Tampilkan postingan dengan label Insan Kamil. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Insan Kamil. Tampilkan semua postingan

Selasa, 21 Agustus 2018

Lensa (Bgn 13): Tentang Shiraatu al-Mustaqiim



Oleh Ustad Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 19:11



Makna shiraatu al-Mustaqiim itu adalah jalan Islam yang lurus dan tidak memiliki kesalahan sedikitpun. Hal ini dapat dipahami dari dua jalan (setidaknya). Pertama dari kata-katanya, yakni “jalan lurus” dimana kalau ada bengkoknya sekalipun sedikit, jalan itu sudah tidak bisa lagi disebut dengan “jalan lurus”. Dalam logika, pahaman makna dari kata “jalan lurus” itu termasuk pahaman yang sangat mudah (dharuri, necessary knowledge).

Dapat dipahami dari ayatnya itu sendiri bahwa “jalan lurus” itu adalah yang tidak memiliki kesalahan sedikitpun. Karena dalam ayat itu, telah diterangkan adanya tiga sifat untuk “jalan lurus” tersebut:

Jalan orang-orang yang diberi nikmat (dalam ayat lain dikatakan bahwa meraka adalah para nabi, syhid, shalih dan shiddiqin), dan yang tidak dimurka (ghairi al-maghdhub) dan tidak tersesat (wa laa al-dhaalliin). Nah, pada kriteria ke tiga ini, dikatakan sebagai jalan yang tidak tersesat sedikitpun. Artinya tidak salah sedikitpun. Ini adalah arti jalan lurus atau “shiraatu al-mustaqiim” itu.

Tentang hubungannya jalan lurus dengan kenabian, sudah pasti ada hubungannya. Dan bahkan bukan lagi hubungan, tapi dasar dan pondasinya. Artinya, jalan lurus itu justru tidak bisa diambil kecuali dari ajaran Nabi saw, baik yang diterangkan melalui wahyu Qur'an (wahyu yang makna dan susunan katanya dari Tuhan dan berupa kitab suci al-Qur'an), atau baik melalui wahyu selain Qur'an (baik hadits Qudsi, atau seluruh ucapan dan perbuatan Nabi saww. karena seluruhnya itu adalah wahyu Tuhan yang maknanya dari Tuhan dan susunan kalimat atau penyampaiannya diserahkan ke Nabi saww.).

Dengan demikian, maka sudah tentu tanpa Nabi saww. jalan lurus itu tidak akan pernah terwujud. Masalahnya sekarang adalah apa setelah Nabi saww? Kalau tidak ada orang seperti Nabi saww, yang lengkap ilmunya dan benar semua tentang Islam, yakni tidak ada orang maksum (dalam ilmu dan amal) setelah Nabi saww, maka “jalan lurus” itu sudah pasti tidak akan ada.

Jadi, tanpa imam maksum yang ilmunya seratus persen lengkap dan benar, maka jalan lurus itu tidak mungkin ada.

Tentang hubungan jalan lurus dengan pengembangan ilmu, sudah pasti ada hubungannya. Karena jalan lurus itu dari sisi akhlakiahnya. Yakni jalan lurus itu adalah jalan kehidupan. Sementara pengembangan ilmu itu, adalah alat kehidupan. Jadi, dengan alat apapun, Islam tetap seiring denganya. Karena Islam bagian pengarahan hidupnya itu. Kalau dulu orang diharamkan mengganggu orang dan alat mengganggu seperti merusak alat rumah tangganya atau berteriak- teriak di waktu tengah malam (waktu tidur), maka sekarangpun tetap haram mengganggu orang sekalipun alat ganggunya seperti menyebar virus komputer dan seterusnya.

Saya dulu pernah menerangkan tentang Relatif-vertikal, yakni relatif meningkat ke atas yang sama-sama benar.

Di ini juga berlaku dengan dua dalil setidaknya. Nabi saww bersabda bahwa para nabi tidak berbicara dengan umatnya kecuali sesuai dengan kemampuan umatnya.

Nah, di sini sudah tentu di awal-awal islam, karena peradaban teknologi (bukan akhlaki yang cenderung sama dalam setiap generasi) jaman itu jauh di bawah masa sekarang, sudah tentu Nabi saww, menyesuaikan penerapan syariatnya dengan peradaban teknologi yang ada.

Jadi, hukum keharaman menyebar virus komputer waktu itu belum dinyatakan. Tetapi jelas ada dalam Islam, karena Islam adalah agama yang lengkap sampai hari kiamat. Karena itulah dalam Syi’ah tidak diperkenankan adanya qiyas (meminjam hukum pada suatu benda yang ada pada jaman Nabi saww ke atas benda yang tidak ada pada jaman itu tetapi mirip dengannya). Karena kalau kita meyakini Qiyas berarti meyakini akan ketidaklengkapan hukum Islam. Apalagi tidak ada suruhan Qur'an atau hadits yang menyuruh mengqiyas.

Dalam riwayat Ahlulbait as, dikatakan bahwa setiap ayat Qur'an itu memiliki 7 batin, dan masing- masing masih memiliki 7 batin lagi.

Dengan dua mukaddimah itu, maka dapat dipahami bahwa Islam Yang Jalan Lurus-pun memiliki tingkatan kebenaran. Artinya semuanya jalan lurus, tetapi dari sisi tingkatannya tidak sama.

Ketidaksamaan derajat jalan lurus itu, bisa dilihat dari dua sisi:

Dari sisi alatnya, yakni teknologinya, dimana jelas hal ini tidak menentang perkembangan ilmu. Jadi dari sisi kedalaman hukum atau karakternya yang dimunculkan adalah sama, seperti haram mengganggu orang lain. Tetapi dari sisi alatnya yang sudah dikembangkan, jauh berbeda dimana saking jauhnya teknologi yang baru tidak akan bisa dibayangkan dan dipercaya oleh orang masa lalu.

Contohnya, pernah imam Ja’far as berdebat dengan orang kafir yang sok ilmiah yang mengatakan bahwa hujan bukan dari Tuhan, tetapi dari air yang menguap karena panas matahari dan membeku kembali di langit karena dingin. Imam as, setelah menerangkan bahwa semua yang ada dari air, matahari dan hukum alamnya dicipta Tuhan (tidak terjadi dengan sendirinya) dimana dengan itu maka semua itu bisa dan bahkan harus dikatakan dari Tuhan (seperti hujan).

Setelah itu imam as bertanya pada orang itu “coba kamu lihat batu di sampingmu itu, apakah dia diam atau bergerak?”. Orang itu dengan tertawa menghina mengatakan “jelas diam”. Imam as berkata “dia dalam diamnya itu sedang aktif bergerak dan orang-orang di masa datang yang akan membuktikannya”. Dari riwayat ini dapat disimpulkan bahwa dari sisi alat hukum syariat, jelas tidak bisa disamakan. Tapi dari sisi hakikat hukumnya, maka Islam tetap sama.

Dari sisi hakikat hukumnya itu sendiri. Di sini, hukum yang dimaksud adalah dari sisi syariat Islamnya secara umum. Apakah ia berupa keilmuan tentang ke-Tuhanan atau adab di hadapan Tuhan. Ilmu ke-Tuhanan, sekalipun sudah dijelaskan dalam Qur’an dan Hadits, tetap saja memiliki peringkat-peringkat. Karena itulah Tuhan mengatakan untuk mengambil yang lebih baik dari wahyu-wahyu yang diturunkanNya (QS: 39: 55).

Atau di sebuat riwayat dikatakan bahwa Allah menurunkan surat Tauhid karena di masa yang akan datang ada orang-orang yang mendalami tentang ke-Tuhanan.

Jadi, disini perkembangan ilmunya terjadi langsung pada syariat islam itu sendiri. Tetapi ingat , ia tetap vertikal, jadi sama-sama benar. Orang yang memahami bahwa “Katakan bahwasannya Allah itu Satu” adalah benar. Dan yang memahami bahwa “Katakan bahwa Dia adalah Allah dan Allah adalah Satu”, juga benar. Dan kedua pahaman itu berbeda jauh bagai langit dan bumi. Tetapi dalam bentuk vertikal. Karena bagi pemahaman pertama maqam tertinggi itu adalah Allah, sementara bagi yang ke dua, Allah itu adalah Asma dan tajalli dari Huwa/Dia. Karena itulah bagi pahaman pertama kata huwa/dia itu diartikan sebagai kata sambung, yakni “bahwasannya dia adalah”, sedang bagi yang ke dua bermakna “Dia” yang tentu sebagai Subyek kalimat pertama, bukan kata sambung. 

Sedang tentang adab di hadapan Tuhan jelas, bisa dilihat perkembangan vertikal dari syariat Islam dalam bentuk-bentuk seperti irfan amali. Kalau di jaman dulu, mungkin jalan yang terlihat hanya beberapa jalan saja, hingga mencapai fana’ misalnya, tetapi kemudian terlihat ada seribu jalan atau bahkan sejuta jalan. Tentu saja semua itu dari Islam dan Qur'an, tetapi orang dulu tidak mampu melihatnya seperti orang kemudian.

Wassalam. 


Eman Sulaeman dan 6 orang lainnya menyukai ini.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Kamis, 02 Agustus 2018

Wahdatu Al-Wujud (Bagian: 9)




Seri Tanya Jawab : Hawra Insiyyah dan Ustad Sinar Agama, Oleh Anggelia Sulqani Zahra 
by Sinar Agama (Notes) on Wednesday, January 26, 2011 at 6:58 am



Hawra Insiyyah: Salaam ustad.. Allahumma shalli ala Muhammad wa aali Muhammad wa ajjil faraja al Mahdi wa al Masih ba’dah.. 

Afwan ustad.. mau menanyakan sabda-sabda suci ini : 

=> wallahi, kami / ahl bayt adalah asmaul husna. 

=> aku adalah ahmad tanpa mim. 

Mohon disyarahi, sebab bagi awam ini, ucapan suci itu masih terlampau agung untuk difahami.. 

...O iya ustad, kalau tidak keberatan ke dua ucapan suci tersebut sumber rujukannya apa ya? Sebab selama ini hanya dengar-dengar di ta’lim-a’lim saja, afwan Ustad. Kalau di ijinkan, bolehkah mengcopi catatan antum tadz? Semoga semua ini menjadi amal shalih bagi ustad yang bisa membuat sayidah Zahra tersenyum... bihubbi Zahra... Allahumma shalli ala Muhammad wa aali Muhammad. 

Sinar Agama : Bismillaah. Salam. 

Peringatan

1. Saya sangat tidak menganjurkan bagi siapapun untuk membaca tulisan ini. 

2. Yang saya tulis ini adalah apa yang ada dalam buku-buku Irfan dan ke-Shufian yang sesungguhnya, bukan yang sok shufi. 

3. Tidak mempercayai Wahdatu al-Wujud tidaklah haram dan apalagi masuk neraka. Jadi, kalau tidak paham, maka tinggalkan saja. 

4. Saya hanya mengangkat dari kitab-kitab, termasuk argumentasinya. Sementara saya sendiri, percaya atau tidak, maka hal itu adalah urusan saya secara pribadi dengan Tuhan. Jadi, tulisan ini tidak menggambarkan kepercayaan saya. 

5. Saya hanya menuliskan sebagai kewajiban menjawab pertanyaan, hingga kalau ilmu ini adalah benar menurut Allah, maka saya hanya mengharapkan Ridha dan PahalaNya. 

6. Saya sangat tidak rela tulisan ini dan begitu pula catatan lainnya tentang Irfan (bag: 1-7 dst), dijadikan trendi-trendian hingga dicuplak-culpik dijadikan status untuk bergaya-gaya, seperti yang saya lihat di beberapa status yang menulis secara nyentrik, masalah-masalah Filsafat, walaupun untuk membuat orang lain berfikir dan memancing perhatian dalam artian positif. 

7. Dalam tulisan ini, kata ganti Nya dengan N besar, diperuntukkan untuk Nama-nama Husna Allah, dari Nama Allah itu sendiri sampai kepada Nama Sifat Zat dan Perbuatan. Jadi, untuk menentukan apakah Nya itu sebagai katan ganti Allah atau seluruh Nama HusnaaNya, harus dilihat kontek kalimatnya. 

8. Tulisan ini, kalau benar menurut Allah swt, hanyalah sebagai penjelasan terhadap Insan Kamil. Jadi, jangan coba-coba mengkhayal untuk mencapainya. 

9. Mencapai insan-kamil, diperlukan setidaknya seribu maqam dimana maqam ke tiganya saja sudah harus bersih dari dosa. Jadi, yang akan sampai ke maqam yang tertulis dalam jawaban saya ini, adalah orang yang telah meninggalkan haram, makruh dan kesukaan pada: halal, karamat, kasyaf, ilmu, surga, al-lauhu al-mahfuzh, akal-satu dan fana’. Jadi, bukan dengan dzikir, seperti Allah-Allah, Huwa-Huwa atau Hu-Hu dan seterusnya. 

Jawaban Pertanyaan

1. Kalimat pertama adalah hadits dari makshumin as.: “Demi Allah kami adalah Nama-nama husna/baik Allah”. Terdapat di berbagai tempat: 

al-Kafi: 1: 144 (babu al-nawadir); 

Mustadraku al-wasail: 5: 230; Mustadraku Safinatu al-Bihar: 2: 391;Biharu al-Anwar: 91: 

6;Tafsir al- ‘Ayyasyi : 2: 42;Tafsir al-Shafi: 1: 114, 2:256;Tafsir al-Amtsal: 5: 307; dan lain-lain. 

2. Dalam catatan yang telah lalu tentang Wahdatul Wujud bag: 6 tentang dalil Naqlinya, telah diterangkanbahwaal-Asmaual-Husnaatau Nama-nama Baik Tuhan, adalah suatu keberadaan, bukan kata-kata. Karena Yang Melindungi dari Nama “Pelindung” adalah Maknanya, bukan kata-katanya. Begitu pula dengan Nama-nama yang lainnya seperti “Pencipta”, “Pemberi Rejeki”, “Penyembuh”, “Yang Melihat”, “Yang Mendengar”...dan seterusnya. 

3. Nama-nama Tuhan itu adalah Tajalli dari Maqam Tertinggi, Tergelap, Tertidak Tersentuh, Ter- Maha Ghaib, Ghaibnya Ke-Ghaiban (Ghaibu al-Ghuyub), yaitu maqam “Huwa” atau “Dia”. 

Maqam ini tidak dibahas sama sekali dalam Irfan. Jadi, kalau kita mengatakan Tuhan, maka yang dimaksud adalah Nama-nama itu. Jadi, pada hakikatnya Nama-nama itu dalam Irfan adalah Tajalli dari Tuhan Yang Huwa, bukan Tuhan Yang Huwa itu sendiri. Karena Yang Huwa ini, sama sekali tidak terjangkau oleh akal dan suluk serta kasyaf. Jadi, maqam ini tidak dibahas lagi. 

4. “Ada” atau “Satu Ada” atau “Wahdatu al-Wujud” yang dibahas dalam Irfan, adalah Tuhan yang terjangkau dengan akal (walau hanya maknanya, bukan penyelimutannya) ini. Yakni Nama- nama Husna tersebut, bukan “Huwa”. 

5. Dengan pembuktian akal dan suluk serta kasyaf, “Ada” adalah hanya “Satu” dan Dia adalah Tuhan, sebagaimana sudah dibahas di catatan-catatan sebelumnya. Dan Tuhan di sini, sekali lagi, bukan Huwa. 

6. Nama-nama baik ini dibagi tiga, “Nama Zat”, “Nama Sifat Zat” dan “Nama Sifat Perbuatan”. Yang pertama adalah “Nama Allah”, yang ke dua adalah Nama-nama dari sifat-sifatNya yang dimilikinya tanpa dihubungkan dengan yang lainnya, seperti Nama Ada, Qidam, Baqa’, Hidup, Kuasa, Ilmu, Murid ..dst, sedang yang ke tiga adalah Nama-nama yang dimilikiNya setelah Dia melakukan sesuatu atau dipahami setelah menghubungkanNya dengan selainNya, seperti Nama Pencipta, Pemberi Rejeki, Pengampun...dan seterusnya. 

7. Dalam istilah Irfan, setelah maqam Huwa itu, adalah maqam Ahadiyyah (Satu yang Esa atau tidak terangkap), dan setelah Ahadiyyah adalah maqam Wahidiyyah (Satu yang Kesatuan/ rangkapan). 

8. Ketiga maqam di atas itu adalah Maqam Ke-Tuhanan yang, biasanya tidak disebut Tajalli, sekalipun pada hakikakatnya adalah Tajalli. Yakni Allah adalah Tajalli Huwa; Nama-nama Sifat Zat adalah Tajalli Nama Allah; Dan Nama-nama Sifat Perbuatan adalah Tajalli dari Nama Sifat Zat. 

9. Tajalli Tuhan dimulai dari Akal-satu, lalu melaui Akal-Satu, Tuhan meneruskan TajalliNya ke Akal-Dua .....dan seterusnya sampai ke Barzakh dan Alam Materi, sebagaimana sudah sering dijelaskan. 

10. Akal disebut juga Jabaruut, dan Barzakh sebagai Malakut, sedang Materi disebut Nasut. Akal dan Barzakh juga disebut al-‘Alamu al-Amr (sekali jadi, non materi dan non proses/perubahan waktu), sedang Alam Materi disebut al-‘Alamu al-Khalq (pengkadaran, pembentukan, pem- batasan). Sekalipun, sekali lagi, bahwa sejak dari Akal-Satu itupun sudah al-Khalq atau Pembatasan. Akan tetapi karena susah dijangkau maka al-Khalq (bukan ciptaan sebagaimana maklum) itu diistilahkan untuk Alam Materi. 

11. Karena “Ada” hanya satu, maka “Ada” yang membentang dari Nama Allah sampai ke Alam Materi ini, disebut al-Nafasu al-Rahmani. Yakni Nafas Ke-Maha Kasih-an. Diserupakan dengan nafas yang belum membentuk huruf-huruf. Sementara Nama Allah sampai ke Alam Materi disebut dengan al-Huruf atau al-Kalimat. Karena Sang Nafas/wujud telah membentuk huruf dan kalimat yang, dalam hal ini adalah makna Allah sampai ke Alam Materi itu, bukan kata- katanya, sebagaimana maklum. 

12. Dalam catatan yang telah lalu tentang Wahdatu al-Wujud ini, sudah diterangkan bahwa pesuluk memiliki 4 perjalanan: 

a. Dari makhluk ke Khaliq, yakni dengan meninggalkan maksiat, makruh, suka dunia halal, suka karamat, suka kasyaf, suka Barzakh, suka surga, suka Akal-Terakhir atau al-Lauhu al-Mahfuzh, suka ini dan itu....dst, sampai meninggalkan kesukaan pada Akal-Akhir, hingga Fana’ dan meninggalkan kemerasaFanaa’annya. 

Ketika sudah sampai di Fanaa’nya Fanaa’ ini, maka seorang pesuluk sudah meninggalkan selain Tuhan dan sudah sampai kepada Maqam Kebodohan Mutlak (Zhaluman Jahulan yang dipujikan kepada manusia oleh Tuhan dalam Qur'an). Hal itu karena yang dihadapinya sekarang hanyalah Tuhan Yang Tidak Terbatas yang, karena ke-tidak TerbatasanNya membuatnya tidak tahu sama sekali tentangNya. 

Karena kalau Tuhan itu Maha Luas, maka bisa diketahui walau sedikit. Tapi ketika Tuhan itu Tidak Terbatas, maka tidak ada kata sedikit yang bisa diketahui. Karena kalau ada sedikitNya, maka ada BanyakNya alias LuasNya. Dan kalau ada LuasNya, maka pasti ada BatasanNya, sekalipun Maha Luas. Jadi, karena lawan Tidak Terbatas adalah terbatas, bukan sedikit, maka Tuhan tidak lagi bisa diketahui olehnya. Sementara kita-kita yang merasa tahu ini, adalah kebodohan di atas kebodohan. 

b. Dari Khaliq ke Khaliq, yakni setelah seseorang tidak melihat dan menyukai apapun sekali- pun dirinya dan kefanaa’annya, dan hanya melihat dan merasakan AdaNya, maka sekarang ia bisa melanglangiNya, dimulai dari Nama-nama Sifat PerbuatanNya sampai ke Nama ZatNya, sesuai kemampuannya. 

Masing-masing salik atau pesuluk, dalam hal ini memiliki kemampuannya sendiri-sendiri. Maka sesuai dengan kemampuannya itulah seseorang bisa menyentuh berapa Nama dan sejauh apa dari masing-masing Nama yang disentuhnya itu. 

c. Dari Khaliq ke Makhluk, yakni setelah seseorang melanglangi Nama-namaNya, maka sesuai dengan KehendakNya, ia akan turun lagi ke selainNya. Namun, turunnya sekarang ini sudah bukan dirinya lagi, tapi sebagai alatNya. Kalau Fanaa’ adalah maqam “Mabuk” dan “Pingsan” (Mahwun), maka maqam ke tiga ini adalah maqam “Sadar Setelah Pingsan” atau “Siuman” (Shahwun). Namun, kesadarannya sudah bukan kesadaran sebelum Fanaa’ lagi, karena waktu itu, ia sendirilah yang melakukan suluk, sedang sekarang ia sudah menjadi alatNya, MataNya, TanganNya,KakiNya, MulutNya dst. 

d. Dari Makhluk ke Khaliq bersama makhluq, yakni setelah seseorang melakukan perjalanan ke tiga ini, baginya menjadi jelas apa saja tentang rahasia keberadaan ini (bc: tajalli). Oleh karenanya dia tahu juga rahasia agama dan mengapanya serta mengapa pada masing- masing ajarannya. 

Lalu dalam perjalanan ke empat ini, ia dengan MauNya, mengajak semua selainNya kepadaNya. Inilah yang dalam istilah dikatakan sebagai Maqam Kenabian. Jadi, semua pesuluk yang sampai ke maqam ini, maka ia, secara batin, sudah menempati posisi maqam kenabian. Namun, siapa yang akan ditunjuk menjadi Rasul olehNya, artinya yang akan dikehendaki sebagai RasulNya, maka tergantung kepada Mau dan IradahNya. 

Tentu saja, akan disesuaikan dengan semua kondisinya. Oleh karena itu, yang buta, cacat, tidak baiknya turunannya dst tidak akan diangkat menjadi RasulNya, karena akan membuat orang lain lari dan menjauh darinya. Hal mana yang seperti ini, sekalipun kalau Allah mengazab mereka tetap Adil dan Bijaksana, akan tetapi Tuhan, akan keluar dari sifat Lembutnya (Lathif) dimana maknanya adalah memudahkan hambaNya untuk taat dan menyulitkannya untuk maksiat. 

13. Salah satu konsep filsafatnya non materi, adalah 1+1=1. Hal itu karena non materi tidak lagi dibatasi dengan volume yang merupakan konsekuensi dari kebendaan. 

14. Pesuluk atau Salik yang sampai kepada wujud-wujud non materi itu, maka mereka, kalau sudah sempurna, akan menyatu dan menjadi si yang dicapainya itu. Kalau Barzakh, maka ia akan menjadi Barzakh itu, begitu pula kalau Akal-Akhir atau Akal-Satu. 

15. Pesuluk yang sampai ke maqam Nama-nama, juga demikian. Mereka akan menyatu dengan Nama-nama itu sesuai kemampuannya sendiri-sendiri, baik dari sisi jumlahnya atau keluasan masing-masingnya. 

16. Dengan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa maqam-maqam setelah Fanaa’ adalah Wahidiyyah (Sifat Fi’liyyah dan Zatiyyah) dan Ahadiyyah. 

17. Ahadiyyah, yakni Allah, karena Dia dalam Irfan adalah Nama dan Tajalli dari Huwa Yang Maha Tidak Terbatas dan Ghaibu al-Ghuyub, maka Dia adalah Terbatas. Namun demikian, tidak ada yang tahu batasanNya. Oleh karena itu dalam pembicaraan dan tulisan, selalu dikatakan sebagai Yang Maha Tidak Terbatas. Terlebih lagi, setelah kita tahu bahwa maqam Huwa yang di atasNya, sama sekali tidak bisa tersentuh. Jadi, penisbatan atau penghubungan atau pensifatan Tidak Terbatas, selalunya ditetapkan ke “Nama Allah”, bukan ke Huwa/Dia. 

18. Karena Nama Allah itu hanya Huwa yang tahu batasanNya, dan bahkan Nama-nama Sifat Zat dan Sifat Perbuatanpun hanya Huwa yang mengetahui batasannya, maka siapapun yang melanglangi Maqam Nama-nama Baik/Husna ini, tidak akan ada yang tahu batasanNya. 

19. Orang yang sampai ke maqam Nama-nama Baik itu, karena dari sisi Ruh-nya yang non materi, dan ke-non-materian Nama-nama tersebut, maka rumus 1+1=1 itu berlaku. Yakni mereka men-satu dengan Nama-nama tersebut. 

Namun, sekali lagi, bahwa tidak ada yang bisa dikatakan bahwa dia telah sampai ke semua batasan atau kesempurnaan Nama yang dicapainya itu. 

20. Sekalipun pen-satuan yang sampai kepada Nama-nama Husna itu tidak bisa dikatakan telah mencapai seluruh kesempurnaan dari Nama yang dicapainya, akan tetapi sudah bisa dikatakan sebagai NamaNya. Setidaknya, sebagai Tajalli Nama yang dicapainya itu. 

21. Ke-men-satu-an yang sampai kepada Nama-nama Baik Allah itu, dalam Qur'an diterangkan sebagai “Menjadi”, yakni “Menjadi Tuhan” atau “Menjadi Nama-nama HusnaNya” yang, bahasa Arabnya adalah al-Mashir. 

Dalam QS: 2: 285: “...dan meraka berkata: Kami mendengar dan kami taat (mereka berdoa): Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah menjadi (terjamahan DEPAG: ..kembali)”. Kalau Allah memakai kata “Turja’un”, seperti di ayat lain, maka bermakna “kembali”. Akan tetapi di sini memakai kata “Mashir” atau “Menjadi”, jadi tidak bisa diterjemahkan dengan “kembali”. 

Dalam QS: 3: 28: “...dan kepada Allah menjadi/dijadikan”. Lihat juga QS: 5: 18; 24: 42; 31: 14; 35: 18; dll-nya yang banyak sekali. 

Tentu saja kalau kemenjadiannya itu ke tempat lain, terkhusus neraka, maka ia juga adalah ke- men-satu-an dengan neraka. Oleh karenanya dalam Qur'an dikatakan sebagai “Bi’sa al-Mashir” atau “Se-buruk2 tempat menjadi”. Lihat QS: 2: 126; 3: 162; 8: 16; dll-nya yang juga banyak sekali. Rahasianya, karena neraka adalah non materi. Karena itu konsep 1+1=1 juga berlaku. Akan tetapi, karena manusia yang menyatu dengan apa-apa yang tidak sesuai dengan esensinya, seperti api-barzakhi, maka ia akan merasakan secara Hudhuri panasnya dan akan tersiksa karenanya. 

22. Namun demikian, sebagaimana sudah dijelaskan di atas, bahwa yang sampai ke maqam Nama-nama Baik itu, tidak bisa dikatakan bahwa ianya telah sampai ke seluruh batasan atau kesempurnaan Nama yang dicapainya itu. Hal itu karena hanya Huwa yang tahu secara hakiki. Dan karena ketidak bisaan seseorang mencapai NamaNya itulah maka Tuhan dalam Qur'an memakai kata “ilaihi”, yakni “KepadaNya” atau “Kepada Allah” atau “KepadaMu”, dalam ayatNya yang berbunyi “mashir” atau “menjadi” atau “dijadikan” itu. Perhatikan contoh ayat di atas, QS: 2: 285 dan 3: 28. Maka disana dan di tempat lain, sebelum mengatakan “menjadi”, telah dipakai kata “kepada”. 

Artinya, bahwa sejauh apapun ke-men-satu-an yang dicapai manusia, maka ianya tetap merupakan “ke-menjadian kepadaNya”, bukan “ke-menjadianNya”. 

23. Dengan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa yang mencapai maqam Nama-nama Husna itu, dari satu sisi bisa dikatakan “men-satu”, dan dari sisi lainnya dikatakan “tajalliNya”, atau “bukanNya”. 

24. Kegamblangan dalil terhadap ke-Tajalli-an yang sampai itu, bahwasannya ianya tidak-men- jadiNya atau tidak men-satu secara hakiki dengan Nama-namaNya atau “kemenjadian kepadaNya”, adalah Wahdatu al-Wujud itu sendiri. 

Artinya, ketika Wujud itu hanya satu dan ia adalah Nafas Rahmani itu, maka Sang Wujud Mutlak itu tetap langgeng dan tidak pernah bergeser dan/atau berubah. Jadi, hiruk pikuk perjalanan Salik/Pesuluk dan wujud-wujud Materi, Barzakhi, Akli dan Nama-nama Husna itu, sebenarnya hanyalah dalam Tajalli itu. 

Dan karena bahasan (irfan teori) atau capaian (irfan amali yang amali) tertinggi manusia adalah Nama Zat, yakni Nama Allah, maka Nafas Rahmani (wujud) itu dihubungkan kepada Allah. Jadi, Allah-lah pemilik Nafas Rahmani itu secara hakiki dalam Irfan dan selainNya adalah TajalliNya, baik berupa Nama-nama HusnaNya, atau Akal, Barzakh dan Materi. 

Kalau demikian halnya, yakni kalau wujud itu, semuanya adalah Dia dan hanya MilikNya yang, dalam arti DiriNya sendiri, maka keselainanNya adalah TajalliNya. Jadi, gradasi yang bermakna tingkatan, dan kehiruk-pikukan itu hanya di TajalliNya saja, bukan di Wujud. Walaupun demikian, yakni walaupun selalu dalam Tajalli, akan tetapi tetap saja yang sampai kepada Tajalli Nama-nama Baik itu, tidak akan sampai kepada seluruh batasan atau kesempurnaan Nama yang dicapainya tersebut, sebagaimana sudah diterangkan. 

25. Dengan demikian, maka yang sampai kepada Nama-nama Husna itu, bisa dikatakan seba- gai Nama-nama Husna karena ke-mensatu-an yang diakibatkan oleh kesamaan ke-non materiannya itu. Walaupun tetap tidak bisa dikatakan sepenuhnya “menjadiNya” yang dikarenakan “kemenjadian kepadaNya” itu, yakni bukan “kemenjadiNya”. 

26. Dan karena Rasul saww dan Ahlulbait adalah paling afdhalnya manusia dan tajalli, hingga dikatakan sebagai Rahmat bagi segenap alam-alam, maka sudah tentu, mereka adalah Nama-nama Husna itu. Inilah yang dimaksudkan oleh hadits yang ditanyakan. Allahu A’lam. 

27. Dan karena semua insan Kamil, terutama para nabi dan washi-washi sebelum Rasul saww adalah secara yakin telah sampai kepada Perjalanan ke Empat, maka sudah pasti mereka juga merupakan orang-orang yang melanglangi maqam Nama-nama Husna tersebut. 

28. Namun demikian, karena kita melihat dari ayat-ayat, dinyatakan bahwa Nabi saww adalah rahmat bagi segenap alam semesta (QS: 21: 107), dan Ahlulbait as juga adalah diri beliau saww, sebagaimana dalam ayat-ayat (QS: 3: 61) dan riwayat-riwayat yang banyak sekali, maka pastilah maqam mereka as di tingkatan Nama-nama Husna ini berada di paling tingginya dan paling sempurnanya. Dengan demikian dapat diketahui bahwa pembeda insan kamil dengan insan kamil lainnya, nabi dengan nabi lainnya, imam dengan imam lainnya dst, ada di maqam Nama-nama Husna ini, bukan di Jabaruut dan apalagi di bawahnya. 

Catatan untuk point 24: Irfan Teori artinya adalah ilmu yang membuktian kebenaran Wahdatu al-Wujud. Seadang Irfan ‘Amali adalah ilmu yang membahas teori pencapaiannya, bukan pencapaiannya itu sendiri. Oleh karena itu saya tulis dalam kurung di atas sebagai “amali yang amali”. Artinya capaian dan ke-men-satu-an-nya, bukan teori pencapaiannya. 

29. Dengan semua penjelasan di atas, maka kalimat ke dua dari yang ditanyakan tersebut di atas, dapat dipahami. Sekalipun hadits itu, sepertinya, tidak termuat kecuali dalam satu kitab saja. Yaitu kitab Khuthbatu al-Iftikhar yang, masih banyak yang menyangsikan keshahihannya. Arti “Aku Ahmad tanpa mim” adalah “Aku Ahad”, yakni “Aku telah sampai di maqam Ahadiyyah”. 

30. Sekali lagi jangan lupa, bahwa yang dimaksudkan dari “Aku Ahad” tetap saja adalah Tajalli Si Empunya Wujud, bukan Wujud itu sendiri, oleh karenanya “Selalu KepadaNya”, bukan “MenjadiNya”. 

Semoga bermamfaat dan sekian terima kasih. Al-fatihah – sholawat. Wassalam. 

Sinar Agama: Sinar Agama salam, terimakasih banget, maaf sering direpotin, afwan. 

Anggelia Sulqani Zahra: Ustad. Apalah diri ini dibandingkan kami sering bertanya pada ustad, dan masyaAllah ustad di antara kesibukannya dengan tulusnya melayani pertanyaan-pertanyaan kami,,.. sungguh benar-benar Sinar Agama... 

Sinar Agama: syukur kalau kamu tidak marah kala kumintai tolong. Aku kadang lupa basa-basi, hingga terasa seperti kurang sopan, jadi afwan banget. Semoga kita termasuk kafilah-kafilah yang berhijrah kepadaNya danRasulNya saww amin, begitu pula temen-teman lainnya. 

Pencinta Ali: afwan ingin penjelasan, di kala kita mengutip perkataan imam Ali: wa Allahi nahnu Ahlulbayt asma’ul husna. Sedangkan kita mengetahui bahwa di antara asmaul husna ada Allah, yg menjadi pertayaan apa mereka Allah? 

Sinar Agama: Pencinta: Kurasa saya sudah menjelaskannya di atas, mohon diperhatikan, jangan buru-buru. Nanti kabari lagi, afwan. 

Pencinta Ali: Ali Ruhullah, Ali ruhnya Allah dan Muhammad jasadnya jiwa tanpa ruh maka tak hidup. 

Sinar Agama: Pencinta Ali Ali ruhullah, Ali ruhnya Allah dan Muhammad jiwa, jiwa tanpa ruh maka tak hidup. 

Sinar Agama: Pencinta: Ali Ruhullah itu tidak ada hubungannya dengan pembahasan kita. Ruhullah itu seperti baitullah, janntullah, ...dan seterusnya. Jadi penisbatan kepemilikan. Emangnya bisa Allah dikatakan memilki ruh, dan ianya adalah Ali as? Kalau Ali as Ruh Rasul saww, itu bukan maknanya Rasul saww adalah jasadnya dan Ali as adalah ruhnya. Itupun kalau kalimat itu ada dalam riwayat. Maksud Ali as adalah ruh Nabi saww, artinya karena tanpa Ali as dan makshumin as lainnya, ajaran Nabi saww tidak akan ada gunanya dan akan hilang setelah masa beliau saww. Karena kalau agama tidak dijaga orang makshum maka semua orang akan memahminya dengan akal tidak makshumnya dan akhirnya agama akan menjadi amburadul tidak karuan. 

Jadi, ruh disini adalah Majazi/simbolik, bukan hakiki. Yakni Ali as dan para imam makshum as adalah penyemangat Nabi saww. Atau bisa diartikan bahwa Ali as dan imam makshum lainnya as adalah ruh agama Nabi saww. Jadi, makna dari kata Ali as adalah ruh Nabi saww adalah Ali as adalah ruh agama Nabi saww. Seperti Husain as dariku dan aku dari Husain as. Dan kalaulah memiliki makna hakiki, tentu saja imam Ali as sama sekali tidak akan pernah mengunguli Rasul saww. 

Jadi, makna dari Ali as adalah ruh Nabi saww, adalah Ali as adalah milik Nabi saww atau ruh yang dimiliki Nabi, yakni ruh yang dibentuk Nabi saww dan menjadi miliknya, sebagaimana Tuhan mengatakan telah menghembuskan RuhNya kepada janin yang sudah siap menerimanya. 

Jadi, ruh di sini, adalah ruh yang dibuat Tuhan dan milikNya. Biasanya, penisbahan ini dikarenakan kemulian atau keagungan masalah atau makhluk tsb. Seperti ruh, ka’bah ..dst. begitu juga imam Ali as terhadap Rasul saww sebagai pendidiknya, pemiliknya dan kesayangannya. 

Sinar Agama: Jadi, karena Rasul saww adalah pendidik dan penyayang Ali as, maka Ali as adalah milik beliau saww. Dan karena Ali as bukalah apa-apa kecuali kemuliaan ruhnya, bukan badaniahnya, maka ruh Ali as sama dengan Ali as. Dan ianya adalah ruh Rasul saww, yakni MILIK DAN KESAYANGAN RASUL SAWW. Sebagaimana ruh-Tuhan yang dihembuskan itu. Jadi, dimensi ke- ruh-an ruh kepada Allah atau ke ruh-an Ali as kepada Nabi saww adalah dimensi kedimilikiannya, bukan kememilikiannya. 

Pencinta Ali: anda pahami dulu kontek ruhullah, mengapa bukan rosul yang mendapatkan julukan tersebut, bahkan dalam hadis mufakhoro imam Ali mengatakan aku wahnya Allah di langit. 

Iday Sampaey: justru itulah personafikasinya dari majas tersebut,, dan secara subjektif, saya katakan, oleh karena Ali yang mampu mentransformatifkan nilai-nilai dan pengetahuan pasca Rosul, sehingga ini hanya kontinu imanensi kesempurnaan bagi setiap pertanyaan dan masalah keadaan jaman dan seterusnya... kecuali kalau saya yang salah koment. 

Sinar Agama: Pencinta: komentar alfakir ini sudah jelas, terimakasih. Jadi pandai-pandailah menerapkannya. 

Sinar Agama: Iday: kagum sama kecerdasannya. Sebagai tambahan, ketika siapa saja sampai ke maqam non materi, maka semua menjadi semua, artinya jadi satu. Jadi, siapapun boleh mengatakan sebagai wahyu, ’arsy, lauhu al-mahfuzh, ilmu Tuhan, kehendak tuhan, Mata Tuhan ....dst. Jadi tidak ada pengkhususan lagi di sana, karena maqam itu maqam yang bisa dicapai semua orang. Kekhususan masing-masing orang itu, terutama para nabi as dan imam makshum as, adalah di maqam Nama sebagaimana yang sudah dijelaskan di catatan dengan jelas. 

Namun, demikian tetap saja semua orang yang di sana bisa mengatakan sebagai Nama-nama Husna itu, karena 1+1=1 dalam non materi. Tapi dari sisi jumlah Nama Husna yang dicapai, dan berapa keluasan dari masing-masing Nama yang dicapainya itu, hanya Allah dan dirinya yang tahu. Jadi, hanya di maqam Nama itulah adanya perbedaan di samping persamaannya. Artinya maqam setelah Fanaa’ dimana semua itu di atas Akal-Satu. Sementara ’Arsy, lauhu al-mahfuzh, wahyu, kitab Qada dan qadar (bc: ilmu Tuhan sebagaimana sering dijelaskan, yakni bukan nasib manusia)....dst jutaan tingkatan dibawah Akal-Satu. 

Sementara semua derajat sampai ke Akal-satu itu adalah derajat yang tidak beda bagi yang sampai. Jadi, semua yang Fanaa’ bisa dikatakan satu derajat. Beda itu terjadi manakala di maqam Asma/Nama-Husna, yakni di Perjalanan ke dua (dari Tuhan ke Tuhan). 

Sinar Agama: Mengenai Nabi saww, beliau adalah pengajar pertama Islam. Maka itu dikatakan beliau saww berperang sesuai turunnya ayat (lahiriah ayat) dan imam Ali as berperang sesuai takwilnya ayat. 

Jadi, pada awal-awal ke Islaman Nabi saww tidak diperkenankan Allah untuk mengatakan yang batin-batin kepada manusia kecuali kepada murid khususnya seperti imam Ali as. Ekstrimnya, setinggi apapun imam Ali as, tetap dalam genggaman Nabi saww. 

Maka itu tidak heran kalau imam Ali as yang dikenal dengan singa padang pasir itu, yang membelah Ibnu Wud pendekar Mekkah menjadi dua, mengatakan +/-: ”Kalau perang sudah sangat dakhsyat, kami berperang sambil di balik punggung Nabi saww (yakni berbenteng Nabi saww)”. Artinya tidak ada yang bisa mendahului Nabi saww. 

Jadi, dalam perang diri, juga tidak ada yang bisa mendahuluinya hingga orang lain punya sesuatu kemudian beliau saww tidak memilikinya. Imam Ali as menjadi imam Ali as, karena Nabi saww. Imam Ali as menjadi ’Arsy, wahyu, ilmu Tuhan...dst adalah karena dibimbing Nabi saww. Karena Nabi saww adalah Nabinya, gurunya dan mursyidnya. Tentu saja sekaligus penyintanya, pembelanya, jiwanya, harapannya, penyemangatnya (terkhusus untuk ke depan sebagaimana sudah diterangkan), jiwanya, hatinya, jantungnya, cintanya....dan seterusnya. 

Pencinta Ali: andai kata anda mengetahui siapa sosok Ali sebenarnya, maka anda akan menjadi orang yang seperti saya, dan mungkin ini lama untuk mendapatkannya. 

Sinar Agama: Pencinta: Komentarku sudah jelas. Kuanjurkan segera melakukan taubat. Atau bangun argument antum dan paparkan kepada kita. Jangan hanya mendakwa. Kita di  sini, bebas berpandangan dan tanggung jawabnya sendiri-sendiri di dunia dan akhirat. Yang sangat diharapkan adalah adu dalil dan argument, bukan kokoh-kokohan berdakwa. Tafadhdhol kalau antum berdalil, maka kita akan lihat secara bijak. Saya sih sementara ini tetap sebagai Syi’ah 12 imam, yang meyakini bahwa siapapun dari para imam as, tak terkecuali adalah imam Ali as, semuanya, adalah murid Rasul saww dan ada di bawah beliau saww (derajatnya). 

21 Desember 2010 jam 9:35 · Suka · Hapus




اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Senin, 30 Juli 2018

Peristiwa Nabi Adam as dalam Pandangan Filsafat (Hadiah Kecil Ied Ghadir Khum)



Seri Tanya – Jawab
by Sinar Agama (Notes) on Wednesday, November 24, 2010 at 11:05pm


Haerul Fikri: Bertanya:
Salam, ustad.. Sudah menjadi ketetapan Tuhan untuk menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi. Dan, sepengetahuan saya, nabi Adam as adalah golongan hamba yang mukhlas (makshum) yang tak pernah melanggar syari’at dan tak tersentuh sedikittpun oleh iblis.

Nah, bukankah pelanggaran nabi Adam as atas perintah untuk tidak menyentuh buah “Khuldi” telah menyalahi syari’at, dan juga dalam kalamullah dituliskan pelanggaran itu atas bisikan iblis. Ini berarti telah membatalkan ke-mukhlas-annya.


Mengenai ketetapan Tuhan, apakah ketetapan-Nya untuk menjadikan nabi Adam as sebagai khalifah di bumi ini atas pengetahuan-Nya bahwa nabi Adam as akan melanggar perintah-Nya?

Mohon uraiannya, ustad.....

Sinar Agama: menjawab: Bismillaah: ’Alaikum Salam.

1. Pengetahuan ini tidak terlalu penting untuk diketahui. Konsen kita mesti kepada akidah dan fikih sebagai aplikasinya. Karena dua hal inilah yg paling inti dan melandasi apakah kita masuk surga atau neraka. Kalau kita mau membingungkan banyak hal yang tidak inti, maka saya takut hal itu datang dari pengganggu pikiran kita supaya konsen kita melenceng ke tempat yang tidak seharusnya, atau ke tempat yang tidak afdhal. Dan ketahuilah bahwa banyak sekali yang kita tidak tahu, seperti jin dan sebagainya. Nah, kalau kita terlalu terganggu dengan semua itu, maka kita akan meninggalkan dua asas penting kehidupan tersebut. Jadi barhati-hatilah dalam hidup yang cuma sekali ini. Jadi, kalaulah masih ada juga pertanyaan dan pencarian kepada yang tidak terlalu afdhal itu, maka janganlah sampai merusak konsentrasi kita dalam keduanya itu.

2. Dalam jawaban ini, bagi statemen yang memerlukan mukaddimah, tapi yang sudah dibahas di catatan-catatan lainnya, maka saya tidak akan mengurai lagi dalil-dalinya, dan akan mencukupkan dengan memberikan isyarat kepada perujukannya saja.

3. Sesuai dengan rincian yang ada di “Pokok-pokok dan Ringkasan Ajaran Syi’ah” dan lebih tepatnya di “Wahdatul Wujud”, telah dibahas tentang 3 tingkatan alam: (a) Alam-Akal (dari Akal-satu s/d Akal-Akhir). (b) Alam-Barzakh (tengah antara Alam-Akal dan Alam-Materi yang juga disebut dengan “Para Malaikat Pengatur”. (c) Alam-Materi.

4. Alam-Akal juga disebut dengan Jabaruut, Surga Muqarrabin, Malaikat-Tinggi atau ’Aliin. Dan Akal-Akhir juga disebut dengan “Kitab Terjaga” atau “al-Lauhu al-Mahfuzh” (baca: Ilmu Tuhan, bukan penentuan terhadap nasib manusia, lihat Pokok-pokok dan Ringkasan Ajaran Syi’ah bag:2 tentang ke-Adilan Tuhan). Barzakh juga disebut dengan Malakut, Khayal (bukan khayalan manusia), Mitsal, Kitab Qada dan Qadar (baca: Ilmu Tuhan yang masih bisa berubah, bukan penentuan nasib yang bisa berubah, lihat Pokok-pokok dan Ringkasan Ajaran Syi’ah bag: 2 tentang ke-Adilan Tuhan). Sedang Alam-Materi juga disebut dengan Nasut, Gerak, Jaman, Proses...dst.

5. Letak surga-neraka dalam Filsafat dan Irfan, ada di Alam-Barzakh atau Alam-Tengah itu. Neraka adalah maqam terdekat dengan materi dan surga di atas maqam surga dan lebih jauh dari maqam materi.

6. Ketiga alam itu, satu sama lainnya, terkait dengan sistem sebab akibat, dimana yang atas menyebabkan yang di bawahnya dalam wujud dan keberadaan. Jadi yang atas menjadi tangan Tuhan untuk mewujudkan yang dibawahnya, seperti mani untuk mewujudkan tubuh manusia.

7. Karena yang atas yakni yang lebih dekat dengan Tuhan maqamnya (bukan tempat), adalah sebab bagi yang dibawah, maka yang di bawah sama sekali tidak akan bisa melepaskan diri darinya. Dan sudah tentu yang di atas akan menjadi semacam ruh dan asas bagi keberadaan yang dibawah. Jadi, sebagaimana badan manusia ada dalam keasasan mani yang telah menjadinya, maka alam atau wujud yang dibawah, ada dalam keasasan yang di atas tanpa bisa berpisah sedikitpun.

8. Karena penciptaan Alam-Materi melalui Barzakhi, maka masing-masing esensi yang ada di Alam-Materi ini, memiliki sebab tersendiri di Alam-Barzakh. Karena esensi api tidak mungkin diakibatkan oleh esensi air, atau esensi apapun selainnya, karena antara sebab dan akibatnya harus memiliki kesejenisan dan kemiripan (karenanya biji padi tidak mungkin mengakibatkan pohon kelapa dan semacamnya).

Dengan demikian maka setiap esensi di Alam-Materi ini, memiliki esensi di Barzakh itu yang telah mewujudkannya dan mengeturnya. Yakni memiliki malaikat tersendiri di sana. Itulah yang dalam Filsafat dikenal dengan tuhan-Spesies, atau tuhan-Esensi (semuanya dengan “t” kecil), atau “Malaikat-Pengatur” atau “Mudabbiraati Amran” (QS: 79: 5)

9. Karena Neraka adalah yang tidak menyenangkan bagi manusia, artinya yang tidak selaras atau tidak berkesesuaian dengan manusia, seperti api, nanah, bangkai.....dst, maka berarti Neraka itu adalah maqam capaian manusia dengan tidak bertauhidnya, tidak berfikihnya...... dst dimana letak maqam tersebut di bagian paling bawah dari Alam-Barzakh manakala nanti kembali atau mati. Tentu saja yang mengatur mereka nanti adalah tuhan-spesies dari masing- masing yang tidak menyenangkan itu yang, dalam istilah agama dikenal dengan “Malaikat- Neraka” atau “Malaikat-Penjaga-Neraka”.

Begitu pula tentang surga, yakni yang menyenangkan dan berkesesuaian dengan esensi manusia, maka surga juga merupakan tempat atau maqam yang akan dicapai oleh manusia karena tauhidnya, fikihnya ...dan seterusnya dimana akan menempati di atas maqam neraka itu. Hal itu karena Surga maqam yang lebih jauh dari keterikatan dan kesukaan kepada dunia- fana dan kesukaan kepada kenikmatan-abadi. Karena itulah orang yang cinta dunia sulit memasuki surga.

Sebaliknyadenganneraka, karenaia adalah tempat yangketidakmanusiaan, ketidaklanggengan dalam kenikmatan (baca: kenikmatan dunia)....dst, maka ianya lebih dekat dengan alam- materi. Karena itulah yang masuk ke neraka adalah orang-orang yang mencintai dunia.

10. Pewujudan dari Alam-Materi yang memiliki ruh, dan semua materi memiliki ruh, maka dengan dua proses. (a) Proses materinya, seperti dari mani ke darah, ke daging, ke janin dan bayi. (b) Peniupan ruhnya ketika badaniahnya sudah siap menerimanya. Tentu saja peniupan di sini bukan seperti meniup balon. Karena peniupan di sini adalah non materi.

11. Nabi Adam as dan siti Hawa as, dicipta Tuhan dari tanah. Berarti mereka as ada di bumi, bukan di surga. Jadi proses pemersiapan peniupan ruhnya itu alias pembentukan badaniahnya, adalah di bumi dengan tanah, bukan di surga yang non materi itu (barzakh tadi). Karena alam-Materi adalah Alam yang memiliki Matter, dan Barzakhi yang tidak memiliki matter atau material walaupun memilki bentuk-bentuk dan sifat-sifatnya (selain matter, bendawiyah atau volume/isi) seperti bentuk ular bagi esensi ular, panas dan bentuk api bagi esensi api ....dan seterusnya. Jadi Barzakh adalah non materi, walau tidak murni seperti Alam-Akal.

12. Ketika peniupan ruh oleh Tuhan melalui malaikatNya, dan ketika setiap esensi di Alam-Materi diatur oleh malaikat tersendiri sebagai tuhan atau pengatur spesiesnya itu, dan ketika manusia dengan akalnya merupakan makhluk materi termulia atau tertinggi kedudukannya, maka sudah tentu malaikat pengaturnya juga akan lebih tinggi dari malaikat-malaikat pengatur esensi yang lainnya. Oleh karena itu dapat dipastikan bahwa ia memiliki maqam di atas surga sekalipun. Oleh kerana itulah Insan Kamil, tidak pernah melirik surga, karena yang mereka idam-idamkan selalu adalah Allah yang milyaran derajat atau bahkan tidak-terbatas-derajat- ada di atas surga.

13. Ketika tubuh nabi Adam as dan siti Hawa as sudah siap ditiupi ruh dari Allah melalui malaikat pengurusnya (tuhan-spesiesnya) yang ada di atas surga itu, maka sudah tentu ruh mereka akan melewati surga tersebut.

14. Karena keduanya as, adalah manusia pertama dan sudah tentu tidak memiliki guru dalam Alam-Materi nanti, maka sebelum mereka bangun dari tidur pertamanya itu, yakni ketika sudah ditiupkan ruh ke badan mereka dan mereka sudah mulai hidup dan bernafas, maka Tuhan memperlihatkan surga kepada mereka supaya tahu bahwa yang taqwa akan memasukinya dan memperlihatkan syetan yang diketahui Tuhan akan memusuhinya kelak kalau sudah bangun. Maka terjadilah apa yang terjadi itu.

15. Ketika syetan tidak mau sujud kepada nabi Adam as, maka syetan yang dari Jin itu yang karena hebatnya ibadahnya telah memiliki maqam surga dan malaikat surgawi itu, diusir dari surga yakni dari maqam surga, yakni maqam Barzakhi yang di atas neraka. Tapi syetan tetap memiliki posisi di Barzakh itu sebagai calon penghuninya nanti yang, sebelum kiamat masih disebut maqam atau posisi saja. Yakni belum bisa merasakannya sebelum qiamat tiba.

16. Di lain pihak, nabi Adam as yang masih menempati surga, sudah tentu ada di atas maqam neraka dan di atas maqam syetan.

17. Akan tetapi, karena ruh manusia yang dalam hal ini adalah nabi Adam as adalah wujud non materi dan membentang secara bukan materi dari badaniahnya yang ada di bumi dan surga, maka ruh nabi Adam as tentu saja memiliki posisi neraka juga. Karena neraka ada di antara surga dan Alam-Materi sebagaimana maklum.

18. Dalam buku-buku akhlak dan filsafat serta Irfan, telah dibuktikan bahwa ruh manusia memiliki 4 daya, tambang, nabati, hewani dan akli/aqli). Nah, posisi kenerakaan ruh manusia itu adalah daya-hewaninya, dan surga adalah ruh-aklinya. Oleh karena itu yang mengumbar daya- hewaninya adalah orang-orang yang akan memasuki neraka.

Tapi yang mengekangnya sesuai perintah akalnya (bc: akal dan agama, karena akal bisa mengerti banyak hal dengan pasti, dan agama juga akan diterima manakala akal itu ada), maka ia akan menempati makam surga dan nanti setelah kiamat akan menikmatinya. Ruh yang berdaya hewani itulah yang dikatakan Hawa Nafsu atau Nafsu atau Nafsu Hewani atau Nafsu Makan, Minum, Seksual ..dst.

Akan tetapi yang sudah diarahkan oleh akal maka ia akan menjadi Nafsu seperlunya dan pengejawantahannya karena idaman akalnya, yakni maknawiat dan surga serta cinta Tuhannya. Jadi nafsu yang sudah dikontrol dengan akal alias jinak, tidak layak lagi dikatakan pengumbaran walau secara lahir tetap merupakan penyaluran. Tapi karena sudah bukan idaman dan kerinduan terhadap obyek penyalurannya itu, maka ia hanya merupakan jalan hidup yang harus dilalui tanpa harus membuatnya singgah dan apalagi menikmatinya. Oleh karenanya bagi orang berakal, penyaluran nafsu hewani itu tidak beda dengan bernafas dimana dari satu sisi merupaan keharusan, dan dari sisi yang lain merupakan ketidak perhatian, ketidak cintaan, ketidaknikmatan, ketidakasyikan, ketidakmampiran, ketidakpeluangan konsentrasi dan fokus pada akidah dan fikih, ketidakmanisan di hadapan manisnya akidan dan fikih......dst.

19. Nah, ketika manusia sempurnapun memiliki Daya-Hewani itu, maka neraka itu tetap bergelora dalam dirinya. Akan tetapi tidak membakar apapun karena ianya sudah dalam taklukan akal dan surganya serta cintanya pada Kekashinya. Dan ingat, Nafsu Hewani ini bukan nafsu bejat saja, tapi apa saja yang berhubungan dengan kematerian manusia secara filosofis atau niscaya, seperti makan, minum, tidur, seks …dst atau bahkan kemerasa-perluan kepada semua itu sekalipun, seperti ingin makan, ingin tidur, …dst.

20. Oleh karena syetan sudah dikeluarkan dari makam atau posisi surga, maka ia tidak bisa lagi mengganggu nabi Adam as dari dalam surga. Karena itulah ia mengganggunya dari Daya- Hewaninya itu supaya ia as memakan buah Khuldi tersebut.

21. Yang perlu sekali diingat bahwa karena surga itu non materi dan apapun dia, sudah pasti tidak memiliki syariat dan aturan karena dia merupakan maqam yang dihasilkan dari usaha dimana sudah pasti tidak mungkin ada usaha lagi di sana. Karena kalau ada usaha lagi nanti disana, maka sesuai dengan aturan keadilan Tuhan, diharuskan ada surga lagi di atas surga karena kalau manusia menaati aturan Tuhan di surga harus diganjarnya, dan begitu pula, harus ada neraka di maqam surga itu karena kalau manusia tidak taat maka harus masuk nerakaNya.

Dengan demikian dapat dipastikan bahwa larangan atau anjuran apapun yang ada di surga bukanlah larangan-fikih atau hukum, akan tetapi merupakan larangan-anjuran atau lara- ngan-akhlak alias keutamaan saja (Irsyadi). Oleh karena itulah maka pelanggaran nabi Adam as, bukan merupakan dosa, karena dilakukan di dalam surga, dan dilakukan dalam mimpi pertamnya. Namun demikian, karena mimpi seorang nabi juga wahyu, maka bisa dikatakan sebagai pelanggaran dalam alam pewahyuan (maksudnya melihat dirinya dalam wahyu yang dilihatnya itu sebagai orang yang melanggar anjuranNya, jadi bukan melanggar wahyu) atau pelanggaran dalam alam mimpi.

22. Dan karena buah Khuldi itu adalah buah kelanggengan, maka sangat bisa diartikan makanan- bumi. Karena makanan bumi ini adalah alat pelanggeng kehidupan badaniah manusia. Jadi, sebenarnya ketika nabi Adam as mengingini buah Khuldi itu, maka ia as sudah merasa lapar. Tapi laparnya itu berupa keinginan kepada buah kelanggenngan tersebut.

Jadi, sebenarnya wahyu Tuhan yang mengatakan ”jangan dekati pohon ini...” sangat bisa diartikan ”Kalau kamu masih ingin di surga ini dan tetap mengkasyafinya, maka jangan makan sekalipun perutmu sudah mulai merasakan lapar karena tubuh tanahmu sudah mulai hidup”. Artinya Allah memberi peluang kepada nabi Adam as untuk bisa lebih lama menikmati keindahan surga sebelum bangun dari tidur pertamanya itu. Yakni seakan-akan Tuhan ingin mengatakan bahwa kalau kamu ingin melihat surga ini terus, maka kamu tidak boleh bangun dari tidurmu sekalipun kelaparan.

23. Akan tetapi karena nabi Adam as adalah manusia badani, selama apapun beliau as bisa bertahan untuk tidak bangun dan untuk tidak makan, maka akhirnya tetap ingin makan juga. Dan kala itulah keinginan makan beliau as itu tertajalli dalam kasyafnya itu dengan mengingini makan buah kelanggengan tersebut. Maka makanlah beliau as dalam kasyafnya itu. Artinya, di alam materi ini beliau as sudah memutuskan dengan sebenar-benar keputusan bahwa beliau as mau bangun dan menjalani kehidupan alam materinya sebagaimana tugasnya sebagai KhalifahNya.

24. Jadi tidak ada dosa bagi beliau as. Tapi karena beliau as salah satu insan kamil dan bahkan yang pertamanya lagi, dan begitu pula sebagai nabi pertama juga, maka sudah pasti ketidaktaatan dalam tingkatan kasyaf atau mimpi itupun merupakan ketidakenakan bagi beliau as dan merupakan dosa bagi beliau as sebagai adab maqam keinsankamilan atau adab kenabiannya. Maka dari itulah beliau as meminta maaf dan ampunan kepadaNya. Persis seperti orang sakit yang tidak bisa duduk untuk menemui tamu kehormatannya dimana ia minta maaf untuk itu sekalipun tidak salah secara hakikatnya.

25. Dan ketika nabi Adam as sudah memutuskan untuk makan supaya langgeng alias hidup karena memang sudah lapar, maka Tuhan mengeluarkannya dari surga, yakni dari maqam surga yang dikasyafinya itu.

Dan dengan penjelasan di atas itu dapat dipahami bahwa kepengusiran Tuhan dari surga terhadap nabi Adam as itu, bukan kepengusiran kehinaan, tapi sangat natural dan alami. Maksudnya adalah Tuhan menyuruhnya bangun dari mimpi wahyunya itu atau dari kasyafnya itu. Jadi, dari pihak nabi Adam as tidak ada dosa, dan dari pihak Tuhan juga tidak ada kebencian, kepenghardikan dan penghinaan atau pengusiran. Jadi, kata “Keluarlah dari surga” artinya adalah “Bangunlah dan jalanilah hidupmu sebagaimana mestinya di bumi ini”.

Begitu pula dapat diketahui dengan gamblang, bahwa kepenggangguan syetan terhadap nabi Adam as itu hanyalah keinginan syetan untuk mempercepat pergulatannya dengan manusia di bumi dimana kalau nabi Adam as tidak bangun, maka hal itu tidak bisa segera dimulai. Dan kalau kepenggangguannya belum bisa dimulai, maka ia tidak akan dapat segera membuktikan kepada Tuhan tentang kebenarannya bahwa ia (jin) lebih baik dari manusia. Karena sewaktu ditegur oleh Tuhan mengapa ia tidak mau sujud kepada nabi Adam as, ia menjawab bahwa ia lebih utama dari manusia. Dan ketika Tuhan murka kepadanya, iapun menantang Tuhan dengan meminta memberinya perpanjangan umur untuk digunakan dalam pembuktian terhadap dakwaannya (klaim) itu, yakni pengakuan bahwasannya jin yang dicipta dari api lebih baik dari manusia yang dicipta dari tanah.

26. Surga nabi Adam as ini dalam filsafat dikenal dengan Surga-Nuzuli atau Surga-Turun. Yakni yang dimasuki dikala ruh nabi Adam as sedang dalam proses penurunannya ke bumi. Sedang surga yang akan dihuni penghuninya setelah hari kiamat kelak diistilahkan dengan Surga- Shu’udi atau Surga-Naik. Yakni surga yang dimasuki karena kenaikan derajat manusia dengan amal-amalnya. Dan karena itulah, menurut para filosof, sekalipun secara esensi kedua surga itu adalah sama, namun orang yang masuk ke dalam Surga-Turun itu bisa keluar, tapi yang masuk ke Surga-Naik, tidak bisa keluar dan abadi di dalamnya.

27. Akan tetapi, kita bisa mengambil pelajaran dari terjadinya Isra’ Mi’rajnya Nabi saww dimana beliau saww juga memasuki surga dan bisa keluar, dan dimana surga itu tidak bisa dikatakan Surga-Turun karena beliau saww memasukinya disebabkan ikhtiar beliau saww yang begitu hebat hingga dapat memasukinya sebelum hari kiamat, maka rahasia bisa keluar dan tidak bisanya itu, bukan karena turun dan naiknya ruh, yakni turun karena peniupan pertamanya dan naik karena penyempurnaan dengan ilmu dan amalnya, akan tetapi karena perbedaan yang ada pada yang memasukinya.

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa surga-neraka dalam pandangan Filsafat dan Irfan, adalah Non Materi Barzakhi. Dengan demikian, maka badaniah manusia ini, sudah tentu tidak akan bisa memasukinya karena badaniah yang Materi ini berada dibawah Non Materi Barzakhi. Jadi, yang akan memasuki surga-neraka itu nantinya, adalah Ruh manusia saja, bukan badaniahnya.

Oleh karena itulah, maka ruh yang dapat memasukinya, tapi ianya masih menyatu dengan materi, baik secara kuat, seperti orang hidup di bumi ini, seperti nabi Adam as atau nabi Muhammad saww, atau baik kebersatuannya dengan materi itu secara tidak terlalu kuat, seperti orang yang mati sebelum kiamat (Karena kiamat adalah hancur dan tiadanya alam materi, bukan hancurnya permukaan bumi saja, sebagaimana akan dijelaskan di Pokok-pokok dan Ringkasan Ajaran Syi’ah.

Oleh karenanya orang yang mati sebelum kiamat ruhnya masih mengatur putaran-putaran atom tulangnya dimana itulah keberhubungannya dengan materi dan dimana karena itulah kita disunnahkan mengucap salam langsung kepada mereka ketika mendatangi kuburan mereka, yakni mengucap “assalamu’alaikum ya ahlalqubuur” yakni “keselamatan atas kalian wahai orang-orang kubur”, dan bukan “assalamu’aihim” yakni “keselamatan atas mereka”, dimana hal itu karena mereka memang berhadapan dengan kita dan mendengar kita, maka siapapun yang memasuki surga dikala itu, maka ia tidak akan dapat menikmatinya sebagaimana niscayanya, dan juga, bagi yang hubungannya masih kuat dan aktif dengan materinya, yakni yang masih hidup, maka tidak juga bisa abadi di dalamnya. Jadi, mereka bukan hanya bisa keluar dari surga, tapi justru tidak bisa selamanya di dalamnya. Hal itu, karena ruh yang memasukinya masih terikat dengan badan aktifnya dimana badan hidupnya ini menuntut kepengaturannya, seperti makan, minum, berjalan ...dan seterusnya.

Penutup dan Anjuran (1): Ilmu ini tidak wajib diketahui dan dipercaya. Tapi terhadap kemakshuman semua nabi merupakan keharusan bagi muslimin karena tanpanya, maka tak seorang nabipun yang dapat diparcaya sepenuhnya hingga ajarannya juga tidak bisa dipercaya secara penuh bahwa ianya dari Tuhan. Mungkin anda berkata “Bukankah kalau nabi-nabi melakukan kesalahan pasti akan diingatkan oleh Tuhan”.

Jawabnya adalah dingatkan dan sebagainya itu adalah dari berita nabi-nabi tersebut. Nah, tahu dari mana bahwa nabi itu telah mengabarkan semua ingatan Tuhan terhadap dirinya itu? Yakni tahu dari mana dalam kesalahannya itu tidak terjadi kesalahan lagi? Misalanya nabi salah dalam hukum atau akhlak, baik dalam prakteknya atau pemahamannya, lalu tahu dari mana dalam pembenaran Tuhan itu tidak terjadi lagi kesalahan hukum dan akhlak tersebut. Atau nabi salah dalam ingatan atau dalam pengucapan, lalu tahu dari mana bahwa dalam pembenaran Tuhan itu tidak terjadi lagi kesalahan ingatan dan pengucapan?

Kalau anda berkata ”Bukanlah hal itu ada di Qur'an dan Qur'an itu tidak bisa disaingi, jadi yang tidak ada ya...pasti tidak ada”.

Jawabnya adalah bahwa memang benar bahwa Qur'an itu dari Tuhan dan tidak ada yang bisa menyaingi kemu’jizatan sastranya sekalipun satu ayat dari padanya, akan tetapi dari mana kita tahu bahwa sebagian Qur'an atau ayatnya tidak disampaikan, terkhusus yang mengingati kesalahan nabi? Dari mana kita tahu bahwa Qur'an itu sudah lengkap, termasuk ayat-ayat pengingat dan penegur nabi itu?

Dengan demikian maka selain di ayat-ayat yang sudah jelas tentang ketinggian akhlak dan keuswatun hasanaan(keuswatunhasanahan) nabi serta kemakshuman para nabi itu, maka dengan akal yang sehat dan dalil yang gamblang dapat dibuktikan bahwa semua nabi itu harus makshum. Karena kalau tidak makshum, maka kebenaran dan kelengkapan agamanya, sama sekali tidak akan bisa diyakini bahwasan ianya dari Tuhan. Sedang yang sepintas nampak dalam ayat dan riwayat tentang kesalahan sebagian nabi, maka semua itu tidak seperti lahiriahnya dan memiliki penjelasan hingga tidak kontradiksi dengan kemestimakshuman para nabi. Sudah tentu masih banyak lagi dalil-dalil lainnya tentang kemakshuman para nabi ini.

(27) Penutup dan Anjuran (2): Bagi yang tidak mendalami ilmu agama dan filsafat secara akademis, maka sangat dianjurkan uantuk jangan terlalu memilkir hal hal-hal yang tidak terlalu prinsip dan tidak terlalu mempengaruhi kehidupan secara esensial, seperti masalah surga nabi Adam as ini. Oleh karena itulah kalau ada pertanyaan-pertanyaan yang berat, maka tidak usah banyak dipikir, dan kalau dipikirpun, maka jangan sampai mengurangi konsentrasinya kepada akidah dan fikih dengan pengejawantahan yang harus selalu semakin hari semakin baik. Jadi, harus tahu betul mana-mana yang sampingan (seperti surga nabi Adam as ini), dan mana-mana yang asas (akidah dan fikih).

(27) Penutup dan Anjuran (3): Seperti yang saya tulis di dinding saya itu, maka ilmu apapun dan setinggi apapun dia, tanpa pengejawantahan yang cermat dan nikmat, maka ianya tidak akan terwaba mati. Karena di alam kematian-badani ini, kita akan menjadi ruhani seutuhnya. Oleh karenanya di sana hanya ada ilmu Hudhuri, bukan Hushuli yang argumentatif ini. Dan karena Hudhuri itu adalah kemelengketan obyek nyata dari ilmunya dalam ruh kita, bukan foto copynya seperti copy-an manisnya gula, atau seperti argumentasi AdaNya, maka kemelengketan itu tidak akan bisa terjadi tanpa dilatih untuk melengketkannya. Dan usaha melengketkannya itulah yang dikatakan amal dan perbuatan atau aplikasi. Sedang kemelengketannya itu dikenal dengan kesubstansian. Jadi amal dan aplikasi adalah proses untuk menjadikan ilmu hushuli kita menjadi Hudhuri. Yakni proses perubahan atau pergerakan ruh dalam ilmunya dari Hushuli menjadi Khuduri, yakni dari Aksiden menjadi Substansi. Jadi barang siapa yang hanya memanisi ilmu dan mengasyikinya, maka dia tidak jauh beda dari yang anti ilmu atau orang bodoh yang tidak tahu.

(28) Penutup dan Anjuran (4): Aplikasi itu tidak akan membuahkan apapun kecuali dengan sandaran yang benar. Jadi kalau fikih, maka jalannya ada dua secara umum. Yakni menjadi mujtahid atau taklid buta kepada mujtahid. Taklid buta ini dikarenakan dengan ketidakpahaman terhadap dalil seandainya dalil itu dijelaskan kepadanya. Yakni dalil Qur'an dan haditsnya itu tidak akan dimengerti, karena untuk mengerti keduanya (sekalipun kelihatan mudah) harus belajar secara akademis sekitar 30-40 th.

Saya ingat sewaktu guru saya menjelaskan satu ayat tentang kapan ibadah yang terlihat sangat mudah, beliau menjelaskannya sampai satu tahun lamanya. Jadi ibarat air yang dianggap mudah bagi orang awam, ia tidak mudah dan harus belajar sampai ke tingkat doktoral bagi orang yang mendalami tenaga oksigen atau hidrogen yang diantaranya bisa memiliki kekuatan melebihi nuklir.

Sedang taklid itu bukan hanya dalam shalat dan puasa dan semacamnya,tapi dalam segala hal yang mengandungi hukum seperti tabligh, berjuang, berekonomi, berpolitik, berbudaya, bermusik....dan seterusnya.

(29) Penutup dan Anjuran (5): Aplikasi dalam akidah, adalah dengan fikih itu. Begitu pula pengaplikasian dalam filsafat dan Irfan. Jadi, tanpa berfikih, maka ilmu-ilmu Teologi, Filsafat dan Irfan, akan menjadi nol besar kalau badan kita ini sudah ditinggalkan ruh kita.

Dan Pengirfanan atau penyufian atau pengkhusyuk-an yang di luar aplikasi fikih dalam keseharian kita dimana hal ini sudah dianggap oleh sebagian orang sebagai pensucian hati dan penyufian atau pengirfanan atau pemakrifatan, ditambah dengan nyaringnya tangisan dan hitamnya dahi tempat bersujud, maka semua itu, tanpa berfikih yang cermat, yakni tanpa berfikih dengan taklid yang benar, maka juga akan menjadi sia-sia semata.

Jadi, kita harus taklid dalam segala hal dengan buta dari sisi dalilnya dan dengan benar dari sisi pengertian dan pengamalannya. Baru setelah kita berfikih dengan cermat itulah maka terjadi peningkatan terhadap ilmu-ilmu yang kita gali secara mendalam seperti ilmu Kalam, Filsafat, Irfan, Tafsir ...dan seterusnya itu.

(30) Catatan: Tentang kewajiban aplikasi yang dengan taklid dalam segala hal itu adalah untuk orang-orang Syi’ah dan begitu pula untuk saudara-saudara kita Sunni (Syafi’i, Maliki, Hambali dan Hanafi), bukan saudara-saudara yang lain seperti yang anti taklid seperti wahhabi dan Muhammadiah di Indonesia. Jadi, bagi mereka aplikasi fikihnya adalah sesuai dengan keyakinan mereka sendiri-sendiri, yakni dengan tidak boleh taklid dan harus berdalil sendiri dengan Qur'an dan hadits walau tidak belajar apapun dan bahkan walau lewat terjemahan. Yang jelas, bagi setiap muslim yang belum benar secara jalan, pahaman dan cara penerapannya, dan bahkan bagi kafirin sekalipun, dimana kebenaran itu belum sampai kepada mereka dan/atau sudah sampai tapi belum dipahami dengan benar, maka bagi mereka masih terbuka pintu surga dengan pengaplikasian masing-masing yang diyakininya benar itu.

Akan tetapi, akan sangat tidak akli/aqli) dan Qur'ani, manakala ada pemaksaan di antara yang berbeda itu. Karena ketidakpemaksaan Islam dalam Qur'an, termasuk ayat-ayat yang Muhkamat, yakni jelas dan tidak meragukan. Jadi, sekalipun dari satu sisi, yang salah itu dimaafkan, tapi kalau memaksakan kepada yang lainnya dan tidak memberikan kebebasan, maka jangan dalam keadaan salah itu, bahkan kalaulah dalam keadaan benar sekalipun, tidak akan dimaafkan Allah. Karena dia telah merusak agama atas nama agama. Dan kebenaran dalam satu sisi atau tingkatan, tidak berarti mesti benar di tingkat atau sisi yang lainnya seperti tentang kebebasan ini.

Dan tentu saja ketidakpemaksaan dalam agama adalah ketidakpenggunaan, ketidakpenindasan dan semacamnya. Bagaimana mungkin bisa dikatakan tidak dipaksa, kalau karena ketidak- pemilihan mereka terhadap ajaran yang dianggap benar itu, lalu ditindas dan diganggu? Apalagi sampai-sampai membuat orang lain bertaqiah terhadapnya? Lalu anehnya, mengapa yang bertaqiah yang dianggap munafik, tapi yang menyebabkan taqiah tidak dikatakan penjahat dan penindas? Jadi bagi yang Sunni yang menurut Syi’ah salah itu, tetap akan dibukakan pintu surga yang sangat besar.

Karena kesalahannya disebabkan ketidaksampaian kebenaran Syi’ah kepadanya dan/atau kebelumterpahaminya dengan benar tentang Syi’ah yang sampai kepadanya itu. Tentu saja asal tidak mengganggu dan memaksa serta menindas orang atau golongan lain (seperti Syi’ah) sebagaimana maklum. Dan bagi yang Syi’ah, tetap sangat terbuka pintu neraka yang sangat besar. Karena ilmu Syi’ahnya bisa saja salah hingga kalau sengaja dalam kesalahannya itu (seperti tidak taklid dalam fikih dsb) atau semi sengaja seperti sok tahu agama padahal tidak pernah belajar agama secara akademis yang dalam, maka tidak akan dimaafkan dan akan dimasukkan ke dalam neraka. Karena ia telah menentang dalil gamblang akal, yaitu profesionalisme. Dan kalaulah benar dalam beberapa halpun, tapi kalau dipaksakan kepada orang lain (seperti dengan ejekan, gangguan dsb), dan tidak mau memberikan kebebasan kepada orang atau golongan lain, atau dengan kata yang lebih jelas, tidak mau melakukan persatuan Islam yang diwajibkan oleh para marja’ dan Wilayatulfakih, maka meraka tidak akan dimaafkan dan akan dimasukkan ke dalam neraka.

Wassalam. Sudah. Semoga bermanfaat bagi saya dan segenap pembaca.

Haerul Fikri: Terima kasih ustad.. syukur Alhamdulillah atas perhatiannya.. saran dan masukannya sangat mengena dgn kehidupanku.. in syaaAllah, dengan ikhtiar keras dapat diejawantahkan dlm rutinitas sehari-hari.. mohon do’anya..

Al Aulia: bertanya:
Apa yang dimaksud dengan ruh tambang dan nabati ustadz..

Sinar Agama: Jawab:
Ruh itu non materi, jadi tidak memiliki unsur. Tapi dia memiliki 4 kekuatan atau daya atau kerja. Demensi-dimensi kerjanya itulah yang kita katakan sebagai ruh-fulan dan ruh-fulan. Ini yang pertama.

Yang ke dua, ruh-tambang itu adalah yang mengatur tubuh dari sisi kebendawiahannya, seperti putaran-putaran atom badan. Dalam kajian yang lebih rinci telah dibuktikan bahwa putaran- putaran atom badan itu adalah kerja rapi yang berulang milyaran kali. Dan kerja seperti ini, kalau tanpa kesengajaan, maka tidak mungkin terjadi. Yakni kalau karena kebetulan maka tidak mungkin akan terwujud. Karena kebetulan, tidak akan terulang sekalipun dua kali, apalagi milyaran kali. Kalau kita lempar 3 kelereng yang beda warna dan posisi masing-masing warnanya ditandai, dan kita lempar lagi seribu kali, maka tidak akan didaptkan posisi warna kelereng yang sama dengan posisi lemparan pertama. Itulah yang namanya kebetulan, atau kalaulah tidak dikatakan kebetulan (karena kebetulan itu tidak ada pada hakikatnya, dan semua itu terjadi sesuai sebabnya masing-masing dan dikatakan kebetulan karena kita tidak tahu sebabnya), maka lemparan yang tidak disengajakan pada dua posisi yang sama.

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kalau ada dua gerakan sama, apalagi jutaan kali, maka pasti ada kesengajaan. Dan kalau ada kesengajaan, maka pasti ada ilmu dan pengetahuan pada yang disengajanya itu. Jadi, dalam gerak sengaja, ada ilmu.

Sementara ilmu adalah hadirnya sesuatu pada sesuatu, yakni hadirnya yang diketahui pada yang mengetahui. Sementara benda, sekalipun kecil seperti atom, tidak memiliki kehadiran dalam dirinya sendiri, lalu bagaimana dapat menghadirkan selain dirinya pada dirinya? Atom bagian atasnya saja tidak hadir pada bagian bawahnya, lalu bagaimana bisa menghadirkan yang lainnya dalam dirinya hingga diketahuinya?

Dengan demikian maka pada putaran atom-atom apapun , termasuk tubuh manusia ,pasti ada unsur non materi yang menggerakkannya secara teratur. Batu-batu, tanah, air, tumbuhgan, hewan dan manusia, semua memiliki unsur non materi yang menggerakkan atom-atomnya itu secara teratur dan berulang.

Mengapa harus ada non materi? Karena non materi itu tidak diikat dan tidak dikungkung dengan matter, bendawiah, volume/isi dan waktu. Oleh karenya bisa memiliki ilmu alias kehadiran yang diketahui itu, dimana karenanya itulah ia akan mengakibatkan kepemilikan terhadap kesengajaan itu.

Akhirnya putaran atom-atom itu disengaja olehnya. Non materi inilah yang dikatakan sebagai Ruh. Akan tetapi karena Ruh itu satu dan non materi dimana membuatnya tidak bisa dibagi-bagi, sementara dilain pihak memiliki efek dan akibat yang tidak satu, seperti putaran atom-atom, pertumbuhan, gerak yang ikhtiari dan semacamnya, maka ruh manusia yang satu itu, memilki beberapa kerja-kerja sesuai dengan yang nampak kepada kita tersebut.

Jadi, Ruh-tambang adalah kerja ruh terhadap bendawiyah badani atau bendawi, baik badan manusia atau selainnya, seperti batu, tanah, pohon, binatang dan sebagainya.

Ke tiga, sedang Ruh-Nabati adalah kepengaturan ruh terhadap pertumbuhan badaniah atau bendawiah sesuatu, apakah ia manusia, atau pepohonan dan binatang. Dan ruh yang ada di bebatuan, tanah dan semacamnya, tidak memiliki kemampuan penumbuhan. Oleh karenanya ruh mereka adalah paling lemahnya ruh.

Nabat, yakni tumbuhan. Jadi ruh-nabati adalah dayanya dalam mengatur pertumbuhan badan manusia atau tumbuhan yang lainnya seperti pepohonan dan binatang. Misalnya dari kecil ke besar, kuku jadi panjang, rambut jadi panjang, atau pohonnya berdaun, daunnya jadi besar, berbuah dan buahnya menjadi besar.... dan seterusnya.

Sedang Ruh-Hewan adalah yang mengerjakan atau yang mengatur semua gerak ikhtiarnya, baik gerak ikhtiar manusia atau binatang-binatang. Begitu pula termasuk dalam kepengaturan atau aktifitas ruh-hewani ini, yaitu tentang rasa dan perasaan. Misalnya, rasa sakit, lapar, haus, kenyang dan sebagainya itu, dikerjakan oleh ruh-hewani ini. Begitu pula tentang perasaan marah, cinta ...dan seterusnya.

Semua yang dimiliki manusia di tingkatan ruh-hewani ini, juga dimiliki oleh semua binatang. Jadi, rasa cinta pada anak dan semacamnya itu, adalah tingkatan hewani. Tentu saja kalau cinta itu tidak diaplikasikan dalam bentuk aktifitas yang dituntun oleh hukum-hukum akal dan agama.

Ke empat, sedang dalam memahami masalah universal (seperti semua api itu panas) dan perenungan dan penerapan universal kepada individunya, adalah kerja ruh yang kita katakan ruh-akal atau akli/aqli. Ruh-akal ini hanya dimiliki manusia.

Ke lima, dengan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa esensi dan definisi Ruh adalah keberadaan non materi secara zatnya akan tetapi materialis dalam aktifitasnya. Beda dengan malaikat atau Barzakh atau makhluk Akal (bukan akal manusia). Karena mereka adalah keberadaan non materi secara zat dan aktifitasnya.

Sekian dan wassalam, semoga bermanfaat buat saya dan semua pembaca yang budiman,

IED GHADIR KHUM ATAU WILAYAH ATAU KEKUASAAN PARA MAKSHUM as, MUBARAK!!!!

Cut Yuli: Ied Mubarak!! Syukron.

Husein Jon: Izin share..syukron.

D-Gooh Teguh: Saya pernah membaca tentang hal Adam as dalam berbagai versi. Beberapa versi terasa benar semuanya. Mungkinkah ini seperti memandang satu hal dari sudut yang berbeda saja. Relativitas Vertikal?

Sinar Agama: Salam dan terimakasih untuk semua jempol dan komentarnya.

Sinar Agama: D-G-T: hem....mungkin saja, mungkin saja. Apapun yang diterangkan selain ini, kalau memang memiliki dalil-akal-gamblang/pasti, maka mungkin ia adalah sudut lain. Coba saja ingat-ingat tentang dalil-dalilnya. Dan semua kebenaran itu baru bisa dipercaya kalau sudah bisa diseret ke dalil-mudah itu. Andai antum urai, mungkin bisa dijadikan study banding.

Sinar Agama: Sekali lagi untuk semua teman, jadikan tulisanku apa saja asal baik dan bukan untuk bisnis. Karena kalau bisnis harus ada persentasenya he he he he he....

Abdul Malik Karim: Ied ghadir, apakah Ali pernah merayakannya setelah wafat Nabi SAWW?

Sinar Agama: A-M-K: biasanya menerima ucapan selamat para pencintanya. Peringatan yang dianjur- kan dalam agama dalam ied ini adalah, membersihkan diri, memakai baju bagus dan wewangian, menolong orang, menjamu orang, dan ibadah-ibadah lainnya. Ied ini adalah terbesarnya ied, karena dengannya semua isi agama setelah masa Rasul saww menjadi bisa diyakini kebenarannya dan menjadi bermakna. Karena tanpa kepemimpinan dan kepengawasan orang makshum, maka agama tidak akan punya pijakan nyata, kecuali khayalan belaka. Memang pengampunan bagi yang tidak tahu tetap berlaku, tapi secara hakikat dan filosofi, maka agama minus makshum, sama dengan khayalan.

Abdul Malik Karim: Biasanya menerima ucapan selamat para pencintanya. Peringatan yang dianjur- kan dalam agama dalam ied ini adalah, membersihkan diri, memakai baju bagus dan wewangian, menolong orang, menjamu orang, dan ibadah2 lainnya. Ied ini adalah ter...besarnya ied, karena dengannya semua isi agama setelah masa Rasul saww menjadi bisa diyakini kebenarannya dan menjadi bermaknya. Sumbernya di kitab mana ust?

Sinar Agama: Antum bisa merujuk ke mafatihul-jinan, misalnya imam Ja’far as ditanya, apakah ada ied selain jum’at, Adh-ha dan Fitri? Beliau as menjawab: ”Ada, dan ied ini lebih besar dari yang lainnya”, sang penanya bertanya lagi: ”ied apa itu?”, beliau as menjawab: ”Hari dimana hadhrat Rasul saww mengangkat Amirulmukminin (imam Ali as) sebagai khalifahnya” yakni pada hari 18 Dzulhijjah.

Penanya bertanya lagi, lalu apa yang harus kita lakukan pada hari itu? Maksudnya yang baik dilakukan. Imam menjawab: ”Berpuasalah dan beribadahlah dan kenanglah nabi Muhammad saww dan Ahlulbainya as serta kirimkanlah shalawat untuk mereka, dan Nabi saww juga mewashiatkan kepada Amirulmukminin as untuk menjadikannya hari ied”.

Masih banyak lagi hadits-hadits seperti itu. Walau penyebutan hadits di sini ini tidak layak buat kita-kita yang bukan mujtahid, yakni tidak layak menyandarkan perbuatan fikih kita kapada Qur'an-hadits secara langsung, karena kita tidak memahami keduanya, dan yang paham hanyalah mujtahid, namun sekedar untuk mengatakan kepada Anda yang kita katakan di komentar itu ada sandarannya. Namun jelas, sandarannya bukan hadits-hadits itu dan bukan pula kitab Mafatihul Jinan yang mengumpulkan riwayat-riwayat dari kitab-kitab hadits lainnya, tapi dari fatwa ulama kita yang membolehkan mengamalkan kitab do’a terkenal yang bernama Mafatihu al-Jinan itu.

Jadi, mengenang Rasul saww dan Ahlulbait as serta mengucap selamat dan shalawat kepada mereka adalah bagian dari ajaran Islam. Siapa yang tidak senang kalau pada hari ied besar ini bisa berada di dekat imam Ali as yang diwashiati Rasul saww untuk menjadikan hari 18 Dzulhijjah ini sebagai hari ied dan mengucap salam serta kesejahteraan/shalawat serta ucapan selamat kepada beliau as?

Hadits-hadits tentang amalan-amalan di hari ied ini yg dikumpulkan oleh al-Qommi dalam Mafatihu al-Jinan-nya itu saja ada 9 macam amalan, dari puasa, mandi, shalat tertentu, ziarah, do’a-do’a tertentu, ...dst. Dan dalam hadits-hadits yang dikumpulkan oleh guru saya sendiri ada sekitar 7 penamaan untuk hari ini dan sekaligus misi-misinya, seperti: Hari Berhias (bersih-bersih dan memakai baju indah dan membersihkan rumah dan mengindahkannya dan semacamnya), Hari Tahniah (saling mengucapkan selamat sesama muslimin apalagi kapda imam Ali as yg memiliki wilayah itu sendiri), Hari Senyum, Hari Mengusir Kesengsaraan (dengan saling menolong dan semacamnya), Hari Hadiah dan Pemberian (sedekah dan semacamnya), Hari Memperbanyak Shalawat, Hari Berbaju Bagus, Berwangi dan Silaturrahim.

D-Gooh Teguh: Antara lain:
siji> versi bahwa yang malaikat dan azazil bersujud bukanlah Adam as yang manusia pertama itu tetapi Rasulullah saaw. Ini pernah saya baca di terbitan ICC Jakarta. Tentang Adam as manusia pertama ”yang keenam kalinya” kurang dibahas karena fokus lebih ke sesungguhnya yang disebut Adam dimana perintah sujud diberikan.

loro> versi lainnya adalah makan buah beneran yang menyebabkannya begini dan begitu. Katanya kalau makna lahir tidak ada masalah apapun maka makna lahirnya pun memang terjadi beneran. Dan seterusnya.

telu> Adam as menginginkan kedudukanyangdirinya tak sanggup mencapainya. Ketidaksanggupan mencapainya telah diketahuinya pula. Seorang Nabi berbuat demikian adalah sebuah ”dosa”. Pokok Kemuliaan itu adalah Rasulullah saaw dan buahnya adalah Ali as. Muhammad bin Abdullah saaw nabi, ”aku juga nabi”, lha.. Ali as bukan nabi. Begitulah, beliau pun tergerak hati mengingini kedudukan yang diketahuinya tak sanggup diraihnya.

Dan beberapa lainnya. Demikianlah beberapa versi yang pernah saya bacai. Dan tentunya argumentasinya tidak terlalu bisa mngingat rinciannya.

Abdul Malik Karim: Terimakasih ustadz, apakah status riwayat itu adalah shahih?

Abu Humairoh: Bagaimana dengan nabi Yunus, yang dimakan dengan ikan hiu, karna ketika naik perahu, perahu itu mengalami masalah, karena ada orang yang melakukn maksiat terhadap Allah, di dalam ikan hiu seseorang tidak akan bertahan karena ada ke asaman lambung yang bisa menghancurkan, posisi nabi as Yunus di perut ikan di mana ? Kenapa tidak mati ?

D-Gooh Teguh: Pertanyaan saintifik nih...? Banyak fenomena kontemporer lainnya yang belum terpecahkan. Banyak orang yang berada dalam kondisi ekstreem dimana menurut biasanya harus mati tetapi masih hidup. Fenomena kontemporer pun banyak yang belum bisa dijelaskan oleh sains kok. Maaf Ustadz SA, ikut mengkomen pertanyaan untuk Anda.

Sinar Agama: (siji/satu) Tidak bertentangan dengan uraianku. Karena Adam as yg disujudi malaikat itu adalah Insan Kamil, atau tuhan-spesies manusia itu. Dan nabi Adam as adalah Insan Kamil Pertama. Maka dari Adam as dikatakan Adam, karena beliau adalah Adam pertama, alias insan kamil pertama. Pertentangannya ada kalau yang dimaksud disujudi itu adalah Nabi kita saww. Dan sudah tentu tidak ada dalil dan argumennya yang gamblang. Apalagi kalau mau diterapkan kepada Nur-Muhammad. Karena Nur-Muhammad yang argumentatif itu adalah Muhammad dalam Ilmu Tuhan, bukan wujud eksternal.

Buku mau diterbitkan penerbit manapun dan dikarang oleh siapapun, tidak bisa mempengaruhi argumentasinya. Jadi, kalau tidak bisa bertemu makshum, maka akal-gamblang itulah hakimnya.

D-Gooh Teguh: Saya sendiri paham gak paham bib. Ada di Syi’ar terbitan ICC. Setuju sekali ustadz. Karena dalam hal ini banyak ayat dikutipkan maka saya tidak bisa menuliskannya untuk Ustadz kecuali jurnal itu di depan saya. :-)) Note Anda mencerahkan dunia akherat saya. In syaaAllah.

Sinar Agama: (loro/dua) Ketika surga itu sudah bukan materi dan tidak bisa menjadi materi, maka itulah kendalanya makna lahir, karena tidak sesuai dengan akal-gamblang. Maka dari itu harus dimaknai dengan takwilnya, bukan dengan lahiriahnya. Kalau orang-orang yang bukan filsafat, yakni orang-orang Kalam, memang tidak meyakini kenonmaterian surga atau akhirat, maka dari itu mereka mentidakmasalahkan makna lahiriahnya itu. Pertanyaannya, bukankah dengan kiamat dunia jadi hancur? Langit dan bumi termasuk udarapun akan dihancurkan oleh Tuhan? Lalu dimana ada ayat atau riwayat yang menerangkan bahwa langit dan bumi termasuk kuburannya akan dibuat lagi setelah kehancuran dan ketiadaannya itu?

Atau di Qur'an dikatakan bahwa nanti di surga kita makan dan minum. Dan diterangkan juga tidak kencing dan e-ok. Nah, kalau makanannya adalah materi, yakni volume, maka bagaimana mungkin manusia dengan makan di sana tidak kencing dan e-ok, tapi juga tidak membesar?

Atau di Qur'an dikatakan bidadari selalu perawan. Bagaimana mungkin dalam keadaan dikumpuli kok masih perawan? Kalau setelahnya, ok tidak masalah. Yakni keperawanannya nyambung lagi. Tp di Qur'an dikatakan bahwa selalu suci. Berarti dalam keadaan dikumpulipun dia tetap perawan.

Dan seambrek lagi dalilnya. Tesis saya yang saya tulis dalam bahasa arab, telah mengkritisi puluhan dalil tentang akhirat-materi ini dengan puluhan dan bahkan lebih dalil yang lebih kuat. Dan lulus dengan nilai 95

D-Gooh Teguh: Btw, saya ketik siji loro karena angka siji dan loro di keyboardku susah munculnya. Maaf.

Sinar Agama: Antum mesti jeli siapa-siapa yang Kalami dalam berfikirnya dan siapa-siapa yang Filsafati. Dan orang-orang Kalam juga pakai akal, tapi pedoman awalnya adalah naql. Oleh karenanya keakalan mereka tidak dalam dan tidak mau mempelajari filsafat sebagaimana ia. Mereka hanya menggunakan filsafat manakala dianggap perlu.

Sinar Agama: Setelah jeli, antum boleh pilih yang mana yang menurut antum lebih kuat. Benar diganjar, dan salah juga diganjar. Yang jelas tidak boleh miring dalam menilai. Karena miring itu tandanya tidak ikhlash secara profesional.

Sinar Agama: (tellu/tiga) Ketika tidak dibuktikan dengan akal-gamblang bahwa kejadian itu adalah dalam kasyaf, maka dalam mimpi tidak ada dosa. Dan dosa ini juga dibantah dengan akal)-mudah tentang kemestian makshumnya nabi-nabi.

Dan kalaulah hal itu atau iri itu ada riwayatnya, dan shahih, sekalipun bertentangan dengan shahih lainnya (seperti tentang makshum, di surga tidak ada syariat ....dst), maka bisa dimaknai dengan makna bathinnya. Jadi hadits tersebutlah yang harus ditakwilkan karena makna lahiriahnya bermasalah.

Sinar Agama: (papat/empat) tak ke kelas dulu .....

D-Gooh Teguh: Mantabs ini... Semoga bisa diterbitikan thesisnya (terjemahnya tentu saja:-) dan bisa membacainya. Kalau materi maka masih merasakan luka karena terpeleset di syurga dan sebagainya. Masih terbakar hangus di neraka dan sebagainya.

Selama ini saya memahaminya sebagai penyatuan (melting) sempurna antara jasad dan ruh. Taja- zadul amal. Oleh karena itu bentuk mengikuti ruh. Dosa-dosa bersifat membakar dan itu artinya penghuni neraka membakar dirinya sendiri. Bukan Tuhan yang menzaliminya. Dan seterusnya.

”Siapa yang menghidupkan kembali tulang belulang? Yang pertama kali menciptakannya”. Tetapi pengetahuan saya masih minim. Oleh karena itu saya tidak bermaksud berdialog atau bertanya lho ustadz. Saya mencoba mencerna uraian ustadz terlebih dahulu. Suwer, ini hanya pengetahuan saya yang terserak berupa remah-remah di lantai.

Bahkan saya pahami Ahlulbait Sesuci-sucinya di dunia ini pun adalah sedemikian rupa pula. Makan minum tetapi tidak kencing ataupun eok. Jika eok khan tidak lagi suci sesuci-sucinya. Pembuangan bisa melalui keringat. Pencipta Tubuh kuasa untuk menciptakan tubuh dalam mekanisme yang berbeda. Tentang junub maka itu hanya hadast maknawi maka terserah Sang Pembuat Hukum untuk menetapkan pengecualiannya. Dan seterusnya.

Bahkan menurut sejumlah buku dilaporkan Rasulullah saaw tidak terlihat makan dan minum di masa kecilnya. Bukankah demikian pula dengan Ibrahim as? Dengan Musa as yang tidak makan dan minum berhari-hari? Cerita Halimah menyusui Rasulullah saaw adalah salah satu upaya musuh Islam mendiskreditkan Rasulullah saaw menyusu pada ”orang kafir”. Jika Halimah benar ada maka itu hanya menjaga dan bukan menyusuinya. Dan seterusnya.

Terima kasih ustadz... semoga studinya makin lancar.

Nanti saya bangun pemahaman yang lebih baiknya. Kalau benar in syaa Allah berpahala pula. Kalau sudah maxi masih salah pula, ada harapan pengampunan-Nya dan syafaat ahlulbait as.

Sinar Agama: Aku baru pulang, kepinginnya istirahat, karena besok ada dua seminar dan lusa ada lagi satu, dan tempatnya jauh hinga harus miber nganggo pesawat. Dan saya belum jelas beberapa maksud antum di sini, tapi bisa saya raba dan di atasnya saya akan jawab.

Oh iya, kalau saya lagi nulis beruntun, tidak pernah bisa membaca tulisan atau jawaban orang, jadi jawaban antum itu baru ana tahu sekarang, dan ternyata ada di antara tulisan-tulisanku, jadi harap maklum.

(a) Tentang ayat yang menyatakan ”siapa yang akan menghidupkan tulang belulang yang sudah jadi debu?” dan dijawab”Yang pertama kali menciptakannya”. Maka setelah kita berargumen bahwa jangankan tulang, jangan kuburan, bumi dan langitpun serta udarapun akan dikiamatkan Tuhan, yakni akan disirnakan, dan bukan hanya diamburadulkan, maka tulang sudah tidak ada. Lalu mau ambil dari mana? Dan ayat serta riwayatnya mana, yang menerangkan penciptaan kembali bumi dan kuburan serta tulang-tulang itu?

Yang ke dua kita dalam membuktikan adanya Tuhan selalu mengatakan bahwa Alam pasti ada sebabnya, karena dia terbatas. Dan karena terbatas berarti ia memiliki awal dan akhir. Dan karena memiliki awal berarti kalau ia ada setelah awal itu, maka ia diadakan. Dan pengadanya mestilah tidak terbatas, karena kalau terbatas ia juga akan memerlukan pada pengada. Ini dalil pembuktian Tuhan.

Akan tetapi kalau hanya berhenti di situ, kan tidak adil? Karena dalil itu kan ada buntutnya. Yakni pernyataan memiliki awal dan akhir. Yakni mengapa akhirnya dilupakan? Nah, kalau akhirnya tidak dilupakan maka secara pasti, setelah akhir, maka alam semesta ini akan menjadi tidak ada sebagaimana di sebelum awal.

Ini dalil-akal gamblangnya. Yakni bahwa alam semesta akan menjadi tidak ada lagi sebagaimana sebelum awalnya itu.

Tentu saja, karena yang tak ada tak mungkin menjadi ada, maka sebelaum awal dan sebelum adanya alam, alam ini ada dalam derajat yang lain. Nah, setelah akhir alam, maka ia kembali ke asal dan wathannya itu.

(b) Setelah kita tahu dengan akal-gamblang bahwa alam ini akan menjadi tidak ada setelah melewati garis akhirnya, maka tulang belulang itu juga tidak akan ada mengikuti ketiadaan kuburan, bumi dan alam semesta.

Kalau demikian maka ayat di atas harus dimaknai dengan makna lain. Dan ternyata, memang ayatnya tidak menanyakan ke-akan-dibangkitkannya lagi tulang belulang itu. Tapi menanyakan ”Siapa yang mampu”.

Artinya ayat itu menanyakan ”Siapa yang mampu menghidupkan kembali tulang belulang yang sudah jadi tanah/pasir ini?”. Allah menjawab ”Yang mampu adalah yang pertama kali menciptakannya”. Artinya, kalau tanpa bahan bekas, bisa mencipta dan menghidupkannya, mengapa setelah adanya bahan bekasnya jadi tidak bisa? Itu maksud dari ayat tulang itu. Jadi yang ditanyakan ”Kekuatan” dan ”Kemampuan”, bukan ”Kejadian yang akan terjadi”. Dan jawabannya juga demikian, yakni ”Yang mampu adalah Tuhan”, bukan ”Tuhan akan membangkitkan tulang belulang”.

(c) Kesucian yang terpuji bukan tidak kencing dan e-ok atau darahnya jadi tidak najis. Yang namanya najis, tetap najis. Natural, tidak bisa dihinakan dan tidak bisa dibanggakan. Natural tidak bisa dinerakai dan tidak bisa pula disurgai.

Jadi, suci yang dipuji dan disurgai adalah kesucian akhlak atau yang maknawi dan ruhani, bukan badani. Jadi, nggak masalah kalau di surga itu kencing dan e-ok. Tapi, bagi yang tidak filsafati, karena Qur'an mengatakan tidak kencing dan e-ok, mk hal itu akan menjadi penghalang bagi yang memahami bahwa akhirat itu materi.

(d) Sedang jawaban lewat keringat, itu memang lagunya ilmu Kalam. Karena sudah mentok. Lah... trus apa yang dibanggakan Tuhan dalam Qur'an dengan mangatakan di surga itu tidak kencing dan e-ok, kalau di dalamnya orang pada mandi keringat? Lagi pula kalau filosof dipaksa Qur'ani, maka keringat ini juga harus Qur'ani. Mengapa bisa dikarang-karang pakai keringat. Emangnya Tuhan dan Nabi saww lupa tidak mengatakannya, atau orang-orang terdahulu tidak berfikir kalau bisa pakai keringat? Atau karena memang keringat itu tidak beda dengan kencing dan e-ok?

(e) Yang namanya materi itu memiliki hukum zati dan substansial. Misalnya yang besar tidak bisa masuk ke dalam yang kecil. Bumi tidak masuk ke dalam telur ayam-normal. Jadi yang sudah mustahil dari awal, maka tidak ada hubungannya dengan Kuasa Tuhan. Yakni yang mustahil secara zatnya, spt contoh tadi, atau bertemunya dua kontradiksi, maka secara zatnya sudah tidak bisa wujud. Mustahil artinya mustahil terwujud. Nah, yang demikian ini tidak bisa dilimpahkan ke Tuhan, dengan mangatakan Tuhan Kuasa. Karena tetap saja tidak akan bisa menjadi mungkin. Yakni yang mustahil itu selamanya akan mustahil dan tidak akan pernah berubah jadi mungkin. Nah, ketika demikian, maka bukan Tuhan yang tidak mampu, tapi sesuatu itu yang sendirinya tidak mampu menerima pewujudan.

Nah, salah satu ciri materi adalah volume/isi tamhah isi maka sama dengan dua isi. Jadi perut dengan isi/volume tertentu kalau ditambah volume/isi lagi, maka akan menjadi dua volume. Jadi, sistem ini adalah zat dari materi. Dan kalau dirubah, maka zatnya berubah. Dan kalau zat materinya, berubah, maka sudah pasti tidak bisa lagi disebut dengan materi (panjang, lebar dan tebal).

Dengan demikian, kalau tetap materi di surga, maka sebanyak apapun volume yang kita makan, maka akan menambah besarnya volume kita. Nah, kalau tidak kencing dan e-ok, maka kita akan membesar. Yang kasihan, kalau ada orang yang masuk setelah sekian tahun disiksa di neraka. Karena dia akan menjadi orang paling kecil dan spt semut di surga. Karena yang lainnya sudah pada segede langit (dalil yang ada guraunya).

Jadi, sistem apapun yang akan diterapkan pada materi, tetap tidak akan bisa keluar dari ZAT MATERI yang memiliki isi itu.

Olah karenanya kalau dibuang pakai keringat, maka basah kuyup terus manusia di sana, dan juga gerah. Dan kalau ber-ac, maka keringatnya tetap membuatnya kerepotan.

(f) Kalau masalah junub itu, bukan itu yang saya maksud. Maksud saya bidadari itu dikatakan oleh Tuhan bahwa mereka selalu PERAWAN. Nah, perkataan selalu perawan ini mencakup manakala sedang dikumpuli. Kalau demikian, maka ini tanda ke-non materiannya. Karena kalau materi, bagaimana mungkin dalam keadaan perawan ketika sedang dikumpuli?

(g) Tentang tidak makannya beberapa nabi dan wali DALAM BEBERAPA WAKTU, hal itu tidak menunjukkan bahwa mereka tidak makan. Maksudnya kekuatan ruh mereka melebihi yang lainnya. Yakni memiliki mu’jizat atau karamat.

Mana bisa satu dua kejadian, dimenangkan di atas seumur hidup kejadian? Yakni tidak makan yang hanya beberapa hari terjadi, dibandingkan dan dimenangkan ke atas riwayat yang menyaksikan makan minumnya dalam seluruh hidupnya?

Sinar Agama: A-M-K: Tentu riwayat-riwayat itu adalah shahih adanya. Akan tetapi bukan karena itu kita mengamalkannya. Tapi karena telah difatwai marja’ yang kita taklidi. Begitu ces.

Sinar Agama: Abu-H: Tentang nabi Yunus itu bisa dijawab dengan dua hal secara global.

(1) Bahwa kita sampai saat sekarang, hanya tahu akan hal itu. Yakni bahwa manusia tanpa nafas dan diserang asam lambung ikan, maka pasti mati. Tp hal ini baru penemuan kita sekarang. Mungkin nanti, kita akan menemukan lagi hal-hal yang melebihi hal ini hingga secara laboratoriumpun bisa diterima.

(2) Bisa dengan mu’jizat. Spt apinya nabi Ibrahim as. Arti globalnya mu’jizat dan karamah, adalah bahwa ruh manusia sudah sampai kepada kekuatan yang luar biasa yang disebabkan pengkhudhuran ilmunya dengan aplikasinya itu, sebagaimana saya tulis distatus. Nah, insan kamil, adalah insan yang telah kembali kepada Tuhan sebelum mati. Artinya ruhnya sudah kembali ke tingkat sebab alam ini. Dengan demikian maka ia akan lebih kuat dari akibatya, yakni alam. Maka dari itu mana mungkin alam materi ini bisa mengusiknya? Memang, ketika seseorang itu sudah sampai ke tingkat nabi dan wali, maka ia akan tetap hidup seperti semua orang, kecuali Allah menyuruhnya menggunakan kekuatan ruhnya itu. Jadi para nabi, rasul dan wali, bisa apa saja di alam ini dengan ijin takwini Tuhan. Tapi karena mereka itu hamba hakiki Tuhan, maka mereka tidak akan pernah melakukan apapun kecuali diperintahkanNya.

Nah, mu’jizat dan karamat itu sebenarnya adalah ijin Tuhan untuk melakukannya, bukan pemberitaan Tuhan, karena mereka sudah diberi dari awal dengan aturan alam ini. Yakni siapa yang olah raga maka ia akan sehat, siapa yang meninggalkan dunia karena taat, maka ia ruhnya akan menjadi kuat.

Dan bahkan sihir atau yoga atau tapa, jg(juga) seperti itu. Akan tetapi kekuatan meraka itu hanya selama di dunia ini. Perincian selanjutnya mungkin di tempat lain.

D-Gooh Teguh: Mantabs... Sangat bermanfaat. Kalau boleh kali lain menuliskan note tentang dasar teologis wilayatul faqih. Jika telah sempat saja. Selamat berseminar. Sukses selalu untuk ustadz... DAN... Suka sekali dengan penjelasan tentang TULANG.

Candiki Repantu: Salam... hadiah yang luar biasa di hari ghadir ini..! Sykron ustadz, jangan lupa singgah di Medan kalau lagi tour...hehehe.

Saiful Bahri: Salam, syukran semua...Enak kalo baca tulisan dari orang-orang pinter, hehe.

Sinar Agama: D-G-T: He..he..he...tentang tulang itu memang hebat sekali, habis dari ayatullah Jawadi Omuli hf, hem..... Dalam pelanglangan pikir saya memang sering mengambil dari orang besar, tapi bukan karena besarnya, melainkan karena dalilnya. Karena yang dimaksudkan orang besarpun demikian. Yakni tidak taklid kecuali dalam fikih.

Dan karena maksud orang besar demikian, maka saya kalaulah mengambil dari orang besar, tidak menyebut nama orang besar itu, supaya antum-antum leluasa mendebatnya manakala dianggap dalilnya belum pas. Jadi, demi menjaga kelancaran kemerdekaan akal, yang sering dijajah sendiri oleh pemiliknya disebabkan hal-hal sosial dan lain-lainnya.

Memang hal-hal sosial seperti menghormati alim ulama dan guru itu adalah keharusan, tap) dalam pencarian ilmu, tidak boleh dikotori dengan penghormatan itu. Jadi, karena umumnya orang Indonesia, kalau tidak salah, masih mengkebir) atau bahakan dikebiri, kemerdekaan akalnya dengan hal-hal sosial itu, maka tidak kusebutkan penemu dalilnya. Bacakan shalawat dan ganjaran fatihah untuk beliau hf. Terimakasih sebelumnya dan untuk yang mau, dan yang tidak mau tetap kuucapkan terimakasih juga karena telah berpartisipasi dalam catatan ini.

Sinar Agama: C-K: Ana kalau ke daerah Medan pasti akan ngunjungi yayasan Abu Thalib, karena katanya di sana ada yayasan tersebut.

Sinar Agama: S-B: terimakasih atas dukungannya, tapi kita semua tidak boleh terlena dengan kekaguman, jadi ketelitian harus ditajamkan terus. Tapi bukan cari-cari masalah, sekedar supaya kita bisa menerima dan menolak dengan dalil-gamblang, ghitu. LANJUTAN DISKUSI/KOMENTAR DI KIRIMAN YANG LAINNYA DARI CATATAN DI ATAS:

HenDy Laisa: Labbaika ya Haidar...

Sinar Agama: Salam dan terimakasih untuk semua jempolnya

Sinar Agama: Hendy: na’am, labbaika ya Haidar al-Karrar.

Gunawan Harianto: Syukron Lakum Ya Ustadzinal Kirom wa jazakumullah khoyran kastiron.

Rahmi Syarif Maricar: Izin share, terimakasih.

Indra Jaya: Izin kopi.

Sinar Agama: G-H: Semoga tulisanku tidak pernah mengganggu antum, dan sebaliknya semoga bermanfaat.

Sinar Agama: R-S-M dan I-J: silahkan saja, tulisanku bebas dipakai kepada kebaikan asal tidak dibisniskan, hem...

Baba Sanglegenda: Bismillaah.... Allahuakbar... bagus sekali tadz....

Gunawan Harianto: Ustadz ku....justru saya amat sangat terganggu jika antum sudah melupakan saya dalam setiap Tag Notes antum...selalu saya baca dan saya ulangi...maklum, segalanya disini kebanyakan kami pelajari secara tak beraturan dikarenakan keterbatasan kemampuan dan waktu untuk mempelajarinya dgn baik...

Afwan, apakah antum bisa jelaskan tentang pengantar logika dasar yang bisa di fahami dengan mudah oleh kami disini ustadz??? Terima kasih sebelum dan sesudahnya duhai Guru...

Sinar Agama: B-S: semoga Tuhan menilanya seperti itu, amin. Akupun dulu memahaminya dengan dalil sekitar tahun ke 20 dari pelajarku tentang Syi’ah, terutama setelah belajar Irfan-teori. Jadi mari kita nikmati bersama apa-apa yang kudapat itu, tapi harus tetap dengan perenungan. Ekstrimnya, terima dan/atau tolaklah dengan dalil-akal-gamblang, jangan taklid kecuali dalam fikih.

Sinar Agama: G-H: Tersanjung membaca komentar antum. Untuk dasar-dasar logika itu, ana akan mempertimbangkannya, tapi tidak janji, karena banyaknya hal-hal yang ingin ditulis dan belum tertulis. Coba saja dimasa mendatang ingatkan lagi.

Rido Al’ Wahid: Saya ada pertanyaan nih ustad, afwan.. Karena mumpung pembahasannya tentang ini.. Pertnyaannya adalah, keturunan Nabi Adam ini berasal dari mana? Jika berdasarkan pahaman sunni bahwa manusia adalah dari keturunan Nabi adam yang berasal dari perkawinan anak-anak Adam, namun hal itu jelas bertentangan dengan hukum Tuhan dimana sesama saudara apalagi saudara kandung itu tidak boleh terjadi.

Dalam buku yang pernah saya baca ’Konsep Tuhan’ karya Yasin T. Al Jibouri, bahwa yang menikah dan menghasilkan keturunan adalah bukan berasal dari perkawinan saudara, lalu dia mengambil pandangan dari beberapa kalangan ulama, yang mengatakan bahwa keturunan tersebut dari perkawinan antara anak Adam dan bidadari yang bersal dari surga.... Namun yang membuat saya agak kurang menerima ialah bahwa apakah mungkin terajdi perkawinan antara manusia dengan bidadri, apakah hal tersebut tidak melawan hukum alam??? Seperti yang berbunyi dalam Quran bahwa Allah menciptakan laki-laki dan perempuan secra berpasangan.. Sehingga apakah mungkin terjadi perkawinan dari jenis yang berbeda tersebut??? Syukron..

Sinar Agama: R-A: Karena saya merasa tidak ada masalah dengan perkawinan saudara itu , maka saya selama ini tidak terpancing sama sekali menelitinya. Oleh karenanya yang bisa saya katakan sekarang ini adalah, perkawinan itu terjadi diantara sesama saudara sesuai dengan lahiriah ayat yang mengatakan bahwa Allah mencipta kita dari satu orang, dan dari satu orang itu dicipta istrinya, dan dari keduanya itu akhirnya bertaburan anak-anak manusia yang banyak.

R-A: Hukum Tuhan itu mengalir seiring dengan kemampuan yang ada pada manusia. Oleh karena itu, pada waktu itu, sudah tentu tidak wajib hijab seperti hijab sekarang....dan seterusnya dari hukum-hukum yang tidak mungkin dilaksankan pada jaman itu.

Begitu pula tentang kawin ini. Jadi, kawin diantara saudara pada waktu tentu saja tidak haram. Karena pengharamannya membuat manusia waktu itu tidak akan mempu melaksanakan perin- tahNya, padahal Tuhan tidak memerintah kecuali sesuai dengan kemampuan manusia.

Sedang bidadari itu adalah jenis makhluk non materi, jadi dia tidak bisa kawin dengan manusia. Mendingan kalau jin, karena dia masih materi sekalipun materi halus dan ringan, yakni api.

Rido Al’ Wahid: Kher ustad alafwu.. Saya sepakat dengan pernyataan antum bahwa bidadari yang berasl dari alam yang tinggi bertemu dengan manusia di alam materi..

Sinar Agama: R-A: na’am, afwan kalau kurang memuaskan.

D-Gooh Teguh: Maaf, yang pernah saya bacai adalah sebagaimana disebutkan oleh RA dan saya lebih ”menyukainya”. Dalam buku Haft Asy Syarif atau Masyaariq Anwaar -kalau tidak salah- seorang jin perempuan untuk Qabil dan bidadari untuk Habil. Bisa jadi bidadari dan jin pun memiliki kadar untuk menjadi manusia dan bukan hanya tanah.

Dari sini saya mengambil kesimpulan umum, syariat pada dasarnya sama sedari dulu untuk hal yang sama. Termasuk shalat misalnya. Sedari dulu pun sama. Termasuk pula puasa ramadhan dan seluruhnya. Kecuali ada perintah khusus dalam kasus tertentu saja seperti umat Musa as yang hendak bertaubat harus bunuh diri misalnya. Tetapi pengecualian adalah tidak mengubah umum secara keseluruhan.

Jadi bukan JIN dan bukan pula BIDADARI. Hanya sangkan paraning dumadinya saja. Perempuan yang dicipta dari jin dan bidadari karena jelas harus dari jenis yang sama pula yaitu manusia. Perubahan wujud bukankah hal yang biasa saja sebagaimana umat musa menjadi babi dan kera maka begitu jugalah jin dan bidadari menjadi manusia.

Jauharuddin Muhammad: Izin copy ustad.

Sinar Agama: D-G: Ketika isykal dan masalahnya adalah hukum, bukan hakikat dan filosofisnya, maka jawabannya yang bijaksana adalah dari sisi hukum. Oleh karena itu tidak bijak kalau isykalan hukum terus jawabannya filsafat. Isykal hukum di sini adalah kawin dengan saudari. Jawabannya adalah boleh kalau dibolehkan Tuhan, sebagaimana hijab tidak wajib kala itu karena tidak diwajibkan Tuhan.

Dan karena perintah Tuhan itu mesti selaras dengan kemampuan manusia sesuai jamannya masing- masing, maka kala itu tidak diharamkan kawin dengan saudari. Inilah yang justru lahiriahnya tidak punya masalah.

Yang ke dua, yang dijadikan babi dan monyet dari umat terdahulu itu adalah ruhnya dengan apa yang dikenal sekarang dengan tajassudu al-a’maal. Jadi bukan badaniahnya.

Sinar Agama: J-M: silahkan saja, u well come.

Sinar Agama: D-G-T: ke tiga, jawabannya saya itu bukan untuk merubah kesengan antum. Antum silahkan saja dengan yang antum senangi. Saya menjawab karena merasa harus menjawab dan sekedar mengisi diskusi supaya tidak bolong. Jadi, jangan dikira saya mau mamaksakan teori saya.

D-Gooh Teguh: Ya ya ya. Semua yang bisa saya pahami pasti saya cerna. Yang belum bisa maka tetap selalu saya pikirkan dan coba saya pahamkan. Dan pada akhirnya segala sesuatu bergantung pada ”diri sendiri”. Dan urusan saya jelas tidak pernah saya letakkan pada yang saya senangi dalam urusan rasa tetapi lebih ke kata akal pikiran saya. Maka saya berikan tanda kutip di frasa saya senangi. Tentunya lebih tepat mana yang lebih benar menurut kapasitas saya. Jelas setiap pribadi memiliki kapasitas yang berbeda terlebih antara yang yang terdidik filsafat secara akademik dengan saya yang hanya ”filsafat on the street”.

Terima kasih atas pencerahannya. Banyak hal yang menjadi minyak untuk obor akal selanjutnya khususnya yang belum saya pahamkan benar.

Satu demi satu saja agar saya tidak semakin kebingungan. Mencari notenya dimana saya berkomen pun susah karena ada banyak kiriman note yang sama.

Tanah --> Manusia (Adam)

?????? --> Manusia (Hawa) Jin --> Manusia (Istri Qabil)

Bidadari --> Manusia (Istri Habil)

kaping setunggal> Apa yang membuat mustahil asal penciptaan yang ketiga dan keempat...? kaping kalih> penciptaan Hawa dari apakah asal usulnya?

kaping tigo> ruh manusia pada akhirnya terkait dengan badannya. Jika Jin dan Bidadari adalah immateri maka samakah kedudukannya dengan ruh manusia? Jika sama atau sejenis ada kemungkinan badan-badan mereka berempat pun dari tanah. PADA DASARNYA ENTAH BAGAIMANA MEKANISME KEJADIANNYA, tidak disebutkan di riwayat tersebut dan saya juga belum mengetahuinya. Tetapi menurut riwayat adalah sedemikian.

Jika riwayat tersebut dibuktikan sebagai ”tidak benar” atau bukan berasal dari aimmah as maka satu masalah selesai. Dan menurut dugaan rasa kemuhriman itu telah ada sedari dahulu kala. Rasa normal enggan syahwat dengan muhrim itu apakah hanya karena lingkungan dan bukan bawaan?

kaping sekawan> Bisakah memberikan contoh syariat apa yang sekarang boleh dan dahulunya dilarang? Juga syariat apa yang sekarang dilarang padahal dahulunya boleh? Tentunya selain kawin muhrim yang sedang dibahas.

Terima kasih.

Satu lagi tambahan MASALAH FILSAAT vs. KALAMI:

Bukankah secara pemikiran filsafat tidak bisa mengatakan tidak ada manusia lain yang bisa mencapai derajat Rasulullah saaw dan Ahlulbaitnya..?

Menurut pemikiran keawaman saya secara rasional maka tidak bisa menutup kemungkinan adanya manusia atau makhluk lain yang bisa mencapai kedudukan seperti mereka. Bantahan tentang hal ini hanya ditemukan dalam kalami. ”Tidak seorangpun boleh disamakan dengan kami ahlulbait”. Dimanakah letak kesalahan pernyataan saya ini...? Dengan demikian filsafat dan kalami ini harusnya saling melengkapkan.

Saya buka-buka kembali buku belum menemukan juga dimana disebutkan. Karena saya pernah membaca di riwayat tersebut Imam Ja’far as (jika tidak salah ingat) melaknati mereka yang mengatakan tentang inchest tersebut. Dengan demikian masalah ini menurut hemat saya menjadi penting karenanya. Jika dibuktikan riwayat ini tidaklah benar atau tafsirnya tidak sedemikian maka selesailah masalah.

Di Haft Asy Syarief hanya sedikit saja dan beda fokus bahasan. Saya pernah membacainya tetapi terlupa dimanakah. Dan belum ketemu lagi. Allahumma shalli ala Muhammad wa aali Muhammad.

Sinar Agama: Salam, bagi D-G-T yang sedang asik menulis komentar dengan kaping-kapingnya, terimakasih atas kaping-kapingnya tersebut. Saya kemarin sama sekali tidak buka fb karena seminar yang diperkirakan dua kali, ternyata menjadi 4 kali, syukur hari ini sesuai jadwal, yakni hanya satu kali, hingga di pagi ini bisa nyempatin nengok fb, eh....ternyata sudah berkaping- kaping he he ...

(1) Kependekan dari kaping: Antum bertawadhu katakan belajar filsafat di jalanan. Kami sendiri sampai2 menyembunyikan nama asli karena supaya tidak mengurangi diskusi yang nyaman dan mengalir yang kalau perlu diiringi dengan banting-bantingan, tap bukan banting beneran he he he. Semua itu karena sekalipun kami merasa belajar secara akademis sesuai dengan sekolah kami, tap semua itu tetap tidak menutup kemungkinan kesalahan pada pemikiran dan kesimpulan kami. Jadi dengan diskusi itu maka akan ketahuan apakah suatu pandangan itu bisa dipertahankan atawa tidak.

(2) Saya memahami sangat mustahil bahwa manusia kawin dengan malaikat, kalau dengan jin mungkin masih bisa, karena dia dari materi ringan, yakni api. Tapi kalau malaikat yang dari nur, alias non materi barzakhi, maka dia sama sekali tidak memiliki badaniah.

(3) Siti Hawa as diberitakan dalam hadits dari tiga hal, ada yang mengatakan dari tulang rusuk nabi Adam as (riwayat syi’ah dan sunnah), ada yang mengatakn dari tanah juga (saya rasa hanya riwayat syi’ah) serta ada yang mengatakan dari tanah sisa dari yang dibuat untuk tulang rusuk nabi Adam as (saya rasa syi’ah saja).

Dan uraian panjang yang diiringi dengan banting-bantingan sudah saya lakukan di status Prita, kalau ingin merujuknya silahkan merujuk ke sana, walhasil dengan bahasa yang tidak biasa saya lakukan, yakni kasar banget untuk ukuran saya, yakni tulisan saya itu kasar banget, Hal itu saya lakukan karena dia telah berani mengejek hadits shahih Nabi saww (shahih secara syi’ah dan sunnah).

(4) Antum kurang teliti memaknai masing-masing esensi itu. Jin adalah makhluk ber-ruh dari tubuh yang dicipta dari materi api. Jadi ruh jin sama dengan manusia, bahwa ia adalah non materi secara zatnya dan materi secara kerjanya.

Ruh manusia adalah non materi secara zatnya dan materi secara aktifitasnya. Malaikat adalah non materi secara zat dan kerjanya.

Jadi, hanya manusia dan jin yang berhubungan dengan materi. Tapi tetap tidak mungkin jin itu berhubungan dengan tanah, karena dalam Qur'an sudah disebutkan bahwa dia dicipta dari api.

Jadi badan manusia dan jin adalah lain, sementara malaikat sama sekali tidak berbadan materi. Kalau ghitu bener saja diriku kurang dipahami, karena belum jelas di sininya, yakni di esensi masing-masingnya itu.

(5) Riwayat dari imam as itu tidak mesti shahih, dan kalau shahih belum tentu tidak ada perla- wanannya dari hadits shahih atau tidak shahih lainnya. Dan kalaulah shahih belum tentu tidak bertentangan dengan Qur'an atau akal. Jadi hadits imam as itu tidak menjamin pada permulaannya. Jadi harus diteliti lebih jauh. Kalau dari imam as tapi tidak shahih sanadnya, maka ya...tinggal dibiarkan saja, tidak bisa diambil.

Kalau shahih sanadnya, ya...dilihat bertentangan apa tidak dengan hadits shahih atau tidak shahih lainnya, atau dengan Qur'an dan akal. Kalau bertentangan dengan hadits yang tidak shahih, maka ianya diambil dan yang tidak shahih itu dibiarkan saja. Kalau bertentangan dengan yang shahih lainnya, maka dilihat mana yang lebih cocok dengan akal, Qur'an. Walaupun ada juga yang membolehkan pilih saja salah satunya sampai ketemu makshum as. Dan kalau bertentangan dengan Qur'an dan akal, maka dibiarkan saja. Tap kalau bisa dicarikan jalan keluarnya, misalnya dengan memaknainya dengan makna yang tidak lahiriah, maka diusahan untuk diatasi dengan cara itu.

Nah, hadits-hadits yang antum katakan itu, kalau ada, dan kalaulah shahih, belum tentu bisa diambil lahiriahnya. Terlebih dalam hal ini karena secara lahir bertentangan dengan Qur'an yang mengatakan bahwa Tuhan mencipta manusia dari satu orang, lalu darinya dicipta istrinya dan dari keduanya dicipta manusia yang banyak.

Jadi kalau hadits antum itu shahih, maka bertentangan dengan ayat tsb. Dengan demikian tidak bisa dimaknai secara lahiriah, dan kalau ada makna takwil yang cocok, maka sangat mungkin maksud makshumin adalah makna batin itu.

Hadits shahih itu tidak mesti benar, dan kalaulah benar tidak mesti juga sesuai makna lahirnya. Hadits shahih itu adalah shahih sanad dan perawinya. Artinya boleh dijadikan sandaran, tap bukan jaminan kebenaran. Jadi kalaulah hadits itu ternyata salah, maka kita akan dimaafkanNya karena sudah mengambil dari orang tsiqaah atau jujur dimana dikatakan shahih. Itu saja dari makna shahih dalam syi’ah, yakni bisa/sah dibuat sandaran.

(6) Tentu saja banyak sekali syari’at yang berbeda antara yang satu dan yang lainnya. Karena syari’at itu pengaturan Tuhan tentang manusia hidup sesuai dengan potensi, kemampuan, dan kondisi masing-masing umat. Misalnya bagi yahudi diharamkan mancing hari sabtu. Bagi orang-orang pada masa-masa belum ada baju, tidak mungkin diwajibkan hijab. Orang-orang atau umat seblum nabi Ibrahim as tidak diwajibkan haji seperti haji sekarang. Shalatnya orang dulu tidak sama dengan sekarang, misalnya tidak pakai rukuk, atau tidak pakai bacaan-bacaan seperti sekarang, apalagi yang bukan nabi Arab.

(7) Antum mengatakan bhw(bahwa) secara filsafat bahwa orang bisa mencai maqam Rasul saww itu dari mana? Kemungkinan dalam filsafat itu ada dua macam, mungkin secara akli/aqli) dan mungkin secara kejadian. Kemungkinan seseorang sampai ke tingkat Nabi saww itu adalah kemungkinan akli/aqli), yakni secara potensi dimana Tuhan memberikan kepada semua orang dengan sama, maka maqam itu bisa dicapai siapa saja.

Akan tetapi secara fakta dan kenyataan, karena selain beliau saww tidak menggunakan potensi-potensi itu, maka secara filosofis sangat mstahil untuk mencapainya.

Jadi Naql, dalam hal ini adalah hanya memberitakan tentang kejadiannya itu. Jadi secara filosofis sudah ada kaidahnya yang sudah diketahui, dan naql hanya mengabarkan kejadiannya. Yakni syari’at hanya mengatakan bahwa yang terjadi bukan teori pertama dari teori filosofis itu tapi teori ke dua, yakni yang mengatakn bahwa ketika semua orang tidak menggunakan potensinya itu maka mustahil mencapai maqam Nabi saww.

(8) Ilmu Kalam itu bukan Naql. Dan filsafat itu bukan akal. Ilmu Kalam adalah ilmu yang bersumber kepada naql (Qur'an-Hadits) yang dipahami secara akliah/aqliah lahiriah, yakni akal-’urfi, akal- umum. Jadi, walaupun ada takwilan dari makna lahiriahpun, tetap saja berkisar takwilan yang juga umum dipakai akal-masyarakat umum. Misalnya Tuhan punya dua tangan, atau tanganNya di atas tangan-tangan manusia, maka di sini sekalipun Kalam menafsirkan dengan batinnya, tapi hanya yang juga bersifat umum. Misalnya bukan materi karena Tuhan tidak terikat dengan ruang dan waktu dan tidak terikat dengan apa saja. Tangan di sini bermakna kekuatan, sebagaimana dikatakan si fulan itu adalah tangan kanan si fulan.....dst dari takwilan- takwilan yang juga masih bersifat umum. Ini kurang lebih arti ilmu Kalam.

Tap kalau filsafat adalah ilmu yang membahas tentang wujug dengan akal secara akal- gamblang, artinya semua dasar pemikirannya itu harus dengan dalil akal, dan dalil akal ini harus mencapai dalil-akal-mudah-gamblang dan pasti.

Jadi sudah jelas tidak saling melengkapi, dan bahkan saling bertentangan di banyak hal. Bagaimana mungkin akal-umum bisa disamakan dengan akal-nyata? Yakni bagaimana mung- kin bisa saling melengkapi. Memang, dalam banyak hal ada kesamaan, tapi di tingkat dasar dan mudah serta gamblangnya itu. Tapi di tingkat kesimpulan dan pelacakan terhadap sesuatu yang sedang ditelitinya itu sangat mungkin untuk tidak seiring.

Misalnya, alam akan kiamat. Kiamat di akal-umum adalah hancurnya permukaan bumi dan permukaan beberapa pelanet, hingga buminya dan kuburannya masih ada dan kebangkitan adalah di atasnya. Tapi kalau di filsafat adalah hilangnya alam materi dimana bumi dan sak tulang-tulangnya juga hilang.

Lalu setelah itu, bagaimana mungkin bisa sama antara makna kebangkitan di Kalam dan Filsafat. Terus bagaimana akan saling melengkapi?

Kalau di sekolah kami, sebelum belajar filsafat harus belajar Kalam dulu. Itu karena yang wajib adalah Kalam dan filsafat adalah pendalamannya. Artinya kalau orang salah dengan ilmu Kalam maka sudah sah dan dimaaf Tuhan. Nah, belajarnya ilmu Kalam itu untuk supaya hati kita kuat dulu tentang keimanan minimal tsb. Dimana nanti kalau tidak kuat dan tidak paham tentang uraian filsafatnya, bisa tetap punya pijakan keimanan yang dari Kalam itu. Artinya kalau tidak filosofis, maka setidaknya tetap punya keimanan yang sah dan dipahalai serta diampuni salahnya.

(9) Kalau ilmu Kalam tidak berani menakwil Qur'an kecuali bertentangan dengan akal-umum yang mudah. Tapi kalau filsafat mengatakn harus ditakwil dengan akal di tingkatan manapun, yakni akal tinggidan filosofi sekalipun. Tentu saja asalkan punya dalil akal-mudah dan gamblang. Jadi sebenarnya, ilmu Filsafat itu memudahkan yang sulit-sulit. Nah, kalau ada orang yang membuat sulit dengan filsafat, berarti ada kemungkinan dia sendiri tidak paham atau ingin unjuk rasa dan ingin menonjol. Maka selalu ego ini yang menghambat pengertian, sembari menghiasinya dengan istilah-istilah yang rumit. Lah...untuk apa semua itu?

D-Gooh Teguh: Akhir kata yang bisa saya ucapkan: ”doakan saya termasuk kalangan mereka yang mempunyai keimanan yang sah dan dipahalai serta diampuni salahnya”. Dan tentu saja: doakan juga saya bisa memahami setiap problematika dan jawabannya. Dan tentu saja diampunkan jawaban-jawaban saya yang salah pada penanya saya. Semoga jawaban salah itu pun masihlah ”bisa dibenarkan” dalam level saya dan sang penanya. Semoga masih bisa dimaklumi-Nya. Saya hanya berharap pada pengampunan-Nya saja.

Terima kasih atas penjelasannya. Sekarang mengkonstruk bangunan pengetahuan yang ada di diri agar lain kali bisa menjawabi pertanyaan dengan lebih baik pula. Banyak hal yang belum klik tetapi insyallah akan segera klik setelah menemukan pengkalimatan versi sendirinya.

Sinar Agama: D-G-T: Kalau antum berpandangan bukan karena kecenderungan pada diri, guru, sejarah diri, kesukaan...dan seterusnya, maka kesalahannya pasti diampuniNya. Yakni kesalahan yang dikarenakan kesalahan pada argumentnya yang tulus/ikhlas. Kita semua juga begitu, yakni siapapun yang salah yang tidak disengaja atau tidak semi sengaja (seperti karena kecenderungan ke diri, guru, sejarah dan pangalaman, kesukaan ...dan semacamnya), maka pasti diampuniNya. Artinya kalau semua kecendurangn itu tidak mengalahkan argumentasi-gamblangnya.

Abdurrahman Shahab: Afuan Ustadz. Ana ingin bertanya, bagaimana malaikat yang sepenuhnya inmateri, lantas bisa ditanpakkan sebagai wujud manusia atau wujud tanpak lainnya (yang berwujud materi) ?

(2) Ketika Rasulullah SAWW Isra’ mi’raj, ke Sidratul Muntaha, bukankan Rasulullah di Mi’raj-kan oleh Allah bukan hanya Ruh nya saja, tapi keseluruhan utuh sebagai diri Rasulullah, yang berarti bahwa alam materi (wujud Rasulullah secara sempurna sebagai manusia) juga bisa mencapai alam non materi secara ?

(3) Apakah ketika manusia dibangkitkan kembali, itu hanya dibangkitkan Ruhnya saja atau Ruh dan bandannya, dan demikian juga ketika manusia dimasukkan ke dalam neraka atau surga, apakah Ruh nya saja atau Ruh dan badannya ? Dan jika hanya Ruh saja (non materi) yang memasuki neraka atau surga, lalu bagaimana siksa neraka atau nikmat surga sebagai balasan atas perbuatan manusia nanti dapat dimaknai sebagai KeAdilan Ilahi jika hanya Ruh nya saja yang mengalami pembalasan ?

Afuan, sekali lagi ustadz mohon pencerahannya ...

Sinar Agama: A.Sh,

1. Setiap non materi barzakhi seperti malaikat, ia bisa terlihat dengan mata barzakhi pula. Jadi sebenarnya, ketika manusia melihat malaikat, yang melihat, bukan mata lahiriah atau badaniahna, akan tetapi badan barzakhinya. Karena itu, salah satu pengetes tampakan yang mencurigakan (katakanlah kita melihat sesuatu), maka untuk membedakannya dari materi, cukup dengan memejamkan mata. Kalau sesuatu yang terlihat itu, tidak terlihat lagi, maka ia materi. Tapi kalau masih juga nampak, maka ia adalah badan barzakhi. Sangat mungkin setelah ini, akan banyak diterangkan lagi tentang tiga alam, yaitu materi, barzakhi dan akli. Jadi, kalau para shahabat melihat malaikat Jibril as yang menjelma itu, maka sebenarnya mereka dapat melihat lantaran syafaat Nabi saww dan kehendak Allah dan, yang melihat, tentunya bukan mata lahiriah mereka, melainkan mata barzakhinya sebagaimana mereka melihat sesuatu ketika tidur (mimpi) yang juga sama-sama barzakhi.

Tapi ingat, bahwa bentukan orang dan bentuk-bentuk yang dilihat itu, bukan mesti bentu asli dari malaikat Jibril as, melainkan bentuk yang dikehendakinya sendiri. Karena badan barzakhi itu, tidak terikat dengan ruang dan waktu hingga bisa diperbentukkan dengan berbagai bentuk.

2. Isra’ Mi’raj itu ada dua tahapan:

- Pertama dengan ruh dan badan, yaitu yang melanglang di alam materi ini sampai ke akhirnya.

- Ke dua, dengan ruh Nabi saww saja. Yaitu ketika naik ke alam barzakhi dan akli. Sebagaimana telah dibahas dalam pembahasan filsafat dan alam keberadaan (wujud), alam dibagi tiga: Pertama, alam materi (materi mutlak). Ke dua, alam barzakhi (pertengahan antara materi mutlak dan non materi mutlak). Ke tiga, alam akli (non materi mutlak). Nah, isra’ mi’raj yang di alam materi, jelas dengan ruh dan badan beliau saww. Sementara ketika naik ke alam yang berderajat lebih tinggi, yaitu barzakhi, maka hanya dengan ruh beliau saww. Begitu pula ketika masuk ke alam akli dimana diawali dengan akal-akhir yang juga disebut dengan ‘Arsy dan Lauhu al-Mahfuuzh. Hal itu, karena materi atau badan beliau saww, jelas tidak bisa masuk ke alam barzakh yang non materi. Akan tetapi, walaupun dikatakan dengan ruh saja, bukan berarti ruh beliau saww itu lepas dari badan beliau saww seperti mati shuurii/suri. Karena itu, dalam keadaan tetap dengan badan itulah, ruh beliau saww meneruskan perjalanan ke alam non materi barzakhi dan non materi akli. Persis seperti yang dikatakan beliau saww sendiri bahwa shalat itu (tentu shalat yang benar dan khusyu’) adalah mi’raj seorang mukmin.

Jadi, orang mukmin atau Nabi saww sendiri, kalau shalat, walaupun tubuh beliau saww ada di masjid, tapi ruh beliau saww berisra’ mi’raj sampai ke shidratu al-muntahaa.

3. Ruh manusia itu, memiliki empat daya: Daya-tambang, yang bertugas memutar atom-atom badannya. Daya-nabati, yaitu yang mengatur pertumbuhannya. Daya-hewani, yaitu yang me- ngatur rasa, perasaan dan gerak ikhtiarinya. Daya-akli, yaitu yang mengatur pahamannya dalam memahami universal dan penerapan-penerapannya kepada individunya atau partikulirnya.

Ketika manusia aktif dalam jaga, maka seluruh daya yang dimiliki ruhnya, juga aktif. Dari ruh- daya-atom sampai dengan ruh-daya-akal. Ingat, ruh manusia ini, non materi dan tidak bisa dipecah-pecah ke dalam empat daya tersebut. Akan tetapi, karena seluruh aktifitas yang ada pada materi dilakukan oleh non materinya (ruhnya), dan karena aktifitas yang ada pada tubuh manusia ada empat, maka akal kita dapat mengetahui adanya empat daya tersebut, tanpa bermaksud memecahnya menjadi empat bagian seperti materi.

Katika manusia tidur atau pingsan, maka ruh-daya-akal dan ruh-daya-hewaninya, libur. Karena itu, yang aktif hanya ruh-daya-nabati dan ruh-daya-tambang. Karena itu, kalaupun ia tidur satu tahun, tubuhnya akan tetap berkembang dan, sudah tentu atom-atom badan dan detak-detak jantungnya, tetap aktif.

Ketika manusia mati, maka semua daya ruhnya menjadi libur selain daya tambangnya. Nah, kematian manusia ini juga dikatakan alam barzakh, karena ia menunggu antara awal kematian dan hari kebangkitan, yakni antara alam materi dan akhirat.

Sementara kiamat, adalah hancurnya alam materi secara keseluruhan termasuk udaranya. Allah sendiri mengatakan bahwa gunung dan bumi akan dihancurkan sehancur-hancurnya. Lihat QS: 69:14:


وَحُمِلَتِ الَْرْضُ وَالْجِبَالُ فَدُكَّتَا دَكَّةً وَاحِدَةً

“Dan diangkatlah bumi dan gunung-gunung, lalu dibenturkan keduanya (sampai hancur menjadi tepung) sekali bentur.

Dakka itu artinya menghancurkan sehancur-hancurnya seperti tepung. Di tempat lain, yaitu di QS: 89:21, Allah berfirman:


كَلَّ إِذَا دُكَّتِ الَْرْضُ دَكًّا دَكًّا

“Tidak demikian. Ketika bumi ditumbuk setumbuk-tumbuknya, setumbuk-tumbuknya.

Catatan:

- Ketika sekali tumbuk saja sudah seperti tepung dan lebih halus lagi, maka bagaimana menumbuk lagi yang sudah jadi tepung itu untuk tahap ke dua dan ke tiga?? Karena ayat tersebut menekankan sampai ke tiga kali tumbukan.

- Kalau kiamat itu penumbukan alam ini, maka berarti semua yang ada, termasuk langit dan udara, juga demikian. Nah, menghacurkan udara, atau menumbuk gunung menjadi tepung yang ditumbuk lagi sampai dua kali lagi, maka hal itu memberikan pengertian bahwa kiamat itu adalah hilangnya alam materi ini.

- Ketika alam materi ini hilang, bumi juga hilang, maka sudah pasti tulang belulang kita, juga hilang.

- Dikala sudah hilang, maka itulah makna kebangkitan. Yakni yang tadinya manusia yang mati masih terikat dengan badan materinya dan atom-atom badannya yang sudah berkalang tanah, sekarang ia bebas dari badan materinya sama sekali. Inilah kebangkitan. Yakni bangkit dari alam materi atau masih terikatnya dengan alam materi, menjadi alam non materi.

- Tapi ingat, bahwa non materi manusia itu, masih mengandungi non materi barzakhi dan bahkan hanya di non materi barzakhi saja. Karena yang bisa menembus ‘Arsy atau akal-akhir, hanya insan kamil saja atau seorang wali.

- Alam Akli itu, bukan akal manusia. Tapi non materi mutlak. Mereka memiliki derajat dari Akal- pertama sampai ke akal-akhir. Jumlahnya, hanya diketahui Allah swt. Akal-pertama itu adalah makhluk pertama yang juga disebut Nur-Muhammad saww dan akal-akhir disebut dengan ‘Arsy atau Lauhu al-Mahfuuzh atau disebut dengan malaikat-tinggi (QS: 38:75). Sedang non materi barzakhi, yakni yang memiliki bentuk dan sifat-sifat materi di selain matter atau bendawiahnya, disebut juga dengan alam malaikat, alam mitsaal, alam ide,....dan seterusnya.

Jawaban poin 3 ini adalah bahwa kelak, kebangkitan akhirat itu adalah kebangkitan ruh dan materi barzakhi, tapi tidak dengan materi bendawi.

Ahmad Fauzi Baidlawi: Jazakallah.

Sinar Agama: Terimakasih untuk semua jempolnya.

Sinar Agama: alfaqir: u well come.

Safril Rasainy: Syukron telah berbagi.

Agoest D. Irawan: Ied Ghadir Mubarak Ustadz Sinar Agama.....

Sinar Agama: S-R: u well come, semoga bermanfaat.

Sinar Agama: A-D-I: sama-sama, ied mubarak, semoga wilayah imam Ali as selalu menjadi tameng kita dunia-akhirat mengusir kebatilan dan panasnya api neraka.

Eyang Putri Kami: Syukron ya atas kirimannya , Selamat Hari Idul Ghadir juga.

Gazali Rahman: Syukran Ustadz sudah tagg dan tulisan Ustadz menambah hasanah pengetahuan yang sangat berharga bagi kami..

Sinar Agama: Hj. E: sama-sama, semoga wilayah imam Ali as bisa menjadi benteng dunia akhirat kita semua dari kebatilan dan api neraka, amin.

Sinar Agama: G-R: sama-sama juga, semoga Tuhan menuliskan untukku katamu itu hingga aku bisa mendapatkan senyumNya, begitu pula dengan semua teman-teman di fb ini, amin.

Baba Sanglegenda: Jazakallah ..... Syukron ....tadz .... terimakasih banyak literasinya .... sangat bermanfaat ,.. tadz tetap berbagi ya.....

Afan Bahtiar: Syukron ustadz.. dan tulisan-tulisan ustadz sangat bermanfaat bagi saya.

Fayroz Chaneman: Hanya Syukrooon saja terasa tidak cukup ,, lantas di atas Terimakasih itu apa ?... Afwaan saya tidak tau,, ”setiap habis mendalami pengetahuan-pengetahuan agama dari Ustadz’s yang berbasis AhlulBayt maka semakin sadar betapa bodoh saya selama ini, dan saya orang yang beruntung dapat petunjuk kebenaran dengan Kemurahan~Nya” saya peroleh tanpa keluar dari rumah... Subhanallah,, pahala buat Ustdz... Sinar Agama, ”Eid Ghadir Mubarak ,, Salam warahmah :)*

Fayroz Chaneman: Syi’ah adalah Islam yang sebenarnya ,, Syi’ah adalah tujuan hidup saya ,, Mohon jangan jenuh untuk berbagi Ilmu kepada saya ,, saya didik anak-anak saya juga orang- orang di sekitar saya untuk memberi tahu jalan kebenaran ,, Allahumma inni ataqorrobu ilaika bi wilayati Ali ibn Abi Thalib . . . *

Agas Radityha Cahaya Abadi: Subhanallah, syukron. Ana punya pertanyaan, kenapa islam terbagi seperti muhamadiyah, nadlatul ulama, persis dan mungkin yang lain terkadang ana bingung..mohon dijelaskan???

Sinar Agama: B-S: semoga umur ini dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk agama kita, terutama jalur Ahlulbait as. Saya akan berusaha untuk tidak malas dan mendatangi status-status antum walau tak diundang.

Sinar Agama: A-B: u well come, antum bisa kunjungi juda catatan-catatanku.

Sinar Agama: F-C: Jangankan terimakasihmu, bahagiamu itu sudah cukup dan bahkan sudah berlebihan untukku. Karena bahagianya teman-teman sangat bisa menyelamatkanku di dunia- akhirat kelak. Karena kebahagian mukminin adalah Ridha Allah. Dalam riwayat diaktakn bahwa yang bisa membantu teman seiman maka pahalanya sama dengan bertahun-tahun ibadah. Memang kuterima akhlak semua teman-teman yang berterima kasih dan bahkan mendo’akanku si durjana ini. Aku sangat terharu karenanya, dan akupun hampir tak pernah melupakannya dalam do’aku, semoga Tuhan menerima do’a kita semua.

Adalah sangat berarti persahabatan dalam agama Allah di dunia yg hanya sekali kita singgahi dan sangat singkat ini. Jadi, mari kita tekun belajar dan mengaplikasikannya dalam kehidupan seraya saling bernasihat dan berdo’a.

Aku senang sekali dapat membahagiakanmu dengan statusku ini dan catatan-catatanku. Dan aku akan jauh lebih senang dan ridha kalau kamu, afwan, tidak memuat lagi gambar-gambar yang kurang bagus sekalipun untuk bergurau. Semoga aku dan kamu serta semua teman, selalu

dalam Selimut HangatNya, amin. Marahilah aku kalau kamu tidak suka dengan nasihatku ini, tapi janganlah kamu tidak memaafkanku.

Sinar Agama: Agas: Salam dan terimakasih atas komentarmu. Tidak ada yang salah dari muslimin jaman sekarang dalam perbedaan terhadap agamanya. Karena kita semua adalah korban dari para pendahulu kita, sekalipun banyak juga dari mereka adalah korban dari generasi sebelumnya juga.

Perbedaan ini, sdh terjadi sejak di jaman Nabi saww sendiri. Terkhusus ketika beliau sedang sakit, ketika beliau mau menulis washiat tapi dilarang oleh Umar (Bukhari, Muslim dan lain-lainnya). Setelah Nabi saww hadits-hadits yang ditulis dijaman beliau saww yang juga dengan ijin beliau saww dibakari. Mereka telah memerangi hadits dan dengan lantang mengatakan ”Cukuplah Qur'an”. Nah, ingkarulhadits ini sdh dimulai oleh khalifah pertama dan ke dua yang diteruskan oleh khalifah tiga.

Kamu tahu, betapa banyaknya peperangan diantara para shahabat sendiri. Berapa puluh, ratus dan mungkin ribuan yang mati diantara mereka. Ada yang setelah dipenggal lehernya, istrinya langsung dinaiki malam harinya. Atau beberpa orang dibakar hidup-hidup di depan umum. Dua hal ini terjadi ketika Abu Bakar mengutus Khalid bin Walid ke suku Bani Tamim.

Kamu tahu, imam Ali as dibunuh kala shalat di masjid oleh muslimin yang lainnya yang dari kelompok Khawarij, imam Hasan as diracun Mu’awiyah, imam Husain as dibantai tentara Yazid dan kepalanya jadi mainan Yazid di meja singgasananya di istananya di Syam atau Suria sekarang. Begitu seterusnya ...imam-imam 12 yang makshum yang dari keturunan Nabi saww, dipenjarakan sebelum dibunuhi oleh para Khalifah Bani Umayyadh dan Bani Abbas, sampai akhirnya Tuhan mengghaibkan imam ke 12.

Jadi, Muhammadiah dan NU ini terlalu kecil. Dulu semua orang di Indonesia ini semuanya bermadzhab Sunni Syafi’i. Lalu K H Ahmad Dahlan yang mulai terpengaruh ajaran Wahhabi yang dikirim kepadanya dari Saudi lewat majalah-majalah dan kitab-kitab, maka iapun merasa harus memurnikan Islam ini dari bid’ah-bid’ah dan kesyirikan. Akhirnya ulama Sunni tidak mau tinggal diam, mereka bangkit melawan gerakan yg membid’ahkan dan mengkafirkannya (memusyrikkan). Dan kebangkitannya itulah yang akhirnya menjadi Kebangkitan Ulama yang, dalam bahasa Arabnya adalah NU itu.

Prinsipnya, siapa saja yg menjadi korban sejarah ini, akan dimaafkan Tuhan, asal tidak menggang- gu yang lainnya. Tentu saja asal belum sampai kepadanya apa-apa yang lebih benar. Atau kalau sudah sampai, tapi dia belum mamahaminya dengan baik dan benar. Jadi, kalau ketiga hal ini ada pada muslimin, maka sekalipun ia salah, akan tetap dimaafkan Tuhan. Tentu saja yang malas mencari dan berpangku tangan, sementara ia sendiri sudah merasakan adanya keganjilan beberapa ajaran yang dipegannya, dan mencari kebenaran itu mudah dilakukannya, tapi dia tetap berpangku tangan, maka kemungkinan ia tidak akan dimaafkan Tuhan dan akan dimasukkan ke dalam golongan yang salah dengan sengaja.

Jadi, jalan selamat satu-satunya adalah selalu mencari jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan kita, dan selalu membandingkan apa-apa yang kita pegang dengan yang lainnya, kecuali kalau pencariannya terhadap yang dipengangnya itu sudah sampai ke dalil akal-mudah-gamblang dan pasti. Karena setelah itu, pencarian itu sudah tidak wajib lagi, secara akal-gamblag.

Reinhard Treeanggono: Saya suka sekali note ini, syukran ya ustadz..

Dino Aja: Syukran ustad atas kirimanya, sungguh sangat bermanfaat bagi saya.

D-Gooh Teguh: Dan alangkah lebih baik jika kita mengurus perbaikan perabot sendiri dibanding mengurus rusaknya perabot tetangga. Perabot tetangga bisa terjual atau tidak bukanlah urusan kita. Sang Pembeli yang akan menentukan harganya sendiri.

Sinar Agama: R-R-D dan D-S: sama-sama, u well come.

Sinar Agama: D-G-T: Memang benar lebih baik ngurusi diri sendiri, tapi kalau diperintah Tuhan untuk membantu tetangga, maka membenahi diri sendiri di sini harus ditajallikan dengan menolong tetangga. Jadi, mengurusi orang lain pada hakikatnya adalah mengurusi diri sendiri. Tentu kalau profesional dan karenaNya. hem.....

D-Gooh Teguh: Demikianlah lengkapnya yang saya maksudkan. Dan tentunya ustadpun mema- hami yang saya maksudkan. Menolong tetangga adalah menolong diri sendiri. Hanya saja pertolongan harus dilakukan dengan bijaksana. Jangan malah menjadi kontraproduktif.

Sinar Agama: D-G-T: na’am, namun kalau amar makruf, karena wajib, maka ianya adalah wajib sekalipun kita tidak melakukannya. Jadi, amar makrufnya adalah kewajiban dan melakukan hukum yang kita ajarkan itu adalah kewajiban tersendiri.

Begitu juga nahi mungkar. karena keduanya adalah wajib kalau audiennya dimungkinkan menerimanya, jadi keduanya adalah kewajiban yang mandiri dari isi perintah dan larangan yg dimaksudkan


Aby Faqir To Maradeka: Syukron ustad, sudah di tag..alhamdulillah mendapat pencerahan dari note dan komen-komen ustadz. Si fakir ini senantiasa menanti pencerahan antum selanjutnya ustad.

Sinar Agama: A-F: ok sama-sama.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ