Tampilkan postingan dengan label Lauhu al-Mahfuzh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Lauhu al-Mahfuzh. Tampilkan semua postingan

Jumat, 12 Juni 2020

Taqdir / nasib Dalam Al-Qur'an ?!


seri tanya jawab: Dicky Jalinus dan Sinar Agama https://www.facebook.com/notes/sinar-agama/takdirnasib-dalam-al-qur-an- seri-tanya-jawab-dicky-jalinus-dan-sinar-agama/270980869579135

by Sinar Agama (Notes) on Thursday, August 25, 2011 at 8:13am


Dicky Jalinus: Assalamu’alaikum ustadz, mau nambah pertanyaan mengenai takdir yang pernah dibahas, biasanya ayat-ayat di bawah ini adalah dalil yang dipakai untuk qadha dan qadar, bagaimana menurut ustads?

1. Artinya : “Dan Dia menciptakan segala sesuatu, lalu menetapkan ukuran-ukurannya dengan tepat.” (QS.Al-Furqan : 2).

2. Artinya : “Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuz) sebelum Kami mewujudkannya.” (QS.Al-Hadid: 22).

3. Artinya: “Allah menghapus dan menetapkan apa yang Dia kehendaki dan di sisi-Nya terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuz)”.(QS. Ar-Ra’d: 39).

4. Artinya:” Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun”. (QS. Yunus: 49).

Mohon pencerahannya ustad, apakah dalil-dalil itu berhubungan dengan qada dan qadar atau takdir?

Selasa, 14 Agustus 2018

Pokok-pokok dan Ringkasan Ajaran Syi’ah, Bag: 2-a (Keimanan Syi’ah tentang Adilnya Tuhan)




by Sinar Agama (Notes) on Saturday, November 6, 2010 at 9:48 pm


Semoga Pahala Dilimpahkan Allah Kepada Para Penduka Atas Syahidnya Imam Ke 9, Muhammad Jawad as Oleh Mu’tashim bin Harun al-Rasyid (Khalifah Bani Abbas) pada tanggal 30-Dzilqo’dah-220 H, amin


LANJUTAN BAHASAN:

2. KEIMANAN SYI’AH TENTANG ADILNYA TUHAN 


a). Iman terhadap ke-Adilan Allah. 

Orang Syi’ah mengimani ke-Adilan Allah swt. Adil ini sebenarnya merupakan cabang bahasan dari Tauhid, khususnya Tauhid-Sifat. Akan tetapi karena sangat memiliki unsur penting dalam kehidupan beragama, maka ia telah menjadi point tersendiri setelah bab Tauhid tersebut. 

Orang Syi’ah (bc: muslim) diseyogiakan untuk mengimani ke-Adilan Allah, karena tanpa keimanan itu, maka akan memporak-porandakan seluruh nilai ke-Islaman, baik dari sisi keimanan atau hukum-hukum syariatnya. Artinya, tanpa keyakinan terhadap ke-AdilanNya itu, maka agama Islam akan menjadi sama dengan agama-agama lainnya atau bahkan kehidupan tanpa agama. Atau kalaulah ia beragama sekalipun, maka agamanya tidak lebih dari sebuah kegersangan dan kehancuran yang nampak hijau dan teratur secara lahiriahnya. Begitu pula kalau seorang muslim mengimani ke-AdilanNya, namun dengan makna yang salah, sebagaimana nanti akan lebih jelas.

b). Arti Adil Allah 

Adil, artinya tidak melakukan kezhaliman dan/atau meletakkan sesuatu pada tempatnya, dan/atau tidak mengambil hak orang lain, bukan sama rata yang pada umumnya tidak masuk akal. 

Misalnya, kalau jenis kelamin manusia sama, maka tidak akan ada perkawinan; atau wajahnya sama, maka tidak akan bisa dikenali; atau sifat-sifatnya sama, maka tidak akan ada saling mengisi; atau hobinya sama, juga tidak akan ada saling mengisi dan kehidupan manusia akan menjadi sangat monoton; atau pekerjaannya sama misalnya petani, maka tidak akan ada pabrik baju dan pabrik cangkul; atau bayarannya sama, maka yang sekolah dan pangkatnya lebih tinggi akan merasa dianiaya; atau posisi sosialnya sama, misalnya presiden, maka siapa yang mau jadi rakyatnya? ......dan seterusnya.

c). Dalil ke-Adilan Allah 

Dalil dari ke-AdilanNya ini juga mudah seperti point-point di atas. Yaitu berangkat dari ketidak terbatasanNya. Karena kalau Tuhan tidak terbatas, maka Dia tidak akan kekuarangan apapun; atau tidak akan tidak tahu terhadap sesuatu; atau tidak akan lengah; atau tidak akan lelah, ngantuk, bosan, jengah ... dan seterusnya., hingga perlu melakukan aniaya, penipuan, mengambil hak orang lain, pembakhilan dan semacamnya.

d). Hikmah atau sasaran dari keimanan pada ke-Adilan Allah 

(d-1). Tidak mungkin adanya penggarisan nasib atau takdir bagi manusia 

Maksud dari nasib di sini adalah seperti yang dipercayai oleh agama selain Islam, seperti Arab Jahiliyyah sebelum Islam, Hindu, Budha dan lain-lainnya. Yaitu keyakinan terhadap sudah ditentukannya nasib masing-masing manusia sejak dari lahir atau bahkan dari sejak sebelum lahirnya. 

Dalam Islam (bc: Syi’ah), dengan ke-Adilan Allah, maka tidak mungkin Dia menakdirkan nasib masing-masing orang, baik dalam umur, jodoh, rejeki, baik-buruk, celaka-selamat, hidayah- sesat, dan semacamnya. Keyakinan seperti ini hanya ada di agama-agama lain seperti yang sudah disebut di atas. Kalau untuk masa-masa Jahiliyyah di dalam naql atau sejarah kita, dipenuhi dengan itu, sampai dibawa-bawa pada masa setelah Islam oleh Umar ketika lari dari perang Uhud ketika ditanya oleh para wanita Madinah, dimana Nabi saww dan mengapa kamu lari? Ia menjawab “Ini adalah takdir”. Kalau agama Hindu atau Budha bisa dilihat di serial-serial Kungfu Cina yang melimpah di Indonesia. 

(d-1-1). Dalil ketidakmungkinan ditentukannya nasib manusia 

Karena kalau Allah menakdirkan nasib masing-masing manusia, berarti tidak ada gunanya akal diciptaNya dan agama diturunkanNya yang, mengajarkan: kesihatan dan panjang umur, taqwa dan masuk surga, mencari pasangan yang taqwa, mati syahid, mencari rejeki hingga menjadi tangan di atas (karena lebih baik dari tangan di bawah) dan semacamnya. 

Tidak berfungsinya akal, karena tujuan penciptaannya adalah untuk memahami banyak hal dan memecahkan kesulitan-kesuliatan yang dihadapi, hingga selamat dalam kehidupan dunia-akhirat serta hidup sehat, harmonis, teratur, berbudaya tinggi dalam sosial-politik, sukses dalam segala hal ..dan seterusnya. Akan tetapi kalau semua sudah dinasibkanNya, maka daya pikir akal untuk memahami dan memecahkan masalah-masalah kehidupan manusia, akan menjadi sia-sia dimana akan berakhir kepada kesia-siaan penciptaanNya. 

Tidak adanya kegunaan agama, karena agama diturunkan Allah untuk mengatur manusia supaya selamat di dunia dan akhirat. Oleh karenanya agama mengajari keimanan dan mengatur masalah-masalah kehidupan yang dimulai dari masuk kamar mandi sampai ke masalah-masalah negara, ekonomi, teknologi dan politik internasional yang makro. Akan tetapi, kalau nasib masing-masing manusia, dari sejak dirinya, rumah tangganya, sosialnya dan negaranya, sudah ditentukan olehNya, maka syariat yang diturunkanNya itu jelas tidak akan berfungsi sedikitpun. 

Agama akan menjadi seseuatu yang paling tidak dapat dipahami dan akan menjadi paling tidak masuk akal, kalau ia mengatakan: 

“Berimanlah supaya masuk surga; Bertaqwalah supaya tidak masuk neraka; Berhati-hatilah dalam sertiap perbuatan karena setiap sebutir atompun darinya akan dicatat dan akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat kelak; Bersihlah supaya sihat; Silaturrahmilah supaya panjang umur; Berjuanglah supaya mati syahid; Dasarilah pada ketaqwaan seseorang dalam mencari pasangan hidup; Saling santun dan harmonislah dalam rumah tangga supaya langgeng; Jangan katakan penceraian dalam kemusykilan rumah tangga karena ‘Arsy Allah akan goncang mendengarnya; Jangan cerai karena tidak disukai Allah; Jujurlah dan berusahalah dengan baik dalam bisnis supaya sukses dan tidak bangkrut” atau berkata: 

“Berdoalah kepadaKu tentang iman, sakinah, taqwa, taufik, sihat, panjang umur, mati syahid, pasangan hidup yang baik, keharmonisan rumah tangga, kesuksesan bisnis dan rejeki....dan lain-lain”, 

akan tetapi dilain pihak agama juga berkata: 

“Baik-buruk kalian sudah ditakdirkan dan ditentukan dari sononya (asalnya) oleh Allah, baik dari iman-tidaknya, taqwa-bejatnya, surga-nerakanya, sehat-sakitnya, mati-tidaknya, syahid-tabrakannya, panjang-pendek umurnya, siapa jodohnya, harmonis-cerainya, kaya- miskinnya, jumlah rejekinya....dan seterusnya”. 

Lagi pula kalau Tuhan yang menentukan semuanya, berarti Dia yang akan bertanggung jawab. Bahkan kesalahanNya dua kali. Pertama, karena Dia yang menjadi pelaku hakiki dari setiap perbuatan manusia. Ke dua, karena telah membohongi manusia. Karena setelah menentukan semuanya, masih pula menyuruh manusia supaya menjaga kesehatannya, berusaha panjangkan umurnya, mati syahid, mencari rejeki, mencari pasangan yang taqwa, ..dan seterusnya. 

Padahal Allah sendiri sudah berfirman bahwa sesiapa yang berbuat seatom kebaikan/ keburukan akan melihatnya. Dan “berbuat”, yakni “melakukan”, bukan “yang dibuat berbuat/ melakukan”. Atau menyuruh kita menggunakan akal, hingga dalam Qur'an ada sekitar 24 ayat yang menggunakan kata “Ta’qilun” (kalian memahami, berakal..dan semacamnya), 22 kata “Ya’qilun” (mereka memahami, berakal..dan seterusnya), 13 kata “Yafhamun” (mereka memahami dengan akal). Atau menyuruh kita bertaqwa sampai-sampai perintah puasapun diturunkanNya supaya manusia bisa mencapai derajat taqwa itu.

(d-1-2). Lauhu al-Mahfuuzh dan nasib manusia 

Dengan dalil-dalil akal yang gamblang di atas itu, yakni dalil-mudah yang tidak bisa dibantah oleh siapapun itu, dapat dipahami dan dipastikan bahwa penentuan nasib manusia itu sangat mustahil adanya. Dilain pihak, dalam Qur'an, banyak sekali bukti-bukti tentang keikhtiaran manusia ini, baik langsung atau tidak. Dan sebagiannya sudah saya muat di atas sebagai contoh, walau tidak menyebutkan alamat ayatnya karena hal-hal tersebut adalah hal-hal mudah yang sudah diketahui semua muslimin. 

Tentu saja, pemakaian Qur'an disini sekedar pendekatan dan pelengkap saja. Karena, sebagaimana sudah diterangkan di bagian pertama Pokok-pokok dan Ringkasan Ajaran Syi’ah ini, bahwa Qur'an itu akan bisa dijadikan dalil setelah kita membuktikan kenabian nabi Muhammad saww dan kebenarannya. 

Karena itu pulalah, maka saya ingin melengkapi hal nasib atau takdir ini dengan masalah Lauhu al-Mahfuzh. Yang demikian itu disebabkan oleh dijadikannya Lauhu al-Mahfuzh tersebut sebagai landasan utama bagi orang-orang yang mengimani ditentukannya nasib manusia ini. Karena di Qur'an dikatakan bahwa di Lauhu al-Mahfuzh itu sudah tertulis apapun mengenai makhluk ini sekalipun daun yang jatuh dari pohonnya. Dan, kata mereka, kalau sudah ditulis di Lauhu al-Mahfuzh dari sejak sebelum penciptaan, dan karena penulisnya adalah Allah, maka sudah pasti seluk-beluk kehidupan manusia yang dikenal dengan nasib atau takdir ini, ditentukan oleh Allah. Jadi, sambung mereka, kita hanya bisa berusaha dan Allahlah yang akan menentukannya. 

Pernyataan seperti ini, sudah tentu sangat dipaksakan pada permulaannya, dan sangat berupa taqlid menurun (termasuk wahhaabii/wahabi yang anti taqlidpun) yang diterima secara buta pada tahap berikutnya yang, hanya berdalil dengan baik sangka kepada leluhur atau salaf atau umat yang telah lalu. Padahal mereka saling sesat menyesatkan, kafir mengkafirkan, berperang dan saling menumpahkan darah. Atau dengan dalil penyan- daran tak akademis pada ayat-ayat Qur'an tersebut. 

Apa maksud pernyataan yang menyatakan “Kita hanya bisa berusaha dan Tuhan pulalah yang akan menentukannya” ??! 

a). Kalau maksudnya bahwa Allah akan menentukannya kemudian, maka berarti ketentuan itu di Lauhu al-Mahfuzh belum tertulis. Ini berarti takdir itu belum ada alias takdir itu tidak ada dalam wujud nyatanya. 

b). Kalau maksudnya adalah Allah sudah metentukannya, maka berarti takdir itu tidak ada dalam wujud keyakinannya. Karena, dalam kenyataannya, mereka sama- sama berjuang dalam hidup, dan dalam perbedaan, sama-sama merasa benar dan melakukan amr/amar ma’ruf dan nahi mungkar, serta saling menyalahkan dan bahkan mengkafirkan. Ini berarti takdir dan nasib itu tidak ada dalam hati mereka, karena tidak memiliki tanda-tanda apapun dalam kehidupan mereka itu. 

Karena kalau ada, mestinya, masing-masing orang dan golongan harus meyakini bahwa yang ada pada masing-masing orang dan golongan lain dan dirinya adalah taqdir masing-masing yang sudah ditentukan Allah yang tidak boleh ada orang be- rani mengganggunya. Karena sudah ketentuan dari Yang Maha Perkasa dan Kuasa, sementara manusia adalah makhluk lemah. Dan karena sudah ketentuanNya, maka tidak akan bisa dirubah siapapun juga. 

Begitu pula, takdir dan nasib itu akan menjadi terjauhkan dari kehidupan mereka manalaka mereka saling bertengkar, saling menyalahkan, beradu argumentasi, beradu dalil di pengadilan, saling perang, saling serang, saling hukum, menulis buku agama, ceramah agama, menulis buletin-buletin agama, nasihat menasihati serta membaca do’a. 

Karena kalau semua sudah ditentukan Tuhan, maka yang salah itu Tuhan, bukan manusia yang kita salahkan itu dimana sudah tentu argumen apapun tidak akan ada gunanya lagi. Dan kalau terjadi kesalahan yang mengharuskan adanya penghukuman, maka Tuhan-lah yang selayaknya dihukum. 

Bagitu pula, kalau semuanya sudah ditentukan Tuhan dari sisi ketaqwaan dan masuk surga-nerakanya, maka penulisan atau ceramah-ceramah agama itu sama sekali sudah tidak akan berfungi lagi.

Ada orang yang mau bergaya-gaya pakai gaya kecerdasan akal orang-orang Syi’ah, dengan mengatakan bahwa ada seorang murid bertanya kepada gurunya: “Pak Guru, apa takdir itu?”. Sang Guru langsung menamparnya dan berkata: “Inilah takdirmu”. Lah,,,,apakah Pak Guru lupa bahwa pertanyaan si murid itu juga takdir? Lalu mengapa ia kesal dan , menamparnya? Lagi pula, enak saja main tampar dan dosanya dilimpahkan ke takdir Allah. Kalau begitu mengapa mereka membuat persidangan perkara dan hukuman untuk menegakkan keadilan dan ketentraman masyarakat? Toh yang meng- gampar dan yang digampar, atau yang membunuh dan yang dibunuh, atau yang memperkosa dan yang diperkosa, atau yang menabrak dan yang ditabrak mobil,... dan seterusnya semuanya sudah ditentukan takdir. Lalu mengapa para polisi dan penegak hukum pada mengejar, menangkap, memperkarakan dan menghukum meraka? 

c). Kalau dikatakan bahwa mengejar, menangkap, menyidang dan memenjarakan atau memotong tangan pencuri itu juga karena takdir, maka pernyataan ini sangat dipaksakan. Karena sudah benar-benar menjauhi fitrah dan kesadaran yang ada manakala melakukan pengejaran dan seterusnya itu. Memangnya, pencopet HP di pasar yang sampai bengkak-bengkak dipukuli orang sepasar itu, karena orang-orang pasar berniat melaksanakan takdir Tuhan? Atau karena merasa marah, jengkel dan melampiaskan kejengkelannya? Memangnya Pak Hakim dan pelaksana hukum itu melakukan penyidangan dan penghukuman (penjara atau potong tangan) karena ingin mengejawantahkan takdir Tuhan? Atau karena ingin menegakkan keadilan dan supaya si pencuri jera/kapok dan yang lainnya tidak meniru???!!! 

Kalau semuanya karena takdir, berarti Tuhan yang harus dihukum. Dan tentang kapok tidaknya si pencuri, jelas akan sangat tergantung kepada takdirnya kemudian yang, kalau ditulis tidak kapok maka akan tetap mencuri dan kalau ditulis kapok, maka ia pasti akan berhenti mencuri. Begitu pula orang lain yang diharapkan tidak meniru itu. Karena mereka juga akan sangat tergantung kepada takdir mereka sendiri. Apakah sudah ditulis di Lauhi al-Mahfuuzh bahwa meraka mencuri (sekali, dua kali ...dst) hingga meraka akan mencuri sesuai takdirnya itu, atau tidak tertulis demikian hingga tidak akan mencuri dan tidak perlu peringatan apapun seperti pemotongan tangan pencuri tersebut. 

Hal seperti ini semestinya tidak perlu diterangkan sampai sedemikian rupa, namun karena hal jelas ini sering diisukan sebagai hal yang teramat gelap dengan mengatakan bahwa “Masalah takdir adalah daerah gelap yang tidak terjangkau siapapun” dan isu ini sudah membudaya ratusan tahun, maka saya merasa perlu menjelaskannya secara rinci dengan contoh-contoh yang juga sangat jelas itu. Jadi, saya mengharapkan pembaca untuk kembali kepada fitrah kita masing-masing dalam menanggapi masalah takdir ini. 

d). Kalau dikatakan bahwa maksud perkataan “Kita hanya bisa berusaha dan ha- nya Allah-lah yang akan mentukannya” adalah bahwa hanya Tuhan yang bisa merubahnya, berarti ketentuan nasib itu, pada hakikatnya, tidak ada. Artinya, kebera- daannya sama dengan ketiadaannya. Karena apa arti dan guna dari ketentuan kalau bisa dirubah juga? Artinya ketentuan itu hanya akan menjadi dan berfungsi sebagai rancangan saja, bukan ketentuan. 

e). Kalau dikatakan bahwa Tuhan akan merubahnya manakala hambaNya merubah- nya, maka berarti ketentuan Tuhan itu kalah dengan usaha manusia. Hal inilah yang biasa kita lihat di serial-serial Kungfu China yang sering mengatakan sebagai memerangi ketentuan langit dan memerangi ketentuan Tuhan. 

Dan kalaulah manusia tidak merubahnya, yang harus bertanggung jawab terhadap ketentuan nasib manusia itu, tetap harus Tuhan, sebagaimana sudah dipaparkan di atas. Yakni kalau manusia tidak mau merubah racangan Tuhan itu, maka yang salah bukan manusianya, tapi Tuhan yang telah membuat rancangan itu. 

f). Kalau dikatakan “Salah kamu tidak merubah rancanganNya”, maka bisa dijawab dengan perkataan “Salah Tuhan yang telah merancangkannya”. Itupun kalau ada bukti bahwa Tuhan telah menentukan takdir atau rancangan ini. Dimana kalau ketentuan itu berupa takdir, maka tidak akan bisa dirubahnya. Sedang kalau berupa rancangan, maka sekalipun bisa dirubahnya, akan tetapi disamping tidak adanya bukti dari adanya penulisan rancangan itu, juga memiliki konsekwensi-konsekwensi yang sangat tidak masuk akal sebagaimana akan dijelaskan berikuti ini. 

g). Kalau dikatakan “Tuhan merancang karena ada hikmah didalamnya”, maka disamping tidak ada bukti dari adanya rancangan itu, bisa dijawab dengan perkataan “Biarkan aku ikuti hikmahnya, maka aku tidak boleh dihukum”. 

h). Kalau dikatakan “Hikmahnya adalah supaya kamu berusaha”, maka di samping dalil-dalil di atas itu, bisa dijawab dengan perkataan “Hikmah yang kamu katakan ini adalah karanganmu”, atau “Hikmah seperti ini persis dengan yang ada di serial-serial Kungfu atau Dewa-dewa agama Hindu/Budha yang karena gigihnya penentangan manusia atau seseorang di bumi maka tuhan di langit menarik ketentuannya”, atau “Hikmah itu akan sangat tergantung pada ketentuanNya juga, yakni kalau Tuhan menentukanku berusaha maka aku akan berusaha dan kalau tidak, maka bagaimana aku bisa berusaha?”

(d-1-3) Hakikat Lauhu al-Mahfuzh 

Dalam tulisan-tulisan saya tentang Filsafat, Irfan dan Wahdatu al-Wujud, telah sering menerangkan tentang hakikat Lauhu al-Mahfuzh ini secara filsafat dan irfan. Artinya tekanan bahasannya adalah pada dimensi wujudnya. Akan tetapi di sini, saya akan menerangkan kitab Lauhu al-Mahfuzh ini yang berfokus pada fungsinya, bukan pada esensi, substansi dan keberadaannya. Sekalipun, sudah tentu, akan memiliki sentuhan pula terhadapnya. 

Kalau kita mau memperhatikan bunyi ayatnya dan menjauhkan diri dari kecenderungan hati yang telah didekte oleh budaya pemahaman Islam selama ini, dan benar-benar hanya memperhatikan bunyi ayatnya, maka saya merasa bahwa sungguh-sungguh tidak akan terlalu sulit untuk menyentuh makna ayat yang menerangkan tentang kitab Lauhu al-Mahfuzh ini. Terlebih lagi setelah kita tahu dan yakin secara akal-gamblang bahwa penentuan nasib manusia itu adalah suatu yang sangat tidak bisa diterima akal sihat manapun. Perhatikan bunyi ayat berikut ini: 


وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَ يَعْلَمُهَا إِلَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّ يَعْلَمُهَا وَلَ حَبَّةٍ
فِي ظُلُمَاتِ الَْرْضِ وَلَ رَطْبٍ وَلَ يَابِسٍ إِلَّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

“Dan Dia memiliki kunci-kunci keghaiban, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia, dan Dia tahu yang di daratan dan lautan, dan tidaklah jatuh satu daunpun dari pohonnya kecuali Dia mengetahuinya, dan tidaklah jatuh pula satu bijipun di kegelapan bumi dan tidaklah sesuatu yang basah dan kering, kecuali sudah ada di Kitab Yang Nyata (Lauhu al-Mahfuzh)” (QS: 6: 59)

وَمَا تَكُونُ فِي شَأْنٍ وَمَا تَتْلُو مِنْهُ مِنْ قرُْآنٍ وَلَ تَعْمَلُونَ مِنْ عَمَلٍ إِلَّ كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُودًا إِذْ تُفِيضُونَ فِيهِ وَمَا
يَعْزُبُ عَنْ رَبِّكَ مِنْ مِثْقَالِ ذَرَّةٍ فِي الَْرْضِ وَلَ فِي السَّمَاءِ وَلَ أَصْغَرَ مِنْ ذَلِكَ وَلَ أَكْبَرَ إِلَّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

“Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari al-Qur'an dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam Kitab Yang Nyata (Lauhu al-Mahfuzh)” (QS: 10: 61) 


وَإِنَّ رَبَّكَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَ يَشْكُرُونَ (37) وَإِنَّ رَبَّكَ لَيَعْلَمُ مَا تُكِنُّ صُدُورُهُمْ وَمَا يعُْلِنُونَ (47) وَمَا مِنْ غَائِبَةٍ فِي السَّمَاءِ وَالَْرْضِ إِلَّفِي كِتَابٍ مُبِينٍ
(57)

“Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengetahui apa yang disembunyikan hati mereka dan apa yang mereka nyatakan (74) Tiada sesuatupun yang ghaib di langit dan di bumi, melainkan (terdapat) dalam kitab yang nyata (Lauhu al-Mahfuzh)” (QS: 27: 74, 75) 


عَالِمِ الْغَيْبِ لَ يَعْزُبُ عَنْهُ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ†فِي السَّمَاوَاتِ وَلَ†فِي الَْرْضِ وَلَ أَصْغَرُ مِنْ ذَلِكَ وَلَ أَكْبَرُ إِلَّ فِي
كِتَابٍ مُبِين

“....Maha Mengetahui yang ghaib. Tidak ada yang tersembunyi daripadaNya seberat zarrahpun yang ada di langit dan yang ada di bumi dan tidak ada (pula) yang lebih kecil dari itu dan yang lebih besar, melainkan tersebut dalam Kitab yang nyata (Lauhu al-Mahfuzh)” (QS: 34: 3) 

Dalam ayat-ayat di atas, terasa sekali bahwa yang ingin disampaikan Tuhan itu adalah masalah ke-Maha PengetahuanNya yang mengetahui yang terang dan yang ghaib atau tersembunyi, bukan tentang penentuan nasib manusia. Dari seluruh ayat-ayat di atas itu, sebelum Allah membicarakan tentang keberadaan dan keadaan semua hal di Lauhu al- Mahfuzh, selalu mengatakan bahwa Dia mengetahui semua keberadaan dan keadaannya, baik dari keberadaan dan keadaan manusia atau selainnya. 

Setelah diketahui dengan mukaddimahNya itu bahwa Allah Maha Tahu, maka hal ini dapat mengantarkan kita untuk memahami Lauhu al-Mahfuzh. Yaitu, bahwa kitab Lauhu al- Mahfuzh itu tidak lain dan tidak bukan adalah merupakan salah satu gudang keghaiban tentang ilmu-ilmuNya. Itulah mengapa Allah mengatakan memiliki kunci-kunci keghaiban pada ayat pertama di atas. 

Adalah sangat keliru ketika seseorang memaknai ayat-ayat di atas itu dengan mengatakan bahwa “Allah Maha Mengetahui Segala Hal Karena Sudah Ditulis di Lauhu al-Mahfuzh”. Kalau Allah mengatakan bahwa “Semua hal ada di Lauhu al-Mahfuzh oleh karenanya Aku mengetahui semuanya”, maka mungkin masih ada lowongan atau peluang untuk memahami bahwa pengetahuan Tuhan itu karena disebabkan penulisanNya dalam Lauhu al-Mahfuzh. Walaupun peluang ini, jelas bukan satu-satunya. Karena peluang lainnya justru lebih besar. Yaitu karena ilmuNyalah Tuhan menulisnya. Hal itu karena ilmu itu lebih dulu dari pada penulisan, bukan sebaliknya. 

Akan tetapi, Tuhan dengan telaten dan lembut membimbing manusia supaya tidak keliru memahami hidayah dan ayat-ayatNya. Oleh karenanya didahului dengan penekanan pada pemberitaan terhadap ilmu dan ke-Maha PengetahuanNya. Itu semua supaya manusia tahu bahwa yang diinginkan dalam ayat-ayat itu adalah IlmuNya. Ini yang pertama. Yakni mendahulukan pengkabaran tentang tentang ilmuNya sebelum mengkabarkan tentang adanya kitab “nyata” atau Lauhu al-Mahfuzh itu. 

Yang ke dua, sudah diisyaratkan di atas bahwa antara penulisan dan ilmu, sudah pasti didahului dengan ilmu, bukan sebaliknya. Memang, kalau yang menulis itu orang lain, maka pembaca yang membaca tulisan itu yang akan mendapatkan ilmu kemudian. Akan tetapi pembahasan kita ini adalah penghubungan kepada penulisnya itu sendiri. Di sini, sudah tentu sang penulis, memiliki ilmu dulu baru menuliskannya, bukan sebaliknya. 

Yang ke tiga, pendahuluan ilmu itu sangat bermamfaat bagi menutup kemungkinan lainnya. Yaitu Kuasa atau Qudrat. Karena bisa saja seseorang memahami bahwa yang mendahului penulisan itu adalah Kuasa. Yakni yang dimaksudkan Tuhan adalah kependahuluan KuasaNya, bukan kependahuluan IlmuNya, walaupun dua-duanya mendahului penulisanNya. 

Nah, kalau yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah bahwa penulisan itu didahului KuasaNya, maka jelas akan melahirkan “Determinis” atau “Jabariah” alias rukun iman yang ke enam bagi saudara-sauadara kita Ahlussunnah. Karena, apapun yang terjadi di alam ini, tergantung pada penulisanNya, dan penulisanNya tergantung kepada KuasaNya. Dan karena segala hal yang menyangkut manusia itu termasuk bagian dari alam ini, maka sudah pasti semua yang menyangkut baik buruknya setiap manusia, tergantung kepada Lauhu al-Mahfuzh yang bersumber dari Kuasa dan KehendakNya itu. 

Betapa luar bisanya Tuhan kita, betapa luar biasanya, dan Dia lebih besar dari yang kita ketahui. Karena banyak sekali yang mendahului penulisanNya itu. Seperti Wujud, Qadim, Hidup, Kuasa, Kehendak, Ilmu dan semacamnya. Dan di ayat-ayat di atas itu, Allah hanya menyentuhkan Ilmu dan ke-Maha TahuNya kepada telinga, mata dan akal kita manusia. Di sini, jelas dapat dipahami bahwa yang difokus olehNya adalah ke-Maha Pengetahuannya itu, bukan semacam Kuasa dan KehendakNya. 

Dengan semua penjelasan di atas itu, dapat dipahami dengan mudah dan gamblang bahwa maksud ayat-ayat yang memberitahukan tentang Lauhu al-Mahfuzh itu adalah ingin memberitahukan kepada kita bahwa Allah Maha Mengetahui apapun di alam ini termasuk apapun tentang kita manusia sekalipun tersimpan dalam lubuk hati yang paling dalam. 

Dengan demikian maka Lauhu al-Mahfuzh itu adalah tulisan-tulisan tentang ilmu Allah (bc: ilmu Allah) yang berkenaan dengan apa saja, terutama tentang alam materi ini dan perbuatan manusia. 

Allah yang ilmuNya tidak terbatas, sudah pasti mengetahui apapun yang akan terjadi di alam ini sebelum penciptaannya, seperti daun yang akan jatuh dari pohonnya, biji-bijian yang jatuh di malam hari dan semacamnya. Perbuatan manusia yang dilakukan dengan ikhtiarnya sendiri itu, sudah pasti tidak lepas dari ilmuNya tersebut. Nah, ilmuNya itulah yang ditulis olehNya di Lauhu al-Mahfuzh. 

Oleh karena itulah, maka jelas sekali bahwa penulisan itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dan tidak akan menyangkut, dengan masalah Determinis (Jabariah) atau penentuan nasib dan takdir. Karena yang ditulisNya adalah perbuatan manusia yang dilakukan dengan ikhtiarnya sendiri yang telah diketahuiNya sekalipun sebelum penciptaan. 

Kalau dikatakan bahwa “ilmuNya pasti benar, dan karena ilmu benarnya itu ditulis sebelum penciptaan, berarti perbuatan dan apapun yang menyangkut kita, akan sangat tergantung kepadanya, dimana hal ini bisa dikatakan sebagai nasib dan takdir manusia”. Maka jawabannya adalah bahwa yang diketahuiNya itu adalah perbuatan manusia yang didahului dengan ikhtiarnya sendiri. Jadi, kepastian benarnya ilmuNya tentang ikhtiar manusia ini, justru keniscayaan ikhtiar manusia itu, bukan sebaliknya. Yakni bukan menjadi terbaliknya masalah dan membuat manusia yang diketahui berikhtiar itu menjadi tidak berikhtiar karena harus mengikuti kebenaran ilmuNya itu. 

Akan halnya kadar-kadar yang difirmankanNya maka maknanya adalah pengkadaran terhadap segala sesuatu sesuai dengan ketentuan-ketentuanNya, bukan pengkadaran nasib manusia. Misalnya Allah berfirman: 


إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ

“Sesungguhnya Kami mencipta segala sesuatu sesuai dengan kadar/ukurannya” (QS: 54: 49). 

Dengan demikian pengkadaran semua makhluk ini tidak bertentangan sama sekali dengan ikhtiar manusia, karena ikhtiar manusia ini adalah salah satu dari takdir manusia. Jadi, pengkadaran bagi manusia adalah bahwa manusia diberi akal, berpanca indra, berfitrah, berfikir, bersosal, berkaki dua, bermata dua, berbuat sesuai ikhtiar dan pilihannya, memiliki balasan sesuai dengan niat dan perbuatannya....dst., bukan dikadar tentang nasibnya. 

Jadi, yang ditulis Allah di Lauhu al-Mahfuzh itu adalah ilmu-ilmu dan ketentuan- ketentuanNya tentang semesta dan apapun yang akan terjadi, sekecil apapun. Namun, yang berkenaan dengan perbuatan manusia adalah ketentuan-ketentuanNya yang berupa peng-ikhtiran manusia dan jenis balasannya, dan ilmuNya tentang detail-detail pilihan masing-masing manusia dan juga balasannya, bukan menentukan nasibnya sebagaimana yang diyakini oleh saudara-saudara Ahlussunnah yang mengambil dari Asy’ariyah. 

Jadi, maksud takdir dalam ayat-ayat dan riwayat-riwayat, adalah ketentuan-ketentuan Allah tentang makhluk dan alam semesta (seperti api panas; pohon kering akan terbakar kalau terkena api; dan semacamnya) dan tentang perbuatan-perbuatan manusia yang ditentukan/ditakdirkan bahwa perbuatannya sesuai dengan pilihannya sendiri (ikhtiar) dan ditentukan/ditakdirkan bahwa akan menerima balasan sesuai dengan pilihannya itu. Begitu pula bahwa diri dan ikhtiar manusia ini juga ditakdirkan saling berhubungan dengan alam dan ikhtiar manusia lain di sekitarannya. Dan maksud Lauhu al-Mahfuzh adalah ilmuNya yang meliputi segala hal termasuk pilihan, ikhtiar manusia dalam detail- detail kehidupannya sampai kepada balasannya. 

Dan ketika salah satu ketentuanNya adalah saling berinteraksinya ikhtiar manusia yang satu dengan inkhtiar manusia yang lainnya, dan pengkabaranNya tentang ilmuNya terhadap segala sesuatu, maka Allah dan agamaNya sering menyuruh kita sabar dan pasrah serta yakin menerima takdir kita. 

Artinya, harus teliti dalam memilih setiap perbuatan kita karena sangat bisa terganjal oleh lingkungan dan ikhtiar-ikhtiar orang lain atau lingkungan sekitar, seperti hujan, dimana kalau hal itu terjadi, maka harus lapang dada, sabar dan ulet mencari jalan keluarnya. Begitu pula, harus teliti dalam memilih lingkungan yang akan banyak mempengaruhi pilihan-pilihan dan ikhtiar-ikhtiar kita itu. Bukan sabar menerima takdir dan nasib kita yang ditentukan secara paksa dari atas di Lauhu al-Mahfuuzh, karena hal itu, yakni penentuan dan penulisan itu, tidak ada. 

Bahkan agama tidak jarang menyuruh manusia/kita membuat lingkungan yang indah dan Islami. Hal itu tidak lain supaya manusia bisa tidak terlalu banyak menghadapi pengaruh atau rintangan yang akan muncul dari lingkungan dan ikhtiar-ikhtiar selainnya. 

Semua ini menjelaskan kepada kita bahwa sama sekali Tuhan dan agama tidak ingin mengatakan bahwa nasib menusia itu sudah ditentukan dari sananya dan menyuruh kita pasrah terhadapnya. Karena itulah maka “Jabariah” yang diyakini sebagai rukun iman ke 6 oleh saudara-saudara Ahlussunnah, hingga sering muncul perkataan semacam “Tuhan adalah paling bagusnya penyusun skenario”, atau “Kita hanya bisa berusaha tapi Tuhanlah yang menentukannya” .....dst. tidak bisa diterima sama sekali dalam pandangan Islam yang dibawa dan diwariskan oleh Ahlulbait Nabi saww yang wajib dishalawati dalam shalat kita sehari-hari itu. 

Tidak jarang saudara-saudara kita Ahlussunnah mengatakan pernyataan yang ke dua itu, untuk lari dari Jabariahnya Asy’ariyah. Mereka tidak mengerti bahwa “berusaha” itu adalah “perbuatan”, bukan “keyakinan”. Sementara “Tuhan menentukan” adalah “keyakinan” dan “Jabariah”. 

Sebenarnya, mau lari kemanakah mereka? Mau ambil Mu’tazilah yang freewill, takut ingkar pada ayat yang menerangkan tentang “Lauhu al-Mahfuzh”, tapi mau ambil Jabriah, sepertinya tidak enak di hati, karena bertentangan dengan fitrahnya. Tentu saja, dengan rukun iman ke 6 mereka itu, sudah dapat dipastikan bahwa pilihan mereka adalah “Jabariah”. Berarti, langsung atau tidak, berarti mereka menolak fungsi akal dan agama serta menolak ke-Adilan Tuhan sebagaimana maklum. 

Di sinilah fungsi terpenting dari iman kepada ke-Adilan Tuhan ini. Karena, bagaimana mungkin Allah menyuruh semua manusia untuk berusaha menjadi baik, berhasil, masuk surga, beriman, taqwa, berjuang dan mati syahid, silaturrahmi supaya panjang umur, bersih supaya sehat dan tidak sakit, sukses dan kaya supaya bisa naik haji dan membantu yang lemah, cari pasangan yang taqwa supaya harmonis dan berketurunan yang baik 

...dst, tapi di lain pihak Dia sudah menentukan baik-buruknya, berhasil-gagalnya, masuk surga-nerakanya, iman-kufurnya, taqwa-bejatnya, berjuang-khianatnya, syahid-ketabrak mobilnya, silaturrahmi-tidaknya, panjang-pendek umurnya, bersih-kotornya, sehat-sakitnya, kaya-miskinnya, haji-tidaknya, membantu-dibantunya, jodoh-tidaknya, harmonis-tidaknya, talaq-tidaknya, punya keturunan-tidaknya, turunan yang baik-tidaknya ...dan seterusnya.??!! 

Bagaimana mungkin seseorang bisa meyakini ke-AdilanNya kalau dia juga meyakni semuanya sudah ditentukanNya? Karena, tidak diragukan, bahwa saudara-saudara Ahlussunnah juga meyakini ke-AdilanNya. Tapi dengan meyakini rukun iman ke 6 itu, yang entah dari mana datangnya (tentu dari al-Asy’ari), maka mereka secara langsung atau tidak, sudah menolak ke-AdilanNya tersebut. Ada benarnya juga manakala orang awam berkata: 

“Kasihan sekali Tuhan. Karena Dia sering difitnah membuat orang sakit, jodoh tak serasi, cerai, tabrakan, bunuh diri, bangkrut, gagal, kafir, bejat, judi, gaul bebas, pendek umur, mabok, judi, dan akhirnya masuk neraka, atau difitnah dengan belum memberi hidayah hingga dikatakan bahwa orang-orang kafir atau yang tidak taqwa itu belum mendapatkan hidayahNya”

berlanjut ke bag: 2-b..

Anwar Mashadi: Terima kasih tag-nya Pak Sinar... Doakan agar saya bisa melihat, semoga cadar yang sedikit dibukanya itu memang isyarat yang ditujukan pada saya...

Bin Ali Ali: SYUKRAN USTADZ ANE JUGA DI TAG.........HEHEHE.

Haerul Fikri: Terima kasih banyak ustadz.. semoga senantiasa kenikmatan tercurah kepada anda hingga tetap teguh dalam ikhtiar untuk mencerahkan umat.. al faatihah ma’a shalawat..

Sinar Agama: Salam terimakasih untuk semua jempol dan koment serta dukungan dan doanya. Semoga kita selalu dalam selimut KasihNya.

Sinar Agama: Ali-A: Terimakasih atas perhatiannya. Tapi afwan ana belum bisa mengukir namaku di fb ini. Doakan semoga Allah selalu membimbing kita ke dan di JalanNya.

Syarifah Hana A. Fathiman: Ilahi amin ya Karim.. Syukran ustad atas ilmu yang diberikan.. Semoga saya bisa menyerap hikmahnya.. Allahumma shalli ala Muhammad wa aali Muhammad wa ajjil faraja aali Muhammad.

Cut Yuli: Syukron Ustadz..

Sinar Agama: terimakasih untuk semua dukungan dan doanya.

Sinar Agama: Ali-A: Benar, takdir yakni hukum alam yang didalamnya jg hukum-hukum sosial manusia. Yakni hukum-hukum yang didalamnya tidak diisi dengan siapapun dari seorang atau makhluk tertentu. Dia hukum-hukum umum, seperti x+x= 2x. Dan Tuhan tidak mengisi x itu dengan siapapun, kecuali naturalnya. Jadi yang selainya, seperti interaksi dan apalagi ikhtiar- ikhtiar manusia, maka Tuhan tidak mengisinya dengan siapapun, Walau Tuhan sangat tahu siapa- siapa yang akan masuk atau memasukkan dirinya ke dalam x tersebut.

Candiki Repantu: Thank’s ustadz.... semoga antum terus diberkahi ilmu dan rahmat ilahi dalam dakwah suci ahlil bait...! Tak bisa tidak, keadilan adalah tiang semesta..!

Sinar Agama: Candiki , terimakasih bahagia dan doanya.

Sinar Agama: Ali-A: Maha Mengetahui apa saja , termasuk semua perbuatan manusia yang dilakukan dengan ikhtiarnya sendiri tanpa dipaksa Tuhan dan sekaligus tahu akan hasilnya seperti surga-nerakanya.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ



Sabtu, 11 Agustus 2018

Kedudukan Fantastis Imam, Bag: 5-a (Bahwa imam memegang pemerintahan langit dan bumi)




by Sinar Agama (Notes) on Sunday, September 12, 2010 at 8:27 pm


Melanjutkan permasalahan yang dibawa Abd Bagis, yaitu poin (d) tentang:

IMAM MEMEGANG PEMERINTAHAN LANGIT DAN BUMI

Setelah kita bahas masalah (a), (b), (c) dan (d), maka tibalah saatnya, dengan ijin Allah, kita bahas yang terakhir dari yang dibawa Abb Bagis, yaitu masalah (e): Bahwa imam memegang pemerintahan langit dan bumi.

Jawaban-1 Untuk Poin (e): 

Dalam QS: 2:30, Allah berfirman: ”Dan ketika Tuhanmu berkata kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku akan membuat/mengangkat khalifah di bumi’. Para malaikat berkata: ‘Apakah Engkau akan menjadikan sesiapa manusia) yang akan membuat kerusakan di dalamnya dan saling menumpahkan darah? Sementara kami selalu bertasbih dengan memujaMu dan mensucikanMu’. Berkata (Tuhan): ‘Sesungguhnya Aku tahu apa-apa yang kalian tidak tahu’ ”. Perhatikanlah dialog antara Tuhan dan para malaikat ini. Dan coba renungi ilustrasi berikut ini:

Ketika seorang ayah yang punya Pabrik Mobil dan 1000 hektar kebun kopi mau meninggal, ia memanggil dua anaknya yang lulusan pertanian dan ekonomi. Sementara anaknya yang satu lagi tidak dipanggilnya karena masih umur 3 tahun. Sang ayah berkata pada keduanya: “Anak-anakku ayah akan segera meninggalkan kalian. Kalau nanti ayah sudah pergi, kuserahkan kepengurusan pabrik mobil dan perkebunan pada adik bungsu kalian”. Kedua anaknya terkejut dan saling pandang. Mereka merasa bahwa pernyataan akhir ayah mereka ini sangat tidak bijak. Tapi, karena keduanya adalah anak-anak yang selalu taat pada orang tuanya dan juga tidak ingin membuatnya sedih di hari terakhir hidupnya ini, maka ketidaksetujuan mereka diutarakan dengan bahasa yang sangat halus. Mereka berkata:


“Ayah,,,,mengapa ayah serahkan pabrik mobil dan perkebunan itu pada adik kami yang masih kecil dan suka membuat kerusakan di rumah (yufsidu fi al-bait: seperti pecah-pecahin komputer dll) sementara kami lulusan ekonomi dan perkebunan?”. 



Kalau kita lihat ilustrasi ini, akan sangat mudah bagi kita memahami maksud kedua kakak tsb.

Yakni bahwasannya si bungsu tidak cocok untuk urus pabrik mobil dan perkebunan, karena masih membuat kerusakan dan bahwasannya mereka berdua lebih cocok karena lulusan ekonomi dan pertanian. 

Para malaikat dalam ayat itu tidak beda dengan ilustrasi tsb. Yakni mereka, sebagai makhluk yang selalu taat pada Tuhan yang, dalam hal ini tidak setuju dan menganggap diri mereka lebih layak, mereka merasa harus mengutarakan pendapatnya dengan bahasa yang sopan dan tawadhu. Oleh karena itu mereka mengatakan kata-kata dalam ayat di atas: “ ....sementara kami selalu bertasbih kepadaMu dan mensucikanMu”, yang maknanya adalah: 

“Mengapa Engkau akan jadikan khalifahMu dari jenis manusia yang akan membuat kerusakan dan pertumpahan darah, sementara kami selalu memujaMu dan mensucikanMu (bc: menyanjungMu dengan menyanjung perintah-perintahMu)? Jadi kamilah yang lebih layak dari manusia untuk menjadi khalifahMu”. 

Setelah kita sama-sama mengerti maksud ayat itu, bahwasannya malaikat mengusulkan diri mereka untuk jadi khalifah Tuhan, masalahnya sekarang adalah, para malaikat itu sudah memiliki tugas-tugas penting dalam semua urusan. Mulai dari mengurusi penciptaan paling kecilnya makhluk sampai pada paling besarnya; Peniupan/pencabutan ruhnya; Hujan/tidaknya; Masing- masing rejekinya; Suka/dukanya; Sukses/gagalnya; Menjaga wahyu Tuhan, lauhu al-mahfuzh, ‘Arsy, surga, neraka dst. Pendek kata mereka adalah pengatur segala urusan langit dan bumi dengan ijin/perintah Allah. Allah berfirman: “ ..dan (demi) pengatur-pengatur segala urusan“ (QS: 79:5). Tafsir-tafsir Jalalain, Thabari, Fakhru al-Razi dll, mengatakan bahwa para pengatur itu adalah para malaikat. Malah dalam tafsir Qurthubi dan Fakhru al-Razi, dll, dikatakan bahwa jumhur bersepakat bahwa mudabbir itu adalah para malaikat yang mengatur segala urusan langit-bumi. Begitu pula kalau dilihat di terjemahan DEPAG. 

Pertanyaannya sekarang adalah: Mengapa para malaikat masih menginginkan posisi khilafatullah ini? Padahal mereka sudah memiliki semua posisi hebat sejak di dunia ini sampai nanti di akhirat? Bagi yang tidak terlalu terhijabi, pasti akan mengatakan bahwa, karena posisi khilafah ini lebih tinggi dari semua posisi malaikat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa khalifah Tuhan memiliki posisi lebih tinggi dari semua posisi malaikat dimana karenanyalah manusia layak disujudi semua malaikat (QS: 79:30). 

Sementara tinggi dalam hakikat, tidak seperti dalam kesepakatan sosial dalam kehidupan kita. Karena dalam hakikat, artinya, yang di bawah harus tunduk pada kendali yang di atas. Sujud malaikat adalah tunduk, karena mereka non materi, tidak punya dahi dan tidak terikat dengan badan hingga sujud seperti kita manusia. Karena itulah berarti khalifah Tuhan, secara tidak langsung, mengatur semesta ini dengan ijin, pengangkatan dan perintah Allah. 

Dan karena itu pulalah maka semua malaikat tiap malam lailatu al-qadr selalu turun dengan membawa segala urusan (min kulli amr), untuk dilaporkan pada khalifatullah ini. Karena mereka tidak mungkin meninggalkan pos masing-masing di langit dan bumi atau di arsy dan lauhu al- mhfuzh ...dst hanya untuk jalan-jalan ke bumi, melihat maksiat yang meraja lela ini. Apalagi melihat teroris wahhabi yang lagi ngeledakin pasar-pasar dan mesjid-mesjid, atau lagi gorokin tenggorokan Sunni-Syi’ah dengan bangga dan divideokan serta di sebar kemana-mana, atau membakar Sunni-Syi’ah hidup-hidup kaya Khalid bin Walid ketika diutus Abu Bakar ke kabilah Bani Sulaim yang membakar hidup-hidup beberapa orang di depan umum (Thabaqaatu al-Kubra: 7:396). Tentu tidak bukan? 

Jadi, mereka para malaikat itu, datang ke bumi dengan segala urusan-urusan itu (min kulli amrin), yakni tugas-tugas mereka, adalah untuk melaporkan masing-masing tugas mereka ke wakil-Tuhan atau Khalifatullah yang bertempat tinggal di bumi ini. Karenanya saya dulu pernah mengingatkan teman-teman Syi’ah bahwa tahun baru amal-amal kita itu adalah malam lailatu al-qadr, bukan nisfu Sya’ban (mentrasfer pendapat ayatullah Jawadi Omuli hf). Yakni sebagian malaikat yang mengurusi seluk beluk manusia, membawa pengetahuannya yang diberi Tuhan yang ditadbirkan/ diaturkan dengan buku-amal-setahun itu. Yakni pengetahuan tentang segala peristiwa yang akan terjadi pada masing-masing manusia yang sesuai dengan ikhtiarnya sendiri-sendiri yang telah diketahui Tuhan sebelum terjadi. 

Malaikat yang diberitahu Tuhan dengan pengetahuan maqam pertama (bc: maqam qada dan qadar atau yamhullah ma yasya’ wayutsbit, yakni sebelum ke-dua sebagai maqam persetujuan akhir Tuhan di Lauhu al-mahfuuzh) itu, membawa pengetahuan-pengetahuan mereka (catatan-catatan ilmu Ilahiyyah) tersebut kepada Khalifatullah (wakil Allah) untuk diperiksa dan disepakati sebelum kemudian dilaksanakan oleh para malaikat-malaikat tsb. 

Para khalifatullah (pada masing-masing jaman hanya ada satu khalifah) di samping memeriksa urusan-urusan lain dari malaikat-malaikat lain yang mengurusi segala macam masalah alam semesta ini, juga memeriksa ilmu/buku tentang manusia yang dibawa para malaikat yang mengurusi seluk beluk manusia ini. Setelah melihatnya, maka khalifah ini, dengan perintah Allah, menghapus/yamhuu (bc: tidak mengijinkan terjadi) dan menetapkan/yutsbit (bc: mengijinkan terjadi). Mereka ini, para khalifah ini, tidak lain seperti malaikat-malaikat itu sendiri yang hanya menjalankan perintah-perintahNya. Mereka tidak pernah ber-ide, mandiri, mempertanyakan atau apalagi melanggar perintah-perintahNya. Jadi, pengaturan Allah terhadap semesta ini, pertama melalui KhalifahNya, kemudian ke para malaikat-malaikat sebelum kemudian pelaksanaannya. 

Maka itu, jadi lucu di hadapan orang Syi’ah manakala imam/khalifah tidak memiliki sifat-sifat ke- khilafahan ini, yakni penguasaan alam ini. Sudah tentu, mereka para khalifah itu (baik nabi, rasul atau imam) tidak akan melakukan apapun dari karamat, mukjizat dan semacamnya, kecuali kalau sudah diperintah oleh Allah swt, sekalipun mereka, seperti Rasul saww yang dilempari batu di Thaif, nabi Yahya as yang digergaji, imam Husain as cucu Rasul saww yang dipenggal lehernya oleh Syimr tentara Yazid bin Mu’awiyah sebelum kemudian kepalanya itu diarak dari Karbala- Iraq, sampai Syam/Suriah dan mulutnya yang sering dicium Nabi itu diotak-atik oleh Yazid pakai tongkatnya. 

Dari penjelasan-penjelasan ini dapat dipahami bahwa para nabi/rasul/imam/khalifatullah memiliki dua dimensi kehidupan. Kehidupan pertama sebagai manusia yang punya segala macam taklif dan melakukannya dengan penuh keikhtiaran, pengorbanan seperti lelah, sakit dan syahid; Dan yang ke-dua sebagai khalifatullah yang tidak punya ikhtiar kecuali dalam memohon untuk mensyafaati dan semacamnya dimana maqam ke dua ini tidak dicapainya kecuali dengan ketaatan dan kemakshuman sebagaimana akan dijelaskan di Jawaban-2, in syaa-a Allah.

Kesimpulan

1. Khalifatullah adalah pangkat yang diingini oleh semua malaikat. 

2. Khalifatullah disujudi semua malaikat. 

3. Sujud para malaikat berarti taat, karena mereka non materi dan Tuhan bukan lagi sedang mewisuda nabi Adam as sebagai khalifah pertama.

4. Khalifatullah adalah pangkat yang lebih tinggi dari semua malaikat, karena disujudi dan diingini mereka. 

5. Para malaikat adalah pengatur semesta dengan ijin dan perintah Allah. 

6. Khalifatullah adalah khalifahNya dalam mengurusi semesta dengan mengatur malaikat. 

7. Khalifatullah bukan berarti manusia secara umum yang, hanya mengurusi cangkul-mencang- kul bumi dan membangunnya. Tapi pengatur semesta yang termasuk malaikat, tapi bertempat tinggal di bumi. 

8. Qada dan qadar bagi manusia adalah ilmu Tuhan tentang seluk beluk ikhtiar dan akibat dari perbuatan manusia, jadi bukan Determinis atau Jabariah. 

9. Penetapan dan penghapusanNya, bukan juga membatasi ikhtiar dan perbuatan manusia, tapi karena disesuaikan dengan ikhtiar dan perbuatan orang lain dan semacamnya. Misalnya, ada orang yang ingin membunuh Fulan, tapi karena Fulan ini selalu berikhtiar waspada dan berdoa serta masih lebih maslahat untuk hidup sesuai dengan ikhtiar/doanya itu, maka Tuhan tidak mengijnkan orang pertama membunuhnya. 

Tolong teman-teman Syi’ah pelajari dengan teliti hal ini supaya tidak kembali lagi ke taqdir ala agama Hindu yang meyakini bahwa seluruh nasib kita manusia sudah ditentukanNya. Lagi pula sangat sedikit yang tahu rahasia qada/qadr & aplikasinya ini, yaitu yang kembali pada ilmu Allah tsb. Baik kembali ke derajat ilmu pastiNya (lauhu al-mahfuzh, yang mengetahui akhir kejadiannya) yang diketahui malaikat-malaikat tinggi, atau kembali ke derajat yang diketahui malaikat-malaikat di bawahnya, yaitu ilmu-ilmu yang belum pasti karena bersyarat. Tunggulah jawaban-2 untuk masalah (e) ini dan tolong doanya. 

Alia Yaman and 17 others like this.

Dian Damayanti: 2 jmpol just for u..! 

Sinar Agama: Terimakasih atas semua jempoltum (jempol antum), semoga Tuhan mengganjarnya, kalau senang dan mau, tolong copy catatan tsb supaya tidak hilang dan bisa dibaca-baca, karena catatan berikutnya mungkin berkaitan dengannya, terimakasih dan afwan. 

Syarifah Hana A. Fathiman: Ijin share ya...Syukran.... 

Sinar Agama: tafadhdhaliy, u well come(.) 

Faisol Farid: Syukron atas limpahan ilmunya. 

Sinar Agama: Afwan, you well come, syukur kalau mau. 

Ad’ Ia Anakotta: Afwan ustadz mau tanya tapi sebelumnya terimakasih sudah ditag. Untuk jawaban (z);.. Malaikat-malaikat tinggi dan seterusnya.., kemali pada malaikat-malaikat rendah dan seterusnya.., apakah yang dimaksudkan di atas adalah tingktan ilmu yang dimiliki para malaikat!? 

Sedangkan yang saya tau bahwa semua malaikat memiliki tugas yang sama yaitu memuja dan memuji Allah SWT ditambah dengan tugas lainnya dan merupakan makhluk yang patuh. 

Apakah para malaikat yang memiliki tingkatan tinggi tersebut secara khusus diajar oleh khalifah, karena yang saya ketahui Khalifah mampu mengajarkan sesuatu kepada malaikat. Mohon penjelasannya. Makasih ustadz.

Rido Al’ Wahid: Posisi kekhalifahan Allah adah posisi tertinggi yang diberikan Allah kepada makhluknya, khalifah itu memiliki wewenang dan pengethuan dan dapat menyentuh ’lauh al mahfuz’ (di sini terdapat ilmu Allah) yang tidak dapat di raih oleh para malaikat, makanya khalifah ini juga disebut dengan kitab yang nyata.. Sehingga jika kita bertanya tentang ilmu mereka, semuanya berasal dari-Nya, dan mereka yang menginformasikan kepada malaikat.. 

Dalam alam penciptaan para khalifah Allah ini berada dalam posisi ciptaan tertinggi, dan ciptaan Allah paling sempurna terdapat ada pada diri Rasul saww. Mohon dikoreksi jika salah.. Afwan. 

Zainab Naynawaa: Afwan ana nimbrung di luar pembahasan... ustad tolong komentarin status mas Bande tentang roko... sebab di situ ada salah satu komentar yang bawa-bawa hukum... sebab dalam hal ini bukan hak ana... ana mohon penjelasan antum.. syukron sebelumnya...

Sinar Agama: Ad’: Senang dengan pertanyaanmu. Yang dimaksud malaikat tinggi itu adalah dari sisi wujudnya yang otomatis ke segala halnya seperti ilmu dll. Allah ketika melihat iblis tidak sujud pada ayah kita QS:38:75, Dia berfirman +/-: 

”....apakah engkau menyombongkan diri atau engkau termasuk yang ’aliin/tinggi”. 

Jadi, di ayat ini ada isyarat pada adanya malaikat lain yang tidak setara dengan malaikat-malaikat yang biasa kita kenal dan mungkin tidak diperintahkan sujud kepada nabi Adam as. 

Kalau anti/anta mengerti peristilahan filsafat, maka malaikat tinggi itu disbt Akal (bukan akal manusia), dan malaikat dibawahnya itu dan sebagainya wujud-wujud Barzakh/antara, yakni antara malaikat tinggi dan alam materi. Kalau dalam irfan, yang tinggi dsbt Jabaruut, yang tengah disbt Malakut dan materi disbt Nasut. Materi tentu diatur malaikat Barzakh, dan Barzakh diatur Akal yang berada di derajat plg akhir karena Akal ini juga berderajat, ada yang blg 10 derajat, ada yang mengatakan tidak bisa diketahui jumlahnya kecuali oleh Allah sendiri seperti pendapat Mulla Shadra ra. 

Jadi, ada tiga alam/ciptaan dalam ciptaan Tuhan, Akal, Barzakh dan Materi. Yang pertama mendahului yang ke dua dan juga berfungsi sebagai perantara Tuhan untuk pewujudan pencip- taannya dan begitu pula untuk tingkatan yang lebih rendah seterusnya. Makanya, tingkatan yang ke Ke dua, yakni Barzakh itu, dikatakan olehNya sebagai Mudabbirati Amran, yakni pengatur alam-segala urusan, yakni urusan-urusan alam materi QS :79:5. Dan mereka inilah yang turun di malam lailatul-qadr dengan membawa seluruh/segala urusan untuk masa setahun ke depan itu, untuk dilaporkan pada khalifah Tuhan yang sekarang adalah imam Mahdi as. 

Ciptaan Akal, berentet dari Akal-satu, Akal-dua ...dst sampai Akal-akhir yang, juga disebut dengan Lauhu al-Mahfuzh atau ’Arsy Allah atau Singgasana Allah. Kenapa? Karena Allah, melalui Akal-akhir itulah memerintah para malaikat-pengatur segala urusan materi untuk mengatur alam materi. Malaikat tengah/barzakh ini disebut pula tingkatan Qada dan Qadar, atau tingkatan ”penulisan dan penghapusan”. Tapi harus baca catatanku itu supaya tidak terjebak ke dalam kepercayaan determinis atau jabariah, yakni ”nasib baik-buruk dari Allah”. 

Kamu lebih bagus copy semua keterangan dan catatan itu lalu baca dan renungi lagi kemudian tanyakan yang tidak tahu atau debat/diskusikan yang tidak disetujui, kalau mau.

Sinar Agama: Untuk Mas Rido, senang dengan tanggapannya, merasa ilmu yang puluhan tahun kugali ini bisa disalurkan perlahan tapi pasti, ya Allah bantulah si dina ini dan semua orang yang mencintaiMu dengan ilmu dan aplikasi. Mas Rido, dengan jawaban ana pada Ad’ saya rasa sudah dapat dipahami bahwa Lauhu al-mahfuzh itu adalah malaikat tinggi atau Akal yang paling rendah diantara para malaikat tinggi atau Akal itu. Jadi, derajat kesempurnaan itu masih terus berlanjut sampai pada Akal-satu yang, juga disebut Nur-Muhammad yang, biasa dikenal dalam hadits- hadits yang, diingkari oleh penentang Barzanji yang dibawa-bawa wahhabi itu. 

Ketika Jabir bertanya pada Rasul saww tentang apa yang dicipta Tuhan pertama kalinya, Nabi saww menjawab: 

”Nura nabiyyika yaa Jabir” “Nur nabimu ini wahai Jabir.” 

Wahhabi-wahhabi yang materialis yang tidak mengimani aktifitas non materi di alam ini, mana bisa memahami hal seperti ini?

Muhammad Amran: Ass. Wr. Wb. 

Salam kenal ustadz sinar. Aku mau bertanya mengenai “ketetapan” Tuhan akan seluruh aktifitas semesta, terkhusus pada pemilihan khalifah/Imam di muka bumi. Dikatakan bahwa, sesuatu itu tidak terlepas dari ketetapan Allah, seperti usaha manusia dalam mendapatkan kedudukan tertinggi tersebut. Saya bingung memilah antara ikhtiar manusia dengan keinginan atau penetapan sang wujud mutlak. Makasih sebelumnya. Kalau bikin catatan, tolong sertakan juga namaku ustad.

Sinar Agama: M.A., terimakasih atas salam kenalnya wahaiiiii mas Amran. Kalau antum sekali saja, just sekali saja baca perlahan catatan ini maka akan didapat jawaban dari pertanyaan antum. 

Ringkasnya: Ketetapan Tuhan akan amal manusia adalah bahwa manusia berbuat sesuai dengan ikhtiarnya, walaupun akan saling bergesekan dengan ikhtiar-ikhtiar lainnya. Oleh karena itulah maka manusia disuruh buat masyarakat yang baik dengan amar makruf dan nahi mungkar, supaya tidak terlalu terjadi gesekan-gesekan sesama ikhtiar. 

Nah, ketetapan Tuhan atas khalifah ini sebenarnya berpijak pada ikhtiar itu. Yakni Allah menetap- kan bahwa khalifah/imam harus makshum dengan ikhtiarnya sendiri dari sejak kecil (perhatikan syarat pengqabulan doa nabi Ibrahim as sewaktu meminta supaya keturunannya dijadikan imam, Allah berfirman ”bukan dari yang aniaya” bukan dari yang pernah dosa). Tentu saja yang didukung dengan syarat-syarat lain yang timbul dari sosial ikhtiar itu sendiri, seperti dari keluarga yang baik (yang timbul dari ikhtiar ayah dan keluarganya) supaya tidak orang lain melecehkannya, seperti tidak cacat (juga bisa timbul dari ikhtiar ayahnya dalam cara tidur dengan istrinya atau ikhtiar ibunya sewaktu menjaga kandungannya dan lain-lain) supaya orang lain tidak lari dan melecehkannya dan semacamnya. 

Nah, karena imam itu harus makshum sesuai dengan ayat di atas tentang doa nabi Ibrahim as itu (QS: 2:124), maka masalahnya sekarang siapa yang tahu bahwa seseorang itu sudah mencapai derajat makshum secara ikhtiar dari sisi ilmu dan amal? Tentu saja jawabannya Yang Maha Tahu Ghaib. Kan ghitu? Nah, ini nah dihapus yang ke tiga, karena hanya Dia yang tahu ghaib itu secara langsung, maka Dia seyogyanya memberitahu NabiNya supaya tahu ghaib juga secara tidak langsung. Mengapa harus/seyogyanya memberitahu nabiNya? Karena kalau tidak diberitahukan kepadanya, terus bagaimana kita bisa tahu mana imam kita? Karena itulah imam itu tidak bisa dipemilukan, karena kita-kita tidak tahu siapa-siapa yang makshum secara langsung, dan akan tahu kalau diberitahu Tuhan dengan ayat-ayatNya atau nabiNya. 

Dengan demikian maka imam itu sudah seyogyanya dipilih Allah itu sendiri yang, kemudian diistilahkan dengan ”Penentua) atau Ketetapan”. Artinya tidak bisa dipemilukan, bukan berarti ketetapan yang berlawanan dengan ikhtiar itu. Karena ketetapan ini berlandaskan pada ikhtiar dalam pemenuhan syarat-syarat keimamahannya, bukan ditentukan dengan paksa siapa-siapa yang akan jadi imam tanpa memperhatikan ilmu-amal secara ikhtiarnya. 

Dan karena setelah Nabi saww yang diketahui Allah makshum yang memenuhi syarat-syarat tadi hanya 12 orang, maka imam dalam Islam hanya 12 orang. Makanya kalau sebelum Islam menguasai dunia mereka sudah mau habis, karena mati atau syahid (yang kenyataannya 11 orang syahid semua), maka yang ke 12 dipertahankan. Karena kalau tidak, yakni kalau tidak dipertahankan, maka beliau juga akan dibunuh dan janji Tuhan yang akan menolong menjayakan Islam tidak akan tercapai (QS: 21:105). Atau kalau belum lahir, maka nantinya akan lahir dari orang yang tidak makshum, terus mau berguru ke siapa supaya bisa sampai makshum? Kan tidak mungkin? Jadi, Tuhan menggunakan ke-Kuasa-anNya memanjangkan umurnya, seperti telah memanjangkan nabi Nuh as, shahibulkahfi, nabi Isa as, nabi Khidr as dll.

Muhammad Amran: Makasih ustad atas jawabannya. Sampai di situ aku sudah sedikit mema- haminya. Cuman maksud dari pertanyaan saya ustadz adalah ; usaha, ikhtiar seorang hamba (ciptaan) semuanya tidak terlepas dari ketetapanNya. Seperti, ikhtiar manusia dalam berproses untuk menjadi makshum. Nah, proses tersebut adalah ketetapan Tuhan, dan apapun hasil dari proses tersebut merupakan ketetapan atau kehendakNya. Ibaratnya, apapun yang dilakukan manusia, baik itu berupa ikhtiar, itu seolah-olah karena ketetapan atau kehendak sang maha berkehendak yang pada dasarnya merupakan determinis mutlak. Mungkin pertanyaan saya ini lebih pada pembahasan ontologis ustad. Mohon pencerahannya.. 

Basuki Busrah: Salam bagimu yang sedikit goib bagiku semoga Allah menjaga antum. Saya tidak paham dengan kata arsy dan lauh mahfuzh dalam kalimat ”...meninggalkan pos masing-masing di langit dan bumi atau di arsy dan lauh al-mhfuzh..”. . mohon pencerahannya guru. 

Ibrohim Abd Shidiq: Salam ustadz,, terimakasih atas tag nya. Ijin copy ustad dari 1 -5 ini...

Sinar Agama: Mas Amran, Ikhtiar itu lawan dari ketetapan. Kalau ditetapkan, terus apa arti ikhtiar? Ikhtiar itu adalah bisa memilih “yang ini” atau “yang itu”. Sedang ketetapan adalah sudah ditentukan “yang ini”. Jadi, ketetapan kontradiktif dengan ikhtiar. Antum boleh mengatakan bahwa ke-ikhtiaran manusia adalah ketetapan Tuhan. Ini benar. Karena yg ditetapkan ke-ikhtiarannya, bukan masing-masing ikhtiarnya. Namun demikian, krn perbuatan manusia itu adalah akibat manusia sementara manusia adalah akibat/makhluk Tuhan, maka semua perbuatan manusia itu juga makhlukNya. Tapi Dia tidak bertanggung jawab, karena sebab akhir sebelum perbuatan manusia itu adalah ikhtiar manusia ini. Dan karena makna ikhtiar adalah bs memilih yang ini atau yang itu, maka manusialah yg harus bertanggung jawab. Antum baca catatan aslinya, semua sudah dijelasin.

Sinar Agama: Mas Basuki Busrah salam juga dan terimakasih doanya dan semoga juga begitu terhadap antum, amin. Allah mencipta makhluk secara langsung itu hanya sekali, yaitu Akal-pertama. Alasannya, karena kalau Tuhan mencipta dua saja, maka Tuhan akan jadi terbatas. Karena antara sebab-akibat, mestilah memiliki konotasi atau kemiripan. Tidak mungkin es menyebabkan terbakarnya kertas. Tidak mungkin biji padi menunaskan pohon jagung, atau menetaskan ular dsb. Nah, kalau begitu, maka kalau ada dua makhluk berbeda menjadi akibat langsung Tuhan, maka dalam Tuhan akan ada dua Kuasa yang berbeda, katakanlah tanah dan api yang, akan menyebakan adanya Kuasa untuk mencipta tanah, dan untuk mencipta api yang pasti keduanya ini berlainan karena keharusan adanya kemiripan sebab dengan akibatnya itu. Nah, kalau Tuhan punya dua Kuasa yang berbeda, berarti akan saling membatasi. Dan kumpulan keterbatasan, hasilnya juga keterbatasan. Dengan demikian Kuasa Tuhan akan menjadi terbatas. Ini tidak mungkin. Ini baru dua makhluk, trus bagaimana kalau milyaran makhluk? Maka sudah tentu semakin banyak rangkapan KuasaNya yang, pasti akan membuatNya semakin terbatas. Dengan demikian, maka sebenarnya yang dicipta langsung olehNya hanya satu yang, karenanya terhindar dari keterangkapan. 

Dari Akal-satu itulah Allah mencipta makhluk berikutnya yang diistilahkan dalam filsafat sebagai Akal-dua, Akal-tiga, dan begitu seterusnya sampai ke Akal-terakhir. Akal-pertama disebut dalam hadits sebagai Nur-Muhammad dll. Akal-satu s/d Akal-terakhir di Qur'an disebut malaikat ’Aaliin atau ”yang tinggi”. Dari Akal-terakhir itu Allah mencipta malaikat-malaikat pengatur alam materi yang disebut barzakh/antara. Dan dari malaikat pengatur segala urusan itulah Allah mencipta alam materi ini. 

Nah, Akal-akal itu adalah wujud-wujud non materi yang tidak memiliki semua sifat materi (dan karenanya jauh lebih tinggi dari materi karena tidak memiliki rangkapan yang membuatnya membutuhkan setiap rangkapannya itu). Malaikat Tengah/barzakh adalah wujud-wujud non materi yang tidak memiliki isi/volume materi tapi memiliki sifat-sifat materi seperti rasa, warna, bentuk yang bukan isi, ...dst. Barzakh ini persis seperti mimpi-mimpi kita atau bayangan-bayangan kita tentang rasa-rasa dan warna-warna yang ada dalam pikiran kita, dimana di pikiran kita, semua sifat-sifat materi itu ada, tapi bendawiyahnya atau isi/volumenya tidak ada. Seperti kalau kita bermimpi melihat sapi atau pohon, atau membayangkan keduanya. 

Sedang materi adalah yang memiliki volume/isi dan serta sifat-sifatnya. Jadi, ada tiga alam. Yang di atas adalah sebab bagi yang di bawahnya dan yang dibawahnya akibat dari yang diatasnya. Dan karena setiap akibat tidak bisa melepaskan diri dari sebabnya, maka semua yang di bawah ada di bawah kontrol yang di atasnya (atas-bawah bukan tempat, tapi posisi dan maqam). Dan karena akibatnya akibat, akibat pula bagi sebabnya, maka Penyebab hakiki hanyalah Allah. 

Sampai di sini saya belum menjawab pertanyaan antum. Sekarang baru jawabannya: 

Tuhan, sebagaimana tidak mencipta langsung kecuali satu makhluk, juga tidak mengurusi langsung makhluk-makhlukNya, karena akan membuatnya secara otomatis terangkap. Karena Tuhan itu Satu yang tidak memiliki rangkapan sedikitpun, karena rangkapan tanda keterbatasan. Jadi, Allah mencipta rentetan perantara-perantara yang disebut tengah-tengahNya dari yang paling tidak memiliki rangkapan, yakni Akal-akal itu, sampai kepada yang sedikit memilikinya seperti malaikat barzakh itu, baru sampai kepada materi yang merupakan lautan rangkapan. Nah, karena manusia adalah termasuk alam materi, dan karena Tuhan sedang berdialog dengan manusia, maka kata- kata seperti pemerintahan, memberi rejeki, meberi hidayah ....dst adalah sesuai dengan bahasa manusia yang materi. 

Sekarang, masalahnya, bagaimana cara Tuhan memerintah langit dan bumi dan seisinya? Tuhan mengatakan dari ’Arsy atau ”SinggasanaNya”. Bagaimana kita memahami ’ArsyNya ini? Sudah tentu kita maknai dulu apa arti ’Arsy itu dalam bahasa manusia yang, tidak lain adalah ”Kursi Pemerintahan” itu sendiri, yakni ”Singgasana”. Terus apa fungsi singgasana itu dalam komunitas manusia? Tidak lain adalah untuk seorang raja yang duduk di atasnya, lalu memerintah materi- materinya yang mana menteri-menteri itulah nantinya yang akan memerintah/memimpin rakyatnya. Jadi, raja memerintah langsung pada menteri dan tidak pada rakyat, lalu menteri yang memerintah langsung rakyatnya. 

Dan karena Allah mengatakan bahwa malaikat-malaikat selain yang tinggi/’aaliin itu adalah pengatur segala urusan QS:79:5, yang akan turun ke bumi di malam lailatulqadr dengan membawa segala urusannya itu, maka berarti Tuhan menyamakan para malaikat itu dengan para menteri di tatanan pemerintahan manusia. Dan karena maqam yang lebih tinggi sedikit dari Barzakh itu adalah Akal-terakhir, maka ’Arsy itu berarti Akal-akhir tsb. Jadi, ’Arsy atau Singgasana itu maksudnya adalah Akal-terakhir itu. Ini jawaban untuk pertanyaan ke satu. 

Terus, mengapa ’Arsy itu dinamakan Lauhu al-Mahfuuzh? 

Jawab: Dengan penjelasan di atas yang panjang lebar itu, dapat dipahami bahwa Akal-akal itu tidak memiliki rangkapan dan sebaliknya malaikat barzakh atau pengatur semesta alam itu. Ketika Barzakh memiliki rangkapan dan liku-liku, apalgi sebagai pengatur iku-liku dunia, maka di dlamnya pasti juga memiliki semacam liku-liku itu walaupun lebih sederhana. 

Tapi bagaimanapun kebrliku-likuan itu ada di sana, karena merekalah yang mengontrol liku-liku alam materi ini secara langsung. Dan karena jadi dan tidak jadi, lurus lalu bengkok, berdosa dan taubat, ...dst bagian dari liku-liku alam ini yang di atur mereka itu, maka berarti di sana juga ada perubahan-perubahan, karena mereka kontrol langsung dari perubahan-perubahan di materi ini. Oleh karena itulah maka mereka bisa disebut dengan kitab qada’ dan qadar dimana ada penulisan dan penghapusan (QS:13:39). Ingat, semua ini harus ditafsirkan secara benar, yakni dikembalikan pada ilmu Tuhan karena Dia tahu sebelum terjadi dan karena Dia adalah sebab dari semua wujud. Lihat catatan aslinya. 

Akan tetapi sebaliknya dengan Akal-akal yang non materi mutlak dan tidak memiliki rangkapan itu. Di sana, semua hal yang akan terjadi di bawah diaturnya secara tidak berkerangkapan. Jadi, dalam Akal itu tidak ada dimensi-dimensi dan tidak ada yang namanya liku-liku. Tapi karena mereka sebab bagi yang dibawahnya, semua yang terjadi dan yang akan terjadi diketahuinya secara tidak berperangkapan itu. Dengan demikian, semua yang akan terjadi di alam materi dan seluruh liku-likunya, sekalipun daun yang jatuh dari pohonya, sudah diketahui oleh Akal secara tidak berperangkapan dan tidak berliku-likuan. Jadi, tahu semua rangkapan dan liku-liku dalam ketenangan dan tanpa liku-likuan. Dengan demikian maka Akal layak disebut sebagai Kitab yang Terjaga dari perubahan-perubahan dan liku-liku. 

Kitab terjaga itulah yang dikatakan ”Lauhu al-mahfuzh”. Jadi, Akal terakhir inilah yang disebut lauhu al-mahfuzh yang di dalamnya tertulis apa saja yang akan terjadi secara tidak berperangkapan dan tidak berliku-likuan itu. Tapi ingat, dengan penjelasan yg banyak selama ini, dipahami bahwa kepenulisan akan rincian perbuatan manusia, bukan perbuatannya saja, tapi perbuatan yang dilakuakan dengan ikhtiar yang akan dipilih manusia. Jadi) ketertulisan apa saja di lauhu al-mahfuzh, tidak menandakan determinis atau jabariah atau penentuan takdir-baik buruk dari Tuahn. Tidak, sekali-kali tidak.

Sinar Agama: Jadi, malaikat Barzakh juga disebut kitab qada dan qadar, dan malaikat Akal-terakhir juga disebut dengan kitab Lauhu al-mahfuzh. Sedang turunnya malaikat yang saya katakan meninggalkan pos masing-masing di ’Arsy atau lauhu al-mahfuzh itu adalah perkataan yang semacam semata-mata ingin membahasankannya secara awam. Karena lauhu la-mahfuuzh itu adalah malaikat itu sendiri. 

Nah, turunnya mereka sangat mungkin adalah yang hanya Barzakh saja, yakni yang ngatur alam materi ini, karena harus melaporkan kepada khalifatullah tentang semua pekerjaannya kepadanya. Kalau tidak untuk lapor, buat apa para malaikat membawa segala urusan-urusan itu? Dan mengapa hanya manusia yang bisa jadi khalifah dan bukan malaikat? Akan terjawab nanti di dijawaban akhir dari isykalan-isykalan wahhabi ini. Yakni jawaban-3 untuk (e). Doakan supaya segera selesai. Di sana nanti kita akan lihat rahasia keharusan manusia yang bisa jadi khalifah itu dan bukan lainnya sekalipun malaikat, dan mengapa malaikat sampai menginginkan makam ini. 

Sinar Agama: Hati Kecil, dan yang lainnya, siapa saja, boleh meng-copy dan menyebarkan tulisan- tulisan saya di fb, baik dalam bentuk fb atau tulisan di atas kertas, tapi jangan mengeditnya, karena takut berubah maknanya. Namanya tetap Sinar Agama. Dan kalau ada yang dianggap salah atau salah tulis, jangan keburu-buru merubahnya, tapi kabari dulu saya, nanti saya yang akan mengoreksinya, inysaAllah.

Rido Al’ Wahid: Menyambng dari jawaban untuk Amran, jadi ikhtiar manusia untuk menjadi makshum ini sejalan dengan apa yang diinginkan oleh Allah ya, yang jadi pertanyaannya adalah apakah ikhtiar ini terlaksana di alam materi ataukah pada alam yang lebih tinggi, karena jika di alam materi apakah mungkin Rasul memberitakan nama-nama para makshumin tersebut, sedangkan mereka belum berikhtiar bahkan belum hadir di alam materi ini? 

Rido Al’ Wahid: Dan juga jika para makshumin ini telah terpilh di alam malakut, berarti pengangkatn mereka di alam materi ini adalah sebuah ketetapan yang dihasilkan di alam yang lbih tinggi?

Sinar Agama: Mas Rido, terimakasih nyambungnya. Ikhtiar manusia sudah pasti terjadi di alam materi ini. Tapi karena alam yang lebih tinggi itu adalah sebab wujudnya, maka semua yang akan terjadi di bawah ada dalam pengetahuan dan pengawasannya. Begitu pula dengan ilmu Tuhan. Nah, ikhtiar kemakshuman ini akan terjadi setelah terciptanya pelaku-ikhtiari tsb di kemudian, namun sudah diketahui sebelumnya oleh yang di atas karena mereka adalah sebabnya, begitu pula denganNya. Nah, ilmu Tuhan itulah yang dengan perantaraan makhluk-makhluk Akal, dan Barzakh yang diberitakan ke Rasul saww, dan Rasul saww ke kita-kita sebagai umatnya. 

Kan sudah sering diulang-ulang bahwa lauhu al-mahfuuzh itu tempatnya segala hal tanpa perliku- likuan, karena ketidakrangkapannya tsb. Nah, semua sudah diketahui sebelum terjadi bahkan sebelum tercipta (diketahui, bukan ditentukan). Tapi ingat, pengetahuan ini tidak menjabr atau mendeterminiskannya, karena yang ditulis adalah lengkap, misalnya “si fulan akan jatuh pada hari dan jam tertentu karena dia berikhtiar naik motor dalam keadaan ngantuk dan ini dan itu....dst.” Jadi, yang ditulis bukan hanya jatuhnya, tapi lengkap dengan ikhtiar yang akan dipilihnya. 

Kalau mau memakai bahasa ilmu Kalam, bukan filsafat, begini: Allah Maha Tahu segalanya,    nah, pengetahuan Tuhan tentang orang makshum ikhtiari dan yang akan terjadi itulah yang diberitakan kepada Rasul saww supaya disampaikan ke umatnya sebagai penerus jalan lurus yang tidak tersesat sedikitpun. Karena kalau tidak diumumkan kepada manusia, maka   manusia atau umat Nabi saww tidak akan mampu mengetahuinya, karena Makshum ilmu-amal adalah makshum lahir batin yang tidak mungkin diketahui oleh manusia lain. 

Rido Al’ Wahid: Kher.. paham ana syukrn ustadz, ana masih punya beberapa pertanyaan lain di luar pembahasan ini, entar ana tanya lewat inbox saja deh.. 

Basuki Busrah: Syukron katsiran guru...(mode on masih menyimak). 

Sinar Agama: You well come semuanya, kalau memang minat print aja dan pelajari lagi sambil direnungi, terutama catatan-catatanku supaya puluhan tahun menuntut ilmu ini bisa dbagi-bagi. Tapi tidak boleh taklid dalam kayakinan, jadi kalau tidak paham ditanya, dan kalau tidak setuju didebat/didiskusikan 

Muhammad Amran: Terima kasi ustad. Kalau buat catatan, tolong sertakan juga namaku di tag. Salam.. 

Muhammad Amran: Ustad Rido. Kalau pertanyaannya enggak begitu bersifat pribadi. Ditanya di sini aja, biar kita juga bisa tau jawabannya ustad. Hehe.. Bagi-bagi keberkahanlah. Ckckck.

Sinar Agama: Walhasil jiwa ini sudah kuberikan pada antum-antum semua, penyukaku atau pembenciku. Jadikanlah argument-argument gamblang sebagai ganti identitasku, supaya murni keilmuan dan dijauhkan dari pengaruh lingkungan/sosial. Jadikanlah aku dampratanmu kalau kesal, dan aku akan menjadi air penyejuk gelisahmu. Jadikanlah aku tempat bermanja dalam ilmu dan aku akan berusaha memanjakanmu dengan dalil-dalil dan bahasa yang sangat mudah, kalau aku mampu membantu. Jadikanlah aku obyek doa-doa baikmu dikala kalian kesal atau ridha padaku, karena yang papa ini tidak memiliki apa-apa selain dosa-dosa dan banyaknya ketidaktahuan. 

Ah....umurku semakin bertambah dan tanganku semakin pendek, pikiranku semakin lemah sementara taqwaku semakin menipis. Ah...betapa inginnya aku bersama kalian, bersama kalian, bersama kalian, menyajikan minuman-minuman dan sajian-sajian ringan sambil menari halus menapaki gunung akuis, egois dan kesombongan, tuk menaklukkannya dan meletakkannya di bawah kaki kotor kita, hingga kita bisa terbang ringan menyujudiNya dan kekal dalam kedinaan aktualis yg abadi (bc:dunia-akhirat), bukan puitis dan sementara (bc: dunia saja untuk mendapatkan kemulian di sisiNya di akhirat). 

Oh maaf aku telah menuruti kata hati dan sejenak tidak mampu menahan getarannya. Pintaku, kalau memang sudah senang dengan catatan-catatanku, pelajarilah dengan baik dan pahamilah sampai ke maksud batinnya, hingga akan terasa manis dan secara otomatis akan membuat langkah kita ringan menuju taqwa yang, kalau bisa bahkan tanpa pamrih. Dengan pamrih (surga) juga sudah bagus. Jadi, tolonglah diri kita sendiri dengan tidak hanya menanggapi segala hal di dunia ini dengan hura-hura ilmu dan kebijakan, tapi jadikanlah penggerak ketaqwaan, karena ilmu untuk taqwa, dan taqwa untuk surga atau bagi sebagian untukNya semata. 

Basuki Busrah: Terima kasih atas pencerahannya.... 

Sinar Agama: B_B: You well come. 


Catatan Lanjutan dan Sebelumnya:



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Selasa, 31 Juli 2018

Wahdatul Al-Wujud (Bagian: 4)





Seri Tanya – Jawab: Anggelia Sulqani Zahra, Haerul Fikri dan Sinar Agama 
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, December 14, 2010 at 8:57 pm



"Anggelia Sulqani Zahra” Haerul Fikri dan Ustad’ Sinar Agama


Anggelia Sulqani Zahra : Assalamu‘alaikum..Ustad. Mohon Dijelaskan Tentang Kitab Lauhmahfud dan Pandangan Mulla Shadra tentang Konsep Empat Tahapan Perjalanan Manusia (Dalam Kajian Filsafat dan Irfan). 

Haerul Fikri : Bisakah ustad menguraikan tingkatan-tingkatan wujud dalam keber”ada”annya, sebagimana yang dimaksud Mulla Shadra?, Apakah tingkatan-tingkatan wujud tersebut bersifat kekal sejak adanya atau mengalami evolusi, perubahan, perombakan, atau bahkan pemusnahan? Apakah alam materi yang sekarang ini merupakan alam materi pertama.. Lalu, apakah ada penciptaan makhluk dialam materi setelah hari pembalasan? 

Sinar Agama : Bismillaah.

Mukaddimah 

1. Dua pertanyaanmu ini juga berhubungan dengan satu pertanyaan dari Heirul Fikri yang menanyakan tentang Gradasi Wujud, tetapi yang ia maksudkan Gradasi keberadaan, yakni bentangan wujud ini yang dimulai dari Sang Pencipta sampai dengan Alam Materi. 

2. Untuk menjelaskan Lauhu al-Mahfuzh dan 4 Perjalanan Irfan/Sufi-sungguhan, perlu kepada Penjelasan Tentang Bentangan Wujud yang ditanyakan oleh mas Heirul Fikri itu. Oleh karenanya saya akan mengurainya terlebih dahulu. 

3. Jadikanlah jawabanku ini sebagai bahasan Wahdatulwujud ke 4. Oleh karenanya saya harapkan dari teman-teman yang tertarik dengan bahasan ini, usahakan untuk membaca WAHDATUL WUJUD bag 1-3. 

4. Karena saya sudah menjelaskan se-jelas-jelasnya tentang wahdatulwujud itu, walau tetap global, dan bedanya dengan filsafat, maka saya mungkin tidak akan lagi menjelaskan hal-hal yang mengenai keduanya di dalam tulisan ini. 

5. Semua dalil terhadap setiap pernyataan yang pelik sekalipun, harus memiliki pondasi atau dalil dari Ilmu-Mudah, yakni yang tidak perlu dipikir karena mudahnya (jelas, gamblang bagi setiap orang), sebagaimana sudah dijelaskan di Wahdatul Wujud bag 3 yang saya tulis dalam komentar. Yaitu ketika mempertemukan akal dan Qur'an dan jalan keluarnya 

Maksudnya saya mengharap bahwa peminat sendirilah yang harus bisa membedakan bahasa mana yang bernafas filsafat dan tulisan mana yang bernafas irfan. Jadi, kalau memang minat, usahakan konsen dan kalau perlu wudhu dulu. 

Pembahasan Pertama Tentang Pembuktian Wujud Tuhan: 

Dalam bahasan ini saya tidak akan menjelasakannya secara rinci, karena ianya pembahasan Tauhid (saya sudah menulis dalam tajuk Pokok-pokok Ajaran Syi’ah, yang akan segera selesai in syaa-a Allah). Tetapi karena Hakikat Tuhan diperlukan di sini, maka harus dibahas walau secara ringkas. 

Diri kita, pohon, batu, bumi, angin, air, binatang, bintang gemintang dan seterusnya adalah wujud- wujud terbatas. Artinya dibatasi dengan esensi dan eksistensi. 

Karena masing-masing esensi dan eksistensi mereka bukan yang lainnya dan karena alam ini merupakan gabungan dari mereka-mereka itu, yakni gabungan yang terbatas itu, maka alam ini juga pasti terbatas. Karena gabungan keterbatasan hasilnya juga pasti keterbatasan pula, walaupun lebih luas. Tetapi tetap tidak akan keluar dari keterbatasan menjadi tidak terbatas. Nah, ketika kita dan alam ini terbatas, secara pasti memiliki batasan. 

Katakanlah ujung pangkal atau awal dan akhir. Kalau demikian halnya, maka pastilah alam ini, sebelum awalnya, ia tidak ada. Begitu pula setelah akhirnya. Dan kalau alam ini sebelum awalnya tidak ada, lalu setelah awal itu ia menjadi ada, maka pastilah ia diadakan. Karena ”yang tak ada” tak mungkin ”Terjadi” hingga dikatakan ”Alam Terjadi dengan Sendirinya”. Atau begitu pula ”yang tak ada” tak mungkin ”Menjadikan” hingga dikatakan ”Ia Menjadikan Dirinya sendiri”. Atau bahkan ”yang tak ada” tak mungkin ”Dijadikan” hingga dikatakan bahwa ”Alam Ini Dijadikan oleh Penjadi dari Tiada”. 

Ketidakmungkinan tiga hal itu, yakni ”Terjadi:, Menjadikan dan Dijadikan”, tidak lain karena ”Tiada” adalah ”Tiada” dimana jelas tidak bisa menjadi obyek atau subyek, yakni tidak bisa jadi pemberi dan/atau pelaku. Karena, tidak ada. 

Mungkin ada yang bertanya, apa mungkin Tuhanpun tidak bisa menjadikan ”Tiada” sebagai obyek dalam penciptaannya?. Jawabannya ”Tetap tidak bisa”. Dan yang tidak bisa itu sebenarnya bukan Tuhannya, tetapi ”Tiadanya” itu. Yakni karena ”Tiada” itu adalah ”Tiada” sedangkan ”Obyek pemberi” adalah ”Ada”.. 

Dengan demikian sebenarnya yang salah adalah pertanyaannya yang menanyakan ”Apa Bisa Tiada itu Dijadikan Makhluk Oleh Tuhan?”. Karena dalam pertanyaan ini jelas sekali mengandungi kontradiksi yang nyata. Yakni antara ”Tiada” dan ”Dijadikan atau Dicipta”. 

Dengan bahasa lain, ”Tiada” memiliki ”Zat Ketiadaan”, yaitu ”Tiada” itu, hingga kalau dia keluar darinya maka ia bukan lagi ”Tiada”, tetapi sudah menjadi ”Ada”. Jadi, ”Tiada” itu secara zati tidak bisa keluar dari ketiadaan. Dan kita tahu bahwa setiap zat sesuatu, maka tidak bisa ditinggalkannya. Seperti kalau manusia keluar dari kebendaan, keberkembangan, kebergerakan dengan ikhtiar dan kerasionalan, maka ia bukan lagi manusia. 

Mungkin Anda bertanya ”Kalau Tiada itu Tiada, mengapa ia bisa memiliki zat dan tidak bisa keluar dari zatnya, bukankah Memiliki itu tandanya ada?”

Jawab: Esensi atau hakikat sesuatu itu, tidak mesti ada. Hakikat sesuatu, bisa dipahamakaan dalam akal kita. Seperti Gunung Emas. Kita bisa memahami esensi Gunung Emas, sekalipun ia tidak pernah wujud dan eksis.

Jadi, batasan sesuatu dan sesuatu itu sendiri, bisa berupa wujud akal dan pahaman saja. Bisa juga pahaman dan eksistensi. Bisa juga pahaman dulu baru eksistensi. Seperti Ilmu Tuhan terhadap esensi setiap makhluk sebelum menciptakan makhluk. Atau seperti Ilmu dokter tentang operasi yang akan dilakuannya kemudian. 


Jadi, batasan sesuatu dan sesuatu itu sendiri, bisa berupa wujud akal dan pahaman saja. Bisa juga pahaman dan eksistensi. Bisa juga pahaman dulu baru eksistensi. 

Seperti Ilmu Tuhan terhadap esensi setiap makhluk sebelum menciptakan makhluk. Atau seperti Ilmu dokter tentang operasi yang akan dilakuannya kemudian. 

Banyak sekali sesuatu atau esensi yang kita pahami hakikatnya, tetapi tidak ada wujudnya di alam nyata. Seperti ”Tiada”, ”Sekutu Tuhan”, ”Ayah Tuhan”, ”Anak Tuhan”, ”tuhan yang dicipta”, ”Makhluk yang mengalahkan Khalik”, Ayah Nabi Isa”, ”Bumi Emas”, ”Masuknya Bumi ke Telur tanpa merubah keduanya”, dan seterusnya. Semua itu dapat kita pahami, tetapi tidak ada wujudnya. Artinya mereka itu hanya ada di dalam akal hingga dalam filsafat disebut dengan ”Keberadaan Akal Belaka”. 

Dan bukti keberadaan akalnya itu adalah bahwa kita saling berkomunikasi tentang mereka itu, dan menolaknya. Misalnya kita berkata ”Ayah Tuhan itu tidak ada”, ”Ayah Nabi Isa itu tidak ada”, dan seterusnya. 

Dengan uraian ini dapat diyakini dengan ilmu mudah bahwa ”Tiada” tidak mungkin menjadi subyek pelaku seperti ”Terjadi dan Menjadikan” dan juga tidak pula bisa menjadi obyek pelaku ”Dijadikan”. 

Kembali ke masalah kita. Sampai di sini, kita sudah tahu bahwa alam ini terbatas, dan karenanya ia diadakan oleh yang lain, karena ia tidak bisa menjadi subyek pelaku terhadap dirinya sendiri, dan begitu pula ia diadakan dari ”Keberadaan”, bukan dari ”Ketiadaan”. 

Selanjutnya. Ketika alam ini diadakan/diciptakan oleh yang wujud lain, maka kalau wujud lain itu terbatas pula, sudah pasti sang pengada ini juga diadakan oleh yang lain dengan alasan yang sama. dan kalau pengadanya pengada itu juga terbatas, maka sudah pasti juga diadakan oleh yang lain pula dengan alasan yang sama. Begitu seterusnya. Sekarang tinggal dua pilihan, apakah semua pengada-pengada itu terbatas semua atau ada yang tidak terbatas? 

Kalau kita pilih bahwa semua pengada-pengada itu terbatas semuanya, berarti semuanya pernah tiada. Nah, kalau semuanya pernah tiada, terus dari mana keberadaan kita dan alam ini? 

Karena kalau semuanya tiada, berati tiada yang bisa mengadakan ”ada” karena yang tak punya tak mungkin memberi, dan karena ”Tiada” tidak bisa menjadi ”pelaku”, apalagi terhadap ”ada”. 

Dengan demikian maka sudah pasti dan dengan dalil yang gamblang, kita katakan bahwa pengada-pengada itu harus berhenti pada ”Pengada Yang Tidak Terbatas”. dan ”Pengada Yang Tidak Terbatas” inilah yang kita katakan ”Tuhan”. Karena salah satu makna Tuhan adalah ”Tidak Dicipta”, ”Tidak Bermula”. 

Dengan demikian maka kita sudah mendapatkan apa yang dikatakan sebagai Tuhan yang, memiliki Zat Tidak Terbatas. 

Banyak hal yang dapat ditarik pahaman dari ”Ketidak TerbatasanNya” ini, tetapi karena takut kepanjangan maka kita teruskan saja kepada inti pembahasan kita. Salah satu yang berkenaan dengan bahasan kita, adalah bahwa kalau kita sudah tahu bahwa Tuhan itu Tidak Terbatas, berarti tidak mungkin ada duaNya. Karena kalau ada duaNya, berarti ke-dua-duanya akan menjadi terbatas, karena masing-masing keduanya akan menjadi pembatas bagi yang lainnya. 

Yang terpenting dari kekonsekwenan dari Ketidak TerbatasanNya di sini adalah, ”Ketidak Berang- kapanNya”. Yakni, kalau Dia Tidak Terbatas, maka sudah pasti ”Tidak Mungkin Terangkap”. 

Karena, kalau terangkap, berarti masing-masing rangkapannya terbatas, karena masing-masingnya membatasi yang lainnya. Dan kalau masing-masing rangkapannya terbatas, berarti gabungannya dimana di sini adalah Tuhan, juga akan terbatas, karena gabungan keterbatasan adalah keterbatasan pula (sekalipun lebih luas). 

Dengan semua penjelasan-penjelasan di atas, maka Pembahasan Pertama, yakni Tentang Pem- buktian Wujud Tuhan sudah dapat disimpulkan dengan mudah. Bahwasannya Tuhan itu ”Ada”, ”Tidak Terbatas”, ”Satu” dan ”Tidak Terangkap”. 

Pembahasan Ke Dua Tentang Pengadaan/Penciptaan Tuhan

Dalam pembahasan ini kita akan berusaha menguak dengan dalil-gamblang terhadap ada dan macam-macamnya makhluk. 

Modal utamanya adalah ”Ketidak Berangkapan Tuhan” sebagaimana telah dibuktikan dalam Pembahasan Pertama. Namun, sebelum itu, kita akan melihat sekelumit saja tentang aturan ”Sebab-Akibat”. Salah satu peraturan dan kaidah penting dalam sebab-akibat, adalah keharusan adanya ”Kemiripan” atau ”Kesenafasan” atau ”Keterhubungan” atau ”Kesejenisan” antara sebab dan akibatnya. 

Artinya antara keduanya tidak boleh asing sama sekali. Maka dari itu selalu buah padi menumbuhkan pohon padi, manusia melahirkan manusia, kucing melahirkan kucing.... dan seterusnya. 

Kita tidak pernah menemukan dan tidak akan pernah menemukannya, bahwa biji padi menumbuhkan pohon kelapa atau durian, atau lebih parah lagi mengeluarkan binatang. Begitu pula sebaliknya. 

Semua itu, tidak lain, karena adanya atau keharusan adanya kesenafasan antara sebab dan akibatnya. Nah, sekarang bagaimana dengan Tuhan ketika akan mencipta (”Ketika ini bahasa pinjaman karena sebelum dicipta waktu maka tidak ada ”ketika”). 

Pertanyaan itu sebenarnya berfokus pada, bisakah alam yang banyak ini tercipta langsung dari Tuhan tanpa perantara? Kalau dijawab bisa berarti Tuhan memiliki banyak sekali rangkapan, yakni sebanyak makhluk yang diciptakanNya. 

Karena, dengan adanya keharusan adanya kesenafasan antara sebab dan akibatnya, maka setiap makhluk Tuhan menuntut adanya kesenafasan itu. Dan kalau itu terjadi, berarti dalam Diri Tuhan terdapat nafas-nafas yang banyak dan berwarna-warni atau bermacam-macam. Dan kalau dalam Diri Tuhan terjadi mecam-macam itu, maka berarti masing-masing macamnya membatasi yang lainnya, dan berarti Tuhan merupakan rangkapan dari macam-macam yang terbatas tadi. Dan kalau demikian, berarti Tuhan akan menjadi terbatas dimana sudah pasti makhluk, bukan Tuhan. 

Contoh: Kalau Tuhan mencipta manusia dan kucing secara langsung, berarti dalam diri Tuhan ada dua kuasa yang berbeda. Hal itu karena keharusan adanya kesenafasan antara sebab dan akibatnya. Kuasa Tuhan terhadap Penciptaan Manusia, tidak mungkin dijadikan AlatNya untuk mencipta Kucing. 

Dengan demikian berarti dalam Diri Tuhan ada Dua Kuasa yang berbeda, yaitu Kuasa Mencipta Manusia dan Kuasa Mencipta Kucing. Dan kalau dalam DiriNya ada dua kuasa saja, apa lagi kalau banyak dan ber-juta-juta, maka sudah pasti KuasaNya terangkap dari Dua Kuasa atau Banyak Kuasa, dan kalau KuasaNya memiliki rangkapan dua atau banyak itu, berarti Kuasanya terangkap dari Kuasa-kuasa yang terbatas, karena masing-masingnya membatasi yang lainnya sebagaimana makalauum, dan kalau Kuasa Tuhan rangkapan dari Kuasa-kuasa yang terbatas, maka hasilnya juga akan menjadi terbatas. 

Karena gabungan keterbatasan juga keterbatasan, walaupun lebih luas. Dan kalau Kuasa Tuhan menjadi terbatas, berarti memiliki awal dan akhir, dan kalau memiliki awal, berarti sebelum awal itu Kuasa itu tidak ada, alias Tidak Kuasa. dan kalau Tuhan Tidak Kuasa, berarti Dia Terbatas yang, berarti bukan Tuhan lagi karena pasti Kuasa dan DiriNya itu diadakan oleh yang lainnya. 

Dengan penjelasan ini, dapat disimpulkan dengan mudah bahwa sangatlah mustahil makhluk yang banyak ini dicipta langsung olehNya. Tetapi ingat, ini bukan berarti ”Ketidak BisaanNya”, tetapi karena ”Ketidak Mungkinan Wujud Rangkap dan Banyak Menyentuh DiriNya yang Maha Tidak Terangkap” itu. Persis seperti ”Tidak Bisanya Diciptakan Tiada” di atas. 

Dengan warna bahasa agama, kita mengatakan ”Tuhan Maha Suci dari Segala Macam Kekurangan dan Keterbatasan dan dari Kebersentuhan atau KebernafasanNya dengan Wujud Hina alias Terangkap” 

Dengan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ciptaan Tuhan yang pertama haruslah mende- katiNya, setidaknya lebih dekat dari yang lainnya, atau harus dekat dan mirip sejauh yang memungkinkan bagi makhlukNya. 

Tetapi ingat, karena jarak antara makhluk atau ”Yang Terbatas” dengan ”Yang Tidak Terbatas” itu dijaraki dengan ”Batasan” dan ”Ketidak Terbatasan”, maka sudah pasti, jaraknya juga ”Tidak Terbatas”. Oleh karenanya, walau kita katakan bahwa makhluk pertama ini mirip dan dekat dengan Tuhan, itu sekedar perbandingan dengan makhluk-makhluk lain yang akan datang kemudian, bukan hakikat dekat dan mirip. 

Dengan demikian, maka kita dapat pastikan, bahwa makhluk pertama ini mendekati kesempurnaanNya (ingat ya.... ini bukan dekat betulan, tetapi sejauh yang memungkinkan bagi makhluk). 

Oleh karenanya, maka makhluk pertama ini adalah non materi mutlak juga, tidak memiliki rangkapan juga, dan hampir tidak memiliki batasan juga selain bahwa dia Bukan Tuhan. Tetapi keberlainannya dari Yang Tidak Terbatas itu, maka ia pasti Terbatas juga dan sudah tentu jaraknya denganNya juga Tidak Terbatas, karena Dia Tidak Terbatas. Kalau makhluk lain, selain memiliki batasan ”SelainTuhan”, juga pasti memiliki banyak batasannya, misalnya malaikat Jibril . 

Dengan demikian makhluk pertama Tuhan adalah makhluk yang paling afdhal dan paling tinggi dari makhluk lain kepadanya. Dan ingat, bahwa paling dekat di sini bukan berarti tempat, karena belum dicipta tempat karena tempat/volume milik materi yang sangat berangkap yang tidak mungkin keluar dariNya secara langsung. Tetapi dekat dalam artian Maqam Zat atau Wujud yang dimilikinya. Yaitu Non Materi Mutlak, Tidak Berangkap dalam Nyata dan Ketidak Terbatasannya hanyalah bahwa dia bukan Tuhan, itu saja. 

Jadi, makhluk pertama ini sangat hebat kalau dibanding dengan yang lainnya, tetapi tetap sangat rendah kalau dibanding denganNya, karena Ketidak TerbatasanNya itu. 

Tadi dikatakan bahwa makhluk pertama ini ”Tidak Berangkap dalam Nyata”. Maksudnya adalah tidak memiliki rangkapan dalam hakikat nyatanya, karena kalau memilikinya akan membuat Tuhan yang menciptakannya juga akan menjadi terangkap sebagaimana maklum, tetapi dia memiliki rangkapan itu dalam akal kita sebagai ilmu, yaitu bahwasannya dia terangkap dari ”Dirinya adalah dirinya” dan ”Dirinya bukanlah Tuhannya”. 

Nah, dari sinilah muncul makhluk ke dua, dari ke dua muncul ke tiga dan seterusnya, hingga mencapai ”Non Materi Mutlak Terakhir”. 

Dalam Filsafat, Non Materi Mutlak Pertama itu disebut sebagai Akal-Pertama, begitu seterusnya sampa pada Akal-Terakhir. Dan dalam agama dikatakan sebagai Malaikat-Tinggi (’Aaliin lht QS:38:75) 

Dalam Filsafat, Irfan dan Akhlak juga disebut dengan Jabaruut. Yaitu Non Materi Mutlak yang tidak memiliki matter/bendawiyah dan juga tidak memiliki sifat-sifat lainnya materi. Karena jasmaniah dan sifat-sifat lain dari materi itu adalah suatu kerendahan dikarenakan mereka adalah ”Keberangkapan Nyata”. 

Maaf ada gangguan signal/sinyal, bagus karena tidak ada yang masuk sebelum roger. Kita terusin lagi, 

Bismillaah

Nah, silsilah wujud itu kini sudah mencapai kepada Akal-Terakhir, dimana rangkapan akal auliahnya, bukan nyatanya, sudah mendekati kepada makhluk atau wujud setelahnya. Secara profesional filosofinya, memanglah makhluk Akal dan makhluk setelahnya (selain materi), tidak disebut makhluk, karena makhluk sama dengan ”Bentukan” atau ”Kadaran/Takaran/Ukuran”.dan disebut dengan Amrun/Urusan/Kunfayakun/Sekal-ijadi, tetapi karena tidak terlalu menyangkut masalah kita sekarang, maka kita tinggalkan saja dulu (masalah penamaan ini, dan cukup diketahui bahwa semua non materi disebut sekali-jadi karena tidak memerlukan proses waktu. 

Jadi, dalam tulisan saya tentang Akal dan setelahnya itu (tetapi sebelum sampai materi), mungkin akan sering ditulis sebagai Makhluk, anggap saja maksudnya adalah ciptaan secara umum. Hal ini untuk memudahkan pemahaman saja. 

Setelah silsilah wujud itu sudah sampai pada Non Materi Mutlak Terakhir, maka barulah lahir makhluk lain yang juga non materi, tetapi tidak mutlak. Makhluk inilah yang dikatakan sebagai Makhluk-Barzakh/Antara/Idea/Mitsal/Malakut. Hakikat makhluk ini adalah Non Materi Yang Tidak Mutlak. Artinya, Non Matter/materi dalam ke-Matter-annya saja, yakni Ketidak Bendawiyahannya saja, atau Ketidak Volumean Dirinya saja, atau Ketidak Panjangan, Lebaran dan Tebalan Dirinya saja. Tetapi sifat-sifat lainnya (atau aksidentnya), seperti warna, rasa, bentuk dimiliki olehnya. 

Oleh karenanyalah mereka dikatakan sebagai Non Materi Yang Tidak Mutlak. Hal itu dikarenakan oleh kepemilikannya terhadap sifat-sifat materi tersebut. Pewujudan dari makhluk ini, sering kita dalam alam mimpi atau dalam renungan kita manakala kita membayangkannya, seperti membayangkan ular, kucing, begitu pula kala kita memimpikannya, membayangkannya, seperti membayangkan ular, kucing dan sebagainya. Begitu pula kala kita memimpikannya. Semua ciri materi, ada pada bayangan akal atau mimpi, kecuali ke-matter-an atau kejasmaniahannya. Wujud Barzakh itu juga demikian. 

Mereka itu dalam agama disebut dengan Malaikat-Pengatur-Alam-Materi, seperti dinyatakan dalam QS: 79:5, yakni mengatur pohon, air, hujan, binatang , dan dalam agama lain seperti Hindu dikenal sebagai Dewa-dewa, dan dalam Filsafat disebut sebagai tuhan-spesies. 

Tugas dari tuhan-Species/spesies ini adalah melahirkan/mewujudkan species-species atau esensi- esensi materi dan mengaturnya dengan ijin dan perintah Allah melalui Akal-Satu yang diteruskan kepada Akal-akal yang lain sampai ke Akal-Terakhir. Jadi, yang memerintah langsung Malaikat- malaikat Pengatur Alam Semesta ini adalah Akal-Terakhir . 

Kalau pembaca teliti maka ada beda yang mencolok antara kedua jenis makhluk, yakni Akal dan Barzakh selain dari beda jati diri sebagaimana sudah diterangkan di atas. Yaitu, pada makhluk jenis Akal, masing-masing derajat wujudnya hanya dimiliki oleh satu Akal. Yakni, satu posisi dan maqam satu wujud makhluk Akal. Tetapi dalam makhluk Barzakh, dalam satu maqamnya ini, memiliki banyak makhluk atau banyak Malaikat/Barzakh. Karena alam atau tingkatan Barzakh ini dipenuhi oleh para malaikat yang mengatur segala macam esensi atau speciess yang ada di alam materi dengan ijin dan perintahNya. 

Dengan demikian, keberadaan ”jumlah” atau ”Banyak” (lebih dari satu esensi), dimulai alam atau makhluk Barzakh ini, sekalipun belum berupa ”Jumlah Volume/matter”. 

Tetapi keberbedaan masing-masingnya dan saling membatasinya, sudah terwujud di tingkatan ini. Mereka ini memiliki rangkapan dan sifat-sifat paling dekat dengan materi, yakni paling mirip dengan materi ketimbang makhluk-makhluk Akal. Oleh karenanya sudah layak dan pantaslah kalau alam materi ini keluar atau terlahir dari pada mereka itu, karena beda mereka dengan alam materi hanya di kebendaannya. Maka dari itu mereka bisa dikatakan setingkat di atas materi. 

Maka dengan demikian mereka layak dan wajar melahirkan alam materi ini. Artinya antara mereka dan alam materi ini memiliki kesenafasan dan dan kemiripan sebagaimana dituntut dalam syarat- syarat sebab-akibat sebagaimana telah dijelaskan di atas. Dan, dengan terlahirnya makhluk- makhluk Barzakh ini, maka terlahirlah alam materi. Dengan demikian kita telah mengetahui bahwa makhluk memiliki tiga tingkatan global, Akal, Barzakh dan Materi (Jabaruut, Malakut dan Nasut). Atau Non Materi Mutlak, Non Materi Tidak Mutlak dan Materi. Dan ketiganya disebut dengan ”Alam Besar”. 

Sampai di sini pertanyaan saudara Haerul fikri sudah terjawab. Yakni tentang susunan Alam/ Wujud. 

Pembahasan Ke Tiga, Tentang Lauhu al-Mahfuzh

Sebenarnya, seingat saya, saya sudah menulisnya di Kedudukan Fantastis Imam. Tetapi untuk mengingatkan, saya akan memberikan isyarat di sini in syaaAllah. 

Dengan penjelasan terdahulu, dapat dipahami bahwa Wujud, terbentang sejak dari yang tidak memiliki sejak, awal dan akhir, yakni Yang Tidak Terbatas, sampai pada wujad materi. Dari Tuhan ke Akal-Satu, ke Akal-Dua dan seterusnya sampai ke Akal-Akhir, ada yang mengatakan bahwa mereka berjumlah 10 tingkatan Akal (tetapi tidak kuat dalilnya), lalu dari Akal-Terakhir ke Barzakh dan kemudian dari Barzakh ke Materi. 

Dan karena setiap sebab memiliki kesempurnaan akibatnya secara lebih (karena sebab pasti lebih sempurna), maka makhluk Barzakh memiliki kesempurnaan Materi, dan Akal-Akhir memiliki kesempurnaan Barzakh dan Materi, Akal-Sebelum-Akhir memiliki kesempurnaa yang dibawahnya. Begitu seterusnya ke atas sampai kepada Allah. 

Tetapi kesempurnaan yang dimiliki sebab, sudah tentu lebih baik dari yang dimiliki akibat. Oleh karenanya semakin ke atas atau ke sebab, maka semakin berkurang rangkapannya. Dan kekurangan rangkapan ini menjadikannya, lebih sempurna karena lebih sedikit keterikatannya, yaitu pada masing-masing rangkapannya tersebut, atau semakin me-non-materi, maka kesempurnaan tersebut semakin tinggi lantaran, rangkapannya semakin sedikit (seperti Barzakh) atau bahkan tidak terangkap (seperti Akal). 

Dengan kata lain, kesempurnaan Alam Materi ada di dalam Barzakh, Barzakh ada di dalam Akal dan Akal di dalam Tuhan. 

Tetapi ingat, kata ”Dalam” di sini bukan sebagai tempat, karena Barzakh ke atas Non Materi, dan begitu pula semakin ke atas semakin ”Sederhana” atau semakin sedikit rangkapannya dan ketika sampai ke Akal-Terakhir, maka ”Rangkapan Nyata” itu jadi hilang, apalagi ketika sampai ke Akal berikutnya, sampai ke Akal-Satu dan ke Tuhan. 

Misalnya, Qur'an yang ada di materi, memiliki tulisan dan ucapan yang materi, tetapi di Bar- zakh hanya berupa ayat-ayat yang tidak tertulis dan terbaca secara materi. Dan begitu sampai ke-Akal atau malaikat tinggi ini, maka rangkapan ayat-ayat dan huruf-huruf itu menjadi sirna. Akal atau malaikat tinggi ini, maka rangkapan ayat-ayat dan huruf-huruf itu menjadi sirna. Begitu pula ketika sampai pada Akal-Satu dan Tuhan. Semua rangkapan ayat-ayat dan huruf-huruf itu tidak mungkin terwujud secara rangkapan ayat-ayat dan huruf, karena kalau terwujud, maka Akal dan Tuhan akan memiliki rangkapan yang akan menjadikan mereka terbatas sebagaimana makalaum. 

Memang, Akal tidak sama dengan Tuhan, karena Akal terbatas. Akan tetapi keterbatasannya bukan karena rangkapan yang ada di dalam dirinya, karena mereka tidak memiliki rangkapan sebagaimana maklum. Jadi, keterbatasan mereka, karena mereka bukan Tuhan. Begitu juga wujud-wujud materi lainnya seperti manusia, batu, tanah . Mereka ini semakin ke atas maka semakin sederhana dari rangkapan dan bahkan sampai tidak memiliki rangkapan sama sekali seperti Akal-akal dan Tuhan. 

Di samping rangkapan, gerak dan proses materi juga demikian. Maka semakin ke atas perubahan- perubahan yang ada, terjadi di luar waktu dan jaman, seperti kita bermimpi berjalan, makan dan sebagainya dan bahkan, ketika sampai ke Akal dan, apalagi Tuhan, maka perubahan-perubahan itu sudah tidak terjadi lagi. Yang, jangankan perubahan-perubahan dalam waktu, perubahan- perubahan di luar waktu juga tidak terjadi lagi, karena Akal dan Tuhan, sama-sama Non Materi Mutlak yang tidak memiliki rangkapan sedikitpun dan ketika wujud itu tidak memiliki rangkapan, maka sudah pasti mustahil berubah. 

Karena perubahan adalah dari satu keadaan ke keadaan yang lain. Sementara yang tidak punya tidak mungkin memiliki ”Keadaan”, karena ”Keadaan” adalah susunan tertentu dari bagian-bagian yang dimilikinya. 

Dan ”Perubahan Keadaan ke Keadaan Yang Lain” artinya dari susunan tertentu ke susunan yang lain. Sementara yang tidak memiliki rangkapan, tidak mungkin memliki susunan-susunan itu hingga berubah ke susunan yang lainnya. 

Dengan penjelasan di atas itu, dapat dipahami bahwa ”Jumlah dalam Volume” dan Perubahan dalam Waktu” itu, terjadi hanya pada Materi. Sementara ”Jumlah bukan Volume/jasmaniyah” dan ”Perubahan tidak dalam Waktu” atau Perubahan Kunfayakuni”, terjadi pada Barzakh. Sedang yang ”Satu”, ”Tidak Terangkap” dan ”Tetap/Tsabit” terjadi sejak dari Akal-Terakhir sampai dengan Akal- Satu dan Tuhan. Jadi, kehirukpikukan itu, hanya terjadi di malaikat Barzakh dan terlebih di alam Materi. 

Begitu pula perubahan-perubahan, baik dalam waktu atau tidak, hanya terjadi di Alam Materi sampai Barzakh saja. 

Dengan penjelasan ini, maka dapat ditarik kesimpulan pasti, bahwa Lauhu al-Mahfuzh itu tidak mungkin ada di alam Materi dan Barzakhi. Dan karena ia adalah kitab setingkat di atas kitab Qada dan Qadar, maka ia adalah Akal-Terakhir itu. Ingat, Qada dan Qadar di sini tidak seperti yang diyakni agama Hindu bahwa semuanya sudah ditentukan oleh Tuhan dan dalam filsafat, Akal- Terakhir itu juga dikenal dengan ’Arsy Allah. 

Karena ’Arsy adalah Kursi Singgasana yang diduduki oleh seorang raja ketika sedang memerintah rakyatnya melalui menteri-menterinya. Dan karena malaikat Barzakh itu adalah ”Malaikat Penga- tur Alam Materi” dan karena kepengaturan mereka itu sebagai kepanjangan tangan Tuhan, maka sudah selayaknya kalau Tuhan ”duduk” di kursi singga sanaNya itu. Dan karena ”Duduk” di sini adalah Tuhan yang bukan materi dimana kursinya juga pasti bukan materi, maka yang dimaksudkan duduk di atas ’Arsy adalah ”Maqam Allah yang ada di derajat Akal-Akhir tersebut”. Katakanlah Tangan Allah yang ada di Akal-Akhir tersebut, yakni dengan kata lain, adalah Akal- Akhir itu sendiri. 

Jadi, Allah duduk di atas ’Arsy (QS: 7:54), maksudnya adalah Allah menduduki dan mengontrol serta menguasai Akal-Akhir tersebut. Yakni dengan bahasa gamblangnya, Allah memakai Akal- Akhir itu untuk mengatur alam Materi melalui para mentriNya, alias malaikat pengatur tersebut
Pembahasan ke Empat Tentang Empat Perjalanan: 



Empat Perjalanan ini ada yang Irfanis dan ada yang Mulla Shadrais. Dan sudah tentu Mulla Shadra mengambil dari Irfan. Akan tetapi, sebelum saya terangkan mengenainya, perlu terlebih dahulu untuk menerangkan tentang ”Alam-Kecil”, yaitu ”Manusia”. 

Manusia adalah paling sempurnanya wujud Materi, karena Ruhnya paling afdhalnya ruh yang ada di alam materi. Perlu diketahui bahwa setiap benda memiliki Ruh atau unsur non materi yang mengelola materinya secara langsung. Yakni Tuhan melalui malaikat-malaikat species/ spesies itu membuat materi dan meniupkan ruh ke dalam masing-masingnya, untuk mengelola badaniahnya. Batu, tanah, air, tumbuhan, hewan dan manusia memiliki unsur non materi yang mengatur badannya sesuai dengan kesempurnaan yang dimilikinya. Adanya ruh pada setiap materi ini, sudah dibuktikan di Wahdatul Wujud bagian: 2. 

Pengelolaan ruh terhadap badan materi ini sesuai dengan aktifitas yang dimilikinya. Kalau benda- benda yang kelihatan mati, berarti ruhnya pula rendah. Karena hanya mengatur putaran-putaran atomnya dan yang semacam itu. Tentu saja selain dzikir setiap makhluk untuk Tuhannya sesuai dengan derajatnya masing-masing. Dalam QS: 64:1 Allah berfirman bahwa semua apa-apa yang ada di langit dan bumi bertasbih kepadanya. 

Akan tetapi Tumbuhan, dia lebih sempurna sedikit dari bebatuan. Karena di dalam terdapat kehidupan dan perkembangan. Ruh-batu dan semacamnya, kita namai dengan ”Ruh-Tambang”, dan ruh tumbuhan kita namai dengan ”Ruh Tumbuhan”. Dan kerja Ruh-Tumbuhan ini adalah selain mengatur putaran-putaran atom badannya sebagaimana ruh-batu, ia juga mengatur pertumbuhannya. 

Dan kalau Ruh-Binatang, maka di samping mengatur dua hal itu, juga mengatur gerak-gerak ikhtiarnya. Sementara Ruh-Manusia, disamping yang tiga itu, juga mengatur pikirannya atau akalnya. Dan karena akal manusia ini sangat dekat (dibanding yang lainnya) dengan makhluk Akal-Akhir, maka ia adalah materi yang paling afdhal dan utama. 

Bukti kedekatan manusia dengan Akal, adalah bahwa manusia memiliki akal atau rasio hingga dikatakan Rasional. Ingat, akal manusia bukan makhluk Akal. Akal manusia ini adalah alat untuk memahami universal. Sedangkan universal adalah ”Pahaman Yang Memiliki Lebih dari Satu keberadaan nyata atau ekstensi”. Atau ”Pahaman yang Bisa Diterapkan pada lebih dari satu keberadaan”. Sedangkan mengapa satu pahaman seperti manusia atau pohon bisa diterapkan ke banyak atau lebih dari satu keberdaan? Misalnya Ahmad, Hasan, Husain...dan seterusnya, atau pohon ini, pohon itu, pohon di sini, pohon di sana dan seterusnya? 

Jawabannya adalah karena pada ”Pahaman Pohon” itu kita telah meniadakan ciri-ciri tertentunya. Misalnya ukurannya, warnanya, jumlah ranting dan daunnya dan seterusnya. Oleh karena ketiadaan ukuran dan sifat-sifat tertentunya itulah, maka pahaman tersebut bisa diterapkan ke semua pohon yang ada di alam nyata. Dan ini, mirip sekali dengan keadaan Akal-Akhir yang meliputi semua kesempurnaan di bawahnya. 

Karena kalau pahaman pohon itu sudah diidentikkan dengan keadaan tertentu, begitu pula kalau Akal-Akhir itu juga diidentikkan dengan Barzakh tertentu, maka pahaman pohon itu hanyak bisa diterapkan pada satu pohon, dan tidak akan mencakup yang lainnya. Begitu pula tentang Akal- Akhir kalau hanya meliputi satu Barzakh, maka dia tidak lagi akan bisa meliputi malaikat-malaikat lain yang ada di Barzakh itu. Kalau sudah demikian, maka pahaman pohon tadi tidak lagi universal, dan Akal-Akhir tadi tidak lagi sebagai sebab bagi Barzakh. 

Padahal pahaman pohon itu adalah universal dan Akal-Akhir adalah sebab bagi semua Barzakh dimana menuntut kepemilikannya terhadap semua makhluk Barzakh dimana membuatnya juga mencakupi semua makhluk Barzakh tersebut. 

Dengan penjelasan ini, dapat dipahami bahwa manusia memiliki unsur badani atau materi, dan memiliki unsur ruh. Dan ruhnya ini terbentang dari ruh-tambang ke ruh-tumbuhan, lalu ke ruh- hewan sebelum kemudian ke ruh-akal auliahnya. Ingat, ruh manusia dan ruh apa saja, adalah satu dan non materi. Tetapi ada yang memiliki satu kekuatan saja dan ada pula yang memiliki lebih dari satu kekuatan. Seperti ruh manusia ini memiliki empat kekuatan, tambang, tumbuhan, hewaniah dan akal auliah. 

Dengan demikian manusia memiliki unsur badani, ruhi barzakhi (karenanya semua ilmunya tidak berbadaniah, karena kalau ilmunya berbadan, maka otaknya akan hangus manakala mem- bayangkan dan mengetahui api), dan ruhi akli/aqli. Dan semua ini, mirip sekali dengan Alam- Besar/semesta itu. Oleh karenanya manusia dikatakan Alam-Kecil. Katakanlah ”Miniatur dari alam semesta dan ketiga tingkatannya itu”. Empat Perjalanan yang dimaksud dalam Irfan adalah dari Makhluk ke Khaliq, dan Dari Khaliq ke Kahliq, lalu dari Khaliq ke Makhluq bersama Khaliq, sebelum kemudian dari Makhluk ke Khaliq bersama Makhluk. 

Perjalanan manusia yang pertama itu dimulai dari materi ke barzakhi, lalu ke Akal dan ke Allah. 

Maksud ke Allah, bukan menjadi Allah, tetapi mengembalikan khayalan ”Kepemilikan Ada” yang ada pada kita. 

Sebagaimana sudah dibuktikan dalam Wahdatul Wujud, bahwa yang Ada hanya Allah, maka kita dan alam sekitar ini adalah bukan ada, dan hanya sebagai bayangan atau hikayat tentang Ada itu. Oleh karenanya perasaan memiliki ini harus ditiadakan hingga ”ada” itu dalam tatapan kita menjadi milikNya semata. Kenapa dalam tatapan kita? Karena dari awal memang milikNya dan tak pernah dimiliki selainNya. Maqam pengembalian ”Ada” inilah yang dikenal dengan ”Fanaa’’ ”. 

Caranya secara global adalah, melakukan semua kewajiban dengan baik, meninggalkan seluruh yang diharamakaan, dimakruhkan, karamat, fadhilah, surga, ’Arsy dan seterusnya dari apa-apa selain Allah. 

Perjalanan Pertama ini akan berhenti manakala sampai pada Akal-Pertama. 

Akan tetapi manusia tidak boleh menyukainya kalau ingin meneruskan perjalannya. Yakni kalau ingin menyempurnakan Perjalanan Pertamannya. Nah, ketika ia tidak suka pada diri dan maqamnya yang sudah sampai di tingkat Akal-Satu itulah, hingga ia hanya melihat Adanya saja, maka itulah yang dikatakan ”Akhir Dari Perjalan Pertama” yang disebut pula dengan ”Fanaa’ ”. 

Setelah Perjalan Pertamanya selesai dan dia sekarang hanya melihat Allah, dan tidak lagi melihat lainnya karena memang tidak ada, maka mulailah ia berjalan di antara sifat-sifatNya. Dengan kata lain : mulailah tersingkap satu persatu sifat Tuhannya, dimulai dari yang sifat paling bawah, yaitu Sifat-sifat Perbuatan atau A’mal, sampai ke Sifat-sifat Zati. 

Itulah yang dikatakan Perjalan Ke Dua. Yaitu perjalanan dari Khaliq ke Khaliq. Setelah itu, dengan ijinNya, dia kembali lagi ke Makhluk, tetapi bukan berarti menganggapnya makhluk ini ada dan disukainya lagi. Karena dia kembali sudah dengan kefanaa’annya itu. 

Yakni kembali dengan Tuhannya. Artinya dia yang tadinya hanya hakikat tajalli Tuhan tanpa melihatnya, kini dia telah melihat tajalli itu. Oleh karenanya dia tidak pernah lagi keluar ke merasa wujudnya lagi sebagaimana sebelum fanaa’. 

Ketika ia kembali dengan Khaliqnya yakni dengan ketiada beradaannya dan keberadaan Khaliq- nya, maka ia telah benar-benar merasakan tajalli itu. Oleh karenanya ia telah menjadi Mata Tuhan untuk melihat dan seterusnya sebagaimana yang diriwayatkan di hadits Qudtsi. Oleh karena itulah Allah dalam QS: 53:4, mengatakan bahwa Nabi saww itu tidak bicara apapun kecuali wahyu yang diwahyukan padanya. Ini bukan berarti wahyu yang berupa Qur'an saja, karena Allah mengatakan ”Tidak mengatakan apapun” dimana kalimat ini mencakupi selain Qur'an, yaitu pembicaraan sehari-hari. 

Setelah ia kembali di antara makhluk bersama Khaliknya dengan makna di atas tadi itu, maka ia mulai meneruskan perjalannya dengan mengajak makhluk kepada Kahliq. 

Inilah sekelumit tentang Empat Perjanan Irfani itu. 

Tambahan

pembaca bisa merujuk ke catatanku tentang Kedudukanfantastis Imam, dimana saya membuktikan kelayakan manusia sebagai khalifah dan ketidaklayakan yang lainnya. Hal itu karena, manusia memiliki semua unsur makhluk, dari materi sampai mendekati Akal, dan mencapainya manakala melakukan perjalanan seperti yang diterangkan di sini ini. 

Oleh karena itulah, yakni karena manusia sempurna memiliki semua unsur, maka bisa menjadi Khalifah Tuhan untuk meminpin semua makhluk secara langsung sesuai dengan derajat masing- masing makhluk. Yang mahkluk materi dipimpinnya dengan ruh-materinya, yang tumbuhan dengan ruh-tumbuhannya, yang binatang dengan ruh kehewanannya, yang Barzakhi dengan ruh- barzakhnya dan yang Akal dengan ruh-akal auliahnya yang sudah mencapai Fanaa’, perjalanan dua dan tiga itu. Maka itulah Nabi saww disebut sebagai Rahmatan Li al-’Alamin atau rahmat bagi segenap alam-alam, yakni materi, barzakhi dan akal auliah. 

Sedang Empat Perjalanannya Mulla Shadra ada dua macam, ada yang Irfani dimana sama dengan penjelasan di atas, ada juga yang Filosofi sebagaiamana yang akan saya terangkan sekarang. Mulla Shadra, ketika menulis Filsafat meniru cara perjalannya Irfan. Yakni filsafat yang memberjalankan akal dan pikiran dianalogikan dengan pemberjalanan Ruh manusia. 

Oleh karena itu pembahasan filsafatnya dibagi atas 4 bagian itu. Yakni dari Makhluk ke Khalik, Perjalanan filsafat dari Makhluk ke Khalik adalah Mempelajari Wujud-wujud Terbatas Seperti pembahasan tentang ada, esensi, substansi, aksiden, gerak dan semacamnya. Dan pembahasan pertama tersebut diakhiri dengan pembahasan pembuktian Tuhan. Maka perjalanan pemikiran dan ilmu itu sudah layak dikatakan dari makhluk ke Khalik. 

Setelah Pembahasan Pertamanya selesai, maka Mulla Shadra membahas tentang Tuhan itu sendiri. Baik dari Zat atau Sifat-sifatNya. Setalah itu Mulla Shadra membuktikan keberadaan makhluk dengan keberadaan Khalik. Persis sebagai oposan dari perjalanan pertama. Karena yang pertama membuktikan Tuhan dengan makhluk. Tetapi pada pembahasan ke tiga ini sebaliknya, yakni membuktikan keberadaan makhluk dengan keberadaan Khaliknya. Baru setelah itu Mulla Shadra membahas jiwa atau ruh manusia sebagai wujud yang bisa kembali ke sumber awalnya. 

Di pembahasan akhir ini beliau membahas hakikat ruh manusia, potensinya, bisa-tidaknya kembali pada Khaliknya, apa arti kembali di sini. 

Dengan uraian ringkas ini maka selesailah pembahasan kita kali ini. Semoga penulisan yang memakan waktu 11 jam ber-turut-turut ini (dipotong makan, shalat dan ke kamar kecil, begitu pula ditambah ngadat-ngadatnya signal/sinyal, menjadi bermamfaat dunia-akhirat untuk saya pribadi dan para pembaca sekalian. Semoga juga tidak lupa do’akan alfakir. 

Ali Petra, Ahmad Muhammad Yunus, Miftah Fadhlullah dan 23 lainnya menyukai ini. 

Noer Aliya Agatha: Salam kalau ada notes ajib ditag dong say. Afwan, Makasih .. :) 

Terter Jerry: Ya dunk say bagi-bagi ma kita-kita..afwan wa sukron. 

Haerul Fikri: Subhanallah..! 

Layla Kareem: Tag me. 

Ardi Shushelo: Merupakan kesalahan Al Hallaj yang mengucapkan dan mengajarkan konsep wahdatul wujud (ANA AL-HAQQ) kepada murid-muridnya. Bahwa hal tersebut adalah ilmu yang sangat pribadi dan hanya dimengerti oleh orang-orang yang menerimanya. Selain itu, al haqq merupakan sifat” Allah...” belum terlambat, jangan sampai ilmu ini membuat pikiran temen ”SUTRIIIEEES” dibuatnya. 

Khana Putra: Saya mengumpamakan wahdatul wujud seperti kayu dan api, ketika api dan kayu menyatu dan sudah menjadi bara kita tak kan bisa membedakan mana api dan mana kayu, tapi api tetaplah api dan kayu tak akan bisa berubah menjadi api. 

Don Flores: Saudarii Anggelia, terimakasih atas tautan-tautannya yang sangat berguna buat Aku...salam untuk Haerul Fikri dan Ustadz Sinar Agama. “Semoga kita termasuk golongan orang- orang yg beruntung di dunia dan akhirat dan kepada-Nyalah kita berserah diri“.....amin ya Rabbal alamin. Allahumma shalli ala Muhammad wa Aali Muhammad. Allahumma shalli ala Muhammad wa Aali Muhammad. Allahumma shalli ala Muhammad wa Aali Muhammad...Lihat Selengkapnya 

Adil Irfandi: Tidak ada satu pun dalil dari alquran dan hadist yang membenarkan uraian yang panjang membosankan dan membingungkan ini. Dapat darimana hasil pemikiran ini mimpi kali yeee, ...... 

Sunan Mahakam: Maaf nei> koment antum terakhir termasuk gradasi juga ya...(dipotong makan, shalat dan ke kamar kecil, begitu pula ditambah ngadat-ngadatnya signal) hehehe.. 

Eydzar Ali Stany: @ardi ana Al-Haqq oleh Al-Hallaj berbeda dengan wahdatul wujud yang sedang didiskusikan di atas, mempunyai thema yang sama namun pemikiran yang jauh berbeda :) @ Irfandi Al-Fathihah ayat 1 dan Al-Ikhlas ayat 1-2 sudah cukup menjelaskan uraian... ini ^_^ Al- Qur’an bukanlah buku Komik ^_^ 

Eydzar Ali Stany: @ardi tambahan,,,, kalau diskusi ini mempunyai pemikiran yang sama dengan al-hallaj tentu umat Syi’ah di masa Al-Hallaj tidak akan mendukung hukuman mati atas Al-Hallaj :) 

Muntazar Zaidi: Apakah pada awal Islam, pengikut pertama nabi dari kalangan mustadhafiin seperi Ammar bin Yasir, Bilal, yakni orang-orang yang dalam tanda kutip tidak memperoleh pendidikan formal tinggi-tinggi amat harus memahami filsafat tingkat tinggi untuk jadi orang beriman? 

Nimas Samin Al-asy’ary: Bagaikan AIR dan ES BATU,,, berbeda tapi hakekatnya SAMA,,, air,,,, perumpamaan wahdatul wujud buatku,,,,jadi pendapat alhallaj juga gak salah ni menurutku,,,gak perlu SUTRIS X.....om adi,,, 

Sinar Agama: Salam, Terimakasih untuk mbak Anggelia yang tidak melelahkan dirinya untuk memuat tulisanku yang cerai berai dalam satu tulisan yang ternyata cukup panjang. Terimakasih juga bagi yang lainnya karena telah bersimpati, baik suka atau tidak. 

Sinar Agama: Ali, Antum mengatakan yang benar bahwa pembahasan kita ini sangat beda dengan yang lainnya. Tolong teman-teman kalau memang minat, bacalah tulisan-tulisan di atas dengan seksama, dan kalau bisa baca jg bagian sebelumnya, dan begitu pula nanti yang bagian limanya. 

Anggelia Sulqani Zahra: Salam terima kasih banyak ustad Sinar ...semoga Allah memuliakan jiwamu....ustad. Merangkai tulisan ustad hanya membutuhkan waktu beberapa jam.. tetapi untuk merenungi tulisan ustad, membutuhkan waktu berhari-hari. Jika saya telah mengalami hal itu tentunya saya juga dapat memahami pengorbanan waktu pikiran tenaga serta segala sesuatu yang ada pada diri ustad dalam mengarungi lautan ilmu,,,sehingga hari ini saya mendapatkan mutiara hikmah dari para guru-guru suci yang terdahulu maupun yang sekarang...ustad.. Jika ada komentar-komentar ustad di dinding teman-teman lainnya yang dipandang perlu dijadikan rujukan dalam kelas filsafat ini maka insya Allah saya akan mengumpulnya menjadi satu catatan, tentunya melalui petunjuk ustad.. 

Sinar Agama: Mbak Anggelia: Terimakasih atas semua kerja dan perhatiannya. Kayaknya baha- san ini akan tersusuli dengan contoh ayat-ayat dan riwayat irfan atau wahdatulwujud, karena sepertinya akan ada yang)menanyakan ayat tentang itu. 

Sinar Agama: Tak lupa kumohon do’anya dari mbak Anggelia dan yang lain supaya kita selalu membajui diri yang kumuh ini dengan cahayaNya(.) 

Komar Komarudin: Salam, sebagai sumbang saran saja, itu kalau diterima, sebaiknya teman- teman yang mengikuti kajian ini, da baiknya memiliki buku Tauhid karya : Hujatul Islam, Hasan Abu Ammar terbitan yayasan Mullah Shadra, cukup baik sebagai referensi sebagai pengimbang dengan Istilah-istilah yang hampir sama cara penyampaiannya, kalau ada yang berminat memiliki buku ini tolong kirim pesan by inbox, .... untuk Mba Anggelia salam kenal, mohon kalau ada tulisan-tulisan atau apalah tentang keilmuan di tag ke saya. Sukron kasir. Semoga Allah SWT membantu kita semua dalam mengarungi samudranya ilmu, membuka tabir-tabir Hikmah-himah Tuhan yang selama ini hilang dan nyaris tak pernah kita sentuh...Ilahi Amin. 

Hati Kecilku: Pak Komar,,,af1 dimana ana bisa beli,,,ana di Papua,,mungkin antum tau toko yang bisa jual pesanan? 

Komar Komarudin: Akhi.....Antum bisa pesan ke ana, atau kontak ke yayasan.. Tulis aja alamat dan Hp antum By Inbox ana...Insya Allah Kita Kirim. Tapi Kalau bisa teman-teman di sana ditawarin juga .. biar biaya kirimnya murah.. 

Aat Laparuki: Jangankan manusia, api di bukit Tursina di hadapan Musa AS juga pernah mengucapkan dan mengaku seperti pengakuan al Hallaj. Dan diabadikan dalam Alquran, cuman saya lupa surah dan ayatnya -tolong dingatkan dong bagi yg tahu. Hehehehe 

Anggelia Sulqani Zahra: Ustad, Sinar Agama dan teman-teman..maaf catatannya baru selesai diperbaiki kalimat-kalimatnya’ tentunya tidak merubah maksud kalimat aslinya ’’’silahkan baca kembali.... 

Sinar Agama: Salam Anggelia, maaf terpaksa kuterbitkan lagi, karena berbagai hal, yakni banyak yang minta dan selalu tanya balik karena kadang tidak terlalu mudah mendapatkan di tempatmu karena harus add dulu dan sebagainya, jadi dari pada aku jawabin orang-orang terus-terusan, jadi kuterbitin saja di catatanku, semoga kamu memaafkanku. 

Sinar Agama: Aat, sepertinya antum belum teliti membaca tulisanku, afwan.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ