Tampilkan postingan dengan label Shiraatu Al-Mustaqiim. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Shiraatu Al-Mustaqiim. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 25 Juli 2020

Perbedaan Jalan Lurus dan Jalan Sesat


Oleh Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/250778004967003/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 20 September 2011 pukul 16:40


Yunus Abdullah Terlambat Sahur: Sudah berapa banyak yang ente sesatkan ?


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

Adanya keyakinan akan adanya imam maksum as setelah Nabi saww, sudah tentu merupakan jalan lurus dan tidak sesat. Dan sebaliknya, yang tidak meyakininya, pertanda ia tidak ada di jalan lurus tersebut. Karena Tuhan mengatakan dan menafikan kesalahan apapun terhadap jalan lurus itu. Karena itu berfirman bahwa jalan lurus dan shiraathu al-mustaqiim itu adalah jalan yang sama sekali tidak memiliki kesalahan. Alif laam yang ada pada “sesat/salah” yakni “dhaalliin” hingga menjada “al-dhaaliin”. Nah, Tuhan mengatakan bahwa jalan lurus itu adalah “yang tidak salah sama sekali”. Nah, dengan demikian, maka jalan lurus itu adalah jalan Islam yang ilmu-ilmunya lengkap seratus persen sudah tentu benar juga seratus persen. Dan karena ilmu dan amal seratus persen itu meliputi lahir dan batin, maka hanya Tuhan yang tahu siapa mereka yang maksum itu.

Minggu, 12 April 2020

Jalan Lurus dalam Agama


Oleh Ustad Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/?id=224759807568823 Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juli 2011 pukul 16:12


1. Qur'an itu menyuruh kita taat pada pemimpin dari kalangan manusia sejak Rasul saww masih ada. Lihat QS:4:59. Di ayat ini Allah wajibkan umat Islam untuk taat pada pemimpin dari manusia(minkum). Oleh karenanya imam ini sudah harus ada sejak jaman Nabi saww, karena kalau tidak ada, berarti Tuhan seperti suruh kita masuk surga tapi tidak ada surganya, atau suruh kita puasa di bulan Ramadhan tapi tidak ada bulannya.

2. Imam ini harus maksum, karena taat yang didankan pada Rasul saww dan imam pada ayat tersebut adalah taat yang mutlak, bukan bersyarat. Dan taat mutlak ini tidak bisa terjadi kecuali yang ditaati benar secara mutlak juga.

Lagi pula tidak masuk akal Allah suruh kita taat pada orang yang salah manusia ber-bondong-bondong maksiat padaNya.

Kamis, 06 Februari 2020

Shiratu Al-Mustaqim/ Jalan-lurus


Seri tanya-jawab: Al-Louana dan Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068?view=doc&id=223763604335110 by Sinar Agama (Notes) on Sunday, July 24, 2011 at 6:10am


Al Louna: Afwan ustadz, satu pertanyaan lagi; Tolong jelaskan dalil universal Shirat Al-Mustaqim?

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya.
Allah berfirman bahwa jalan lurus itu memiliki 3 kriteria:

(1). Jalannya orang-orang yang diberi nikmat:

ِصَراَطالَِّذيَنأَنـَْعْم َت َعلَْيِهْم

Di ayat yang lain (QS: 4: 69) Tuhan menerangkan tentang orang-orang yang diberi nikmat itu:


َوَمْنيُِطِعاللَّهََوالَّرُسوَلفَأُولَئَِكَمَعالَِّذيَنأَنـَْعَماللَّهَُعلَْيِهْمِمَنالنَّبِيِّيَنَوالِّصِّديِقيَنَوالُّشَهَداِءَوالَّصالِِحيَنَوَحُسَن أُولَئِ َك َرفِيًقا

"Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul, maka mereka bersama orang-orang yang diberi nikmat ke atas mereka, yaitu para nabi, shiddiqiin, syahid dan orang-orang shalih. Dan mereka adalah sebaik-baik teman."

Ini kriteria pertama Jalan Lurus. 

Kamis pukul 0:47 · Suka

Selasa, 04 Februari 2020

Tanggapan Atas Komentar –Komentar Video Kiriman Jjihad ‘Ali“ Tentang Jenazah sudah 24 Tahun dikubur, tetap utuh


oleh Ustad Sinar Agama. http://www.facebook.com/groups/210570692321068?view=doc&id=221892821188855 Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 22 Juli 2011 pukul 12:33


Siti Handayatini: Excuse me, Pak Sinar Agama! How should I explain my brain about this fact? HIS WILL would no ever breaks HIS own rules, right? Please help me to get HIS message, here, please...


Sinar Agama: Siti: Kamu yang sering baca tulisanku mestinya tidak heran dengan masalah seperti ini. Karena ruh orang mati kan masih berhubungan dengan badannya sebelum dunia materi ini hancur di hari kiamat. Nah, ruh yang kuat, artinya yang tidak perduli pada badannya dijalan Allah, sangat mungkin diberi kekuatan oleh Allah untuk menjaga badannya sebagai hujjah untuk orang hidup. Terlebih syahid tersebut dikubur di Irak dan Tuhan tahu akan digali lagi untuk dipindahkan ke Iran. Itulah yang sering saya katakan bahwa Tuhan tak pernah henti menghidayahi manusia walau manusia itu sendiri menolaknya.

Selasa, 24 Desember 2019

Meniti Shirat Yang Ada di Dalam Neraka Selama 50.000 tahun Dalam 50 Estafet/Pintu


Seri tanya jawab Heri Widodo dengan Sinar Agama November 2, 2013 at 4:55 pm


Heri Widodo mengirim ke Sinar Agama: 22-4-2013, Assalamu’alaikum, wr. wb. Sholawat. Ustadz, afwan. Apa saja yang terjadi ketika seseorang berada di Alam Kubur. Mohon deskripsikan perjalanan seseorang dari mulai ajal menjemput, diurus jenazahnya, setelah berada di liang lahat, hingga dibangkitkan lalu digiring di Padang Mahsyar, kemudian ditimbang di Al Mizan, dipaksa melewati jembatan Shirathal Mustaqim hingga kecemplung di Neraka lalu menikmati kehidupan Alam Surga hingga menuju ke Alam diatasnya lagi. Apakah Almarhum setiap hari memantau aktifitas-aktifitas keluarga atau orang-orang yang dicintainya yang masih hidup. Apakah putaran waktu pagi, siang, sore, malam, dan sebagainya masih dirasakan bagi si mayit. Mungkinkah orang yang meninggal masih bisa merayu Allah untuk kemaslahatan siapapun yang masih hidup. Surat al Fathihah yang dikirimkan untuk Almarhum di alam kubur langsung mewujud sebagai apa. Faktor apa saja yang melatarbelakangi Hadhrat Maryam binti Imran Sa menjawab seperti ini “bila Allah mengizinkan aku hidup kembali, aku amat merindukan untuk berpuasa diterik siang hari dan bangun munajat didinginnya malam”.

Sulis Kendal, Al Asghar, dan Yoez Rusnika menyukai ini

Sang Pencinta: Salam, ini pernah saya tanyakan, 1162. Ke Dahsyatan Menjelang Kematian Oleh Ustad Sinar Agama:

http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/496962047015263/

Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya: Seingatku sudah ada di catatan tentang semua yang antum tanyakan itu. Tolong Pencinta, berikan katalog yang lima seri itu, biar dicoba untuk dicari dulu di sana. Karena kalau ana tulis lagi, akan sangat panjang dari berbagai pertanyaan di atas itu.

Kalau mau cari, carilah pembahasan tentang: Ruh dan pembagiannya; Ruh manusia ketika sudah mati; Makna jalan lurus di akhirat; Makna timbangan di akhirat; Posisi neraka dan surga; Syafaat; Tawassul; Hubungan manusia dengan orang mati; Pengaruh amalan yang hidup seperti hadiah- hadiah ibadah kepada yang mati; dan semacamnya.

Untuk Hadhrat Maryam as itu, sudah tentu karena berbagai faktor yang diantaranya adalah faktor cinta sejati kepada Allah, karena keindahan cinta itu terletak di tiadanya diri yang sudah tentu tidak akan pernah melihat dirinya, deritanya dan seterusnya. Ini yang bisa kita raba dan, hakikatnya, sangat jauh dari yang dapat kita tangkap.

Dan untuk tambahan jalan lurus di akhirat itu, dimana jembatannya sudah pernah dijelaskan sebelumnya bahwa diterangkan dengan dua keterangan hadits yang juga mengatakan bahwa ada di dalam neraka yang memiliki lima puluh pintu pertanyaan dan proses tanya jawabnya. Karena itu cari juga catatan yang menerangkan bahwa semua orang pasti masuk neraka sekalipun para Nabi as dan Imam as, tapi tidak panas bagi mereka karena diselamatkan Tuhan (QS: 19: 71-72):


“Dan tidak seorangpun dari kalian kecuali akan memasukinya -neraka- dan yang demikian itu sudah merupakan ketentuan pasti Tuhanmu. Kemudian Kami akan menyelamatkan yang bertaqwa dan membiarkan yang aniaya di dalamnya dengan keadaan telungkup/membungkuk.”

Tambahannya diambil dari pertanyaan inbox:

Harun Aprianto Baru: Salam Ustadz, pada QS 32:5 satu hari kadarnya seribu tahun pada QS 70:4 satu hari kadarnya lima puluh ribu tahun, apa maksud perbedaannya?

Sinar Agama: Salam:

Banyak tafsiran untuk yang 1.000 tahun itu. Tapi yang terkuat adalah waktu di akhirat kelak.

Sedang di QS: 70:4 itu, dimana menyatakan 50.000 tahun, maka imam Ja’far as pernah ditanya dan jawabannya adalah: Bahwa di akhirat kelak itu ada 50 tahapan dimana masing-masing tahapannya memiliki waktu 1.000 tahun.

Jadi, proses tanya jawab di pintu-pintu Shirathalmustaqim yang berada di dalam neraka itu, memiliki masa waktu 1.000 tahun pada masing-masing proses dan pintunya hingga keseluruhan 50 pintu itu akan memakan waktu 50.000 tahun lamanya. Jadi, selama itu kita akan berada di neraka sampai keluar ke surga atau tenggelam bahkan di pintu awalnya.

Sedang yang taqwa dan terutama para Nabi as dan Imam as, sudah pasti akan terasa ringan dan cepat sebagaimana juga diterangkan oleh Islam bahwa banyak yang bahkan tanpa hisab untuk masuk surga. Tanpa hisab ini, maksudnya adalah dengan penghisaban yang super cepat hingga 50.000 tahun itu, bisa ditempuh dengan sepersejuta detik.

Karena itu, kalau ingin cepat pemeriksaannya di sana, lakukankah pemeriksaan selalu di dunia ini. Dan alat periksanya, tidak lain kecuali akidah dan fikih sebagaimana sudah sering diulang.

Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Selasa, 21 Agustus 2018

Lensa (Bgn 13): Tentang Shiraatu al-Mustaqiim



Oleh Ustad Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 19:11



Makna shiraatu al-Mustaqiim itu adalah jalan Islam yang lurus dan tidak memiliki kesalahan sedikitpun. Hal ini dapat dipahami dari dua jalan (setidaknya). Pertama dari kata-katanya, yakni “jalan lurus” dimana kalau ada bengkoknya sekalipun sedikit, jalan itu sudah tidak bisa lagi disebut dengan “jalan lurus”. Dalam logika, pahaman makna dari kata “jalan lurus” itu termasuk pahaman yang sangat mudah (dharuri, necessary knowledge).

Dapat dipahami dari ayatnya itu sendiri bahwa “jalan lurus” itu adalah yang tidak memiliki kesalahan sedikitpun. Karena dalam ayat itu, telah diterangkan adanya tiga sifat untuk “jalan lurus” tersebut:

Jalan orang-orang yang diberi nikmat (dalam ayat lain dikatakan bahwa meraka adalah para nabi, syhid, shalih dan shiddiqin), dan yang tidak dimurka (ghairi al-maghdhub) dan tidak tersesat (wa laa al-dhaalliin). Nah, pada kriteria ke tiga ini, dikatakan sebagai jalan yang tidak tersesat sedikitpun. Artinya tidak salah sedikitpun. Ini adalah arti jalan lurus atau “shiraatu al-mustaqiim” itu.

Tentang hubungannya jalan lurus dengan kenabian, sudah pasti ada hubungannya. Dan bahkan bukan lagi hubungan, tapi dasar dan pondasinya. Artinya, jalan lurus itu justru tidak bisa diambil kecuali dari ajaran Nabi saw, baik yang diterangkan melalui wahyu Qur'an (wahyu yang makna dan susunan katanya dari Tuhan dan berupa kitab suci al-Qur'an), atau baik melalui wahyu selain Qur'an (baik hadits Qudsi, atau seluruh ucapan dan perbuatan Nabi saww. karena seluruhnya itu adalah wahyu Tuhan yang maknanya dari Tuhan dan susunan kalimat atau penyampaiannya diserahkan ke Nabi saww.).

Dengan demikian, maka sudah tentu tanpa Nabi saww. jalan lurus itu tidak akan pernah terwujud. Masalahnya sekarang adalah apa setelah Nabi saww? Kalau tidak ada orang seperti Nabi saww, yang lengkap ilmunya dan benar semua tentang Islam, yakni tidak ada orang maksum (dalam ilmu dan amal) setelah Nabi saww, maka “jalan lurus” itu sudah pasti tidak akan ada.

Jadi, tanpa imam maksum yang ilmunya seratus persen lengkap dan benar, maka jalan lurus itu tidak mungkin ada.

Tentang hubungan jalan lurus dengan pengembangan ilmu, sudah pasti ada hubungannya. Karena jalan lurus itu dari sisi akhlakiahnya. Yakni jalan lurus itu adalah jalan kehidupan. Sementara pengembangan ilmu itu, adalah alat kehidupan. Jadi, dengan alat apapun, Islam tetap seiring denganya. Karena Islam bagian pengarahan hidupnya itu. Kalau dulu orang diharamkan mengganggu orang dan alat mengganggu seperti merusak alat rumah tangganya atau berteriak- teriak di waktu tengah malam (waktu tidur), maka sekarangpun tetap haram mengganggu orang sekalipun alat ganggunya seperti menyebar virus komputer dan seterusnya.

Saya dulu pernah menerangkan tentang Relatif-vertikal, yakni relatif meningkat ke atas yang sama-sama benar.

Di ini juga berlaku dengan dua dalil setidaknya. Nabi saww bersabda bahwa para nabi tidak berbicara dengan umatnya kecuali sesuai dengan kemampuan umatnya.

Nah, di sini sudah tentu di awal-awal islam, karena peradaban teknologi (bukan akhlaki yang cenderung sama dalam setiap generasi) jaman itu jauh di bawah masa sekarang, sudah tentu Nabi saww, menyesuaikan penerapan syariatnya dengan peradaban teknologi yang ada.

Jadi, hukum keharaman menyebar virus komputer waktu itu belum dinyatakan. Tetapi jelas ada dalam Islam, karena Islam adalah agama yang lengkap sampai hari kiamat. Karena itulah dalam Syi’ah tidak diperkenankan adanya qiyas (meminjam hukum pada suatu benda yang ada pada jaman Nabi saww ke atas benda yang tidak ada pada jaman itu tetapi mirip dengannya). Karena kalau kita meyakini Qiyas berarti meyakini akan ketidaklengkapan hukum Islam. Apalagi tidak ada suruhan Qur'an atau hadits yang menyuruh mengqiyas.

Dalam riwayat Ahlulbait as, dikatakan bahwa setiap ayat Qur'an itu memiliki 7 batin, dan masing- masing masih memiliki 7 batin lagi.

Dengan dua mukaddimah itu, maka dapat dipahami bahwa Islam Yang Jalan Lurus-pun memiliki tingkatan kebenaran. Artinya semuanya jalan lurus, tetapi dari sisi tingkatannya tidak sama.

Ketidaksamaan derajat jalan lurus itu, bisa dilihat dari dua sisi:

Dari sisi alatnya, yakni teknologinya, dimana jelas hal ini tidak menentang perkembangan ilmu. Jadi dari sisi kedalaman hukum atau karakternya yang dimunculkan adalah sama, seperti haram mengganggu orang lain. Tetapi dari sisi alatnya yang sudah dikembangkan, jauh berbeda dimana saking jauhnya teknologi yang baru tidak akan bisa dibayangkan dan dipercaya oleh orang masa lalu.

Contohnya, pernah imam Ja’far as berdebat dengan orang kafir yang sok ilmiah yang mengatakan bahwa hujan bukan dari Tuhan, tetapi dari air yang menguap karena panas matahari dan membeku kembali di langit karena dingin. Imam as, setelah menerangkan bahwa semua yang ada dari air, matahari dan hukum alamnya dicipta Tuhan (tidak terjadi dengan sendirinya) dimana dengan itu maka semua itu bisa dan bahkan harus dikatakan dari Tuhan (seperti hujan).

Setelah itu imam as bertanya pada orang itu “coba kamu lihat batu di sampingmu itu, apakah dia diam atau bergerak?”. Orang itu dengan tertawa menghina mengatakan “jelas diam”. Imam as berkata “dia dalam diamnya itu sedang aktif bergerak dan orang-orang di masa datang yang akan membuktikannya”. Dari riwayat ini dapat disimpulkan bahwa dari sisi alat hukum syariat, jelas tidak bisa disamakan. Tapi dari sisi hakikat hukumnya, maka Islam tetap sama.

Dari sisi hakikat hukumnya itu sendiri. Di sini, hukum yang dimaksud adalah dari sisi syariat Islamnya secara umum. Apakah ia berupa keilmuan tentang ke-Tuhanan atau adab di hadapan Tuhan. Ilmu ke-Tuhanan, sekalipun sudah dijelaskan dalam Qur’an dan Hadits, tetap saja memiliki peringkat-peringkat. Karena itulah Tuhan mengatakan untuk mengambil yang lebih baik dari wahyu-wahyu yang diturunkanNya (QS: 39: 55).

Atau di sebuat riwayat dikatakan bahwa Allah menurunkan surat Tauhid karena di masa yang akan datang ada orang-orang yang mendalami tentang ke-Tuhanan.

Jadi, disini perkembangan ilmunya terjadi langsung pada syariat islam itu sendiri. Tetapi ingat , ia tetap vertikal, jadi sama-sama benar. Orang yang memahami bahwa “Katakan bahwasannya Allah itu Satu” adalah benar. Dan yang memahami bahwa “Katakan bahwa Dia adalah Allah dan Allah adalah Satu”, juga benar. Dan kedua pahaman itu berbeda jauh bagai langit dan bumi. Tetapi dalam bentuk vertikal. Karena bagi pemahaman pertama maqam tertinggi itu adalah Allah, sementara bagi yang ke dua, Allah itu adalah Asma dan tajalli dari Huwa/Dia. Karena itulah bagi pahaman pertama kata huwa/dia itu diartikan sebagai kata sambung, yakni “bahwasannya dia adalah”, sedang bagi yang ke dua bermakna “Dia” yang tentu sebagai Subyek kalimat pertama, bukan kata sambung. 

Sedang tentang adab di hadapan Tuhan jelas, bisa dilihat perkembangan vertikal dari syariat Islam dalam bentuk-bentuk seperti irfan amali. Kalau di jaman dulu, mungkin jalan yang terlihat hanya beberapa jalan saja, hingga mencapai fana’ misalnya, tetapi kemudian terlihat ada seribu jalan atau bahkan sejuta jalan. Tentu saja semua itu dari Islam dan Qur'an, tetapi orang dulu tidak mampu melihatnya seperti orang kemudian.

Wassalam. 


Eman Sulaeman dan 6 orang lainnya menyukai ini.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ