Tampilkan postingan dengan label Irfan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Irfan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 28 Februari 2021

Makna Penyempurnaan Filsafat dan Mempertemukan Filsafat dengan Irfan oleh Mullah Shadra ra


seri tanya jawab Dedy Hadi dengan Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/324612974250172/ by Sinar Agama (Notes) on Thursday, December 1, 2011 at 1:59am


Dedy Hadi: Ustadz.....jika Mulla Shadra telah berjasa mempertemukan/menjembatani antara filsafat dan Irfan (akal dan kasyaf). Namun persoalannya, pembentangan wujud menjadi gradasi wujud Mulla Shadra. akan mengembalikan ketidakberadaan menjadi berada dalam pencapaian? Apabila Panteis dimana menyatakan ke-Tuhan-an alam/esensi dan Mulla Shadra bahwa alam itu wujud berarti juga menyatakan ke-Tuhan-an alam/esensi (dalam gradasi wujud). hal kedua pendapat ini akan sampai pada akhir yang sama , seperti pengakuan Al-Hallaj ”saya Tuhan”. Itu bagaimana ustad ?

Senin pukul 18:29 dekat Daerah Khusus Ibukota Jakarta

Rabu, 26 Agustus 2020

Pandangan Mullah Shadra Terhadap Kaum Shufi


Oleh Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/257649570946513/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 6 Oktober 2011 pukul 3:10


Dedy Hadi: Asalammualaikum wr wb....

(1) Ustadz... Apabila Mulla Shadra sudah membertemukan irfan dan filsafat....berarti adalah kesalahan dengan apa yang terjadi pada ajaran sufi,,,yang tidak mencapai Tuhan. tetapi menjadiNya ?

(2) Apakah kitab Mulla Shadra sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.... dan apa namanya?

(3) Apakah akal universal itu ialah pencapaian akal akhir (Tafakur) ? Dan bagaimana bisa ke akal satu ? Bimbinglah saya dalam mengkaji kandungan al Qur'an. Mohon petunjuk !

Senin, 03 Agustus 2020

Wahdatu Al-Wujud, bagian 16


seri tanya jawab: Giri Sumedang dan Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/250780354966768/ by Sinar Agama (Notes) on Saturday, September 17, 2011 at 7:01am


Giri Sumedang: Salam kak..mau nanya..

  1. Sejauh mana kita bisa menembus ke-Tuhan-an kita?
  2. Bagaimana (sedikit) gambaran alam ahadiyah?
  3. Bisakah ada pertemuan esensi kemanusiaan dan esensi keTuhanan? Sebelumnya terimakasih ya kak he..senang berteman dengan kakak ku yang pinter.

Dharma Narendra T P, Faqir Man, dan Giri Sumedang menyukai ini.

Sabtu, 15 Desember 2018

Irfan Boleh Dipahami Tapi Tidak Boleh Dirasakan

Irfan Boleh Dipahami Tapi Tidak Boleh Dirasakan (bagi yang bukan pesuluk)




Seri tanya jawab Heri Widodo dengan Sinar Agama 
by Sinar Agama (Notes) on Monday, March 18, 2013 at 10:38 pm


Heri Widodo mengirim ke Sinar Agama: Rabu (12-12-2012), 

Assalam..wb.Ustad, afwan; Apakah seorang Irfan sangat Ikhlas terhadap apapun yang menimpa dirinya, & ruhaninya sangat ber- gantung total kepada Allah? Mohon penjelasan dan lain-lain. 


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Irfan itu tidak melakukan dosa sama sekali, baik besar atau kecil. Tidak melakukan makruh sama sekali. Tidak menyukai apapun selain Tuhan. 

Nah, kalau kita masih punya dosa, maka jangan sesekali ingin mengejawantahkan perilaku orang- orang irfan ke dalam diri kita. 

Ketika jauh-jauh sebelum jadi irfan sudah meninggalkan semua dosa sebagaimana sering dijelaskan, maka apapun yang menimpa dirinya sebelum jadi irfan itu akan dilihat mengapa hal buruk itu menimpa. Apakah karena kesalahannya hingga ia karenanya telah melakukan dosa. Jadi, kalau hal buruk menimpa, orang yang ingin lepas dari dosa (jauh-jauh sebelum menjadi murid pesuluk dan murid irfan), akan melihat siapa-siapa yang salah dalam hal tersebut, bukan menerimanya. Tapi melihat dengan teliti jangan sampai dirinya sendiri yang salah. Kalau ternyata salah, maka ia harus bertaubat dan memperbaikinya serta kalau berkenaan dengan orang lain, maka ia harus mengqadhaa’ hak orang tersebut, seperti kalau menabrak orang lantaran ngantuk tapi tetep menyetir, atau bisnis sembarangan hingga membuat pemodal yang bekerja dengan kita menjadi bangkrut..... dan seterusnya. 

Antum dan siapa saja, tidak akan pernah mengerti perasaan irfan kalau masih melakukan dosa, makruh dan menyukai dunia. Karena itu, tugas antum adalah menghafal fikih keseharian dan tidak melanggarnya. Kalau sudah mampu maka tinggalkan dengan meninggalkan makruh. Kalau sudah mampu, maka jangan menyukai yang mubah dan apa-apa selain Allah. 

Tapi kalau hanya ingin mengerti tentang orang-orang irfan, maka hal itu tidak sulit. Semua orang bisa mengertinya. Akan tetapi harus mengosongkan diri dari pengkhayalan penerapannya pada diri sendiri. 

Menurut saya yang banyak dosa dan hijab ini, dan dengan disertai permintaan maaf dan kehalalan antum, terlihat dari pertanyaan-pertanyaan antum selama ini, sepertinya, antum ini ingin merasakan yang dirasakan orang arif/irfan. Hal ini yang membuat antum sulit memahami penjelasan-penjelasan alfakir. Karena itu, jangan memaksa diri untuk merasakan yang mereka rasakan. Kalau antum percaya kepada ana dan guru-guru ana, maka lakukan apa yang ana sarankan itu. Hafalkan fikih keseharian dan amalkan hingga antum bebas dari dosa. 

Orang mengira, bahwa fikih itu hanya menjaga najis, wudhu, mandi, shalat dan puasa. Hingga sering mengetatkan diri hanya dalam hal-hal seperti itu. Ini adalah permainan syaithan. Karena seringnya, orang seperti ini sangat-sangat melalaikan fikih yang lain, seperti fikih keluarga. 

Betapa kulihat sebagian orang, ketat dalam thaharah, shalat, puasa...dan seterusnya...hingga kalau perlu perang dengan semua orang yang beda pandangan dengan-nya tentang najis, buka puasa.....dan seterusnya. Akan tetapi, ia sama sekali tidak bertanggung jawab kepada anak dan istrinya. Padahal kewajiban keluarganya itu adalah kewajiban fikih yang justru lebih berat dari fikih-fikih pribadi itu. Karena kalau dosa yang menyangkut orang lain tersebut (anak dan istri) tidak dimaafkan, maka sangat-sangat sulit untuk lepas dari dosa kecuali kalau diqadhaa’nya. Fikih mengatakan bahwa belanja pada keluarga (istri) itu wajib dan kalau tidak dipenuhi akan terhitung hutang yang wajib dibayar (diqadhaa’) kalau sudah mampu. 

Kadang ada lelaki kalau dituntun belanja oleh istrinya, mengatakan bahwa istrinya cinta dunia. Emangnya dunia itu hanya uang dan pakaian? Malah bekerja, fb-an dalam keadaan menelantarkan keluarga...dan seterusnya...adalah cinta dunia yang nyata yang bukan hanya irfan yang mengecamnya, tapi bahkan fikih mengecamnya. 

Kadang ada lelaki yang mengatakan bahwa kalau istrinya tidak melayaninya akan dilaknat malaikat, akan tetapi ia tidak merasa dilaknat seluruh alam ketika bisa tidur dengan nyaman tanpa memenuhi tanggung jawab keluarganya. 

Saya tahu semua itu benar, yakni thaharah, shalat, puasa....dan seterusnya..itu memang harus ketat. Begitu pula seorang istri yang menolak untuk melayani suami akan mendapat laknat dalam tidurnya itu sampai terbangun besok paginya. Akan tetapi, ini hanya separuh saja dari kewajiban- kewajiban fikih itu. Karena lelaki atau seorang muslim, juga masih memiliki kewajiban fikih yang seambrek yang semua itu harus dikerjakan dengan ketat. Mengapa mau mengucap takbir saja waswas tapi kalau membentak istrinya tidak waswas????!!! 

Karena itulah saya sering mengatakan bahwa bawalah kitab fikih itu kemana saja dan baca walau dalam kesempatan yang sedikit tiap kesempatan itu ada. Karena di dalam fikih itu, terdapat uraian terhadap semua kewajiban, baik pribadi, keluarga, sosial, budaya dan politik. Semua ada di fikih. 

Anjuran tertulusku pada antum mas Heri, hadapi dunia ini dengan pemahaman dan perasaan fikih itu. Nanti kalau sudah berhasil meninggalkan semua dosa, maka baru nanti berusaha merasakan peninggal-kan makruh. Kalau sudah, maka nanti akan ana arahkan untuk merasakan peninggal-kan mubah. 

Atau kalau antum mau mengaji ilmunya saja dan tidak mencampurkan rasa dan penerapan, artinya dalam mengkaji irfan antum bisa mengosongkan diri dari pentajallian rasa irfani pada diri antum (yang kukira ada itu, semoga salah), maka ana akan menjawab dengan rinci sesuai dengan keluasan fb ini. Tentu kalau belum saya terangkan di wahdatu al-wujud yang sudah ada. 

Jawaban soalan

Ikhlash secara fikih itu harus profesional. Karena itu, kalau keburukan menimpa kita, maka kita harus melihat secara profesional (sesuai dengan fikih) hingga kita tahu siapa yang salah. Kalau kita yang salah, maka harus taubat dengan cara membenahi dan kalau berhubungan dengan ibadah atau orang lain, maka harus diqadhaa’. Jadi, ikhlash di fikih, bukan menerima yang menimpa, tapi berusaha tidak menyalahi aturan Tuhan yang sudah tertuang di fikih. 

Ikhlash secara irfan, sudah tidak khalash dari dirinya. Khalash yakni sudah selesai dari dirinya sendiri, yakni sudah fanaa’. Jawaban ini tidak akan pernah bisa dipahami kalau tidak disertai penjelasan-penjelasan lain seperti yang sudah diterangkan di wahdatu al-wujud. Jadi, ikhlash di irfan adalah sudah tidak melihat wujud siapapun selain Allah karena selain Allah, hakikatnya tidak ada dan yang terlihat dan yang terjadi hanya berkisar pada esensi saja. Jadi, tidak ada yang terjadi padanya, karena ia tidak ada. Tidak ada yang ia perlu ikhlashkan, karena ia tidak ada. Tidak ada yang perlu ia rasakan, baik sabar atau emosi, karena ia tidak ada. Nah, perasaan-perasaan seperti ini, kalau dilakukan oleh kita-kita yang masih punya maksiat dan dosa, doyan makruh dan apalagi mubah dan karamat serta surga, maka akibatnya.......tidak bisa dibayangkan lagi... Selain kesesatan nyata dan total, tidak ada lagi yang akan bisa kita raih. Na’udzubillah. Wassalam. 

Vito Balataw: Syukron ustadz atas penjelasannya, walau sebenarnya ana malu baca penjelasan ustadz, karena apa yang antum tulis semua ada dalam diri ana, kalau boleh berkata kasar diri ini hanya memikir perut dan di bawah perut semata. 

Khommar Rudin: Allahumma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Minggu, 02 Desember 2018

‘Uzlah dan Mulla Shadra ra




Seri tanya jawab Adam Syarif dengan Sinar Agama
by Sinar Agama on Saturday, January 5, 2013 at 3:59 pm


Adam Syarif mengirim ke Sinar Agama: 5-11-2012, 

Salam. Saya membaca biografi Mulla Sadra, pada perjalanan intelektual/spritual beliau pernah ‘meninggalkan masyarakat’ atau keramaian ke desa kecil selama 10 tahun untuk riyadhah spiritual dan lain-lain. Katakanlah ini saya sebut sebagai uzlah. Hal ini pernah kita juga dapatkan pada perjalanan para nabi seperti Nabi Muhammad dan beberapa filusuf/arif lainnya. 


Yang saya belum dapatkan ialah teori tentang aktifitas ‘tidak umum’ ini bagi kebanyakan masyarakat umum. Semoga Ustadz berkenan memberikan penjelasan tentang uzlah (mengasingkan diri) baik secara filosofis dan irfani. 

Sebelumnya, saya ucapkan terima kasih banyak 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Mulla Shadra ra pergi uzlah itu karena terpaksa. Karena sebagian orang-orang memusuhinya. Beliau tidak meninggalkan masyarakat sama sekali. Beliau hanya pindah ke desa yang lebih sepi yang disertai oleh murid-murid intinya serta keluarganya. Kahak, adalah desa di pinggiran kota Qom yang menjadi tempat tinggal beliau dan sampai sekarang rumah beliau tetap ada di sana. 

‘Uzlah yang meninggalkan semua orang termasuk keluarga, yang biasa dilakukan para Nabi as, tidak berlama-lama apalagi bertahun-tahun seperti Mullah Shadra ra. Karena hal seperti itu tidak dibenarkan agama. ‘Uzlah yang total itu, biasanya tidak lebih dari beberapa hari yang, mungkin sampai 40 hari. 

Yang dikerjakan dalam ‘uzlah total ini, adalah berfikir tentang Tuhan, alam dan diri sendiri, termasuk apa saja seperti masyarakat/sosial. Begitu pula beribadah padaNya. Mungkin nanti hal ini akan dijelaskan di terusan bahasan uzlah. 

Adam Syarif: Iya ustadz, saya tunggu pendalaman bahasannya. Termasuk apakah uzlah 40 hari dengan amalan dan perenungan seperti itu adalah fase ‘wajib’ bagi mereka yang ingin mendekatkan diri padaNya. Atau kegiatan ini bersifat kondisional? jika demikian kira-kira apa syarat-syarat kondisional itu? afwan dan terima kasih 

Sinar Agama: Siapa saja boleh uzlah asal tidak meninggalkan kewajiban lainnya dan tidak terlalu lama. Tapi kalau ada tanggung jawab seperti menafkahi istri dan anak-anaknya atau melindungi mereka supaya merasa aman (misalnya rumahnya agak terpencil hingga keluarganya tidak bisa ditinggal), maka uzlah itu jelas tidak bisa dilakukan dan akan menjadi haram. 

Langkah paling ampuh untuk mendekati Allah adalah dengan belajar fikih keseharian dan menjadikan buku itu buku pegangan setiap saat dan menit. Lalu diamalkan dengan benar dan penuh ketulusan kepadaNya. Di sela-selanya itu, baru sambil meningkatkan ilmu makrifatnya tentangNya dan agamaNya. 

Adam Syarif: Terimakasih Ustadz, I get it. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Rabu, 19 September 2018

Karbala Dalam Tinjauan Sosial, Filsafat dan Irfan


Seri tanya jawab Muhammad Dudi Hari Saputra dengan Sinar Agama

by Sinar Agama on Tuesday, January 8, 2013 at 4:16 pm



Muhammad Dudi Hari Saputra mengirim ke Sinar Agama: 19-11-2012, Salam ustadz. Sekiranya ustadz berkenan untuk menjelaskan peristiwa karbala dari perspektif filsafat, irfan dan sosial ustadz. Syukron wa afwan. 


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Kalau hanya secara ringkas mungkin bisa dikatakan sebagai berikut: 

1- Kalau dilihat dari sisi sosial: 

Setelah imam makshum as tidak diikuti para shahabat-shahabat Nabi saww dan mereka memilih jalan lain, maka sudah tentu mereka, sengaja atau tidak, banyak melakukan perubahan-perubahan dalam Islam. Pembakaran hadits-hadits yang ditulis di jaman Nabi saww oleh Abu Bakar, penolakan terhadap keterangan-keterangan ayat yang ditulis imam Ali as, berbagai peperangan dan puluhan ribu korban berjatuhan, pengharaman mut’ah dalam haji dan dalam kawin, pembuatan taraweh, menambahi adzan (al-shalaatu khairun mina al- naum), pengkafiran tidak menyetorkan zakat ke pusat pemerintahan walau disetor ke yang memerlukan, penghalalan darah, pengkarifan, pemurtadan,........dan seterusnya...., dimana umat yang baikpun terdiam karena takut, maka akhirnya setelah beberapa puluh tahun dari wafatnya Nabi saww, masyarakat sudah benar-benar menjadi masyarakat yang lain. 

Bayangin saja, puluhan tahun Mu’awiyyah mewajibkan pelaknatan terhadap imam Ali as dan keluarganya di mimbar-mimbar shalat jum’at sudah jadi biasa di masyarakat Suriah. 

Walhasill, pendek kata, maka Islam yang ditegakkan Nabi saww sudah punah selain lahiriah shalat, puasa dan haji dan semacamnya. Karena itulah imam Husain as berkata: 

“Seandainya agama nabi Muhammad tidak bisa tegak kecuali dengan terbunuhnnya aku, maka wahai pedang-pedang, ambillah aku!”. 

Tidak tegak ini bukan maksudnya dengan pemerintahan, karena kalau pemerintahan, maka sudah pasti pemerintahan makshum yaitu dengan kepemimpinan beliau as sendiri. Tapi ketika beliau as mengatakan “kecuali dengan terbunuhnya aku”, maka sudah pasti tegaknya Islam yang dimaksudkan adalah “Pengembalian kehidupan masyarakat kepada kehidupan yang dibangun Rasul saww sekalipun mungkin tidak dibawah kepemimpinan makshum”. 

Memang, kepemimpinan makshum ini, sangat menentukan jalannya kehidupan itu, akan tetapi, kalaulah hal itu tidak terjangkau, maka setidaknya masyarakat secara mayoritas berjalan di atas Islam yang sebenarnya. 

Bayangin, ketika masyarakat taat pada khalifah yang pemabok seperti Yazid, maka jelas sudah terlalu jauh dari tatanan yang diinginkan Nabi saww. Di Indonesia saja, jangankan muslim koruptor, orang kafir juga bisa dipilih oleh muslim untuk jadi pemimpinnya. Nah, ini kan sudah jauh dari kehidupan yang dibangun Nabi saww di atas Qur'an dan hadits-hadits beliau saww. 

Dari sisi lain, masyarakat sudah takut kepada pemerintahan kala itu. Jadi, yang tadinya terpaksa menerima perubahan-perubahan itu, lama-lama menjadi biasa. 

Itulah mengapa umat seperti itu harus dihentak keras supaya terbangun dari kehidupannya yang sudah jauh dari Islam itu. 

Nah, penghentakan itu adalah dengan terbunuhnya beliau as dengan seluruh keluarganya dan shahabat-shahabatnya yang setia yang hanya sekitar 50 orang atau 73 orang. 

Rincian penghentakan itu dengan: 

• Terbunuhnya beliau as sendiri yang merupakan cucu Nabi saww dan Ahlulbait yang makshum. 

• Kekejaman yang terjadi pada diri beliau as, seperti dikepung tanpa air dan dikeroyok sampai sekitar 35.000 tentara. Dipancung kepalanya dan diarak sampai ke Suriah dan mulutnya dipermainkan oleh Yazid dengan tongkatnya di depan ribuan orang di pesta kemenangannya itu. 

• Terbunuhnya seluruh cucu-cucu Nabi saww yang menyertai beliau as yang berjumlah sekitar 23 orang dimana kepalanya juga dipancung dan diarak di atas tombak sampai ke Suriah. 

• Terbunuhnya Ali Ashghar yang belum setahun umurnya dengan panah di depan umum. 

• Dirantainya cucu-cucu Nabi saww yang wanita setelah itu dalam tawanan dan diarak ke Suriah dari Iraq. 

• Syahidnya hdh Ruqayyah yang baru 3 th dengan merangkuli kepala ayah beliau as. 

• ...............dan seterusnya. 

Kenapa menghentak? Karena masyarakat tidak semulia imam Husain as hingga menyayangi darahnya ketimbang darah imam Husain as. Karena itulah, para penyair mengatakan “Ya Husan as, darahku tidak lebih merah dari darahmu.” Begitu pula keganasan itu akan membangkitkan hati masyarakat yang tertidur itu. Begitu pula dengan dipanahnya hdh Ali Ashghar yang masih sekitar berumur 9 bulan. Karena Islam tidak mengajarkan dan tidak membolehkan hal itu. Jadi, walau Yazid beralasan dengan alasan apapun seperti ayahnya, misalnya demi mengatur masyarakat supaya dalam aman dan damai...dan seterusnya... tetap tidak bisa diterima. Karena anak kecil yang masih menyusui tidak akan membahayakan siapa-siapa. Begitu pula dengan dirantainya cucu-cucu Nabi saww oleh para umatnya sendiri, semua itu akan membuat marah dan bangkitanya umat dari tidur lelapnya itu. 

Ini tinjauan kecil dan sangat ringkas dari sisi sosial perjuangan Karbala. Intinya, ingin membangkitkan masyarakat dari tidurnya, yaitu yang sudah jauh dari Islam Nabi saww, agar bangun dan kembali ke Islam Nabi saww. 

2- Kalau tinjauan filsafatnya: 

Tuhan itu Maha Suci. Karena itu, tidak mungkin dapat bersentuhan denganNya kecuali kesucian. Shalat, puasa, haji, wudhu, iman, Islam....dan seterusnya...adalah suatu lahiriah yang tidak menjamin seseorang menjadi suci dan bersentuhan denganNya atau dekat denganNya. 

Ajaran-ajaran Islam, baik Qur'an-nya, haditsnya, tauhidnya dan ibadah-ibadahnya, adalah suatu ajaran YANG BISA MENGANTAR KEPADA KESUCIAN, akan tetapi TIDAK MESTI MENGANTAR KEPADA KESUCIAN. 

Jadi, ajaran-ajaran itu HANYA BISA MENGANTAR, tidak bukan pasti mengantar. Mengapa? Karena ia adalah ajaran. Siapan yang lahir batinnya menerimanya, maka akan suci dan siapa- siapa yang tidak menerimanya dengan benar, tidak akan mendapatkan kesucian itu walau, bagi yang udzur akan mendapatkan maaf dan pengampunan. 

Jadi, kesucian itu, hanya bisa didapat dari ajaran Islam yang suci, yakni benar dan diamalkan dengan benar. Karena itulah Tuhan di QS: 56: 79: 

لَ يَمَسُّهُ إِلَّ الْمُطَهَّرُونََ

“Tidak dapat menyentuhnya -Qur'an- kecuali orang-orang yang suci (dari dosa).” 

Dari sisi lain, penciptaan manusia, tidak lain untuk menjadi suci itu seperti yang difirmankan di QS: 51: 56: 


وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالِْنْسَ إِلَّ لِيَعْبُدُونِ

“Dan tidak Kucipta jin dan manusia, kecuali untuk menjadi abdiKu”. 

Ketika Tuhan Maha Tidak Terbatas dimana berarti tidak perlu apapun, maka tujuan ke- abdi-an jin dan manusia itu, sudah tentu untuk diri jin dan manusia itu sendiri, bukan untuk DiriNya. 

Artinya, pengabdian dan penghambaan itu, yakni menaati Tuhan dalam segala bidang kehidupan, yakni menjadikan hukum-hukumNya pedoman dalam segala bidang kehidupan, akan membuat manusia suci dari segala kekotoran dan maksiat. Dengan demikianlah maka manusia itu bisa mendekati Yang Maha Suci. 

Tuhan memang dekat dengan siapapun, tapi KuasaNya, bukan ridha dan keSucianNya. Nah, ketika manusia taat, maka ia layak untuk dekat dengan Ridha dan SuciNya. 

Ketika filsafat membahas esensi sesuatu, dari mana, dimana dan untuk apa, dan ketika diterapkan kepada manusia setelah Nabi saww sampai ke imam Husain as, maka sudah tentu tidak ada jalan lain untuk mensucikan manusia itu kecuali dengan mengembalikan mereka kepada Islam yang murni. 

Itulah mengapa walau imam Husain as terbunuh, tetap menang karena sudah berhasil menghentakkan umat dimana hingga kini ajaran murni itu tetap bertahan walau, masih ditutupi di sana sini oleh musuh-musuhnya. 

3- Kalau dari sisi irfan: 

Ketika wujud dan ada itu hanya satu dan Tuhan, maka selainNya tidak lain hanyalah esensi- esensi dan bukan eksistensi. Jadi, semuanya tidak lain hanyalah wajahNya, namaNya, bayangNya...dan seterusnya. 

Dan ketika hanya Tuhan yang Ada, maka apa yang bisa disayangi dari diri kita hingga merasa berat dan takut untuk mempertahankan keAda-anNya???!!! 

Ketika manusia menentang agamaNya, maka ia bukan saja merasa ada tapi malah merasa menjadi Tuhan. Karena itulah Tuhan mengatakan di QS: 25: 43: 


أَرَأَيْتَمَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ

“Tidakkah kamu lihat orang-orang yang menjadikan dirinya (keinginannya) sebagai tuhannya??”. 

Jadi, hentakan Karbala itu, bagi para arif, adalah pembelaan untuk wujud dan ada, karena dengan hentakan itu, diharapkan bahwa manusia tidak menghargai lagi dirinya yang tak ada itu dan kembali untuk membela si Yang Ada tersebut. 

Semua tulisan di atas itu, tidak mewakili apa-apa dari perjuangan imam Husain as. Tulisan itu teramat sedikit dan teramat kebodohan dibanding hakikat perjuangan beliau as. Tapi karena beliau as sendiri yang mengajarkan kita tidak putus asa dan tetap berfikir, maka semampunya saja kujawab pertanyaan antum. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ


Kamis, 23 Agustus 2018

Kisah Penciptaan Ruh Manusia Menurut Filsafat dan Qur'an



Seri tanya-jawab antara Fan Malaka dan Sinar Agama 
by Sinar Agama (Notes) on Thursday, April 7, 2011 at 3:22 am



Fan Malaka: Assalamu alaikum ustads, saya mau bertanya tentang jiwa, saya pernah dapat referensi yang mengatakan bahwa jiwa itu bermula secara material dan berkelanggengan secara spritual.

Apa maksudnya itu, apakah jiwa itu merupakan materi? Terus dimana batasan antara materi dengan non materi? Tolong penjelasannya. Terimakasih sebelumnya.

Gonzalo ’nanda’ Higuain Haeruddin Syam Deejay Gany

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 



(1). Dalam bahasa Arab hal yang antum tanyakan itu dikenal dengan: ”Maadiyatu al-huduuts wa ruuhaaniyatu al-baqa’ ”, yakni bahwa ruh itu adalah materi secara keberadaannya dan ruhi secara kelanggenngannya. 

(2). Sebelum saya terangkan lebih jauh, perlu diketahui bahwa keyakinan para filosof sebelum Mulla Shadra ra, dan begitu pula para muslimin, meyakini bahwa ruh manusia itu sudah dicipta sebelum badan dan berada di alam ruh atau alam alastu (bukankah Aku Tuhan?). Mereka meyakini bahwa ruh itu ada sebelum badan dan baru setelah badan bayi di dalam perut sudah siap menerimanya, maka Tuhan melalui malaikatNya, meniupkan ruh itu ke dalam tubuh janin yang ada di dalam perut ibunya tsb, yakni sekitar kandungan berumur 4 bulan. 

(3). Dalil bagi para Filosof, adalah dari Plato yang telah membuktikan adanya ”alam mitsal” atau ”alam barzakh” atau ”alam mirip materi” atau ”alam khayal” atau ”alam ide” atau ”alam seperti mimpi” atau ”alam mirip materi selain materialnya atau matternya”. 

(4) Sedang dalil dari muslimin adalah QS: 7: 172, yang berbunyi: ”Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian dari jiwa mereka (seraya berfirman): ’Bukankah Aku ini Tuhan kalian?’ Mereka berkata ’Benar, kami menjadi saksi.’” 

(5) Karena itu, maka alam ruh itu dalam Islam dikenal dengan ”Alam Dzar” atau ”alam bibit” atau ”alam atom” atau ”alam ruh” atau ”alam alastu” (mengambil dari ayat di atas yang berbunyi ”alastu birobbikum”, yakni ”bukankah Aku Tuhan kalian”) karena itu muslimin juga mengistilahkan dengan nama ”alam alastu” yakni ”alam bukankah Aku” ...dst. 

(6). Sebelum saya meneruskan jawaban ini, saya perlu ingatkan Antum pada susunan tiga alam makhluk: Pertama makluk Akal dengan derajatnya yang banyak, yakni malaikat tinggi. Kedua, makhluk Barzakh yang disebut dengan malaikat tengah antara malakat tinggi dan alam materi. Ke tiga, alam materi. 

(7). Allah mencipta langsung hanya Akal-pertama, dan dari Akal-pertama itu, Allah mencipta Akal-ke dua, dan dari ke dua ke ke tiga, begitu seterusnya sampai ke Akal-akhir yang juga dikenal dengan ’Arsy dan Lauhu al-Mahfuzh. 

Dari Akal-akhir itu Allah mencipta malaikat tengah yang dikenal dalam Qur'an dengan ”mudabbiraati amran” atau ”pengatur semesta materi”, seperti malaikat Jibril, Mikail, malaikat hujan, bumi, langit, sungai, laut, angin, .... dan seterusnya dari semua makhluk materi. 

Kemudian dari malaikat Barzakh itu, Tuhan mencipta alam materi ini. 

Semua ini, sudah sering diterangkan di catatan-catatanku tentang filsafat dan irfan atau akidah dan Kalam. Jadi, kalau ingin tahu dalilnya, tentang megapa harus demikian, maka silahkan merujuk ke tempat-tempat itu. 

(8). Sebelum aku teruskan, orang seperti Moldiy (nama akun) itu pusing dengan keberasalan hadhrat Faathimah as bahwasannya beliau as dari jabaruut dan dikiranya hal itu sama dengan Kristen yang mengatakan bahwa Isa as dari titisan Tuhan, karena ketidakmengertiannya terhadap bahasa orang yang berbicara dan dimaknakannya dengan bahasanya sendiri dan ilmunya sendiri yang bak katak dalam tempurung. 

Ketahuilah, bahwa alam Akal itu disebut dengan Jabaruut. Jadi semua materi dari Barzakh yang juga disebut dengan Malaakut, dan Barzakh ini dari Jabaruut itu. Jadi, bukan hanya para nabi dan rasul atau makshumin atau hadhrat Faathimah yang dari jabaruut, tapi semua alam materi ini dari sana datangnya. Karena itulah Jabaruut itu juga disebut denga ”Gudang Tuhan”, atau ”Khazaain” (QS: 15: 21) yang kurang lebih bunyinya: ”Tidaklah setiap sesuatu apapun, kecuali dari gudang Kami, dan Kami menurunkannya sesuai ukurannya”. 

Jadi, kehebatan para makshum as itu bukan dari sananya, tapi ketika kembali dengan ikhtiar taqwanya itulah dimana mereka berhasil kembali lagi ke Jabaruut itulah yang dikatakan kehebatan. Karena manusia banyak mangkal di Barzakh bagian neraka (karena surga neraka bertempat di Barzakh itu), dan kalaulah agak hebat berada di Barzakh bagian surga. Tapi mereka melesat jauh sampai ke ’Arsy, dan di atasnya, sampai ke Akal-pertama dan Asma- asma HusnaNya. Nah, Ilmu Tuhan tentang keberhasilan mereka yang sampai ke tingkat tinggi itulah yang dikatakan bahwa mereka berasal dari sana. Karena Ilmu Tuhan sebelum kejadiannya, rinciannya lihat di Wahdatulwujud. Karena itulah Akal-satu itu dikatakan juga dengan Nur-Muhammad, yakni Ilmu Allah tentang keakan mencapainya Muhammad saww ke maqam itu. 

(9). Setelah kita ingat lagi akan susunan tiga alam itu, maka ketahuilah bahwa yang dimaksud dengan alam ruh bagi yang mengimaninya, adalah alam barzakh itu. Jadi ruh-ruh manusia sudah dicipta di sana dan setelah ada janin yang siap menerimanya, maka ditiupkan ke dalamnya hingga bayi itu menjadi hidup. Nah, pertanyaan Tuhan itu, terjadi di alam ruh yang disebut dengan berbagai nama itu yang, kedudukan alamnya adalah alam Barzakh tersebut. 

(10). Sesuai dengan yang mengimani alam ruh ini, baik karena dalil filsafati atau dalil Qur'ani, maka ruh adalah ruhaaniyyatu al-huduuts dan baqaa’, yaitu bahwa ruh manusia itu adalah non materi secara awal kejadiannya dan begitu pula kelanggenannya. Karena sebelum ditiupkan adalah non materi (ruhi) dan setelah matinya nanti kembali lagi menjadi ruhi atau non materi. Jadi, baik awal kejadiannya atau kelanggengannya, ruh itu adalah ruhi atau non materi.

(11). Akan tetapi bagi Mulla Shadra ra, semua dalil itu, tidak benar dan kurang pada tempatnya. Dengan alasan, bahwa kalau ruh itu dari awal sudah ada, berarti dia hebat dan penuh pengetahuan. Karena sewaktu keberadaannya non materi, maka tidak ada yang terhijabi baginya kecuali keberadaan yang ada di atasnya. Dan karena itulah, mereka yang mengimani itu juga mengiyakannya dan mengatakan bahwa ketika ruh itu menyatu dengan badan maka semua ilmunya sirna karena terhijabi dengan badan. Dan karena itulah, kata mereka, kadang kita ketika melihat sesuatu seperti pernah melihatnya sebelumnya, sebenarnya kejadian itu karena memang sudah dilihatnya sewaktu di alam ruh itu tapi sudah lupa karena hijab badannya. 

Nah, ketika ruh itu tahu segalanya, lalu mengapa Tuhan menurunkannya ke materi hingga menjadi bodoh kembali? Bukankah semua perbuatan Tuhan itu memiliki hikmah? Lalu apa hikmah penurunan ruh yang hebat ini ke alam materi dan kebodohan ditambah dengan syahwat yang nantinya bisa masuk neraka? 

Jadi, bagi MS (kependekan Mulla Shadra ra), hal seperti itu tdk masuk akal karena tidak adanya hikmah dari penurunan itu. Lalu bagiamana menurutnay tentang penciptaa ruh yang non materi ini? 

MS mengatakan: ruh itu memang ditiupkan kepada badan ketika badan bayi sudah siap menerimanya. Akan tetapi yang ditiupkan kepadanya bukan ruh yang sudah ada, tapi pengadaan baru yang dilakukan dengan peniupan itu yang dilakukan oleh malaikat yang mengurusi manusia. 

Artinya, malaikat ruh itu, adalah wujud yang satu. Dia adalah tuhan spesies manusia atau pengatur manusia yang selalu mengontrol perkembangan ruh lemah ke ruh kuat yang biasa dikenal dengan ruh manusia ini dan siap menjadikannya, alias membentuknya menjadi ruh manusia yang de fakto. Jadi, malaikat ruh bukan membuat ruh-ruh yang banyak dan setelah itu meniupkannya ke bayi di dalam perut, bukan begitu. Akan tetapi ia sendiri yang satu itulah yang meniupkan ke dalam badan bayi yang sudah siap itu. Artinya, mewujudkan dan merestui perkembangan ruh yang dikontrolnya itu untuk menjadi manusia. 

Dengan penjelasan yang lain: Ketika seorang ayah makan daging kambing atau biji-bijian yang mengandung hormon, maka benda mati yang disebut materi itu menjadi semakin halus di dalam perut karena menjadi gizi. Di dalam kaidah dan dalil yang lain di filsafat, tidak ada benda yang tidak memiliki ruh. Batu, tanah, biji-bijian, daging, ... semuanya, memiliki ruh. Dalilnya lihat di catatan-catatan sebelumnya. 

Nah, ketika daging atau biji-bijian yang memiliki ruh daya tambang itu (karena kerja ruhnya hanya semacam memutar-mutar atom badaniahnya) menjadi gizi, disini ruh tambangnya belum berubah ke ruh yang lebih tinggi, baik nabati atau hewani. 

Akan tetapi, ketika sudah menjadi mani di kandung mani seorang calon ayah, maka benda mati atau yang hanya ber-ruh dengan ruh tambang itu, kini memiliki ruh yang lebih tinggi, yaitu ruh nabati (berkembang) dan bahkan hewani karena bisa bergerak dengan kehendak. 

Ketika ia bertemu dengan ovum yang juga memliki ruh daya tambang, nabati dan hewani, maka pertemuan kedua benda itu membuat kedua ruhnya juga bertemu. 

Ruh yang bertemu itu semakin hari semakin menguat. Hingga pada sekitar umur 4 bulan, ruh itu sebegitu menguatnya hingga bisa dikatakan ruh manusia. Artinya sudah mulai melakukan gerakan-gerakan manusia walau dalam bentuk keterbatasannya di dalam perut.

Memang, manusia itu dikatakan manusia ketika sudah bisa memahami universal. Akan tetapi karena kepotensian dia di dalam perut dan begitu pula nanti setelah lahir, bisa dikatakan sudah sangat dekat pada de faktonya itu. Karena itu, bayi di dalam perut dan yang sudah lahir tapi belum memahmi universalpun dapat dikatakan manusia, karena kedekatakan potensinya pada de faktonya itu. 

Arti peniupannya itu adalah restu yang berupa pewujudan pada pencapaian ruh pada estafet manusia yang paling dasar itu. Karena semua proses itu tidak bisa terjadi kecuali dengan pengaturan Tuhan yang melalui para malaikataNya itu. Begitu seterusnya berkembang menjadi pandai dan taqwa, atau bodoh tan fasik, atau alim dan fasik .... dan semacamnya, maka pada akhirnya ia mati. Artinya ruhnya meninggalkan badannya. 

Nah, ketika ia mati itulah ia menjadi ruh yang mutlak atau non materi yang mutlak alias tanpa campuran materi lagi. Jadi, Ruh Manusia itu pada awal kejadiannya adalah materi, tapi dalam kesinambungan dan kelanggengannya adalah non materi atau ruhi. 

Inilah yang diaktakan bahwa Ruh Manusia itu materi di awal kejadiannya dan non materi di kelanggengannya. Berbeda dengan yang sebelumnya yang mengatakan non materi atau ruhi di awal dan kesinambungannya. 

Karena itulah yang mngingkari Tuhan dikatakan Kafir, karena ia tidak bisa mengingkarinya. Kafir yakni Coverer atau ”yang menutupi”. Yakni menutupi apa-apa yang ada di hatinya tentang kepercayaannya terhadap adanya Tuhan. Yakni menutupinya dengan kata-katanya yang dusta dengan berkata ”aku tidak percaya adanya Tuhan”. 

Wassalam. 

Bande Husein Kalisatti and 36 others like this

Fatimah Zahra: Ustad, mantap!! Cuma yang jadi pertanyaan saya, apa kah ruh dan jiwa itu sama? Mohon pencerahannya ustad. Syukran... 

Mata Hati: Ustad saya mau tanya, peristiwa Adam dan pohon larangan itu apakah ada di alam mitsal? Dan kalau memang benar demikian tampaknya penciptaan Adam pun berproses melalui materi yang berevolusi sehingga menjadi manusia yang sadar, mohon penjelasannya!

Sinar Agama: Salam dan terimakasih untuk semua jempol dan komentarnya. 

Sinar Agama: Fathimah: Ruh dan jiwa/nafsun itu sama saja. 

Ruh dikatakan ruh karena kecenderungannya pada kenonmaterian mutlak, yaitu Akal-akhir. Karena ruh dari dimensi daya akalnya (dari keempat daya ruh: tambang, nabati, hewani dan akli) bisa melesat sampai ke Akal-akhir dan bahkan Akal-pertama. 

Sedang Ruh dikatakan Nafsun atau Jiwa, karena kepengurusannya terhadap materi. Yakni karena dimensinya dalam mengatur materi atau badannya. Yaitu ruh yg dimensi daya tambangnya (mengatur putaran-putaran atom, darah dst), dimensi daya-nabatinya (mengatur pertumbuhan badannya dan beranak pinaknya) serta dimensi daya-hewaninya (yang mengatur gerak ikhtiari dari pada badannya).

Sinar Agama: Ricok, 

(1). Sebagian orang menafsirkan bahwa Ruh yang dimaksud itu adalah malaikat Jibril as. 

(2). Akan tetapi di tafsir al-Miizaan, dkatakan bahwa ia adalah yang dimaksud Tuhan dalam ayat yang lainnya yang berbunyi: 

“Katakan bahwa ruh itu adalah dari urusan Tuhan!” 

Jadi, Ruh disini adalah wujud non materi sebagaimana telah dijelaskan oleh pengarang tafsir tsb di tempat lain. 

(3). Dalam hadits yang diriwayatkan dalam tafsir di atas yang dinukil dari tafsir al-Burhaan, 

......
بإسناده عن أبي بصير قال∫ كنت مع أبي عبد الله عليه السلام فذكر شيئا من 
:أمرالإمام إذا ولد فقال 
استوجب زيادة الروح في ليلة القدر فقلت: جعلت فداك أ ليس الروح هو جبرئيل؟ فقال: جبرئيل من الملائكة
."و الروح أعظم من الملائكة أ ليس أن الله عز و جل يقول: "تنزل الملائكة و الروح

yang kurang lebih artinya: ...dari Abu Bashiir, berkata: Aku bersama Abu ‘Abdillah as. lalu beliau menerangkan tentang sesuatu yang berkenaan dengan imam dikala lahirnya. Beliaupun berkata: “Imam adalah yang wajib diziarahi oleh Ruh pada malam lailatu al-Qadr.” Aku berkata: “Maaf, bukankah Ruh itu adalah malaikat Jibril?” Beliau menjawab: “Jibril itu dari bangsa malaikat, sedangkan Ruh ini adalah lebih agung dari malaikat. Tidakkah Allah telah berfirman: ‘Turun malaikat dan Ruh. 



(4). Kalau boleh saya simpulkan dari penukilan di atas, maka Ruh yang dimaksud dalam surat al- Qadr yang turun bersama para malaikat dan ia lebih agung dari malaikat itu adalah Makhluk non materi yang mengurusi manusia yang biasa disebut dalam filsafat dengan tuhan spesies manusia. 



Alfakir juga sering mengatakan, terutama dalam menjelaskan tentang penciptaan nabi Adam as (lihat catatan berjudul: Peristiwa nabi Adam as. dalam Pandangan Filsafat -hadiah kecil hari ied al-Ghadiir), bahwa Malaikat yang mengatur manusia ini lebih tinggi dari malaikat-malaikat lainnya. Karena itu tingkatannya di alam Barzakh lebih tinggi dari yang lainnya. Yakni di atas neraka dan surga. Artinya makhluk Barzakh yang ada di kaki ’Arsy atau menjelang ke ’Arsy atau Lauhu al-Mahfuuzh. 



(5). Dalam pembahasan kita di atas, maka Ruh yang kita bahas adalah ruh yang ada pada manusia ini. Dan ruh yang dibahas di surat al-Qadr itu adalah peniup ruh yang ada di bahasan kita di atas itu. 

Semoga sudah jelas dan wassalam.

Sinar Agama: Anggelia, kamu sudah tidak perlu lagi meminta ijin, karena semua orang sudah dibolehkan menampilkan semua tulisanku selain yang berjudul “suluk ilallah” itu dimana saja dan dalam bentuk apa saja, asal untuk kebaikan dan tidak untuk bisnis. Ini dari sisi hukum halal- haramnya. Sedang dari sisi akhlaknya, yang tidak kuwajibkan juga dalam hal ini, maka memang meminta ijin itu adalah bagian dari akhlak. Jadi, jawabkanku, silahkan saja, he he he(.)

Sinar Agama: Abdul Hakim, aku sudah menjelaskan apa yang antum tanyakan itu di catatan- catatanku. Terutama di catatan yg berjudul ”Peristiwa nabi Adam as Dalam Pandangan Filsafat -hadiah kecil hari ied al-Ghadiir” itu. 

Intinya: Badan nabi Adam as dicipta dari tanah dan penciptaannya di bumi. Tentu saja karena dari tanah, maka pasti mengalami proses sesuai dengan hukum alam yang, mungkin kita sekarang belum bisa mengetahuinya. Proses yang tidak kita ketahui itu, yang pentingnya, adalah pengadaan calon badan nabi Adam as ini kepada badan yang layak mendapatkan ruh manusia. Karena itu, sudah pasti dari tanah itu terproses menjadi daging dulu, jantung dulu, darah dulu, mata dulu, paru-paru dulu ....dan seterusnya. 

Nah, setelah badan itu siap, maka ditiupkanlah ruh individu manusia oleh pengurus manusia itu yang juga disebut dengan Ruh A’zham atau Ruh Agung atau juga Ruh Universal dimana lawannya adalah Ruh Individu kita-kita ini. Namun, walaupun nabi Adam as sudah mulai bernafas dan hidup setelah peniupan ruh itu (dimana peniupannya ini juga dari dalam diri seperti yang sudah diterangkan di atas), akan tetapi karena ia adalah manusia pertama, maka Alah mengajarinya dalam wahyu mimpinya. 

Di atas telah dikatakan bahwa makhluk agung non materi yang mengurusi manusia ini menempati tempat atau maqam yang paling tinggi di alam barzakh. Artinya ada di atas surga. Karena itulah, maka nabi Adam as dapat melihat surga kalau Allah mengijinkannya. Dan begitulah yang terjadi. Demi pengajarannya itu. Maka terjadilah apa yang terjadi yang dimuat dalam kitab suci Al-Qur'an itu, sampai beliau dikeluarkan darinya. Yakni bangun dari tidurnya karena sudah lapar yang tidak tertahan dimana dalam Qur'an dikatakan dengan memakan buah terlarang itu. Yakni terlarang karena kalau memakannya menjadi bangun. Yakni terlarang makan buah itu, karena maksudnya adalah perutnya merasa lapar dan ingin makan serta memutusi makan. 

Nah, ketika nabi Adam as memutusi makan karena sudah lapar sekali secara fisik yang ia juga tidak tahu hal itu sebelumnya karena merupakan lapar pertama kalinya, yang telah digambarkan dengan tergiurnya pada buah terlarang itu, maka ia-pun makan buah terlarang tersebut. Tapi dalam mimpi wahyunya itu tergambar dengan tergiurnya yang teramat sangat (yakni gambaran lapar yang sangat) pada buah tsb. Maka terjadilah yang sudah terjadi itu. Yakni harus makan dan memakannya. Akhirnya, beliau as dikeluarkan dari surga, ALIAS bangun dari tidur dan mimpi wahyu pertamannya itu. Dan seterusnya. Wassalam.

Bande Husein Kalisatti: @Ustad SA : kalau boleh ana memahami dari penjelasan antum tentang makan buah khuldinya nabi Adam as, adalah saat Allah swt meniupkan ruh individu manusia (Ruh A’zham) maka metabolisme tubuh (jasad) Adam bekerja.. karena bekerja inilah maka muncul hawa lapar, haus dalam jasad Adam as.. nah karena utulah maka Adam as makan buah khuldi untuk menghilangkan rasa lapar tesebut.. afwan ustad..kalau salah tolong dioreksi.

Sinar Agama: Bande: Tuhan meniupkan ruh individu, yakni ruh Adam as itu melalui Ruh A’zham/ agung. Yang lainnya sudah benar. Karena perutnya lapar, maka nabi Adam as sudah tidak tahan untuk tidak makan buah Khuldi yang dilihatnya dalam mimpinya itu yang ada di dalam surga itu, tanpa ia pahami mengapa tidak bisa mengekang dirinya untuk tidak makan. 

Sedang waswas syethan itu hanyalah keinginan syethan untuk mempercepat bangunnya nabi Adam as supaya bisa cepat diganggunya dan anak keturunannya seperti ia dapat membuktikan kepada Tuhan bahwa ia benar tentang pandangannya bahwa ia lebih afdhal dari manusia.

Muhammad Nawawi Markarma: Dan setelah terbangun dari tidurnya yg pertama, ia melihat dirinya dlm keadaan tidak berpakaian, maka diambillah dedaunan untuk menutupi auratnya, bukan begitu ustad Sinar Agama?

Sinar Agama : Muhammad, benarlah begitu wahai saudaraku...... dan karena seluruh kebaikan atau kesesuaiannya dengan manusia yang ada di alam materi ini berasal dari surga (yang sesuai seperti api dari neraka), maka dedaunan duniapun bisa dikatakan dedauanan surga.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Rabu, 22 Agustus 2018

Tujuan atau Hikmah Penciptaan ?



by Sinar Agama (Notes) on Wednesday, December 8, 2010 at 12:35 am


Sebelum saya menjawab pertanyaan tentang tujuan penciptaan oleh al-Akh Abu Humairoh, ijinkan saya mengenang musibah Karbala terlebih dahulu. 


Pada hari ini, yaitu hari ke dua Muharram ini, adalah hari dimana imam Husain as sampai ke padang sahara Karbala. Kala itu, karena imam as dengan rombongan kecilnya yang sedang menuju Kufah Iraq, dihadang setidaknya oleh seribu tentara yang dipimpin oleh Hur bin Ziyad, dan Hur mengancamnya kalau terus ke Kufah dan begitu pula melarangnya untuk kembali ke Madinah, maka imam Husain as mengambil jalan yang tidak ke Kufah dan tidak pula ke Madinah. 

Suatu ketika, kuda imam Husain as tidak mau jalan lagi, sekalipun sudah mengganti kuda. Imam Husain as bertanya: Apa nama tempat ini?, dijawab: Ghadiriyyah. Imam bertanya lagi: Apa ada nama lainnya?, dijawab: Syathiu al-Furat. Imam bertanya lagi: Apa ada nama lainnya:, dijawab: Karbala. lalu imam as bernafas dalam-dalam, sambil menge-oh ... dan berkata: 

“Ya Allah, aku berlindung padaMu dari Karbun (bencana) dan Bala (petaka). Demi Allah tanah Karbala adalah tanah ini. Demi Allah disinilah tempat para lelaki kita dibantai. Demi Tuhan disinilah wanita-wanita dan anak-anak kecil kita ditawan. Demi Tuhan disinilah kehormatan kita dihinakan. Wahai para pendekar perkasa, turunlah disini, karena disinilah tempat kubur kita semua”. 

Ya Husain...kami semua ikut menderita bersamamu, sungguh ingin rasanya kami semua berada di sampingmu, menjadi tameng dari sabetan-sabetan pedang yang liar dan brutal. Ingin rasanya kami semua berada di depanmu menjadi benteng bagi datangnya hujan panah dan tombak- tombak yang beringas. 

Ya Husain ...sejelek apapun kami ini, setidak pantas apapun kami ini untuk menjadi Syi’ahmu, tapi kami sungguh tidak akan sanggup membiarkanmu sendirian dirajang-rajang para perampok wilayah kenabian yang tersalur dalam wilayah ke-imamahan, tidak akan sanggup membiarkan dada sucimu diduduki Syimr (La’natu ’alaihi) yang sembari menyembelihmu dengan beringas dan kasar. 

Shallalahu ‘alaika ya Aba Abdillah wa ‘ala al-arwahi al-ladzi istushidat ma’aka, tsumma al-la’natu ‘ala a’daika ajma’in. 

‘Azhzhamallahu ujurana wa ujurakum bi al-Husain wa ahli baitihi wa ashhabihi al-maqtulina fi Karbala. Semua Allah mengagungkan pahala kita semua atas kesedihan dan simpatik kita kepada imam Husain dan keluarga serta shahabatnya yang dibantai dan dijagal di Karbala, amin. 

Baiklah, karena tujuan imam Husain as adalah membela Islam secara keseluruhan, baik dari ajarannya atau contoh aplikasinya, maka ilmu-ilmu ke-Islaman juga merupakan salah satu tujuan dan sekaligus alat bagi tercapainya semua tujuan beliau as secara kaffah/menyeluruh. Oleh karena itu maka saya akan menjawab pertanyaan al-Akh Abu Humairoh sebagai berikut: 

Abu Humairoh bertanya : Salam tad : bagaimana pandangan ustad tentang ”MENGAPA ALLAH MENGADAKAN KEHIDUPAN?” TOLONG DIPERKUAT DENGAN AYAT ALQURAN DAN HADITS...TAD.

Sinar Agama: menjawab: 
Tujuan atau Hikmah Penciptaan? 

Banyak juga orang yang memikirkan ciptaan dari sisi tujuannya. Biasanya dengan menanyakan: 

“Mengapa Tuhan mencipta makhluk? Kalau Tuhan tidak punya tujuan, maka Tuhan telah melakukan perbuatan sia-sia dimana hal ini tidak sesuai dengan ke-Hakiman dan ke-Bijakan serta ke-Pandai-anNya, dan kalau punya tujuan, berarti Tuhan menyempurna dimana hal ini tidak sesuai dengan ke-Tidak TerbatasanNya?”

Jawaban terhadap hal ini, sebenarnya, sudah banyak dibahas dalam buku-buku ilmu Kalam (Teologi) dan fisafat. Tapi untuk mengurut dari yang terendah sekalipun, yakni dari yang pikiran awam, maka saya akan paparkan dalam beberapa kriteria yang ada pada umumnya muslimin sebagaimana di bawah ini:

(1). Kriteria awam/umum: 

Yang saya maksudkan dengan kreteria awam ini adalah orang yang tidak pernah memikirkan hal ini. Jadi, pandangannya selalu pada kebesaran Tuhan saja. Mereka tidak pernah memi- kirkan hal ini kecuali pada beberapa kejadian, misalnya ketika menghadapi malapetaka atau kesedihan serta kegagalan. Atau ketika ia telah banyak melakukan kesalahan dan dosa. Yakni ketika mereka gagal dan/atau banyak dosa, lalu biasanya terbetik di dalam hatinya, “Mengapa Tuhan menciptaku padahal aku tidak memintanya dan bahkan tidak mau”. Tentu saja kata- kata seperti ini adalah untuk menutupi kesalahannya atau karena sudah mencapai titik keputusasaan yang tertinggi. 

Mereka tidak menyadarinya, bahwa pertanyaan itu adalah langkah berikut-syetan dalam mempersesat manusia. Yakni mau membawa manusia ke tempat yang kekal abadi dalam dosa dan neraka. Yakni “bunuh diri”, atau “tidak bangkit lagi dalam usaha”, na’udzubillah. 

Padahal, dalam kegagalan dan dosa sekalipun, masih terdapat banyak jalan yang diberikan Tuhan melalui Islam. Kegagalan yang tidak bersumber dari kesalahannya sendiri, pasti akan membuahkan pahala akhirat dan hal-hal baik di dunia yang kita sendiri tidak mengetahuinya. Dan kalaulah kegagalan itu bersumber dari diri kita sendiri juga sebagaimana dosa itu, maka hal itupun masih ada jalan untuk merubahnya menjadi kebaikan dan pahala. Misalnya dengan mengakui, menyesali dan tekun merubah keadaan dan/atau menjauhi dosa dan kesalahannya, maka kegagalan dan dosa tadi, akan berubah menjadi kebaikan dan pahala. Kurang murah apa Tuhan kepada kita manusia? Allah berfirman dalam QS: 25: 70 +/-: 

“Kecuali bagi yang bertaubat dan beriman serta melakukan perbuatan-perbuatan yang baik, maka Allah akan merubah keburukan-keburukan mereka menjadi kebaikan-kebaikan..” 

Jadi, Tuhan bukan hanya mengampuni dosa, tapi dosa dan keburukan itu sendiri akan dirubahNya menjadi kebaikan dan pahala, ketika manusia sudah melakukan perubahan dan taubat. 

Dalam pandangan Filsafat, keburukan yang telah mempengaruhi jiwa manusia dan katakanlah sudah menjadi bagian dirinyapun, tapi selama masih memiliki rangka badani, maka masih pula bisa dirubah, walaupun berat ringannya tergantung sejauh mana ia telah menjadi bagian ruh kita. Artinya kalau ia masih menjadi bagian aksidental atau sifat, maka masih bisa dirubah.

Walaupun tingkatan inipun tergantung pula pada sejauh mana ia telah menjadi aksidental/ sifat itu. Kalau ia semakin kuat, maka semakin sulit pula merubahnya. Oleh karenanya yang cepat bertaubat, akan lebih ringan menghadapi tantangan dari dalam dirinya ketimbang orang yang sering menunda taubatnya. 

Memang, kalau bagian keburukan itu sudah menjadi bagian zat atau substansi jiwa kita, maka hal ini sudah mustahil dirubahnya. Oleh karena itulah kadang Tuhan dalam mengumumkan keadaan mereka itu, memakai kata-kata seperti QS: 2: 18 +/-: 

“Tuli, bisu dan buta, maka mereka tidak akan pernah kembali” 

Atau seperti QS: 2: 7 +/-: 

“Allah telah mengunci mati akal/hati dan pendengaran mereka, dan pendengaran mereka ditutupi, dan bagi mereka siksa yang pedih” 

Catatan 1 : Allah dalam kedua ayat di atas, tidak melakukan penutupan dan penguncian. Karena kalau Tuhan melakukan hal itu, berarti Dia-lah yang harus bertanggung jawab terhadap keburukan mereka setelah ditutup itu. Jadi, ayat di atas hanya mengabarkan kepada kita, bahwa keburukan (begitu pula kebaikan) yang dilakukan berulang-ulang, lama kelamaan akan membuat kita kecanduan. Dan kalau kecanduannya itu menguat hingga membuat kita tidak lagi bisa merubahnya, maka itulah yang disebut telah menjadi bagian zat kita atau substansi kita. Jadi, karena ia telah menjadi zat dan substansi kita, maka sebagaimana sesuatu itu tidak akan berpisah dari zat dan substansinya sendiri, maka perbuatan yang telah mensubstansi itupun tidak akan bisa kita hilangkan dari zat kita. Jadi, kita sendirilah yang telah membuat mata, telinga dan akal/hati kita menjadi buta, tuli dan membatu-hitam. 

Namun, karena semua itu terjadi dalam sistem yang Allah atur sesuai dengan keBijakkanNya, maka sebagaimana sering saya tulis bahwa akibatnya akibat adalah akibat pula bagi sebabnya, yakni pentulian, pembutaan dan pembatuan, merupakan akibat dari manusia dimana manusia merupakan akibat dari Tuhan, maka pembutaan, pentulian dan pembatuan itupun merupakan akibatNya. 

Walaupun begitu, sebagaimana sudah saya terangkan di Pokok-pokok dan Ringkasan Ajaran Syi’ah di bagian ke-Adilan, bahwa yang bertanggung jawab adalah manusia itu sendiri, karena dia adalah sebab dekat dengan perbuatannya itu dimana ia memiliki apa yang kita sebut dengan Ikhtiar. 

Catatan 2 : walaupun mungkin kita mengira bahwa sesuatu itu sudah menjadi substansi hingga terasa tidak lagi bisa dirubah, tetap saja kita tidak bisa memastikannya. Oleh karena itu tidak ada hak bagi siapapun untuk berputus asa merubah keburukannya, dan tidak ada hak pula bagi siapapun untuk merasa aman dalam kebaikannya. Jadi, yang buruk harus tetap berusaha taubat, dan yang baik tetap harus waspada supaya kebaikannya itu tidak berubah. 

Golongan pertama ini, jelas tidak termasuk orang yang mengamalkan ayat perenungan terhadap ciptaan Allah yang dalam Qur'an telah diwajibkan, QS: 3: 190-191 +/-: 

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (190) yaitu, orang-orang yang mengingati Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata: Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau mencipta ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. 

(2). Kriteria Kalam:

Ilmu Kalam, sejauh yang saya tahu, menjawab bahwa Tuhan dalam mencipta ini pasti memiliki tujuan, karena kalau tanpa tujuan, berarti sia-sia, seperti orang yang membuat baju lalu dirobeknya, lalu membuat dan merobeknya lagi, dan begitu seterusnya. Artinya, kalau kita sebagaimana manusia yang sangat terbatas ini saja, tidak boleh dan tidak mungkin melakukan perbuatan tidak bertujuan, maka apalagi Tuhan Yang Maha Pandai dan Bijaksana. 

Namun demikian, karena Tuhan itu tidak terbatas, maka sudah pasti tujuanNya itu tidak untuk DiriNya. Karena kalau untuk DiriNya, maka Dia masih pula memiliki kekurangan hingga perlu dicapainya. Dan kalau demikian halNya, berarti Dia masih memiliki batasan dan, kalau demikian berarti Dia perlu pencipta untuk mengadakanNya. Karena yang terbatas pasti memiliki awal-akhir, dan yang memiliki awal maka pasti sebelumnya tidak ada, dan kalau ada setelah awal itu, maka pasti diadakan oleh yang lainnya. 

Dengan demikian maka tujuan penciptaan Tuhan dalam mencipta makhluk adalah untuk makhluk itu sendiri, bukan untuk DiriNya. 

Dan karena kalau tujuanNya berupa keburukan maka juga akan menjadi tanda bagi keter- batasanNya, maka tujuanNya pastilah kebaikan untuk makhlukNya. Karena yang punya tujuan jelek itu bisa terjadi karena tidak tahu, lupa, tidak sengaja, ngantuk, mabok, buruk akhlak....dst dimana semua sebab-sebab itu adalah tanda bagi kekurangan dan keterbatasan sesuatu. Dan karena Tuhan tidak terbatas, maka berarti tujuanNya adalah kebaikan. Artinya kebaikan untuk makhluk. Yakni “Mencapaikan Makhluk Kepada Kesempurnaan”. 

Dan karena DiriNya adalah Kesempurnaan Tidak Terbatas dan Sumber Bagi Seluruh Kebaik- kan dan Kesempurnaan, karena itulah maka arti menyempurnakan makhluk adalah Men- dekatkannya (makhluk) Kepada DiriNya Sendiri. Jadi, rukuk-sujud kita, puasa kita, tawaf kita, jihad kita ... dan seterusnya adalah untuk kita sendiri. Yakni untuk mendekatkan diri kepadaNya supaya kita menjadi lebih baik, lebih sempurna dari sebelumnya dimana hanya bisa dicapai dengan mendekatkan diri kepadaNya. 

Jadi menurut ilmu Kalam, Tuhan mencipta kehidupan dan makhluk adalah untuk mencapaikan mereka kepada kebaikan dan kesempurnaan. 

Jadi hadits Qudsi yang mengatakan: 

“Aku adalah pusaka (harta karun) tersembunyi, maka Aku mencipta supaya Aku dikenali”, 

maksudnya adalah, Aku mencipta supaya Diri dan Ke-HebatanKu dikenali makhlukKu karena dengan kenal dan mengabdiKu berarti mereka telah menyempurnakan diri karena Aku adalah Kesempurnaan tidak terbatas dan sumber bagi seluruh kesempurnaan. 

Inilah yang dalam banyak ayat dikatakan bahwa Tuhan tidak main-main dalam mencipta, seperti QS: 23: 115 +/-: 

“Apakah kalian mengira bahwa Kami mencipta kalian dalam rangka main-main...?”

(3). Kriteria Filsafat: 

Filosof, melihat bahwa mencapaikan makhluk kepada kesempurnaan, tidak beda dengan penciptaan itu sendiri. Artinya, keduanya adalah sama-sama perbuatanNya. Dengan demikian, maka layak dipertanyakan sebagaimana penciptaanNya itu. Yakni sebagaimana kita bisa menanyakan “Mengapa Tuhan Mencipta Makhluk?”, kita juga bisa bertanya “Mengapa Tuhan Mencapaikan Makhluk Kepada Kebaikan?”. 

Dengan demikian, maka jawabannya ada dua sebagaimana sebelumnya. Yakni kalau tidak punya tujuan, berarti telah melakukan perbuatan sia-sia, dan kalau memiliki tujuan berarti Tuhan menyempurna dimana hal ini tidak sesuai dengan Ke-Tidak TerbatasanNya. 

Filosof mengatakan bahwa Tuhan memiliki tujuan dalam mencipta. Dan tujuanNya itu adalah untuk DiriNya Sendiri, bukan untuk makhlukNya. Mungkin Anda bertanya, “Kalau begitu berarti Tuhan menyempurna dan karenanya Dia adalah terbatas dan akhirnya Dia adalah dicipta sebagaimana maklum?”

Jawabnya adalah tidak demikian. Memang, bahwa Tuhan itu memiliki tujuan dan tujuanNya untuk DiriNya sendiri, akan tetapi tujuan itu tidak mesti membuatNya menyempurna. 

Ketika kita sudah mengetahui bahwa Tuhan tidak terbatas, maka sudah pasti tidak ada kekurangan bagiNya dan tidak ada sesuatu yang tidak dalam cakupan dan kekayaanNya. Kalau demikian halnya, maka tujuan Tuhan itu adalah tidak lain dan tidak bukan, kecuali DiriNya Sendiri. Yakni dengan kata yang lebih ekstrim dapat dikatakan bahwa “Tuhan Mencipta Demi DiriNya sendiri”.

Penjelasan: Tuhan dalam maqam Zat dan IlmuNya terhadap DiriNya sendiri, mengetahui semua Kemampuan dan KuasaNya. Yakni Tuhan Tahu bahwa DiriNya Kuasa Mencipta, Mengampuni, Menghidayahi, Memberi rejeki, Mangadili, Menyantuni, Menyiksa ....dan seterusnya dari sifat-sifatNya. Oleh karena itu Diapun berkeinginan untuk melihat semua Kemampuan dan KuasaNya itu. Oleh karena itu Dia mencipta. 

Jadi tujuan penciptaan Tuhan adalah bahwa “Tuhan Ingin Melihat Kemampuan dan KuasaNya Sendiri”. Inilah yang dikenal dalam Filsafat sebagai “al-Bahjatu al-Dzatiyyah”, yakni “Kesenangan Pada Diri Sendiri”. Jadi, senangnya Tuhan atau bertujuanNya, tidak akan membuatNya berkurang dan menjadi terbatas. Karena yang disenangiNya dan ditujuNya adalah DiriNya sendiri. 

Dengan demikian, hadits Qudsi di atas akan bermakna +/-: “Aku adalah KeMaha Mampuan dan KeMaha Kuasaan dan Kekayaan yang tersembunyi, maka Aku mencipta agar Aku bisa melihat Kehebatan, KeKuasaan dan KeKayaanKu itu sendiri”. 

Namun demkian, karena Tuhan itu tidak terbatas, maka sudah pasti Dia tidak akan pernah memiliki kekurangan apapun. Oleh karenanya semua yang akan keluar dari DiriNya adalah pasti baik, karena Dia adalah Kebaikan Tak Terbatas. Dan KebaikanNya itulah yang akan menyirami semua makhlukNYa walau tanpa ditujuNya dalam tujuan penciptaanNya. 

Artinya, sekalipun Tuhan tidak memiliki tujuan untuk makhlukNya dalam menciptakan mereka, namun, karena Tuhan Maha Baik Tak Terbatas, maka kebaikanNya itu akan mendasari keterdiciptaan makhlukNya tersebut. Oleh karena itulah, pada makhluk itu sendiri terdapat tujuan kebaikan untuk dirinya sendiri. Inilah yang dalam Filsafat dikenal dengan Hikmah Penciptaan, bukan Tujuan Penciptaan. 

Artinya, sekalipun Tuhan tidak memaksudi apapun kecuali DiriNya sendiri dalam mencipta makhluk, namun HikmahNya itu tetap akan menyelimuti makhlukNya. Dengan demikian, apa-apa yang dikategorikan sebagai tujuan pencipataan dalam Kriteria Kalam, akan menjadi Hikmah Penciptaan dalam Kriteria Filsafat. 

Jadi, kalau dalam ayat-ayat di atas yang menyatakan tentang ketidak bermain-mainan Tuhan dalam mencipta makhluk, di dalam Kriteria Kalam dimaknai dengan kepastian adanya tujuan kebaikan untuk makhluk, hingga kalau tanpa tujuan tersebut dikatakan main-main dan sia-sia, maka dalam Kriteria Filsafat, ketidak bermain-mainan dan ketidak sia-siaan di sini dimaknai dengan kepastian adanya hikmah dalam kepenciptaan makhluk. Yakni dalam penciptaan ini pasti ada hikmahnya, yaitu kebaikan untuk makhluk. Karena kalau tanpa hikmah tersebut maka ciptaan ini akan menjadi sia-sia dan main-main. 

(4). Kriteria Irfan: 

Kriteria ini sangat tidak dianjurkan untuk dibaca dan dipikirkan. Jadi, kalau tidak paham, maka tidak usah diresahkan, karena yang tidak percaya hal ini tidak dosa dan tidak masuk neraka. Dia hanya kesempurnaan di atas surga. Yakni, secara praktiknya, hanya milik Insan Kamil yang tidak memperdulikan apapun kecuali Tuhan. Jadi, yang tidak percaya Irfan, tetap muslim dan mukmin serta masuk surga, sekalipun tidak bisa menjadi Insan Kamil dan Fanaa’. 

Dalam Irfan, karena penciptaan itu tidak ada, maka khalaqa yang bermakna dasar pengqadaran dan pembatasan, dimaknai dengan pembatasan Tajalli dan Manifestasi. Tidak seperti Kalam dan Filsafat yang memaknainya dengan pengqadaran dan pembatasan wujud hingga menjadi yang namanya makhluk. 

Tentu saja, Kalam ortodok dan orang awam, lebih parah keadaannya. Karena mereka mengatakan bahwa Tuhan mencipta makhluk ini dari Tiada menjadi Ada/wujud. Padahal, Tiada, jangankan dibuat sesuatu hingga menjadi ada, diberitakan saja tidak bisa. Yakni kalau yang dimaksudkan itu adalah Tiada yang nyata, bukan pahamannya. Jadi, Tiada tidak bisa dikatakan “dibuat”, “membuat dirinya”, “dirinya”, “dari tiada”, “ke tiada”, “dalam tiada” ...dst. Akan tetapi karena dalam pahaman kita Tiada itu dapat dipahami, maka kita bisa memberikan predikat dan sifat-sifat kepadanya, seperti tulisan di atas, yakni “Tiada tidak bisa dikatakan....” 

Rahasia pertama ketidak adaan penciptaan dalam Irfan adalah karena yang selain Tuhan ada- lah tidak ada. Karena Dia tidak terbatas, oleh karenanya tidak mungkin ada wujud lain sekalipun terbatas karena ia akan membatasi ke-BeradaanNya. Lihat catatan Wahdatul Wujud 1-6. 

Rahasia ke dua, ketika Ada itu hanya Tuhan, maka apapun yang nampak ada ini adalah tidak ada. Dan kalau tidak ada, maka apanya yang dicipta? 

Yang bisa kita perkirakan dalam Kriteria Irfan ini adalah semua hikmah yang ada pada makhluk itu diganti menjadi hikmah pada Tajalli. Jadi, semua alasan dan dalilnya, adalah sama, dan yang beda hanyalah pada wujud makhluk –dalam Awam dan Kalam serta Filsafat- atau pada Tajallinya –dalam Irfan.

Sekian dan wassalam semoga bermamfaat bagi kita semua, amin. Assalamu alaika ya Aba ‘Abdilah wa ‘ala ahli baitika wa ‘ala ashhabika al-maktuliina fi Karbala. Duhai betapa inginnya kami bersamamu hingga kami ikut meraup kemenangan agung bersamamu. 



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Selasa, 07 Agustus 2018

Wahdatul Wujud Dalam Pandangan Filsafat Mulla Shadra ra, Masysyaa’ dan Irfan




Seri diskusi ulangan materi lalu, Giri S - Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, August 9, 2011 at 6:03 am



Giri Sumedang: Kak Sinar maaf ganggu lagi nich..he he he.
Giri masih rancu dengan relasi iluminasi yang kaitannya dengan pluralitas wujud... 

Bukankah yang banyak ini tidak bisa kita nafikan.. bahwa Dia yang ADA adalah ADA, dan ADA cuma sendirian (esa,satu, tidak terangkap, tidak berbilang, murni, sebab dari segala sebab, kausa prima, substansi, hakiki, niscaya, dan lain-lain sebutan dan macam istilah) bisa dipandang dalam 2 hal yaitu imanen dan transenden sekaligus.. intinya bagaimana yang banyak ini juga bisa dipandang sebagai yang satu. Mohon maaf kalau pertanyaannnya salah he dan terimakasih ya kak atas jawabnnya.

Siti Handayatini, Roni Astar, dan Giri Sumedang menyukai ini.

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

Saya sebenarnya sudah banyak menulis tentang hal-hal yang mirip dengan pertanyaanmu ini. Yaitu tentang wahdatulwujud yang sudah terdiri dari 14 bagian. Coba saja kamu rujuk ke sana dan telateni apa-apa yang ada di sana.

Ringkasannya: Pandangan terhadap wujud itu bisa dilihat dengan kacamata filsafat yang menetapkan adanya ada/wujud yang banyak. Tapi bisa dilihat dengan kacamata irfan yang mengatakan wujud itu hanya satu.

Kalau di filsafat, wujud yang satu itu memang satu, tapi bergradasi. Yaitu perbedaannya kembali ke persamaannya, yaitu wujud itu sendiri. Jadi, maksud gradasi adalah wujud yang bertingkat yang dibedakan dari sisi wujudnya, bukan esensinya. 


Tapi kalau dilihat dari Irfan, maka wujud itu memang hanya satu dan yang terlihat banyak ini hanyalah esensi saja. Dan esensi itu terdiri dari substansi dan aksidental. 

Koreksi terhadap tulisanmu: Tuhan tidak dikatakan substansi, karena substansi itu adalah esensi. Dan esensi itu adalah batasan. Sementara Tuhan adalah wujud yang tidak terbatas. Karena itu tidak memiliki esensi baik substansi apalagi aksidental.

Giri Sumedang: Maaf kak Sinar.. maksud Giri ya substansi hakiki he.., itupun kalau berkenan kak Sinar dengan istilah yang Giri pakai. Tapi ngomong-ngomong tentang relasi iluminasi antar keberadaanNYA sendiri bagaimana kak.. mohon penjelasannya.. makasih kak he.

Sinar Agama: Substansi hakiki kek atau tidak, maka tidak bisa dikatakan pada Tuhan. Saya belum paham pertanyaanmu misalnya ”antar keberadaanNya sendiri”.... 

Giri Sumedang: Oo begitu ya kak.. tapi kan kak subtansi itu tidak membutuhkan partner untuk disebut sebagai keberadaan.. jadi itu tidak pas ya kak dijadikan istilah untuk Tuhan?? Giri baru mengerti sekarang.

Giri Sumedang: Oo maksud Giri.. keberadaan ini kan pada hakekatnya satu (dari sisi irfan kata kakak ya kan).. tapi kita sebagai manusia pembahas dalam hal ini sebagai subyek yang mengesensikan keberadaan di luar dirinya kan melihat bahwa seakan-akan ada banyak keberadaan dalam peran- peran yang berbeda tentu itu semua sebagai kehadiranNYA yang berupa manifestasi, rupa-rupa, tajalliyah, dan lain-lain.. nah kak bagaimana kita ’’menganggap” bahwa manusia sebagai subyek yang mengesensikan sesuatu di luar keberadaan dirinya itu melihat bahwa semua keberadaan itu adalah satu.. mohon pencerahannya ya kak he terimakasih.

Sinar Agama: Ok, Sebenarnya kalau kamu mau berlelah menelusurinya di catatan wahdatul wujudku itu sudah bisa dijawab. Ringkasnya: 

1. Jawaban filsafat Mulla Shadra ra yang tidak meyakini adanya satu wujud “endil” (saja/hanya), tapi meyakini satu wujud yang bermakna satu yang masih memiliki banyak yang banyaknya ini bukan esensi (seperti manusia, kucing, pohon,air ..dll) tapi juga wujud yang perbedaannya kembali kepada persamaannya, yaitu wujud itu sendiri (inilah makna gradasi wujud), sebagai berikut: 

Wujud yang sebelumnya, seperti Tuhan atau Akal-satu, atau Akal-akhir atau makhluk-Barzakh, atau bumi (terhadap nabi Adam as, pohon dll) atau mani terhadap speciesnya sendiri- sendiri, atau air terhadap hujan ....dan seterusnya itu, adalah sebab bagi wujud berikutannya tersebut. Dan yang disebabkan itu adalah wujudnya, bukan esensinya. Jadi, semua wujud- wujud itu terikat dengan jaringan sebab akibat. 

Jaringan sebab-akibat itu adalah hakiki. Yakni tidak dibuat-buat seperti benda-benda produksi. Sebab itu adalah pesujud hakiki bagi akibatnya. 

Sebab itu mewujudkan akibat dengan dirinya, bukan dengan yang lainnya. Karena sebab dalam filsafat adalah ia sebagai pewujud (memang ada yang hakiki seperti Tuhan, dan ada juga yang perantara seperti selainNya). 

Dengan begitu maka semua akibat itu adalah pewujudan lain dari sebabnya masing-masing. Ini makna Tajalli dalam filsafat. Jadi, semua akibat adalah tajalli dari sebabnya. Yakni bentuk lain dari sebabnya. 

Nah, ketika semua wujud akibat itu adalah tajalli atau pewujudan lain dari sebabnya, dan, semua sebab-sebab perantara itu juga memiliki sebab hakiki yang kembali kepadaNya, maka semua wujud-wujud selainNya itu berarti tajalliNya. 

Dengan demikian semua wujud itu adalah DiriNya. Tapi bisa dilihat dari masing-masing wujud selainNya itu sendiri yang, dalam hal ini menjadi bukan WujudNya. Jadi, satu wujud selainNya bisa dilihat sebgai WujudNya, yaitu ketika dilihat sebagai wujud yang tenggelam dalam WujudNya karena wujudnya adalah PeWujudanNya atau peWujudan manifestasiNya. Tapi bisa dilihat sebagai wujud selainNya, yaitu ketika dilihatnya mandiri dari DiriNya.

2. Jawaban filsafat selain Mulla Shadra ra yang meyakini satunya wujud hanya dalam makna tapi memiliki banyak aplikasi dalam bentuk esensi-esensi, sebagai berikut: 

Hampir sama dengan di atas. Bedanya hanya di letak wujud selainNya itu. Karena wujud selainNya itu adalah keberadaan esensi. Jadi, esensinya itu menonjol dan tidak ditiadakan. Karena itu, keterikatan mata rantai sebab-akibat itu terjadi pada wujud esensi, bukan wujud ansikh/murni. Karena itu, sebagaimana wujud-wujud itu terikat, maka esensi-esensi itu juga terikat. 

Jadi, semua wujud dan esensi itu semuanya bergantung pada sebab hakikinya yang mana itu adalah WujudNya saja. Karena sebab-sebab selainNya itu masih memilki sebab keberadaan juga dimana pada akhirnya berakhir padaNya. 

Jadi, dalam pandangan ini, yang satu itu adalah makna wujudNya, yaitu ”Sesuatu yang memiliki efek -aktif atau pasif”. Tapi banyaknya yang terlihat kita itu adalah esensi-esensi tersebut. 

Kalau di pandangan pertama tadi, satu dan banyaknya itu tetap hanya terjadi pada wujud saja. Karena, bagi filsafat Mulla Shadra, esensi tidak pernah wujud. Dan ini tidak akan bisa dipahami kecuali benar-benar filsafat lama sekali. Dan, yang sudah lama sekalipun dan sudah allamah sekalipun kadang masih tetap tidak memahaminya seperti hujjatul Islam Fayyaadhi (allamah muda. muda bukan dibawah 30 th, tapi tidak senior maksudnya). Karena itu beliau (Fayyaadhi hf) ini mengira bahwa Mulla Shadra memaksudkan wujud disini juga esensi. Karena itu ia memiliki pandangan Ishaalatu Kilaihima. Yakni bahwa wujud itu esensi itu sendiri dan begitu pula sebaliknya. 

Tapi kalau di pandangan ke dua ini mudah dicerna. Karena yang satu itu adalah wujud, yakni pahaman wujudnya, dan yang banyak itu adalah esensinya. Sedang di pandangan pertama, yang satu itu adalah wujud dan yang banyak itu juga wujud.Jadi pandangan ke dua ini, sudah bisa melihat wujud itu tanpa adanya gangguan esensi. 

Tapi ingat, bahwa wujud itu sama sekali tidak terbentuk, tidak berwarna dan seterusnya karena kalau masih memiliki itu semua berarti ia adalah esensi. Karena itu penglihatan kepada wujud itu bukan penglihatan mata, tapi akal. 

Oh iya, nambahi disni bahwa esensi itu adalah batasan wujud. Seperti manusia dimana ia pasti memiliki wujud (walau wujudnya itu tidak terlihat) dan pasti juga memiliki batasannya, yaitu manusia itu sendiri dimana ia bukan pohon, air, kucing, batu ..dll. Nah, bagi filsafat pertama di atas, esensi-esensi ini sudah terlihat akal mereka karena memang tidak ada (dalilnya tidak bisa dipecahkan disini). Tapi bagi filsafat ke dua, masih terlihat dan justru dia yang terlihat. Yakni wujudnya tidak terlihat tapi batasannya atau esensinya itu yang terlihat. 

Tapi ingat, di filsafat pertama melihatnya pakai akal dan tidak mengandalkan mata, tapi di filsafat ke dua sebaliknya.

3. Jawaban Irfan yang hanya meyakini bahwa wujud itu hanya satu dan dia hanyalah Tuhan, sebagai berikut: 

Ketika wujud itu hanya satu (argumentnya lihat di wahdarulwujudku itu), maka selainNya ini, hanya esensi. Dan esensi-esensi ini tidak wujud dan bukan wujud. Dia hanyalah sesuatu yang bergelantungan pada wujud. Dan karena ia bergelantungan pada wujud, maka esensi-esensi itu banyak tapi wujudnya satu. 

Tapi ingat bahwa esensi-esensi yang banyak itu hanyalah dalam maya, karena ia bukan wujud itu sendiri. Jadi, dia hanya seperti ada, tapi bukan ada. 

Namun demikian, esensi-esensi yang maya itu, bagi kita, dapat mengantarkan akal kita kepada wujud itu. Artinya, dengan melihat maya-maya tadi, kita bisa memahami bahwa ada itu benar-benar ada. 

Karena itulah maka esensi-esensi maya itu disebut dengan Tajalli Wujud; Cermin Wujud; Wajah Wujud; Bayang Wujud; Cerita Wujud; Nama Wujud; ....dan seterusnya. 

Penutup: Semua itu adalah jawaban soalanmu yang bisa menelorkan soalan yang lain. Setidaknya dalil dan argumentasi dari semua pandangan di atas. Yakni dalil kebenaran dakwaan masing-masing pandangannya sebelum menjawab pertanyaanmu tentang keruwetan satu dan banyak itu. 

Nah, untuk mengetahui semuanya, maka bisa merujuk ke kitab-kitab filsafat dan Irfan, tapi bisa juga merujuk ke catatan-catatanku tentang wahdatu)al-wujud itu yang sudah terdiri dari 14 bagian.

Giri Sumedang: Ya kak makasih .. gamblang sekali jawabannya. Wassalam. 

Alia Yaman and 9 others like this.

Danesh: Kenapa ya ustadz... saya suka pusing kalau baca masalah irfan... apa akal saya tidak sampai ya? 

Sinar Agama: Irfan itu tidak wajib diketahui. Akidah dan fikih itu yang wajib. Tidak usah gelisah. 

August 9, 2011 at 7:40am · Like · 2




اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ