﷽
Seri tanya jawab KinAi RiNan dengan Sinar Agama November 2, 2013 at 4:09 pm
KinAi RiNan mengirim ke Sinar Agama: 17 April 2013
Salam, saya pernah menemui orang berkata “selagi kita ini sudah mengerjakan sholat maka kita sudah bisa di pastikan masuk surga karena kita ini seorang muslim, dan seorang muslim tiap hari di doakan oleh jutaan muslim lainnya, termasuk di doakan agar dosa dosa kita di ampuni, dan tentu doa itu akan di kabulkan karena yang mendoakan lebih dari 40 orang, yang mendoakan 40 orang saja bisa di kabulkan apalagi yang mendoakan jutaan orang tiap hari.
Pertanyaan saya:
1. Bagaimana menurut Ustadz kata-kata orang di atas ?
2. Bagaimana sebenarnya maksud hadist yang mengatakan bahwa setiap doa 40 orang pasti ada salah satu yang di kabulkan? (maaf teks hadits lengkapnya saya tidak tau tapi saya sering mendengar hadits ini saat ceramah-ceramah pengajian Sunni).
3. Sejauh mana doa saudara muslim yang mendoakan kita terutama doa di ampuninya dosa- dosa kita, apakah dosa kita akan habis setelah di doakan atau hanya berkurang aja ? Syukron Ustadz.
Achmadi Al Fauzi dan KinAi RiNan menyukai ini.
Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:
Mukaddimah:
1- Sepertinya, saya sudah sering menjelaskan bahwa ajaran Islam itu bukan satu ayat dan bukan pula satu hadits. Tapi ribuan ayat dan ribuan hadits.
2- Ketika Islam itu terdiri dari ajaran yang bersumber dari ribuan ayat dan hadits, sudah tentu ajaran yang akan diambil daripadanya, juga ribuan ajaran dan pelajaran, baik keimanan atau fikih dan hukum.
3- Ketika Islam itu terdiri dari ribuan ajaran akidah dan fikih, maka jelas tidak bisa ditegakkan hanya dengan beberapa ayat-hadits atau beberapa akidah dan fikih.
4- Menjadi Islam itu dari satu dua ayat dan hadits, atau dari satu dua akidah dan fikih, sama dengan membuat gambar manusia dengan hanya melukis telinga dan hidungnya.
5- Wahabi mengapa berwajah mengerikan, karena mereka, di samping membuat agama mereka dari satu dua ayat-hadits itu juga tidak mau mendengarkan dan adu argumentasi dengan pandangan lain serta, ini yang paling berat, memaksakan keyakinannya kepada golongan lain dan menghalalkan segalanya manakala tidak mau menerima akidah mereka. Jadi, kalau wahabi itu digambarkan sebagai singa, maka ia hanyaterdiri dari gigi dan taring saja. Terlebih gigi dan taringnya itu, dibuat dari ajaran Yahudi yang dinisbatkan kepada Islam. Akhirnya, mereka menjadi mengerikan di atas mengerikan. Sekalipun singa kalau lengkap, maka masih bisa dilihat keindahannya dari jauh, sebab bulunya yang indah, bentuknya yang juga gagah dan semacamnya, bisa dinikmati yang memandangnya. Tapi kalau hanya gigi dan taring saja, maka menjadi mengerikan secara luar biasa. Mereka itu, persis berada di arah yang berlawanan dengan Islam itu sendiri. Jadi, kalau Islam itu nur di atas nur, maka mereka adalah kesesatan di atas kesesatan. Kalau Islam itu murni dan asli, maka mereka itu adalah bid’ah di atas bid’ah.
6- Bayangin, wahabi, dengan satu hadits bid’ah, semua jadi bid’ah dan semua kebenaran lainnya pun sudah tidak berharga lagi hingga semuanya wajib masuk neraka dan dibunuh. Karena hadits bid’ah adalah semua bid’ah itu dhalaalah/sesat dan setiap sesat, tempatnya di neraka. Jadi, mau bertauhid, mau shalat dan puasa, mau haji, mau apa saja, pokoknya harus masuk neraka karena melakukan bid’ah.
Kan jadi kacau. Terlebih lagi mereka sama sekali tidak mengerti maksud bid’ah itu. Mereka mengartikan bid’ah itu adalah semua tambahan. Yang lebih mengenaskan sebenarnya bukan dedengkot wahabinya. Karena kalau dedengkotnya itu hanya dan hanya mencari jalan supaya bisa membantai muslimin dan menguasainya dengan nama Islam. Karena itu, bagi mereka kerajaan, sekolah, foto, cium tangan, menyembah, sungkem, tarian-tarian, pelacuran, tidak hijab, diskotik, sebagaimana yang kita lihat di kerajaan-kerajaan mereka, dengan rileks dan senang hati melakukannya. Tapi yang dibodoh-bodohi, yaitu muslimin dunia yang lugu, yang mau dipentungi di Ka’bah karena mencium ka’bah tapi tidak mengapa cium hajar aswad dan seterusnya apalagi yang keblinger dengan bantuan uangnya yang ia ambil dari hasil penjajahannya (menjajah Sunni di semenanjung jazirah Arab termasuk Makkah dan Madinah dengan mengorbankan ribuan Sunni yang digorok seperti binatang di alun-alun kota dan lapangan terbuka), maka mereka dipaksa ekstrim untuk menjaga nilai-nilai yang mereka gariskan, seperti membid’ah ini dan itu, seperti gambar, dan seterusnya.
Jawaban Soal:
1- Semua yang ditulis atas itu, yakni wahabi, diambil dari sisi ajaran Islam yang melarang bid’ah. Nah, begitu pula dengan apa yang antum tanyakan. Yakni sisi dan dimensi yang lain dari ajaran Islam ini. Yaitu dari sisi pengampunan karena didoakan muslimin.
Artinya, kalau hanya ini yang diambil dari Islam, maka sudah tentu akan menghasilkan wajah yang aneh pula. Memang boleh mengharap, tapi tidak boleh meninggalkan ayat-ayat dan hadits-hadits yang lain. Wahabi juga boleh bergaya mau taqwa dan ingin membersihkan diri dari bid’ah, tapi: Pertama harus dipahami dulu apa arti bid’ah itu. Ke dua, jangan meninggalkan ayat-ayat dan riwayat-riwayat yang lain.
Jadi, kalau gambaran wahabi dari singa itu adalah hanya gigi dan taringnya, maka gambaran pengampunan ini sama dengan melukis buaya yang hanya air matanya saja. Yakni tanpa mata, hidung, kepala dan bagian-bagian tubuh lainnya. Akhirnya, akan menjadi lucu kalau melukis air mata lalu mengatakan kepada orang bahwa gambar itu adalah buaya. Persis seperti wahabi-wahabi itu. Dengan demikian, maka tidak benar kalau ajaran Islam mengatakan bahwa yang penting shalat lalu mau berbuat dosa apa saja, maka tetap akan masuk surga. Sisi ketidakbenarannya banyak, diantaranya:
a- Anggap sudah benar, sekali lagi anggap sudah benar, bahwa yang penting shalat. Tapi shalat ini adalah yang shalat menurut Tuhan, bukan shalat menurut kita. Shalat menurut Tuhan adalah yang sesuai dengan QS: 29: 45:
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan maksiat dan mungkar/batil.”
Karena itu, kalaulah yang penting itu shalat, maka shalat yang menepis semua dosa dan kebatilan. Karena itu, lalu bagaimana orang yang shalat itu masih melakukan dosa. Itulah mengapa di Syi’ah, orang yang masih melakukan dosa tidak bisa jadi imam shalat. Karena shalatnya berarti belum benar secara lahir dan batin. Karena kalau benar, sudah pasti dijamin Tuhan bahwa ia tidak akan melakukan segala macam kebatilan dan dosa apapun. Minimal, secara sengaja. Karena itu kalau tidak sengaja, tidak dosa dan tetap tidak mengganggu lahir batin shalatnya.
Jadi, yang shalatnya sudah benar, pasti tidak akan melakukan dosa, alias kesalahan yang disengaja atau membiarkannya setelah tahu. Karena itu, ia pasti tidak akan berdosa dalam urusan-urusan dirinya, keluarganya, sosialnya, organisasinya, pertemanannya, budayanya, politiknya, ekonominya, berjihadnya, bertablighnya, mengajarnya, belajarnya, berdagangnya, pengajiannya, peringatan syi’ar-syi’ar Islamnya seperti mauludatau kesyahi- dan, menolong yang tertindasnya seperti Sampang, facebookannya, dan seterusnya.
Karena itulah, Islam mengatakan bahwa kita tidak boleh melihat hanya wajah dan bentuk- nya, tapi harus melihat nilai-nilai dasarnya dan kebenaran gamblangnya. Jadi, tidak perlu yang menjadi ustadz merasa lebih dari yang lain selain hanya dan hanya informasinya saja (karena muridnya bisa sangat lebih tinggi ketaqwaan dan derajatnya dari gurunya yang apalagi mengajar demi uang dan lain-lainnya sekalipun uang ini tentu halal kalau bukan ngajar fikih, tapi pahala mengajarnya akan hilang). Begitu pula, yang menjadi murid, jangan merasa lebih rendah dari gurunya kecuali hanya dan hanya dalam informasi dan ilmunya saja (tentu tidak boleh juga menyombongkan diri dan merendahkan gurunya. Maksud saya tidak perlu minder dan merasa pasti di bawah gurunya dari ketaqwaan) kecuali kalau baginya memang si guru itu orang yang ketatpada dirinya sendiri dalam ketaqwaan (lembut membenahi kesalahan orang lain tapi menampar pipinya sendiri dalam membenahi kesalahan dirinya sendiri). Dan kalau mendapatkan guru yang seperti itu maka junjunglah dia dan agungkan serta jadikan wasilah tawassul pada Allah, untukilmu dan ketaqwaan.
By the way, wajah yang dalam arti luas ini, sama sekali bukan penentu ketinggian derajat disisiNya. Seperti, tampan-tidaknya, cantik-tidaknya, guru-tidaknya, ustadz-tidaknya, alim-tidaknya, murid-tidaknya, partai-tidaknya, kaya-miskinnya, penulis-tidaknya, tokoh- tidaknya, hujjatul islam-tidaknya, ayatullah-tidaknya, orang tua-anaknya, darah biru- merahnya, dan seterusnya.
Memang, dalam tatanan sosial, semua memiliki hak dan kewajibannya. Tapi semua ini, hanya aturan ketaqwaan dalam sosial bagi setiap unsur-unsurnya, bukan peninggian secara otomatis bagi yang berhak ke atas yang harus memberikan haknya. Misalnya, orang tua yang harus ditaati dalam arti tidak boleh disakiti oleh anaknya, bukan berarti si orang tua itu langsung lebih tinggi dari anaknya. Jadi, bisa saja anaknya ahli surga dan kedua orang tuanya kekal di neraka. Begitu pula dengan hak-hak lainnya dalam sosial. Yakni antara yang diberi hak oleh Allah dengan yangdiwajibkan memberikan haknya oleh Allah.
b- Dalam hadits-hadits yang tidak bisa diragukan kebenarannya dikatakan bahwa:
“Kalau shalat seseorang sudah diterima, maka amal-amal lainnya akan diterima. Dan kalau shalatnya tidak diterima, maka ditolak pula amal-amal lainnya.”
Kalau hadits ini didekatkan dengan ayat di atas, maka maknanya akan menjadi jelas. Yaitu karena amal-amal baik seseorang yang shalatnya belum benar, maka bisa dipastikan ada errornya, mungkin dari sisi fikihnya, mungkin dari sisi niatnya, mungkin dari sisi ikhlashnya, mungkin dari sisi tidak ilmiahnya, mungkin dari sisi dalilnya, dan seterusnya.
2- Tentang pengampunan itu, sudah tentu Pengampunan Tuhan itu jauh lebih luas dari semuanya termasuk doa-doa semua muslimin dan bahkan Malaikat as, para Nabi as dan para Washi/ Imam as.
Kalau hanya dengan ayat dan hadits yang mengajarkan pengampunan, lalu meninggalkan yang lainnya, maka tidak beda dengan cara keimanan wahabi yang sudah pasti mencelakakan dan tidak akan pernah menyisakan apapun kecuali kefatalan dan ketidakseimbangan. Ringkasnya, tidak akan pernah menjadi Islam yang kaaffah/lengkap.
Karena itu, kita harus membaca ayat-ayat dan hadits-hadits lainnya, seperti yang sudah diterangkan di jawaban pertama itu.
Di samping itu, juga kita berusaha dengan tambahan-tambahan lainnya. Yaitu yang membuat potensi pada kita untuk menerima ampunanNya itu. Karena AmpunanNya itu, tidak pernah berhenti seperti Kasih dan SayangNya. Yang menjadi masalah adalah apakah kita punya potensi untuk menerimanya atau tidak. Kalau punya, maka kita akan terampuni dan terkasihi serta tersayangi. Tapi kalau tidak, maka akan menjadi sebaliknya.
Begitu pula dengan doa-doa mukminin. Memang, seperti dalam kesaksian dari orang yang meninggal dimana kalau disaksikan baik oleh 40 orang, maka akan diampuni Tuhan, merupakan rahmat dan berkah dari Tuhan yang tidak langsung, karena melalui mukminin. Akan tetapi, ia tetap tidak melampaui keluasan dan ketinggian ampunan dan kasihNya. Karena itu, tetap memerlukan kepada potensi untuk menangkap doa-doa muslimin itu.
Salah satu contoh. Muslimin memohonkan doa untuk kita yang melakukan dosa. Artinya, mereka sedih dengan dosa kita dan mendoakan pengampunan itu. Akan tetapi, kita yang didoakan, tidak merasa sedih dan karenanya mengulangi terus menerus. Kan berarti, dari psikologi keduanya itu sangat berbeda? Yang satu mendoakan karena kesedihan melihat saudara mukminnya melakukan dosa, tapi saudara mukminnya ini sama sekali tidak merasa dosa dan bahkan terus menerus melakukan dosanya tanpa taubat dan, lebih parah lagi, meyakini kepengampunan itu walau dengan dosa-dosa yang dengan sengaja diulang- ulangnya itu. Dua hal ini, jelas tidak bersenyawa dan, karenanya, sangat mungkin tidak akan saling menyapa di alam makna, apalagi mau melindungi yang lainnya.
Tapi karena dari satu sisi terlalu banyak dimensi keTuhanan yang mesti dibahas (bukan dimensi Tuhan, tapi dimensi pembahasan makrifatNya), dan terlalu banyak jalan rumit yang mesti dibahas juga, maka kita tidak bisa memastikan seratus persen pembahasan mengenainya (ampunan danjalan-jalannya secara nyata per-cm atau bahkan permili meternya). Karena itu, kita mesti terus meminta ampun untuk diri kita dan mukminin lainnya, sambil terus berusaha sekuat tenaga untuk tidak melakukan dosa.
Karena itu Islam selalu juga mengajarkan tentang penjagaan diri dari dua perasaan dan keyaki- nan, yaitu antara keyakinan akan keselamatan dan pengkabulanNya dan antara ketakutan atas neraka dan penolakanNya (murkaNya). Ini yang dikenal dengan: “Antara takut dan harap”, atau “Maa baina al-khaufi wa al-rajaa-i”.
Penutup:
Tidak ada yang lebih ekstrim tentang ayat pengampunan Tuhan dari ayat berikut ini, Allah dalam QS: 4: 48:
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik terhadapNya dan mengampuni dosa-dosa lainnya bagi yang dikehendakiNya.”
Perlu diketahui bahwa pengampunan ini bukan karena taubat. Karena kalau dengan taubat, maka dosa syirik pun pasti diampuni. Jadi, pengampunan ini adalah pengampunan fadhilah dan luthf, atau keUtamaan dan keLembutan Tuhan, atau Maha Kasih dan SayangNya.
Tapi apakah kita boleh menghambur dosa baik besar atau kecil, karena ayat ini? Jelas tidak bisa. Karena Allah mengatakan “...bagi yang dikehendakiNya”. Nah, kalau demikian halnya, lalu dari mana kita meyakini bahwa yang dikehendakiNya itu termasuk diri kita? Karena itu, kita tidak bisa terlena dengan ayat ini.
Lagi pula, Tuhan dengan ratusan ayatNya menjelaskan bahwa Ia akan memasukkan ke neraka siapa-siapa yang tidak menaatiNya. Karena itu, kita tidak memiliki jalan selamat kecuali berusaha sekuat tenaga untuk taqwa hingga tidak melakukan dosa apapun dan tidak meninggalkan kewajiban apapun. Tapi kalau kita sesekali jatuh dalam dosa, maka kita tidak boleh putus asa karena ada janji pengampunan itu. Jadi, terus berusaha taqwa sesempurna mungkin sambil terus memohon ampunanNya, merupakan jalan Islam yang diajarkan dan sempurna hingga tidak hanya tinggal gigi dan taringnya saja (bagi gambar harimau), atau tinggal buntutnya saja (seperti para pelugu yang mungkin termasuk kita-kita, na’udzubillah).
Jalan Satu-satunya:
Karena itu, tidak ada jalan lain kecuali berusaha taqwa secara profesional, yaitu dengan ilmu yang argumentatif gamblang, baik dalam akidah atau fikih dan, berusaha mengamalkannya secara ikhlash.
Semoga kita semua bisa menggunakan sisa-sisa umur kita ini, untuk ketaqwaan yang hakiki itu dan, semoga Tuhan membantu kita dan menerima kita semuanya, amin. Wassalam.
KinAi RiNan : Amin. Bihaqqi Muhammad wa aali Muhammad, syukron jawaban panjang lebarnya dan sudah jelas bagi saya tentang pertanyaan saya di atas.
Wassalam.
Karena itu, kalaulah yang penting itu shalat, maka shalat yang menepis semua dosa dan kebatilan. Karena itu, lalu bagaimana orang yang shalat itu masih melakukan dosa. Itulah mengapa di Syi’ah, orang yang masih melakukan dosa tidak bisa jadi imam shalat. Karena shalatnya berarti belum benar secara lahir dan batin. Karena kalau benar, sudah pasti dijamin Tuhan bahwa ia tidak akan melakukan segala macam kebatilan dan dosa apapun. Minimal, secara sengaja. Karena itu kalau tidak sengaja, tidak dosa dan tetap tidak mengganggu lahir batin shalatnya.
Jadi, yang shalatnya sudah benar, pasti tidak akan melakukan dosa, alias kesalahan yang disengaja atau membiarkannya setelah tahu. Karena itu, ia pasti tidak akan berdosa dalam urusan-urusan dirinya, keluarganya, sosialnya, organisasinya, pertemanannya, budayanya, politiknya, ekonominya, berjihadnya, bertablighnya, mengajarnya, belajarnya, berdagangnya, pengajiannya, peringatan syi’ar-syi’ar Islamnya seperti mauludatau kesyahi- dan, menolong yang tertindasnya seperti Sampang, facebookannya, dan seterusnya.
Karena itulah, Islam mengatakan bahwa kita tidak boleh melihat hanya wajah dan bentuk- nya, tapi harus melihat nilai-nilai dasarnya dan kebenaran gamblangnya. Jadi, tidak perlu yang menjadi ustadz merasa lebih dari yang lain selain hanya dan hanya informasinya saja (karena muridnya bisa sangat lebih tinggi ketaqwaan dan derajatnya dari gurunya yang apalagi mengajar demi uang dan lain-lainnya sekalipun uang ini tentu halal kalau bukan ngajar fikih, tapi pahala mengajarnya akan hilang). Begitu pula, yang menjadi murid, jangan merasa lebih rendah dari gurunya kecuali hanya dan hanya dalam informasi dan ilmunya saja (tentu tidak boleh juga menyombongkan diri dan merendahkan gurunya. Maksud saya tidak perlu minder dan merasa pasti di bawah gurunya dari ketaqwaan) kecuali kalau baginya memang si guru itu orang yang ketatpada dirinya sendiri dalam ketaqwaan (lembut membenahi kesalahan orang lain tapi menampar pipinya sendiri dalam membenahi kesalahan dirinya sendiri). Dan kalau mendapatkan guru yang seperti itu maka junjunglah dia dan agungkan serta jadikan wasilah tawassul pada Allah, untukilmu dan ketaqwaan.
By the way, wajah yang dalam arti luas ini, sama sekali bukan penentu ketinggian derajat disisiNya. Seperti, tampan-tidaknya, cantik-tidaknya, guru-tidaknya, ustadz-tidaknya, alim-tidaknya, murid-tidaknya, partai-tidaknya, kaya-miskinnya, penulis-tidaknya, tokoh- tidaknya, hujjatul islam-tidaknya, ayatullah-tidaknya, orang tua-anaknya, darah biru- merahnya, dan seterusnya.
Memang, dalam tatanan sosial, semua memiliki hak dan kewajibannya. Tapi semua ini, hanya aturan ketaqwaan dalam sosial bagi setiap unsur-unsurnya, bukan peninggian secara otomatis bagi yang berhak ke atas yang harus memberikan haknya. Misalnya, orang tua yang harus ditaati dalam arti tidak boleh disakiti oleh anaknya, bukan berarti si orang tua itu langsung lebih tinggi dari anaknya. Jadi, bisa saja anaknya ahli surga dan kedua orang tuanya kekal di neraka. Begitu pula dengan hak-hak lainnya dalam sosial. Yakni antara yang diberi hak oleh Allah dengan yangdiwajibkan memberikan haknya oleh Allah.
b- Dalam hadits-hadits yang tidak bisa diragukan kebenarannya dikatakan bahwa:
“Kalau shalat seseorang sudah diterima, maka amal-amal lainnya akan diterima. Dan kalau shalatnya tidak diterima, maka ditolak pula amal-amal lainnya.”
Kalau hadits ini didekatkan dengan ayat di atas, maka maknanya akan menjadi jelas. Yaitu karena amal-amal baik seseorang yang shalatnya belum benar, maka bisa dipastikan ada errornya, mungkin dari sisi fikihnya, mungkin dari sisi niatnya, mungkin dari sisi ikhlashnya, mungkin dari sisi tidak ilmiahnya, mungkin dari sisi dalilnya, dan seterusnya.
2- Tentang pengampunan itu, sudah tentu Pengampunan Tuhan itu jauh lebih luas dari semuanya termasuk doa-doa semua muslimin dan bahkan Malaikat as, para Nabi as dan para Washi/ Imam as.
Kalau hanya dengan ayat dan hadits yang mengajarkan pengampunan, lalu meninggalkan yang lainnya, maka tidak beda dengan cara keimanan wahabi yang sudah pasti mencelakakan dan tidak akan pernah menyisakan apapun kecuali kefatalan dan ketidakseimbangan. Ringkasnya, tidak akan pernah menjadi Islam yang kaaffah/lengkap.
Karena itu, kita harus membaca ayat-ayat dan hadits-hadits lainnya, seperti yang sudah diterangkan di jawaban pertama itu.
Di samping itu, juga kita berusaha dengan tambahan-tambahan lainnya. Yaitu yang membuat potensi pada kita untuk menerima ampunanNya itu. Karena AmpunanNya itu, tidak pernah berhenti seperti Kasih dan SayangNya. Yang menjadi masalah adalah apakah kita punya potensi untuk menerimanya atau tidak. Kalau punya, maka kita akan terampuni dan terkasihi serta tersayangi. Tapi kalau tidak, maka akan menjadi sebaliknya.
Begitu pula dengan doa-doa mukminin. Memang, seperti dalam kesaksian dari orang yang meninggal dimana kalau disaksikan baik oleh 40 orang, maka akan diampuni Tuhan, merupakan rahmat dan berkah dari Tuhan yang tidak langsung, karena melalui mukminin. Akan tetapi, ia tetap tidak melampaui keluasan dan ketinggian ampunan dan kasihNya. Karena itu, tetap memerlukan kepada potensi untuk menangkap doa-doa muslimin itu.
Salah satu contoh. Muslimin memohonkan doa untuk kita yang melakukan dosa. Artinya, mereka sedih dengan dosa kita dan mendoakan pengampunan itu. Akan tetapi, kita yang didoakan, tidak merasa sedih dan karenanya mengulangi terus menerus. Kan berarti, dari psikologi keduanya itu sangat berbeda? Yang satu mendoakan karena kesedihan melihat saudara mukminnya melakukan dosa, tapi saudara mukminnya ini sama sekali tidak merasa dosa dan bahkan terus menerus melakukan dosanya tanpa taubat dan, lebih parah lagi, meyakini kepengampunan itu walau dengan dosa-dosa yang dengan sengaja diulang- ulangnya itu. Dua hal ini, jelas tidak bersenyawa dan, karenanya, sangat mungkin tidak akan saling menyapa di alam makna, apalagi mau melindungi yang lainnya.
Tapi karena dari satu sisi terlalu banyak dimensi keTuhanan yang mesti dibahas (bukan dimensi Tuhan, tapi dimensi pembahasan makrifatNya), dan terlalu banyak jalan rumit yang mesti dibahas juga, maka kita tidak bisa memastikan seratus persen pembahasan mengenainya (ampunan danjalan-jalannya secara nyata per-cm atau bahkan permili meternya). Karena itu, kita mesti terus meminta ampun untuk diri kita dan mukminin lainnya, sambil terus berusaha sekuat tenaga untuk tidak melakukan dosa.
Karena itu Islam selalu juga mengajarkan tentang penjagaan diri dari dua perasaan dan keyaki- nan, yaitu antara keyakinan akan keselamatan dan pengkabulanNya dan antara ketakutan atas neraka dan penolakanNya (murkaNya). Ini yang dikenal dengan: “Antara takut dan harap”, atau “Maa baina al-khaufi wa al-rajaa-i”.
Penutup:
Tidak ada yang lebih ekstrim tentang ayat pengampunan Tuhan dari ayat berikut ini, Allah dalam QS: 4: 48:
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik terhadapNya dan mengampuni dosa-dosa lainnya bagi yang dikehendakiNya.”
Perlu diketahui bahwa pengampunan ini bukan karena taubat. Karena kalau dengan taubat, maka dosa syirik pun pasti diampuni. Jadi, pengampunan ini adalah pengampunan fadhilah dan luthf, atau keUtamaan dan keLembutan Tuhan, atau Maha Kasih dan SayangNya.
Tapi apakah kita boleh menghambur dosa baik besar atau kecil, karena ayat ini? Jelas tidak bisa. Karena Allah mengatakan “...bagi yang dikehendakiNya”. Nah, kalau demikian halnya, lalu dari mana kita meyakini bahwa yang dikehendakiNya itu termasuk diri kita? Karena itu, kita tidak bisa terlena dengan ayat ini.
Lagi pula, Tuhan dengan ratusan ayatNya menjelaskan bahwa Ia akan memasukkan ke neraka siapa-siapa yang tidak menaatiNya. Karena itu, kita tidak memiliki jalan selamat kecuali berusaha sekuat tenaga untuk taqwa hingga tidak melakukan dosa apapun dan tidak meninggalkan kewajiban apapun. Tapi kalau kita sesekali jatuh dalam dosa, maka kita tidak boleh putus asa karena ada janji pengampunan itu. Jadi, terus berusaha taqwa sesempurna mungkin sambil terus memohon ampunanNya, merupakan jalan Islam yang diajarkan dan sempurna hingga tidak hanya tinggal gigi dan taringnya saja (bagi gambar harimau), atau tinggal buntutnya saja (seperti para pelugu yang mungkin termasuk kita-kita, na’udzubillah).
Jalan Satu-satunya:
Karena itu, tidak ada jalan lain kecuali berusaha taqwa secara profesional, yaitu dengan ilmu yang argumentatif gamblang, baik dalam akidah atau fikih dan, berusaha mengamalkannya secara ikhlash.
Semoga kita semua bisa menggunakan sisa-sisa umur kita ini, untuk ketaqwaan yang hakiki itu dan, semoga Tuhan membantu kita dan menerima kita semuanya, amin. Wassalam.
KinAi RiNan : Amin. Bihaqqi Muhammad wa aali Muhammad, syukron jawaban panjang lebarnya dan sudah jelas bagi saya tentang pertanyaan saya di atas.
Wassalam.
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar