Tampilkan postingan dengan label Hadits Al-Saqalain. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hadits Al-Saqalain. Tampilkan semua postingan

Jumat, 13 Desember 2019

Rijsun Adalah Semua Dosa, Besar Atau Kecil, Lahir Atau Batin


Seri tanya jawab Inbox Pr.T dengan Sinar Agama October 25, 2013 at 4:50 pm


Percakapan dimulai 28 September

PrT. (saya -SA- singkat nama penanya karena takut orangnya tidak rela): 28/09/2013 05:16

Salam ustadz..saya mau tanya...saya dari Malaysia...saya ingin menanyakan 1 soalan dalam page ustadz yaitu Sinar Agama...saya udah register jadi members... habis itu gimana ingin menanyakan soalan?


Sinar Agama:

30/09/2013 19:21

Kalau cuma soalan, bisa di sini atau di dinding atau di situs itu sendiri. Bisa juga melalui akun Sang Pencinta, untuk diteruskan ke dinding saya kalau antum ingin dimuat di dinding/wall.


PrT.:

01/10/2013 06:06

Salam ustadz...saya dari Malaysia ingin menanyakan 1 soalan tentang bab Ar rijs..

ArRijs Dalam Al Quran terdapat cukup banyak ayat yang menggunakan kata rijs, diantaranya adalah sebagai berikut.

“Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji (rijs) termasuk perbuatan syaitan” (QS Al Maidah: 90).

“Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis (rijs) dan jauhilah perkataan-perkataan dusta” (QS Al Hajj: 30).

“Dan adapun orang orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat ini bertambah kekafiran (rijs) mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir” (QS At Taubah: 125).

“Maka berpalinglah dari mereka, karena sesungguhnya mereka itu adalah najis (rijs)” (QS At Taubah: 95). “Dan Allah menimpakan kemurkaan (rijs) kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya” (QS Yunus: 100).

Dari semua ayat-ayat ini dapat ditarik kesimpulan bahwa rijs adalah segala hal boleh dalam bentuk keyakinan atau perbuatan yang keji, najis yang tidakdiridhai dan menyebabkan kemurkaan Allah SWT. Asy Syaukani dalam tafsir Fathul Qadir jilid 4 hal 278 menulis, “… yang dimaksud dengan rijs ialah dosa yang dapat menodai jiwa jiwa yang disebabkan oleh meninggalkan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah dan melakukan apa-apa yang dilarangoleh-Nya. Maka maksud dari kata tersebut ialah seluruh hal yang di dalamnya tidak ada keridhaan Allah SWT”.

Kemudian ia melanjutkan, “Firman `… dan menyucikan kalian… ‘ maksudnya adalah: `Dan menyucikan kalian dari dosa dan karat (akibat bekas dosa) dengan penyucian yang sempurna.’ Dan dalam peminjaman kata rijs untuk arti dosa, serta penyebutan kata thuhr setelahnya, terdapat isyarat adanya keharusan menjauhinya dan kecaman atas pelakunya”.

Lalu ia menyebutkan sebuah riwayat dari Ibnu Abbas sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Hakim, At Turmudzi, Ath Thabarani, Ibnu Mardawaih, dan Al Baihaqi dalam kitab Ad Dalail jilid 4 hal 280, bahwa Nabi saw. bersabda dengan sabda yang panjang, dan pada akhirnya beliau mengatakan “Aku dan Ahlul BaitKu tersucikan dari dosa-dosa”. (kami telah membahas secara khusus hadis ini di bahagian yang lain)

Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki dalam kitab Ash Shawaiq hal 144-145 berkata, “Ayat ini adalah sumber keutamaan Ahlul Bait, kerana ia memuat mutiarakeutamaan dan perhatian atas mereka. Allah mengawalinya dengan innama yang berfungsi sebagai pengkhususan kehendakNya untuk menghilangkan hanya dari mereka rijs yang berarti dosa dan keraguan terhadap apa yang seharusnya diimani dan menyucikan mereka dari seluruh akhlak dan keadaan tercela.”

Jalaluddin As Suyuthi dalam kitab Al lklil hal 178 menyebutkan bahwa kesalahan adalah rijs, oleh kerana itu kesalahan tidak mungkin ada pada AhlulBait. Semua penjelasan di atas menyimpulkan bahwa Ayat tathiir ini memiliki makna bahwa Allah SWT hanya berkehendak untuk menyucikan Ahlul Bait dari semua bentuk keraguan dan perbuatan yang tercela termasuk kesalahan yang dapat menyebabkan dosa dan kehendak ini bersifat takwiniyah atau pasti terjadi.

Selain itu penyucian ini tidak berarti bahwa sebelumnya terdapat rijs tetapi penyucian ini sebelum semua rijs itu mengenai Ahlul Bait atau dengan katalain Ahlul Bait dalam ayat ini adalah peribadi- peribadi yang dijaga dan dihindarkan oleh Allah SWT dari semua bentuk rijs.

Jadi tampak jelas sekali bahwa ayat ini telah menjelaskan tentang kedudukan yang mulia dari Ahlul Bait yaitu Rasulullah SAW, Imam Ali as, Sayyidah Fathimah Az Zahra as, Imam Hasan as dan Imam Husain as.

Penyucian ini menetapkan bahwa Mereka Ahlul Bait sentiasa menjauhkan diri dari dosa-dosa dan sentiasa berada dalam kebenaran. Oleh keranyatepat sekali kalau mereka adalah salah satu dari Tsaqalain selain Al Quran yang dijelaskan Rasulullah SAW sebagai tempat berpegang dan berpedoman umat islam agar tidak tersesat.

Kemuliaan Ahlul Bait Dalam Hadis Rasulullah SAW, Rasulullah SAW bersabda: “Kutinggalkan kepadamu dua peninggalan (Ats Tsaqalain), kitab Allah dan Ahlul BaitKu"

Sesungguhnya keduanya tak akan berpisah, sampai keduanya kembali kepadaKu di Al Haudh“ (Mustadrak As Shahihain Al Hakim juz III hal 148 Al Hakim menyatakan dalam Al Mustadrak As Shahihain bahwa sanad hadis ini shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim).

Hadis-hadis Shahih dari Rasulullah SAW menjelaskan bahwa mereka Ahlul Bait AS adalah pedoman bagi umat Islam selain Al Quranul Karim. Mereka Ahlul Bait sentiasa bersama Al Quran dan senantiasa bersama kebenaran. Bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Wahai manusia sesungguhnya Aku meninggalkan untuk kalian apa yang jika kalian berpegang kepadanya niscaya kalian tidak akan sesat ,Kitab Allah dan Itrati Ahlul BaitKu”.(Hadis riwayat Tirmidzi, Ahmad, Thabrani, Thahawi dan dishahihkan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albany dalam kitabnya Silsilah Al Hadits Al Shahihah no 1761)

Hadis ini menjelaskan bahwa manusia termasuk sahabat Nabi diharuskan berpegang teguh kepada Al Quran dan Ahlul Bait. Ahlul Bait yang dimaksud dijelaskan sendiri dalam Hadis Sunan Tirmidzi di atas atau Hadis Kisa’ yaitu Sayyidah Fathimah AS, Imam Ali AS, Imam Hasan AS dan Imam Husain AS.

Selain itu ada juga hadis Hanash Kanani meriwayatkan “aku melihat Abu Dzar memegang pintu ka’bah (baitullah)dan berkata ”wahai manusia jika engkau mengenalku aku adalah yang engkau kenal, jika tidak maka aku adalah Abu Dzar. Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda “Ahlul BaitKu seperti perahu Nabi Nuh, barangsiapa menaikinya mereka akan selamat dan barangsiapa yang tidak mengikutinya maka mereka akan tenggelam”.(Hadis riwayat Hakim dalam Mustadrak Ash Shahihain jilid 2 hal 343 dan Al Hakim menyatakan bahwa hadis ini shahih).

Hadis ini menjelaskan bahwa Ahlul Bait seperti bahtera Nuh dimana yang menaikinya akan selamat dan yang tidak mengikutinya akan tenggelam. Mereka Ahlul Bait Rasulullah SAW adalah pemberi petunjuk keselamatan dari perpecahan. Ibnu Abbas berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:

”Bintang-bintang adalah petunjuk keselamatan penghuni bumi dari bahaya tenggelam di tengah lautan. Adapun Ahlul BaitKu adalah petunjuk keselamatan bagi umatKu dari perpecahan. Maka apabila ada kabilah Arab yang berlawanan jalan dengan Mereka niscaya akan berpecah belah dan menjadi partai iblis”. (Hadis riwayat Al Hakim dalam Mustadrak Ash Shahihain jilid 3 hal 149, Al Hakim menyatakan bahwa hadis ini shahih sesuai persyaratan Bukhari Muslim).

INI PERTANYAANNYA:

Baik, Jika penyucian dari ar-rijs di sini bermaksud penyucian dari dosa maka macam mana pula dengan ayat al-an-Anfal 8 :11 berikut:


Terjemahan: Ingatlah: “Ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari rijs al- syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan memperteguh dengannya telapak kaki (mu).”

Ayat di atas jelas menggunakan perkataan rijs bahkan lebih SPESIFIK dari ar-Rijs dalam surah al-Ahzab 33 yakni rijs yang disebabkan oleh syaitan Kalau kita kan penyucian ar-Rijs membawa maksud kemakshuman maka kita juga perlu katakan penyucian di atas telah ‘memakshumkan’ sahabat.

Kami tahu Ada yang membidas dengan mengatakan ar-Rijs di atas gangguan syaitan bukannya dosa, saya katakan jikapun ia gangguan syaitan, maka apakah para sahabah telah bebas sepenuhnya dari gangguan syaitan dan tidak sekali-kali melakukan dosa akibat gangguan syaitan??

Diharap ustadz dapat menjawab bertanyaan saya ini.. wassalam ustadz.

Hari Ini (6-10-2013)


Sinar Agama:

17:52

Salam, ada dua masalah yang perlu diperhatikan:

1- Ayat di atas, terasa kurang lengkap. Karena ayat pensucian itu diartikan dengan pensucian, padahal artinya adalah PENGHINDARAN. Karena Allah memakai kata “adzhaba ‘anhu” pada kata “liyudzhiba ‘ankum”, dimana kata-kata ini dipakai untuk menghindarkan sebelum menem- pel, bukan membersihkan atau melepaskan yang sudah menempel.

2- Ayat pensucian pada Ahlulbait as, jauh beda dengan pensucian umum pada ayat: 11, dari surat al-Anfaal itu.

Karena pada pensucian Ahlulbait tidak diqorinahi atau tidak dikondisikan dengan apapun. Artinya, pensucian mutlak. Padahal di ayat 11 di surat al-Anfaal itu, pensucian yang diakibatkan oleh air. Jadi, air inilah yang menjadi penjelas dari maksud pensucian rijs di ayat tersebut. Artinya, air yang diturunkan Allah itu untuk mensucikan apa-apa yang bisa disucikan dengan air. Karena itu, ia/air itu hanya bisa mensucikan hal-hal seperti najis dan hadats.

Jadi, rijs yang bisa disucikan itu adalah dosa-dosa yang diakibatkan oleh najisnya makanan karena haram, najisnya badan dan baju dalam shalat yang karena akan membatalkan shalat, begitu pula mensucikan dari rijs yang berupa hadats kecil dan besar hingga terhindar dari rijs yang berupa shalat yang batal, atau dosa yang diakibatkan memegang tulisan Qur'an yang tanpa wudhu atau tanpa mandi besar. By the way, rijs di sini adalah dosa-dosa yang diakibatkan oleh tidak difungsikannya air atau tidak difungsikannya dengan benar dimana hal itu juga merupakan godaan syethan.

Akan tetapi dosa-dosa seperti syirik, riya, sombong, zina, menyembah berhala, membunuh, membakar manusia hidup-hidup (seperti Khalid Bin Walid sewaktu menjadi panglima Abu Bakar dalam penyerangan ke satu suku shahabat dari suku Bani Tamiim), kesesatan ilmu dan amal, kemusyrikan, ......dan seterusnya,....sama sekali tidak bisa disucikan dengan air yang diturunkan Tuhan tersebut.

Jadi, pensucian rijs terhadap Ahlulbait as, atau yang lebih benar, penghindaran rijs dari Ahlulbait as, bersifat mutlak dan tanpa kondisi hingga Ahlulbaitas terhindar dari segala macam rijs, baik yang diakibatkan dari berkah air atau apa saja, seperti berkah ilmu, ketaatan, shalat itu sendiri, puasa itusendiri, haji, ikhlsh, tawadhu’, dzikir...dan seterusnya...dari amal-amal yang berfungsi menghindarkan dari segala macam rijs.

Sedang penghindaran dari rijs di ayat 11 surat al-Anfaal itu, adalah penghindaran yang hanya diakibatkan oleh air saja dan meliputi semua orang, baik makshumin atau bukan, baik shahabat atau kita-kita di jaman selain shahabat.

Tambahan-1: Dari penjelasan di atas itu, dapat dipahami bahwa karena penghindaran umum dari rijs yang diinginkan Tuhan itu diwasilahkan atau diperantarakan melalui air, maka dapat dipahami bahwa hal tersebut, tidak akan terjadi kalau tidak ada air. Jadi, hal ini merupakan pembatasan ke dua. Karena itu, kalau makanan belum dibersihkan dari najis, seperti darah, yang disebabkan tidak adanya air, maka rijs di sini tidak akan dapat dihindarkan. Jadi, manusia akan terpaksa memakan yang najis. Begitu pula kalau tidak punya air ketika berhadats yang mana tidak bisa shalat.

Nah, karena Islam itu rahmat dan bukan beban, maka Tuhan memakai rahmatNya, untuk menghapus rijs yang tidak disucikan dengan air karena tidak adanya air tersebut. Karena itu, kita dibolehkan makan yang haram, kalau terpaksa dan disuruh tayammum kalau tidak punya air kala mau shalat.

Karena itu, air ini, menunjukkan batasan yang lain hingga di luar batasnya, ia sudah tidak bisa berbuat apa-apa yang, karena itulah Tuhan menggunakan kaidah dan hukum lain untuk menepiskan rijs tersebut manakala tidak ada air.

Akan tetapi, di dalam penghindaran rijs dari Ahlulbait as, di sana tidak ada pembatasan dan pengkondisian apapun, baik air atau yang lainnya seperti shalat, puasa, ikhlash, ilmu yang benar, tawadhu’, menghindari dosa itu sendiri....dan seterusnya.

Tambahan-2: Selain yang sudah dijelaskan di atas itu, maka perlu diketahui bahwa Rijsun yang di QS: 33:33 yang untuk mensucikan Ahlulbait as, bukan Rijzun yang ada di QS: 8:11 di atas. Rijsun (siin) bukan Rijzun (zaa’). Rijsun segala keburukan sedang Rijzun waswas.

Jadi, rijzu al-syaithaan di ayat yang antum bawa itu adalah waswas syaithan. Jadi, katika manusia mensucikan diri, baju dan makanannya dari najis dengan air, lalu berwudhu’ dan mandi besar dengan air, maka dalam keadaan suci itu, ia bisa terbentengi dari waswas syaithan.

Wassalam. 07/10/2013 01:45


PrT.:

Terima kasih ustadz...

Menurut riwayat dalam kitab syiah daripada imam, ia penyucian khusus tersebut ialah bebas dari keraguan ( ﻚشلﺍ وﻫ ﺲﺟرلﺍ ) Rujuk Basair Darajat (1/232), Ma’ani al-Akhbar (1/171) dan lain-lain rujukan. Saya tahu ada ulama syiah yang menakwilkannya sebagai penyucian dosa tapi apa yang saya fokuskan ialah kata- kata imam syiah sendiri, bukan takwilan para pengikutnya agar sesuai dengan hawa nafsu mereka. Mungkin ustadz boleh bawakan riwayat yang menjelaskan maksud ar-Rijs di sisi imam-imam syiah. Maka saya berpendapat penyucian dari ar- Rijs tidak kira samada dari syaitan ataupun dari keraguan tidak membawa arti kemakshuman.

Maksud saya ar rijs dari ayat penyucian untuk ahlul bait yang kalian dakwakan... bukan ar rijs dari mana-mana surah lain...

14/10/2013 01:38

Pr. T.:

Salam ustadz....izinkan saya bertanya 1 lagi soalan.

Adakah benar mencaci sahabat adalah sebagian rukun islam syiah?


Sinar Agama:

Salam:

1- Sebelum membaca riwayat-riwayat Syi’ah yang tidak kamu percayai itu, maka sebaiknya kamu baca dulu Qur'an yang telah menerangkan makna dari rijs itu sendiri, seperti:


  • a- Bermakna najis lahiriah, seperti di surat al-An’aam, 154:

أو لحم الخنزير فإنه رجس

“Atau daging babi, maka sesungguhnya ia adalah rijs/najis.”


  • b- Bermakna najis batin seperti syirik, kafir dan amal-amal buruk, seperti di surat al-Taubah, 152:

و أما الذين في قلوبهم مرض فزادتهم رجسا إلى رجسهم و ماتوا و هم كافرون

“Sedang orang-orang yang ada penyakit di hatinya, maka mereka diperbanyak oleh rijs mereka ke atas rijs mereka dan mereka mati secara kafir.”


  • c- Bermakna batin akan tetapi dari jenis umum dan bukan hanya kafir, tapi seluruh kesesatan, seperti al-An’aam, 152:

و من يرد أن يضله يجعل صدره ضيقا حرجا كأنما يصعد في السماءكذلك يجعل اهلل الرجس على الذين
ال يؤمنون

“Dan barang siapa yang ingin disesatkanNya, maka harinya dibuat sempit sengsara seperti orang yang naik ke langit. Begitulah Allah menjadikan rijs kepada orang-orang yang tidak beriman.”


  • d- Di QS: 5:90, bermakna mencakup semua dosa-dosa:



“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah rijs dari perbuatan syaithan, karena itu, hindarilah agar kalian selamat.”


2- Di ayat pensucian itu, selain masalah rijsun ini, dilengkapi dengan firmanNya yang berbunyi:
“...dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya...”.

Jadi, di samping rijsun itu semua dosa dimana sudah dihindarkan dari Ahlulbait, juga dikuatkan dengan pembersihan sebersih-bersihnya itu. Jadi,dakwaan bahwa ayat ini bukan kemakshuman dan hanya pensucian dari ragu, maka hanya dakwaan kebingungan dalam memahami ayat- ayatTuhan dan, sudah tentu merasa lebih tahu Syi’ah dari orang Syi’ah itu sendiri.

3- Ketika imam-imam makshum as, yang kamu tidak percayai itu, menjelaskan maksud rijsun itu, bisa disebabkan oleh asbab wurudnya sebagaimana ayat yang sering disesuaikan dengan sebab turun/nuzul-nya. Karena itu, maka hadits-hadits itu, seperti ayat-ayat di atas yang menjelaskan rijsun itu. Apakah bisa kita hanya mengambil satu penjelasan lalu menolak makna lainnya? Misalnya memaknainya dengan bangkai dan babi, lalu menolak makna syirik, kafir, berhala, judi, mabok,.....dan seterusnya???!!!!

Jadi, penjelasan imam as tentang rijsun yang pembersihan dari ragu itu, adalah merupakan penjelasan dari salah satu maknanya, seperti ayat di atas yang saling beda menerangkan makna rijsun itu.

4- Semua perbedaan itu, karena memang tidak saling bertentangan, maka bisa dipadukan dengan menggabungnya. Karena itu, maka rijsun itu bukan hanya bangkai dan babi seperti yang diterangkan dalam satu ayat, akan tetapi juga semua dosa dan kekafiran seperti yang dijelaskan di ayat-ayat lainnya.

5- Kalau kamu memahami bahasa apapun, baik arab atau melayu atau indonesia dan jawa atau apa saja, maka sangat beda ketika ada orang yang berkata “rijsun itu keraguan” dan mengatakan “rijsun itu hanya keraguan”. Atau yang berkata “Pensucian dari ragu” atau “Pensucian hanya dari ragu”.

Artinya, ketika ayat atau hadits itu, tidak menyebutkan “hanya”, baik dalam kata atau dalam isyarat-isyaratnya, maka jelas bahwa penyebutan satuekstensi atau satu makna dari berbagai maknanya, tidak berarti menolak makna-makna yang lainnya.

6- Kamu ini semakin lama menjadi semakin lucu. Karena kalau ada hadits dari imam yang bertentangan dengan keyakinanmu langsung dikatakan sesat dan keluar dari Qur'an tapi kalau DIKIRA sama dengan prinsipmu maka dikatakan benar walau, bisa dipertentangkan dengan Qur'an (yakni kalau dimaknai dengan “hanya pensucian dari ragu” dan bukan “pensucian dari ragu”). Tentu saja riwayat Syi’ah yang kamu nukil itu tidak bertentangan dengan Qur'an karena ia hanya menjelaskan salah satu bagian dari makshum dan pensucian dari rijsun itu. Tapi karena kamu menginginkan “hanya pensucian dari ragu” itu, maka ia bisa bertentangan dengan Qur'an itu sendiri dan, kamupun menyukainya walau bertentangan dengan Qur'an.

7- Saya juga heran dengan cara belajarmu, selain heran terhadap cara kamu memahami ucapan dan tulisan dan bahasa apapun seperti yang sudah diterangkan di atas itu. Di sini, saya heran dengan cara belajarmu karena belajarmu seperti caramu yang mengherankan dalam memahami bahasa itu. Dalam memahami bahasa/ucapan, perkataan yang tidak disertai “hanya”, kamu maknai dengan “hanya”. Lah di sini, kamu menemukan satu hadits saja, lalu menghanyakannya bahwa tidak ada pernyataan imam yang mengartikan bahwa makshum itu dari dosa. Di rumahku ada sekitar 45.000 jilid kitab Syi’ah dan 40.000 jilid kitab Sunni, sudah berapakah yang sudah kamu baca hingga semudah itu berkata “hanya” sementara kamu hanya memiliki khayalanmu sendiri itu?

8- Kalau kamu mau belajar, maka ini kukutipkan hadits-hadits lain yang, sekali lagi, salinan yang kamu nukil itu, seperti:

و في رواية عن علي بن الحسين ع: “ قيل له يابن رسول اهلل، فما معني المعصوم ؟ فقال “ :هو المعتصم
”. بحبل اهلل .و حبل اهلل هو القرآن، اليفترقان الي يوم القيامة 

Dari imam Ali bin al-Husain as, beliau as ditanya: “ Wahai putra Rasulullah, apa makna makshum itu?”

Beliau as menjawab: “Yaitu yang menjaga diri dengan tali Allah. Dan tali Allah itu adalah Qur'an. Mereka (orang makshum dan Qur'an), tidak saling berpisah sampai hari kiamat.” (Bihaaru al- Anwaar, 25/194).

Nah, menyatu dengan Qur'an tanpa berpisah sampai hari kiamat, tandanya mengerti seluruhnya dengan benar dan mengamalkan seluruhnya juga dengan benar.

Atau hadits ini:

Dari Abi Abdillah as (imam Ja’far as): Makshuum itu adalah mencegah diri dengan Allah dari semua yang diharamkan Allah. Karena itu Allah berfirman: ‘Dan barang siapa menjaga diri dengan Allah maka dia telah dihidayahi ke jalan yang lurus.’.” (Biharu al-Anwaar, 25/194).

9- Tentang mencaci shahabat itu, bisa ditanya kepada yang membuat fitnah tersebut, dimana didapat penjelasan Syi’ah yang ada menerangkan bahwa pencacian kepada shahabat itu sebagai rukun Islam? Emangnya ajaran islam yang sudah sempurna di jaman Nabi saww itu masih perlu ditambahi lagi dengan ajaran yang aneh-aneh seperti yang difitnahkan itu?

Tambahan:

Ini riwayat yang kamu maksudkan di Ma’aanii al-Akhbaar, 1/171:

1 -

حدثنا أبي، ومحمد بن الحسن بن أحمد بن الوليد -رضي اهلل عنهما -قاال :حدثنا عبداهلل بن جعفر الحميري، عن محمد بن الحسين بن أبي الخطاب، قال :حدثنا النضر بن شعيب، عن عبدالغفار الجازي، عن أبي عبداهلل
عليه السالم في قول اهلل عزوجل “ :إنما يريد اهلل ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا “ (1) قال:
 . الرجس هو الشك

Ketika Abu ‘Abdillah as menerangkan ayat “innamaa yuriidullaahu lisyudzhiba ‘ankum al-rijs ahlalbait .....” beliau as berkata: Rijs itu adalah Syak.”

Nah, di hadits ini, hanya berkata “syak” dan tidak berkata “hanya syak”. Karena itu, maka jelas tidak bermaksud menafikan atau menolak makna-makna lain yang juga datang dari para imam makshum as itu sendiri seperti yang sudah dinukil sebagiannya di atas itu. Kalaupun mau dipaksakan hanya syak, maka jelas akan bertentangan dengan hadits-hadits lain dan, sudah tentu dengan Qur'an sebab Qur'an telah menerangkan banyak maknanya seperti yang sudah dinukilkan di atas.

Lagi pula, apapun yang menyebabkan dosa seseorang, seperti maksiat besar atau kecil, maka disebabkan keraguannya. Coba seseorang itu, yakin padaAllah, yakin pada neraka seperti yakinnya seorang pencuri yang saling melihat polisi, maka sudah pasti tidak akan mencuri dan tidak akan maksiat.Karena itu, syak itu, memiliki makna yang dalam. Coba kita yakin pada kebenaran firman- firman Allah sebenar-benar keyakinan yang tidak ada sedikitpun keraguan, maka sudah pasti, tidak akan berbuat maksiat sedikitpun. Jadi, dosa itu tanda dari ragu dan, karenanya, yakin tanda dari makshum.

22/10/2013 01:55


PrT.: Terima kasih ustadz Wassalam.

2 Shares

Ramlee Nooh and 21 others like this.


Win Panay: Ijin copas Ustadz.

Wasroi Aja: Nyimak

Heri Widodo: ALLAH HUMMA SHOLI ALA MUHAMMAD WA ALI MUHAMMAD.

Sinar Agama: Salam dan terima kasih untuk semua jempol dan komentarnya.

Sinar Agama: Win, semua tulisanku di facebook ini gratis selama untuk kebaikan walau dalam bentuk apa saja asal, tidak diedit, tidak dirubahnamanya dan tidak dibisniskan walau dengan nilai yang amat murah sekalipun.

Sinari Beta: Ustadz Sinar Agama ada pertanyaan ana di inbox belum dijawab-jawab. Mohon dibantu.

Sinar Agama: Sinari, doakan ya...hingga aku ini memiliki tenaga berlimpah dan penuh berokah, hingga tidak terlalu sering keteter menjawab inbox. Sepertinya ana baru menjawab yang tgl 16 atau 17-an bulan Oktober ini, afwan banget. Tapi kalau darurat dan buru-buru, beri tahu lagi di salah satu komentar di dinding ini, supaya ana bisa dahulukan.

Sinari Beta: Ga pa pa ustadz sesempatnya aja, pertanyaannya udah di dinding Sang Pencinta juga. Semoga Allah selalu menganugerahi antum kesehatan dan kekuatan serta umur yang barokah., amin wassalam.

October 28 at 8:08pm via mobile · Like · 1



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Jumat, 28 Desember 2018

Kitabullah dan Ahlulbaitku atau Kitabullah dan Sunnahku ?



Seri tanya jawab Sufyan Hossein dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 7:53 am



Sufyan Hossein: 17 Februari 2013, Bismillaahirrahmanirrahim.... Afwan ustadz mau bertanya: bagaimana tanggapan ustadz tentang hadits-hadits di bawah ini.. Al-Hakim meriwayatkan di dalam al-Mustadraknya dari Zaid bin Arqam bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam bersabda pada Haji Wada’: 


“Sesungguhnya aku telah tinggalkan kepada kalian tsaqalain (dua peninggalan yang sangat berharga) yang salah satu dari keduanya lebih besar daripada yang lain, Kitabullah (Al-Qur’an) dan keturunanku. Oleh karena itu perhatikanlah oleh kalian dalam memperlakukan keduanya sepeninggalku. Sebab sesungguhnya keduanya tidak akan pernah berpisah sehingga berjumpa denganku di Haudh (telaga di surga).” 

Namun ada pula hadits ini : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam bersabda: 

“Aku tinggalkan pada kalian dua perkara yang kalian tidak akan tersesat apabila (berpegang teguh) kepada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku. Tidak akan bercerai berai sehingga keduanya menghantarku ke telaga (Surga).” 


(Dishahihkan oleh Al- Albani dalam kitab Shahihul Jami). 

Manakah yang benar dalam hal ini, SUNNAH Nabi Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam ATAU Ahlul Bayt Nabi Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam?? Dan ada lagi hadits --> Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam: 

“Perumpamaan Ahlul Baitku seperti bahtera Nuh, barangsiapa yang menaikinya niscaya ia akan selamat; dan barangsiapa tertinggal darinya, niscaya ia akan tenggelam dan binasa.” 

(Disahihkan Al Hakim, Ibnu Hajar dan Ath Thabrani). 

Namun ada juga perkataan dari Imam Malik bin Anas --> Imam Malik bin Anas rahimahullaahu ta’ala berkata: 

“As-Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ibarat bahtera (perahu) Nabi Nuh ‘alaihissalam, siapa saja yang menaiki (mengikutinya) maka ia akan selamat dan siapa saja yang menyelisihinya maka ia akan binasa.” 

(Diriwayatkan oleh al-Harawi di dalam Dzammul Kalam, IV/124, dan al-Khathib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad, VII/336). 

MANAKAH YANG BENAR DALAM HAL INI -> SUNNAH NABI ATAU AHLUL BAYT NABI?? Jazakumullah khairan — bersama Sinar Agama dan Abu Fahd NegaraTauhid. 

Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya: 

1- Ada dua hadits yang dihandalkan masing-masingnya oleh Syi’ah dan Sunni. 
  • Pertama, hadits tentang peninggalan Nabi saww untuk umat yang berupa dua hal yang berat, yaitu Qur'an dan Ahlulbait as (bukan keturunan seperti yang antum katakan, tapi Ahlulbait yang makshum, yaitu 12 imam as dan hdh Faathimah as) dimana pesan ini yang dijadikan handalan Syi’ah. 
  • Ke dua, tentang peninggalan Nabi saww untuk umat yang berupa dua hal yang berat, yaitu Qur'an dan Sunnah Nabi saww. 
2- Di Sunni dan di Syi’ah, jelas yang menjadi pedoman agama itu adalah Qur'an dan hadits. Akan tetapi, Syi’ah yang mengikuti Ahlulbait as itu, karena Qur'an itu harus dijelaskan oleh makshum yang mewarisi seluruh ilmunya dari Nabi saww secara makshum dan juga tidak ada yang lebih tahu hadits Nabi saww kecuali pewaris ilmu beliau saww yang juga makshum. Jadi, pengikut Ahlulbait as itu, mengikuti Ahlulabait as karena perintah Allah dalam Qur'an dan karena perintah Nabi saww dalam hadits. 

3- Dengan penjelasan di atas, maka pengikut Ahlulbait as sudah tentu mengikuti Hadits atau Sunnah Nabi saww seperti Syi’ah, tapi yang mengikuti hadits Nabi saww belum tentu mengikuti Ahlulbait yang makshum as. Hal itu karena mengikuti Ahlulbait as itu di samping karena Ahlulbait yang makshum itu lebih tahu tentang Qur'an dan Sunnah Nabi saww, juga karena Nabi saww sendiri yang memerintahkan seperti di hadits di atas itu.

4- Dilihat dari isi dua bentuk hadits di atas itu, sudah tentu Ahlulbait as tidak bertentangan dengan Sunnah Nabi saww hingga membuat kedua hadits tersebut layak dipertentangkan. Hal itu karena Ahlulbait as itu, makshum dan lebih tahu tentang Qut an dan Sunnah Nabi saww hingga karena itu, maka mengikuti Ahlulbait as sudah tentu mengikuti Qur'an dan Sunnah Nabi saww. Sedang yang mengikuti Qur'an dan Sunnah Nabi saww sendiri, sangat-sangat belum tentu mengikuti keduanya karena jelas-jelas belum tentu memahami dengan benar keduanya lantaran tidak makshum dan tidak mewarisi ilmu Nabi saww secara makshum. 

5- Tentang dalil Qur'an dan hadits Sunni tentang kemakshuman Ahlulbait as itu, sudah sering saya jelaskan di facebook ini hingga di sini saya tidak akan mengulangnya dan silahkan merujuk ke catatan-catatan tentang Ahlulbait as atau tentang imamah.

6- Kalaulah ada orang mau mempertentangkan dua jenis hadits di atas itu, dan ia ingin mengambil salah satunya saja, maka sudah tentu dia tidak boleh mengambil yang memesankan atau mewariskan Qur'an dan Sunnah Nabi saww. Hal itu bukan karena Sunnah Nabi saww itu tidak bisa dijadikan dasar agama, karena Sunnah Nabi saww itu pada esensi dan hakikatnya merupakan dasar Islam ke dua setelah Qur'an. 

Akan tetapi, berhubung banyaknya hadits dan perbedaan dan bahkan pertentangannya, di samping banyaknya hadits-hadits yang sengaja disusupkan sejarah, maka sudah tentu Sunnah Nabi saww tersebut perlu difilter dengan Qur'an secara hakiki. Dan pemfilteran atau pentesteran atau pengukuran atau penilaian hadits dengan Qur'an itu, hanya akan terjamin kalau dilakukan oleh yang mengerti Qur'an secara lahir dan batin secara makshum yang kemakshumannya dijamin Qur'an itu sendiri. 


Karena itulah, maka mengikuti Sunnah Nabi saww dengan menghilangkan atau meninggalkan Ahlulbait yang makshum as, maka hal inilah yang saya maksudkan tidak bisa dilakukan, yakni dengan kalimat “tidak boleh mengambil yang memesankan atau mewariskan Qur'an dan Sunnah Nabi saww.” 

Yakni hal itu tidak boleh dilakukan kalau bermaksud harus memilih salah satu dari kedua hadits di atas yang berarti pengikut Sunnah Nabi saww harus meninggalkan Ahlulbait Nabi saww. 

Di samping itu, perbandingan haditsnya juga jauh sekali berbeda. Karena hadits yang mewariskan Qur'an dan Ahlulbait yang makshum, jauh melebihi mutawatir sementara yang mewariskan Qur'an dan Sunnah Nabi saww memiliki sanad yang sangat lemah dan mursal yang, jangankan di Bukhari atau Muslim, di kitab hadits shahih yang enam-pun riwayat tersebut tidak diriwayatkan sebagaimana nanti akan maklum. 

7- Perbandingan ke dua hadits di atas: 
  • 7-a- Hadits Nabi saww yang mewariskan Qur'an dan Ahlulbait yang makshum as kepada umat di kitab-kitab Sunni, diantaranya sebagai berikut:
    • 7-a-1- Diriwayatkan dari berbagai kitab seperti: Shahih Muslim, 2/362, 15/179-180 (yang disyarahi Nawawi); Turmudzi, 5/328, hadits ke: 3874 dan 5/329 hadits ke: 3876; Musnad Ahmad bin Hanbal, 5/182 dan 189; Mustadraku al-Haakim, 3/148; Kanzu al-”ummaal menukil dari Turmudzi dan Nasaa-ii dari Jabir, 1/44; Kanzu al- ’Ummaal, 2/153 (1/154), 1/158 hadits ke: 899, 943, 944, 945, 946, 947, 950, 951, 952, 953, 958, 1651, 1658 dan 5/91 hadits ke: 255 dan 356; Ibnu Atsiir dalam Jaami’u al-Ushuul, 1/187 hadits ke: 65 dan 66; Thabraanii dalam al-Mu’jamu al- Kabiir, 137 dan dalam al-Mu’jamu al-Shaghiir, 1/135; al-Fathu al-Kabiir, 1/451, 1/503, 3/385; Usdu al-Ghaabah, 2/12; Dzakhaairu al-’Uqbaa, 16; al-Shawaaiqu al- Muhriqah, 147 dan 226; Majma’u al-Zawaahid, 9/162; ‘Abaqaatu al-Anwaar, 1/16, 31, 44, ,74 ,86 ,92 ,94 ,97 ,98 ,99 ,114,115 ,120 ,124 ,127 ,137 ,139 ,140 ,141 ,148 ,154, 171 ,176 ,182 ,190 ,198 ,201 ,204 ,205 ,206 ,217 ,220 ,227 ,233 ,236 ,237 ,239 ,243 ,253 ,254 ,268 ,270 ,272 ,279; al-Nihaayah Ibnu Atsiir, 1/155; Tafsiir al- Durru al-Mantsuur, 2/60, 6/7 dan 306; Tafsiir Ibnu Atsiir, 4/113; Tafsir Khaazin, 1/4, 6/102, 7/6; .....dan seambrek lagi yang lainnya. 
    • 7-a-2- Perawinya mencapai 35 shahabat dimana hal ini menunjukkan tiga kali lipat lebih dari Mutawaatir yang hanya mencukupkan 9 orang shahabat atau bahkan kurang dari itu di sebagian ulama Sunni seperti Ibnu Taimiyyah sebagaimana pernah saya jelaskan sebelumnya. Perawi tersebut adalah sebagai berikut: 
  • 7-b- Sedang hadits yang mewariskan Qur'an dan Sunnah Nabi saww, hanya di beberapa tempat yang jelas tidak bisa dibandingkan dengan kitab-kitab Sunni di atas. 
    • 7-b-1- Kitab-kitab yang dimaksudkan adalah: al-Muwaththa’, 2/899; Taariikh/siirah Ibnu Hisyaam, 4/251; al-Ilmaa’ karya al-Qaadhii, 9; al-Faqiih karya Khathiib Baghdaadi, 1/94.
    • 7-b-2- Sedang perawinya (yang sementara ini saya jangkau) hanya dua orang: Abu Hurairah dan Anas. 
Kalaupun Abu Hurairah mau ditsiqahkan sekalipun pernah korupsi di jaman Umar sewaktu diangkat Umar untuk jadi gubernur di Bahrain, lalu karena ia korupsi maka selain dipecat oleh Umar juga dihukum cambuk, maka tetap saja tidak bisa dibanding dengan 35 shahabat di atas. Terlebih riwayat-riwayat ini mursal dan dha’if/lemah sebagaimana disepakati ulama tentang hal tersebut. 

Kesimpulan

Hadits yang mewariskan Qur'an dan Ahlulbait yang makshum as tidak bisa dibanding dengan hadits yang mewariskan Qur'an dan Sunnah Nabi saww dari sisi kitab-kitab haditsnya dan perawi-perawinya. Tidak bisa dibanding karena hadits yang pertama di samping shahih dan mutawatir juga lebih dari tiga lipat mutawatir, sementara hadits ke dua, bukan hanya diriwayatkan oleh dua orang, tapi juga bahkan mursal dan dha’iif. 

Sebagai pedoman muslim, ketika menghadapi dua riwayat seperti itu, maka jelas kewajibannya adalah mengikuti hadits pertama dan meninggalkan hadits ke dua. Ini, sekali lagi, kalau mau mempertentangkan maknanya dari kedua hadits tersebut. Tapi kalau mau dipadukan seperti yang sudah dijelaskan di atas itu, maka jelas satu sama lain bukan hanya tidak bertentangan, tapi bahkan saling mendukung. Karena Ahlulbait as yang makshum itulah yang tahu Qur'an dan Hadits secara seratus persen lengkap dan benar. Karena itu, mengikuti Ahlulbait yang makshum as, sama dengan mengikuti Qur'an dan Hadits. Persis ketika shahabat menaati Nabi saww, maka sama dengan menaati Qur'an dan Allah. Karena semua yang diperintahkan dan dijelaskan Nabi saww itu adalah seratus persen lengkap dan benar dari Qur'an dan Allah. Wassalam. 

Sufyan Hossein: Teringat hadits Rasulullah Shallallahu alaihi wa aalihi wa sallam: 

“Pada hari penghisaban nanti sekelompok sahabatku akan datang menemuiku di telaga Al-Haudh, dan mereka itu dilarang untuk meminum air darinya. Aku kelak akan berkata: ‘Ya, Rabbi! Mereka ini adalah para sahabatku’. Kemudian Allah akan berkata: ‘Engkau tidak tahu apa yang mereka telah lakukan sepeninggalmu. Mereka telah meninggalkan ajaranmu.” (HR Muslim volume 15, halaman 53—54) 

Allahumma shalli ala Muhammad wa aali Muhammad wa ajjil faraja aali Muhammad warham Imamal Khumeini wahfadh qaidana ‘Ali Khamene’i waj’alna min ansharil Hujjahal Mahdi afs. Jazakallah khayran atas pencerahannya ustadz.. 

Wassalam. 

Nur Cahaya: Ustadz Sinar Agama 

Mohon penjelasannya, apakah yang dimaksud ahlulbait, baitullah, darimana landasan perintah mengikuti hadits selain Quran dari hadits-hadits keturunan keluarga, apakah yang dimaksud sunnah nabi? Apakah benar nabi diperintah membuat sunnahnya dari dirinya sendiri? Mohon maaf jika kurang berkenan. Senang sekali jika bisa bertukar pemahaman tentang hal tersebut. Salam. 

Sinar Agama: Nur: Ketika Tuhan memerintahkan taat padaNya dan pada Rasul saww, QS: 3: 32, maka jelas bahwa kita wajib menaati semua perintahnya. Begitu pula ketika dikatakan bahwa beliau saww adalah contoh yang baik, QS: 33: 21. 

Begitu pula ketika Tuhan mengatakan bahwa apapun yang beliau saww katakan (tentu saja termasuk lakukan), adalah dari wahyu, QS: 53: 4. 

Karena itu, apapun yang dikatakan Nabi saww dan yang dilakukannya bahkan yang didiamkannya, maka semuanya itu adalah wajib ditaati dan dicontohi. Inilah salah satu dasar dari kewajiban mengikuti hadits di sisi Qur'an. 

Tentu saja banyak ayat-ayat lain seperti, QS: 2: 151, yang mengatakan bahwa Nabi saww diutus itu untuk mengajari Qur'an dan hikmah. Jadi, semua perkataan beliau saww dan perbuatannya adalah penjelasan dari Qur'an, karena beliau saww diutus untuk itu dan, sudah pasti benar semuanya alias makshum. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ