Tampilkan postingan dengan label Dosa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dosa. Tampilkan semua postingan

Minggu, 06 September 2020

Kiat Menghindari Dosa


Oleh Ustadz Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/272660932778710/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 8 November 2011 pukul 16:52


Denok Saja: Assalamu’alaikum Ustadz..

Ustadz, saya ingin bertanya. Bagaimana kiatnya agar bisa kuat hati dan pikiran untuk tidak lagi melakukan dosa yang seringkali dilakukan? Ingin sekali bisa mendekati kriteria orang yang “adil”. Kalau suci, kelihatannya, tidak mungkin bagi saya. Kalau bilang tobat, aduh syetannya tambah besar, Ustad... Maaf dan terimakasih.

Selasa, 09 Juni 2020

Bisakah Orang Biasa Menembus Hijab dan Bersih dari Dosa ?!



seri tanya jawab Irsavone Sabit dengan Sinar Agama 
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, March 19, 2013 at 12:09am


Irsavone Sabit: Apakah Bisa Kita Manusia Biasa yang penuh dosa Menembus Hijab yang tebal dalam sholat seperti para imam Makshum?

Kamis, 19 Desember 2019

Shalat, Doa Mukminin dan Ampunan Tuhan, Bukan Otomatis Sebagai Pengampun


Seri tanya jawab KinAi RiNan dengan Sinar Agama November 2, 2013 at 4:09 pm


KinAi RiNan mengirim ke Sinar Agama: 17 April 2013

Salam, saya pernah menemui orang berkata “selagi kita ini sudah mengerjakan sholat maka kita sudah bisa di pastikan masuk surga karena kita ini seorang muslim, dan seorang muslim tiap hari di doakan oleh jutaan muslim lainnya, termasuk di doakan agar dosa dosa kita di ampuni, dan tentu doa itu akan di kabulkan karena yang mendoakan lebih dari 40 orang, yang mendoakan 40 orang saja bisa di kabulkan apalagi yang mendoakan jutaan orang tiap hari.

Pertanyaan saya:

1. Bagaimana menurut Ustadz kata-kata orang di atas ?

2. Bagaimana sebenarnya maksud hadist yang mengatakan bahwa setiap doa 40 orang pasti ada salah satu yang di kabulkan? (maaf teks hadits lengkapnya saya tidak tau tapi saya sering mendengar hadits ini saat ceramah-ceramah pengajian Sunni).

3. Sejauh mana doa saudara muslim yang mendoakan kita terutama doa di ampuninya dosa- dosa kita, apakah dosa kita akan habis setelah di doakan atau hanya berkurang aja ? Syukron Ustadz.

Achmadi Al Fauzi dan KinAi RiNan menyukai ini.


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

Mukaddimah:

1- Sepertinya, saya sudah sering menjelaskan bahwa ajaran Islam itu bukan satu ayat dan bukan pula satu hadits. Tapi ribuan ayat dan ribuan hadits.

2- Ketika Islam itu terdiri dari ajaran yang bersumber dari ribuan ayat dan hadits, sudah tentu ajaran yang akan diambil daripadanya, juga ribuan ajaran dan pelajaran, baik keimanan atau fikih dan hukum.

3- Ketika Islam itu terdiri dari ribuan ajaran akidah dan fikih, maka jelas tidak bisa ditegakkan hanya dengan beberapa ayat-hadits atau beberapa akidah dan fikih.

4- Menjadi Islam itu dari satu dua ayat dan hadits, atau dari satu dua akidah dan fikih, sama dengan membuat gambar manusia dengan hanya melukis telinga dan hidungnya.

5- Wahabi mengapa berwajah mengerikan, karena mereka, di samping membuat agama mereka dari satu dua ayat-hadits itu juga tidak mau mendengarkan dan adu argumentasi dengan pandangan lain serta, ini yang paling berat, memaksakan keyakinannya kepada golongan lain dan menghalalkan segalanya manakala tidak mau menerima akidah mereka. Jadi, kalau wahabi itu digambarkan sebagai singa, maka ia hanyaterdiri dari gigi dan taring saja. Terlebih gigi dan taringnya itu, dibuat dari ajaran Yahudi yang dinisbatkan kepada Islam. Akhirnya, mereka menjadi mengerikan di atas mengerikan. Sekalipun singa kalau lengkap, maka masih bisa dilihat keindahannya dari jauh, sebab bulunya yang indah, bentuknya yang juga gagah dan semacamnya, bisa dinikmati yang memandangnya. Tapi kalau hanya gigi dan taring saja, maka menjadi mengerikan secara luar biasa. Mereka itu, persis berada di arah yang berlawanan dengan Islam itu sendiri. Jadi, kalau Islam itu nur di atas nur, maka mereka adalah kesesatan di atas kesesatan. Kalau Islam itu murni dan asli, maka mereka itu adalah bid’ah di atas bid’ah.

6- Bayangin, wahabi, dengan satu hadits bid’ah, semua jadi bid’ah dan semua kebenaran lainnya pun sudah tidak berharga lagi hingga semuanya wajib masuk neraka dan dibunuh. Karena hadits bid’ah adalah semua bid’ah itu dhalaalah/sesat dan setiap sesat, tempatnya di neraka. Jadi, mau bertauhid, mau shalat dan puasa, mau haji, mau apa saja, pokoknya harus masuk neraka karena melakukan bid’ah.

Kan jadi kacau. Terlebih lagi mereka sama sekali tidak mengerti maksud bid’ah itu. Mereka mengartikan bid’ah itu adalah semua tambahan. Yang lebih mengenaskan sebenarnya bukan dedengkot wahabinya. Karena kalau dedengkotnya itu hanya dan hanya mencari jalan supaya bisa membantai muslimin dan menguasainya dengan nama Islam. Karena itu, bagi mereka kerajaan, sekolah, foto, cium tangan, menyembah, sungkem, tarian-tarian, pelacuran, tidak hijab, diskotik, sebagaimana yang kita lihat di kerajaan-kerajaan mereka, dengan rileks dan senang hati melakukannya. Tapi yang dibodoh-bodohi, yaitu muslimin dunia yang lugu, yang mau dipentungi di Ka’bah karena mencium ka’bah tapi tidak mengapa cium hajar aswad dan seterusnya apalagi yang keblinger dengan bantuan uangnya yang ia ambil dari hasil penjajahannya (menjajah Sunni di semenanjung jazirah Arab termasuk Makkah dan Madinah dengan mengorbankan ribuan Sunni yang digorok seperti binatang di alun-alun kota dan lapangan terbuka), maka mereka dipaksa ekstrim untuk menjaga nilai-nilai yang mereka gariskan, seperti membid’ah ini dan itu, seperti gambar, dan seterusnya.


Jawaban Soal:

1- Semua yang ditulis atas itu, yakni wahabi, diambil dari sisi ajaran Islam yang melarang bid’ah. Nah, begitu pula dengan apa yang antum tanyakan. Yakni sisi dan dimensi yang lain dari ajaran Islam ini. Yaitu dari sisi pengampunan karena didoakan muslimin.

Artinya, kalau hanya ini yang diambil dari Islam, maka sudah tentu akan menghasilkan wajah yang aneh pula. Memang boleh mengharap, tapi tidak boleh meninggalkan ayat-ayat dan hadits-hadits yang lain. Wahabi juga boleh bergaya mau taqwa dan ingin membersihkan diri dari bid’ah, tapi: Pertama harus dipahami dulu apa arti bid’ah itu. Ke dua, jangan meninggalkan ayat-ayat dan riwayat-riwayat yang lain.

Jadi, kalau gambaran wahabi dari singa itu adalah hanya gigi dan taringnya, maka gambaran pengampunan ini sama dengan melukis buaya yang hanya air matanya saja. Yakni tanpa mata, hidung, kepala dan bagian-bagian tubuh lainnya. Akhirnya, akan menjadi lucu kalau melukis air mata lalu mengatakan kepada orang bahwa gambar itu adalah buaya. Persis seperti wahabi-wahabi itu. Dengan demikian, maka tidak benar kalau ajaran Islam mengatakan bahwa yang penting shalat lalu mau berbuat dosa apa saja, maka tetap akan masuk surga. Sisi ketidakbenarannya banyak, diantaranya:

a- Anggap sudah benar, sekali lagi anggap sudah benar, bahwa yang penting shalat. Tapi shalat ini adalah yang shalat menurut Tuhan, bukan shalat menurut kita. Shalat menurut Tuhan adalah yang sesuai dengan QS: 29: 45:
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan maksiat dan mungkar/batil.”

Karena itu, kalaulah yang penting itu shalat, maka shalat yang menepis semua dosa dan kebatilan. Karena itu, lalu bagaimana orang yang shalat itu masih melakukan dosa. Itulah mengapa di Syi’ah, orang yang masih melakukan dosa tidak bisa jadi imam shalat. Karena shalatnya berarti belum benar secara lahir dan batin. Karena kalau benar, sudah pasti dijamin Tuhan bahwa ia tidak akan melakukan segala macam kebatilan dan dosa apapun. Minimal, secara sengaja. Karena itu kalau tidak sengaja, tidak dosa dan tetap tidak mengganggu lahir batin shalatnya.

Jadi, yang shalatnya sudah benar, pasti tidak akan melakukan dosa, alias kesalahan yang disengaja atau membiarkannya setelah tahu. Karena itu, ia pasti tidak akan berdosa dalam urusan-urusan dirinya, keluarganya, sosialnya, organisasinya, pertemanannya, budayanya, politiknya, ekonominya, berjihadnya, bertablighnya, mengajarnya, belajarnya, berdagangnya, pengajiannya, peringatan syi’ar-syi’ar Islamnya seperti mauludatau kesyahi- dan, menolong yang tertindasnya seperti Sampang, facebookannya, dan seterusnya.

Karena itulah, Islam mengatakan bahwa kita tidak boleh melihat hanya wajah dan bentuk- nya, tapi harus melihat nilai-nilai dasarnya dan kebenaran gamblangnya. Jadi, tidak perlu yang menjadi ustadz merasa lebih dari yang lain selain hanya dan hanya informasinya saja (karena muridnya bisa sangat lebih tinggi ketaqwaan dan derajatnya dari gurunya yang apalagi mengajar demi uang dan lain-lainnya sekalipun uang ini tentu halal kalau bukan ngajar fikih, tapi pahala mengajarnya akan hilang). Begitu pula, yang menjadi murid, jangan merasa lebih rendah dari gurunya kecuali hanya dan hanya dalam informasi dan ilmunya saja (tentu tidak boleh juga menyombongkan diri dan merendahkan gurunya. Maksud saya tidak perlu minder dan merasa pasti di bawah gurunya dari ketaqwaan) kecuali kalau baginya memang si guru itu orang yang ketatpada dirinya sendiri dalam ketaqwaan (lembut membenahi kesalahan orang lain tapi menampar pipinya sendiri dalam membenahi kesalahan dirinya sendiri). Dan kalau mendapatkan guru yang seperti itu maka junjunglah dia dan agungkan serta jadikan wasilah tawassul pada Allah, untukilmu dan ketaqwaan.

By the way, wajah yang dalam arti luas ini, sama sekali bukan penentu ketinggian derajat disisiNya. Seperti, tampan-tidaknya, cantik-tidaknya, guru-tidaknya, ustadz-tidaknya, alim-tidaknya, murid-tidaknya, partai-tidaknya, kaya-miskinnya, penulis-tidaknya, tokoh- tidaknya, hujjatul islam-tidaknya, ayatullah-tidaknya, orang tua-anaknya, darah biru- merahnya, dan seterusnya.

Memang, dalam tatanan sosial, semua memiliki hak dan kewajibannya. Tapi semua ini, hanya aturan ketaqwaan dalam sosial bagi setiap unsur-unsurnya, bukan peninggian secara otomatis bagi yang berhak ke atas yang harus memberikan haknya. Misalnya, orang tua yang harus ditaati dalam arti tidak boleh disakiti oleh anaknya, bukan berarti si orang tua itu langsung lebih tinggi dari anaknya. Jadi, bisa saja anaknya ahli surga dan kedua orang tuanya kekal di neraka. Begitu pula dengan hak-hak lainnya dalam sosial. Yakni antara yang diberi hak oleh Allah dengan yangdiwajibkan memberikan haknya oleh Allah.

b- Dalam hadits-hadits yang tidak bisa diragukan kebenarannya dikatakan bahwa:

“Kalau shalat seseorang sudah diterima, maka amal-amal lainnya akan diterima. Dan kalau shalatnya tidak diterima, maka ditolak pula amal-amal lainnya.”

Kalau hadits ini didekatkan dengan ayat di atas, maka maknanya akan menjadi jelas. Yaitu karena amal-amal baik seseorang yang shalatnya belum benar, maka bisa dipastikan ada errornya, mungkin dari sisi fikihnya, mungkin dari sisi niatnya, mungkin dari sisi ikhlashnya, mungkin dari sisi tidak ilmiahnya, mungkin dari sisi dalilnya, dan seterusnya.

2- Tentang pengampunan itu, sudah tentu Pengampunan Tuhan itu jauh lebih luas dari semuanya termasuk doa-doa semua muslimin dan bahkan Malaikat as, para Nabi as dan para Washi/ Imam as.

Kalau hanya dengan ayat dan hadits yang mengajarkan pengampunan, lalu meninggalkan yang lainnya, maka tidak beda dengan cara keimanan wahabi yang sudah pasti mencelakakan dan tidak akan pernah menyisakan apapun kecuali kefatalan dan ketidakseimbangan. Ringkasnya, tidak akan pernah menjadi Islam yang kaaffah/lengkap.

Karena itu, kita harus membaca ayat-ayat dan hadits-hadits lainnya, seperti yang sudah diterangkan di jawaban pertama itu.

Di samping itu, juga kita berusaha dengan tambahan-tambahan lainnya. Yaitu yang membuat potensi pada kita untuk menerima ampunanNya itu. Karena AmpunanNya itu, tidak pernah berhenti seperti Kasih dan SayangNya. Yang menjadi masalah adalah apakah kita punya potensi untuk menerimanya atau tidak. Kalau punya, maka kita akan terampuni dan terkasihi serta tersayangi. Tapi kalau tidak, maka akan menjadi sebaliknya.

Begitu pula dengan doa-doa mukminin. Memang, seperti dalam kesaksian dari orang yang meninggal dimana kalau disaksikan baik oleh 40 orang, maka akan diampuni Tuhan, merupakan rahmat dan berkah dari Tuhan yang tidak langsung, karena melalui mukminin. Akan tetapi, ia tetap tidak melampaui keluasan dan ketinggian ampunan dan kasihNya. Karena itu, tetap memerlukan kepada potensi untuk menangkap doa-doa muslimin itu.

Salah satu contoh. Muslimin memohonkan doa untuk kita yang melakukan dosa. Artinya, mereka sedih dengan dosa kita dan mendoakan pengampunan itu. Akan tetapi, kita yang didoakan, tidak merasa sedih dan karenanya mengulangi terus menerus. Kan berarti, dari psikologi keduanya itu sangat berbeda? Yang satu mendoakan karena kesedihan melihat saudara mukminnya melakukan dosa, tapi saudara mukminnya ini sama sekali tidak merasa dosa dan bahkan terus menerus melakukan dosanya tanpa taubat dan, lebih parah lagi, meyakini kepengampunan itu walau dengan dosa-dosa yang dengan sengaja diulang- ulangnya itu. Dua hal ini, jelas tidak bersenyawa dan, karenanya, sangat mungkin tidak akan saling menyapa di alam makna, apalagi mau melindungi yang lainnya.

Tapi karena dari satu sisi terlalu banyak dimensi keTuhanan yang mesti dibahas (bukan dimensi Tuhan, tapi dimensi pembahasan makrifatNya), dan terlalu banyak jalan rumit yang mesti dibahas juga, maka kita tidak bisa memastikan seratus persen pembahasan mengenainya (ampunan danjalan-jalannya secara nyata per-cm atau bahkan permili meternya). Karena itu, kita mesti terus meminta ampun untuk diri kita dan mukminin lainnya, sambil terus berusaha sekuat tenaga untuk tidak melakukan dosa.

Karena itu Islam selalu juga mengajarkan tentang penjagaan diri dari dua perasaan dan keyaki- nan, yaitu antara keyakinan akan keselamatan dan pengkabulanNya dan antara ketakutan atas neraka dan penolakanNya (murkaNya). Ini yang dikenal dengan: “Antara takut dan harap”, atau “Maa baina al-khaufi wa al-rajaa-i”.


Penutup:

Tidak ada yang lebih ekstrim tentang ayat pengampunan Tuhan dari ayat berikut ini, Allah dalam QS: 4: 48:
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik terhadapNya dan mengampuni dosa-dosa lainnya bagi yang dikehendakiNya.”

Perlu diketahui bahwa pengampunan ini bukan karena taubat. Karena kalau dengan taubat, maka dosa syirik pun pasti diampuni. Jadi, pengampunan ini adalah pengampunan fadhilah dan luthf, atau keUtamaan dan keLembutan Tuhan, atau Maha Kasih dan SayangNya.

Tapi apakah kita boleh menghambur dosa baik besar atau kecil, karena ayat ini? Jelas tidak bisa. Karena Allah mengatakan “...bagi yang dikehendakiNya”. Nah, kalau demikian halnya, lalu dari mana kita meyakini bahwa yang dikehendakiNya itu termasuk diri kita? Karena itu, kita tidak bisa terlena dengan ayat ini.

Lagi pula, Tuhan dengan ratusan ayatNya menjelaskan bahwa Ia akan memasukkan ke neraka siapa-siapa yang tidak menaatiNya. Karena itu, kita tidak memiliki jalan selamat kecuali berusaha sekuat tenaga untuk taqwa hingga tidak melakukan dosa apapun dan tidak meninggalkan kewajiban apapun. Tapi kalau kita sesekali jatuh dalam dosa, maka kita tidak boleh putus asa karena ada janji pengampunan itu. Jadi, terus berusaha taqwa sesempurna mungkin sambil terus memohon ampunanNya, merupakan jalan Islam yang diajarkan dan sempurna hingga tidak hanya tinggal gigi dan taringnya saja (bagi gambar harimau), atau tinggal buntutnya saja (seperti para pelugu yang mungkin termasuk kita-kita, na’udzubillah).

Jalan Satu-satunya:

Karena itu, tidak ada jalan lain kecuali berusaha taqwa secara profesional, yaitu dengan ilmu yang argumentatif gamblang, baik dalam akidah atau fikih dan, berusaha mengamalkannya secara ikhlash.

Semoga kita semua bisa menggunakan sisa-sisa umur kita ini, untuk ketaqwaan yang hakiki itu dan, semoga Tuhan membantu kita dan menerima kita semuanya, amin. Wassalam.


KinAi RiNan : Amin. Bihaqqi Muhammad wa aali Muhammad, syukron jawaban panjang lebarnya dan sudah jelas bagi saya tentang pertanyaan saya di atas.

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Jumat, 13 Desember 2019

Rijsun Adalah Semua Dosa, Besar Atau Kecil, Lahir Atau Batin


Seri tanya jawab Inbox Pr.T dengan Sinar Agama October 25, 2013 at 4:50 pm


Percakapan dimulai 28 September

PrT. (saya -SA- singkat nama penanya karena takut orangnya tidak rela): 28/09/2013 05:16

Salam ustadz..saya mau tanya...saya dari Malaysia...saya ingin menanyakan 1 soalan dalam page ustadz yaitu Sinar Agama...saya udah register jadi members... habis itu gimana ingin menanyakan soalan?


Sinar Agama:

30/09/2013 19:21

Kalau cuma soalan, bisa di sini atau di dinding atau di situs itu sendiri. Bisa juga melalui akun Sang Pencinta, untuk diteruskan ke dinding saya kalau antum ingin dimuat di dinding/wall.


PrT.:

01/10/2013 06:06

Salam ustadz...saya dari Malaysia ingin menanyakan 1 soalan tentang bab Ar rijs..

ArRijs Dalam Al Quran terdapat cukup banyak ayat yang menggunakan kata rijs, diantaranya adalah sebagai berikut.

“Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji (rijs) termasuk perbuatan syaitan” (QS Al Maidah: 90).

“Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis (rijs) dan jauhilah perkataan-perkataan dusta” (QS Al Hajj: 30).

“Dan adapun orang orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat ini bertambah kekafiran (rijs) mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir” (QS At Taubah: 125).

“Maka berpalinglah dari mereka, karena sesungguhnya mereka itu adalah najis (rijs)” (QS At Taubah: 95). “Dan Allah menimpakan kemurkaan (rijs) kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya” (QS Yunus: 100).

Dari semua ayat-ayat ini dapat ditarik kesimpulan bahwa rijs adalah segala hal boleh dalam bentuk keyakinan atau perbuatan yang keji, najis yang tidakdiridhai dan menyebabkan kemurkaan Allah SWT. Asy Syaukani dalam tafsir Fathul Qadir jilid 4 hal 278 menulis, “… yang dimaksud dengan rijs ialah dosa yang dapat menodai jiwa jiwa yang disebabkan oleh meninggalkan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah dan melakukan apa-apa yang dilarangoleh-Nya. Maka maksud dari kata tersebut ialah seluruh hal yang di dalamnya tidak ada keridhaan Allah SWT”.

Kemudian ia melanjutkan, “Firman `… dan menyucikan kalian… ‘ maksudnya adalah: `Dan menyucikan kalian dari dosa dan karat (akibat bekas dosa) dengan penyucian yang sempurna.’ Dan dalam peminjaman kata rijs untuk arti dosa, serta penyebutan kata thuhr setelahnya, terdapat isyarat adanya keharusan menjauhinya dan kecaman atas pelakunya”.

Lalu ia menyebutkan sebuah riwayat dari Ibnu Abbas sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Hakim, At Turmudzi, Ath Thabarani, Ibnu Mardawaih, dan Al Baihaqi dalam kitab Ad Dalail jilid 4 hal 280, bahwa Nabi saw. bersabda dengan sabda yang panjang, dan pada akhirnya beliau mengatakan “Aku dan Ahlul BaitKu tersucikan dari dosa-dosa”. (kami telah membahas secara khusus hadis ini di bahagian yang lain)

Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki dalam kitab Ash Shawaiq hal 144-145 berkata, “Ayat ini adalah sumber keutamaan Ahlul Bait, kerana ia memuat mutiarakeutamaan dan perhatian atas mereka. Allah mengawalinya dengan innama yang berfungsi sebagai pengkhususan kehendakNya untuk menghilangkan hanya dari mereka rijs yang berarti dosa dan keraguan terhadap apa yang seharusnya diimani dan menyucikan mereka dari seluruh akhlak dan keadaan tercela.”

Jalaluddin As Suyuthi dalam kitab Al lklil hal 178 menyebutkan bahwa kesalahan adalah rijs, oleh kerana itu kesalahan tidak mungkin ada pada AhlulBait. Semua penjelasan di atas menyimpulkan bahwa Ayat tathiir ini memiliki makna bahwa Allah SWT hanya berkehendak untuk menyucikan Ahlul Bait dari semua bentuk keraguan dan perbuatan yang tercela termasuk kesalahan yang dapat menyebabkan dosa dan kehendak ini bersifat takwiniyah atau pasti terjadi.

Selain itu penyucian ini tidak berarti bahwa sebelumnya terdapat rijs tetapi penyucian ini sebelum semua rijs itu mengenai Ahlul Bait atau dengan katalain Ahlul Bait dalam ayat ini adalah peribadi- peribadi yang dijaga dan dihindarkan oleh Allah SWT dari semua bentuk rijs.

Jadi tampak jelas sekali bahwa ayat ini telah menjelaskan tentang kedudukan yang mulia dari Ahlul Bait yaitu Rasulullah SAW, Imam Ali as, Sayyidah Fathimah Az Zahra as, Imam Hasan as dan Imam Husain as.

Penyucian ini menetapkan bahwa Mereka Ahlul Bait sentiasa menjauhkan diri dari dosa-dosa dan sentiasa berada dalam kebenaran. Oleh keranyatepat sekali kalau mereka adalah salah satu dari Tsaqalain selain Al Quran yang dijelaskan Rasulullah SAW sebagai tempat berpegang dan berpedoman umat islam agar tidak tersesat.

Kemuliaan Ahlul Bait Dalam Hadis Rasulullah SAW, Rasulullah SAW bersabda: “Kutinggalkan kepadamu dua peninggalan (Ats Tsaqalain), kitab Allah dan Ahlul BaitKu"

Sesungguhnya keduanya tak akan berpisah, sampai keduanya kembali kepadaKu di Al Haudh“ (Mustadrak As Shahihain Al Hakim juz III hal 148 Al Hakim menyatakan dalam Al Mustadrak As Shahihain bahwa sanad hadis ini shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim).

Hadis-hadis Shahih dari Rasulullah SAW menjelaskan bahwa mereka Ahlul Bait AS adalah pedoman bagi umat Islam selain Al Quranul Karim. Mereka Ahlul Bait sentiasa bersama Al Quran dan senantiasa bersama kebenaran. Bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Wahai manusia sesungguhnya Aku meninggalkan untuk kalian apa yang jika kalian berpegang kepadanya niscaya kalian tidak akan sesat ,Kitab Allah dan Itrati Ahlul BaitKu”.(Hadis riwayat Tirmidzi, Ahmad, Thabrani, Thahawi dan dishahihkan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albany dalam kitabnya Silsilah Al Hadits Al Shahihah no 1761)

Hadis ini menjelaskan bahwa manusia termasuk sahabat Nabi diharuskan berpegang teguh kepada Al Quran dan Ahlul Bait. Ahlul Bait yang dimaksud dijelaskan sendiri dalam Hadis Sunan Tirmidzi di atas atau Hadis Kisa’ yaitu Sayyidah Fathimah AS, Imam Ali AS, Imam Hasan AS dan Imam Husain AS.

Selain itu ada juga hadis Hanash Kanani meriwayatkan “aku melihat Abu Dzar memegang pintu ka’bah (baitullah)dan berkata ”wahai manusia jika engkau mengenalku aku adalah yang engkau kenal, jika tidak maka aku adalah Abu Dzar. Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda “Ahlul BaitKu seperti perahu Nabi Nuh, barangsiapa menaikinya mereka akan selamat dan barangsiapa yang tidak mengikutinya maka mereka akan tenggelam”.(Hadis riwayat Hakim dalam Mustadrak Ash Shahihain jilid 2 hal 343 dan Al Hakim menyatakan bahwa hadis ini shahih).

Hadis ini menjelaskan bahwa Ahlul Bait seperti bahtera Nuh dimana yang menaikinya akan selamat dan yang tidak mengikutinya akan tenggelam. Mereka Ahlul Bait Rasulullah SAW adalah pemberi petunjuk keselamatan dari perpecahan. Ibnu Abbas berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:

”Bintang-bintang adalah petunjuk keselamatan penghuni bumi dari bahaya tenggelam di tengah lautan. Adapun Ahlul BaitKu adalah petunjuk keselamatan bagi umatKu dari perpecahan. Maka apabila ada kabilah Arab yang berlawanan jalan dengan Mereka niscaya akan berpecah belah dan menjadi partai iblis”. (Hadis riwayat Al Hakim dalam Mustadrak Ash Shahihain jilid 3 hal 149, Al Hakim menyatakan bahwa hadis ini shahih sesuai persyaratan Bukhari Muslim).

INI PERTANYAANNYA:

Baik, Jika penyucian dari ar-rijs di sini bermaksud penyucian dari dosa maka macam mana pula dengan ayat al-an-Anfal 8 :11 berikut:


Terjemahan: Ingatlah: “Ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari rijs al- syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan memperteguh dengannya telapak kaki (mu).”

Ayat di atas jelas menggunakan perkataan rijs bahkan lebih SPESIFIK dari ar-Rijs dalam surah al-Ahzab 33 yakni rijs yang disebabkan oleh syaitan Kalau kita kan penyucian ar-Rijs membawa maksud kemakshuman maka kita juga perlu katakan penyucian di atas telah ‘memakshumkan’ sahabat.

Kami tahu Ada yang membidas dengan mengatakan ar-Rijs di atas gangguan syaitan bukannya dosa, saya katakan jikapun ia gangguan syaitan, maka apakah para sahabah telah bebas sepenuhnya dari gangguan syaitan dan tidak sekali-kali melakukan dosa akibat gangguan syaitan??

Diharap ustadz dapat menjawab bertanyaan saya ini.. wassalam ustadz.

Hari Ini (6-10-2013)


Sinar Agama:

17:52

Salam, ada dua masalah yang perlu diperhatikan:

1- Ayat di atas, terasa kurang lengkap. Karena ayat pensucian itu diartikan dengan pensucian, padahal artinya adalah PENGHINDARAN. Karena Allah memakai kata “adzhaba ‘anhu” pada kata “liyudzhiba ‘ankum”, dimana kata-kata ini dipakai untuk menghindarkan sebelum menem- pel, bukan membersihkan atau melepaskan yang sudah menempel.

2- Ayat pensucian pada Ahlulbait as, jauh beda dengan pensucian umum pada ayat: 11, dari surat al-Anfaal itu.

Karena pada pensucian Ahlulbait tidak diqorinahi atau tidak dikondisikan dengan apapun. Artinya, pensucian mutlak. Padahal di ayat 11 di surat al-Anfaal itu, pensucian yang diakibatkan oleh air. Jadi, air inilah yang menjadi penjelas dari maksud pensucian rijs di ayat tersebut. Artinya, air yang diturunkan Allah itu untuk mensucikan apa-apa yang bisa disucikan dengan air. Karena itu, ia/air itu hanya bisa mensucikan hal-hal seperti najis dan hadats.

Jadi, rijs yang bisa disucikan itu adalah dosa-dosa yang diakibatkan oleh najisnya makanan karena haram, najisnya badan dan baju dalam shalat yang karena akan membatalkan shalat, begitu pula mensucikan dari rijs yang berupa hadats kecil dan besar hingga terhindar dari rijs yang berupa shalat yang batal, atau dosa yang diakibatkan memegang tulisan Qur'an yang tanpa wudhu atau tanpa mandi besar. By the way, rijs di sini adalah dosa-dosa yang diakibatkan oleh tidak difungsikannya air atau tidak difungsikannya dengan benar dimana hal itu juga merupakan godaan syethan.

Akan tetapi dosa-dosa seperti syirik, riya, sombong, zina, menyembah berhala, membunuh, membakar manusia hidup-hidup (seperti Khalid Bin Walid sewaktu menjadi panglima Abu Bakar dalam penyerangan ke satu suku shahabat dari suku Bani Tamiim), kesesatan ilmu dan amal, kemusyrikan, ......dan seterusnya,....sama sekali tidak bisa disucikan dengan air yang diturunkan Tuhan tersebut.

Jadi, pensucian rijs terhadap Ahlulbait as, atau yang lebih benar, penghindaran rijs dari Ahlulbait as, bersifat mutlak dan tanpa kondisi hingga Ahlulbaitas terhindar dari segala macam rijs, baik yang diakibatkan dari berkah air atau apa saja, seperti berkah ilmu, ketaatan, shalat itu sendiri, puasa itusendiri, haji, ikhlsh, tawadhu’, dzikir...dan seterusnya...dari amal-amal yang berfungsi menghindarkan dari segala macam rijs.

Sedang penghindaran dari rijs di ayat 11 surat al-Anfaal itu, adalah penghindaran yang hanya diakibatkan oleh air saja dan meliputi semua orang, baik makshumin atau bukan, baik shahabat atau kita-kita di jaman selain shahabat.

Tambahan-1: Dari penjelasan di atas itu, dapat dipahami bahwa karena penghindaran umum dari rijs yang diinginkan Tuhan itu diwasilahkan atau diperantarakan melalui air, maka dapat dipahami bahwa hal tersebut, tidak akan terjadi kalau tidak ada air. Jadi, hal ini merupakan pembatasan ke dua. Karena itu, kalau makanan belum dibersihkan dari najis, seperti darah, yang disebabkan tidak adanya air, maka rijs di sini tidak akan dapat dihindarkan. Jadi, manusia akan terpaksa memakan yang najis. Begitu pula kalau tidak punya air ketika berhadats yang mana tidak bisa shalat.

Nah, karena Islam itu rahmat dan bukan beban, maka Tuhan memakai rahmatNya, untuk menghapus rijs yang tidak disucikan dengan air karena tidak adanya air tersebut. Karena itu, kita dibolehkan makan yang haram, kalau terpaksa dan disuruh tayammum kalau tidak punya air kala mau shalat.

Karena itu, air ini, menunjukkan batasan yang lain hingga di luar batasnya, ia sudah tidak bisa berbuat apa-apa yang, karena itulah Tuhan menggunakan kaidah dan hukum lain untuk menepiskan rijs tersebut manakala tidak ada air.

Akan tetapi, di dalam penghindaran rijs dari Ahlulbait as, di sana tidak ada pembatasan dan pengkondisian apapun, baik air atau yang lainnya seperti shalat, puasa, ikhlash, ilmu yang benar, tawadhu’, menghindari dosa itu sendiri....dan seterusnya.

Tambahan-2: Selain yang sudah dijelaskan di atas itu, maka perlu diketahui bahwa Rijsun yang di QS: 33:33 yang untuk mensucikan Ahlulbait as, bukan Rijzun yang ada di QS: 8:11 di atas. Rijsun (siin) bukan Rijzun (zaa’). Rijsun segala keburukan sedang Rijzun waswas.

Jadi, rijzu al-syaithaan di ayat yang antum bawa itu adalah waswas syaithan. Jadi, katika manusia mensucikan diri, baju dan makanannya dari najis dengan air, lalu berwudhu’ dan mandi besar dengan air, maka dalam keadaan suci itu, ia bisa terbentengi dari waswas syaithan.

Wassalam. 07/10/2013 01:45


PrT.:

Terima kasih ustadz...

Menurut riwayat dalam kitab syiah daripada imam, ia penyucian khusus tersebut ialah bebas dari keraguan ( ﻚشلﺍ وﻫ ﺲﺟرلﺍ ) Rujuk Basair Darajat (1/232), Ma’ani al-Akhbar (1/171) dan lain-lain rujukan. Saya tahu ada ulama syiah yang menakwilkannya sebagai penyucian dosa tapi apa yang saya fokuskan ialah kata- kata imam syiah sendiri, bukan takwilan para pengikutnya agar sesuai dengan hawa nafsu mereka. Mungkin ustadz boleh bawakan riwayat yang menjelaskan maksud ar-Rijs di sisi imam-imam syiah. Maka saya berpendapat penyucian dari ar- Rijs tidak kira samada dari syaitan ataupun dari keraguan tidak membawa arti kemakshuman.

Maksud saya ar rijs dari ayat penyucian untuk ahlul bait yang kalian dakwakan... bukan ar rijs dari mana-mana surah lain...

14/10/2013 01:38

Pr. T.:

Salam ustadz....izinkan saya bertanya 1 lagi soalan.

Adakah benar mencaci sahabat adalah sebagian rukun islam syiah?


Sinar Agama:

Salam:

1- Sebelum membaca riwayat-riwayat Syi’ah yang tidak kamu percayai itu, maka sebaiknya kamu baca dulu Qur'an yang telah menerangkan makna dari rijs itu sendiri, seperti:


  • a- Bermakna najis lahiriah, seperti di surat al-An’aam, 154:

أو لحم الخنزير فإنه رجس

“Atau daging babi, maka sesungguhnya ia adalah rijs/najis.”


  • b- Bermakna najis batin seperti syirik, kafir dan amal-amal buruk, seperti di surat al-Taubah, 152:

و أما الذين في قلوبهم مرض فزادتهم رجسا إلى رجسهم و ماتوا و هم كافرون

“Sedang orang-orang yang ada penyakit di hatinya, maka mereka diperbanyak oleh rijs mereka ke atas rijs mereka dan mereka mati secara kafir.”


  • c- Bermakna batin akan tetapi dari jenis umum dan bukan hanya kafir, tapi seluruh kesesatan, seperti al-An’aam, 152:

و من يرد أن يضله يجعل صدره ضيقا حرجا كأنما يصعد في السماءكذلك يجعل اهلل الرجس على الذين
ال يؤمنون

“Dan barang siapa yang ingin disesatkanNya, maka harinya dibuat sempit sengsara seperti orang yang naik ke langit. Begitulah Allah menjadikan rijs kepada orang-orang yang tidak beriman.”


  • d- Di QS: 5:90, bermakna mencakup semua dosa-dosa:



“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah rijs dari perbuatan syaithan, karena itu, hindarilah agar kalian selamat.”


2- Di ayat pensucian itu, selain masalah rijsun ini, dilengkapi dengan firmanNya yang berbunyi:
“...dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya...”.

Jadi, di samping rijsun itu semua dosa dimana sudah dihindarkan dari Ahlulbait, juga dikuatkan dengan pembersihan sebersih-bersihnya itu. Jadi,dakwaan bahwa ayat ini bukan kemakshuman dan hanya pensucian dari ragu, maka hanya dakwaan kebingungan dalam memahami ayat- ayatTuhan dan, sudah tentu merasa lebih tahu Syi’ah dari orang Syi’ah itu sendiri.

3- Ketika imam-imam makshum as, yang kamu tidak percayai itu, menjelaskan maksud rijsun itu, bisa disebabkan oleh asbab wurudnya sebagaimana ayat yang sering disesuaikan dengan sebab turun/nuzul-nya. Karena itu, maka hadits-hadits itu, seperti ayat-ayat di atas yang menjelaskan rijsun itu. Apakah bisa kita hanya mengambil satu penjelasan lalu menolak makna lainnya? Misalnya memaknainya dengan bangkai dan babi, lalu menolak makna syirik, kafir, berhala, judi, mabok,.....dan seterusnya???!!!!

Jadi, penjelasan imam as tentang rijsun yang pembersihan dari ragu itu, adalah merupakan penjelasan dari salah satu maknanya, seperti ayat di atas yang saling beda menerangkan makna rijsun itu.

4- Semua perbedaan itu, karena memang tidak saling bertentangan, maka bisa dipadukan dengan menggabungnya. Karena itu, maka rijsun itu bukan hanya bangkai dan babi seperti yang diterangkan dalam satu ayat, akan tetapi juga semua dosa dan kekafiran seperti yang dijelaskan di ayat-ayat lainnya.

5- Kalau kamu memahami bahasa apapun, baik arab atau melayu atau indonesia dan jawa atau apa saja, maka sangat beda ketika ada orang yang berkata “rijsun itu keraguan” dan mengatakan “rijsun itu hanya keraguan”. Atau yang berkata “Pensucian dari ragu” atau “Pensucian hanya dari ragu”.

Artinya, ketika ayat atau hadits itu, tidak menyebutkan “hanya”, baik dalam kata atau dalam isyarat-isyaratnya, maka jelas bahwa penyebutan satuekstensi atau satu makna dari berbagai maknanya, tidak berarti menolak makna-makna yang lainnya.

6- Kamu ini semakin lama menjadi semakin lucu. Karena kalau ada hadits dari imam yang bertentangan dengan keyakinanmu langsung dikatakan sesat dan keluar dari Qur'an tapi kalau DIKIRA sama dengan prinsipmu maka dikatakan benar walau, bisa dipertentangkan dengan Qur'an (yakni kalau dimaknai dengan “hanya pensucian dari ragu” dan bukan “pensucian dari ragu”). Tentu saja riwayat Syi’ah yang kamu nukil itu tidak bertentangan dengan Qur'an karena ia hanya menjelaskan salah satu bagian dari makshum dan pensucian dari rijsun itu. Tapi karena kamu menginginkan “hanya pensucian dari ragu” itu, maka ia bisa bertentangan dengan Qur'an itu sendiri dan, kamupun menyukainya walau bertentangan dengan Qur'an.

7- Saya juga heran dengan cara belajarmu, selain heran terhadap cara kamu memahami ucapan dan tulisan dan bahasa apapun seperti yang sudah diterangkan di atas itu. Di sini, saya heran dengan cara belajarmu karena belajarmu seperti caramu yang mengherankan dalam memahami bahasa itu. Dalam memahami bahasa/ucapan, perkataan yang tidak disertai “hanya”, kamu maknai dengan “hanya”. Lah di sini, kamu menemukan satu hadits saja, lalu menghanyakannya bahwa tidak ada pernyataan imam yang mengartikan bahwa makshum itu dari dosa. Di rumahku ada sekitar 45.000 jilid kitab Syi’ah dan 40.000 jilid kitab Sunni, sudah berapakah yang sudah kamu baca hingga semudah itu berkata “hanya” sementara kamu hanya memiliki khayalanmu sendiri itu?

8- Kalau kamu mau belajar, maka ini kukutipkan hadits-hadits lain yang, sekali lagi, salinan yang kamu nukil itu, seperti:

و في رواية عن علي بن الحسين ع: “ قيل له يابن رسول اهلل، فما معني المعصوم ؟ فقال “ :هو المعتصم
”. بحبل اهلل .و حبل اهلل هو القرآن، اليفترقان الي يوم القيامة 

Dari imam Ali bin al-Husain as, beliau as ditanya: “ Wahai putra Rasulullah, apa makna makshum itu?”

Beliau as menjawab: “Yaitu yang menjaga diri dengan tali Allah. Dan tali Allah itu adalah Qur'an. Mereka (orang makshum dan Qur'an), tidak saling berpisah sampai hari kiamat.” (Bihaaru al- Anwaar, 25/194).

Nah, menyatu dengan Qur'an tanpa berpisah sampai hari kiamat, tandanya mengerti seluruhnya dengan benar dan mengamalkan seluruhnya juga dengan benar.

Atau hadits ini:

Dari Abi Abdillah as (imam Ja’far as): Makshuum itu adalah mencegah diri dengan Allah dari semua yang diharamkan Allah. Karena itu Allah berfirman: ‘Dan barang siapa menjaga diri dengan Allah maka dia telah dihidayahi ke jalan yang lurus.’.” (Biharu al-Anwaar, 25/194).

9- Tentang mencaci shahabat itu, bisa ditanya kepada yang membuat fitnah tersebut, dimana didapat penjelasan Syi’ah yang ada menerangkan bahwa pencacian kepada shahabat itu sebagai rukun Islam? Emangnya ajaran islam yang sudah sempurna di jaman Nabi saww itu masih perlu ditambahi lagi dengan ajaran yang aneh-aneh seperti yang difitnahkan itu?

Tambahan:

Ini riwayat yang kamu maksudkan di Ma’aanii al-Akhbaar, 1/171:

1 -

حدثنا أبي، ومحمد بن الحسن بن أحمد بن الوليد -رضي اهلل عنهما -قاال :حدثنا عبداهلل بن جعفر الحميري، عن محمد بن الحسين بن أبي الخطاب، قال :حدثنا النضر بن شعيب، عن عبدالغفار الجازي، عن أبي عبداهلل
عليه السالم في قول اهلل عزوجل “ :إنما يريد اهلل ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا “ (1) قال:
 . الرجس هو الشك

Ketika Abu ‘Abdillah as menerangkan ayat “innamaa yuriidullaahu lisyudzhiba ‘ankum al-rijs ahlalbait .....” beliau as berkata: Rijs itu adalah Syak.”

Nah, di hadits ini, hanya berkata “syak” dan tidak berkata “hanya syak”. Karena itu, maka jelas tidak bermaksud menafikan atau menolak makna-makna lain yang juga datang dari para imam makshum as itu sendiri seperti yang sudah dinukil sebagiannya di atas itu. Kalaupun mau dipaksakan hanya syak, maka jelas akan bertentangan dengan hadits-hadits lain dan, sudah tentu dengan Qur'an sebab Qur'an telah menerangkan banyak maknanya seperti yang sudah dinukilkan di atas.

Lagi pula, apapun yang menyebabkan dosa seseorang, seperti maksiat besar atau kecil, maka disebabkan keraguannya. Coba seseorang itu, yakin padaAllah, yakin pada neraka seperti yakinnya seorang pencuri yang saling melihat polisi, maka sudah pasti tidak akan mencuri dan tidak akan maksiat.Karena itu, syak itu, memiliki makna yang dalam. Coba kita yakin pada kebenaran firman- firman Allah sebenar-benar keyakinan yang tidak ada sedikitpun keraguan, maka sudah pasti, tidak akan berbuat maksiat sedikitpun. Jadi, dosa itu tanda dari ragu dan, karenanya, yakin tanda dari makshum.

22/10/2013 01:55


PrT.: Terima kasih ustadz Wassalam.

2 Shares

Ramlee Nooh and 21 others like this.


Win Panay: Ijin copas Ustadz.

Wasroi Aja: Nyimak

Heri Widodo: ALLAH HUMMA SHOLI ALA MUHAMMAD WA ALI MUHAMMAD.

Sinar Agama: Salam dan terima kasih untuk semua jempol dan komentarnya.

Sinar Agama: Win, semua tulisanku di facebook ini gratis selama untuk kebaikan walau dalam bentuk apa saja asal, tidak diedit, tidak dirubahnamanya dan tidak dibisniskan walau dengan nilai yang amat murah sekalipun.

Sinari Beta: Ustadz Sinar Agama ada pertanyaan ana di inbox belum dijawab-jawab. Mohon dibantu.

Sinar Agama: Sinari, doakan ya...hingga aku ini memiliki tenaga berlimpah dan penuh berokah, hingga tidak terlalu sering keteter menjawab inbox. Sepertinya ana baru menjawab yang tgl 16 atau 17-an bulan Oktober ini, afwan banget. Tapi kalau darurat dan buru-buru, beri tahu lagi di salah satu komentar di dinding ini, supaya ana bisa dahulukan.

Sinari Beta: Ga pa pa ustadz sesempatnya aja, pertanyaannya udah di dinding Sang Pencinta juga. Semoga Allah selalu menganugerahi antum kesehatan dan kekuatan serta umur yang barokah., amin wassalam.

October 28 at 8:08pm via mobile · Like · 1



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Jumat, 06 Desember 2019

Cara Tahu Sudah Tidak Melakukan Dosa



Seri tanya jawab Heri Widodo dengan Sinar Agama October 25, 2013 at 2:45 pm


Heri Widodo mengirim ke Sinar Agama: (10-4-2013) Assalamu ‘alaikum wr...wb. Sholawat. Ustadz, afwan. Ana sangat berterimakasih kepada antum karena perlahan-lahan sudah mulai mengobati sakit ruhani ana. Sekarang akan ana kejar perihal urusan-urusan fiqih. Ketika setiap saat kita selalu menjaga wudhu & selalu mendengungkan sholawat di dalam hati, apakah efeknya dari ujung rambut hingga ujung kaki lahiriah & batiniah kita selalu mendapat perlindungan cahaya Allah Swt. Bagaimana cara agar kita mampu mentaubati seluruh dosa-dosa yang telah diperbuat dari mulai dilahirkan hingga detik ini. Dengan cara bagaimana kita mampu melihat bahwa seluruh dosa hingga yang lebih kecil dari zharoh sekalipun sudah diampuni Allah Swt.

Jufry A dan Yoez Rusnika menyukai ini.


Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya:

1- Selalu dalam wudhu itu memang disunnahkan dan banyak sekali manfaatnya untuk batin secara khusus. Tapi wudhu yang bernilai tinggi ini adalah wudhu lahir batin. Jadi, selain melakukan wudhu, wajib juga meninggalkan segala maksiat. Sampai dinyatakan dalam hadits bahwa yang tidur dalam keadaan wudhu dan kemudian mati, maka ia mati sebagai syahid.

2- Shalawat juga seperti itu. Memiliki pahala. Akan tetapi, pahala tertingginya, adalah shalawat yang diaplikasikan. Yaitu taat pada Allah dengan tidak melanggar fikihNya.

3- Taubat adalah meninggalkan perbuatan dosanya dan membayar dendanya kalau berhubungan dengan dosa-dosa yang ada dendanya. Untuk tahu hal ini, maka harus tahu dulu jenis dosanya dan setelah baru akan tahu cara taubatnya yang, semuanya diterangkan di fikih.

4- Kalau sudah taubat dari segara dosa yang dikenalinya lewat fikih, dan telah taubat yang benar dari dosa-dosa sebelumnya dengan ikhlash (bukan karena hal lain seperti berhenti homosex karena takut kena AID), maka hal itu sudah dapat dipastikan bahwa sudah mendapat ampunan. Memang, kita tidak bisa memastikan 100%, tapi secara global, sudah bisa mengharapkan hal tersebut.

Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Kamis, 05 Desember 2019

Maaf Seseorang Bukan Berarti Penghapus Dosa Sepenuhnya



Seri tanya jawab Mata Jiwa dengan Sinar Agama October 25, 2013 at 2:38 pm


Mata Jiwa mengirim ke Sinar Agama: (9-4-2013) Salam wa Rahmah.... Pak ustadz mau tanya lagi.... maaf, menyambung jawaban pak ustadz beberapa waktu lalu pada suatu pertanyaan, jika saya tidak salah memahami, bahwa jika seseorang berbuat salah kepada sesama dan telah meminta maaf lalu dimaafkan, maka sirnalah dosanya itu....ini berlaku tidak kepada orang yang membuat kesalahan yang sama kepada orang yang sama pula, berkali-kali minta maaf lalu berkali-kali pula dimaafkan ? Bagi yang memaafkan, tentu ini adalah ujian kesabaran baginya, melunturkan ke- ego-an, lalu bagi yang berbuat buruk itu, secara awam kan kesannya ‘ kebangetan’ jika dimaafkan terus, kapan kapoknya menyakiti orang pak ustadz ? Maaf, mohon pencerahannya pak ustadz....

Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya:

1- Sebenarnya hukum hilangnya dosa itu tidak terlalu umum sekalipun sudah dimaafkan. Karena yang dimaafkan itu adalah dosa kepada orang tersebut, bukan dosa kepada Allah. Seperti yang sudah dipahami bersama, bahwa kita ini hanya titipan Tuhan. Jadi, disamping diri kita memiliki hak titipan itu, Tuhan juga memiliki hak. Tapi secara global dapat dikatakan bahwa dosa-dosa yang sudah dimaafkan itu, yakni dosa dari sisi penerima titipan, yaitu manusia itu, maka sudah dapat dikatakan sudah dimaafkan setelah dimaafkan sekalipun berulang- ulang. Tapi dari sisi bahwa ia juga bermaksiat kepada Tuhan, maka disini juga akan dilihat dari sisi Tuhan itu sendiri. Kalau si pendosa itu memiliki potensi diampuni, maka akan diampuni. Salah satu potensi itu, ialah bertaubat dan tidak mengulangi. Kalau mengulangi, tapi tidak diniati sebelumnya dan penuh dengan penyesalan dan berusaha tanpa putus asa untuk tidak mengulanginya. Tapi kalau minta maaf pada manusianya, tapi hatinya tidak sedih di Mata Tuhan, maka dari sisi dosa padaNya, mungkin tidak diampuni dan, bahkan dari dosa kepada manusia itu sendiri sekalipun sudah dimaafkan. Tapi kalau memang menyesal maka dosa kepada orang itu (manusia) akan diampuni dengan dimaafkan, sedang Allah akan melihatnya sebagai hamba yang layak diampuni atau tidak. Karena itu, kalau kita yang berdosa kepada manusia dan telah dimaafkan sekalipun, tetap harus sangat-sangat memohon ampunanNya dan sedih serta berusaha keras untuk tidak mengulangnya.

2- Untuk yang memaafkan, bisa saja menakutinya setelah mengulangi beberapa kali, sekalipun hatinya sebenarnya sudah memaafkannya. Misalnya dengan mengatakan “Saya memaafkanmu kalau tidak mengulanginya lagi, karena sudah berulang beberapa kali”. Jadi, untuk mendidiknya, sekalipun kita sudah memaafkannya di hati, tapi bisa pura-pura menakutinya seperti tadi itu.

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ