Minggu, 05 Agustus 2018

Wahdatu Al-Wujud (Bagian: 14)




by Sinar Agama (Notes) on Saturday, February 19, 2011 at 1:08 am


Abdul Azis Baeha: Assalamualaikum, Hamdalah Wa Shalawat. Semoga Ustad tetap dan selalu dalam keRidhaan Allah SWT...Izinkan ana bertanya Ustad tentang hakikat Ajaran Takwini dan pengaruhnya dalam ibadah kita keseharian...... 

Pertanyaan ana ini terilhami dari cerita anak ana yang baru duduk di kelas III SD, tentang perjalanan antara Nabi Allah Idris AS dan Nabi Allah Musa AS yang mengisahkan pembunuhan anak kecil karena diketahui akan durhaka kepada ke 2 orang tuanya kelak, pembocoran perahu seorang nelayan yang akan dicuri orang kelak, dan perbaikan dinding rumah di sebuah desa orang-orang sombong yang menyimpan harta karun di bawahnya. 

Dalam kisah ini tentu kesimpulan setiap orang akan berbeda sebagaimana kadar ilmu yang diperolehnya. Akibatnya anak saya yang masih kelas III itu menjadiakn Nabi Musa dalam posisi bodoh dan tidak tahu apa-apa tentang kejadian masa depan sebagaimana pengatahuan Nabi Idris. 

Demikian Ustad sementara ini, Syukron, Wassalam, Wa Shalawat. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

1. Peristiwa itu, antara nabi Musa as. dan nabi Khidhr as. 

2. Sudah berkali-kali saya terangkan di tulisan-tulisan sebelumnya bahwa Perjalanan Suluk itu ada 4 tingkatan: Dari Makhluq ke Khaliq; Dari Khaliq ke Khaliq; Dari Khaliq ke Makhluq Bersama Khaliq; Dari Makhluq ke Khaliq bersama Makhluq. 

3. Sudah diterangkan pula bahwa yang sudah menyelesaikan perjalanan 3, adalah terminal akhir untuk mencapai derajat 4 yang diistilahkan pula dengan Maqam Kenabian. Karena maqam 4 itu adalah maqam mengajak makhluk lain kepadaNya. 

4. Untuk mencapai derajat kenabian itu, tidak disyarati dengan apapun kecuali suluk dan amal serta makrifat. Jadi, lelaki atau perempuan, sebelum kenabian nabi Muhammad saww atau setelahnya, tua atau muda, tanpan atau tidak, cantik atau tidak, kaya atau miskin, dari keturunan yang baik atau tidak, punya keluarga baik atau tidak....dst, tidak mempengaruhi capaian suluk dan derajat-derajatnya. 

5. Tidak semua yang sampai ke derajat kenabian itu pasti diangkat menjadi nabi atau rasul. Karena maqam kenabian itu adalah maqam ikhtiari yang dicapai oleh manusia secara pribadi. Sementara pangkat kenabian atau kerasulan adalah maqam sosial dan dakwah untuk mengajak manusia kepadaNya dimana sudah tentu diharapkan keberhasilannya dimana pasti menuntut metodologi, cara-ara, alat-alat dan syarat-syarat yang standart. Karena itu maka untuk maqam kerasulan ini, tidak cukup ketinggian derajat seseorang secara pribadi. Tapi diperlukan syarat-syarat lainnya seperti badani, keluarga dan sosialnya. Tentu saja kenabian dan kerasulan yang diangkat Tuhan ini adalah yang mengajak manusia kepadaNya dengan formal. Sementara yang tidak diangkat menjadi rasul/nabi formal, ia tetap memiliki derajat kenabian itu dan tetap wajib mengajak manusia kepadaNya dengan cara-cara kasyaf/ ilham/wahyu-ilmu yang ia dapatkan, tapi bukan dengan wahyu syariat. 

6. Jadi maqam kenabian adalah hasil ikhtiar manusia, tapi pangkat kenabian dan kerasulan yang bermakna utusan Tuhan untuk mengajak manusia secara formal itu, adalah pemberian Tuhan. 

7. Orang yang sangat tinggi derajat suluknya, secara pribadi, kalau tidak memiliki syarat-syarat lainnya, seperti badannya standart, keluarganya juga demikian, dari keturunan yang juga standart, tidak pernah salah sebelumnya....dst, maka tidak mungkin diangkat menjadi rasul utusan yang formal. Karena kalau dijadikan, maka ia bukan saja tidak akan berhasil dalam dakwahnya, tapi akan membuat manusia mengejeknya, menertawakannya dan semacamnya, sekalipun dengan ketidakadilan, karena masalah-masalah badani tidak berhubungan dengan akhlak atau karena masalah-masalah yang tidak menyangkut dirinya secara langsung (seperti keluarga, orang tua...dan seterusnya). 

8. Ketidakpengangkatan Tuhan seorang yang tinggi secara pribadi untuk menjadi rasul itu, bukan didasarkan kepada ke-Adilan-Nya. Karena dari timbangan keadilan, yang menjadi tolok ukurnya adalah setiap individu dan akhlaknya atau nilainya sendiri secara langsung, bukan badani atau keluarga dan lingkungannya. Karena itu Tuhan berhak mengazab orang yang tidak menaati atau yang mencela rasul yang cacat badannya atau keluarganya. Karena hal- hal itu tidak menyangkut nilai dan syariat. Akan tetapi Luthf-Nya, atau ke-Lembutan-Nya atau Kasih Sayang dan RahimNya, tidak akan pernah membiarkan hal itu terjadi. Artinya sudah pasti dari tinjuan ke dua itu, Tuhan akan menghindarkan manusia dari yang mempermudah memaksukkannya ke neraka, dan akan mempermudah untuk memasukkannya ke dalam surga. Karena itu tidak mungkin pesuluk hebat yang cacat badannya, pernah berbuat salah sebelumnya, cacat keluarganya...dan seterusnya, tidak akan pernah diangkat menjadi utusan formalNya, sekalipun tetap merupakan utusan tidak formalNya. 

9. Setiap yang sampai ke derajat kenabian (Perjalanan 4, bukan formalnya), bahkan derajat Perjalanan Ke Tiga-pun, secara umum, adalah sama ilmu dalam hal-hal yang berhubungan dengan makhluk dan rahasia-rahasianya, begitu pula tentang nilai-nilai dan akhlak serta syariatnya. Misalnya mereka sama-sama tahu mengapa pohon itu seperti itu, syariat itu seperti itu, shalat itu seperti itu, manusia itu seperti itu... dan seterusnya. 

10. Perbedaan yang bisa digambarkan bagi mereka-mereka para pesuluk itu, hanyalah di tingkatan Perjalanan Ke Dua, yakni di Asma-asma Tuhan, sebagaimana juga sudah sering saya jelaskan, baik dari sisi jumlah Asma-asmaNya atau Keluasan capaian dari masing-masing Asma-asmaNya itu. 

11. Kalaulah terjadi perbedaan, maka di rahasia makhluk, bukan di Asma-asma Khaliq. Itupun kalau terjadi. Kalau terjadi, maka bisa saja disebabkan oleh takaran ijin yang diberikan olehNya, baik tentang rahasianya atau tentang aksi yang harus diambil. Karena bagi yang sudah selesai Peralanan Pertama, yakni Fanaa’ dalam fanaa’, maka diri seorang pesuluk sudah tidak terlihat lagi. Sementara setelah ia mencapai Perjalanan Ke Tiga, ia kembali dengan Tuhan. Artinya matanya, telah menjadi MataNya, tangannya telah menjadi TanganNya...dst. Karena itulah sejauh mana mata, hati dan ruhnya bisa meliputi makhluk, akan ditentukan oleh IjinNya itu. Akan tetapi perkiraan ini (beda ilmu tentang makhluk), sangat lemah. Karena bagi yang sudah sampai ke Akal-Akhir saja, semua rahasia Barzakh dan Materi sudah ada dalam genggamannya. Apalagi yang sudah sampai ke tingkat Akal-Satu dan Fanaa’ serta sudah melanglangi Asma-asma Tuhan sesuai dengan kapasitas dan ijinNya, lalu sekarang ia kembali ke makhluk denganNya, maka rasanya sudah tidak ada lagi yang tidak diketahui oleh pesuluk yang sudah sampai ke tingkat ke 3 ini. 

12. Dengan semua mukaddimah di atas itu dimana sebenarnya merupakan ringkasan dari catatan-catatan yang telah lalu, seperti di wahdatulwujud, dan ditambah dengan tidak adanya perbedaan nabi dan rasul dilihat dari kepengutusan Tuhannya untuk manusia (karena bedanya di Syi’ah, hanya dari sisi melihat atau tidaknya dalam jaga, malaikat pembawa wahyu kepadanya dimana kalau melihat dalam jaga adalah rasul dan kalau hanya dalam mimpi maka ia adalah nabi) maka peristiwa kedua nabi as di atas itu dapat disimpulkan atau diperkirakan (setidaknya) sebagai berikut: 

a. Nabi Musa as adalah yang mencapai deraja kenabian dan diangkat menjadi nabi/rasul (nabi/rasul formal), sedang nabi Khidhr as adalah hanya mencapai derajat kenabian (nabi natural) akan tetapi tidak diangkat menjadi nabi/rasul (formal). 

b. Semua kata dan perbuatan kedua nabi itu, sudah tidak lagi punya diri mereka sendiri. Jadi, semuanya adalah ucapan dan perbuatanNya. 

c. Ucapan dan perbuatan keduanya yang berbeda itu, disebabkan oleh ijin dan tajalliNya. Artinya, maqam tajalliNya bagi keduanya, tidak sama. Semua itu, demi mengajari manusia (umat) agar dapat mengambil pelajaran dari peristiwa tersebut. 

d. Ucapan dan perbuatan nabi Musa as itu, adalah bahasa dan amal syari’at (hukum-syari’at), sementara ucapan dan perbuatan nabi Khidr as itu, adalah Hukum-alamiah. Artinya tajalli Tuhan di dua tingkatan. 

e. Beda tajalli itu akan membuat yang fanaa’ yang menjadi alurannya tersebut, terbawa kepada masing-masing sifat dari tajallinya itu. Artinya, kalau tajalli Tuhan pada nabi Musa as itu adalah tajalli kerasulan, yakni hukum-karakter atau aturan hukum-syari’at, maka yang ditajalli-i akan terpengaruh dan terbawa kepadanya. Yakni, sekalipun ia tahu rahasia dibalik suatu peristiwa itu, akan tetapi ucapan dan amalnya akan tetap mewakili tajalliNya kepadanya hukum syariatnya itu. 

Jadi, nabi Musa as. sekalipun tahu terhadap rahasia ucapan dan perbuatan nabi Khidhr as., akan tetapi kekuatan tajalli kerasulan itu bisa menelan tajalli-alam tsb. Karena itulah, maka rasul itu, sebelum menjadi rasul adalah Hamba atau Budak, karena ia telah tidak memiliki apapun dan sekarang ia tidak lebih dari penyalur mauNya saja. 

f. Kedakhsyatan kekuatan masing-masing tajalli Tuhan yang berbeda pada kedua nabi itulah yang menyebabkan perdebatan mereka di peristiwa yang ditanyakan Anda itu, bukan pada perbedaan ilmu dan derajat keduanya (sekalipun mungkin kedua nabi as itu memiliki perbedaan derajat di tingkatan Perjalanan ke dua sebagaimana maklum). 

Wassalam. 

Haidar Dzulfiqar, Bande Husein Kalisatti and 28 others like this. 

Anwar Mashadi: Alhamdulillah... syukran li-Allah.... Tuhan... bimbing aku melalui tajalli terbesarmu saat ini.. Salam alaika ya Aba Shalih... ya Aba Shalih tolong haturkan salam terbaikku pada kakekmu, atas kelahiran beliau saw... salam..salam.. salam... 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih untuk semua jempol dan komentarnya. Selamat atas lahirnya junjungan kita nabi besar Muhammad saww senin besok tgl 17 R.Awal. 

Heri Widodo: ALLAH HUMMA SHOLI ALA MUHAMMAD WA ALI MUHAMMAD. Banyak yg tdk paham bahwa dgn Izin NYA Manusia mampu di Maqam Kenabian. 

Sinar Agama: Heri: Cara dan sistem penyempurnaan yang dibentangkanNya adalah ijinNya, karena itu ambillah ijinNya itu, jangan menunggu ijin, karena menunggu ijin tidak diijinkan olehNya. 

Heri Widodo: Mengambil Karunia (Sistem) yang sudah dibentangkan kalau tidak mendapat Biidznillah walau manusia berikhtiar maksimal tidak bisa bisa. 

Roman Picisan: Ustadz bagaimana pendapat ustadz tentang Ahmadiyyah, kalau membaca note ustadz dimana maqam kenabiyan adalah ikhtiyari dan semua orang bisa mencapai maqam tersebut jadi bisa saja Mirza Ghulam Ahmad mencapai maqam kenabian...? Afwan kalau pemahaman saya pada note ustadz salah... Syukron. 

Cut Yuli: Izin share ya Ustad. 

Sinar Agama: Heri, apakah tidak mengambilnya juga ijinNya atau bukan? Kalau ijinNya berarti maksud ijin adalah sistem dan pengikhtiarannya (yang juga bagian sistem karena sistem peneyempurnaan itu juga diiringi dengan sistem pemilihan yang ikhtiari). Dan inilah yang benar dan yang kumaksud. Tapi kalau tidak dengan ijinNya, yakni karena yang ijin itu hanya dalam pengambilannya, maka antum sudah menyekutukanNya. Artinya ada wujud yang berupa perbuatan tidak memilih untuk menyempurna, yang tidak terjadi di bawah kontrol dan ijinNya. Ketahuilah bahwa ijinNya itu tidak terpisah semua kejadian baik dan buruk, karena semua bermuara dariNya. 

Dan ketidakterpisahannya itu sangat natural. Yakni memilih atau tidaknya kita terhadap ijinNya sama persis dengan panas dan membakarnya api terhadap ijinNya. Bedanya api dalam membakar tidak bertanggung jawab, tapi kita dalam memilih tidaknya bertanggung jawab karena salah satu sistemNya adalah ikhtiar itu. 

Dan ikhtiar ini karena akal kita. Lagi pula kalau memilih menyempurnanya itu harus dengan ijin tersendiri dan terpisah, maka sama dengan hidayah. Yakni yang tidak dalam hidayah karena Tuhan tidak memberinya hidayah atau tidak mengijinkannya mengambil hidayah. Kalau ini yang terjadi maka Tuhan harus bertanggung jawab terhadap semua kesesatan dan ketidak penyempurnaan. Wassalam. 

Sinar Agama: Roman: yang menjadi masalah ahmadiah bukan maqam kenabiannya, tapi pangkatnya. Karena itulah ia juga mengaku Isa as sekaligus. 

Sinar Agama: Cut: silahkan saja.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar