Tampilkan postingan dengan label Sayyid dan non-sayyid. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sayyid dan non-sayyid. Tampilkan semua postingan

Senin, 24 Desember 2018

Tentang Keturunan




Seri pertanyaan inbox-page Fatimah Adz Zahra Muhammad dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Sunday, March 31, 2013 at 2:35 pm


Fatimah Adz Zahra Muhammad: 15-2-2013, 

Salam ustadz.. Apa kabarnya ustadz? Afwan saya ingin bertanya lagi ustadz, bagaimana tanggapan ustadz tentang hadist di bawah ini.. 

Rasulullah Saaw berkata; 

“Cintailah keturunanku yang ber-ilmu/Alim karena Allah SWT, dan cintailah keturunanku yang biasa- biasa saja/bukan orang Alim, karena aku.” 


Bukankah Allah SWT dan Rasulullah adalah satu kesatuan dan tidak bisa dipisahkan? 

Tapi belajarlah tentang syiah yang sebenar-benarnya, dari orang yang punya kapabilitas tentang Ahlulbayt, belajarlah tentang apa arti “Itrah, Qurba, dzurriyah” dengan cermat, harus bagaimanakah seharusnya memperlakukan mereka... 

*Ayatulllah Sayyid ‘Adil Alawi berkata, “Dan juga menunjukkan keharusan menghormati dzurriyah adalah apa yang telah disabdakan oleh beliau (Saaw); “Cintailah dzurriyahku ‘yang shaleh karena Allah SWT dan yang tidak shaleh karena aku..” dan juga ayat Al-Qur’an surah Al-Istifa’...” 

(Menukil dari Sayyid Asyraf Mir Damad, Fadhail as-Saadaat, 49) 

*Muhaddist agung Syekh Abbas al-Qummi (penghimpun kitab do’a Mafatih al-Jinan) ra, beliau sangat besar penghormatannya terhadap para ahli ilmu, khususnya dari kalangan para sayyid, putra-putra Rasulullah Saaw. Dan jika di sebuah majelis ada seorang sayyid, beliau tidak men- dahuluinya dan tidak mengulurkan kakinya ke arahnya. 

Beberapa saat sebelum wafatnya, orang-orang membawakan jus apel untuk Syekh Abbas al- Qummi, dan secara kebetulan dirumahnya ada seorang anak kecil dari Saadah/sayyid, maka al- Muhaddist (al-Qummi) berkata, ‘Berikan kepadanya agar ia meminumnya terlebih dulu, setelah itu sisanya berikan kepadaku’. 

Beliau melakukan itu karena demi mencari berkah. Setelah anak kecil itu meminumnya, barulah al-Qummi meminum sisanya untuk dijadikan obat kesembuhan. 

*Wasiat Ayatullah al-Udzma Sayyid al-Mar’asyi an Najafi ra. 

Sayyid ‘Adil melanjutkan, “Termasuk wasiat guru besar kami Ayatullah Sayyid al-Mar’asyi ra, ‘Hendaknya kamu sekalian menjaga dzurriyah kenabian, berbakti kepada hak mereka, membela mereka, menolong mereka dengan tangan dan lisan, sebab mereka adalah titipan maqam kenabian di tengah-tengah umat manusia. Maka berhati-hatilah kamu dari menzalimi mereka, membenci mereka, buruk perilaku terhadap mereka, menyakiti mereka, acuh terhadap mereka, 

menghinakan mereka dan tidak menjalankan hak mereka. Hal itu semua dapat menyebabkan dicabut taufik Allah. Dan jika kamu (semoga engkau Allah darinya) tidak mencintai mereka dengan hatimu, maka engkau adalah orang yang sakit hatinya, bercepat-cepatlah untuk berobat kepada dokter jiwa (ulama shalihin). Apakah ada keraguan tentang keutamaan dan keagungan mereka serta ketinggian derajat dan martabat mereka?! Jauhlah... Jauhlah, tiada keraguan lagi kecuali orang yang buta mata hatinya dan kaku hatinya...” 

(Qabasaat Min Hayati Sayyidina al Ustadz, 130) 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Yang bisa saya tangkap dengan hati yang penuh hijab ini, dari pelajaran-pelajaran dan kehidupan keilmuan maka, KURANG LEBIH: 

Pesan Nabi saww tentang keluarga beliau saww itu, yaitu kewajiban menyintai, menolong dan seterusnya, adalah Ahlulbait yang makshum as. Alasannya di tafsir-tafsir Qur'an tentang cinta Qurba Nabi saww itu adalah karena Nabi saww tidak minta upah apapun dari umatnya untuk dakwah beliau saww itu. Nabi saww sama sekali tidak memiliki pamrih apapun terhadap dakwah beliau saww itu dan Tuhan juga seperti itu. Jadi, kalau ada permintaan kewajiban menyintai keluarga beliau saww adalah yang makshumin as. Karena hal itu bukan demi Nabi saww tapi demi umat beliau saww sendiri. Beberapa hari yang lalu di inbox saya pernah membahas hal yang mirip dimana membawakan ayat-ayat itu bagus di sini. Ini kunukilkan sebagiannya dari diskusi tersebut: 

Antum tidak bisa menafsir ayat dengan kehendak sendiri dan apalagi dengan perasaan. Allah banyak menjelaskan ayat itu di ayat-ayat lainnya, seperti: 

قل ما سألتكم من أجر فهو لكم إن أجري إلاّ على الله

“Katakan -Muhammad- apa-apa yang kuminta dari kalian dari upah itu, adalah untuk diri kalian sendiri dan sesungguhnya upahku hanya di Allah.” 

قل ما أسألكم عليه من أجر إلاّ من شاء أن يتخذ إلى ربّه سبيلا

“Katakan -Muhammad- apa-apa yang aku minta dari kalian dari upah itu, tidak lain untuk orang-orang yang hendak mencari jalan menuju Tuhannya.” 

قل ما أسألكم عليه من أجر وما أنا من المتكلفين

“Katakan -Muhammad- apa-apa yang aku tidak minta upah apapun upah dari kalian darinya -tabligh- dan aku bukanlah yang memaksa.” 

Jadi, cinta yang diwajibkan itu adalah cinta yang teriring ketaatan dan sebagainya dan, yang tidak berupa keuntungan untuk Nabi saww di dunia ini, karena Nabi saww hanya akan mendapat dari sisi Allah. Oleh karena itulah maka keuntungan apa yang kalau menyintai keluarga Nabi saww itu yang bisa didapat? Jawabannya, adalah jalan menuju Allah. Nah, jalan menuju Allah ini hanya akan didapatkan secara pasti dari keluarga makshum Nabi saww. 

2. Sedang cinta kepada yang lain-lainnya dari para sayyid atau keturunan Abdulmuthallib ra atau keturunan Nabi saww secara khusus, yang bisa saya raba, sama dengan pesan-pesan Nabi saww kepada saling cinta dan tolong sesama muslimin. Sebegitu ditekankan terhadap saling tolong ini hingga siapapun yang tidak mau menolong saudara seimannya yang minta tolong dan dia mampu menolong, maka dosanya adalah dosa besar dan taubatnya tidak diterima Allah kecuali mencari orang tersebut dan menolongnya atau meminta ridhanya. 

Akan tetapi, kalau dalam setiap hal, ada saja gradasinya, seperti shalat berjama’ah dimana kalau calon imam shalat itu sama-sama adil dan alim, baik dari kalangan sayyid atau bukan, maka diutamakan (bukan diwajibkan) yang sayyid untuk dijadikan imam shalat, dan kalau sayyidnya lebih dari satu, maka diutamakan dipilih yang ganteng/tampan, maka dalam penghormatan ini juga seperti itu. Jadi, kalau mau menawarkan air kepada dua orang dimana yang satunya sayyid dan yang lainnya bukan, maka diutamakan (bukan diwajibkan) untuk menawarkan ke sayyid terlebih dahulu. 

Satu lagi yang bisa ana raba dari perilaku para ulama, adalah bahwa mereka mengambil jalan ihtiyath/hati-hati selama tidak bertentangan dengan hukum lainnya. Artinya mendahulukan sayyid karena tidak ada salahnya dan demi mengingat Nabi saww. Jadi, sekalipun anggap tidak dianjurkanpun, maka tetap tidak keluar dari garis agama. Tapi kalau berlawanan dengan hal lainnya, misalnya yang bukan sayyid lebih tua, lebih alim, lebih taqwa, ....maka mungkin mereka tidak akan melakukan kehati-hatian itu. 

Dari hukum shalat jama’ah itu sudah dapat ditangkap, seperti di fatwa imam Khumaini ra di Tahriiru al-Washiilah, masalah ke: 8 dari bab: syarat-syarat imam shalat (saya ringkas intinya saja): 

{{Kalau imamnya lebih dari satu, maka kalau saling mendahului, maka hati-hatinya tidak bermakmum kepada semuanya. Kalau saling mendahulukan/menyilahkan yang lainnya, maka ambil yang didahulukan makmumnya. Kalau makmumnya berbeda pendapat, maka diutamakan yang mujtahid yang adil. Kalau tidak ada atau juga sama-sama mujtahid, maka ambil yang paling bagus bacaannya. Dan kalau diantara mujtahid itu sama-sama bagus bacaannya, maka ambil yang paling alim dalam masalah shalat; kalau sama juga, maka ambil yang lebih tua. 

Imam yang biasa mengimami di satu masjid tertentu, maka ia di mesjid itu lebih utama dari yang lainnya, sekalipun fadhilahnya lebih rendah dari yang lain dan seyogyanya ia mendahulukan terlebih dahulu orang-orang yang lebih afdhal darinya sebelum maju mengimami (misalnya dia bukan mujtahid lalu kebetulan ada mujtahid yang mau bermakmum, maka ia seyogyanya menawarkan dulu kepada tamu tersebut). 

Begitu pula, yang memiliki rumah, lebih utama untuk menjadi imam shalat dari tamu-tamunya (tentu saja kalau memenuhi syarat jadi imam shalat, seperti lelaki, berakal, adil atau tidak melakukan dosa besar dan kecil...dan seterusnya). 

Dan sayyid, lebih utama dari yang lainnya kalau dalam fadhilah-fadhilah atau kelebihan- kelebihan di atas itu sama dengan yang bukan sayyid. 

Semua yang disebutkan di atas itu, adalah keutamaan saja dan bukan kewajiban.}} 

Dari fatwa di atas dapat dipahami bahwa keutamaan itu setelah melewati persyaratan imam shalat yang wajib dipenuhi. Jadi, keturunan atau bukan, harus lolos dulu dari syarat wajib ini. Baru setelah 

itu kalau yang keturunan ini mau diafdhalkan, harus melewati dulu fadhilah-fadhilah yang lain seperti mujtahid, lebih alim dan lebih fashih/fasih di antara sesama mujtahid itu, lalu lebih alim tentang shalat (lebih a’lam tentang shalat di antara sesama mujtahid itu), lebih tua diantara sesama mujtahid itu. Lalu yang biasa menjadi imam shalat di masjid, lalu pemilik rumah dan setelah itu baru sampai ke keturunan kalau ia sama dengan yang lainnya dari sisi fadhilah-fadhilah tersebut. 

Catatan

1- Masih banyak lagi bahasan yang bisa dibahas dalam hal ini.

2- Tentang perakitan tiga ayat untuk mengerti siapa Qurba yang wajib dicintai dalam  Qur'an itu, diambil dari tafsir Amtsaal, karya ayatullah Makaarim Syiiraazii hf.

3- Tentang sayyid Adil hf itu kita hormati pendapatnya, sekalipun kita mungkin agak beda kalau beliau hf memaksudkan pengkhususan hal-hal cinta, pertolongan ....dan seterusnya...itu kepada keturunan dan tidak kepada yang lainnya. Kalau semacam penggradasian, asal tidak bertentangan dengan nilai-nilai lainnya, maka hal itu jelas wajar-wajar saja dan bisa dikatakan lebih ahwath/hati-hati. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ