Sabtu, 15 Desember 2018

Irfan Boleh Dipahami Tapi Tidak Boleh Dirasakan

Irfan Boleh Dipahami Tapi Tidak Boleh Dirasakan (bagi yang bukan pesuluk)




Seri tanya jawab Heri Widodo dengan Sinar Agama 
by Sinar Agama (Notes) on Monday, March 18, 2013 at 10:38 pm


Heri Widodo mengirim ke Sinar Agama: Rabu (12-12-2012), 

Assalam..wb.Ustad, afwan; Apakah seorang Irfan sangat Ikhlas terhadap apapun yang menimpa dirinya, & ruhaninya sangat ber- gantung total kepada Allah? Mohon penjelasan dan lain-lain. 


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Irfan itu tidak melakukan dosa sama sekali, baik besar atau kecil. Tidak melakukan makruh sama sekali. Tidak menyukai apapun selain Tuhan. 

Nah, kalau kita masih punya dosa, maka jangan sesekali ingin mengejawantahkan perilaku orang- orang irfan ke dalam diri kita. 

Ketika jauh-jauh sebelum jadi irfan sudah meninggalkan semua dosa sebagaimana sering dijelaskan, maka apapun yang menimpa dirinya sebelum jadi irfan itu akan dilihat mengapa hal buruk itu menimpa. Apakah karena kesalahannya hingga ia karenanya telah melakukan dosa. Jadi, kalau hal buruk menimpa, orang yang ingin lepas dari dosa (jauh-jauh sebelum menjadi murid pesuluk dan murid irfan), akan melihat siapa-siapa yang salah dalam hal tersebut, bukan menerimanya. Tapi melihat dengan teliti jangan sampai dirinya sendiri yang salah. Kalau ternyata salah, maka ia harus bertaubat dan memperbaikinya serta kalau berkenaan dengan orang lain, maka ia harus mengqadhaa’ hak orang tersebut, seperti kalau menabrak orang lantaran ngantuk tapi tetep menyetir, atau bisnis sembarangan hingga membuat pemodal yang bekerja dengan kita menjadi bangkrut..... dan seterusnya. 

Antum dan siapa saja, tidak akan pernah mengerti perasaan irfan kalau masih melakukan dosa, makruh dan menyukai dunia. Karena itu, tugas antum adalah menghafal fikih keseharian dan tidak melanggarnya. Kalau sudah mampu maka tinggalkan dengan meninggalkan makruh. Kalau sudah mampu, maka jangan menyukai yang mubah dan apa-apa selain Allah. 

Tapi kalau hanya ingin mengerti tentang orang-orang irfan, maka hal itu tidak sulit. Semua orang bisa mengertinya. Akan tetapi harus mengosongkan diri dari pengkhayalan penerapannya pada diri sendiri. 

Menurut saya yang banyak dosa dan hijab ini, dan dengan disertai permintaan maaf dan kehalalan antum, terlihat dari pertanyaan-pertanyaan antum selama ini, sepertinya, antum ini ingin merasakan yang dirasakan orang arif/irfan. Hal ini yang membuat antum sulit memahami penjelasan-penjelasan alfakir. Karena itu, jangan memaksa diri untuk merasakan yang mereka rasakan. Kalau antum percaya kepada ana dan guru-guru ana, maka lakukan apa yang ana sarankan itu. Hafalkan fikih keseharian dan amalkan hingga antum bebas dari dosa. 

Orang mengira, bahwa fikih itu hanya menjaga najis, wudhu, mandi, shalat dan puasa. Hingga sering mengetatkan diri hanya dalam hal-hal seperti itu. Ini adalah permainan syaithan. Karena seringnya, orang seperti ini sangat-sangat melalaikan fikih yang lain, seperti fikih keluarga. 

Betapa kulihat sebagian orang, ketat dalam thaharah, shalat, puasa...dan seterusnya...hingga kalau perlu perang dengan semua orang yang beda pandangan dengan-nya tentang najis, buka puasa.....dan seterusnya. Akan tetapi, ia sama sekali tidak bertanggung jawab kepada anak dan istrinya. Padahal kewajiban keluarganya itu adalah kewajiban fikih yang justru lebih berat dari fikih-fikih pribadi itu. Karena kalau dosa yang menyangkut orang lain tersebut (anak dan istri) tidak dimaafkan, maka sangat-sangat sulit untuk lepas dari dosa kecuali kalau diqadhaa’nya. Fikih mengatakan bahwa belanja pada keluarga (istri) itu wajib dan kalau tidak dipenuhi akan terhitung hutang yang wajib dibayar (diqadhaa’) kalau sudah mampu. 

Kadang ada lelaki kalau dituntun belanja oleh istrinya, mengatakan bahwa istrinya cinta dunia. Emangnya dunia itu hanya uang dan pakaian? Malah bekerja, fb-an dalam keadaan menelantarkan keluarga...dan seterusnya...adalah cinta dunia yang nyata yang bukan hanya irfan yang mengecamnya, tapi bahkan fikih mengecamnya. 

Kadang ada lelaki yang mengatakan bahwa kalau istrinya tidak melayaninya akan dilaknat malaikat, akan tetapi ia tidak merasa dilaknat seluruh alam ketika bisa tidur dengan nyaman tanpa memenuhi tanggung jawab keluarganya. 

Saya tahu semua itu benar, yakni thaharah, shalat, puasa....dan seterusnya..itu memang harus ketat. Begitu pula seorang istri yang menolak untuk melayani suami akan mendapat laknat dalam tidurnya itu sampai terbangun besok paginya. Akan tetapi, ini hanya separuh saja dari kewajiban- kewajiban fikih itu. Karena lelaki atau seorang muslim, juga masih memiliki kewajiban fikih yang seambrek yang semua itu harus dikerjakan dengan ketat. Mengapa mau mengucap takbir saja waswas tapi kalau membentak istrinya tidak waswas????!!! 

Karena itulah saya sering mengatakan bahwa bawalah kitab fikih itu kemana saja dan baca walau dalam kesempatan yang sedikit tiap kesempatan itu ada. Karena di dalam fikih itu, terdapat uraian terhadap semua kewajiban, baik pribadi, keluarga, sosial, budaya dan politik. Semua ada di fikih. 

Anjuran tertulusku pada antum mas Heri, hadapi dunia ini dengan pemahaman dan perasaan fikih itu. Nanti kalau sudah berhasil meninggalkan semua dosa, maka baru nanti berusaha merasakan peninggal-kan makruh. Kalau sudah, maka nanti akan ana arahkan untuk merasakan peninggal-kan mubah. 

Atau kalau antum mau mengaji ilmunya saja dan tidak mencampurkan rasa dan penerapan, artinya dalam mengkaji irfan antum bisa mengosongkan diri dari pentajallian rasa irfani pada diri antum (yang kukira ada itu, semoga salah), maka ana akan menjawab dengan rinci sesuai dengan keluasan fb ini. Tentu kalau belum saya terangkan di wahdatu al-wujud yang sudah ada. 

Jawaban soalan

Ikhlash secara fikih itu harus profesional. Karena itu, kalau keburukan menimpa kita, maka kita harus melihat secara profesional (sesuai dengan fikih) hingga kita tahu siapa yang salah. Kalau kita yang salah, maka harus taubat dengan cara membenahi dan kalau berhubungan dengan ibadah atau orang lain, maka harus diqadhaa’. Jadi, ikhlash di fikih, bukan menerima yang menimpa, tapi berusaha tidak menyalahi aturan Tuhan yang sudah tertuang di fikih. 

Ikhlash secara irfan, sudah tidak khalash dari dirinya. Khalash yakni sudah selesai dari dirinya sendiri, yakni sudah fanaa’. Jawaban ini tidak akan pernah bisa dipahami kalau tidak disertai penjelasan-penjelasan lain seperti yang sudah diterangkan di wahdatu al-wujud. Jadi, ikhlash di irfan adalah sudah tidak melihat wujud siapapun selain Allah karena selain Allah, hakikatnya tidak ada dan yang terlihat dan yang terjadi hanya berkisar pada esensi saja. Jadi, tidak ada yang terjadi padanya, karena ia tidak ada. Tidak ada yang ia perlu ikhlashkan, karena ia tidak ada. Tidak ada yang perlu ia rasakan, baik sabar atau emosi, karena ia tidak ada. Nah, perasaan-perasaan seperti ini, kalau dilakukan oleh kita-kita yang masih punya maksiat dan dosa, doyan makruh dan apalagi mubah dan karamat serta surga, maka akibatnya.......tidak bisa dibayangkan lagi... Selain kesesatan nyata dan total, tidak ada lagi yang akan bisa kita raih. Na’udzubillah. Wassalam. 

Vito Balataw: Syukron ustadz atas penjelasannya, walau sebenarnya ana malu baca penjelasan ustadz, karena apa yang antum tulis semua ada dalam diri ana, kalau boleh berkata kasar diri ini hanya memikir perut dan di bawah perut semata. 

Khommar Rudin: Allahumma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar