35, berfirman: ”Wahai orang-orang yang beriman! Takwalah kalian kepada Allah dan hendaknya kalian berpegang teguh dengan perantara -wasilah/ tawassul- dan berjihadlah kalian di jalanNya agar kalian menjadi menang.” 

Jadi, tawassul ini jelas perintah Allah. Dan, sudah tentu hal-hal di atas itu, merupakan satu- dua dari sejuta hikmah dari tawassul ini. 

5. Kalau ingin lebih dalam lagi mengkajinya, yaitu dengan sedikit menggunakan kaidah filsafat, maka ketahuilah bahwa para nabi dan rasul atau Imam itu, sudah menapaki titik balik kepada Allah (wa ilaihi rooji’uun). Karena itu, maka ruh mereka itu memanjang dari tingkatan terendah materi sampai pada Akal-satu. Karena itulah, maka mereka bisa mengatur alam semesta semuanya (materi dan non materi) dengan ijin Allah dan, sudah tentu karenanya maka hanya manusia yang bisa menjadi khalifah Allah, bukan yang lainnya walau malaikat termulia atau Akal-satu sekalipun (lihat catatan-catatan yang lalu tentang maqam khalifah ini). 

Nah, ketika para manusia suci itu telah kembali menjadi sebab-sebab mereka dan alam semesta ini (materi dan non materi), maka sudah tentu mereka ada diantara kita dan Tuhan. Karena kita tetap berada di tingkatan rendah serta mereka di tingkatan tinggi. Nah, antara rendah dan Maha Tinggi, dijedahi dengan maqam tinggi, yaitu mereka-mereka para makshum (nabi dan rasul atau Imam). 

Dengan demikian, maka filsafat tawassul ini dapat dipahami dengan lebih mudah dan meyakinkan secara ilmiah dan akliah. Karena mau dan tidak mau, sengaja atau tidak sengaja, semua yang ada di bawah harus menjumpai mereka-mereka para suci itu dulu, sebelum doa- doa dan perhatiannya menuju kepada Allah. Karena itu, bukan hanya doa yang ditawassuli dengan mereka, tapi ilmu dan perhatian, juga harus melalui mereka. Sungguh unik Tuhan ketika mengatakan bahwa Nabi saww itu diutus sebagai rahmat bagi semua alam. QS: 21: 107: 

”Kami tidak mengutusmu -Muhammad- kecuali sebagai rahmat bagi segenap alam.” 

Lihatlah pada kata-kata segenap alam. Di sini sudah tentu tidak hanya manusia saja, tapi mencakup semua tanah, batu, air, pohon, hewan dan para malaikat sekalipun. Dan, sudah tentu manusia, tidak hanya manusia baik, tapi manusia bejatpun tetap dirahmatiNya melalui kanjeng Nabi saww. Itulah mengapa di Syi’ah/islam, Nabi saww dan manusia-manusia pilihanNya, tidak hanya dikongklusikan di hubungan ngajar mengajar agama dan pimpinan sosial, akan tetapi mencakup semua hal termasuk hubungan wujud dan wujud, sebab dan akibat ....dst dimana diistilahkan dengan maqam ”wilayah” dan dimana makan ”wilayah” ini mencakup agama, sosial dan keterkaitan kealamsemesetaan. 

Tambahan

Ketika orang-orang yang bertawassul itu, dalam menatap para orang-orang yang ditawassulinya itu, seperti itu, maka sudah tentu cara menatap Tuhan mereka dan aplikasinya, akan diambil dari para orang-orang yang ditawassulinya tersebut. Karena itu, mereka hebat-hebat dalam memaknai agama, baik secara naqli atau apalagi akli. Hal itu, karena mereka telah menimba ilmu dan pengabulan doanya dari para orang-orang yang dipilih Tuhan. Yakni mereka para penawassul itu telah mengambil semuanya dari sumbernya yang benar sesuai dengan pilihan dan perintahNya. 

Tapi para penolak tawassul itu, karena tidak tunduk dan tawadhu kepada kekasih-kekasih Tuhan tersebut, maka mereka di samping tenggelam dalam kegelapan yang nyata, juga selalu menarik Tuhan itu menjadi sederajat dengan mereka. Karena itulah, maka Ibnu Taimiyyah telah menjadi Imam dari orang-orang yang mematerialkan Tuhan (tajsiim). Karena, ketika ia dan golongan- golongan wahabi lainnya itu berada di derajat rendah, dan tidak mau bertawassul dengan orang- orang yang ada di tengah-tengah antara Tuhan dan dirinya, maka sudah tentu mereka dalam mengartikanNya, akan menarikNya ke derajat dirinya sendiri. Karena itu, maka akidah mereka dan ilmu mereka sangatlah rendah dan telah menjadi orang-orang yang kembali jahiliyyah yang biasa membendakan Tuhannya. 

Mereka selalu berdalih bahwa Tuhan lebih dekat dari urat nadi setiap manusia hingga karenanya tidak perlu tawassul (dalam ilmu dan doa serta aplikatif). Tapi mereka lupa bahwa yang dekat kepada kita itu Tuhan, bukan kita. Nah, karenanyalah Tuhan mereka itu telah mereka jadikan seperti diri mereka sendiri. Padahal, kalau mereka memiliki akal sedikit saja, sudah tentu akan mengerti bahwa kedekatan Tuhan itu, tidak akan berfungsi bagi diri kita sama sekali kalau kita di posisi rendah ini (rendah ilmu dan takwa). 

Kedekatan Tuhan itu adalah untuk mengawasi kita hingga Ia akan menanyakan kepada kita terhadap semua amal-amal dan niat-niat kita. Tapi kita kepadaNya, belum tentu dekat. Karena yang dekat itu hanya yang taat dan taqwa yang, sudah tentu para nabi, rasul dan Imam makshum serta wali-wali lain yang ada di posisi setelahnya. 

Kedekatan Tuhan kepada manusia untuk mengontrol semua niat dan amalnya. Dan kedekatan Tuhan ini, adalah terhadap semua manusia dan makhluk-makhluk lainya, baik taqwa atau bejat. Dan kedekatakan manusia, adalah untuk disayang Tuhan dan didengarkan doa-doanya. Nah, orang-orang yang tidak dekat kepadaNya (yang tidak taqwa dan berilmu benar atau makshum), sudah tentu doa dan harapan-harapannya tidak akan didengarkanNya dalam arti dikabulkanNya. 

Jadi, doa mustajab atau tidak, tetap didengar Tuhan karena Tuhan dekat dengan semuanya. Akan tetapi, dengar dalam arti mustajab, hanya pada orang yang dekat kepadaNya dengan taqwa yang tinggi. Memang, sering pula Tuhan mengabulkan doa-doa orang rendah, akan tetapi bukan karena keberhakan orang tersebut, akan tetapi karena maaf dan kasihNya. Tentu saja kalau Tuhan mau. Begitu pula sudah tentu tidak ada doa yang ditolak, akan tetapi tidak mesti berupa yang dimintanya. Yakni bisa saja berupa pengampunan terhadap dosa-dosanya yang banyak demi mengurangi pedihnya adzab yang akan diterimanya di akhirat kelak (lihat tulisan tentang doa di tulisan-tulisan sebelum ini). Akan tetapi, mustajabnya doa pada yang dimintanya (tidak berupa hal lain), hanyalah dari hamba-hamba pilihanNya, atau yang ditawassulkan dengan hamba-hamba pilihanNya atau orang-orang yang dimaafkanNya. Wassalam. 

13 people like this.

Riani Azri: Afwan ustadz ijin share, boleh saya copy status ini ya. 

Sinar Agama: Abu: Terimakasih simpatinya, tapi kemestian itu kadang terhadap pengertian dan esensinya. 

Sinar Agama: Riani: Silahkan saja, semua tulisanku di fb ini adalah gratis untuk apa saja asal kebaikan dan tidak untuk bisnis. Kunjungi pula kalau ada waktu, catatan-catatanku atau dokumen- dokumenku yang ada di akun ini atau di group Berlangganan Catatan-catatan Sinar Agama. 

Riani Azri: Syukron ustadz saya sedang belajar dan untuk dokumentasi pribadi. 

Satria Karbala: Mungkinkah kita menuju Tuhan tanpa melalui wasilah/tawassul, ustadz? 

Ahmar Wijaya Sdb: Baginda nabiullah Rasulullah Muhammad saw adalah manusia yang paling sempurna di alam raya ini baik akal fikiran ??? Segalanya.. Saya berpendapat menjudge ulama seperti Ibnu Taimiyyah tidaklah pantas. Dalam kitab Utsul stalasah, qawaidul arba’ tauhid’ maupun Kasifusi syubhat, saya belum pernah mendapati pendapat mereka yang keliru atau menyimpang dari Islam.

Sinar Agama: Satria K: Sampai kepada Tuhan itu tidak bisa tanpa tawassul. Karena arti tawassul itu luas. Kalau tidak ada Nabi saww, bagaimana kita bisa tahu Islam? Ini salah satu dimensi atau hikmah tawassul. Karena itu Allah mewajibkan kita memegangi tawassul ini sebagaimana sudah diterangkan di atas (catatan). 

Nah, ketika seseorang harus datang kepada yang akan ditawassuli itu untuk menimba Islam, maka berarti derajat orang yang kita datangi itu sudah pasti lebih tinggi dari diri kita yang mendatanginya. Karena menjadi sumber Islam itu adalah ketinggian takwanya yang diakui Tuhan, terlebih kalau sampai ke tingkat makshum yang disaksikan dan dinyatakan Tuhan, seperti Ahlulbait as. 

Dengan demikian, maka dalam olah akhlak dan batin kita dalam bermunajat kepada Allah, juga harus menggunakan wasilah ini. Karena sudah jelas antara kita dan Tuhan memiliki jarak yang jauh dan sudah tentu dijaraki mereka-mereka yang tinggi dan apalagi makshum tersebut. Jadi, sudah tentu kita harus menfokus mereka-mereka juga dalam munajat-munajat kita. Allah memang dekat, tapi kitanya yang jauh karena menjauh dari ketaatan padaNya dan menjauh dari keMaha SucianNya dengan banyaknya dosa-dosa kita dan cinta dunia kita. Dengan itu, maka kita harus bertawassul. 

Lagi pula, tawassul itu kan tanda kita menerima ketinggian derajat ikhtiari mereka-mereka itu dan menerima kepenunjukan Tuhan atas mereka sebagai rasul atau Imam yang mewakiliNya menyapa dan mengajar manusia. Jadi, tawassul, juga memiliki dimensi ketundukan kepada keputusan Maha BijakNya itu. 

Kemestian yang diterangkan itu adalah secara akliah dan filsafat serta penafsiran Qur'an dan hadits. Kalau dilihat dari hukumnya, maka mungkin kita bisa mengatakan bahwa tawassul itu adalah sunnah. Artinya, yang tidak bertawassul dalam doa-doanya, tidak haram, asal tidak anti tawassul yang dianjurkan agama. Karena anti itu adalah masalah lain.

Sinar Agama: Ahmar: Kamu ini bagaimana? Apakah kamu membenarkan fatwa Ibnu Taimiyyah yang bukan hanya mengharamkan tawassul, tapi menghalalkan darah dan hartanya? (lihat di: Ziyaaratu al-Qubuur wa al-Istinjaadi bi al-Qubuur, hal 156; al-Hidaayatu al-Sunnatu, hal. 40). Apakah kamu membenarkan akidah Ibnu Taimiyyah yang mengatakan bahwa Tuhan itu benda yang berserakan di berbagai kitab-kitabnya????? 

December 6, 2011 at 1:37am · Like


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Minggu, 12 Agustus 2018

Kedudukan Fantastis Imam, Bag: 5-c (Bahwa imam memegang pemerintahan langit dan bumi)



by Sinar Agama (Notes) on Thursday, September 30, 2010 at 7:09 am

Melanjutkan jawaban terhadap permasalahan yang dibawa Abd Bagis, yaitu poin (d) tentang:

IMAM MEMEGANG PEMERINTAHAN LANGIT DAN BUMI

15. Doa tanpa shalawat pada Rasul saww dan Ahlubait as, akan menjadi tertutup dan dengan shalawat, akan menjadi terkabul (Kanzu al-‘Ummal 1:173; Shawa’iqu al-Muhriqoh 88; Faidhu al-Qodir 5:19; Thabrani di tafsir Kabirnya; Baihaqi di Syu’abi al-Imannya; dan lain-lain). 

Shalawat pada Nabi saww harus menyertakan Keluarga beliau saww yang suci/Aali (Bukhari di kitab Da’awaat, bab shalawat atas Nabi saww; dan segudang lainnya). 

Bahkan Shalat lima kali (dalam 3 waktu) menjadi batal tanpa shalawat pada Aali/keluarga suci Nabi saww. (Muslim, kitab al-shalat, bab shalawat atas Nabi saww setelah tasyahhud; Turmudzi 2:212; al-Nisai 1:190; Ibnu Maajah 65; Tafsir Thabari 22:31; Baihaqi 2:379; Sunan al-Daaruqudni 136; Dzakhairu al-‘Uqba 19; al-Shawa’iqu al-Muhriqoh 88; Tafsir Fakhru al-Rozi kala menafsiri QS: 42:23; ...dst sampai tidak terhitung jumlahnya dari kitab-kitab hadits dan tafsir). 

16. Ahlulbait adalah keluarga yang disucikan, bukan sekedar keluarga. Dan mereka itu adalah Ali as, Fathimah as, Hasan as dan Husain as sesuai dengan ayat yang berbunyi +/-: 

“Sesungguhnya Allah hanya ingin menghindarkan dari kalian Ahlulbait/keluarga-Nabi segala ke- kejian/dosa dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya.” 

Sesuai dengan tafsir-tafsir dan riwayat-riwayat Sunni seperti: Shahih Muslim, kitab Fadhaaiu al-Shahaabah, bab Fadhaailu Ahlu al-bait 2:367; Shahih Turmudzi hadits ke 3258, 3875; Musnad Ahmad 1:330; Mustadrak 3:133,146, 147, 158; al-Mu’jamu al-Shaghiir 1:65,135; 

Syawaahidu al-Tanziil 2:92 hadits ke 637, 638...sampai 60 hadits; Tafsir Thabari 22:5,7,8; Tafsir al-Duuru al-Mantsur 5: 198; Tafsir al-Kasysyaaf 1:193; Ahkamu al-Qur'an karya Ibnu ‘Arabi 2:166; Tafsir Qurthubi 14: 182; Tafsir Ibnu Katsir 3: 483, 484, 485; dan segudang lainnya. 

Tentu saja, ke 9 imam lainnya adalah Ahlulbait yang makshum, karena Nabi saww bersabda setelah aku ada 12 imam yang semuanya dari Quraisy (Bukhari hadits ke: 7222-7223; Shahih uslim: 3393-3394; dll dari hampir seluruh kitab-kitab hadits dan tafsir Sunni) sementara di Qur'an melarang kita taat (mutlak) pada yang memiliki dosa (QS: 76:24 ). Lihat keterangan selanjutnya di catatanku yang berjudul “Konsep Imamah/Khilafah Dalam Islam (Syi’ah)”. 

17. Ahlulbait di atas, juga sesuai dengan pengakuan ‘Aisah istri Nabi saww. (Shahih Muslim 2:368; yang bersyarah Nawawi, 15:194; Syawahidu al-Tanziil 2:33 dengan 9 riwayat; Mustadrak 3:147; al-Duuru al-Mantsur 5:198; dll). Dan sesuai dengan pengakuan Ummu Salamah, istri Nabi saww yang lain (Shahih Turmudzi hadits ke 3258, 3875, 3963; Syawahidu al-Tanzil 2:24, hadits ke 659, 706, ..sampai 33 hadits; Tafsir Ibnu Katsir 3:484, 485; Usdu al-Ghobah 2:12, 3:413; Dzakhoiru al-‘Uqba 21, 22; Tafsir Thabari 22:7-8; Tafsir al-Duuru al-Mantsur 5:198; dll). 

Ahlulbait bukan istri-istri Nabi saww. (Shahih Muslim 2:362/7:123/15:181 yang syarah Nawawi; Shawaiqu al-Muhriqoh 148; Faraidu al-Simthain 2:250; ‘Abaqotu al-Anwar 1:26,104,242, 261, 267). 

18. Rasul saww bersabda +/-: 

”Aku perang dengan yang memerangi kalian (Ahlulbait) dan damai bagi yang damai pada kalian” (Shahih Turmudzi 2:319; Mustadrak 3: 149; Usdu al-Ghobah 3: 11, 5:523; Kanzu al-‘Ummal 6:216 menukil dari Ibnu Habban 7: 102 dan menukil dari Ibnu Syaibah, Turmudzi, Ibnu Maajah, Thabrani, Hakim dll; Dzakhairu al-‘Uqba 25; Musnad Ahmad bin Hambal 2:442; Tafsir al-Duuru al-Mantsur dalam menafsiri ayat penghindaran dari dosa di atas, yakni ayat tathhir; dan lain-lain). 

19. Ahlulbait yang suci itu dijadikan sebagai penjelas al-Qur'an oleh junjungan kita Nabi Muhammad saww dengan sabdanya yang semakna dengan ini +/-: 

“Kutinggalkan dua perkara yang berat pada kalian yang, kalau kalian pegangi tidak akan pernah sesat setelah aku. Yang pertama kitabullah, dan yang ke dua ‘Itrahku Ahlu Baitku (bc: keluarga suciku, sesuai ayat di atas)”. 

Malahan ada yang sampai-sampai Nabi saww mewanti-wanti umat dengan lanjutan sabdanya +/-: 

“…. Kuingatkan kalian pada keluargaku, kuingatakan kalian pada keluargaku, kuingatkan kalian pada keluargaku”, seperti yang terdapat di Shahih Muslim 2:362. Atau dengan kelanjutan sabdanya yang lain di tempat lain: 

" …dan keduanya itu (Kitab dan Ahlulbait) tidak akan pernah saling berpisah sampai mereka mendatangiku nanti di al-Haudh/Telaga (di surga). Nantikanlah bagaimana kalian akan menyim- pang dari aku melalui keduanya itu”. Hadits Tsiqlain (dua yang berat) ini diulang-ulang Nabi saww di berbagai kesempatan dan tempat. Ibnu Hajar mengatakan: 

“Hadits-hadits ini memiliki jalur/sanad/perawi/thuruq yang banyak yang telah diriwayatkan oleh lebih dari 20 shahabat (sebenarnya keseluruhannya di Sunni ada 35 sahabat, jadi lebih dari kelipatan 3 mutawatir). Di sebagian sanad mengatakan bahwa Nabi saww mengatakannya di Haji Wada’, sebagian yang lain di Madinah diwaktu sakitnya beliau dimana waktu itu kamar beliau telah dipenuhi para shahabat, sebagian lagi di Ghadiru al-Khum, sebagian lagi di Mimbar setelah pulang dari Thaif. Dan semua itu tidak masalah sama sekali karena tidak mustahil Nabi saww mengulang-ngulangnya di berbagai tempat karena perhatiannya pada pentingnya keduanya (Qur'an dan Ahlulbait).” (al-Shawaaiq al-Muhriqoh hal 89 cet al- Maimaniyyah Mesir, dan hal 148 cet al-Muhammadiyyah). 

Hadits-hadits Qur'an dan Ahlulbait ini diriwayatkan di Shahih Muslim 2:362; Shahih Turmudzi 2:308; Musnad Ahmad 3:17, 26,..; Tafsir Ibnu Katsir 4:113; Tafsir Khozin 1:4; Tafsir al-Durru al-Mantsuur 6:7, 306; Usdu al-Ghaabah 2:12; Mustadrak 3: 148;.....dst sampai-sampai saya sendiri kelelahan menghitung jumlah bukunya setelah saya hitung sampai pada kitab ke 70-an, sampai-sampai ke kitab-kitab kamus Arab hadits ini juga dinukil seperti kamus Lisanu a-‘Arab 13:93; Taju al-‘Arus 7:245; al-Qomus 3:342. Saya juga pernah hitung-hitung jumlah haditsnya sampai melebihi 240-an yang tersebar di berbagai kitab-kitab Sunni yang terjangkau saya, belum lagi yang tidak terjangkau. 

20. Malaikat mengucap Ta’ziah pada Ahlulbait kala Nabi saww wafat (Mustadrak 3:57; al-Ishabah 2:129 dan dikatakan di dalamnya bahwa Baihaqi juga meriwayatkan hal ini). 

21. Diriwayatkan bahwa Nabi saww bersabda (dan yang semakna dengan ini) +/-: 

22. (a) Dari Abu Said al-Khudri bahwa Nabi saww mendatangi Fathimah as dan bersabda: 

“Sesungguhnya aku dan kamu (Fathimah as) dan yang tidur ini (Ali as) dan mereka berdua (Hasan as dan Husain as) sungguh-sugguh dalam satu tempat/maqam/derajat di hari kiamat.” 

(Mustadrak 3:137; Musnad Ahmad bin Hambal 1:101; Usdu al-Ghabah 5:523; Abu Daud 1:26; 

Kanzu al-‘Ummal 7:101; al-Riyadhu al-Nadhrah 2:208;). 

(b) “Yang pertama kali masuk surga adalah aku, kamu (Ali as), Fathimah, Hasan dan Husain” 

(Mustadrak 3:151; Dzakhoiru al-‘Uqba 123; Tafsir al-Kasysyaf dalam menafsir QS: 42:23; Nuru al-Abshar 100; Kanzu al-‘Ummal 6:218; al-Riyadhu al-Nadhrah 2:211; dll). 

23. Rasul saww bersabda +/-: 

(a) “Sesungguhnya umat ini akan mengkhianatimu (Ali as) setelah aku dan engkau hidup dalam agamaku dan berperang sesuai ajaranku. Siapa mencintaimu berarti mencitaiku dan siapa yang membencimu berarti membenciku. Sungguh ini (menunjuk ke jenggot Ali as) akan tersemir dari ini (menunjuk ke kepala imam Ali as, yakni jenggotnya akan terlumuri darah dari kepalanya di waktu syahid).” 

Hadits ini dan yang semakna ada di: Mustadrak 3:142; Tarikh Baghdaad 11:216; Kanzu al- ‘Ummaal 6:73; Majma’ 9:138; dll dimana mereka-mereka ini menshahihkan hadits tersebut dan hadits-hadits sebelumnya. 

(b) “Ya Ali sungguh kamu akan ditimpa bencana setelah aku, maka jangan bunuh mereka!” 

(Kunuuzu al-Haqaaiq karya al-Manawi 188, maksudnya jangan perangi mereka di awal-awal wafatnya Nabi saww sebelum Islam kuat secara fisik). 

(c) “... Lalu Rasulullah saww menangis. Rasul saww ditanya: Apa yang telah membuatmu menangis ya Rasulullah? Rasul saww menjawab: ‘Kedengkian-kedengkian berada di hati orang-orang yang tidak dikeluarkannya kepadamu (Ali) kecuali setelah aku (wafat)....’.” 

(Tarikh Baghdaad: 12:398; Kanzu al-‘Ummaal 6:408; al-Riyaadhu al-Nadhrah 2:210; Mustadrak 3:139; al-Majma’ 9:118). 

24. (a) Dikatakan dalam al-Shawaaiqu al-Muhriqah 80 bahwa Imam Ali as pada malam hari yang di shubuhnya beliau tertebas (syahid), sering keluar rumah dan melihat ke langit sambil berkata : 

“Demi Allah aku tidak bohong dan tidak dibohongi bahwasannya malam ini adalah malam yang dijanjikan untukku“. 

Dan al-Shawaiq meneruskan tulisannya dengan mengatakan bahwa ketika imam Ali as telah syahid dikubur pada malam hari (bc: kuburnya disembunyikan) supaya tidak digali lagi oleh kaum Khawarij.

(b)Rasul saww, para nabi dan malaikat mendatangi imam Ali as kala kepalanya tertebas pedang beracunnya Abdurrahman bin Muljam (Usdu al-Ghabah 4:38).

(c) Batu-batu di Baitu al-Muqoddas/Iliya, Suriah bahkan di dunia mengeluarkan darah kental kala diangkat, pada hari syahidnya imam Ali as (Mustadrak 3:113, 144; Thabari dalam al- Riyaadhu al-Nadhrahnya 2:247; al-Shawaaiqu al-Muhriqah 116).

25. Rasul saww bersabda +/-:

(a) “Engkau (Ali) dan syi’ahmu (pengikutmu) mendatangiku di telaga (di akhirat).”

Hadits ini dan yang semacamnya ada di: al-Majma’ dari Thabari: 9:131; Kunuuzu al-Haqaaiq 188; al-Istii’aab, 2:457; Mustadrak 3:136; Tarikh Baghdaad 12:289; al-Shawaaiqu al-Muhriqah 66;).

(b) “Engkau (Ali) dan syi’ahmu di surga.”

Hadits ini dan yang semacamnya ada di: Hilyatu al-Auliyaa’ 4:329; Tarikh Baghdaad 12:289, 358; Majma’ 9:173 dari Abu Hurairah; al-Shawaaiqu al-Muhriqah 96; al-Riyaadhu al-Nadhrah karya Thabari 2:209; Kanzu al-‘Ummaal 2:218; al-Muntakhab min Shehhatu al-Sittah 257;...dst.

(c) “Mereka adalah kamu dan syi’ahmu” dalam menjelaskan khairu al-bariyyah (paling bagusnya manusia, QS: 98:7). (Syawahidu al-Tanzil 2:356-366 hadits ke: 1125 – 1149; al-Shawaaiqu al- Muhriqah 96; Tafsir al-Durru al-Mantsuur 6:379; Tafsir Thabari 30:146; dll).

26. Kata-kata Syi’ah Ali as (Pengikut Ali as) yang keluar dari lisan suci Rasul saww dan yang mengabarkan tentang barbagai hal, seperti paling afdhalnya manusia, masuk surga, diridhai, yang menang ...dst kurang lebih sampai mencapai 200-an kata di kitab-kitab yang tersebar di Ahlussunnah yang menerangkan sekitar ayat atau kata yang berbunyi “Khairu al-Bariyyah”, “al-Faaizuun”, “Radhiallah ‘Anhum”, yakni dari yang terjangkau saya. Diantaranya, Tafsir al- Durru al-Mantsur; Tafsir al-Muharriru al-Wajiz; Tafsir al-Alusiy; Tafsir Thabari; Tafsir Haqqu; Tafsir Ruhu al-Ma’ani; Tafsir Fathhu al-Qodir; Bashairu al-Tamyiz; al-Shawaiqu al-Muhriqoh; al-Muntaqa; Nazhmu Durari al-Simthain; Yanabi’u al-Mawaddah; Syarhu Ushuli I’tiqodi Ahli al-Sunnati wa al-Jama’ati; Fadhailu al-Shahabah karya Ibnu Hambal; Mukhtasharu Minhaji al- Sunnati; Ushul wa Tarikhu al-Firaq; al-Mu’jamu al-Ausath karya Thabrani; al-Mu’jamu al-Kabir karya Thabrani; Jami’u al-Hadits; Jam’u al-Jawaami’; Kanzu al-‘Ummal; al-Sunnah karya Abdullah bin ahmad; al-Syari’ah karya al-Ajiriy; Fadhailu al-Shahabah karya Ahmad bin Hambal; Majma’u al-Zawahid; Mausu’atu Athrafi al-Hadits; Mausu’atu al-Takhrij; Usdu al-Ghabah; Tarikh Thabari; Tarikh Baghdad; Tarikh Demesyqiy; Mizanu al-I’tidal; Taju al-‘Arus; Lisanu al-‘Arab; dll).

Kesimpulan:

1. Nabi saww dan Ahlulbait yang suci –Hdh Fathimah as n 12 imam Makshum as- ada dalam satu maqam dan paling afdhalnya makhluk.

2. Afdhal sama dengan lebih tinggi dan dekat di sisi Allah secara hakiki.

3. Yang lebih tinggi/dekat, menjadi perantara Tuhan bagi yang lebih rendah/jauh.

4. Perantara, yakni dalam segalanya termasuk pengaturan.

5. Terbuktilah bahwa mereka mengatur dengan perintahNya


Catatan Sebelumnya:


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ