Tampilkan postingan dengan label Taqwa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Taqwa. Tampilkan semua postingan

Jumat, 17 Agustus 2018

Lensa (Bgn 2) : "Dan janganlah kamu mengatakan dirimu suci, Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (an-Najm: 32)



Oleh : Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 18:47


Ayat itu ditujukan kepada orang-orang Nashrani yang (mungkin) karena hidup kependetaannya, mereka merasa lebih suci dari muslimin dan Nabi. Jadi, bukan untuk muslimin.

Merasa paling suci itu tanda keyakinan asal memiliki argumen, kalau suci di sini maksudnya adalah suci dari kesesatan pemikiran dan akidah. Tetapi kalau merasa suci dalam perbuatan atau aplikasinya, maka kalau punya dalil dan tidak disertai kesombongan, maka itu dianjurkan agama untuk diceritakan, lihat QS:93:11. Di sana Allah menyuruh ceritakan kebaikan yang diberikan Tuhan kepada mereka. Seperti orang-orang maksum. 

Tetapi untuk selain yang maksum, dan tidak punya sandaran kepada maksum (sebab ada orang- orang yang dinyatakan suci/baik oleh maksumin), maka kurang layak mengatakan kesucian itu karena tidak adanya argument tentang benar dan diterimanya amalan yang dilakukannya. 

Merasa paling suci dengan argument adalah memahami kebenarannya dan kesalahan yang lain dengan argumentasi-gamblang, atau ilmu-mudah, atau dengan premis-premis ilmu-mudah. Ini kalau dalam pemikiran dan akidah. 

Tetapi kalau dalam amal, maka sulit perasaan itu dicapai bagi yang tidak maksum atau yang tidak memiliki sandran maksum. Apalagi akhlak kurang mendukungnya kalau diantara sesama orang baik atau yang merasa orang-orang baik. 

Beda halnya kalau orang yang lahiriahnya baik yang hidup di masyarakat yang tidak baik (dengan dalil-mudah) yakni yang meninggalkan syariat baik sebagian atau keseluruhannya, maka perasaan suci itu adalah fitrah yang, mungkin bisa dimasukkan ke dalam katagori sakinah yang diberikan Tuhan supaya orang tersebut tidak melemah dalam lautan masyarakat yang tidak Islami itu. 

Jadi, merasa suci tidak identik dengan kesombongan. Dan larangan Tuhan itu pada nasrani, bukan muslimin. 

Tuhan mengatakan kepada nasrani itu bahwa hanya Dia yang tahu yang suci, mungkin, karena mereka belum lagi satu agama dengan Nabi saww. Karena kalau satu agama, maka Tuhan akan mengatakan, bagaimana kamu mengatakan suci padahal kamu tidak menaatinya? 

Dengan penjelasan ini, berarti orang yang merasa suci, karena punya dalil, baik dari Tuhan seperti maksumin atau dari maksumin seperti beberapa shahabat maksumin yang sudah disaksikan kesucian atau kebaikannya, maka hal itu tidak terlarang.

Dan karena sombong itu ketidaksucian, maka orang suci yang merasa suci itu bukan kesombongan, tetapi perasaan benar yang muncul dari kebenaran-argumentatif yang dilakukannya secara benar- argumentatif pula. 

Sedang orang yang merasa dirinya “paling suci” (bukan “suci”), apalagi kalau tanpa argumentasi dari Tuhan yang Maha Tahu atau dari maksumin, maka ini adalah kesombongan dan kebodohan yang dilarang agama. 

Tetapi larangan terhadap hal ini ada di tempat lain, bukan di ayat ini. Karena dalam ayat ini, yang dilarang, adalah “merasa suci”, bukan “merasa paling suci”. 

Banyak sekali di muka bumi ini orang-orang yang suci dari dosa, seperti nabi-nabi dan imam- imam, apalagi syarat jadi imam itu harus suci dari dosa (QS: 2:124) dan kita tidak boleh taat pada yang tidak maksum (QS: 76:24). 

Dan kalau manusia mesti berdosa, dimana dosa itu haram hukumnya dimana wajib ditinggalkan, berarti agama Tuhan tidak bisa dilaksanakan dan melebihi kemampuan mansuai. Padahal Allah berfirman bahwa Dia tidak memerintah kecuali sesuai kemampuan QS:2:286. 

Sucinya Tuhan itu bukan dari dosa, tetapi dari kesalahan, kekurangan, keburukan, kebaikan- terbatas, kesempurnaan-terbatas, pensifatan kita-kita, materi, keterbatasan dan lain-lain. Karena itulah dikatakan Maha Suci, yakni Maha. 

Sedang manusia hanya dituntut suci dari dosa, yakni kesalahan yang disengaja. 

Tetapi kalau para nabi dan imam, terjaga juga dari kesalahan yang tidak disengaja, karena kalau kesalahan yang tidak disengaja ini terjadi, maka sekalipun tidak dosa, agama yang dibawa atau dipertahankannya, tidak akan pernah bisa diyakini manusia lain. 

Misalnya, jangan-jangan Nabi lupa mau bilang bahwa puasa itu di syawal tetapi di bilang Ramadhan, dan nabi juga lupa kalau sudah diingatkan untuk dirinya dan lupa menyampaikannya, dan nabi juga tidak sengaja menyampaikan bahwa kalau tidak ada penyalahan dari Tuhan itu bukan berarti sudah benar dan bukan karena beliau lupa, dan seterusnya. 

Sekian. Terima kasih. Al-fatihah –sholawat.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ