Tampilkan postingan dengan label Nabi Musa as. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Nabi Musa as. Tampilkan semua postingan

Selasa, 21 Agustus 2018

Lensa (Bgn 16): Ke Ma’suman Para Nabi



Oleh Ustad Sinar Agama 

Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 19:19


Bintang Ali: Salam Ustad, pengen bertanya soal kema’suman para nabi as dan nabi saww. “Wahai bani Adam, jangan sampai kalian difitnah oleh setan sebagaimana ia dapat mengeluarkan ayah ibumu (Adam dan Hawa) dari surga” (al araf:27). 

Bagaimana menjelaskan kemaksuman pada nabi adam as yang dikeluarkan dari surga karena kesalahannya? 

Lalu bagaimana menjelaskan kemaksuman pada nabi Musa as dalam ayat asyu’ara: 14, “sesung- guhnya aku mempunyai dosa kepada mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku”. 

Kemudian terhadap kisah nabi Musa as yang membunuh qibti, seseorg yang bertengkar dengan bani Israel. Dan karena perbuatannya itu (membunuh) maka nabi Musa kabur dan meninggalkan kota Mesir. Namun saya menemukan jawaban pada buku iman semesta bahwa nabi Musa melakukannya karena tidak sengaja. Padahal pada lembaran sebelumnya (dalam buku iman semesta) telah dijelaskan bahwa definisi kemaksuman adalah terjaga dari dosa dan salah (yang disengaja atau tidak)..mohon penjelasannya ustad.

Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya: 

Syethan sebelum menggoda nabi Adam as. sudah dikeluarkan dari surga. Karena itu bagaimana mungkin menggodanya di dalam surga? Nabi Adam as. juga dicipta dari tanah di bumi lalu bagaimana bisa di surga? 

Dalam penjelasan filsafat telah dijelaskan bahwa nabi Adam as. ada di bumi. Akan tetapi sebelum bangkit dari tidur pertamanya itu, beliau diperlihatkan tentang surga dan peristiwa sujudnya malaikat dan tidak sujudnya syaithan dan diusirnya syaithan dari surga, dan seterusnya. Semua itu demi pengajarannya sebagai manusia pertama di bumi. Artinya wahyu Tuhan yang berupa mimpi. 

Dalam filsafat juga dijelaskan bahwa manusia memiliki beberapa derajat dalam ruhnya, seperti nabati, hewani dan akli. Nabati mengatur pertumbuhan badannya, hewani mengatur gerak ikhtiari dan perasaannya serta akli mengatur pemikiran dan kedekatannya dengan Tuhan. Karena itu yang bisa masuk ke tingkatan surga dikala masih di dunia (masih hidup) adalah tingkatan akalnya. 

Karena itu maka dalam tidur nabi Adam as. itu, akalnya ada di surga dan hewani serta nabatinya ada di luar surga. Karena itulah maka nabi Adam as. diganggu Syethan dari arah hewaniahnya itu dimana ruh daya hewani inilah tempatnya hawa nafsu. 

Jadi, nabi Adam as. dibisiki syaithan dari luar surga yakni dari tingkatan ruh hewani nabi Adam as. Nabi Adam as. ketika sudah mulai hidup, walaupun masih dalam keadaan tidur, lama kelamaan akan merasakan lapar. Nah, lapar itulah yang diibaratkan dengan keputusan makan yang, dalam Qur'an dikatakan memakan buah khuldi, yakni keputusan makan. Karena nabi Adam as, sudah memutusi makan buah yang dilarang itu, maka ia pasti terbangun dari tidur pertamanya itu. Karena itu ia as. keluar dari surga. 

Yang perlu dicatat adalah, ketika nabi Adam makan buah dalam mimpi maka hal itu bukan dosa. Yang ke dua, ketika yang dimakan itu barang yang ada di surga, maka dapat diketahui bahwa larangan itu bukan larangan haram, tetapi anjuran saja (irsyaadii). 

Tambahan: Untuk lebih mengerti hal ini, maka pelajari tentang tiga alam dalam filsafat. Seingat saya, saya sudah membahas hal ini, tetapi belum ketemu dimana. Coba kunjungi tulisan saya yang berjudul Kedudukan Fantastis Imam. 

Tentang nabi Musa as: 

Dosa yang dimaksud beliau as. bukan dosa dalam syariat. Dosa yang dalam bahasa arabnya dikatakan Dzanbun itu asal maknanya adalah “buntut” alias “akibat”. Jadi, maksud nabi Musa as adalah bahwa beliau as. pernah membunuh salah satu dari musyrikin dan pengikut Fir’un dimana pasti berbuntut kepada penghukuman matinya beliau as. Yakni kalau datang lagi ke mereka, maka mereka akan menuntutnya dengan hukuman mati karena telah membunuh salah satu dari mereka. Jadi, dosa disini bukan dosa dalam syariat, tetapi dosa pada mereka para musyrikin dan musuh-musuh Tuhan itu. 

Sekarang apakah membunuh tentara Fir’un itu dosa dalam syariat apa tidak? 

Jawabannya jelas tidak dosa, terlebih dia yang terbunuh itu terlibat perkelahian dengan seorang mukmin. Jadi, perbuatan nabi Musa as itu bukan dosa sama sekali. Jangankan tidak sengaja, yakni dengan mendorongnya tapi jatuh dan mati, sengaja sekalipun tidak dosa di hadapan Tuhan. Namun demikian nabi Musa as. tetap mengatakan bahwa hal itu adalah perbuatan syethan. Hal itu, karena syethan tidak ingin melihat satu orang pun yang bisa masuk surga. Sementara para nabi, seperti nabi Musa as. adalah bertugas menyelamatkan dan menghidayahi semua manusia, termasuk musyrikin. 

Jadi, para nabi, biasanya tidak membunuh kecuali sangat terpaksa. Karena mereka bertugas menghidayahi musyrikin. Jadi, walaupun orang yang mati itu layak dibunuh, tetapi seandainya bisa dihindari maka dihindari supaya bisa menerima hidayah di lain waktu. Tetapi apa boleh buat, nabi Musa as.pun sudah berusaha untuk itu, yakni mendorongnya saja, tetapi orang itu jatuh dan mati.

Bintang Ali : Syukron ustad, dalam penjelasan tentang nabi adam as dikatakan karena keputusan makan dari nabi Adam maka beliau bangun dari tidurnya, artinya alam akalnya kembali ke dunia (keluar surga) untuk makan buah khuldi. Namun ustad juga menjelaskan bahwa tidak berdosa karena makan buah dalam mimpi adalah tidak dosa. Padahal nabi Adam sudah tidak dalam keadaan mimpi, mohon dijelaskn lagi ustad, afwan.

Sinar Agama : Arti yang antum berikan itu tidak benar, karena keputusan Dimensi akal nabi Adam as. itu adalah tetap dalam mimpi wahyunya. Kalau ingin lebih jelas, bisa dibaca catatanku yang berjudul “Peristiwa nabi Adam as dalam Pandangan Filsafat (hadiah kecil ied Ghadir Khum) 

Oleh Sinar Agama • 25 November 2010. Wassalam. 

Tika Chi Sakuradandelion, Bande Husein Kalisatti, Ammar Dalil Gisting dan 2 lainnya menyukai ini.  


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ


Artikel terkait:

Peristiwa Nabi Adam as dalam Pandangan Filsafat (Hadiah Kecil Ied Ghadir Khum)

Minggu, 05 Agustus 2018

Wahdatu Al-Wujud (Bagian: 14)




by Sinar Agama (Notes) on Saturday, February 19, 2011 at 1:08 am


Abdul Azis Baeha: Assalamualaikum, Hamdalah Wa Shalawat. Semoga Ustad tetap dan selalu dalam keRidhaan Allah SWT...Izinkan ana bertanya Ustad tentang hakikat Ajaran Takwini dan pengaruhnya dalam ibadah kita keseharian...... 

Pertanyaan ana ini terilhami dari cerita anak ana yang baru duduk di kelas III SD, tentang perjalanan antara Nabi Allah Idris AS dan Nabi Allah Musa AS yang mengisahkan pembunuhan anak kecil karena diketahui akan durhaka kepada ke 2 orang tuanya kelak, pembocoran perahu seorang nelayan yang akan dicuri orang kelak, dan perbaikan dinding rumah di sebuah desa orang-orang sombong yang menyimpan harta karun di bawahnya. 

Dalam kisah ini tentu kesimpulan setiap orang akan berbeda sebagaimana kadar ilmu yang diperolehnya. Akibatnya anak saya yang masih kelas III itu menjadiakn Nabi Musa dalam posisi bodoh dan tidak tahu apa-apa tentang kejadian masa depan sebagaimana pengatahuan Nabi Idris. 

Demikian Ustad sementara ini, Syukron, Wassalam, Wa Shalawat. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

1. Peristiwa itu, antara nabi Musa as. dan nabi Khidhr as. 

2. Sudah berkali-kali saya terangkan di tulisan-tulisan sebelumnya bahwa Perjalanan Suluk itu ada 4 tingkatan: Dari Makhluq ke Khaliq; Dari Khaliq ke Khaliq; Dari Khaliq ke Makhluq Bersama Khaliq; Dari Makhluq ke Khaliq bersama Makhluq. 

3. Sudah diterangkan pula bahwa yang sudah menyelesaikan perjalanan 3, adalah terminal akhir untuk mencapai derajat 4 yang diistilahkan pula dengan Maqam Kenabian. Karena maqam 4 itu adalah maqam mengajak makhluk lain kepadaNya. 

4. Untuk mencapai derajat kenabian itu, tidak disyarati dengan apapun kecuali suluk dan amal serta makrifat. Jadi, lelaki atau perempuan, sebelum kenabian nabi Muhammad saww atau setelahnya, tua atau muda, tanpan atau tidak, cantik atau tidak, kaya atau miskin, dari keturunan yang baik atau tidak, punya keluarga baik atau tidak....dst, tidak mempengaruhi capaian suluk dan derajat-derajatnya. 

5. Tidak semua yang sampai ke derajat kenabian itu pasti diangkat menjadi nabi atau rasul. Karena maqam kenabian itu adalah maqam ikhtiari yang dicapai oleh manusia secara pribadi. Sementara pangkat kenabian atau kerasulan adalah maqam sosial dan dakwah untuk mengajak manusia kepadaNya dimana sudah tentu diharapkan keberhasilannya dimana pasti menuntut metodologi, cara-ara, alat-alat dan syarat-syarat yang standart. Karena itu maka untuk maqam kerasulan ini, tidak cukup ketinggian derajat seseorang secara pribadi. Tapi diperlukan syarat-syarat lainnya seperti badani, keluarga dan sosialnya. Tentu saja kenabian dan kerasulan yang diangkat Tuhan ini adalah yang mengajak manusia kepadaNya dengan formal. Sementara yang tidak diangkat menjadi rasul/nabi formal, ia tetap memiliki derajat kenabian itu dan tetap wajib mengajak manusia kepadaNya dengan cara-cara kasyaf/ ilham/wahyu-ilmu yang ia dapatkan, tapi bukan dengan wahyu syariat. 

6. Jadi maqam kenabian adalah hasil ikhtiar manusia, tapi pangkat kenabian dan kerasulan yang bermakna utusan Tuhan untuk mengajak manusia secara formal itu, adalah pemberian Tuhan. 

7. Orang yang sangat tinggi derajat suluknya, secara pribadi, kalau tidak memiliki syarat-syarat lainnya, seperti badannya standart, keluarganya juga demikian, dari keturunan yang juga standart, tidak pernah salah sebelumnya....dst, maka tidak mungkin diangkat menjadi rasul utusan yang formal. Karena kalau dijadikan, maka ia bukan saja tidak akan berhasil dalam dakwahnya, tapi akan membuat manusia mengejeknya, menertawakannya dan semacamnya, sekalipun dengan ketidakadilan, karena masalah-masalah badani tidak berhubungan dengan akhlak atau karena masalah-masalah yang tidak menyangkut dirinya secara langsung (seperti keluarga, orang tua...dan seterusnya). 

8. Ketidakpengangkatan Tuhan seorang yang tinggi secara pribadi untuk menjadi rasul itu, bukan didasarkan kepada ke-Adilan-Nya. Karena dari timbangan keadilan, yang menjadi tolok ukurnya adalah setiap individu dan akhlaknya atau nilainya sendiri secara langsung, bukan badani atau keluarga dan lingkungannya. Karena itu Tuhan berhak mengazab orang yang tidak menaati atau yang mencela rasul yang cacat badannya atau keluarganya. Karena hal- hal itu tidak menyangkut nilai dan syariat. Akan tetapi Luthf-Nya, atau ke-Lembutan-Nya atau Kasih Sayang dan RahimNya, tidak akan pernah membiarkan hal itu terjadi. Artinya sudah pasti dari tinjuan ke dua itu, Tuhan akan menghindarkan manusia dari yang mempermudah memaksukkannya ke neraka, dan akan mempermudah untuk memasukkannya ke dalam surga. Karena itu tidak mungkin pesuluk hebat yang cacat badannya, pernah berbuat salah sebelumnya, cacat keluarganya...dan seterusnya, tidak akan pernah diangkat menjadi utusan formalNya, sekalipun tetap merupakan utusan tidak formalNya. 

9. Setiap yang sampai ke derajat kenabian (Perjalanan 4, bukan formalnya), bahkan derajat Perjalanan Ke Tiga-pun, secara umum, adalah sama ilmu dalam hal-hal yang berhubungan dengan makhluk dan rahasia-rahasianya, begitu pula tentang nilai-nilai dan akhlak serta syariatnya. Misalnya mereka sama-sama tahu mengapa pohon itu seperti itu, syariat itu seperti itu, shalat itu seperti itu, manusia itu seperti itu... dan seterusnya. 

10. Perbedaan yang bisa digambarkan bagi mereka-mereka para pesuluk itu, hanyalah di tingkatan Perjalanan Ke Dua, yakni di Asma-asma Tuhan, sebagaimana juga sudah sering saya jelaskan, baik dari sisi jumlah Asma-asmaNya atau Keluasan capaian dari masing-masing Asma-asmaNya itu. 

11. Kalaulah terjadi perbedaan, maka di rahasia makhluk, bukan di Asma-asma Khaliq. Itupun kalau terjadi. Kalau terjadi, maka bisa saja disebabkan oleh takaran ijin yang diberikan olehNya, baik tentang rahasianya atau tentang aksi yang harus diambil. Karena bagi yang sudah selesai Peralanan Pertama, yakni Fanaa’ dalam fanaa’, maka diri seorang pesuluk sudah tidak terlihat lagi. Sementara setelah ia mencapai Perjalanan Ke Tiga, ia kembali dengan Tuhan. Artinya matanya, telah menjadi MataNya, tangannya telah menjadi TanganNya...dst. Karena itulah sejauh mana mata, hati dan ruhnya bisa meliputi makhluk, akan ditentukan oleh IjinNya itu. Akan tetapi perkiraan ini (beda ilmu tentang makhluk), sangat lemah. Karena bagi yang sudah sampai ke Akal-Akhir saja, semua rahasia Barzakh dan Materi sudah ada dalam genggamannya. Apalagi yang sudah sampai ke tingkat Akal-Satu dan Fanaa’ serta sudah melanglangi Asma-asma Tuhan sesuai dengan kapasitas dan ijinNya, lalu sekarang ia kembali ke makhluk denganNya, maka rasanya sudah tidak ada lagi yang tidak diketahui oleh pesuluk yang sudah sampai ke tingkat ke 3 ini. 

12. Dengan semua mukaddimah di atas itu dimana sebenarnya merupakan ringkasan dari catatan-catatan yang telah lalu, seperti di wahdatulwujud, dan ditambah dengan tidak adanya perbedaan nabi dan rasul dilihat dari kepengutusan Tuhannya untuk manusia (karena bedanya di Syi’ah, hanya dari sisi melihat atau tidaknya dalam jaga, malaikat pembawa wahyu kepadanya dimana kalau melihat dalam jaga adalah rasul dan kalau hanya dalam mimpi maka ia adalah nabi) maka peristiwa kedua nabi as di atas itu dapat disimpulkan atau diperkirakan (setidaknya) sebagai berikut: 

a. Nabi Musa as adalah yang mencapai deraja kenabian dan diangkat menjadi nabi/rasul (nabi/rasul formal), sedang nabi Khidhr as adalah hanya mencapai derajat kenabian (nabi natural) akan tetapi tidak diangkat menjadi nabi/rasul (formal). 

b. Semua kata dan perbuatan kedua nabi itu, sudah tidak lagi punya diri mereka sendiri. Jadi, semuanya adalah ucapan dan perbuatanNya. 

c. Ucapan dan perbuatan keduanya yang berbeda itu, disebabkan oleh ijin dan tajalliNya. Artinya, maqam tajalliNya bagi keduanya, tidak sama. Semua itu, demi mengajari manusia (umat) agar dapat mengambil pelajaran dari peristiwa tersebut. 

d. Ucapan dan perbuatan nabi Musa as itu, adalah bahasa dan amal syari’at (hukum-syari’at), sementara ucapan dan perbuatan nabi Khidr as itu, adalah Hukum-alamiah. Artinya tajalli Tuhan di dua tingkatan. 

e. Beda tajalli itu akan membuat yang fanaa’ yang menjadi alurannya tersebut, terbawa kepada masing-masing sifat dari tajallinya itu. Artinya, kalau tajalli Tuhan pada nabi Musa as itu adalah tajalli kerasulan, yakni hukum-karakter atau aturan hukum-syari’at, maka yang ditajalli-i akan terpengaruh dan terbawa kepadanya. Yakni, sekalipun ia tahu rahasia dibalik suatu peristiwa itu, akan tetapi ucapan dan amalnya akan tetap mewakili tajalliNya kepadanya hukum syariatnya itu. 

Jadi, nabi Musa as. sekalipun tahu terhadap rahasia ucapan dan perbuatan nabi Khidhr as., akan tetapi kekuatan tajalli kerasulan itu bisa menelan tajalli-alam tsb. Karena itulah, maka rasul itu, sebelum menjadi rasul adalah Hamba atau Budak, karena ia telah tidak memiliki apapun dan sekarang ia tidak lebih dari penyalur mauNya saja. 

f. Kedakhsyatan kekuatan masing-masing tajalli Tuhan yang berbeda pada kedua nabi itulah yang menyebabkan perdebatan mereka di peristiwa yang ditanyakan Anda itu, bukan pada perbedaan ilmu dan derajat keduanya (sekalipun mungkin kedua nabi as itu memiliki perbedaan derajat di tingkatan Perjalanan ke dua sebagaimana maklum). 

Wassalam. 

Haidar Dzulfiqar, Bande Husein Kalisatti and 28 others like this. 

Anwar Mashadi: Alhamdulillah... syukran li-Allah.... Tuhan... bimbing aku melalui tajalli terbesarmu saat ini.. Salam alaika ya Aba Shalih... ya Aba Shalih tolong haturkan salam terbaikku pada kakekmu, atas kelahiran beliau saw... salam..salam.. salam... 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih untuk semua jempol dan komentarnya. Selamat atas lahirnya junjungan kita nabi besar Muhammad saww senin besok tgl 17 R.Awal. 

Heri Widodo: ALLAH HUMMA SHOLI ALA MUHAMMAD WA ALI MUHAMMAD. Banyak yg tdk paham bahwa dgn Izin NYA Manusia mampu di Maqam Kenabian. 

Sinar Agama: Heri: Cara dan sistem penyempurnaan yang dibentangkanNya adalah ijinNya, karena itu ambillah ijinNya itu, jangan menunggu ijin, karena menunggu ijin tidak diijinkan olehNya. 

Heri Widodo: Mengambil Karunia (Sistem) yang sudah dibentangkan kalau tidak mendapat Biidznillah walau manusia berikhtiar maksimal tidak bisa bisa. 

Roman Picisan: Ustadz bagaimana pendapat ustadz tentang Ahmadiyyah, kalau membaca note ustadz dimana maqam kenabiyan adalah ikhtiyari dan semua orang bisa mencapai maqam tersebut jadi bisa saja Mirza Ghulam Ahmad mencapai maqam kenabian...? Afwan kalau pemahaman saya pada note ustadz salah... Syukron. 

Cut Yuli: Izin share ya Ustad. 

Sinar Agama: Heri, apakah tidak mengambilnya juga ijinNya atau bukan? Kalau ijinNya berarti maksud ijin adalah sistem dan pengikhtiarannya (yang juga bagian sistem karena sistem peneyempurnaan itu juga diiringi dengan sistem pemilihan yang ikhtiari). Dan inilah yang benar dan yang kumaksud. Tapi kalau tidak dengan ijinNya, yakni karena yang ijin itu hanya dalam pengambilannya, maka antum sudah menyekutukanNya. Artinya ada wujud yang berupa perbuatan tidak memilih untuk menyempurna, yang tidak terjadi di bawah kontrol dan ijinNya. Ketahuilah bahwa ijinNya itu tidak terpisah semua kejadian baik dan buruk, karena semua bermuara dariNya. 

Dan ketidakterpisahannya itu sangat natural. Yakni memilih atau tidaknya kita terhadap ijinNya sama persis dengan panas dan membakarnya api terhadap ijinNya. Bedanya api dalam membakar tidak bertanggung jawab, tapi kita dalam memilih tidaknya bertanggung jawab karena salah satu sistemNya adalah ikhtiar itu. 

Dan ikhtiar ini karena akal kita. Lagi pula kalau memilih menyempurnanya itu harus dengan ijin tersendiri dan terpisah, maka sama dengan hidayah. Yakni yang tidak dalam hidayah karena Tuhan tidak memberinya hidayah atau tidak mengijinkannya mengambil hidayah. Kalau ini yang terjadi maka Tuhan harus bertanggung jawab terhadap semua kesesatan dan ketidak penyempurnaan. Wassalam. 

Sinar Agama: Roman: yang menjadi masalah ahmadiah bukan maqam kenabiannya, tapi pangkatnya. Karena itulah ia juga mengaku Isa as sekaligus. 

Sinar Agama: Cut: silahkan saja.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Selasa, 31 Juli 2018

Wahdatu Al-Wujud (Bagian : 6) Dalam Tinjauan Naql





Seri Tanya – Jawab : Rudiyanto Sudarman dan Ustad’ Sinar Agama”
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 17:28


Rudiyanto Sudarman : Salam!

Saya punya teman yang dikenal kritis dan cerdas, kami biasa diskusi di warung kopi. Yah, sebagai diskusi ala warung kopi, ego dan arogansi sangat terasa yang terkadang pikiran “gila” juga terlontar begitu saja. Saya sih dah maklum sikap teman ini (tak perlu saya sebutkan), tetapi terkadang pikiran dan pertanyaan yang terlontar olehnya seakan menampar dalam..

Ada beberapa pertanyaan yang masih membenam, diantaranya:

1. Tentang percakapan/dialog antara Nabi Musa AS dengan Yang Haq dalam surat at thaha, mulai ayat 10. Bahkan dia menyindir tentang ayat 17. “Loh, koq Tuhan bertanya?” sindirnya. 

2. Dia paling sering mempertanyakan penggunaan kata AKU dan KAMI, dalam Al Qur’an sebagai pengganti Yang Haq. 

Pikiran nyeleneh teman ini juga sudah saya tanyakan ke beberapa orang, semoga saja Sinar Agama juga dapat membantu. 

Terima kasih banyak sebelumnya. 

Sinar Agama : Salam, Sebenarnya, surat Thaha ini adalah salah satu surat yang berkenaan dengan dalil-dalil ayat dari Irfan atau wahdatul wujud yang kami bahas dengan anggelia dan teman-teman. Akan tetapi tentang yang dipertanyakan Anda di sini, sepertinya bukan dari dimensi tersebut. Dan memang, untuk mengatasi teman Anda itu tidak perlu membahas dimensi wahdatul wujudnya itu. dan menurut saya cukuplah dengan jawaban yang saya akan berikan beriktut ini. Tetapi kalau menurut Anda terasa belum cukup juga, maka tolong dikomentari lagi komentar saya ini. 

Sebelum saya jawab tentang fokus utama dari kandungan pertanyaan Anda yang, sebenarnya pertanyaan dan, katakanlah, olokan teman Anda itu, yaitu tentang mengapa Tuhan bertanya pada Nabi Musa as tentang apa yang ada ditangannya, saya akan mencoba menerangkakan dulu maksud sebenarnarnya ayat-ayat Thaha itu. 

Sebenarnya, malam itu Nabi Musa as, sedang dalam pertengahan perjalanannya dari tempat mertuanya, yakni nabi Syu’aib as yang berada di kota atau tempat yang bernama Madyan, yaitu gunung yang berada di sebelah barat-daya Saudi Arabiah, menuju ke negeri Mesir. 

Sudah tentu beliau as bersama keluarganya dan juga bersama ternak-ternaknya. Sesampai di daerah Siyna’ atau Sina, yaitu salah satu daerah padang pasir di Mesir, dalam keadaan malam, gelap dan dingin. Beliau pada waktu itu kehilangan arah perjalanannya, ternak-ternaknya pun sudah berhamburan ke-mana-mana. Sementara itu istri beliau sedang dalam keadaan mau melahirkan. Beliau kala itu ingin membuat api, tetapi selalu gagal (mungkin karena kencangnya angin). Nah, dalam pada itulah beliau melihat api di kejauhan. 

Waktu itulah beliau as, mengatakan pada keluarganya untuk tinggal sebentar menunggu beliau yang akan mengambil api untuk memanasi diri dan menerangi gelapnya malam dan, juga menanyakan jalan yang benar menuju ke arah kota yang ditujunya di Mesir. Karena dengan adanya api, berarti ada api yang bisa diambilnya, dan juga berarti ada orang yang bisa ditanyainya arah yang diinginkannya. 

Akan tetapi ternyata api yang dilihat Nabi Musa as tersebut adalah Cahaya Ilahiyyah yang, katakanlah dalam istilah irfannya Tajalli Allah atau bisa juga Tajalli Ilmu Allah. Dan api ini sebenarnya penyimbolan terhadap kehidupan, semangat, cahaya, kehangatan dan juga pernah dipakai Allah di agama Majusi. 

Perlu dikatahui bahwa agama Majusi itu tadinya agama Allah/Tuhan yang satu, dan dalam penyimbolan kemuliaannya memakai istilah “Api”, tidak seperti Islam kita yang memakai “Cahaya/ nur”. Tetapi lama kelamaan yakni api ini menjadi semacam Tuhan itu sendiri. Tetapi mungkin saja sampai sekarang mereka tidak menyembah api, sebagaimana kita tidak menyembah Ka’bah, tetapi yang umum kita kenal adalah meyakini dua tuhan baik-buruk yang berada dibawah Tuhan yang Satu yang bernama Ahuramazda. 

Saya tidak mau menjelaskan agama Majusi yang tadinya agama Tuhan yang kemudian diseleweng- kan seperti agama Kristen, tetapi ingin sedikit mengomentari, mengapa Tuhan dalam ayat-ayat surat Thaha ini memakai “Api” sebagai pentajallianNya atau Manifestasinya Allah/Tuhan dalam agama Majusi dan agama Nabi Musa as memakai “Api” sebagai TajalliNya yang, katakanlah memiliki spesifikasi cahaya, kehangatan, kehidupan, aktifitas dan semacamnya. Tetapi Allah dalam agama Islam memakai “Nur” sebagai TajalliNya, seperti yang ada dalam hadits Rasul saww dalam merentangkan awal ciptaanNya, yaitu Nur Muhammad saww dimana sebagian muslim, yaitu Syi’ah Ghulat (berebihan) telah terjebak kepada penyelewengan sebagaimana agama-agama terdahulu dengan menuhankan imam Ali as yang juga sebagai Nur yang satu dengan Nabi saww kala awal penciptaan tersebut. 

Dengan uraian-uraian ini, dapat dipahami bahwa “Api” yang dilihat Nabi Musa as, itu bukanlah Tuhan, karena Tuhan tidak bisa dilihat karena Dia tidak terbatas, sebab keterlihatan sama dengan keterbatasan. Sebab kalau sesuatu itu terlihat dengan mata, maka ia secara otomatis terikat dengan depan, secara otomatis memerlukan cahaya karena kalau gelap tidak akan terlihat, atau secara otomatis mengeluarkan cahaya dari dalam dirinya (supaya tidak dikatakan perlu pada cahaya lain sebagaiamana sebelumnya) yang mana pasti menimbulkan keterangkapan padanya dan seterusnya dimana semua itu akan menjadi bukti keterbatasan yang dilihat tersebut. Jadi, kalau Tuhan dapat dilihat dengan mata, baik di akhirat atau di surga, maka pasti menjadi terikat dengan hal-hal itu, dan hal-hal lain yang tidak kita bahas di sini. 

Oleh karenya Allah dalam QS: 7:143 mengatakan kepada Nabi Musa as bahwa “Kamu tidak akan pernah melihatKu”. Artinya dimanapun manusia tidak akan pernah melihat Tuhan. Tidak seperti di Bukhari yang Tuhan ketika menjumpai orang yang sudah masuk surga, mereka menolakNya, tetapi Dia menunjukkan Betisnya maka semua penghuni surga menerimaNya bahwa Dia Tuhan dan mensujudiNya (Bukhari hadits ke 7439 dan +/- hadits lainnya di Bukhari; Muslim hadits ke 302). 

Dengan uraian ini dapat dipahami bahwa “Api” yang dilihat Nabi Musa as itu, bukan Tuhan, melainkan TajalliNya saja. Ini adalah jawaban pertama untuk, katakanlah, pertanyaan nakal dari teman Anda itu. dan sebelum saya lanjutkan ke jawaban yang lain, perlu saya teruskan sedikit di sini hubungannya dengan dalil kewahdatulwujudanNya. 

Yaitu: Kalau ayat melihat “Api” ini dihubungkan dengan ayat lain dalam QS: 28:30 yang mengatakan: “Maka tatkala Musa sampai ke Api itu, diserulah dia dari (arah) pinggir lembah yang sebelah kanan tempat yang diberkati, Dari Sebatang Pohon, yaitu : Ya Musa sesungguhnya adalah Allah Tuhan semesta alam”, maka dapat dipahami bahwa “Api” itu keluar dari Sebatang Pohon tersebut. 

Dengan ini maka semakin jelaskah bahwa yang dimaksud “Api” di sini, bukanlah “Api” biasa yang membakar pohon, tetapi “Api” yang berupa Tajalli alias “Cahaya Tuhan”. Masalahnya sekarang, apa sebenarnya “Api” itu dan Mengapa Tuhan Semacam Bersembunyi Di Pohon hingga menyeru Nabi Musa as dari Pohon tersebut? 

Dalam pembahasan Wahdatul wujud yang telah lalu (lihat wahdatulwujud 1-5) sudah dibuktikan bahwa esensi apapun, seperti Pohon ini, tidak memiliki wujud sama sekali. Dan wujud itu hanya milik wujud, bukan esensi-esensi. Jadi, kalau kita berkata bahwa “Pohon itu ada/wujud”, maka sebenarnya kita berkata “Wujud/ada itu berwajah dengan pohon itu”. Yakni wujudlah yang wujud dan pohon hanya sebagai tanda bagi kita hingga kita menyadari adanya ada dengan melihat pohon tersebut. 

Yang ke dua, dalam pembahasan wahdatul wujud itu kita sudah membuktikannya bahwa yang wujud ini hanyalah satu dan Dialah Allah itu. Jadi, Wujud=Allah=Tuhan. Dengan menggabungkan kedua hal ini, dapat kita Raba bahwa API itu sebenarnya adalah Wujud itu sendiri. Artinya Nabi Musa as tengah menjalani ke-Fana’-annya, hingga Pohon tersebut sudah tidak lagi terlihat sebagai Pohon, tetapi sebagai Wujud. Namun demikian, karena Wujud ini tetap tidak bisa dijangkau dengan mata, akal, kasayaaf dan apapun saja, maka Tuhan menggunakan kata “Api” karena telah membakar semua esensi yang, terutama esensi Pohon tersebut. 

Dengan demikian Pohon sebagai wakil esensi sudah lenyap di pandangan Nabi Musa as (Fana’), tetapi Wujud tidak terlihat dengan jelas karena memang tidak bisa dijangkau yang, disimbolkan olehNya dengan Api dalam peristiwa tersebut. 

Ok, sekarang kita kembali ke permasalahan kita. Dan sudah tiba saatnya membahas yang ke dua, yaitu mengapa Tuhan menanyakan tongkat yang ada di tangan Nabi Musa as. Sebelum saya jawab, harus diketahui terlebih dahulu, bahwa pembicaraan Tuhan bukanlah seperti manusia, yaitu dengan huruf-huruf dan semacamnya. Karena kalau pakai huruf-huruf dan suara, maka berarti Tuhan adalah materi dan memerlukan pada suara dan huruf-huruf tersebut dimana akan membuatNya menjadi Yang Terbatas, na’udzu billah. 

Kalau kita mempelajari agama ini dengan urut, maka kita pasti sudah mengenal Tuhan sebelum menerima Quran sebagai firman yang diturunkan kepada NabiNya. Dalam hal ini, kita sudah mengetahuiNya bahwa Dia Tidak Terbatas. Nah, kalau Dia tidak terbatas berarti pertanyaanNya di ayat ini pasti memiliki makna lain dari yang umum kita kenal, yaitu bertanya karena tidak tahu. Sebab kalau Allah bertanya karena tidak tahu, berarti ilmuNya terbatas dimana akan berkonsekuensi bahwa DiriNya juga terbatas. Hal mana keterbatasanNya ini akan membuatNya terbatas. Dengan demikian pertanyaanNya bukan karena tidak tahu. 

Di lain pihak, dalam kehidupan kitapun, pertanyaan tidak selalu disebabkan karena ketidak tahuan penanyanya, tetapi bisa saja karena menguji dan semacamnya. Nah, kalau kita gabung kedua hal ini, maka berarti Tuhan bukan bertanya untuk tahu dari tidak tahu, namun karena hal lain seperti menguji. Namun demikian, karena yang ditanya seorang Nabi, dan pertanyaannya hanya sekedar menanyakan apa yang ada di tangan Nabi Musa as, maka pertanyaan sebagai ujian juga jauh kemungkinanannya dalam hal ini. 

Kalau Anda gabung penglihatan kepada Api yang bermakna Fana’ dari segala macam esensi, dan hanya terperangah melihat Cahaya Wujud, Bukan Wujud Itu Sendiri, dan di satu pihak Tuhan menanyakan hal mudah kepada Nabi Musa as, maka pasti Anda akan dapat meraba maksud pertanyaanNya di sini. Sampai di sini saya akan stop dulu jawaban saya ini dan meminta teman- teman yang mengikuti kajian Irfan atau wahdatul wujud ini, untuk merenungi dengan dalam keadaan berwudhu, apa kira-kira maksud pertanyaanNya itu. Saya tunggu, boleh tulis komentar, di sini, tetapi usahakan hanya di sekitaran jawaban terhadap pertanyaanku itu. Kutunggu. Semoga Tuhan Yang Selalu Membimbing kita itu tidak kita sia-siakan. 

Sekian. Terima kasih. Al-fatihah- sholawat. 

Rief Sy dan 4 orang lainnya menyukai ini.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ