Selasa, 24 Desember 2019

Pengembalian Sebagian Uang Riba dari Diri Kita Kepada Kita Sendiri


Seri tanya jawab Irsavone Sabit dengan Sinar Agama November 2, 2013 at 4:39 pm


Irsavone Sabit mengirim ke Sinar Agama: 20-4-2013, Salam, seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa boleh meminjam uang di bank selama tidak ada lagi tempat meminjam yang tidak memakai bunga, nah bagaimana kalau kita meminjam uang di bank syari’ah, kemudian pihak bank, memberikan pengembalian uang Rp. 100.000 rupiah/bulan dalam bentuk tabungan, apakah uang tersebut halal?

Bande Husein Kalisatti dan Uthman Hapidzuin menyukai ini.


Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya: Tapi afwan saya belum paham. Bisa diterangkan lebih jauh, sekalian dengan berapa pinjamannya, berapa harus membayarnya, dan mengapa bisa ada pengembalian tiap bulan Rp. 100.000 itu? Terimakasih.

Irsavone Sabit: Misalnya kita meminjam uang di bank syari’ah Empat Puluh Juta selama lima tahun, dengan cicilan tiap bulannya pada bank kurang lebih Sembilan Ratus Ribu Rupiah tiap bulannya, nah bank mengembalikan dalam bentuk tabungan sebesar seratus Ribu rupiah tiap bulannya pada nasabah, kenapa dikembalikan Seratus Ribu rupiah, hal itu sudah ketentuan bank, apakah uang pengembalian seratus ribu rupiah tersebut oleh bank pada nasabah halal?

Sinar Agama: Terima kasih penjelasannya: Dengan contoh yang antum berikan itu, berarti antum harus mengembalikan pinjaman 40 juta itu sebesar 54 juta (900,000 x 12 x 5 = 54 juta). Jadi, antum harus membayar bunga/riba sebesar 14 juta. Lalu bank mengembalikan kepada antum 100,000 sebulan dimana akan menjadi 100,000 x 12 x 5 = 6 juta. Dengan demikian, sebenarnya antum membayar riba-nya itu sebesar 8 juta hasil dari 14 juta - 6 juta = 8 juta.

Dengan perhitungan itu, maka antum tidak memakan uang riba, tapi uang antum sendiri yang semestinya dibayarkan untuk ribanya itu. Yakni bagian dari uang antum yang mesti dibayarkan ke bank.


Menurut saya, uang itu bukan uang riba, karena uang sendiri. Artinya, pembagian riba tapi dari riba yang kita bayarkan ke bank. Kalau riba itu dari pembayaran orang lain, maka jelas riba buat antum.

Namun demikian, supaya tidak bermasalah sama sekali, maka antum niatkan saja pada setiap pembayaran itu, bahwa yang 100,000 itu hanya dititipkan saja ke bank. Yakni jangan diniatkan sebagai pembayaran riba. Atau niatkan saja dari awal memang sebagai tabungan antum.

Semua ini, kalau memang pasti bahwa bank syari’ah itu tidak syari’ah, sebagaimana kita kira selama ini seukuran sampainya informasi kepada kita dalam diskusi-diskusi di facebook ini. Tapi kalau ternyata suatu saat terbukti syari’ah, maka jelas 100.000 itu bisa dihitung sebagai bonus tambahan bagi hasil.

Irsavone Sabit: Terimakasih atas penjelasan Ustadz Sinar Agama.

Vito Balataw: Salam, sekedar informasi bank syari’ah apapun di Indonesia tidak mungkin syari’ah, karena semua bank baik non syari’ah (konvensional) maupun “syari’ah” di bawah naungan Bank Indonesia (BI) yang menerapkan sistem keuangan Kapitalis/ribawi. Afwan.

Sinar Agama: Vito: Itu juga masalah buat bank syari’ah. Dulu, sekitar 20 tahun yang lalu, ketika awal-awal bank syari’ah ini dipromosikan, bahkan ada yang berkata bahwa dana yang masuk, tidak sepenuhnya dialokasikan dengan permodalan mudharabah atau bagi hasil. Karena hal itu perlu kepada program yang luas, serius dan dengan penuh ketekunan dan perombakan ekonomi Indonesia. Karena itu, katanya, dana-dana itu kebanyakannya masih diputar di bank yang bagian bukan syari’ahnya, yakni bank yang menaungi bank syari’ah yang memang bukan syari’ah itu.

By the way, menurut alfakir dalam penerapan pemahaman fikih Ahlulbait as, tidak menyentuh apapun hasil/bunga-nya adalah kewajiban yang tidak bisa dianggap ringan mengingat dosa riba terlalu besar buat manusia.


Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar