Tampilkan postingan dengan label Imam Mahdi as. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Imam Mahdi as. Tampilkan semua postingan

Kamis, 04 Maret 2021

Catatan Kecil Tentang Imam Mahdi as


seri tanya jawab, Ferry Yudho dengan Sinar Agama. http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/324616027583200/ by Sinar Agama (Notes) on Wednesday, December 7, 2011 at 2:27pm


Ferry Yudho: Ass.. ustadz..semoga dalam lindungan ALLAH swt. Mau nanya ustadz.. tolong ustadz beri sedikit ilmu mengenai Imam Mahdi? Terimakasih ustadz.. Salam..

Kamis, 12 November 2020

Kemunculan Imam Mahdi


Oleh Ustadz Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/294563883921748/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 16 Desember 2011 pukul 15:42


Sang Pecinta: Salam ustadz, apakah ketika Imam Mahdi muncul, seluruh muslimin percaya bahwa itu Imam Mahdi yang diutus-Nya?

Selasa, 22 September 2020

12 Mahdi Muballigh setelah Mahdi ke 12 yang Imam

12 Mahdi Muballigh setelah Mahdi ke 12 yang Imam. Jawaban bagi Mahdi Muballigh yang Palsu yang diwakili Muhammad Isyraq,




oleh Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/269986993046104/ by Sinar Agama (Notes) on Thursday, October 20, 2011 at 9:41pm


SAYYID AHMAD AL HASSAN ADALAH AL YAMANI YANG DIJANJIKAN

oleh ممدإشراق pada 19 Oktober 2011 jam 4:51

Soalan:

Sayyid Ahmad Al Hassan wasi (khalifah) dan utusan Imam Al Mahdi (a.s): Siapakah Al Yamani? Adakah terdapat kriteria-kriteria tertentu yang menerangkan tentang personaliti ini bagi membolehkan kita mengenalpasti pemilik sebenarnya? Adakah dia dari Yaman? Adakah dia Makshum memandangkan dia tidak membawa manusia kepada kebatilan dan tidak mengeluarkan mereka dari jalan kebenaran sepertimana yang diriwayatkan daripada Imam Al Baqir (a.s): “Sesungguhnya panjinya adalah panji petunjuk, diharamkan bagi muslim untuk berpaling daripadanya, barangsiapa yang melakukan sedemikian adalah dia dari kalangan ahli neraka, karena dia mengajak kepada kebenaran dan jalan yang lurus”?

Rabu, 26 Agustus 2020

Imam Mahdi As dalam Perspektif Sunni


Oleh Ustadz Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/274221295956007/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 11 November 2011 pukul 17:53


Sang Pecinta: Siapakah Imam mahdi menurut Sunni? Bagaimana beliau hadir nanti? Terimakasih, ustadz.

Selasa, 09 Juni 2020

Yang dimaksud warruh dalam surat alqodr


Oleh Ustad Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/238487282862742/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 25 Agustus 2011 pukul 15:27


Aufa Opa: Salam ustad,, kami turut berduka,, mau tanya ustad. Siapa yang dimaksud warruh dalam surat alqodr, ? Terima kasih ustad.

Senin, 16 Maret 2020

Dialog : Konsep Imamah, Keghaiban dan Kemunculan Imam Mahdi as.


Oleh: Agoest D. Irawan, Ustad Sinar Agama dan M Eshraq A Latif. http://www.facebook.com/groups/210570692321068?view=doc&id=223782807666523 Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 26 Juli 2011 pukul 16:21


Agoest D. Irawan: Salam, afwan Ustadz SA. Saya mengundang ikhwan M Eshraq A Latif dalam forum ini untuk bersama-sama bedikusi tentang Wilayatul Faqih. Motifnya adalah M Eshraq A Latif meyakini (koreksi bila salah) adanya utusan Imam Mahdi (ajfs) yang berasal dari Yaman yakni Imam Ahmad Al-Hasan (Yamani). Tujuan dari share nanti bukan semata-mata benar-salah namun ma’rifah yang lebih atas berbagai hal-hal lain yang terkait (WF, dan lain-lain). Mohon berkenan share tentang hal ini.

Berikut ini saya cuplikkan hujah dari M Eshraq A Latif yang juga merupakan dasar dari para pengikut / yang meyakini kebenaran Imam Ahmad Al-Hasan (dalam situsnya http://the-savior.com/) yakni sebuah wasiat yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad SAWA yang disabdakan kepada Imam Ali Ibn Abi Talib a.s di malam sebelum kewafatan baginda SAWA :

Kamis, 16 Januari 2020

Teori dan Maknawi dari “Mahdawiyah”


Oleh Ustad Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068?view=doc&id=218947241483413 Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 16 Juli 2011 pukul 13:54


Widodo Abu Zaki: Salam, semoga antum dan keluarga dirahmati Allah, mohon agar dijelaskan secara teori dan maknawi dari “Mahdawiyah” apakah mahdawiyah bisa dijadikan isu pemersatu agama bahkan kemanusiaan.

Senin, 30 Desember 2019

Wilayatul Faqih (seri 2)


Oleh: Ustad Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068?view=doc&id=217520644959406 Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 13 Juli 2011 pukul 16:11


Muhammad Ali: Salam, bagaimana menurut antum wilayatul fagih (rahbar) apakah beliau dipilih dengan musyawarah atau ditunjuk oleh yang mempunyai otoritas tertinggi saat ini yaitu imam Mahdi Alaihissalaam.

Kalau beliau dipilih secara musyawarah, dimana konsep imamahnya? Dan berarti juga beliau “tidak wajib” diikuti.

Kalau beliau ditunjuk oleh yang mempunyai otoritas tertinggi saat ini yaitu imam Mahdi Alaihis- salaam, berarti beliau ma’sum pada tingkatan beliau dan wajib diikuti.

Indikasi apa kita sebagai awam meyakini saat kemunculan Imam Mahdi (semoga kita termasuk dalam barisannya).

Rabu, 11 Desember 2019

Tidak Boleh Mengharap Adanya Perang, Walau Demi Kedatangan Imam Zaman as


Seri tanya jawab Andri Kusmayadi dengan Sinar Agama October 25, 2013 at 4:01 pm


Andri Kusmayadi berbagi tautan: (13-4-2013) Jika membaca berita seperti ini saya suka bingung, satu sisi tidak menginginkan perang terjadi, karena akibatnya bukan hanya akan dirasakan oleh orang-orang di negara-negara yang bersangkutan, tapi juga akan ke mana-mana termasuk ke kita. Akan tetapi, sisi lain juga berharap agar perang itu terjadi, bahkan bisa menjadi permulaan perang dunia ketiga. Dengan alasan, karena sesuai dengan riwayat bahwa Imam Mahdi akan muncul ketika sudah terjadi perang dunia atau bersamaan dengan perang dunia, artinya Imam muncul ketika perang dunia sedang berlangsung. Bagaimana Ustadz, sebenarnya? Bagaimana do’a kita seharusnya? Apakah berdo’a agar tidak terjadi perang atau justru berdo’a sebaliknya? Dosakah kita ketika berdo’a mengharapkan agar perang itu terjadi?

Terima kasih.

Islam Times - Korea Utara Siap Tembakkan Rudal ke Korea Selatan
www.islamtimes.org

Islam Times – “Senjata kami siap untuk ditembakkan. Koordinat yang tepat sudah dimasukkan ke dalam hulu ledak. Jika kita tekan tombol, benteng musuh-musuh kita akan berubah menjadi lautan api, “kata seorang penyiar televisi Korea Utara pada hari Kamis (11/4/13).

Okki Deh dan Bintang Az Zahra menyukai ini.


Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya:

Sepertinya, sekitar dua tahun lalu antum sudah menanyakan soalan serupa dengan yang di sini. Kalau tidak salah. By the way:

Kita jelas tidak boleh mengharap adanya perang dan wajib membencinya. Karena kalau tidak, maka kita akan kena dosanya. Dan dosa perang ini, bukan hanya satu nyawa dan derita, tapi sejuta nyawa, derita dan air mata (bukan puitis).

Kita juga sama sekali tidak boleh mengharap adanya perang, baik sebagai orang yang diperangi karena kita membela Islam supaya bisa syahid dan supaya imam cepat datang, atau apalagi, sebagai penyerangnya yang jelas diharamkan dari awal itu.

Jadi, tugas kita tetap mendoakan cepatnya datang imam Mahdi as, tidak ada perang, tidak ada kezhaliman, tidak ada penindasan dan korupsi, tidak ada pencuri dan penipu rakyat dan bangsa, tidak ada kebodohan.....dan seterusnya.

Dan, sudah tentu kita wajib meningkatkan ilmu argumentatif dan diamalkan sepenuhnya, terutama fikih yang meliputi segalanya dalam amal aplikasi apapun juga.

Apa-apa yang ada dalam hadits, katakanlah belum tentu seperti itu. Bisa memiliki makna yang lain. Tapi kalaulah tidak memiliki makna yang lain, tetap bisa saja terjadi perubahan. Karena itulah, kita akan tetap beriman kepada imam Mahdi as kalau sudah keluar dengan bukti-bukti gamblang walau, tidak didahului dengan perang dunia ke seratus sekalipun (apalagi cuma perang dunia ke tiga).

Wassalam.


Andri Kusmayadi: Ga ustadz, ana baru aktif bertanya ke antum itu belum nyampe setahunan... ana mulai aktif nanya ke antum setelah bertemu lagi dengan Bande Husein Kalisatti, makanya ana berterima kasih kepadanya, karena ana jadi belajar fikih lagi yang benar...awal-awal j...Lihat Selengkapnya

Sang Pencinta: Salam, aktif dalam menunggu imam Mahdi afs,

https://www.dropbox.com/s/pka9gb33lx3jbip/Imam%20Mahdi%20afs%20dalam%20Penantian. pdf?m Imam Mahdi afs dalam Penantian.pdf

www.dropbox.com

Sinar Agama: Andri: Iya, ana sendiri ragu, karena itu ana katakan “sepertinya”. Yang teringat di dalam benak, adalah di inbox dan gambarnya mirip dengan gambar akun antum. By the way, syukurlah kalau sudah jelas.

Andri Kusmayadi: Terima kasih atas linknya Sang Pencinta... Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Senin, 02 Desember 2019

Nishfu Al-Sya’baan (kelahiran Imam Mahdi as tahun 255 HQ) dan Amalannya


by Sinar Agama (Notes)  on June 22, 2013 June 22, 2013 at 4:41pm
seri tanya jawab AB Saliem dengan Sinar Agama

AB Saliem mengirim ke Sinar Agama: 16 Juni, Shalawat...salam wa rahmah...semoga keluarga kita selalu dalam naungan hidayah-NYA, afwan ustadz (kadang ana risih mau bertanya dengan segudang kesibukan antum menjawab pertanyaan yang masuk)..ana mau minta pencerahan tentang nishfu sya-ban dan amalannya...syukron...shalawat.   

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: Coba tunggu dulu nukilan Pencinta, karena sepertinya saya sudah pernah menuliskannya. Kalau belum, in'syaa Allah nanti akan dituliskan.  

Sang Pencinta: Di arsip berlangganan gak ada ustadz.  

Sinar Agama: Kalau kelamaan, bisa managihnya lagi di dinding yang baru, karena takut tidak terlihat karena sudah mulai ke bawah.  

Sang Pencinta: Begitu juga di note ustadz.   

Sinar Agama: Yang Khusus di hari ini adalah:  



Rosihan Anwar: fatwa aneh... Rasulullah tak satupun mengeluarkan dalil.. imam Mahdi lahir di 15 sya’ban.. aneh..anehh. Kepiting Takkan berhenti-Melawan Dunia iya, dalilnya mana pak? 

Ammar Dalil Gisting: Syukran Ustadz, Jazakallahu khaeran katsir. Oh, aduhai indahnya malam kelahiran manusia agung.. malam yang penuh berkah, menu hidangan tersaji alangkah sempurnanya. Semoga  Allah Swt mengaruniakan kekuatan untuk bisa mengamalkannya. Amin. Inilah salah satu keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari ajaran Ahlul bayt Nabi Saww, yang tidak terdapat pada selain-nya (Ahlul bait as).  

Lm Irawansyah: afwan, ijin copas ustadz. Syukran.. 

Nur Cahaya: 77:50 Maka kepada hadis apakah selain al Qur'an ini mereka akan beriman? Kisah-kisah Imam Mahdi Mereka mendustakan Allah, berita-berita itu haram 7:33. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih atas semua jempol dan komentarnya. 

Apriyano Oscar S: Ustadz Sinar Agama, saya dengar ada shalat sunnah malam nishfu syaban. Mohon uraian ustadz atas shalat tersebut. Terima kasih ustadz.

Sinar Agama: Rosihan:  

1-  Emangnya kamu hafal seluruh hadist-hadist Sunni? 

2-  Kalau berkata hafal, maka sudah pasti dusta. Karena 12 imam yang semuanya dari Ahlulbait as ada di Bukhari dan Muslim. Lah, siapa imam-imam 12-mu itu??? Ingat, imam harus makshum karena kalau tidak, maka dilarang untuk ditaati, QS: 76: 24: 

فَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ وَلَا تُطِعْ مِنْهُمْ آثِمًا أَوْ كَفُورًا


Maka sabarlah kamu dengan hukum Tuhanmu, dan jangan taati orang-orang yang memiliki dosa dan orang-orang yang kafir!” 

Sementara taat pada imam ini, sudah ada sejak jaman Nabi saww, QS: 4: 59:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan pemimpin diantara kalian (yakni sesama manusia, yakni imam manusia dan bukan imam kitabullah)!!” 

Karena itu, imam itu sejak di jaman Nabi saww yang wajib ditaati seperti nabi Harun as yang wajib ditaati di samping nabi Musa as. 

Hal ini tidak melahirkan dualisme kepemimpinan karena sama-sama makshum dan, yang satu ketua satunya atau imam satunya, serta yang lain imam ke dua-nya, mirip dengan presiden dan wakilnya. 

3-  Kalau tentang kelahiran, seperti tanggal dan lahirnya, maka kalau kamu tidak pernah belajar sejarah asli, dan hanya belajar sejarah yang diterjemahkan dimana dari awal sudah dipilih oleh pendahulu-pendahulumu, maka jelas tidak akan tahu kelahiran tersebut. 

Kelahiran imam Mahdi as itu, bukan hanya disaksikan kitab-kitab Syi’ah, tapi kitab-kitab Sunni, kitab-kitab syajarah/silsilah dari kitab-kitab Sunni, juga banyak meriwayatkan kelahiran imam Mahdi as ini. 

Hanya saja Sunni, karena tidak meyakini kemakshuman 12 imam, maka mereka sering menganggapknya sebagai imam yang berarti penghulu orang-orang taqwa, alim ulama dan semacamnya. 

4-  Mungkin kamu belum kenal siapa Ahlulbait atau Aalu Muhammad yang kamu shalawati tiap hari dalam shalat-shalatmu. Mereka itu adalah keluarga Nabi saww yang makshum as, QS: 33:33:

 إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا

Sesungguhnya Allah HANYA ingin menghindarkan SEGALA DOA dari kalian AHLULBAIT dan MEMBERSIHKAN kalian sebersih-bersihnya.” 

‘Aisyah menyaksikan bahwa turunnya ayat ini hanya untuk Ahlulbait yang khusus, yaitu hdh Faathimh as, imam Ali as, imam Hasan as dan imam Husain as. 

Tentu saja ‘Aisyah tidak mengatakan sebagai imam, tapi mengatakan bahwa sebab turun ayat tersebut untuk mereka, lihat di shahih Muslim, 2/368; Mustadrak Hakim, 3:147; dan lain-lain. 

Sedang kesaksian istri yang lain Nabi saww, yaitu Ummu Salamah, bisa dilihat di: Turmudzi, 5/31, 328 dan 361; Syawaahidu al-Tanziil, 2/24 dimana ia menukil sktr 33 hadits; Tafsir Ibnu Katsiir, 3/484-485; dan lain-lain. 

5-  Jadi, kalau di shahih Bukhari (hadits ke: 7222 dan 7223) dan shahih Muslim (hadits ke: 3393, 3394, 3398) hadits Nabi saww mengatakan bahwa pemimpin itu 12 orang yang semuanya dari Quraisy, maka mereka itu adalah makshum dan mereka itulah Ahlulbait yang disebutkan di ayat di atas itu dan, yang kita shalawati tiap hari itu. 

6-  Setelah kita tahu bahwa imam 12 itu makshum, maka lihatlah hadits-hadits Rasul saww tentang imam Mahdi as berikut ini, tentu saja, saya hanya akan menyebutkan sedikit saja hadits-hadits Sunni dari yang menyebutkan bahwa imam Mahdi as itu dari Nabi saww, Ahlulbait, akan ghaib lama sekali hingga membuat umat kebingungan, dimakmumi nabi Isa as dan akan meratakan keadilan Islam di seluruh dunia sesuai dengan janjiNya yang sampai sekarang belum terwujud (QS:9:33; 48:28 dan 61:9). 

Hadits-hadits itu sebagai berikut: 

a- Kanzu al-'Ummaal, 7/186:
ما في كنز العمّال ( ج7 ، ص186 ) ،عن حُذيفة ، قال ، قال رسول الله ( صلّى الله عليه وآله وسلّم ) : (( المهدي رجلٌ من وُلدي ، وجهه كالكوكب الدرّي )) من مسند الرُوْياني .
المؤلِّف :آخر الحديث في الصواعق المحرقة لابن حجر ( ص100 ) ، ولفظه يساوي ما يأتي من إسعاف الراغبين سنداً ومتناً .


"Mahdi itu dari keturunanku, wajahnya seperti bintang yang menyala"

Dan hadits-hadits Sunni yang serupa dengan hadits di atas dimana selain yang menerangkan keturunan Nabi saww, juga ada yang menjelaskan bahwa:
- Akan meratakan keadilan (Islam) di dunia setelah dunia dipenuhi kezhaliman,
- atau yang menerangkan bahwa dunia tidak akan kiamat sebelum keluarnya imam Mahdi as itu,
- atau juga dilengkapi dengan penjelasan nama dan julukannya yang sama dengan nama dan julukan Nabi saww,
- atau dimakmumi nabi Isa as .......dan seterusnya, bisa dilihat di:
al-'Urfu al-Wurdaa, 66 yang meriwayatkan dari al-Ruuyaanii dalam musnadnya dan Abu Na'iim dalam kitabnya Shifatu al-Mahdi;
Is'aafu al-Raaghibiin, 124 yang berkata bahwa riwayat ini dari al-Ruuyaanii dan Thabrani dan lain-lain-nya; Nuuru al-Abshaar, 153; 'Aqdu al-Durar, bab ke 3, hadits ke 46 dimana ia juga menjelaskan bahwa Abu Na'iim dan Thabrani juga meriwayatkan hadits ini, dan di bab 10, hadits ke 310 menerangkan bahwa nabi Isa as bermakmum kepada imam Mahdi as dimana Abu Na'iim juga meriwayatkannya.
al-Fushuulu al-Muhimmah karya Ibnu al-Shabbaa' al-Maaliki, hal 275-276; Dzakhaairu al-'Uqbaa, karya Thabari al-Syaafi'ii dimana di bab 1, hadits ke 9 meriwayatkan dari Abdullah bin Umar, begitu pula di hal. 136 meriwayatkan dari Hudzaifah; al-Kanji dalam kitabnya al-Bayaan, bab 13 dari Hudzaifah yang dihasankan olehnya, begitu pula di bab 2, hadits ke: 42 dari Abdullah bin Umar; Tadzkiratu al-Khawaaash, 377 dimana ia juga mengatakan bahwa riwayat ini juga diriwayatkan Abu Daud; Sunan Abu Daud, 2/422;
Shawaaiqu al-Muhriqah, 98; Arjahu al-Mathaalib, karya Syaikh Abdullah Amrtusrii al-Hindii al-Hanafii, 378; Faraaidu al-Simthain, jld 2, hadits ke: 19; Ghaayatu al-Maraam, 704; al-Jaami'u al-Shaghiir, karya Suyuuthii, hadits ke: 9244; Mishbaahu al-Sunnah, 2/134; Mustadraku al-Haakim, 4/557.

Catatan: Alamat-alamat hadits di atas, bukan berarti di kitab-kitab itu hanya satu atau dua hadits, tapi banyak hadits. Tapi karena sekedar mencontohkan, maka disebutlah satu dua hadits di atas dari kitab-kitab tersebut.
b- Hadits-hadits Sunni yang menerangkan bahwa imam Mahdi as itu adalah Ahlulbait as dimana berarti makshum sebagaimana di QS 33:33 itu. Artinya, bahwa imam 12 itu semua Ahlulbait yang makshum sampai ke imam Mahdi as. Ini jelas merupakan penjelasan Nabi saww terhadap penerapan Ahlulbait yang makshum di Qur an itu. Dan hal ini, jelas merupakan hak Nabi saww sebagai penjelas Qur an dan maksudnya.

Hadits - hadits Sunni yang menerangkan bahwa imam Mahdi as itu dari Ahlulbait as, sebagai berikut:

المهدي مِنّا أهل البيت ، رجل مِن أمّتي، أشمّ الأنف ، يملأ الأرض عدلاً كما مُلئت جوراً
"Al-Mahdi itu dari kami Ahlulbait, seorang lelaki dari aku, peka penciumannya dan meratakan keadilan di bumi setelah dipenuhi dengan kezhaliman (seperti wahabi, Israel, Amerika dan Eropa, penj.)."

Hadits-hadits seperti itu bisa dilihat di kitab-kitab berikut yang mana akan disebutkan satu hadits saja dari kitab-kitab itu seperti hadits-hadits sebelumnya: 'Aqdu al-durar, bab 3, hadits ke: 44; al-Malaahim wa al-Fitan, karya Abu Na'iim, bab. 19; Al-Bayaan karya al-Kanjii al-Syaafi'ii, 312; Shawaaiqu al-Muhriqah, 100; Kanzu al-'Ummaal, 7/166; Sunan Ibnu Maajah, 2/269 yang juga dari Abu Daud; Muntakhab Kanzu al-'Ummaal, 6/30 yang diambil dari Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Maajah; Al-Jaami'u al-Shaghiir, karya Suyuuthi, hadits ke 9243; Ibnu Maajah dalam Sunannya, 269; Ahmad bin Hanbal, 1/84; Kanzu al-'Ummaal, 7/166; Dzakhaairu al-'Uqbaa, 44; Sunanu al-Daaru al-Quthnii yang dinukil dalam Arjahu al-Mathaalib, 385; Sunan Abu Daud, 2/208; Tadzkiratu al-Khawaash, bab 6, imam Ali as yang mengatakan: "
Mustadraku al Haakim, 4/557; dan lain-lain yang seambrek jumlahnya di hadits-hadits Ahlussunnah.

7- Sedang periwayatan tentang lahirnya imam Mahdi as di Ahlussunnah bahwa beliau as lahir di th 250-an di Samarraa' dan merupakan putra dari al-Hasan al'Askari as (imam ke 11 Syi’ah), sebagai berikut:
a- Ahmad bin al-Huasain al-Baihaqi al-Nisaaburi (458 H), dalam kitabnya Syu'abu al-Iimaan. Ia berkata bahwa ada dua pandangan tentang imam Mahdi as. Pertama dari keturunan Faathimah yang akan diutus kapan saja yang Allah kehendaki. Ke dua, yang lahir di tahun 255 H di hari Jum'at pada tanggal15 Sya'baan. Dan Baihaqii sendiri mengatakan bahwa panjangnya umur al-Mahdi ini tidak mustahil seperti nabi Isa as dan nabi Khidhr as. Baihaqi juga berkata banyak orang-orang Kasyaf/wali dari ulama Sunni yang meyakini hal tersebut.
b- 'Allaamah Abu Muhammad 'Abdullah bin Ahmad al-Khasysyaab (567 H) dalam bukunya Taariikhu Mawaaliidi al-Aimmah Wa Wafiyaatihim.
c- Sayikh Kamaaluddiin Abu Saalim Muhammad bin Thalhah al-Halabii al-Syaafi'ii (562 H) dalam kitabnya Mathaalibu al-Suaal, 88.
d- Syahaabuddin Abu 'Abdillah Yaaquut al-Humawi al-Ruumii al-Baghdaadi (626 H) dalam kitabnya Mu'jamu al-Buldaan, 6/175.
e- Syaikh Fariiduddin 'Aththaar (627 H) dalam kitabnya Mazhharu al-Shifaat.
f- Syaikh Muhyiddin Muhammad yang dikenal dengan Ibnu al-Haatimi al-Thaa-ii al-Andalusii al-Syaafi'ii atau Ibnu 'Arabi (638 H) dalam kitabnya Futuuhaatu al-Makkiyyah, bab 366. Dia berkata mirip dengan yang lain-lainnya:

اعلموا أنّه لابد من خروج المهدي ( عليه السلام ) ، لكن لا يخرج حتى تمتلئ الأرض جوراً وظلماً ، فيملأها قسطاً وعدلاً ، ولو لم يكن من الدنيا إلاّ يوم واحد لطوّل الله تعالى ذلك اليوم ، حتى يَلِي ذلك الخليفة ، وهو من عِترة رسول الله ( صلّى الله عليه وآله وسلّم ) ، مِن وِلد فاطمة ( رضي الله عنها ) ، جده الحسين بن علي بن أبي طالب ، ووالده الحسن العسكري ، ابن الإمام علي النقي ( بالنون ) ابن محمّد التقي ( بالتاء ) ابن الإمام علي الرضا ، بن الإمام موسى الكاظم ، بن الإمام جعفر الصادق ، بن الإمام محمّد الباقر ، بن الإمام زين العابدين ، بن الإمام الحسين ، بن علي بن أبي طالب ( رضي الله عنهم ) ، يواطي اسمه اسم رسول الله ( صلّى الله عليه وآله وسلّم ) ، يبايعه المسلمون بين الركن والمقام ، يشبه رسول الله ( صلّى الله عليه وآله وسلّم ) في الخَلق ـ بفتح الخاء ـ ، وينزل عنه في الخُلق ـ بضمّها ـ ، إذ لا يكون أحدٌ مثل رسول الله ( صلّى الله عليه وآله وسلّم ) في أخلاقه ، والله تعالى يقول : ( وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ ) ، هو أجلى الجبهة ، أقنى الأنف ، أسعد الناس به أهل الكوفة ، يقسِّم المال بالسّوية ، ويعدل في الرعيّة ، يأتيه الرجل فيقول : يا مهدي ، أعطني ـ وبين يديه المال ، فحيثي له في ثوبه ما استطاع أن يحمله

"Ketahuilah bahwa keluarnya al-Mahdi as itu merupakan kemestian. Akan tetapi beliau tidak akan keluar kecuali setelah dunia ini dipenuhi dengan kezhaliman dan kemungkaran. Setelah itu beliau keluar untuk memenuhi dunia dengan keadilan. Kalaulah dunia ini tinggal sehari (meniru hadits-hadits Nabi saww di atas), maka Allah akan memanjangkannya sampai ke hari tersebut (meratanya keadilan oleh imam Mahdi as itu) dan hingga datangnya khalifah tersebut. Beliau adalah keluarga/itrah nabi saww, dari anak Faathimah ra dari arah Husain bin Ali bin Abi Thaalib. Ayah beliau as adalah al-Hasan al-'Askari bin al-imamm 'Ali al-Naqii bin Muhammad al-Taqii, bin imam 'Ali al-Ridhaa, bin imam Musa al-Kaazhim, bin imam Ja'far al-Shaadiq bin imam Muhammad al-Baaqir, bin aimam Zainu al-'Abidiin, bin imam al-Husain bin Ali bin Abi Thaalib ra. Nama beliau sama dengan nama Rasul saww, beliau akan dibaiat muslimin antara Rukun dan Maqaam, mirip Nabi saww dari sisi rupa dan sedikit di bawah Nabi saww dari sisi akhlak karena tidak ada yang menyerupai Nabi saww dan Allah berfirman 'Dan sesungguhnya kamu -Muhammad- berada di derajat akhlak yang agung.' Beliau as berdahi terang dan tulang hidungnya agak menonjol, orang-orang Kufah yang paling mengambil keuntungan dengan beliau as. Beliau as membagi harta dengan rata dan adil dalam kepemimpinan. Datang padanya seorang lelaki dan berkata: 'Ya Mahdi, berilah aku-uang- maka beliau memberinya sekuat ia membawa uang itu di bajunya." (kata Ibnu 'Arabi ini mengambil dari hadits-hadits Nabi saww, yakni tentang sifat-sifat imam Mahdi as itu dan tentang kesaksian kelahirnanya, mengambil dari berbagai sandaran ulama-ulama sebelumnya selain mengambil dari hadits-hadits tentang imam 12 juga) dan seterusnya.

g- Syaikh Muhammad bin Yuusuf al-Kanji al-Syaafi'ii (658 H) dalam kitabnya al-Bayaan, hal 336 bab. 25.
h- Syaikh Jalaalu al-Diin Muhammad al-'Aarif yang dikenal dengan Maulawii (672 H) dalam Diwaan Kaabir-nya,
i- Syaikh al-Kaamil Shalaahuddin al-Shafdi (764 H) dalam kitabnya al-Daairah.
j- Syaikh Jamaalu al-Diin bin Ahmad bin 'Ali bin al-Husain bin 'Ali bin Muhanna (828 H) dalam kitabnya 'Umdatu al-Mathaalib, hal. 186-188.
k- Syaikh Abu 'Abdillah As'ad bin 'Ali bin Sualimaan 'Afiifu al-Diin al-Yaaf-'ii al-Yamanii al-Makki al-Syaafi'ii (768 H) dalam kitabnya Mir-aatu al-Jinaan, 2/107.
l- 'Allaamah Sayyid 'Ali bin Syahaabu al-Diin al-Hamadaani al-Syaafi'ii (786 H) dalam kitabnya al-Mawaddatu al-Qurbaa dalam al-Mawaddah ke 10.
m- Syaikh Syahaabu al-Diin al-Daulah Abaadii (849 H) dalam kitabnya Hidaayatu al-Su'adaa'.
n- Dzhabi al-Syaafi'ii (804 H) dalam kitabnya Duwalu al-Islaam, 1/122
o- Syaikh 'Ali bin Muhammad bin Ahmad al-Maaliki al-Makki yang dikenal dengan Ibnu al-Shabbaagh (855 H) dalam kitabnya al-Fushuulu al-Muhaimmah, hal 273, bab 12.
p- Ibnu Jauzi (654 H) dalam kitabnya Tadzkiratu al-Khawaash, hal 88.
q- Syahaabu al-Diin Ahmad bin Hajar al-Haitamii yang dikenal Ibnu Hajar (993 H) dalam kitabnya al-Shawaaiqu al-Muhriqah, hal 127
r- Syaikh 'Abdullah bin Muhammad bin 'Aamir al-Syiirawii al-Syaafi'ii (1154 H) dalam kitabnya al-Ittihaaf Yuhibbu al-Asyraaf, hal 178.
s- Syaikh Abu al-Mawaaahib 'Abdulwahhaab bin Ahmad bin Ali al-Sya'raanii ( 973 H) dalam kitabnya al-Yawaaqiit wa al-Jawaahir, hal 145.
t- Al-Sya'raani dalam kitabnya Lawaaqihu al-Anwaal fi Thabaqaati al-Akhbaar, jld 2.
u- Syaikh Nuuru al-Diin 'Abdurrahmaan bin Ahmad yang dikenal dengan Jaami al-Syaafi'ii dalam kitabnya Syawaahidu al-Nubuwwah.
v- Maulawi dalam kitabnya al-Mukaasyafaat.
w- Syaikh 'Abdurrahmaan dalam kitabnya Mir-aatu al-Asraar.
x- Syaikh 'Abdullah al-Baari' al-Syaafi'ii dalam kitabnya al-Riyaadhu al-Zaahirah.
y- Syaikh Abu al-Ma'aalii dalam kitabnya Shahaahu al-Akhbaar Fii Nasabi al-Saadati al-Faathimiyyati al-Akhyaar.
z- Syaikh Miir Khaand (903 H) dalam kitabnya Rasudhatu al-Shafaa jilid 3.
aa- Syaikh Muhaqqiq Buhluul Bahjat Afandi dalam bukunya al-Muhaakatu Fii Taariikhi Aali Muhammad.
bb- Syakih Syamsu al-Diin Yuusuf al-Zarandii dalam kitabnya Mi'raaju al-Wushuul Ilaa Fadhiilati al-Rasuul.
cc- Syaikh Husain bin Mu'iinu al-Diin dalam kitabnya Syarhu al-Diiwaan.
dd- Syaikh Muhammad bin Muhammad bin Mahmuud al-Najjaar yang dikenal dengan Khaajeh Paarsaa tokoh besar Nakhsyabandii (822), dalam kitabnya Kasyfu al-Zhunuun.
ee- 'Allaamah Sulaimaan al-Qunduuzii al-Hanafii dalam kitabnya Yanaabii'u al-Mawaddati.
ff-Syaikh al-Jaliil 'Abdu al-Kariim al-Yamaanii dalam syairnya.
gg- Syaikh 'Abdurrahmaan al-Busthaamii, dalam kitabnya Durratu al-Ma'aarif.
hh- Syaikh al-Muhaadits al-Faqiih Muhammad bin Ibrahim al-Juwainii al-Jumawaini al-Syaafi'ii dalam kitabnya Faraaidu al-Simthain.
ii- Syaikh Ahmad al-Jaami dalam syairnya dan 'Aththaar juga dalam syairnya.
jj- Syaikh Husain bin Muhmmad al-Dayyaar al-Maaliki (966 H) dalam kitabnya Taariikhu al-Khamiis, 2/321.
kk- Syakih Mukmin bin Hasan al-Syablanji al-Syaafi'ii (1298 H) dalam kitabnya Nuuru al-Abshaar

8- Tambahan:
Walaupun yang disebutkan di atas itu hanya sebagian dan dengan menyebutkan kitabnya, maka di lain pihak, masih terlalu banyak ulama Ahlussunnah yang mengakui kelahiran imam Mahdi as yang sebagai putra dari imam Hasan al-'Askari as itu. Saya akan menyebutkan sebagiannya, seperti:
1 - العلاّمة الشيخ أبو بكر أحمد بن الحسين بن عليّ النيسابوري ، الفقيه البيهقي الشافعي (المتوفّى سنة 458 هـ )
2- العلاّمة أبو محمّد عبد الله بن أحمد بن محمّد بن الخشّاب ( المتوفّى سنة 567 هـ ) .
3- العلاّمة الشيخ كمال الدين أبو سالم محمّد بن طلحة الحلبي القرشي الشافعي ( المتوفّى سنة 652 هـ )
4 - العلاّمة الشيخ شهاب الدين أبو عبد الله الرومي الحموي البغدادي ( المتوفّى سنة 626 هـ ) .
5- العلاّمة الشيخ العارف الشيخ فريد الدين العطار ( المتوفّى سنة 627 هـ )
6- العلاّمة الشيخ محيي الدين ، أبو عبد الله محمّد بن علي بن محمّد ، المعروف بابن الحاتمي الطائي ، الأندلسي ، الشافعي ( المتوفّى سنة 638 هـ ) .
7- العلاّمة الشيخ أبو عبد الله محمّد بن يوسف بن محمّد الكنجي القرشي الشافعي ( المتوفّى سنة 658 هـ )
8- العلاّمة الشيخ جلال الدين محمّد العارف البلخي الرومي ، المعروف بالمولوي ( المتوفّى سنة 674هـ )
9- العلاّمة الشيخ الكامل صلاح الدين الصفدي ( المتوفّى سنة 764هـ )
10- العلاّمة الشيخ جمال الدين أحمد بن علي بن الحسين بن علي بن مهنّا ( المتوفّى سنة 828 هـ )
11- العلاّمة الشيخ أبو عبد الله أسعد بن علي بن سليمان عفيف اليافعي ، اليمني ، المكّي ، الشافعي ( المتوفّى سنة 768 هـ )
12- العلاّمة السيد علي شهاب الدين الهمداني الشافعي ( المتوفّى سنة 786 هـ )
13- العلاّمة الشيخ شهاب الدين الدولة أبادي ( المتوفّى سنة 849 هـ )
14- العلاّمة الشيخ شمس الدين أبو عبد الله محمّد بن أحمد الذهبي ، الشافعي ( المتوفّى سنة 804 هـ )
15- العلاّمة الشيخ علي بن محمّد بن أحمد المالكي المكّي ، المعروف بابن الصبّاغ ( المتوفّى سنة 855هـ )
16- العلاّمة الشيخ شمس الدين أبو المظفر يوسف بن قزاوغلي الحنفي، ابن عبد الله المعروف بسبط بن الجوزي ( المتوفّى سنة 654 هـ )
17- العلاّمة الشيخ شهاب الدين أحمد بن حجر الهَيْتَمي الشافعي ( المتوفّى سنة 993 هـ )
18- العلاّمة الشيخ عبد الله بن محمّد بن عامر الشبراوي الشافعي ( المتوفّى سنة 1154 هـ )
19- العلاّمة الشيخ عبد الوهاب بن أحمد بن علي الشعراني ( المتوفّى سنة 973 هـ )
20- العلاّمة الشيخ حسن العراقي ، المدفون فوق كرم الريش ( المتوفّى سنة )
21- العلاّمة الشيخ نور الدين عبد الرحمان بن أحمد بن قوام الدين ، المعروف بجامي الشافعي ( المتوفّى سنة 892 هـ )
22- العلاّمة الشيخ المولوي علي أكبر أسد الله المؤذن الهندوستاني ، مؤلف كتاب المكاشفات ( المتوفّى سنة هـ )
23- العلاّمة الشيخ عبد الرحمان الصوفي ، مؤلف كتاب مرآة الأسرار ( المتوفّى سنة هـ )
24- لعلاّمة الشيخ الفاضل البارع عبد الله بن محمّد المطيري المدني الشافعي ( المتوفّى سنة هـ )
25- العلاّمة الشيخ أبو المعالي محمّد سراج الدين الرفاعي المخزومي ، مؤلف كتاب صحاح الأخبار في نسب السادة الفاطمية الأخيار (المتوفّى سنة هـ )
26- العلاّمة الشيخ مير خواند محمّد بن خاوند شاه بن محمود ، مؤلّف كتاب روضة الصفا ( المتوفّى سنة 903 هـ )
27- العلاّمة الشيخ المحقق بهلول بهجت أفندي ، مؤلف كتاب المحاكمة في تاريخ آل محمّد ( المتوفّى سنة هـ )
28- العلاّمة الشيخ جمال الدين محمّد بن يوسف الزرندي ، مؤلّف كتاب معراج الوصول إلى فضيلة آل الرسول ( المتوفّى سنة 750 هـ )
29- العلاّمة الشيخ حسين بن معين الدين الميبردي ، شارح ديوان الأمير ـ عليه السلام ـ ( المتوفّى سنة 870 هـ )
30- العلاّمة الشيخ محمّد بن محمّد محمود النجار ، المعروف بخواجه يارسا ( المتوفّى سنة 822 هـ )
31- العلاّمة الشيخ سليمان القندوزي الحنفي ، فإنّه أخرج في كتابه ينابيع المودّة ، أحوال الإمام المهدي مفصّلاً من كتب عديدة ، وكان وفاه الشيخ ( سنة 1291 هـ )
32- العلاّمة الشيخ عبد الكريم عبد اليماني ( المتوفّى سنة هـ )
33- العلاّمة الشيخ عبد الرحمان البسطامي ، مؤلف كتاب درّة المعارف ( المتوفّى سنة هـ )
34- العلاّمة الشيخ المحدِّث الفقيه محمّد بن إبراهيم الجزيني الحمويني ، الشافعي ( المتوفّى سنة 722 هـ )
35- العلاّمة الشيخ أحمد النامقي الجامي ( المتوفّى سنة هـ )
36- العلاّمة الشيخ العطار ( المتوفّى سنة هـ )
37- العلاّمة الشيخ سعد الدين الحمويني ( المتوفّى سنة هـ )
38- العلاّمة الشيخ صدر الدين القونوي ، مؤلف كتاب صحاح الأخبار في نسب السادة الفاطمية الأطهار ( المتوفّى سنة هـ )
39- العلاّمة الشيخ حسين بن محمّد الحسن الديّارـ بكري المالكي ( المتوفّى سنة 966 هـ )
40- العلاّمة الشيخ مؤمن بن حسن بن مؤمن الشبلنجي ، الشافعي ( المتوفّى سنة 1298 هـ
41- منهم ، العلاّمة أبو المجد عبد الحق الدهلوي ، البخاري ( المتوفّى سنة 1053 هـ ) . ذكر ذلك في كتابه المناقب ، وهو كتاب جمع فيه مناقب أهل البيت ( عليهم السلام )
42- ومنهم : العلاّمة المعروف ابن الوردي ، وقد نقل عنه ذلك في نور الأبصار للشبلنجي الشافعي
43- ومنهم : العلاّمة الشيخ محمّد بن الصبّان الشافعي ، المصري ( المتوفّى سنة 1206 هـ )
44- ومنهم : العلاّمة الشيخ جلال الدين السيوطي الشافعي ( المتوفّى سنة 911 هـ ) ، فإنّه أخرج ذلك في إحياء الميت وغيره من كتبه
45- ومنهم : العلاّمة الشيخ حسن العدوي الحمزاوي ( المتوفّى سنة 1305 هـ ) ، أخرج ذلك في مشارق الأنوار في فوز أهل الاعتبار
46- ومنهم : العلاّمة ابن الأثير الخدري ( المتوفّى سنة 630 هـ ) ، أخرج ذلك في كتابه المعروف بتاريخ الكامل ( ج7 ، ص90 )
47- ومنهم : العلاّمة أبي الفداء إسماعيل بن علي بن محمود الشافعي ( المتوفّى سنة 732 هـ ) ، أخرج ذلك في تاريخه المعروف بتاريخ أبي الفداء ( ج2 ، ص52 )
48- ومنهم : العلاّمة الشيخ محمّد أمين البغدادي أبو الفوز السوري مؤلف كتاب سبائك الذهب في معرفة قبائل العرب ، ذكر ذلك في ( ص77- 78 ، من الباب 6 ) من كتابه
49- ومنهم : العلاّمة الشيخ ابن خلّكان ( المتوفّى سنة 681 هـ ) ، في كتابه المعروف بـ ( وفيّات الأعيان )
50- ومنهم : العلاّمة الشيخ علي الهروي القاري ( المتوفّى سنة 1014 هـ ) ، ذكر ذلك في كتابه الموفّاة في شرح المشكاة
51- ومنهم : العلاّمة الشيخ موفق بن أحمد الخوارزمي الحنفي ( المتوفّى سنة 568 هـ ) ، ذكر ذلك في كتابه المناقب
52- ومنهم : العلاّمة الشيخ عامر بن عامر البصري ( المتوفّى سنة هـ ) ، ذكر ذلك في قصيدته التائية المسمّاة بذات الأنوار في المعارف والحِكم والأسرار والآداب ( في النور التاسع )
53- العلاّمة الشيخ جواد الساباطي ، مؤلّف كتاب البراهين الساباطية ، فإنّه ذكر اختلاف الناس في الإمام المهدي ( عليه السلام ) ثمّ رجّح قول الإمامية بولادته ووجوده
54- العلاّمة الشيخ نصر بن علي الجهضمي البصري ، وهو من أعلام أهل السنّة ، صرّح بولادة الإمام المهدي ( عليه السلام ) وذكر اسمه واسم أُمّه واسم بوّابه ، ونضرٌ هذا ، هو الذي ذَكرَ للحسين ( عليه السلام ) فضيلة في محضر المتوكل فأمر المتوكل أن يُضرَب ألف سوط ، فتوسّط له أبو جعفر فَعُفى عنه
55- العلاّمة الشيخ حسين بن علي الكاشفي ، مؤلِّف جواهر التفسير ( المتوفّى سنة 906 هـ )
56- الخليفة العبّاسي ، الناصر لدين الله أحمد بن المستضيء بنور الله ( المتوفّى سنة هـ ) ، وهو الذي أمر بعمل الخشب الذي على الصُفَّة في السرداب في سامراء
57- العلاّمة الشيخ أحمد الفاروقي النقشبندي ، المعروف بالمجدِّد ( المتوفّى سنة هـ )
58- العلاّمة أبو الوليد محمّد بن شحنة الحنفي ، قال : في تاريخه المسمّى بـ ( روضة المناظر في أخبار الأوائل والأواخر ) المعروف بتاريخ ابن شحنة ، وقد طُبع في هامش تاريخ الكامل مع مروّج الذهب ، وقد توفي ابن شحنة ( سنة هـ )
59- القاضي فضل بن روزبهان ، شارح الشمائل للترمذي ( المتوفّى سنة هـ )
60- العلاّمة الشيخ علي الخوّاص المتوفّى سنة ( هـ) . ذكر تاريخ حياته الشعراني في الطبقات
61- العلاّمة الشيخ أبو الفتح محمّد بن أبي الفوارس ( المتوفّى سنة هـ ) ، ذكر ذلك في أربعينه ، في الباب الثامن من الفصل الأول
62- العلاّمة الشيخ شمس الدين التبريزي ، أستاذ المولوي جلال الدين الرومي ( المتوفّى سنة هـ )
63- العلاّمة الشيخ حسين بن همدان الخصيبي ( المتوفّى سنة هـ )
64- العلاّمة الشيخ عماد الدين الحنفي ( المتوفّى سنة هـ )
65- العلاّمة الشيخ ولي الله الدهلوي ( المتوفّى سنة 1172 هـ ) ، والد مؤلف التحفة الاثني عَشَرية ، ذكر ذلك في كتابه النزهة
66- العلاّمة الشيخ الفاضل رشيد الدين الدهلوي الهندي ، ذكر ذلك في كتابه إيضاح لطافة

Catatan:
Yang ditulis di atas itu terlalu sedikit dibanding yang ada. Di perpustakaan alfakir banyak kitab tentang imam Mahdi as dimana sebagiannya berupa ensiklopedia/mausuu'ah dan salah satunya ada yang sampai 8 jilid. Yakni hanya memuat tentang hadits imam Mahdi as dan nama-nama kitab dan ulamanya. Semoga saja yang sangat tidak seberapa di atas itu, bermanfaat bagi teman-teman dan kita semua di dunia ini atau di akhirat kelak, amin.
Wassalam.

Riani Azri: Salam ustadz saya ikut nyimak. Dari sekian riwayat dimana letak bid’ah yang sering mereka lontarkan jadi keliatan gak jelas mereka ni ngerti atau sulit akalnya menerima kebenaran? 

Khommar Rudin: ْ اللهم صل على محمد وال محمد وعجل فرجهم

Sinar Agama: Riani: Bid’ahnya di dalam persepsi mereka saja yang sudah kecanduan membid’ahkan orang lain.
Ammar Dalil Gisting: Mantap dan sangat memuaskan dalil-dalil dari ustadz..Betapa serius dan mengagumkan cara ustadz dalam memberikan hujahnya, sehingga bukan lagi hanya tertuju pada si penanya tapi malah sekaligus memberi angin segar pada lainnya. Bagi ana pribadi, tidak ada sesuatu yang lebih mantap dan meyakinkan hati, kecuali dengan adanya suatu keyakinan akan kemakshuman manusia makshum, dan ini merupakn nikmat teragung yang ana rasakan sepanjang hidup ini.. Afwan wa salam. 

Kamis, 09 Mei 2019

Syahid dan Hutang-piutang dengan Khaliq dan Makhluq


Seri tanya jawab Andri Musmayadi dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Sunday, April 7, 2013 at 10:36 am


Andri Kusmayadi mengirim ke Sinar Agama: Salam, afwan ada beberapa pertanyaan yang ingin ana ajukan nih ustadz... 

1. Apakah mati syahid bisa menghapuskan utang, qadha, khumus? 

2. Kalau kita berbohong dengan mengatakan bahwa kita tidak ada di rumah kepada seseorang, padahal sebenarnya kita ada, hanya kebetulan kita memang tidak ingin ketemu orang itu, apakah itu dosa? 

3. Tanpa bermaksud mempertanyakan yang bukan urusan kita, saya hanya ingin tahu aja penjelasannya. Di riwayat-riwayat yang saya baca, bahwa nanti itu Imam Mahdi as akan memerintah dunia dari Kufah/Najaf, jadi ibu kota pemerintahan beliau itu nantinya di Irak. Pertanyaan saya, kenapa tidak di Iran? Padahal, kan Iran lah yang mempersiapkan kedatangannya selama ini? 

4. Kalau arisan itu harus dibayar khumus tidak? Jangka waktunya 10 bulan. 

Syukron. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyannya: 

1- Jelas tidak bisa. Karena itu, kalau punya warisan, maka sebelum dibagi ke ahliwarisnya, semua hutangnya itu wajib dibayar dulu. Hutang uangnya dibayar dulu, hutang khumusnya dibayar dulu, hutang puasanya dan shalatnya wajib dibayar anak lelakinya yang terbesar ketika ia syahid. 

2- Iya, hal itu dosa. Tapi kalau terpaksa, misalnya orangnya tidak bagus dan mengganggu akidah dan ketaatan, maka pakailah tauriah. Yakni menyalahpahamkan dia dalam memahami perkataan kita. Misalnya, kita berniat memberitahukannya yang kemarin di waktu antum tidak ada di rumah, lalu setelah niat itu, baru mengatakan “tidak ada di rumah”. Artinya, yang berniat itu adalah yang mengabarkan kepadanya, bukan antumnya. Karena kalau antum yang jawab, maka berarti ia tahu kalau antum di rumah. Kecuali kalau bertanya pakai telepon HP. 

3- Anggap hadits itu seperti itu, maka hal itu pasti ada alasannya tersendiri. Misalnya karena kota itu merupakan kota yang pernah menjadi pusat pemerintahan imam pertama as dan sekaligus merupakan tempat makam beliau as (imam Ali as). 

Iran itu, adalah Islam yang hakiki walau tidak sampai ke tingkat makshum. Karena itu, bagi mereka penduduk Iran, sudah tidak ada lagi masalah-masalah keduniaan yang berarti. 

Mereka hanya menyintai Islam dan hidup demi Islam. Karena itu, maka dimanapun pusat pemerintahan imam Mahdi as, adalah cinta dan cinta serta idaman orang-orang Iran. 

Dan sudah semestinya seperti itu iman seseorang pada Tuhan dan ajaranNya. Yakni tidak menyintai hal-hal selainNya dan selain agamaNya. 

4- Kalau arisan itu keluar di pertengahan tahunan khumusnya dan dimulai juga dalam setahun khumusnya itu (karena dalam pertanyaan antum itu dikatakan 10 bulan), maka tidak dikhumusi kecuali kalau ada sisa di akhir tahun khumusnya. 

Tambahan: Kalau pengganti di dunianya tidak ada, misalnya tidak punya warisan, tidak punya anak mengqadhaa’kan ...dan seterusnya...maka In syaa Allah akan mencarikan jalan keluarnya di akhirat kelak. Karena itu, seseorang tidak boleh berfikir apapun ketika agama memerintahkannya berjihad. 

AndriKusmayadi: Syukron Ustadz atas penjelasannya...



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Selasa, 20 November 2018

Penaklukan Qisthantaniah



Seri tanya jawab Satria Bani Hasyim dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Sunday, December 23, 2012 at 9:03 am



Satria Bani Hasyim mengirim ke Sinar Agama: 30 September, 

Salam. Ada beberapa pertanyaan ; 

1. Adakah di Al-Quran disebutkan langsung nama Imam Ali as sebegai penerus khalifah? Bila tidak ada, mengapa? Bila Rasul selalu disebutkan namanya, mengapa nama Imam Ali as sebagai wasinya, yang ana cari di Al-Quran tidak secara langsung di sebutkan namanya ? 

2. Ana ada pertanyaan dari saudara ana yang Sunni, pertanyaannya tentang hadits penaklukan Konstatinopel. Hadits itu dikatakan Rasul sewaktu perang Khandaq, tentang ramalan Konstatinopel ke depan. Mungkin hadistnya yang ini ; 

Latuftahannal konstantinniyyah falani’mal amiiru amiiruha wala ni’mal jaysu daalikal jays” 


“Sungguh Konstantinopel akan ditaklukkan, sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin pasukan pada saat itu dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan pada saat itu.” 

Afwan ustadz, ana juga belum meneliti di Sunni hadits itu apakah di Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dll. 

Pertanyaannya; Apakah ada di Syi’ah hadits serupa tentang ramalan Rasul tentang Kontatinopel ke depan, yang diucapkan sewaktu perang Khandaq ? 

Sang Pencinta
http://arsipsinaragama.com/index.php?option=com_content&view=article&id=400:ghadir-khum&catid=42:arsip-faqs-imamah&Itemid=62&ml=1

Satria Bani Hasyim: Syukron sang pecinta, nanti ana pelajari. 

Satria Bani Hasyim: Ustadz yang no 2 belum dijawab. Afwan merepotkan, he2.. 

Sinar Agama: Sudah tentu hadits-hadits tentang Imam Mahdi as itu, banyak yang sama antara Syi’ah dan Sunni. Ini contoh hadits Syi’ahnya tentang penaklukan Qisthanthiniyyah (Istanbul-Turki) dan China: 



Tambahan

Ketika Tuhan mengatakan dalam Qur'an bahwa yang menguasai atau yang memimpin kita itu adalah Allah, Nabi saww orang mukmin yang melakukan shalat dan membayar zakat ketika ruku’ di mana tidak ada orang selain Imam Ali as, maka adakah kejelasan lebih jelas dari ini? Allah berfirman di QS: 5: 55: 



“Sesungguhnya pemimpin kalian hanya Allah dan RasulNya dan orang-orang yang beriman dan menegakkan shalat serta membayar zakat ketika sedang rukuk.” 

Satria Bani Hasyim: Syukron ustadz dan my brad...I love you all, he2... 

Khommar Rudin: Allahumma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad. 

Sinar Agama: Satu lagi: Disebutkannya dalam Qur'an, tidak berarti menyelesaikan masalah. Seperti shalat tiga waktu yang terdapat di beberapa ayat Qur'an, tetap saja tidak dipatuhi. Atau adanya berbagai ayat yang mewajibkan kita ikut pemimpin yang makshum, atau seperti yang bayar zakat dalam keadaan ruku, tapi tetap saja, imamah tidak dijadikan dasar keislamannya. 

Satria Bani Hasyim: Iya ustadz. Ana itu sejak SMP selalu bertanya-tanya, kok kenapa Rasul tidak berwasiat kepemimpinan? Kok kenapa di sejarah khalifah pertama musyawarah, tapi khalifah ke-2 diberi begitu saja? Aneh kan? Kok kenapa ada ayat mutasabhihat seperti alif lam mim, tidak ada artinya, malah dikatakan hanya Tuhanlah yang tahu. Ana fikir, bukankah kitab itu diturunkan dan dipahami untuk manusia? Kok dibalikkan lagi ke Tuhan, Tuhan kan gak perlu kitab? 

Seharusnya logika-logika sederhana ini menjadi pertanyaan besar, untuk mencari jawaban- jawaban. Kalau boleh jujur...ana mencium adanya kudeta kepemimpinan dan yakin ada orang yang memahami alif lam mim (pewaris kitab), sejak SMP itu Ustadz. Mau bertanya pada guru takut dimarahi. Ana tau nama Syi’ah dari kakek ana dan perang teluk. Beliau cerita bahwa ada mahzab penganut keluarga nabi, tapi beliau seorang suni. Dia tahu Imam Ali as, pembantaian cucu Rosul dan cerita-cerita Imam Mahdi as. Beliau pernah bilang bahwa kelak kebenaran akan ditemukan. Itulah sekelumit pertanyaan, jejak, dan misteri yang ana dapatkan jawabannya di Syiah. Eh jadi curhat, he2.. 

Sinar Agama: Satria: Semoga antum sekeluarga selalu ada dalam selimut kehangatan hidayahNya dan semoga antum sekelurga juga menjadi orang yang mensyukurinya. Semoga kita semua, termasuk teman-teman fb lainnya, juga seperti itu, amin. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Sabtu, 27 Oktober 2018

Imamah, Ikhtiar dan Umurnya Yang Masih Kecil



Seri tanya jawab inbox Bersama Kebenaran dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Friday, October 12, 2012 at 11:35 am


Bersama Kebenaran: Salam ustadz.. semoga sehat selalu...maaf ana mau nanya..tentang bab imamah... pertanyaannya: 

Apakah kepemimpinan Ahlulbait pasca rasul, itu suatu prinsip dan mutlak? Apa alasannya argumenya berdasarkan dalil akli dan naqli? Dan apakah orang-orang yang merebut haknya walau mereka sholat dan puasa pandangannya termasuk sama dengan kafir, fasik, munafik zholim yang akan masuk neraka?? 


Maaf ustadz ngerepotin..jawab dulu ya..nanti pertanyaannya nyambung terus..terimakasih. Salam.. ustadz.. semoga sehat selalu dan baik-baik saja.. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Sudah tentu kepemimpinan Ahlulbait as itu mutlak karena makshum, dipilih Allah dan Nabi saww. Ketika Allah berfirman taatlah pada Allah dan taatlah pada rasul dan pemimpin di antara kalian, maka sudah pasti imam itu ada sejak jaman Nabi saww (karena tidak mungkin memerintah taat pada orang tapi orangnya tidak ada) dan, ketaatan yang di-dan-kan itu adalah ketaatan pada Tuhan yang mutlak dimana hal ini tidak mungkin terjadi kecuali pada yang makshum (karenra tidak mungkin Tuhan menyuruh maksiat ketika menyuruh taat pada orang yang salah dalam perintahnya), dan, dijelaskan oleh Nabi saww bahwa imam itu hanya 12 orang (shahih Bukhari dan Muslim). 

Orang yang merebut hak mereka sudah tentu aniaya dan kafir dari masalah imamah itu akan tetapi tetap muslim karena tetap mengimani Allah, Nabi saww dan lain-lain-nya. Jadi, kafirnya hanya dalam imamah ini. Dan yang demikian itu, sudah cukup menjadikannya zhalim, fasik dan seterusnya. Tapi para pembelanya yang tidak sejaman dengan mereka, karena tidak tahu pembaiatan di Ghadir Khum kepada imam ali as yang dipimpin Nabi saww, seperti Sunni, maka mereka bisa dimaafkan dan dimaafkan. Tapi para pelaku itu, yang tidak mungkin tidak tahu penunjukan Tuhan terhadap Ahlulbait as yang makshum, maka sudah tentu berdosa. 

Bersama Kebenaran: Salam .. ustadz terimakasih jawaban...pertanyaan yang ke: 
Yang jadi ganjalan di pikiran saya para imam makshum yang 12..apakah para imam itu diangkatnya ditetapkan menjadi imam makshum, sejak dia lahir atau setelah dewasa..? Apa beliau imam secara tasyi nya..memproses dirinnya menjadi manusia sempurna, supaya bisa punya kriteria imam makshum..atau dah kehendak Allah walau dia biasa dia bakal jadi imam makshum?? Yang jadi kejanggalan Imam Muhamad aljawad, beliau usia 8 tahun, belum balig sudah menjadi imam, padahal di jamanya banyak pengikut-pengikut ahlulbait yang lebih senior.?? Juga imam Mahdi yang baru 5 tahun.? 

Salam ustadz.. semoga baik-baik saja.. 

Sinar Agama: Imam itu harus makshum dengan ikhtiarnya sendiri dan bukan dengan takdir atau ketentuan Tuhan. Ketentuan Tuhan dalam masalah imamah ini hanya mensyarati bahwa imam itu harus makshum sebagaimana dijanjikanNya kepada nabi Ibrahim as (QS: 2: 124) untuk mengangkat keturunannya menjadi imam asalkan tidak zhalim (dosa). Jadi, siapapun anak-anak nabi Ibrahim as yang berusaha dan mencapai makshum, maka ia akan dijadikan imam olehNya. 

Sebagaimana saya sudah menerangkan di Kedudukan Fantastis Imam (catatan), bahwa setiap sesuatu itu punya waktunya sendiri. Waktu matahari ini hanya waktunya matahari dan dipakai untuk kemudahan saja. Karena itu, ketuaan yang sesungguhnya itu tidak diukur dengan waktu matahari tapi dengan waktunya sendiri sesuai dengan jangkauannya mencapai kesempurnaan. 

2 biji padi yang ditanam di hari senin, kalau yang satunya tumbuh di hari selasa dan yang lainnya tumbuh di hari kamis, maka sudah jelas yang lebih senior dan lebih tua itu adalah yang tumbuh di hari selasa sekalipun sama-sama ditanam di hari senin. Atau 2 tunas yang sama-sama 1 cm di hari senin, kalau di hari selasa salah satunya menjadi 10 cm dan yang lainnya menjadi 2 cm, maka yang 10 cm itu jelas lebih tua dari yang 2 cm, sekalipun umur mataharinya sama-sama. 

Karena itu, kesenioran manusia itu bukan ditentukan oleh putaran matahari, akan tetapi oleh gerakan dirinya sendiri. Kalau imam itu sudah hafal Qur'an dan tahu ilmu-ilmu Qur'an setelah diajari ayahnya yang makshum sejak umur, katakanlah, 5 th, maka mereka sudah pasti lebih senior dari siapapun yang tidak memiliki ilmu-ilmu itu. Apalagi kalau mengamalkannya sampai ketingkatan makshum, maka siapa yang bisa mengejar keseniorannya walau umur mataharinya 8 th? 

Jadi, umur seseorang itu tidak ditentukan gerakan matahari, akan tetapi ditentukan oleh gerakan- nya sendiri dan, siapa yang jarak prosesnya dan jarak tempuhnya lebih jauh, baik ilmu atau amal, maka dialah yang lebih tua dan lebih senior. 


Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Jumat, 24 Agustus 2018

Lensa (Bgn 27): Qada dan Qadar dalam pandangan Syiah dan Sunni



Oleh Ustad Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 2 Juli 2011 pukul 15:39


Yustanur Jambak: Salam ustad, jumpa lagi... Saya berkesimpulan perbedaan yang mendasar antara shiah dan suni adalah tentang Qada dan Qadar .. bagai mana menurut pendapat ustad..?

Sinar Agama : Salam dan terimakasih pertanyaannya: Bukan disitu letak beda dasarnya, tetapi di imamah. Yaitu kemestian diteruskannya kepemimpinan setelah Nabi saww oleh orang maksum di ajaran Syi’ah, tetapi sebaliknya di Sunni. Kalau kita mau bicara isi, biar tentang Tuhan, juga banyak perbedaan. Misalnya Tuhan di pandangan sunni bisa dilihat dengan mata, baik di dunia (bagi sebagian shufi dan ahli thariqat) atau di surga (secara muttfakun ‘alaihi). Tetapi menurut syi’ah, Tuhan itu tidak akan pernah bisa dilihat dengan mata di alam manapun juga.

Nabi saww juga begitu, kalau di pandangan sunni (walau mungkin tidak semua) kemaksumannya hanya di waktu ketika beliau mengajar agama, tetapi dalam menjadi suami, pemimpin negara, pemimpin perang, waktu makan, tidur, kawin ...dan seterusnya tidak maksum. Tetapi di syi’ah harus maksum dalam segala hal. Karena semua hal itulah yang dijadikan hadits sebagai rukun ke dua setelah Qur'an untuk mengerti Islam.

Qur'an juga begitu. Menurut sunni disusun oleh selain Tuhan tetapi oleh tim yang dipimpin oleh Utsman (walau ada juga saudara sunni yang sama dengan syi’ah) dan Bismillaahnya tambahan (berarti ada tambahan 112 ayat dalam Qur'an). Tetapi kalau menurut syi’ah susuran ayat dan surat Qur'an jangankan Utsman, Nabi saww saja tidak boleh menyusunnya, tetapi harus Tuhan sendiri sebagaimana di QS: 75: 17, yang mengatakan: “Sesungguhnya hanya Kami yang berhak mengumpul dan membacakannya -Qur'an.”

Masih banyak perbedaan lainnya. Akan tetapi kesamaannya juga sudah tentu lebih banyak dari perbedaannya. Karena itu, kalau ingin tahu beda kedua ajaran ini (sudah tentu tidak sebanyak persa- maannya), bisa merujuk ke kitab yang berjudul “Ma’aalimi al-Madrasatain”, “Ajaran dua sekolah.”

Catatan: yang melakukan perpecahan di kalangan kaum muslimin, di saat Palestina, Iraq, Afghanistan, negara-negara Arab dan dunia Islam pada umumnya masih dalam jajahan militer, negara, politik, ekonomi dan sosial, oleh kafir-kafir barat yang bergandeng tangan dengan para wahhabi, adalah dosa besar yang taubatnyapun sulit diterima (kata Rahbar hf) karena akibat yang ditimbulkannya biasanya sulit untuk dihapus (kata Rahbar hf). Maksud kata-kata beliau hf ini adalah, menghapus akibat dosa kita di dunia, merupakan syarat diterimanya taubat. Misalnya kalau kita mencuri ayam tetangga, maka syarat diterimanya taubatnya adalah mengembalikan ayam itu ke tetangga yang dimaksud. Tetapi kalau taubat dari membuat perpecahan, dimana mungkin sudah terjadi jatuh korban, atau sehari saja bertambahnya umur penjajahan zionis di Palestina, dan semacamnya, maka akibat-akibat buruk itu tidak biasanya tidak mungkin bisa dihapuskan. Karena itulah maka taubat dari membuat perpecahan ini sulit diterima Tuhan. Memang, bagi pelakunya harus segera berhenti. Tetapi dosa yang telah lalu, hanya bisa diharapkan pengampunanNya, tetapi bisa dipastikan di dunia ini. 

Wassalam.


Yustanur Jambak : Terimakasih ustad, banyak hal yang belum saya ketahui tentang sunni apalagi shiah... menyimak dari uraian ustad di atas amat lah mustahil terciptanya persatuan antara keduanya, seperti yang sudah lama sekali diimpikan banyak orang. Bagaimana menurut pendapat ustad ..?

Sinar Agama: Yustanur: Apa arti persatuan buat antum? Apa sama pendapat? Itu mah ...satu namanya, bukan persatuan. Persatuan itu justru ketika berbeda.

Yustanur Jambak : Ha ha saya senang kalau ustad berfilsafat... Kembali ke pertanyaan saya, kapan islam mencapai kejayaan...

Sinar Agama : Kejayaan Islam sepertinya sudah mulai sejak berdirinya negara Islam di Iran yang seperti jaman Nabi saww yang mengayomi semua manusia, baik seagama atau tidak, semadzhab atau tidak, asal tidak memerangi Islam dan membuat kekacauan terhadap hukum Islam yang sudah disepakati bersama sebanyak 98 persen rakyatnya.

Kini negara-negara Arab sudah menggeliat, sudah sampai ke Maroko. Dan kata Rahbar hf, tuntutan keadilan ini akan menyeruak sampai ke Eropa. Karena itulah Obama sudah menyatakan perang cybery untuk menanggulanginya. Tetapi kita punya hati dan perasaan serta bukti di depan mata. Karena itu berhati-hatilah menghadapi perang cybery yang memang dimulai secara praktiknya beberapa tahun lalu. Karena mereka bisa memuat apa saja, termasuk foto pengkhianatan dari orang-orang yang setia. Menipu data dan memalsu berita tetapi nampak seperti benar-benar ada. Mengatasnamakan negara atau dubes atau apa saja bagi suatu negara tetapi tidak ada. Seperti kejadian kemarin di Suriah itu. Semua orang yang mengaku begini dan begitu di Suriah, dan dengan nama wanita, dan dianiaya, ternyata dia adalah lelaki Amerika yang ketahuan setelah itu, yakni agen-agen Amerika.

Pastinya, Tuhan telah berjanji dengan kemenangan internasional. Yakni ketika imam Mahdi as telah mengenalkan dirinya. Tanda-tanda itu walau kita tidak dapat pastikan, sudah bergulir, seperti revolusi Qom (Iran sekarang), kebangkitan Yaman dan lain-lainnya, semoga saja kiraan hati ini benar adanya.

Yustanur Jambak : Terimaksih ustad.. mohon diulas lagi pertanyaan saya, apakah sebab yang fundamental penyebab islam itu menjadi berjaya selain itu memang sudah dijanjikan Allah swt..? (dalam bentuk ikhtiar kalau bukan takdir) dalam pandangan sar'i ... maaf agak nyinyir he he he.

Sinar Agama : Sudah tentu ikhtiar donk, jadi hakikat janji itu adalah beritaNya. Kalau taqdir, buat apa dibanggakan Tuhan? Bukankah Tuhan dari dulu bisa memenangkan agamanya? Jadi, yang dimaksud dengan kemenangan akhir jaman adalah kemenangan hamba-hambaNya.

Jadi, dengan adanya kebangkitan menuntut keadilan di dunia yang mulai menyeruak di berbagai negara itu ... bisa dijadikan indikasi (walau tak pasti) bahwa umat dunia ini sudah semakin siap untuk menerima kedatangan imam Mahdi as.

Tika Chi Sakuradandelion, Khommar Rudin, dan Roni Astar menyukai ini.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Minggu, 12 Agustus 2018

Pokok-pokok dan Ringkasan Ajaran Syi’ah Bag: 1 (Keimanan Syi’ah Terhadap Tuhan)



by Sinar Agama (Notes) on Friday, October 29, 2010 at 5:32 am


Mukaddimah: 
1. Bagi yang memang belum beragama Islam, maka tulisan ini bisa langsung jadi panduan untuk mengetahui keimanan Islam secara madzhab Syi’ah.

2. Bagi yang sudah muslim, baik Syi’ah atau Sunni, maka perlu diketahui bahwa tulisan ini ditulis untuk meningkatkan iman yang ada secara temurun. Artinya, iman yang kita warisi dari orang tua kita adalah iman yang baik dan diterima Allah. Akan tetapi ianya tidak terlalu tinggi sehingga dalam istilah ilmu Kalam/Teologi, berdasarkan kepada QS: 49:14, diistilahkan sebagai Muslim. Yakni, mukminin yang dalam kategori muslim, yakni iman yang berdasarkan kepada “menerima” yang dikatakan orang lain, baik orang tua, guru atau nabi sekalipun, alias belum beragumentasi. Oleh karenanya sangat dianjurkan untuk menelusuri argumentasi keimanannya hingga sampai ke tingkat iman yang sesungguhnya (tidak ikut-ikutan) dan nantinya bisa sampai ke tingkat Yakin. Allah berfirman: 



قَالَتِ الَْعْرَابُ آمَنَّا قُلْ لَمْ تؤُْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الِْيمَانُ فِي قلُُوبِكُمْ وَإِنْ تُطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ
لَ يَلِتْكُمْ مِنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ



“Orang-orang pinggiran berkata: Kami telah beriman. Katakan (Muhammad): Kalian belum beriman, tapi katakanlah: Kami telah menerima (muslim). Sebelum iman itu masuk ke dalam akal/qalb kalian. Kalau kalian taati Allah dan Rasul, Dia tidak akan mengurangi (pahala) dari perbuatan kalian. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Penyayang”

Belum masuknya iman ke dalam hati, setidaknya disebabkan 2 hal: 


Pertama, karena mereka masih belum memahmi Islam dengan akal mereka. Hingga masih tergolong orang yang hanya ikut-ikut Nabi saww saja (misalnya karena Nabi saww adalah orang yang jujur, baik....dst hingga kata-katanya diterima mereka), dimana karenanya Allah mengatakan bahwa mereka hanya baru menerima Islam. Memang, bahwa mereka tidak dipaksa untuk masuk Islam, dan mengikuti Nabi saww karena kesadaran mereka. Akan tetapi kesadarannya sebatas semacam mengikuti Nabi saww karena kejujurannya, kebaikannya, keadilannya dan semacamnya. Nah, iman tambah kata ini selamanya tidak akan memberikan keyakinan pada hati manusia, karena belum ditopang dan didasari dengan pengertian. Jadi, walaupun dari luar diri mereka tidak ada pemaksaan, tapi dalam diri mereka sendiri, semacam ada pemaksaan itu yang, datangnya dari kepercayaan mereka kepada Nabi saww itu. Jadi, iman mereka berdasar pada kepercayaan tsb, bukan pada kepahaman akan kebenaran ajaran Nabi saww.

Ke dua, karena memang hati/qalbu dalam ayat ini memiliki makna akal sebagaimana banyak sekali ayat-ayat yang lain dimana dalam bahasa Arabpun, Qalbu juga bermakna akal. Jadi makna ayat itu menjadi jelas, bahwa selama mereka salam mengikuti Nabi saww itu tidak berdasar pada pemahaman akal terhadap kebenaran ajarannya, dari tauhid sampai maad, maka mereka masih tergolong muslim dalam istilah ke-imanan, bukan mukmin. Dimana mukmin artinya mengimani dan meyakini kebenarannya. Nah, kalau sesuatu itu belum dipahami dengan akalnya, bagaimana mungkin bisa diyakini kebenarannya? Contoh-contoh ayat yang menggunakan Qalbu untuk akal sbb: 


... وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالِْنْسِ لَهُمْ قلُُوبٌ لَ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَ يبُْصِرُونَ بِهَا



“Dan Kami telah jadikan untuk neraka, manusia dan jin yang banyak, mereka memiliki qalb/hati tapi tidak dipergunakan untuk memahami, punya mata tapi tidak untuk melihat/memperhatikan...” (QS: 7: 179) 


أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الَْرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قلُُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لَ تَعْمَى الَْبْصَارُ وَلَكِنْ
تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ

“Apakah mereka tidak menelusuri bumi, hingga mereka memiliki qalb/hati yang dipergunakan untuk berakal (ya’qiluun = memahami dengan akal), dan telinga yang dipergunakan untuk mendengar, karena sesungguhnya bukanlah mata yang buta, tapi hati yang di dalam dada” (QS: 22: 46). 

Sudah tentu qalbu, baik yang bermakna akal atau perasaan, tempatnya bukan di dada. Dan yang di dada itu adalah hati yang bermakna pemompa darah, bukan perasa, apalagi pemaham. Jd(Jadi), qalbu, baik bermakna akal pemaham atau hati perasa, tempatnya adalah di ruh kita, bukan di dada. Jadi, kata dada dalam ayat ini adalah, semacam dalam diri, dalam hidup dan hakikat manusia. Karena hati yang di dada adalah untuk memompa darah dimana tanpa itu berarti tidak ada kehidupan bagi manusia. 

كَذَلِكَ يَطْبَعُ اللَّهُ عَلَى قلُُوبِ الَّذِينَ لَ يَعْلَمُونَ

“Begitu pula Allah mengunci qalb/hati2(hati-hati) yg(yang) tidak memahami” (QS: 30: 59) ...dll ayat. 

3. Argumen yang dimaksud dalam poin sebelumnya adalah argumentasi gamblang atau berpremis/dalil ilmu mudah yang tidak perlu perenungan terhadap kebenarannya. Dan argument ini sudah tentu akliah dan bukan Qur'aniah. Tentu saja bukan karena kita tidak percaya Qur'an, tapi karena posisi kita sekarang memposisikan diri sebagai orang yang ingin mencari Tuhan, maka sudah tentu harus membuktikan dulu keberadaanNya, kemudian kebenaran utusanNya sebelum mengimani bawaan nabiNya seperti Qur'an. 

4. Mungkin dengan point 3 itu akan ada orang berkata bahwa akal terbatas dan Qur'an tidak terbatas karena dari Tuhan. Jawabannya, pertama, justru karena Qur'an dari Tuhan itulah maka ia bermula dan karenanya menjadi terbatas. Yang ke dua, kalau Qur'an tidak terbatas dan akal sebaliknya, maka Qur'an akan menjadi sia-sia diturunkan karena tidak akan dipahami siapapun. Yang ke tiga, dan kalaulah akal yang terbatas ini dipaksakan untuk memahaminya, maka pahamannya akan jelas menjadi terbatas, dimana kalau karena keterbatasan akal, membuatnya harus ditinggalkan, maka pahamannya tentang Qur'an ini juga harus ditinggalkan. Yang ke empat, pernyataan “akal itu terbatas maka tidak boleh diikuti”, ini pernyataan dari mana. Kalau dari akal, berarti dia juga pernyataan yang kebenarannya terbatas dan tidak boleh diikuti. Dan kalau tidak diikuti berarti kita harus ikut akal yang terbatas. 

Dan kalau pernyataannya itu dari Qur'an, maka justru Qur'an di puluhan tempat dan ayat, menyuruh kita menggunakan akal. Dan kalaulah dipaksakan juga bahwa pernyataan itu dari Qur'an, maka mengapa kita mengambil Qur'an ini dan tidak mengambil kitab-kitab lain. Kalau karena Qur'an juga, berarti kita telah menyandarkan sesuatu pada dirinya sendiri alias ber- berputar-putar. Dan kalau karena akal dalam memilih Qur'annya, maka berarti hal ini harus ditinggalkan juga. Yakni berarti harus ikut akal. Jadi, mau lari kemana saja, tetap larinya ke akal. 

Apalagi, keterbatasn akal bukan berarti tidak mengertinya dia dalam banyak hal, dimana jutaan atau milyarand hal yang dapat diketahui akal itu sudah teramat cukup untuk dijadikan bekal hidup. Contoh paling gamblangnya adalah bahwa kita dengan akal telah memilih agama dan madzhab serta pemahaman-pemahaman tentangnya. 

Atau akan berkata bahwa akal itu relatif dan Qur'an itu hakikat, maka kita harus ikuti Qur'an dan meninggalkan akal. Jawabannya adalah, pertama, kita pasti akan mengikuti Qur'an, tapi setelah membuktikan Tuhan dan kenabian Muhammad saww. Sementara tahap kita sekarang ini adalah dalam tahap pembuktian wujud Tuhan dan belum sampai ke Qur'an. Yang ke dua, kalau kita tidak ikut akal, berati kita tidak bisa ikut Qur'an. Karena Qur'an Yang akan kita ikuti adalah Qur'an yang kita pahami dengan akal kita yang katanya relatif ini. Jadi, menolak akal, sama dengan menolak Qur'an. Yang ke tiga, kalau kita tidak ikut akal, maka kita tidak bisa ikuti Qur'an, karena kita memilih Qur'an dan bukan kitab lain seperti Injil, Weda ..dst, dikarenakan akal kita. Jadi, menolak akal, berarti harus menolak pilihannya juga. 

Ke Empat, pernyataan “akal itu relatif maka harus ditinggalkan dan sebagai gantinya harus ikuti Qur'an saja” ini, dari mana? Kalau dari Qur'an, jelas tidak mungkin, karena puluhan ayatnya menyuruh kita menggunakan akal. Kalau dari akal, maka harus ditinggalkan karena kerelatifannya itu. Dan kalau ditinggalkan berarti kita harus ikut akal sebagai lawan dari pernyataan tsb. 

Lagi pula, betapa banyaknya ilmu akal yang sampai ke tingkat Hakiki atau pasti dan bukan relatif. Yakni, keberannya mutlak dan tidak bisa diganggu gugat. Seperti isi dari ilmu-ilmu matematika, kedokteran, fisika, anatomi, kimia, arkeologi, psikologi, logika, tafsir, rijal, matan hadits, filsafat, ushul fiqih, antariksa .....dst. 

Dengan demikian, maka kita tidak bisa memukul rata -dikarenakan belum sampainya akal kepada pengetahuan benar yang mutlak dalam beberapa pengetahuan- dengan mengatakan bahwa ilmu manusia itu tidak pasti. Pernyataan ini jelas salah besar. Karena banyak sekali pengetahuan manusia itu yang pasti dan mutlak kebenarannya, sekalipun yang tidak diketa- huinya secara pasti, lebih banyak dari yang sudah diketahuinya. Tapi yang diketauinya secara pasti itu, sudah sangat lebih dari cukup untuk mencapai jalan selamat dan Ridha serta Ampunan Tuhannya. 

Dengan demikian pula, dengan alasan relatif, kita tidak bisa mengatakan bahwa ilmu-ilmu manusia yang relatif itu harus ditinggalkan. Karena ilmu-ilmu relatif tsb adalah ibarat akar dihadapan ilmu benar mutlak yang diibaratkan rotan. Jadi, manusia harus memperhatikan dan mengamalkan ilmu-ilmu relatifnya itu sambil mencari rotannya. Karena kalau tidak demikian, maka akan terjadi kehingarbingaran dalam masyarakat manusia dan kehidupan tanpa aturan dan hukum seperti binatang di hutan rimba. Lihat catatan kami yang berjudul “Islam Hakiki dan Relatif”. 

Ketahuilah, bahwa Qur'an diturunkan kepada manusia karena manusia memiliki akal. Jadi, akal tidak bisa dipertentangkan dengan Qur'an karena ia adalah alat untuk memahaminya. Sudah tentu yang dikatakan akal di sini adalah “akal-umum/normal” yang tentu tidak lepas dari kerelatifan dimana akan menghasilkan dua kemungkinan, benar atau salah dalam memahaminya. Namun demikian Allah tetap saja menurunkan agamaNya itu untuk manusia. Tentu kemungkinan salahnya ini sudah diusahakan oleh agama supaya banyak terkurangi, seperti suruhan merenungi ((bukan hanya mendengarnya sepintas), bertanya ke Rasul saww, bertanya ke imam makshum as dan ulil albab serta ulama yang telah mempelajari agama secara akademis. 

Sedang akal-pasti, yaitu yang memiliki pijakan ilmu mudah tadi (nessecery knowlege), maka ianya sudah pasti cocok dengan Qur'an. Hal ini, bukan karena akal menguatkan Qur'an atau sebaliknya. Tapi karena akal dan Qur'an, sebagai alat atau petunjuk mencapai ilmu benar dan sesuai hakikatnya, telah sama-sama sampai kepadanya dan bertemu di titik itu. Beda keduanya hanyalah bahwa Qur'an yang Qur'an, yakni yang sesuai dengan yang dimaksudkan Allah (bukan yang kita pahami yang belum tentu sesuai dengan maksudNya dan kalaulah benar dibarengi dengan proses pencapaian) adalah ilmu kebenaran yang tidak melalui proses pencapaian. 

Karena Qur'an adalah bagian kecil dari ilmu Allah yang pasti benar mutlak dan tidak terbatas itu. Sedang akal-pasti ini melalui proses pencapaian. Seperti ilmu anak kecil yang mulai mengeri bahwa dirinya ada secara pasti, 1+1=2, 3+3=6, ayah dan ibunya serta lingkungannya adalah ada secara pasti...dst. Dan beda lainnya adalah, kalaupun keduanya sama-sama terbatas, tapi Qur'an tetap lebih luas dari capaian manusia dengan akal pastinya itu. Dekaplah erat-erat yang satu ini (hbungan Qur'an dan akal-pasti), karena ianya adalah kunci dari banyak hal dan pemecah dari banyak kebingungan. 

5. Pokok keimanan dalam Syi’ah ada 5 perkara, Ke-Tuhan-an, ke-Adilan Tuhan, kenabian, keimamahan/kepemimpinan dan hari akhirat. 

Di sini ada 3 perbedaan dengan keimanan saudara-saudara kita Ahlussunnah yang menyertakan keimanan pada Malaikat-malaikat, Kitab-kitab (QS: 4:136) dan Takdir baik-buruk dari Allah (tidak ada sumber Qur'annya, yang ada adalah Qur'an yang sudah diijtihadi sebagaimana yang akan jelas dalam masalah ke-Adilan Tuhan nanti, inysaAllah). 

Dalam Syi’ah kedua pertama itu adalah bagian dari keimanan-keimanan yang tidak termasuk “Dasar Agama”, jadi mereka adalah keimanan yang “Cabang Dasar Agama”. Keimanan yang “Dasar Agama” adalah suatu keimanan yang kalau tanpanya agama tidak bisa ditegakkan atau diimani dan diamalkan. Yakni, yang menjadi dasar dari sebuah agama hingga bisa diimani dan diamalkan. 

Oleh karenanya konsep dan unsur-unsurnya berupa konsep dan unsur-unsur Akliah, bukan Qur'aniah, walaupun bisa dinisbahkan kepadanya kerena kepencapaian dan keargumenannya yang terlepas dari segala macam doktrin ke-Ilahiahan (bc: Qru an yang berdalil dengan dalil akal). Hal tsb karena keimanan “Dasar Agama” (Ushuluddin) ini diwujudkan untuk meneliti kebenaran sebuah agama, baik yang diwarisi atau yang memang baru dihadapi dan ditelitinya.

Oleh karenanya, kalau konsep tsb diambil dari Qur'an, maka akan menyimpang dari tujuan asalnya dan kembali menjerumuskan sang pewaris yang ingin keluar dari taklid, ke dalam pewarisan dan ketaklidan lagi, dan membuat sang pencari yang baru, dipaksa mempercayai Firman-firman Tuhan sebelum percaya kepada Tuhan dan UtusanNya. Jelas hal ini sulit dicerna, apalagi diterima. 

Ke-Dasaran “Dasar Agama” atau “Ushulu al-Din” ini, dapat Anda lihat dari contoh berikut ini. Yaitu, orang yang tidak percaya bahwa Tuhan itu Ada dan Adil (misalnya yang baik dimasukkan ke surga dan begitu sebaliknya); Atau tidak percaya bahwa nabi itu harus ada dan Muhammad saww adalah nabi; Atau tidak percaya bahwa setelah Nabi saww ada imam- imam makshum; Atau tidak percaya bahwa akan ada akhirat dan surga-neraka; maka orang tersebut tidak akan mau mengamalkan agama. Inilah yang dimaksud “Dasar Agama”. Atau kalaulah mengamalkannya tidak dengan kemantapan yang sebenarnya. 

Misalnya orang-orang yang tidak percaya akan adanya imam makshum setelah Nabi saww. Bagaimana mereka bisa meyakini akan adanya Shiratu al-Mustaqim, yakni jalan Islam yang 100% lengkap dan lurus serta tidak memiliki kesalahan/ketersesatan sedikitpun (wa laa al-Dhaalliin)???!!! Dan kalau mereka tidak meyakini adanya Jalan Lurus tersebut di dunia ini setelah Nabi saww (karena bagi mereka hanya Nabi saww yang makshum), bagaimana mereka akan mantap memintanya dengan membaca surat al-Fathihah (Tunjukkan kepada kami Jalan yang Lurus) dan mantap mencarinya serta mengamalkannya? 

Sedang keimanan terhadap malaikat-malaikat dan kitab-kitab, dalam Syi’ah, tidak beda dengan keimanan kepada adanya Jin, Syethan, Lauhu al-Mahfuzh, Isra’ Mi’roj, Bidadari, Air susu di surga yang tidak pernah basi, Di surga tidak buang kotoran besar-kecil .... dst. Yakni, keimanan-keimanan ini adalah cabang dari keimanan Dasar tadi, khususnya dari keimanan pada Rasul utusan. 

Karena kalau seseorang sudah mempercayai seorang rasul yang makshum, maka sudah pasti akan menerima apa saja yang dibawa dan diberitakannya. Akan tetapi keimanan-keimanan tsb bukanlah Dasar Agama hingga kalau ada seseorang yang tidak tahu terhadap keberadaannya dalam Islam, maka orang tersebut tidak akan mengamalkan syariat agama atau tidak mantap dalam pengamalannya. Misalnya, kalau Tuhan tidak mengirimi nabi Muhammad al-Qur'an, atau dalam Qur'an tidak diceritakan akan adanya kitab-kitab terdahulu, malaikat-malaikat, bidadari-bidadari...dan seterusnya., maka hal tersebut tidak akan membuat seseorang tidak mempercayai dan tidak mengamalkan agama yang diajarkan Nabi Muhammad saww setelah meyakini kerasulannya. 

Akan tetapi sebaliknya, barang siapa yang tidak mempercayai keimanan-keimanan cabang tersebut, setelah dia beriman kepada Allah, nabi Muhammad saww dan Islam yang dibawanya, dan setelah tahu bahwa keimanan-keimanan itu dibawa nabi Muhammad saww, baik dalam Qur'an atau hadits-hadits yang mutawatir atau shahih dan tidak bertentangan dengan akal dan Qur'an, maka ia bisa kafir karena sama dengan mengingkari pembawa agama (Nabi saww) dan pengirimnya (Tuhan). 

6. Tiga hal yang perlu diketahui oleh segenap pembaca: 

(a) Bahwa dalam keyakinan Syi’ah, Shiratu al-Mustaqim pada masa sekarang adalah imam Mahdi as. Orang-orang yang mengimaninya dan tentu saja 11 imam as sebelumnya juga, adalah orang-orang yang berada dalam naungan imam-imam makshum as atau jalan-lurus (Shiratu al-Mustaqim). Artinya mereka sudah ada pada posisi yang benar dan terarah ke jalan lurus itu. Karena mereka memang telah mengimani jalan-lurus itu (dengan mengimani adanya penjelas yang makshum, yaitu Nabi saww dan 12 imam makshum as) dan selalu mendengar bimbingannya (kalau hadir bersama mereka as), atau mengumpulkan data-data bimbingannya sejak jaman makshum pertama (Rasul saww) sampai ke makshum ke 11 as dan ke 12 as sebelum ghaibnya, yang sudah tentu lebih baik perawian dari perawian golongan lain, karena diawasi para makshum dalam 2 abad lebih. Oleh karenanya orang-orang itu layak untuk selalu meminta kepada Allah jalan- lurus ini. Jadi, orang-orang tsb adalah orang-orang Islam yang benar, diridhai, diampuni dan diterima Allah swt. Lebih rincinya lihat catatan saya tentang Islam Hakiki dan Relatif. 

(b) Dalam pandangan Syi’ah, agama lain dari Islam atau juga kelompok lain dari Syi’ah, adalah agama dan/atau kelompok yang salah. Setidaknya, mereka memiliki kesalahan dalam ajaran agama atau kelompoknya itu. Namun demikian, kalau kebenaran Islam/Syi’ah belum sampai kepada mereka secara benar (melalui muballigh-muballigh, tulisan-tulisan dan sarana-sarana yang benar) dan kalau mereka belum memahaminya dengan benar, dan kalau mereka tidak terhitung malas/anti/tak-perduli untuk mencari yang benar, maka mereka-mereka itu masih dimaafkan Allah dan bisa masuk surga melalui pintu maaf tersebut. 

Jadi, di mata orang-orang Syi’ah, yang bisa masuk surga adalah orang yang benar yang, mengamalkan kebenarannya itu, dan orang-orang yang salah tapi tidak layak diazab karena tidak ada dalil/hujjah terhdapnya karena belum sampai dan belum dipahaminya kebenaran Islam/Syi’ah. Dan orang yang salah ini, juga bisa dari golongan Syi’ah itu sendiri, yaitu orang-orang yang belum dan/atau salah memahmi Syi’ah tsb atau bagian-bagian ajaran tertentunya. 

Jadi, semua yang salah itu, kalau tidak sengaja, dan tidak terhitung sengaja (misalnya: yang bukan Syi’ah malas mencari yang benar sementara peluang itu ada; atau yang Syi’ah malas mencari pemahaman yang benar, atau sengaja mencarinya dengan tidak profesional, misalnya belajar Syi’ah/agama kepada orang-orang yang tidak belajar secara akademik dan meninggalkan yang akademik), maka akan dimaafkan Allah swt. Allah berfirman: 


وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا
رَحِيمًا

“...dan barang siapa keluar dari rumahnya untuk berhijarah kepada Allah dan RasulNya, kemudian dia mati (sebelum sampai), maka telah ditetapkan pahalanya di sisi Allah, sesung- guhnya Allah itu Maha Pengampun dan Pemaaf” (QS: 4: 100) 

Hijrah menuju Allah swt, jelas tidak bisa diartikan dari tempat ke tempat. Oleh karena itu maksud dari hijrah kepada Allah dan Rasul saww, setidaknya, adalah agamaNya dan ajarannya. Berarti rumah di sini adalah rumah ketidaktahuan (kalau belum tahu), atau kesalahan (kalau sudah tahu tapi keliru), dan/atau kekurang kekurangsempurnaan (kalau kebenarannya belum lengkap dalam ilmu dan aplikasinya). 

Kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangan itu, akan dimaafkanNya, karenanya mengatakan bahwa Dia Maha Pengampun. Dan bahkan dipahalaiNya, karena sudah berusaha keluar dari kesalahan dan kekurangan-kekurangan itu. Oleh karenanya Dia mengatakan bahwa Dia Maha Penyayang.

Oleh karena itu, dengan hanya alasan relatif, baik dalam sanad/penukilan atau matan/ arti dari agama (Qur'an-Hadits) dan seluruh ajaran-ajarannya itu, tidak bisa kita katakan bahwa info-info agama itu tidak bisa diterima dan diamalkan. Justru sebaliknya, sampai dimana dan di derajat manapun info dan pemahaman itu dicapai dengan profesional, maka di sana pulalah hujjah dan argumentasi Tuhan untuk mempahalai pencapai dan pengamalnya atau mendosai pencapai yang tidak mengamalkannya. Inilah yang dikatakan “Munajjiziyyat” dalam peristilahan ilmiahnya. Yakni “Penjelas/Pembeda”, karena kebenaran sudah sampai dan dipahami dengan benar pula. Dan disana pulalah Tuhan akan akan menjadikannya dalil dan argumen untuk memaafkan yang belum mencapainya tapi sudah berusaha secara profesional, baik dalam pencapaian info/ sanadnya atau pemahaman/matannya. 

Dan ketidaksampaiannya itu pula akan menjadi dalil bagi hambaNya untuk menerima ampunanNya, karena kalau tidak diampuniNya berarti Dia telah memerintahkan manusia tidak sesuai kemampuannya. Hujjah Tuhan untuk mengampuni dan hujjah manusia untuk memohon ampun itulah yang diistilahkan dalam bahasa ilmiahnya dengan “Mu’adzdziriyyat”, yakni “Peng-uzuran”

Begitu pula sebaliknya, bagi orang-orang yang tidak menerima dan/atau tidak mengamalkan kebenaran yang sampai kepadanya sesuai dengan ukuran usaha dan profesionalismenya itu (relatif), maka ia akan didosa dan dihukum, sekalipun pada kenyataannya yang ia ketahui itu adalah kesalahan. Karena kalau Tuhan tidak mempahalai pengamalnya dan tidak mendosai atau menghukum pelanggarnya, maka berarti sama dengan menyuruh kita hidup tanpa aturan dan hukum sedikitpun. 

Karena pengetahuan kita terhadap kebenaran Islam itu sangat terbatas. Yakni sebatas sejauh mana kita telah mendudukkan argumentasinya itu di atas ilmu-mudah dan gamblang. Yakni yang diterima semua akal-normal dan tidak bisa ditolak siapapun. Dan hal ini, akan sangat sedikit kalau dibanding dengan Islam secara keseluruhan. Karena yang bisa dibangun di atas ilmu-ilmu mudah dan gamblang itu, paling-paling hanya pokok-pokok ajarannya, dan akan sedikit kalau sudah sampai pada detail-detail dan tingkatan-tingkatannya. 

Begitu pula tentang penerapan Islamnya. Misalnya, kita harus selalu melaboratoriumkan masakan istri sebelum dimakan, tubuh istri sebelum dikumpuli, makanan restoran....dst supaya dapat diketahui secara hakiki (bukan relatif) bahwa mereka atau makanannya bersih dari najis, penyakit yang mudharat, bukan bangkai ..dst karena akan menjadikan keharaman dan dosa. 

Hal itu karena, sekalipun mereka tsiqah secara akal-normal dalam sanad, tapi belum tentu jujur kala itu, dan kalau jujur juga kala itu dalam sanadnya, belum tentu benar dalam pemahaman atau matannya, hingga info dan pemahaman dan perbuatannya masih tergolong relatif. Begitu pula harus melaboratoriumkan laboratoriumnya setiap saat supaya dapat diyakini secara pasti, bukan relatif, bahwa ianya tidak rusak. Begitu pula laboratoriun ke dua, ke tiga ..dst dimana pada akhirnya kita tidak bisa makan apapun dan mati kelaparan. 

Dengan demikian maka jelaslah bahwa meninggalkan akal-umum atau akal-normal yang relatif ini, baik dari sisi sanad atau matan, sama dengan hidup barbarian atau mati sama sekali. Namun sebaliknya, tidaklah dengan alasan kerelatifan dalam sanad dan matan itu, kita bisa membolehkan ajaran sesat yang dikenal dengan “Pluralisme” yang dikemas rapi oleh Bapak Pluralisme John Hick dalam bukunya “Problems of Religious Pluralism” itu. Karena Pluralisme bukan Plural sebagaimana arti kata dasarnya. Tapi bermakna “Semua agama dan pandangan –sekalipun seperti atheis komunis liberalis- adalah benar di hadapan Tuhan”. 

Pada awalnya, Pluralisme ini hanya fokus pada kebenaran agama-agama, tapi pada kelanju- tannya menyebar sampai pada kebenaran pahaman-pahaman dan ide-ide. Memang, bagi Islam atau Syi’ah, orang kafir juga bisa masuk ke dalam surga, tapi lewat pintu maafNya, bukan kebenaranNya. Jadi, Islam atau Syi’ah adalah agama yang Toleran dan menerima ke- Pluralan, baik dalam agama, madzhab dan pahaman-pahaman tentangnya, akan tetapi tidak menerima Pluralisme. 

Karena bagaimana mungkin hal yang kontradiktif itu bisa bertemu dalam kebenaran dan hakikat, hingga dikatakan sama-sama banar dan dikatakan bahwa kebenaran itu satu tapi jalannya banyak, seperti yang dikatakan Syurus di Iran yang menafsirkan Jalan Lurus itu dengan Jalan-jalan yang Lurus, dimana telah membuat para ulama Iran menjawabnya dalam berbagai buku, makalah dan lain-lainnya. Lihat tentang pluralisme ini dalam “Islam Hakiki dan Relatif” (catatan Sinar Agama). 

(c) Persatuan antara kaum muslimin, menurut Syi’ah, adalah wajib hukumnya. Terutama dengan dijarahnya negara-negara dan hak-hak muslimin oleh kafirin sejak ratusan tahun lalu sampai dengan hari ini. Begitu pula dengan adanya alasan adanya konsep yang sama dalam aliran-aliran Islam bahwa “tidak ada paksaan dalam agama”. 

Namun demikian, bukan berarti tidak boleh bedialog, berdebat dan salah-salahan. Semua itu boleh asal tidak dengan saling emosi, memaksa, berpecah dan bermusuhan serta tidak saling menolong. Karena ketika saling beda sudah pasti saling menyalahkan, tidak bisa tidak. Tapi karena diantara kita tidak ada yang nabi/rasul, maka penyalahan-penyalahan kita itu, bukanlah menjadi tolok ukur kafirnya seseorang secara hakiki dan masuknya orang tsb ke neraka secara hakiki pula. Karena yang menyalahkan, mengafirkan dan memasukkan ke neraka, adalah sesama kita yang bukan nabi yang makshum dan bukan Tuhan yang punya neraka-surga. 

Namun demikian pula, sebagaimana maklum di atas, penyalahan dan penghakiman itu akan terjadi di akhirat dengan sesungguhnya. Dan dalil yang akan dipakai Allah, sebagaimana maklum di atas, adalah kebenaran yang dicari dan dicapai secara profesional dan diamalkan dengan ikhlash serta dipergaulkan secara Toleran dan Plural, tapi bukan secara Pluralisme. 

7. Bahwa yang saya tulis disini –dan dimana saja- adalah sejauh pengetahuan saya tentang Islam secara Syi’ah. Dan karena saya bukan orang yang mewakili Syi’ah, sekalipun saya seorang Syi’ah yang sudah lama sekali memeluki dan mempelajarinya, maka seluruh kesalahannya –kalau ada- adalah dari kekeliruan saya sendiri. 

Oleh karena itu janganlah dinisbatkan kesalahan-kesalahan itu kepada Islam dan Syi’ah, tapi nisbahkanlah kepada saya pribadi. Dan saya memohon ampun kepada Allah, memohon maaf pada seluruh Makshumin as begitu pula pada seluruh ulama dan segenap kaum muslimin, baik Sunni atau Syi’i, kalau hal itu terjadi. Namun demikian, kalaulah yang saya tulis ini mengandung kebenaran, baik sebagian atau keseluruhannya, maka itupun juga bukan dari saya sama sekali. Akan tetapi pasti dariNya. Baik yang melalui tajalliNya yang berupa Qur'an, Rasul saww (hadits), Imam-imam Makshum as (hadits), Ulama-ulama, Guru-guru, Akal, Fitrah, Lingkungan sekitar dan Alam Semesta.

POKOK-POKOK KE-IMANAN SYI’AH: 

1. KEIMANAN SYI’AH TERHADAP TUHAN 

a). Tentang Adanya Tuhan 

Orang Syi’ah mengimani akan Adanya Tuhan. Dan yang dimaksud AdaNya, adalah Adanya Tuhan yang tidak terbatas yang telah menciptakan alam ini dimana Dia, karena ketidak terbatasanNya itu, berarti selalu ada dan jadi, serta tidak pernah terjadi dan bermula. Dalilnya adalah, kita dan lingkungan kita adalah wujud-wujud terbatas. Dan karena alam ini rangkapan dari wujud-wujud terbatas itu, maka alam ini juga pasti terbatas. Keterbatasan alam ini membuatnya memiliki awal dan akhir. Dan karenanya, sebelum awal ia tidak mungkin ada (tiada). Dan karena sebelum awal ia tidak ada, lalu kemudian setelah awal itu ia menjadi ada, maka ia, pasti diadakan. Karena yang tak ada, tak mungkin mengadakan siapapun, terlebih dirinya sendiri. 

Pengada alam ini, memiliki dua kemungkinan, terbatas atau tidak terbatas. Kalau terbatas, maka ia mestilah memiliki pengada sebagaimana alam ini. Kalau tidak terbatas, maka Ia-lah yang kita katakan Tuhan. Karena tidak berawal dan berakhir dimana karenanya pula maka Dia selalu ada dan tidak diadakan. Pengada ini, seandainya memiliki rantaian, bagaimanapun juga, harus bermuara pada Pengada yang tidak terbatas. Karena kalau semua mata tantainya terbatas, berarti semuanya memiliki batasan yang, membuat mereka memiliki awal dan akhir, sehingga sebelum awal, mereka semua, adalah tidak ada atau tiada. Dan kalau semuanya tiada, lalu dari mana keberadaan kita dan alam kita ini? 

Dengan ini semua maka terbuktilah bahwa Tuhan Yang Tidak Terbatas itu adalah kenyataan yang tidak bisa diingkari. Dia adalah Ada Yang Tak Berpangkal/Berawal (Qadiim) dan Tidak pula Berujung/Berakhir (Azali). Sedang tentang EsaNya (Tauhid), memiliki beberapa pengertian. Esa dalam Zat, Sifat, Penciptaan, Pengaturan alam dan manusia dan Esa dalam Ibadah dllnya. 

b). Tentang Esa Tuhan dalam AdaNya 

Esa dalam Zat adalah tunggal/satu dalam WujudNya. Dalilnya adalah, ketika kita sudah buktikan bahwa keberadaan Tuhan itu tidak terbatas, maka sudah tentu tidak mungkin lebih dari satu. Karena kalau lebih dari satu, pasti semua tuhan-tuhan itu menjadi terbatas, karena sudah pasti, secara otomatis, masing-masing keberadaan mereka (bc: dari sisi eksistensi/ adanya) akan saling membatasi. Dan kalau saling membatasi, berarti masing-masingnya menjadi terbatas. Dan kalau sudah terbatas, berarti semua mereka adalah makhluk, karena pernah tiada sebagaimana maklum di atas. 

c). Tentang Esa Tuhan dalam SederhanaNya (tidak terangkap) 

Maksud Esa dalam SederhanaNya adalah, Tidak Terangkap dari Apapun. Baik dari zat dan zat atau zat dan sifat. 

Dalil SederhanaNya atau KetidakberangkapanNya itu, juga sama seperti dalil ke-Esa-anNya dalam wujudNya, yakni ke-Tidak TerbatasanNya. Karena, ketika Dia adalah wujud yang tidak terbatas, maka sudah pasti tidak akan terdiri dari bagian-bagian. Karena masing-masing bagian akan saling membatasi, dan karenanya semua bagiannya akan menjadi terbatas. Dan kalau Tuhan terdiri dari bagian-bagian dan batasan-batasan, maka Ia pasti juga terbatas sebagaimana maklum. Karena gabungan keterbatasan hasilnya juga keterbatasan seperti alam ini. Dan kalau demikian, maka Ia tidak lagi bisa dikatakan Tuhan, karena Ia pasti memiliki awal-akhir, hingga sebelum awal Ia pasti tidak ada, dan kalau ada setelah itu, maka pasti diadakan seperti alam ini. 

Oleh karena itulah apa yang dikatakan Masehi bahwa Tuhan itu tiga dalam satu dan satu dalam tiga, tidak bisa dibenarkan akal-gamblang. Karena membuat ketiganya dan gabungan mereka menjadi terbatas yang, sudah pasti pernah tiada yang, kalau ada pasti diadakan. Sementara kita tahu yang diadakan itu adalah makhluk, bukan Tuhan. 
d). Tentang Esa Tuhan dalam SifatNya 

Pengertian Esa dalam sifat adalah meyakini bahwa seluruh sifat-sifatNya itu adalah berhakikat sama, begitu pula dengan ZatNya. Oleh karenanya mereka adalah hakikat yang satu, bukan kesatuan dan rangkapan. 

Dalilnya adalah ketdk ketidakterbatasanNya juga. Yakni, manakala Ia adalah wujud yang tidak terbatas, maka sudah pasti tidak akan terdiri dari rangkapan-rangkapan. Dengan demikian, sifat-sifatNya itu, sebenarnya, berhakikat yang sama dan satu. Sementara keberbedaanya hanyalah dalam pahaman kita yang tidak mungkin menggapai hakikat ketidakterbatasan tsb. Memang kita memahami arti tidak terbatas, tapi kita tidak mungkin menggapai ketidakterbatasan itu. Karena keberadaan akal kita terbatas, dan kalau mencapaiNya, maka Ia akan menjadi terbatas pula. 

Namun demikian, kita bisa mengerti arti ketidakterbatasan dan konsekuensinya, yakni sebagai wujud yang mustahil berangkap. Dengan demikian, maksud pensifatanNya dalam Qur'an terhdp DiriNya sendiri, bukan berarti membuat DiriNya terangkap. Tapi hanya ingin menerangkan kepada manusia bahwa Dia tidak kurang suatu apapun alias wujud tak terbatas. Dia tidak memiliki kekurangan ilmu, makanya Maha Alim, tidak kekurangan kekuasaan, makanya Maha Kuasa, tidak mati, makanya Maha Hidup ....dst. 

Kepada manusia yang tidak mengenal apapun dari kebaikan kecuali terbatas dan tidak mampu mengenali apapun kecuali yang terbatas karena keterbatasan akalnya, maka Tuhan mengenalkan DiriNya dengan yang terbaik dari pahaman-pahaman yang terbatas itu. Sebab kalau tidak demikian, maka manusia sama sekali tidak akan terbimbing untuk mengenaliNya sama sekali. Oleh karenanya, Ia tetap mengatakan bahwa Ia tidak sama dengan apapun dan menyuruh manusia untuk menggunakan akal. Seandainya maksud Tuhan dalam pensifatanNya dalam Qur'an itu sebagai rangkapan, maka Tuhan akan menjadi sembilan puluh sembilanitas atau seratusnitas (sesuai dengan jumlah AsmaulhusnaNya), na’udzubillah. 

Tentu saja, tidak semua sifatNya memiliki ciri demikian, yakni tidak terbatas (Qodim-Azali) sehingga dikatakan bahwa semua sifatNya adalah hakikat ZatNya dan tidak berbeda. Karena sebagian sifat-sifatNya ada yang bisa dipahami tanpa menisbahkan atau menghubungkan DiriNya dengan makhlukNya dimana sifat-sifat ini diistilahkan dengan Sifat-Zat, dan ada pula yang harus dihubungkan dengan makhlukNya yang kemudian diistilahkan dengan Sifat- Perbuatan. Sifat-Perbuatan ini adalah bermula dan baru (Haaditsun). Misalnya sifat Pencipta, Pemberi rejeki, petunjuk, pengampun dan sebagainya. Karena sebelum ada makhluk, maka Dia tidak bisa dikatakan Pencipta, Pemberi rejeki, petunjuk, dst. Karena arti Pencipta adalah yang mencipta, Pemberi rejeki adalah yang memberi rejeki begitu pula seterusnya. Namun demikian Dia pasti Mampu dan Kuasa untuk melakukan semua itu. Dengan demikian maka sifat-sifat seperti itu harus dikembalikan dulu pada sifat Zat sebelum kemudian di-sama/esa- kan dengan ZatNya.

e). Tentang Esa Tuhan dalam PenciptaanNya 

Tauhid dalam Penciptaan maksudnya adalah semua yang ada ini, baik yang baik dan/atau kelihatan buruk, semuanya adalah ciptaanNya dan tidak ada yang bisa mencipta kecuali DiriNya. Sudah tentu, penciptaan yang dimaksud bukan berarti harus langsung dari Tangan dan DiriNya. Karena bisa saja, dan bahkan kenyataannya, alam ini tidak langsung dariNya. Kita saja sebagai manusia, badan kita berasal dari janin, janin dari segumpal daging, daging dari darah, darah dari mani, mani dari makanan .....dan seterusnya sampai kepadaNya. 

Dalilnya adalah, akibatnya akibat, akibat pula bagi sebabnya. Oleh karenanya, semua yang ada ini adalah bersumber dari DiriNya. Dan karena kesebabanNya tidak disebabkan siapapun, berbeda dengan kesebaban yang lainNya yang dikarenakan DiriNya baik langsung atau tidak, maka sebenarnya hanya Dialah Sebab yang hakiki itu. Inilah arti tauhid dalam penciptaan. Apalagi kalau ditambahkan suatu kenyataan bahwa akibat tidak akan pernah berpisah/mandiri dari sebabnya, maka sudah pasti bahwa semua akibat yang diakibatkan oleh akibatNya, juga merupakan akibatNya. 

Oleh karena itu kenyataan filosofis tentang makhluk –sebagaimana telah dibuktikan di filsafat (lihat Wahdatu al-Wujud 1-6)- bahwasannya hanya Akal-satu yang dicipta langsung oleh Allah, dan yang lainnya dengan perantaraan, maka sama sekali tidak merusak konsep tauhid ilmu Kalam ini, yakni ketauhidan dan ke-EsaanNya dalam penciptaan. Oleh karena itu, tidak ada sekutu bagiNya. 

f). Tentang Esa Tuhan dalam PengaturanNya 

Maksud tauhid dalam pengaturan alam dan manusia ini adalah hanya Tuhan yang mampu dan berhak mengatur manusia dan alam semesta ini. 

Dalilnya jelas, yaitu ketika hanya Dia yang tidak terbatas, berarti hanya Dia yang tidak kurang sesuatu apapun. Oleh karenanya hanya Dia yang tahu alam/kita ini dari mana, dalam mana dan hendak kemana, apa maslahat dan tidak maslahatnya, bagaimana seharusnya hidup ..dst. Dengan demikian barang siapa yang tidak meyakini hal ini, artinya ia merasa bahwa dalam kehidupan ini merasa ada peraturan/hukum lain yang lebih baik dari yang datang dari DiriNya, atau ada peraturan lain yang diyakini kebenarannya dan mesti diikutinya, atau dirinya merasa mampu membuat peraturan dalam kehidupan ini, maka ia telah melakukan ketidaktauhidan dalam pengaturan ini. Yakni kafir dalam Esa-Pengaturan ini, sehingga ia dalam istilah ilmu Kalam disebut dengan Musyrik, yakni menyekutukan Tuhan dalam kepengaturanNya itu. 

Karena itulah Allah dalam Qur'an mengatakan bahwa siapapun yang menghukum tidak dengan hukumNya maka ia telah kafir (QS: 5:44). Tentu saja, maksudnya di sini adalah kafir dalam pengaturan ini, bukan kafir dalam zat dimana hukumannya adalah dibunuh kalau tidak taubat (bc: kalau murtad, bukan kalau belum masuk Islam), Allahu A’lam. 

Tapi kalau kekufurannya itu disertai dengan keyakinan bahwa hukum-hukum selain hukum- hukum Tuhan tersebut diyakini lebih baik dari hukumNya dan apalagi dia memerangi hukum- hukumNya, maka sangat dimungkinkan bahwa orang seperti ini, telah benar-benar membawa kekufuran dalam pengaturanNya itu, ke dalam kekufuran terhadap ZatNya. 

Karena berarti ia meyakini bahwa Allah telah salah dalam kepengeturanNya itu, atau mengatur tidak dengan hukum yang terbaik dan semacamnya, dimana pada akhirnya mengusik kesucian dan kesempurnaan Zat dan Sifat-sifatNya.

g). Tentang Esa Tuhan dalam Ibadah 

Maksud Tauhid dalam Ibadah adalah, bahwa kita harus beribadah dan/atau mengabdi dan/ atau taat hanya kepadaNya. 

Dalilnya juga jelas, yaitu ketika kita melihat bahwa Dia Ada, Tidak Terbatas dan telah memberi banyak kebaikan kepada kita seperti kehidupan dan segala yang menyertainya (dari nikmat badaniah, ruhaniah, akal, agama dan sampai ke alam dunia-akhirat), maka sudah selayaknya kita mengagungkan dan bersyukur kepadaNya dengan menaatiNya. Terlebih ketika kita tahu bahwa hanya Dia yang berhak dan mampu mengatur kita, maka sudah tentu kita wajib menaatiNya untuk mengagungkan dan mensyukuriNya. 

Apalagi kita juga sudah tahu bahwa karena ketidak ketidakterbatasanNya maka Dia tidak memerlukan apapun, dimana membuat kita sadar bahwa semua peraturan yang dibuatNya demi kepentingan dan kebaikan kita sendiri, maka sudah tentu kita mengerti dengan sepenuh pengertian bahwa kita wajib menaatiNya. Karenanya rukuk dan sujud kita, tidak akan menambah sedikitpun dari keutamaan dan kekayaanNya, karena Dia adalah wujud yang tidak terbatas. Dengan demikian tauhid dalam ibadah yakni menaatiNya sesuai dengan peraturan yang telah dibuatNya. 

Tentu saja –tauhid dalam ibadah dan taat ini- harus ditambah dengan niat karena DiriNya. Sebenarnya, ikhlash yang benar dan profesional, adalah dua unsur ini, yakni taat kepadaNya sesuai aturanNya dan dilakukan karena DiriNya semata. Inilah yang disebut dengan Tauhid/ Esa dalam Ibadah. 

h). Tentang Esa Tuhan dalam sifat-sifat dan hal-hal Negasi (yang harus dinafikan dariNya) 

Dengan penjelasan-penjelasan di atas itu, yakni ketidakterbatasan Tuhan, maka dapat dipasti- kan bahwa Tuhan: 

1. Bukan bendawi hingga terikat (seperti ‘Arsy) seperti yang diyakini sebagian golongan. 

2. Bukan bendawi hingga turun dari ‘Arsy ke langit dunia tiap sepertiga akhir malam seperti yang di Sunni (Bukhari hadits ke 1145; 6321; 7494; Muslim hadits ke 1265; 1813). Karena kalau hal ini terjadi, berarti Tuhan akan terikat dengan ruang dan waktu dan tidak akan pernah naik lagi ke ‘Arsy karena 1/3 malam itu terus berputar di bumi sampai kiamat. 

3. Bukan bendawi hingga terlihat dengan mata di surga seperti bintang purnama atau matahari seperti yang ada dikeyakinan saudara Sunni (Bukhari hadits ke 4581; 6573; 7437; 7439; Muslim 5270; 7628). Padahal kalau terlihat, akan menjadi terikat dengan surga dan depan, karena peristiwa melihatNya itu di surga dan di depan yang melihat, dimana berarti di tempat lain tidak akan ada. Sementara di lain tempat Allah berfirman pada nabi Musa as bahwa ia tidak akan pernah melihatNya (QS: 7:143). Dan arti tidak akan pernah, adalah sampai kapanpun sekalipun di surga. 

4. Bukan bendawi hingga dikatakan punya betis untuk ditunjukkan sebagai bukti keTuhananNya di akhirat hingga orang-orang yang tadinya menolakNya menjadi menerima dan bersujud padaNya setelah betisNya ditnjukkan (Bukhari hadits ke 7439; 6886; Muslim hadits ke 209; 302; 472). 

5. Bukan bendawi hingga dikatakan punya kaki untuk dimasukkan ke neraka yang selalu kurang hingga neraka berkata “cukup-cukup” (Bukhari hadits ke 4848; 4849; 4850; 6661; 7449; Muslim hadits ke 5082; 5083; 5084; 5085; 7354; 7356; 7358; dan lain-lain).

6. Bukan bendawi hingga dikatakan punya rumah di akhirat dimana nanti Nabi saww akan mengunjungiNya di rumahNya itu (Bukhari hadits ke 7002; 7440; 6886). 

7. Bukan bendawi hingga dikatakan tertawa ketika memperlihatkan DiriNya di akhirat (Muslim hadits ke 278; 316; 489) dan lain sebagainya. 

Subhanallahi ‘anma yashifuun, Maha Suci Allah dari apa-apa yang mereka sifatkan kepadaNya. Berlanjut ke: 2- Keimanan Syi’ah tentang Adilnya Tuhan (insyaaAllah). Shalawat!!!! 

Bande Husein Kalisatti and 41 others like this.

Bin Ali Ali: Syukran ya ustadz atas khasanah ilmunya..............he he he. 

Gazali Rahman: Syukron ustad atas tulisan yang sangat bermanfaat ini, izin copy. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih untuk semua dukungan, komentar dan doanya. 

Mohammad Diponegoro: Syukron ustadz.... belum sempat baca tapi suka banget...hehe. 

D-Gooh Teguh: Oom kalau ada tulisan-tulisan semacam ini saya ditag dunk. Agar tidak terlewat menikmatinya. Saya share juga ya. InsyaaAllah saya akan membacai semua note-nya sedikit demi sedikit. 

Bener beginilah. Daripada melayani para tutul yang gak jelas tetapi ikutan menjadi gak jelas dan cela-mencela. Mantap. Salute untuk Anda. 

Zarranggie Syubeir: Subhanallah Note ini sungguh berharga buat saya untuk menambah pengetahuan... Syukran ustad. 

Mohammad Eka Yulianto: Luar biasa.... saya juga mau di Tag note-note seperti ini.... saat ini saya mohon ijin share...

Sinar Agama: Terharu mendengar dukungan dan melihat jempol-jempolnya. Hati terasa bahagia karena bisa menyenangkan friend yakni ikhwan dan akhwat di fb. Tapi, ingat, karena akidah itu tidak taklid, tapi memahami dalil, maka kalau memang ada yang mau didiskusikan atau didebatkan, saya tidak sedih. Tapi usahakan bahasanya yang santun, jangan saling ejek, supaya tidak keluar dari ibadah. Saya tidak menyangkal, bahwa ejekan kadang juga ibadah. 

Tapi menentukan obyeknya supaya jadi ibadah itu sangat sulit dimasa sekarang, khususnya di tempat umum dan dimana harus menggalang persatuan dimana sering demi pihak ke tiga, maka yang ingin bersatu jadi bercerai berai. Ok, mas Teguh, insyaAllah aku kirim nantinya. Saya sering lihat antum di beranda, kirain nggak suka. Oh iya, siapapun yang akan menggunakan tulisanku untuk kebaikan silahkan saja. 

Diskusi Lanjutan Di Kiriman Yang Lain 

23 people like this. 

Etika Maria: Syukran ustadz, atas notenya.. Tika sangat senang baca note-note ustadz!! 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih untuk semua friend karena dukungannya, komentar dan doanya. Oh iya saya tidak tahu berapa banyak bisa ngirim tag, oleh karena itu yang biasa saya kirimi, sudah dikirimi, tapi kalau tidak sampai berarti, sudah kebanyakan. Padahal sudah kukirim dua kali. Jadi tolong kasih tahu kalau masih ada yang belum dikirimi. 

Dhani Toc: Akal itu bukan materi mengbuktikannya kebenaran itu dengan cara mengilhami kebenaran yang pasti adanya seperti 2 akhir dari penjabaran penjumlahan / Dan (ingatlah) ketika Isa ibnu Maryam berkata: ”Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad).” Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: ”Ini adalah sihir yang nyata.” shalli ala Muhammadin wa ala alihi Muhammad. 

Kas Jim: Mencerahkan...

Sinar Agama: Terimakasih atas semua komentarnya. Akan tetapi tulisanku, masih mampu menjawabnya. Dan untuk keberadaan imam Mahdi as pasti bisa dibuktikan dengan akal. Misalnya, tanpa imam Mahdi as berarti jalan lurus sudah tidak bisa lagi diminta dimana akan berakhir pada kesia-siaan hukum Tuhan yang mewajibkan kita memintanya dalam setiap shalat kita sahari-hari. Hanya sekedar nyentil, bahwa 1+1=2, adalah salah satu kebenaran mutlak dalam akal. Dan yang menambahi salah satu atau keduanya dengan identitas yang lain, maka dosa besar, karena dalam contoh tidak ada identitasnya.

Ali Abu Hasan Bafagih: Syukron Alloh yuwassik alaina waalaikum... Penanya Imam Sodiq As: apakah akal itu wahai Imam? ASSODIQ AS: YANG DIBUAT MENYEMBAH ALLOH YANG ROHMAN DAN YANG DIBUAT MENDAPATKAN SURGA-SURGA!.. PENANYA: TERUS YANG DI KEPALANYA MUAWIYAH ITU? ASSODIQ AS: ITU NAKROK SYAITONAH (KEJAHATAN KELICIKAN).... AFWAN SOAL 

1+2=2.. Itu fakta hitungan.. dia bukan ilmu dan bukan akal..! 

Komar Komarudin: Sukron atas pencerahannya Akhi.....semoga bagian kedua bisa cepat terbit... Amin.

Sinar Agama: Terimakasih untuk semua komentarnya dan salam untuk semuanya. 

Sinar Agama: G-R: Dalam pemahaman tentang Islam yang luas dan dalamnya berlapis-lapis, sangat tidak mungkin dijadikan satu tingkatan kebakuan. Itu namanya mengurung kemampuan manusia untuk tidak berkembang. Nah, Islam sudah menyediakan ajarannya sejak dari kemampuan standar terendah sampai tidak terbatas. Nah, kita bebas, mau tidak ambil ilmu, ambil secuil, dua cuil atau sesamudra. 

Sinar Agama: A-A-H-B: Terimakasih komentarnya. Akal itu adalah untuk memahami, sebagaimana nampak dalam puluhan ayat Qur'an dan akal sederhana atau ilmu mudah alias ‘ilmu al-dharuri atau al-badihi. Akan tetapi memahami itu ada dua unsur penting yang tanpa salah satunya, tidak bisa dikatakan akal. 

(1) Memahami masalah dengan akal. Yaitu melalui proses pikir, bertanya ke makshum dan berfikir tentang jawabannya...dan seterusnya yang semua pahamannya itu tidak boleh sembarang memahami. Kalau sembarang memahami maka Qur'an dan Hadits akan menjadi kacau dan keluar dari maknanya. Oleh karenanya memahami perkataan Allah dan makshumin harus pakai kaidah. Misalnya dikomperasikan dengan ayat-ayat dan hadits-hadits yang lain...dst.

Walhasil memahami makshumin juga harus pakai akal. Dimana pendek katanya adalah: Berenung sendiri atau belajar dengan guru yang makshum atau tidak, semuanya harus pakai akal. Dan yang dikatakan akal, adalah pengetahuan yang cocok dengan kenyataannya dan faktanya. Dan obor untuk ke arah fakta ini adalah ilmu-ilmu mudah, seperti 1+1= 2, saya ada, antum ada, lingkungan kita ada, akal ada, Qur'an ada, Islam itu agama Tuhan, manusia itu berfikir, fikiran itu inayah Allah yang harus dipergunakan, angka itu tidak ada wujudnya, esensi itu batasan wujud, Zat Tuhan sama dengan Sifat-sifat-zatiNya......dst dari ilmu-ilmu mudah atau ilmu-ilmu yang bersandar kepada ilmu mudah yang tidak bisa diingkari oleh siapapun. Ini yang pertama. 

(2) Memahami bahwa yang dipahaminya dari ilmu-ilmu itu memiliki konsekuensi, yakni harus diamalkan. Inilah yang dikatakan ”akal-’amali”, dalam ilmu akhlak. Yakni akal yang memahami bahwa yang diketahuinya itu harus diaplikasikan. Misalnya, kita tahu kalau nyetir mobil sambil pejam mata, maka pasti dengan ilmu mudah bahwa kita akan nabrak. Ini akal dan pahaman tingkat pertama. Dan yang ke dua, akal kita mengerti bahwa kita harus mengamalkan ilmu tsb supaya tidak nabrak. Nah, kalau kita tahu masalahnya, tapi tidak mengamalkannya, maka kita belum tahu namanya. Yakni belum tahu secara benar dan sempurna. Karena itulah imam Ali as mengatakan bahwa siapa yang tahu tapi tidak mengamalkan maka ia tidak tahu. Dengan ini dapat dipahami bahwa Muawiyyah itu hanya tahu separuh saja. Yakni tahu kalau imam Ali as itu imam dan makshum yang harus ditaati. Tapi karena dia tidak mengamalkannya, maka akal dia tidak sempurna. Jadi, benarlah apa yang dikatakan imam Jakfar as bahwa akal adalah alat yang dengannya Tuhan itu ditaati. Karena tanpa akal, bagaimana memahami masalahnya hingga dilakukan. Dan tanpa akal bagaimana memahami bahwa yang diketahuinya itu harus diaplikasikan? 

(3) Dan tentang kelicikan-kelicikan dan tipuan-tipuan Muawiyah itu juga demikian. Dia tahu hanya separuh masalahnya saja. Misalnya dia tahu bahwa akal adalah pemberian Tuhan, dia tahu kalau Tuhan akan menghisab kita di akhirat, dia tahu kalau akal untuk mengerti jalan selamat menuju surga yang tentu dengan agama dan ajaran Tuhan. Tapi karena dia tidak mengamalkan yang dikatakan akalnya yang ke dua, bahwa akal itu harus dipergunakan di jalan agama dan Tuhan serta imam Ali as, dimana akalnya juga memahami bahwa harus diapliksikan dalam taat itu, maka, karena tidak mengamalkannya, berarti dia tidak berakal secara sempurna. Karena itulah imam Ja’far as ingin melengkapi pengertian penanya tsb yang melihat bahwa Muawiyah sering menggunakan tipuan dimana pasti menggunakan akal, dengan mengajarinya bahwa akal Muawiyah itu belum sempurna karena akalnya belum mengaplikasikannya atau mengaktualkannya. Maka itu beliau as mengatakan bahwa ”akal adalah alat yang dengannya Tuhan itu ditaati”. Nah, sudah tentu dengan cara memahami dulu masalahnya, lalu memahami bahwa harus diaplikasikan. Karena itulah di tempat lain imam Ja’far as mengatakan bahwa orang taat atau mengabdi atau menyembah yang tidak pakai ilmu (yakni akal pertama yang memahami masalahanya), maka ibarat musafir yang berjalan tidak di atas jalannya yang benar, maka semakin dia cepat berjalan (semakin taat) maka semakin cepat pula jauhnya dari tujuannya. Nah, di hadits tentang Muawiyyah itu adalah penekanan pada akal ke duanya, dan di hadits ini penekanan pada akal pertamanya.

Sinar Agama: F-E-K: Saya sudah lambat ke kelas (jadi hrus pergi sekarang). Nanti kulihat komentar antum. I-Allah. 

Sinar Agama: F-E-K, saya tidak bisa merasakan sepenuhnya ungkapan hati antum itu. Yakni nggak terlalu paham dengan bahasa antum. Tapi secara acak saya akan berusaha mengomentarinya. Jangan ngakak kalau nggak kena. 

(1) Ana melihat bahwa seperti yang dulu ana pernah katakan bahwa kita memiliki perbedaan bahasa dan selera. Tapi nggak masalah karena itulah uniknya hidup. Jadi ya...ra’syih ghitu. 

(2) Pembuktian jalan lurus dengan Qur'an itu sangat mudah. Misalnya di surat Fatihah yang diwajibkan untuk dibaca setiap shalat, kita disuruh meminta jalan lurus. Dan jalan lurus di ayat tsb diterangkan memiliki 3 ciri, yaitu yang diberi nikmat, tidak dimurka dan tidak sesat sedikipun. Kalau ciri pertama di ayat lain diterang bahwa mereka yang diberi nikmat itu adalah para nabi as, Shiddiqin, syuhada’ dan shalihin. Di sini kita lihat masih bisa terjadi pencampuaran antara makshum dan tidak. Karena shalihin, syuhada dan shiddiqin, bisa saja sebelumnya memiliki dosa lalu taubat dan mendapat derajat tinggi itu. Atau orang syahid tidak mesti makshum dulu. Bisa saja dalam keadaan punya dosa dalam masalah lain tapi syahid di jalan Allah. Begitu pula tentang yang tidak dimurka. Tapi ciri ke 3 yakni tidak tersesat sedikitpun, di sini sudah pasti makshum. Nah dengan demikian, ketika Tuhan menyuruh kita meminta jalan lurus itu, berarti ia ada. Dan itulah orang-orang makshum. Dan karena secara ikhtiar orang-orang yang memilih makshum itu hanya dari keturunan Nabi saww yakni yang 12 imam itu, maka merekalah Aalu Ibrahim atau keturunan Ibrahim. Dan ini klop dengan yang diminta nabi Ibrahim as supaya keturunannya juga jadi imam. Karena Tuhan menerima doanya, tapi untuk keturunan-keturunan yang tidak aniaya, yakni yang tidak punya dosa. Karena dosa adalah aniaya untuk dirinya sendiri. Jadi, jalan lurus adalah imam dan dua hal ini harus makshum karena kalau tidak makshum ilmu dan amalnya berarti dia tidak lurus, tersesat, sekalipun tidak sengaja. Dan kalau sengaja berarti aniaya pada diri sendiri. 

(3) Sekali lagi saya tegaskan bahwa dalam bahasa arab qalb itu juga bermakna akal. Sebenarnya ada 3 makna. Untuk badan hati adalah alat pemompa darah. Untuk ruh atau jiwa hati memiliki 2 makna, yang satu maknanya adalah akal pikir dan ke dua jiwa untuk merasa seperti cinta, marah, benci...dll. Nah, Qalbu yang dipakai oleh Tuhan dalam ayat-ayatNya juga memiliki dua makna terakhir ini. Jadi, mengunci mati hati, bisa bermakna nggak mau belajar ilmu yang bermanfaat dan memberi jalan petunjuk kepada jalan keselamatan. Dan saya sangat merasa bahwa kebanyakan hati yang dipakai dalam ayat-ayatNya lebih banyak ke makna akal ini. Makanya mengunci hati yakni tidak mau berdalil dalam ilmu yang manfaat dan/atau tidak mau mendengarkan dalil. 

(4) Tentang Ahmad itu karena memang disukai nabi saww sendiri. Ahmad artinya Yang Memuja. Sama persis dengan dua pangkat yang kontras lainnya, yaitu Budak/hamba dan kerasulan. Nabi kurang suka kalau ada orang bersaksi bahwa beliau adalah rasul dan hambaNya. Tapi lebih suka Hamba dan RasulNya. Yakni Hamba dulu dimana di situlah Nabi saww suka, karena Nabi saww cinta Tuhan dan membudakkan diri padaNya dimana selalu mengarah kepada ketawadhuan. Tapi kalau kerasulan dimana ianya pangkat kemuliaan, maka Nabi saww lebih suka di nomor duakan saja. Tentang Ahmad, karena beliau memulainya dari Memuja itu dan bahkan terus senang dengan memuja itu sampai kakinya bengkak-bengkak karena ibadah walau sudah menjadi nabi dan rasul. Sedang Muhammad adalah terpuji atau terpuja. Jadi Nabi saww lebih suka Pemuja dari Terpuji. Pendek katanya karena yang diberitakan nabi Isa as itu adalah aktifitas Nabi saww karena memang disukainya. Yang kedua nabi Isa as mengenalkan dengan nama Pemuja itu supaya diketahui umatnya dengan mudah. Kalau memakai Terpuji, maka siapa tahu kalau Nabi saww itu terpuji di langit sana. Jadi, Pemuja adalah nama beliau di bumi yang bisa dikenali orang banyak, sedang Terpuji yang nama beliau dilangit itu tidak akan dikenali kecuali oleh para malaikat dan para nabi serta washi/ imam. Ini baru sedikit dari mengapa nabi Isa as mengenalkannya dengan nama Ahmad atau Pemuja, bukan dengan nama Muhammad atau Terpuja. 

(5) Tentang injil, saya tidak tahu apa yang ditanyakan. Tapi yang jelas injil dlm artian Syi’ah bukan injil yang ada ini. Karena dalam Syi’ah injil yang sekarang ini bukan injil yang dulu yang sudah dicampur, bukan. Tapi injil sekarang ini adalah semacam kitab biografi nabi Isa as yang ditulis oleh murid-muridnya. Nah baru setelah itu terjadi penambahan atau pengurangan bisa saja terjadi. Tapi tidak terjadi pada injil yang dulu Tuhan turunkan, karena kitab itu sudah tidak ada lagi. Memang dalam injil sekarang ini bisa saja ada bagian-bagian injil yang kitab Allah itu, karena sangat norma kalau dalam buku biografi seorang nabi dalam sejarah sehari- harinya juga membacakan kitab Tuhan. 

(6) Matematika itu dalam filsafat dan hakikat., tidak memiliki wujud di luar akal. Dia hanya merupakan pahaman akal saja yang tidak memiliki wujud nyata. Tapi bisa diisyarahi. Jadi kuantitas atau anggap yang merupakan kuantitas terpisah ini yang menjadi lawan dari kuantitas menyatu seperti 2 meter, semua kuantitas itu adalah tidak eksis di alam nyata. Dia hanya bisa diisyarahi saja. Inilah yang dalam istilah filsafatnya dikatakan sebagai ”Pahaman Akal ke dua Filsafat” atau ”Ma’qutalu al-Tsaanawiyyati al-Falsafiyah”. Yakni yang keberadaannya hanya di dalam akal dan di luar akal tidak ada wujudnya tapi hanya bisa diisyarahi saja. Misalnya ini 2 telur , 3 telur ..dst. Pahadal yang ada hanya telur-telur yang tidak saling memahami dan menggubris satu sama lain. Tapi kita saja yang menyatukannya dalam kelompok hingga dikatakan 2 atau 3 telur. Nah, ”akal-amali” yang artinya akal yang menyuruh mengaplikasikan apa-apa yang diketahuinya itu yakni yang diketahui ”akal-teori”nya. Jadi akal amali dalam matematika adalah seperti menyuruh mengaplikasikan bahwa barang dagangan yang dibeli 2000 rupian itu dijual diatasnya, jangan dibawahnya, karena bisa rugi. 

(7) Mukjizat Qur'an itu dari berbagai segi. Termsuk dari angka-angka ini. Dan orang-orang barat baru mengerti beberapa tahun atau beberapa puluh tahun terakhir ini. Mereka, karena ingin menyelewengkan muslimin dari tujuan Qur'an sesungguhnya, yakni hidayat menuju jalan hidup merdeka itu, yakni merdeka dari tekanan syetan manusia dan jin dan hawa nafsu, maka mereka membesar-besar mukjizat Qur'an yang angka-angka ini. Bahkan ketika mereka meledakkan gedung kembar yang difitnahkan ke Muslimin demi menjarah afghanistan yang kaya uranium dan strategis untuk mengurung Iran, juga dicocokkan dengan simetris Qur'an ini. Yakni simetris yang dipaksakan tentunya. Karena mereka sudah memasang pondasi pemikiran sebelumnya di kalangan kaum muslimin bahwa Qur'an itu ajib, yakni mengandungi rahasia angka dimana banyak sekali korbannya dalam hal ini dimana akhirnya di semua diskusinya hanya membahas angka-angka itu. Misalnya surat fulan memiliki sekian huruf alif, atau ba’ ...dst, ini berarti cocok dengan yang ini dan yang itu...dst. Memang semua itu, kalau benar, adalah mukjizat Qur'an, karena mukjizat Qur'an adalah dari sisi sastranya. Tapi mukjizatnya ini tidak memberi apa-apa kecuali menyadarkan manusia bahwa ianya dari Tuhan. Nah, tujuan utama Qur'an adalah menghidayahi manusia dengan isi dan makna yang terkandung di dalamnya, bukan di sastranya. Jadi, sastra dimana termasuk keajaiban angka dan jumlah huruf dan ayat-ayat Qur'an adalah hidayah pertama dan mukaddimah supaya manusia tahu kalau itu adalah dari Allah. Tapi setelah itu hidayahnya adalah isi masing- masing ayatnya itu, bukan dari sisi keajaiban angka atau huruf yang dipakai. 

(8) Memang beberapa keajaiban sastra Qur'an seperti huruf dan angkanya, memang terkadang langsung berhubungan dengan beberapa hidayah. Tapi dalam kehidayahannya itupun tetap global, seperti ternyata jumlah kandungan angka ayat fulan sama dengan jumlah angka nama imam, atau jumlah imam dan semacamnya. Tapi semua itu tetap global biasanya. Nah, sekarang ini setelah Qur'an dan Nabi saww dan Imam makshum as itu adalah satu, trus mau apa? Kan pasti jawabannya adalah mau mengkaji ajarannya. Nah, kalau mau mengkaji ajarannya tapi kembali lagi ke penisbatan atau pembuktian mereka, ini kan berarti kita telah berputar-putar di tempat?. Nah, tahapan saya yang saya tulis ini adalah tahapan memahami ajaran Tuhan, Nabi saww dan Qur'an serta imam as, yang mana dalam rahasia angka-angka Qur'an dan Taurat dan Injil bisa dibuktikan kebenaran mereka atau bahwa mereka as adalah satu dan semacamnya. Nah, memahami satu sudut harus dilanjutkan ke sudut yang lain, dan tidak boleh berhenti dan mojok di sudut itu. 

(9) Antum yang katakanlah mempelajari matematika Qur'an itu, mengapa tidak membicarakannya di sini, supaya kita mengambil manfaat, walaupun manfaat awal, yakni mengerahkan audien ke kehebatan Qur'an dan Nabi saww serta imam. Supaya saya juga bisa memudahkan orang lain melanjutkannya dengan penjelasan isinya sejauh kemampuan. Tentu saja saya bisa dengan ijin Allah membuktikan kebenaran Islam, Qur'an, Nabi saww, imam as ..dst, tapi dari filsafat dan semacamnya. Yang bersifat angka itu, memang saya hanya taruh buku dan kitab- kitabnya diantara sekitar 90.000 jilid kitab di rumah. Karena saya memang kurang tertarik walau kadang asyik mendengar beberapa teman atau buku yang membahasnya. Tentu sekali lagi pembahasan sebagai hidayah pertama dan mukaddimah, bukan inti hidayahnya. 

(10) Antum tahu, diantara rahasia angka yang ada di kitab-kitab itu, sampai-sampai bisa meraba hal ghaib. Misalnya ayatullah Hasan Zodeh Omoli/Aamuli hf, waktu kecurian kitab-kitab berharganya, konon melapor ke polisi dan mengatakan sekaligus orang yang mencurinya berdasar kepada ilmu angka itu, termasuk namanya siapa dan rumahnya dimana,...dst. Tapi karena hal itu bukan hujjah lahiriah yang bisa dikontrol langsung oleh makshumin dimana sedang ghaib ini, maka beliau sendiri dan semua ulama syi’ah, tidak ada yang tertarik mengajarkannya dan juga tidak merangsang orang mempelajarinya seperti para imam Makshum dalam beberapa hadits mereka. 

Antum tahu, semua hari, bulan dan tahun dan apa saja dari angka-angka yang terpahami ini memiliki hubungan satu sama lain. itu juga yang dikatakan ilmu falak. Tapi Islam yang dibawa Ahlulbait tidak merangsang hal itu. Karena hal itu adalah hujjah relatif dan ghaib dimana keluar dari dalil dan hujjah kehidupan sehari-hari. Nah, para imam hanya menyuruh kita mempelajari agama ini dengan baik dan mengamalkannya supaya selamat di dunia dan akhirat. Tahu ghaib dsb itu tidak beda dengan tahu lahir. Artinya dia hanya bisa lebih banyak melihat wujud-wujud yang ajaib. Tapi tujuan Islam diturunkan bukan untuk menonton yang lahir dan yang ghaib itu, tapi untuk menaati Allah dalam segala aturan syariatnya yang bergradasi itu. Jadi, kalaulah antum bercerita tentang keajaiban angka ini, jangan bawa audien antum itu hanya kepada menganga-nganga karena ketaajjuban dan keheranan saja. Tapi katakan bahwa setelah kita mengerti bahwa memang Qur'an, Nabi saww dan imam adalah Hak dan benar, mari bersama-sama mengikuti ajaran syariatnya. afwan. 

Sinar Agama: Antum cerita saja yang antum tahu, kita belajar dari antum. 

Sinar Agama: Siti-H: Saudari bisa kunjungi catatan-catatanku semoga bisa bermanfaat. Kalau ada yang mau ditanya dan atau didiskusikan juga boleh. 

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ