Tampilkan postingan dengan label Hadharat Zainab as. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hadharat Zainab as. Tampilkan semua postingan

Minggu, 14 Oktober 2018

Siapa dan Mengapa Ummu Kultsuum Istri Umar bin Khaththaab ?!




Seri tanya jawab Muhammad Dudi Hari Saputra dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Thursday, May 10, 2012 at 12:19 am



Muhammad Dudi Hari Saputra: Salam ustadz,,, Apa kabar ustadz?? Semoga sehat selalu.. ^_^

Ustadz,, pertanyaan filsafat saya belum dibalas,,hhe dan mohon bantuannya teman-teman apakah ada yang menyimpan arsip mngenai pernikahan Umar bin Khattab dengan Umi Kalsum (putri Imam Ali).. mohon bantuannya.. syukron ya afwan.,.. 


Hamidah Nurjamilah Adiwijaya: “Ummu kulthum yang di nikahi Umar bin khattab meninggal sebelum tahun 50 hijriyah, hasan bin Ali As, Abdullah bin Umar dan Sa’ad bin Abi Waqash diminta Umar untuk menyolatinya. 




Sejarah mencatat bahwa ummu kulthum binta Ali As ikut dalam rombongan karbala dan menjadi saksi pembantaian Putra Suci As Syahidu Syabab As pada tahun 61 hijriyah.

Dan juga sejarah mencatat bahwa setelah peristiwa duka tersebut Ummu kulthum binta Ali As menikah dengan Abdullah bin Jafar At thayyar.”. 



SIAPA AJA ISTRI UMAR (yang tercatat di Kitab al-Faruq) 


Umar Khottob mempunyai 7 orang istri, yang pertama bernama zainab saudari dari uthman bin mazun

Istri yang ke dua bernama qariba putri dari Ibn Umait al makzami dan saudara dari Ummul mukminin ummu Salamah ra. Qariba bercerai dari Umar pada tahun 6 sebelum masehi setelah perjanjian hudabiyah

Istri ketiga bernama malaika anak dari Jarul al khuzai yang juga dipanggil Ummu kulthum, karena ia menolak islam maka malaika (ummu kulthum binta jarul) ini pun di ceraikan pada tahun yang sama (tahun 6 sebelum masehi).

Istri yang ke empat bernama Jamila anak dari Asim bin Thabit. Nama asli jamila adalah Asya yang kemudian oleh Rasul Saww diganti rasul Saww menjadi Jamila saat ia di dalam ISLAM.

Istrinya yang lain adalah ummu Hakim anak dari Al harith bin hisyam al makhzumi dan lainnya adalah Fukhia yamania dan Atika putri dari Zaid bin Amr bin naf

Muhammad Dudi Hari Saputra: Jadi Ummu Kulthum yang di maksud sebagai isteri Umar bukanlah Ummu Kulthum binti Ali tetapi adalah Ummu Kulthum binti Jarul..?

Syukron..

Hamidah Nurjamilah Adiwijaya: Iya, smoga ustadz bisa memberikan penjelasan lebih baik.

Sang Pecinta: Salam, Penjelasan” umi kulstum putri Imam Ali menikah dengann Umar bin khatab? Oleh Ustad Sinar Agama,

http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/243413822370088/

Berlangganan Catatan-catatan Sinar Agama: Sang Pecinta: terkait dengan Imam Ali dan Umar... http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/236093706435433/

Berlangganan Catatan-catatan Sinar Agama


Sinar Agama: Salam dan terimakasih atas tagihan dan pertanyaannya. Karena menjawab perta- nyaan ini agak panjang, harap sabar. Mungkin nanti malam kalau tidak ada pertanyaan masuk.

Sang Pecinta: @Ustadz: jawaban tentang Umi Kultsum sudah saya tukilkan di atas ustadz, afwan..

Muhammad Dudi Hari Saputra: Terima kasih sebesar-besarnya untuk ustadz Sinar Agama dan Sang Pencinta dan juga teman-teman yang lain,, semoga bisa berkumpul bersama kalian di saat ma’ad kelak,, ^_^

Sinar Agama: Hdh Ummu Kultsuum as (hdh Zainab as): 
Bismillaah:

(1). Masalah Ummu Kultsum ini terjadi perbedaan pendapat baik di sunni atau di syi’ah.

(2). Di Syi’ah sendiri, ada tiga pendapat:

a. Mengingkari keberadaannya sebagai putri imam Ali as dan hdh Faathimah as.

b. Tidak mengingkari keberadaannya akan tetapi mengingkari perkawinannya dengan Umar bin Khaththab. Kelompok ini seperti Syaikh Mufiid ra dalam kitabnya al-Masaailu al-‘Ubkariyyah dan Sayyid Naashir Husain al-Hindii dalam kitabnya, Ifhaamu al-A’daa’ wa al-Khushuum.

c. Tidak mengingkari keberadaan dan perkawinannya dengan Umar akan tetapi dalam keadaan terpaksa. Kelompok ke tiga ini seperti Sayyid Murtadhaa dalam kitabnya, Tan- ziihu al-Anbiyaa’, dan seperti riwayat-riwayat yang ada di al-Kaafii-nya al-Kulaini ra.

(3). Dari ketiga pandangan itu, yang paling kuat, sebagaimana akan dijelaskan kemudian, adalah pandangan yang pertama, yaitu yang mengatakan tidak adanya putri imam Ali as dan hdh Faathimah as yang bernama Ummu Kultsuum.

(4). Dalil-dalil pandangan pertama:

a. Sebenarnya, siapapun yang menuliskan bahwa anak-anak imam Ali as dengan hdh Faathimah as itu 5 orang, imam Hasan as, imam Husain as, Muhsin (yang gugur dari kandungan dalam penyerbuan Abu Bakar dan Umar), hdh Zainab ra dan Ummu Kul- tsuum, hanya menyimpulkan dari riwayat-riwayat yang ada. Artinya, riwayat-riwayat itu tidak pernah menyebut dua nama terakhir itu dalam satu periwayatan. Karena itu, dapat dipahami bahwa hdh Zainab ra dan Ummu Kultsuum itu sebenarnya satu orang. Hdh Zainab ra adalah namanya dan Ummu Kultsuum adalah julukannya yang, memang diberikan oleh Nabi saww.

b. Ibnu Bathuuthah (w 779 H), dalam kitabnya, Rihlatu Ibnu Bathuthah, 1/113, cetakan Muassasah al-Risaalah, Bairuut, th 1405 H Q, menuliskan: 



وبقرية قبلي البلد وعلى فرصخ منها مشهد أم كلثوم بنت علي بن أبي طالب من فاطمة عليهم السالم

ويقال أن اسمها زينب وكناها النبي صلى اهلل عليه وسلم أم كلثوم 



“Dan menjelang kota, sekitar satu farsyakh (5,6 km) sebelumnya, terdapat makam Ummu Kultsuum bintu Ali bin Abii Thaalib (as) dengan Faathimah (as) dan dikatakan bahwa namanya adalah Zainab yang dijuluki Nabi saww dengan Ummu Kultsuum.”

c. Di kitab Taariikh Damasyq, 2/309, juga dikatakan bahwa dia itu (yang dikubur di makam tersebut), adalah Ummu Kultsuum. Akan tetapi mengatakan bahwa penulis tidak tahu putri imam Ali yang mana. Karena Ummu Kultsuum yang putrinya imam Ali yang dikawin Umar, meninggal di Madinah.

d. Shahih Bukhari, 5/1963, meriwayatkan: 




وَجَمَعَ عبد اللَّهِ بن جَعْفَرٍ بين ابْنَةِ عَلِيٍّ وَامْرَأَةِ عَلِيٍّ



“Dan Abdullah Bin Ja’far telah mengawini keduanya dari putri Ali dan Janda Ali.”

Dalam syarah hadits ini, ulama Sunni mengatakan bahwa putri imam Ali as yang dimaksud- kan itu adalah Zainab, sementara jandanya adalah Lailaa bintu Mas’uud (Mukaddimatu Fathu al-Baarii, 1/321).

Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa putri yang dimaksud itu adalah Ummu Kultsuum (Sunanu al-Baihaqii al-Kubraa, 7/167).

Ulama sunni, supaya terlepas dari masalah bertentangannya dua riwayat ini, memberikan jalan keluar. Bahwa kedua-dua putri tersebut, yaitu Zainab dan Ummu Kultsuum, sama- sama dikawin oleh Abdullah bin Ja’far, akan tetapi dalam waktu yang berlainan (Fathu al-Baarii, 9/155).

Padahal riwayat-riwayat sunni meriwayatkan bahwa Ummu Kultsuum ikut menyolati kedua saudaranya (imam Hasan as dan imam Husain as) ketika keduanya syahid. Begitu pula diriwayatkan di sunni dan syi’ah bahwa hdh Zainab as dikawin Abdullah bin Ja’far di jaman hidupnya imam Ali as sampai wafatnya –hdh Zainab- setelah kesyahidan imam Husain as.

Karena itu, apakah maksud Ibnu Hajar, yang mengatakan bahwa Zainab dan Ummu Kultsuum dikawini Abdullah bin Ja’far di dua jaman yang berlainan, adalah mentalak hdh Zainab langsung setelah syahidnya imam Ali as, lalu setelah itu langsung mengawini Ummu Kultsuum, lalu setelah itu kawin lagi dengan hdh Zainab as setelah wafatnya Ummu Kultsuum? Bukankah mereka telah sepakat bahwa hdh Zainab menjadi istri Abdullah bin Ja’far sejak imam Ali as masih hidup sampai akhir hayatnya setelah syahidnya imam Husain as??!!!

e. Di sejarah imam Ali as, semua mengatakan bahwa di malam syahidnya imam Ali as, berbuka di rumah Abdullah bin Ja’far suami hdh Zainab as. Dan di riwayat yang lain dikatakan di berada di rumah Ummu Kultsuum.

Kesimpulan semua dalil terdahulu: 


1. Dengan semua dalil-dalil di atas itu, tidak bisa tidak, dapat diyakini bahwa hdh Zainab as dan Ummu Kultsuum adalah satu orang adanya, bukan dua orang.

2. Dari satu sisi, kita tahu bahwa Umar sama sekali tidak pernah kawin dengan hdh Zainab as.

3. Karena itu maka riwayat yang mengatakan bahwa Umar mengawini Ummu Kult- suum bintu imam Ali as itu adalah tidak benar. Jadi, Umar sebenarnya kawin dengan Ummu Kultsuum yang lain, sebagaimana nanti akan dibuktikan.

f. Siapa Ummu Kultsuum ini sebenarnya?

Di dalam riwayat-riwayat, sebenarnya tidak ada yang mengatakan bahwa Ummu Kul- tsuum ini adalah putri imam Ali as dengan hdh Faathimah as. Yang ada hanya mengatakan bahwa Ummu Kultsuum yang ada di rumah imam Ali as-lah yang dikawini Umar. Bisa saja Ummu Kultsuum ini memang ada, akan tetapi merupakan putri imam Ali as dengan istri- istri yang lain. 

Karena itu poin berikut ini baik diketahui: 


f-1- Ulama-ulama sunni, tentang Zaid bin Umar bin Khaththab, mengatakan bahwa Zaid adalah putra Umar dengan Ummu Kultsuum bintu Jarwal/Jaruul yang sewaktu Umar masuk Islam, ia tidak mau masuk islam hingga ditalak oleh Umar.

Dikatakan di Taariikh Madinati Damasyq, 38/58, bahwa Umar memiliki anak ber- nama Zaid al-Ashghar (kecil) dan ‘Ubaidillah yang keduanya terbunuh di perang Shiffiin ketika bersama Mu’awiyyah memerangi imam Ali as.

Sebagian sunni berusaha menakwil-nakwil dan mengatakan bahwa Zaid Al-Ashghar memang anak Umar bersama Ummu Kultsuum bintu Jarwal/Jaruul akan tetapi Zaid yang lain adalah putra Umar bersama Ummu Kultsuum bintu imam Ali as.

Akan tetapi takwilan ini jelas diada-adakan, karena Zaid yang pertama disebut dengan al-Ashghar, yakni lebih kecil. Lalu bagaimana ia menjadi lebih kecil dari Zaid yang lahir dari perkawinan Umar dengan Ummu Kultsuum bintu imam Ali as yang dikawininya di masa khilafahnya –Umar???!!! Bagaimana mungkin anak yang lahir di jaman Jahiliyyah lebih kecil dibanding dengan anak yang lahir dari istrinya yang dikawin di masa ia menjadi khalifah?

f-2- Ulama besar pensyarah shahih Muslim yang bernama Nawawi, dalam kitabnya Tahdziibu al-Asmaa’, 2/1224, mengatakan bahwa ‘Aisyah memiliki dua saudari yang bernama Asmaa’ dan Ummu Kultsuum yang dikawin oleh Umar bin Khaththaab. 

4221 - أختا عائشة: اللتان أرادهما أبو بكر الصديق ، رضى اهلل عنه ، بقوله لعائشة : إنما هما أخواك وأختاك ، قالت : هذان أخواى ، فمن أختاى ؟ فقال : ذو بطن بنت خارجة ، فإنى أظنها جارية . ذكر هذه القصة فى باب الهبة من المهذب ، وقد تقدم بيانهما فى أسماء الرجال فى النوع الرابع فى األخوة ، وهاتان األختان هما أسماء بنت أبى بكر ، وأمكلثوم ، وهى التىكانت 
حمالً ، وقد تقدم هناك إيضاح القصة ، وأمكلثوم هذه تزوجها عمر بن الخطاب، رضى اهلل عنه . 

f-3- Masih ada lagi cerita-cerita buatan yang berkeinginan memaksakan perkawinan Umar dengan Ummu Kultsuum bintu imam Ali as. Yaitu yang bermula bahwa Umar meminang Ummu Kultsuum bintu Abu Bakar. Tapi ‘Aisyah menolaknya karena Umar terkenal kasar pada wanita. Akan tetapi ‘Aisyah berkata bahwa ia akan memilihkan perempuan lain yang juga bernama Ummu Kultsuum dari putra imam Ali as dan hdh Faathimah as (al-Kaamil fii al-Taariikh, 3/54-55; Taariikh Thabari, 3/270).

Sebegitu memaksanya permainan politik di jaman itu hingga tetap saja ingin menggandengkan Umar dengan Imam Ali as untuk menutupi kudeta kekhalifaan hingga sebegitu memaksakannya hingga apa-apa yang tidak mungkin dilakukan ‘Aisyah sendiri, dipaksakannya juga, yaitu dia sendiri tidak ingin dicelakai Umar tapi mencelakakan keluarga Rasul saww yang bernama Ahlulbait as yang ia sendiri menyaksikan di shahih Muslim dan lain-lain-nya bahwa mereka (imam Ali as, hdh Faathimah as, imam Hasan as dan imam Husain as) adalah yang diumumkan kemakshumannya oleh Tuhan di Qur'an di ayat Tathhiir.

Dengan penjelasan-penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Ummu Kultsuum yang ada di rumah imam Ali as itu adalah putri dari Abu Bakar, bukan putri imam Ali as. Jadi ada dua Ummu Kultsuum sesuai dengan riwayat-riwayat sunni di atas, yang pertama adalah putri Jarwal/Jaruul yang memiliki anak benama Zaid dan lain-lain- nya dan yang ke dua putri dari Abu Bakar.

Mungkin ada yang bertanya, mengapa Ummu Kultsuum ini ada di rumah imam Ali as? Jawabnya adalah, karena setelah Abu Bakar meninggal, sebagian dari istri-istri Abu Bakar dikawin oleh imam Ali as. Karena itulah maka sebagian anak Abu Bakar juga menjadi anak Imam Ali as seperti Muhammad bin Abu Bakar yang besar di rumah imam Ali as. Salah satu dari anak-anak itu adalah Ummu Kultsuum putri Abu Bakar ini.

Jadi, para pemamrih dalam perawian sejarah ingin menyalahgunakan kesamaan nama Ummu Kultsuum itu. Artinya, keberadaan Ummu Kultsuum di rumah imam Ali as, walau ia adalah anak Abu Bakar, tetap saja ingin dijadikan Ummu Kultsuum yang menjadi istri Ummar. Padahal mereka tahu bahwa Ummu Kultsuum yang menjadi istri Umar itu adalah putri Jarwal/Jaruul

f-4- Pertama kali orang membawa cerita tentang kawinnya Umar dengan Ummu Kult- suum bintu imam Ali as adalah Ibnu Sa’ad (w 230 H): 

أمكلثوم بنت علي بن أبي طالب بن عبد المطلب بن هاشم بن عبد مناف بن قصي وأمها فاطمة بنت رسول اهلل وأمها خديجة بنت خويلد بن أسد بن عبد العزى بن قصي تزوجها عمر بن الخطاب وهي جارية لم تبلغ فلم تزل عنده إلى أن قتل ولدت له زيد بن عمر ورقية بنت عمر ثم خلف على أمكلثوم بعد عمر عون بن جعفر بن أبي طالب بن عبد المطلب فتوفي عنها ثم خلف عليها أخوه محمد بن جعفر بن أبي طالب بن عبد المطلب فتوفي عنها فخلف عليها أخوه عبد 
اهلل بن جعفر بن أبي طالب بعد أختها زينب بنت علي بن أبي طالب . 

الطبقات الكبرى، محمد بن سعد، ج 8، ص 264 - .364 

“Ummu Kultsuum bintu Ali bin Abii Thaalib bin Abdu al-Muththallib....dan ibunya Faathimah bintu Rasul saww dari istri beliau saww yang benama Khadiijah as bintu....., yang –Ummu Kultsuum- dikawin oleh Umar bin Khaththaab yang waktu itu belum baligh. Ia menjadi istri Umar sampai Umar terbunuh, dan ia memiliki anak dari Umar itu yang bernama Zaid bin Umar dan Ruqayyah bintu Umar. Kemudian setelah itu ia kawin dengan ‘Aun bin Ja’far bin Abii Thaalib... yang kemudian meninggal setelah itu. Lalu ia kawin lagi dengan saudara ‘Aun yang bernama Muhammad bin Ja’far bin Abi Thaalib yang kemudian meninggal juga. Lalu setelah itu ia kawin dengan Abdullah bin Ja’far bin Abi Thaalib setelah cerai dengan saudarinya Zainab.”

Bayangin, sebegitu berusahanya sejarah fiktif ini ingin menghubungkan Umar dengan imam Ali as. Syukurlah karena Tuhan tidak membiarkan orang-orang seperti ini, baik sengaja atau tidak. Karena itulah ahli sejarah inipun, telah melupakan sejarah yang nyata. Di dalam riwayat ini dikatakan bahwa Ummu Kultsuum kawin dengan ‘Aun dan Muhammad dan yang lainnya setelah maninggalnya Umar. Sementara sejarah bersepakat bahwa ‘Aun dan Muhammad ini meninggal di peperangan Syuster (Suster) tahun 16 atau 17 Hijriah di jaman khalifah Umar itu sendiri.

Ibnu Hajar di kitabnya al-Ishaabah, 4/619, menulis:

“Abu Umar berkata: ‘ ‘Aun bin Ja’far syahid di peperangan Suster di jaman khalifah Umar dan ia tidak meninggalkan anak.’.”

Ibnu ‘Abdu al-Bir dalam kitabnya al-Istii’aab, 3/1247, berkata:

“.....’Aun bin Ja’far dan saudaranya Muhammad bin Ja’far, syahid di perang Suster dan keduanya tidak meninggalkan anak.”

Dengan semua penjealan ini, lalu bagaimana mungkin Ummu Kultsuum kawin dengan orang yang telah meninggal sebelumnya, yakni di masa ia masih di rumah suaminya yang sekarang, yaitu Umar??!! Atau bagaimana mungkin Abdullah bin Ja’far mengawini dua orang yang bersaudari sekaligus? Karena sejarah mengatakan bahwa hdh Zainab as menjadi istri Abdullah bin Ja’far sampai meninggalnya dan, itupun setelah tragedi Karbala di tahun 65 H???!!!

g. Pemaksaan perkawinan ini, jelas menabrak semuanya, termasuk perbedaan umur. Baya- ngin Umar yang sudah berumur 57 tahun mengawini Ummu Kultsuum yang berumur 7 tahun. Tentu saja, kalau mau dipaksakan bahwa Ummu Kultsuum yang ada di rumah imam Ali yang dikawini Umar.

Hal itu karena Ummu Kultsuum lahir di akhir-akhir masa kenabian Nabi saww, sementara pinangan Umar di tahun ke 17 H sebagaimana dikatakan oleh: Ya’quubi dalam kitab Taariikhnya, Ibnu Sa’ad dalam kitabnya, Thabaqaatu al-Kubraa, 8/462-463 yang mengatakan “Umar mengawini Ummu Kultsuum yang masih berupa anak-anak yang belum baligh”

Ibnu Sa’ad ini juga menulis di kitab tersebut, 8/464: 

لما خطب عمر بن الخطاب إلى علي ابنته أم كلثوم قال يا أمير المؤمنين إنها صبية 

“Ketika Umar meminang anaknya Ali yang bernama Ummu Kultsuum, Ali berkata: ‘Wahai amirulmukminin, sesungguhnya ia masih anak-anak yang belum baligh.”

Sementara itu ketika Umar terbunuh di tahun ke 23 H, ia berumur 63 tahun. Jadi, waktu di tahun 17 H itu meminang Ummu Kultsuum, berarti usianya adalah 57 tahun. Nah, apakah mereka-mereka para pembuat sejarah itu begitu pentingnya menghubungkan Umar dengan Imam Ali as hingga menyepelekan Umar dengan mengatakan bahwa Umar mengawini anak umur 7 tahun sementara ia sendiri berumur 57 tahun?

Memang, mereka mengharap umat melupakan tahun dan umur, karena menutupi kudeta itu adalah sangat penting dan menjadi nomor pertama bagi kelanggengan pandangan dan madzhabnya.

Bayangin saja, di atas dikatakan bahwa Umar terkenal sangat kasar pada wanita hingga ditolak ‘Aisyah tapi ia memilihkan putri imam Ali as, dimana riwayat ini telah memburukkan ‘Aisyah dan Umar sendiri dan, di sini dikatakan bahwa Umar yang 57 tahun tega mengawini anak yang berumur 7 tahun. Padahal Umar adalah penentang perkawinan yang beda umur seperti ini: 

اتقوا اهلل ولينكح الرجل لمته من النساء ، ولتنكح المرأة لمتها من الرجال يعني شبهها . 

“Bertaqwalah kalian kepada Allah, karena itu hendaknya para lelaki mengawini perempuan yang sama umurnya dan hendaklah para wanita kawin dengan lelaki yang sama umurnya (Taariikhu al-Madiinah, 2/769; Kanzu al-‘Ummaal, 15/716, hadits ke: 42857)

Apakah Umar melupakan ayat ini: 

أَ تَأُْمُرو َن النَّا َس بِالْبِّر َو تَن َسْو َن أَنُف َس ُك ْم َو أَنتُ ْم تـَتـْلُو َن الْ ِكتَا َب أَ فََال تـَْعِقلُون 

“Apakah kalian menyuruh orang-orang untuk berbuat baik sementara kalian sendiri melupakan diri kalian, padahal kalian membaca al-Kitaab, apakah kalian tidak berakal?”

Lah, anehnya lagi anaknya juga bernama Zaid. Karena itulah mereka memaksakan bahwa Zaid yang dari Ummu Kultsuum bintu Jarwal/Jaruul itu adalah ashghar (lebih kecil) dan yang dengan Ummu Kultsuum bintu Ali as adalah yang lebih besar. Lah, bagaimana mungkin anak yang lahir di jaman Jahiliyyah lebih kecil dari anak yang lahir setelah wafatnya Nabi saww?

Karena itulah, maka Ummu Kultsuum istri Umar itu hanya satu saja, yaitu bintu Jarwal/ Jaruul itu dan anaknya yang bernama Zaid juga hanya satu.

h. Umar sendiri mengatakan bahwa imam Ali as menganggapnya sebagai pembohong, lalu apakah mungkin imam Ali as mengawinkan putrinya dengan pembohong? Dalam kitab shahih Muslim, 5/152, di kitab Huduud diriwayatkan bahwa Umar berkata kepada imam Ali as dan Abbas: 


ثُمَّ توُُفِّيَ أَبُو بَكْرٍ وَأَنَا وَلِيُّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَوَلِيُّ أَبِي بَكْرٍ فَرَأَيْتُمَانِي كَاذِبًا آثِمًا غَادِرًا خَائِنًا


“Kemudian meninggallah Abu Bakar dan aku adalah wali Rasulullah saww dan wali dari Abu Bakar, akan tetapi kalian berdua melihat aku sebagai pendusta, pendosa, perusak dan pengkhianat.”

Dengan demikian, anggap memang ada yang namanya Ummu Kultsuum di rumah imam Ali as, walaupun anak Abu Bakar, atau anaknya sendiri, tapi apakah beliau as akan memberikan kepada orang yang disifatinya seperti di atas itu?

i. Dalam beberapa riwayat di syi’ah seperti di Ushuulu al-Kaafii, meriwayatkan seperti ini: 



محَمَّدُ بْنُ أَبِي عُمَيْرٍ عَنْ هِشَامِ بْنِ سَالِمٍ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ عليه السلام قَالَ لَمَّا خَطَبَ إِلَيْهِ قَالَ لَهُ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ إِنَّهَا صَبِيَّةٌ قَالَ فَلَقِيَ الْعَبَّاسَ فَقَالَ لَهُ مَا لِي أَ بِي بَأْسٌ قَالَ وَ مَا ذَاكَ قَالَ خَطَبْتُ إِلَى ابْنِ أَخِيكَ فَرَدَّنِي أَمَا وَ اللَّهِ لَُعَوِّرَنَّ زَمْزَمَ وَ لَ أَدَعُ لَكُمْ مَكْرُمَةً إِلَّ هَدَمْتهَُا وَ لَُقِيمَنَّ عَلَيْهِ شَاهِدَيْنِ بِأَنَّهُ سَرَقَ وَ لََقْطَعَنَّ يَمِينَهُ فَأَتَاهُ الْعَبَّاسُ فَأَخْبَرَهُ وَ سَأَلَهُ أَنْ يَجْعَلَ الَْمْرَ إِلَيْهِ فَجَعَلَهُ إِلَيْهِ



Muhammad bin Abii ‘Umair meriwayatkan dari Hisyaam bin Saalim dari Abii ‘Abdillah as yang berkata: “Ketika ia –Umar- meminang kepadanya –imam Ali as- imam Ali berkata kepadanya: ‘Ia –Ummu Kultsuum- masih anak-anak balita.’ Kemudian ia –Umar- bertemu dengan Abbas dan berkata: ‘Ada apa denganku, apakah aku ada celanya?’ Ia –Abbas- menjawab: ‘Ada apa gerangan?’ Ia –Umar- menjawab: ‘Aku meminang pada sepupumu –imam Ali as- tapi ia menolakku. Demi Allah akan kupenuhi zamzam (ditutup) dan akan kuhilangkan semua kehormatan kalian, serta akan kuangkat dua orang untuk bersaksi bahwa ia –Imam Ali as- mencuri hingga kupotong tangan kanannya.’ Lalu ia – Abbas- datang kepadanya –imam Ali as- dan mengabarkan tentang hal tersebut seraya meminta untuk menyerahkan urusan itu kepadanya –Umar. Lalu kemudian ia –imam Ali- menyerahkan kepadanya -Umar.” 

Keterangan hadits: 


i-1- Anggap riwayat ini benar adanya, tetap tidak menunjukkan bahwa Ummu Kultsuum yang dimaksud adalah putri imam Ali as dengan hdh Faathimah. Karena bisa saja putri Abu Bakar sebagaimana maklum atau dari istri-istri yang lain.

i-2- Orang sunni tidak akan menggunakan hadits-hadits syi’ah ini karena semuanya yang ada meriwayatkan tentang buruknya hubungan dari perkawinan tersebut, sementara saudara-saudara sunni ingin membuat hubungan baik antara keduanya dengan menjadikan Umar sebagai mantu imam Ali as.

i-3- Di riwayat-riwayat sunni sendiri, telah diriwayatkan tentang pemaksaan ini, seperti: i-3-1- Mu’jamu al-Kabiir, 3/45, karya Thabrani dan Majma’u al-Zawaa-id, 4/272, karya Haitsami, diriwayatkan:

“Ketika imam Ali as meminta pendapat ‘Aqiil, Abbas dan imam Hasan tentang masalah pinangan itu, ‘Aqiil menentang pendapat imam Ali as dan berkata bahwa kalau kamu menolaknya akan begini dan begitu. Lalu imam Ali as berkata: ‘Demi Allah, ia tidak memberi nasihat, akan tetapi ketakutannya kepada Umarlah yang membuatnya seperti itu.’.”

1-3-2- Ibnu Mas’uud dalam kitabnya al-Thabaqaatu al-Kubraa, 8/464, meriwayatkan:

“Ketika Ali menolak Umar dengan alasan bahwa Ummu Kultsuum masih anak balita, Umar berkata: ‘Demi Allah aku tahu bahwa engkau menolakku bukan karena itu, akan tetapi ada hal lainnya.’.”

i-3-3- Thabraanii dalam kitabnya Mu’jamu al-Kabiir, 3/45, dan Haitsamii dalam kitabnya, Makma’u al-Zawaa-id, juga meriwayatkan:

Ketika Umar mendengar bahwa ‘Aqiil menentang pendapat imam Ali as , Umar berkata: 



ويح عقيل ، سفيه أحمق 



“Dasar si ‘Aqiil itu memang seorang yang cacat pikiran dan bodoh..”.

i-3-4- Ahmad bin Abdullah al-Thabarii dalam kitabnya, Dzakhaa-iru al-‘Uqbaa, hal 167-168, meriwayatkan:

Ketika Umar meminang Ummu Kultsuum kepada Ali, ia berkata kepada Umar: “Sesungguhnya ia masih balita.” Lalu Umar menjawab: “Tidak demikian, akan tetapi demi Allah aku tahu bahwa kamu hanya ingin menolakku.”

Kesimpulan poin (i):


Dengan semua penjelasan di atas itu, kalaulah Ummu Kultsuum benar-benar ada dalam sejarah, sekalipun ia anak tiri imam Ali as atau anak sungguhan dari istri manapun, maka jelas tergambarkan bahwa Umar sebagai penguasa kala itu telah memaksa imam Ali as hingga membuat beliau as tidak berdaya.

Dengan demikian, lalu masih adakah sisa-sisa keinginan sebagian saudara- saudara sunni yang ingin mengatakan bahwa hubungan keduanya sangat dekat karena yang satu mertua dan yang lainnya menantu?

Bahkan jelas sebaliknya, dengan mengumpulkan semua data-data di riwayat- riwayat sunni dapat dipahami bahwa hubungan keduanya adalah berseteru sepanjang masa dan, kalaulah perkawinan itu terjadi, maka dengan sangat jelas sebagai pemaksaan dan penjajahan.

j. Kritikan Hadits Sunni.

Dalam hadits-hadits sunni banyak sekali perawian yang menunjukkan Umar memiliki istri dari keluarga Rasul saww, yakni Ummu Kultsuum. Misalnya seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam shahihnya, dalam Kitaabu al-Jihaadi wa al-Sairi, bab: 66, bab: Hamlu al-Nisaa’ al-Qiraba ilaa al-Naasi fi al-Ghazwi: 


حَدَّثَنَا عَبْدَانُ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ، أَخْبَرَنَا يُونُسُ، عَنِ ابْنِ شِهَاب [ زهري ]، قَالَ ثَعْلَبَةُ بْنُ أَبِي مَالِك إِنَّ 
عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رضى الله عنه قَسَمَ مُرُوطًا بَيْنَ نِسَاء مِنْ نِسَاءِ الْمَدِينَةِ، فَبَقِيَ مِرْطٌ جَيِّدٌ فَقَالَ لَهُ بَعْضُ 
مَنْ عِنْدَهُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ أَعْطِ هَذَا ابْنَةَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم الَّتِي عِنْدَك  
يُرِيدُونَ أُمَّ كُلْثُوم بِنْتَ عَلِيّ  فَقَالَ عُمَرُ أُمُّ سَلِيط أَحَقُّ  وَأُمُّ سَلِيط مِنْ نِسَاءِ الأَنْصَارِ، مِمَّنْ بَايَعَ رَسُولَ 
اللَّهِ صلى الله عليه وسلم  قَالَ عُمَرُ فَإِنَّهَا كَانَتْ تَزْفِرُ لَنَا الْقِرَبَ يَوْمَ أُحُد  قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ تَزْفِرُ تَخِيطُ



‘Abdaan meriwayatkan kepada kami, dari Abdullah dari Yuunus dari Ibnu Sihaab (Zuhri), berkata Tsa’labah bin Abi Maalik: “Umar bin Khaththaab membagi-bagi baju kepada wanita-wanita Madinah. Lalu tersisa satu baju yang bagus sekali. Satu orang yang ada di sisinya berkata kepadanya: “Wahai khalifah, berikan ia kepada putri Rasulullah saww yang ada di rumahmu.’ Maksudnya adalah Ummu Kultsuum bintu Ali. Berkata Umar: ‘Ummu Saliith lebih berhak.’ Dan Ummu Saliith dari wanita Anshaar yang berbaiat kepada Rasulullah saww. Umar berkata lagi: ‘Karena ia di perang Uhud menjahit Qirbah (tempat air dari kulit) yang robek.’

Dalam riwayat ini ada orang yang benama Syihaabuddin Zuhri. Ia termasuk orang- orangnya Bani Umayyah bagian pembuat hadits-hadits palsu sebagaimana ditulis oleh ulama sunni, seperti:

- Ibnu ‘Asaakir di kitabnya Taariikhu Madinati Damasyq, 42/228:

Diriwayatkan kepada kami oleh Ibnu Ibrahiim al-Ja’farii yang berkata: “Aku berada di sisi al-Zuhri dan mendengarkan perkataannya. Lalu ada perempuan tua yang mendekatinya dan berkata: ‘Wahai Ja’farii, jangan tulis apa-apa yang ia katakan. Karena ia cenderung kepada Bani Umayyah dan penerima hadiah-hadiahnya.’ Aku bertanya kepada al-Zuhri: ‘Siapa wanita ini?’ al-Zuhri menjawab: ‘Ia adalah saudariku yang tersesat.’ Ia menjawab: ‘Yang tersesat itu adalah kamu karena kamu telah menutup-nutupi keutamaan keluarga Muhammad.’.”

- Hakim pengarang kitab al-Mustadrak, menukil dari Ibnu Mu’iin yang berkata: “Paling bagusnya sanad adalah A’masy dari Ibraahiim dari ‘Aqamah dari Abdullah.” Seseorang yang ada di sekitarnya bertanya kepadanya: “Apakah A’masy seperti Zuhrii?” Ibnu Mu’iin menjawab:

“Amit-amit kalau A’masy seperti Zuhrii. Karena Zuhri mencari dunia, harta dan mencari hadiah-hadiah serta bekerja untuk Bani Umayyah. Sedang A’masy adalah orang yang miskin, sabar, menjauhi para pejabat, wara’ dan alim tentang Qur'an.”

- Dzahabi dalam kitabnya Sairu A’laami al-Nubalaa’, 5/337, berkata tentang Zuhrii:

“Zuhrii memiliki harta dan uang yang banyak sekali dan memiliki nama serta kehormatan di pemerintahan Bani Umayyah. Ketika Abdu al-Malik meninggal ia menempel pada anaknya, al-Waliid, kemudian menempel ke Sulaimaan, kemudian Umar bin Abdu al- Aziiz, kemudian Yaziid dimana pada jaman Yaziid ini ia menjabat sebagai Hakim Agama.”

- Hasan Segaaf, dalam kitabnya yang berjudul Tanaaqodhaatu al-Baani al-Waadhihaat (Kontradiksi Yang Terang Dari al-Baanii), 3/336, berkata:

“Zuhri adalah orang yang suka menyisipkan kata-katanya sendiri di hadits-hadits Nabi saww, dari pahamannya sendiri atau tafsirannya sendiri. Bukhari telah memperingati hal tersebut sebagaiman imam-imam hadits yang lain seperti Rabii’ah, syaikh dari imam Maalik......”

- Ibnu Hajar dalam kitabnya, Fathu al-Baarii, 2/23, berkata:

“.............. kata-kata itu kalau bukan tambahan dari kata-kata Bukhari, atau Anas atau Zuhri sebagaimana kebiasaannya.”

Banyak sekali ulama sunni yang mengatakan bahwa Zuhri ini memiliki kebiasaan menyi- sipkan kata-katanya sendiri di tengah-tengah kalimat hadits-hadits Nabi asww. Karena itu, maka kata-kata: “Yang mereka maksudkan adalah Ummu Kultsum bintu Ali.” Di dalam riwayat yang menceritakan bahwa Umar sedang membagi-bagi baju pada para wanita- wanita Madinah, adalah tambahan dari Zuhri ini.

- Ibnu Hajar al-‘Askalaani, dalam kitabnya, Ta’riifu Ahli al-Taqdiis Bi Maraatibi al-Maushuu- fiina Bi al-Tadliis, hal. 109, mengatakan bahwa Zuhri adalah orang peringkat ke tiga di dalam golongan tukang palsu hadits (tadliis). Dan maksud golonga ke tiga adalah: “Orang yang terlalu banyak menipu hadits, karena itu maka para imam-imam hadits tidak ada yang mengambil haditsnya kecuali yang dijelaskan bahwa hanya menukil yang didengar. 

Akan tetapi sebagian imam-imam hadits, menolak secara mutlak hadits-hadits mereka (penipu golongan tiga).

- Ibnu Abi al-Hadiid, dalam kitabnya Syarhu Nahji al-Balaaghah, 4/102, mengatakan bahwa Zuhri ini bermusuhan dengan imam Ali as.

Masih terlalu banyak ulama yang mencela Zuhri dan tidak mengambil hadits-haditsnya.

Kesimpulan:


1. Perkawinan Umar dengan Ummu Kultsuum bintu imam Ali as itu adalah dongeng yang dibuat di siang bolong. Baik tujuannya untuk menutupi kudeta Umar terhadap imam Ali as, yaitu dengan berusaha mendekatkannya dengan imam Ali as atau karena memang merupakan tangan-tangan Bani Umayyah yang mengafirkan dan melaknati imam Ali as di mimbar-mimbar Jum’at sampai 40 tahun lamanya.

2. Kalaulah Ummu Kultsuum itu ada, maka ia adalah hdh Zainab as itu sendiri karena Ummu Kultsuum julukan yang diberikan Nabi saww kepada beliau as. Kalaulah mau dipaksakan ada juga dan bukan hdh Zainab as, maka ia adalah putrid Abu Bakar atau putri imam Ali as dengan selain hdh Faathimah as. Siapapun dia, jelas bukan istri Umar. Karena Ummu Kultsuum yang istri Umar itu adalah putri Jarwal/Jaruul.

3. Dan kalaulah pula sebagian orang ingin memaksakan bahwa Umar kawin dengan Ummu Kultsuum ke dua (walau tidak ada sejarah yang berkata seperti ini, karena Ummu Kultsuum istri Umar hanya satu orang), maka tetap saja tidak akan bisa dijadikan sebagai bukti hubungan baik antara imam Ali as dan Umar. Karena riwayat-riwayat yang ada, walau sulit dishahihkan, tetap saja mengatakan bahwa perkawinan itu adalah dengan paksa dan ancaman.

Peringatan:


1. Pada tulisan-tulisan yang telah lalu, alfakir pernah menjelaskan ajaran Islam dan filsafat perkawinan Umar atau Utsman dengan keluarga Nabi saww atau imam Ali as. Semua itu, berdasarkan ajaran Islamnya atau filosofisnya dimana tidak mesti seseorang itu kawin dengan yang setingkat dalam ketaqwaan atau maqam-maqamnya, bukan dilihat dari pembahasan historisnya.

2. Dengan penjelasan-penjelasan ini, dan begitu pula dengan penjelasan mengenai sejarah hdh Khadiijah as, maka dapat dipahami bahwa dengan adanya berbagai bentuk sejarah, akan tetapi kita meyakini bahwa yang benar itu adalah yang menjelaskan tidak adanya hubungan Umar dengan imam Ali as atau Utsman dengan Nabi saw.

3. Jadi, pembahasan filosofis dan agamis tentang perkawinan Umar dan Utsman itu, adalah pembahasan yang terjadi pada obyek yang berupa anggapan. Yakni anggap bahwa per- kawinan itu memang benar-benar terjadi.

4. Dengan demikian maka rute pembahasannya menjadi jelas. Pertama, tidak benarnya per- kawinan-perkawinan tersebut. Ke dua, kalaulah benar pula, penjelasan agama Islamnya dan filosofisnya adalah seperti yang sudah ditulis sebelum-sebelumnya itu. 



Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Kamis, 04 Oktober 2018

Feminisme



Oleh Ustad Sinar Agama

Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 2 Juli 2011 pukul 14:21



Sinar Agama: 15 Rajab adalah hari wafatnya hdh Zainab as. Semoga beliau dapat diteladani umat muslim dunia, khususnya Indonesia, hingga mereka tidak mengislamikan feminisme, karena Islam punya jalan sendiri seperti yang dicontohkan beliau. Assalamualiki ya sayyidah Zainab, isyfa’ lanaa fi al-jannati. 

Black Neo: mengislamikan feminisme.. gimana maksudnya, ustadz? 


Sinar Agama: Blck: Hari ini ana seperti kelehan. Ok, ana coba isyarati secara garis besarnya saja. Feminisme ini adalah madzhab pemikiran tentang kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam segala bidang. Masalah ini, telah menghasilkan berbagai gelombang dalam dunia Islam. Artinya, kalaulah tidak mayoritas, banyak sekali muslimin yang menerimanya. Tapi dalam pada itu, berbagai pengkebirian terhadap feminisme ini. Ada yang mengatakan bahwa semua haknya harus sama, selain seperti waris. Yakni semua hak sosianya, harus sama kecuali yang bersifat ibadah dan hukum syar’i. Ada lagi yang mengatakan semua harus sama kecuali jadi pemimpin tertinggi. Ada yang mengatakan semuanya harus sama walau jadi Presiden sekalipun (pemimpin tertinggi). Dan seambrek lagi pandangan para tokoh Islam dalam menghadapi kesamaan hak yang diterimanya secara global dan dari madzhab feminisme itu. 

Akhirnya, karena kesamaan itu memang perincian yang menggairahkan nafsu dan akal-tak-dalam, maka feminisme itu telah resmi menjadi pemikiran yang benar. Akan tetapi karena berbagai pandangan di dalamnya di atas itu, maka muncullah apa yang dikatakan dengan Feminisme Islam. 

Padahal, Islam punya ajarannya sendiri. Tapi karena umumnya tentang ajarana sosial politik Islam itu telah dibuat menakutkan sejak jaman Belanda, maka ia tidak pernah mampir lagi di kepala kaum muslimin khususnya di Indonesia, terlebih setelah cendikiawannya belajar spesiali-spesialis Islam dari barat yang kafir. Karena itulah, maka makanan haram ini, telah menjadi halal dengan sedikit perubahan nama menjadi Feminisme Islam. Kalau saya boleh bergurau, kalau pahaman salah ini saya ibaratkan zina yang diharamakaan dalam Islam, maka ia sama dengan kalau kita mengatakan Zina Islam. 

Para kaula muda kita, termasuk yang pengikut Ahlulbait, karena belum mengahlulbaitkan semua pemikirannya, karena dalam masa transisi, maka iapun menjadi mangsa Feminisme Islami ini. Karena itulah mereka merubah dalil-dalil sebelumnya dengan yang Ahlulbaiti. Kalau dulu berdlil dengan ‘Aisyah yang memimpin perang dengan imam Ali as, tapi sekarang mengambil contoh dengan sejarahnya hdh Faathimah as yang mengetuki pintu-pintu Madinah untuk membantu imam Ali as. 

Padahal, yang diinginkan kaula muda itu, adalah kesamaan hak sosial itu. Terutama dalam aktifitas sosial dan politik. Akhirnya, karena pemikiran yang salah ini, maka mereka menjadi seperti itu. Artinya, mereka sudah ahlulbait, tapi membaurnya (antara laki-laki dan perempuan) seperti dulu dan, bahkan lebih parah dengan adanya mut’ah yang kacau balau dan salah-salah itu. 

Karena itulah saya berdosa, semoga hdh Zainab as ini dapat dijadikan teladan. Maksud saya supaya dapat memalingkan mereka ke ajaran Islam dan melepaskan diri dari Femisnime Islami itu. 

Ringkasnya, saya ingin bahwa teman-teman AB setidaknya, benar-benar belajar dan belajar dari bawah, dan meliburkan dulu semua info sebelumnya tentang Islam. Artinya untuk memeluk apa-apa yang dikatakan para ulama. Karena mereka lebih tahu tentang Islam, hdh Faathimah as dan hdh Zainab as. Karena itu belajarlah Islam dari teropong Islam saja, jangan dari teropong- teropong lainnya. Wassalam. 


D-Gooh Teguh: menurut hemat saya, persoalan sebenarnya bukanlahkesamaan tetapi kesetaraan. Dan dalam Islam konsepnya kait-mengkait. Seperti daim maka karena wajibnya nafkah maka istri wajib taat jika diminta tetap di dalam rumahnya. Tetapi bisa dilakukan persetujuan manasuka dalam mut’ah. Dan karena kewajiban memberi nafkah maka bagian waris laki-laki adalah satu banding dua. (tentunya ini analisis permukaan saja karena menduga kedalamannya sungguhlah pelik). Oleh karena itu daim dan mutah adalah mana yang lebih sesuai dengan situasi, kondisi dan mana-mana yang diinginkan. CMIIW. 

Karena konsep dasar adalah pemisahan harta maka poligami menjadi tidak merumitkan persoa- lan hukumnya. Prinsip monogami dalam hukum sekuler umumnya menuntut adanya konsep percampuran harta guna semakin mengukuhkannya. Dan seterusnya. 

Karena kewajiban memberi nafkah maka diberikan hak laki-laki untuk poligami karena semuanya akan menjadi beban tanggungannya. Kecuali jika dipersyaratkan dalam mut’ah maka itu pun menjadi resikonya pula untuk tidak poligami. Demikian seterusnya. Kalau salah ya monggo saya diluruskan... Kesetaraan dalam aktivitas sosial politik kemasyarakatan maka karena hijab boleh beraktivitas bersama dalam batas tertentu dan aturan tertentu guna mencegah dampak negatif berhubungan sosial laki-laki dan perempuan. Semata-mata urusan keprofesionalan dan tugas bersama. Tentang carut marutnya mut’ah maka sesungguhnya itu diakibatkan oleh adanya asimetrik informasi. Masing-masing pihak tidak mengetahui secara berimbang tentang hak dan kewajiban. Juga tentu saja tidak adanya otoritas yang bisa memaksa untuk menegakkannya. Itulah akar masalahnya. 

Sinar Agama: Teguh: Terimakasih atas usahanya menjabarkan feminism dengan penyetaraan. Ana tidak bisa komen, karena belum tahu makna yang dikandung di dalamnya. Artinya tafsiran itu ana masih baru mendengarnya dari antum. Jadi, kalau dikomen nanti bisa nyasar-nyasar. Walhasil Islam punya ajarannya sendiri dan kaya, hingga tidak perlu diwajahkan dengan feminisme, demokrasi, humanism ..... dan seterusnya. Islam sudah kaya dan demokrasinya jauh beda demokrasi yang ada dan justru ia lebih demokarasi dari demokrasi ala PBB dan dunia internasional. Begitu pula Islam mampu menjaga hak-hak wanita melebihi Femisnisme. Itu saja misi yang ingin ana sampaikan. Yakni jangan mengaji pada konsep lain, baik sama kek, setara kek 

... ada apa? Orang agama Islam itu dari Tuhan dan paling lengkap. Ghitu.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Jumat, 17 Agustus 2018

Syahid dan Filsafatnya (secara tertib huruf)



Seri tanya jawab Ibnu Ahmad Khan dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Sunday, November 27, 2011 at 11:00 pm


Ibnu Ahmad Khan: Salam. Ustadz, ana mohon pencerahannya.. Sekaitan dengan akan datangnya peringatan Asyura, tolong antum jelaskan falsafah dari pada ”syahid” dan ”syahadah”! Syukran.

Sinar Agama: Salam dan terimakasih permintaannya: 
Kalau boleh saya menjelaskan syahid atau kesyahidan sesuai dengan huruf-huruf abjad syahid ini, maka saya akan berkata bahwa huruf abjad itu menandakan urutan-urutan keimanan dari seorang syahid: 

1. Huruf “S”: Huruf ini bisa berarti “saksi”. Artinya kesaksian atas keTuhanan Tuhan dan KesegalaanNya. Maha Kasih, Maha Pandai, Maha Harus Ditaati, Maha Harus Dicintai, Maha Indah, Maha Pengatur, Maha Jujur, ...dst. Jadi, kesaksian ini sudah melebihi tingkatan iman biasa yang ada pada semua manusia. 

2. Huruf “Y”: Huruf ini menunjukkan makna “yakin”. Artinya, seseorang yang telah mencapai derajat kesaksian bahwa Tuhan itu adalah segala-galanya, maka maqam ini tidak akan dicapai kecuali pencapainya akan mendapat maqam lain yang bernama “yakin” itu. 

Allamah Thaba Thaba’i ra mengatakan: 

“Orang yang beriman terhadap adanya neraka akan tetapi masih melakukan dosa, maka orang tersebut hanya beriman (percaya) saja dan belum meyakininya. Sebab kalau meyakininya, sudah pasti tidak akan melakukan dosa.” 

3. Huruf “A”: Huruf ini bermakna “aplikasi”. Artinya, ketika orang yang sudah sampai ke tingkat kesaksian dan yakin itu, maka sudah pasti ia akan mengaplikasikan iman dan fikih yang ia ketahui walaupun dengan membayar yang termahal dari dirinya, yaitu nyawanya, apalagi kalau hanya dengan lelah, harta dan kesulitan. 

4. Huruf “H”: Huruf ini bermakna “hidup”. Artinya, apapun keadaan orang yang sudah mencapai derajat kesaksian, yakin dan aplikasi itu, maka itulah hakikat hidup yang diinginkan Tuhan dan memang sesuai dengan argumentasi akal terhadap filsafat dan tujuan kehidupan. Karena itulah, maka Tuhan mengatakan bahwa kalau diri kita, ayah kita, anak-anak kita, harta kita ...dst lebih dicintai dari Allah, Rasul saww dan jihad di jalanNya, maka hendaknya kita tinggal menunggu adzabNya (QS: 9: 24). 

5. Huruf “i”: Huruf ini bermakna Indah. Artinya, bagi orang yang sudah mencapai derajat kesaksian, yakin, aplikasi dan hidup, maka sudah tentu apapun yang dihadapinya adalah indah walau dalam sejuta duka dan air mata. Karena itu, mereka-mereka ini selalu ceria dalam hidup walau dalam sejuta derita. Karena itu Hadharat Zainab as ketika ditanya tentang peristiwa Karbala, beliau as menjawab: “Tidak kulihat kecuali keindahan semata.” 

6. Huruf “D”: Huruf ini bermakna “dan seterusnya”. Artinya, uraian-uraian terdahulu itu, hanyalah bagian kecil dari samudra hikmah, argumentasi dan keindahan syahid. Karena “D” itu bisa bermakna “Dia”, yaitu maqam keTuhanan yang tidak bisa terjangkau oleh akal dan amal siapapun.

Tambahan: 

(1). Syahid ini bukan maqam sembarangan yang bisa dicapai dengan sembarang mati di atas nama agama. Karena bisa saja diatas namakan agama, bukan agama, seperti kerja-kerja terorist yang dibuat wahabi dan bekerja sama dengan barat yang membunuhi orang-orang tidak berdosa. Justru, yang terbunuh oleh mereka itulah yang sebenarnya mencapai derajat syahid sesuai dengan keimanan dan derajat ketaatannya kepada Allah. Artinya, kalau ia orang beriman dan taat, tapi dianggap kafir oleh wahabi mal’un ini, lalu ia dibunuh, maka sudah pasti akan mendapat derajat kesyahidan yang tinggi. Begitu pula kalau beriman walau tidak terlalu taat. Karena tidak taat bukan dibunuh, kecuali kalau membunuh dan/atau murtad menurut orang makshum as yang kata-katanya pasti dan sudah diberi kesempatan bertaubat setidaknya 3 hari. 

(2). Keterangan di atas itu, hanyalah berupa beberapa poin-poin penting yang harus diperhatikan yang dijelaskan secara sekilas saja (sudah tentu bisa dirinci lebih jauh). Karena dengan memperhatikannya, maka kita akan tahu posisi kita dimana dan, na’udzubillah, kalau ada di oposisinya atau lawannya. Yakni lawan dari maqam “kesaksian”, “yakin”, “aplikasi” ....dan seterusnya. Karena kalau kita ada di maqam opositnya/lawannya, maka sudah pasti kita akan menjadi orang yang celaka di dunia dan akhirat. 

Salam padamu ya Husain as, sang penghulu para syuhada’ (orang-orang syahid). Salam padamu dan anak-anakmu, kerabat-kerabatmu dan shahabat-shahabatmu yang terbantai bersamamu di Karbala. Begitu pula salam pada keluarga-keluargamu dan semua keluarga yang telah menjadi sandera yang digiring dalam rantaian besi Bani Umayyah. 

Wassalam. 

6 people like this.

Ibnu Ahmad Khan: Syukran ustadz..... thayyaballahu anfusakum! 

Ibnu Ahmad Khan: Di dalam al-Qur'an saya pernah membaca ayat (tapi saya lupa surat dan ayatnya), bahwa Para Makshumin itu disebut juga dengan Syuhada’ (yang menyaksikan). Apakah ada korelasinya dengan syahid yang ana tanyakan tersebut. Mohon pencerahannya ustad....... mamnoon.... 

Sinar Agama: Sepertinya maksudnya lain. Karena syuhada di ayat itu adalah sebagai penyaksi terhadap perbuatan manusia. 

December 3, 2011 at 10:29 pm · Like


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ