Minggu, 26 Agustus 2018

Logika (Bgn 2)



Oleh Ustad Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 21:22


Saepul Rochman : Assalamu’alaykum. wr.wb. Ustadz Sinar, mohon dijelaskan mengenai epis- temologi, cara-cara, kaidah-kaidah penafsiran/takwil Al-qur’an menurut Ahlu Bait dan bagaimana pendapat ustadz tentang Kritik Teks (naqd An-nash) Ali Harb, saya sedang belajar dan masih terasa kering jika berbicara tentang Islam yang sebenarnya, Wassalamu’alaykum.wr.wb.

Sinar Agama : Salam dan terimakasih pertanyaannya. Pertanyaan antum ini perlu jawaban sebuku setidaknya. Tetapi alfakir akan berusaha memberikan gambaran ringkasnya, tetapi tolong sabar, karena sudah beberapa jam belum selesai. Nanti baru akan dikirimkan di koment ini, doakan.

Salam dan terimakasih pertanyaannya : Pertanyaan antum ini memerlukan jawaban dalam satu buku, setidaknya. Hem. Tetapi karena kata orang Arab: Kalaulah tidak terjangkau keseluruhannya, jangan ditinggalkan semuanya. Jadi saya akan coba saja.

Tentang Mengenal ilmu al-Qur'an, maka perlu diketahui bahwa Qur'an itu adalah ilmu juga seperti ilmu-ilmu lainnya. Karena Qur'an diturunkan oleh Tuhan untuk membimbing manusia ke jalan yang benar. Artinya sesuai dengan alamiah ciptaan dan sistemNya. Karena itulah Qur'an menjelaskan semua hal, terutama yang berkenaan dengan diri manusia, alam sekitarannya yang berhubungan dengannya, dan tujuan penciptaannya, seperti Tuhan, surga, insan kamil dan semacamnya.

Karena itulah Qur'an adalah informasi terhadap hakikat sesuatu, baik dari mananya, di mana- nya dan kemananya. Yakni dari mana berasal, dan memiliki potensi apa, serta bagaimana menggunakannya. Walhasil Qur'an adalah manual alam semesta ini, baik yang berurusan dengan manusia atau makhluk yang lainnya. Jadi, dari sisi ini, maka Qur'an tidak beda dengan ilmu-ilmu lainnya yang menginfokan keniscayaan, potensinya dan cara penggunaannya untuk mencapai tujuan penciptaannya, yakni kesempurnaan.

Ilmu yang lain dari ilmu Qur'an, maksudnya adalah yang didapat dengan cara selain Qur'an, banyak sekali bentuknya. Bisa melalui Panca Indra yang ilmunya biasa dikenal dengan Ilmu Panca Indrawi. Ada yang dengan insting yang biasa dikenal dengan Perasaan. Ada yang dengan akal, yang biasa dikenal dengan ilmu-argumentatif-akliah. Ada juga yang dengan eksperiment yang bisa dikenal dengan Ilmu Laboratoris. Ada juga ilmu yang dicapai dengan pembersihan jiwa tingkat biasa yang disebut dengan Kasyaf dan ilmu Ladun. Ada yang lewat meditasi. Ada yang lewat bertapa. Dan semacamnya.

Sedang Qur'an sendiri itu, diturunkan lewat renungan yang dibarengi dengan pembersihan jiwa tingkat sangat tinggi hingga ruh seseorang (Nabi saww.) menjadi menjadi kertas putih yang layak untuk dijadakan lembaran-lembaran yang di atasnya Tuhan menuliskan beberapa ilmuNya yang perlu diketahui manusia yang, dikenal dengan Wahyu-syariat, yakni Qur'an dalam hal ini. Dan kalau tingkatan pembersihannya sama akan tetapi bukan syariat, maka dikatakan wahyu ilmu (bc: bukan syariat).

Beda ilmu yang ada dalam Qur'an dengan ilmu-ilmu lainnya setidaknya ada beberapa hal:

(a). Dari sisi kelengkapan obyek bahasan ilmunya. Yakni bahwa di Qur'an sudah dijelaskan semua sesuatunya, terlebih yang menyangkut nilai prilaku manusia, baik yang dibahasakan dalam bentuk hukum/fikih (sebagai dasar hidup yang wajib dan minimal) atau dalam bahasa akhlak (yang tidak wajib dan hanya pelengkap dan maksimalnya hanya dianjurkan) atau bahkan dalam bentuk Irfan/wahdatulwujud (yang semakin tidak wajib dan tidak dianjurkan secara umum).

Jadi, dalam Qur'an apapun yang ada di alam ini, khususnya yang secara naturalnya, dan potensi yang dikandung di dalamnya, dari masa lalu, sekarang dan akan datangnya, semua, sudah dijelaskan. Artinya natural dan potensinya yang berhubungan dengan prilaku dan ikhtiar manusia. Jadi, apa saja yang menyangkut makhluk dan potensinya, terutama yang berhubungan dengan ikhtiar dan karakter manusia, sudah diterangkan. Karenanya, yang bisa menguaknya hanyalah orang-orang yang spesialis mengkajinya. Ada obyek lain yang tak kalah pentingnya dan bahkan dasar dari semua yang diterangkan di dalam Qur'an. Yaitu tentang Tuhan itu sendiri. Baik ZatNya, Sifat ZatNya, Sifat Fi’ilNya, PerbuatanNya dan seterusnya. Sementara ilmu-ilmu selain Qur'an tentu saja tidak menyeluruh dan berkembang sesuai dengan kemampuan setiap masanya.

(b). Beda lainnya adalah dari sisi kepastian benarnya. Mengapa al-Qur'an pasti benar informasinya? Sudah tentu karena penginfonya, penulisnya dan penurunnya adalah Allah swt sendiri yang mencipta alam ini dengan segala sistem yang ada dimana Ia pasti tahu seluk beluknya. Karena itulah ilmu yang ada dalam Qur'an pastilah benar. Namun demikian, kebenarannya adalah kebenarannya. Artinya Qur'an yang benar itu adalah Qur'an yang Qur'an. Yakni Qur'an yang dimaksudkan olehNya, bukan Qur'an yang kita pahami.

Karena Qur'an yang kita pahami, sangat-sangat belum tentu sesuai dengan maksudNya. Jadi, Qur'an yang kita pahami ini, bisa benar dan bisa juga salah. Dan yang benarnya, bisa di tingkatan bawah, dan bisa di tingkatan tengah dan bisa pula di tingkatan atas.

Begitu pula, ilmu yang bukan dari Qur'an itu tidak mesti salah atau apalagi pasti benar. Tidak demikian. Jadi, ilmu selain dari Qur'an bisa salah dan bisa benar juga. Dengan demikian, Qur'an dan selainnya sama-sama menunjukkan kepada kenyataan, tetapi yang pertama pasti benar dan yang ke duanya belum tentu benar. Tetapi yang pertamapun harus Qur'an yang Qur'an, bukan yang salah pemahamannya.

Karena itulah maka Qur'an yang Qur'an dan ilmu-ilmu lainnya yang benar, sama-sama obor, sama-sama cahaya yang menerangi akal dan ruh kita untuk mengetahui obyek ilmunya atau kenyataan yang sesungguhnya. Kalau terjadi perbedaan antara ilmu Qur'an dan ilmu lainnya, maka bisa saja ilmu Qur'annya yang salah dan bisa juga ilmu lainnya, dan bisa saja sama-sama salah, dan bisa saja sama-sama benar yang belum diketahui titik temunya.

Semua ilmu, baik Qur'an dan bukan, ada yang mudah dan ada pula yang perlu dipikir. Tentu saja perbandingan di sini ini adalah antara Qur'an yang kita ketahui, artinya yang belum tentu sesuai dengan yang dimaksudkan Allah dan Rasul saww. atau para imam maksum as.

Pertentangan keduanya itu bisa dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:

(a). Ilmu Qur'an yang mudah lawan ilmu lain yang juga mudah. Di sini, sulit ditemukan kejadiannya. Karena secara fitrah dan seyogiyanya, akal dan keAdilan serta keBijakan Tuhan, keduanya harus seiring. Artinya, tidak mungkin Tuhan tidak meyakini-i atau menge- ya-i ilmu-ilmu mudah kita, seperti panasnya api, bahayanya harimau, cairnya air, padatnya batu, adanya marah dalam hati, cinta, rindu dan dendamnya, dan seterusnya. Karena itulah Tuhan mengatur semua itu. Coba bayangkan kalau Tuhan belum mengiyakan ilmu-ilmu mudah kita itu, maka Tuhan harus menerangkan dulu maksud marah dan baru bisa memberikan hukumnya, menerangkan dulu maksud makan dan minum baru menerangkan hukumnya dan seterusnya.

Nah, karena ilmu mudah itu adalah diperlukan seperti nafasnya manusia, maka pernyataan Tuhan dalam Qur'an yang berpijak pada hal-hal mudahpun pasti mauNya adalah yang dipahami manusia itu. 

Memang, ilmu mudah ini tidak mesti diketahui oleh setiap manusia dan/atau disadarinya. Karena itu ia memiliki beberapa syarat: Tidak dipikir; Sehat panca indra; Tidak gila; Tidak berpenyakit ragu; Disadari (konsen/fokus).

Yang dimaksudkan dengan “lawan” adalah “kontradiktif” atau saling menolak. Tetapi kalau hanya berbeda saja, maka sangat mungkin sama-sama benar.

(b). Ilmu mudah Qur'an lawan (bertentangan) ilmu sulit (yang perlu renungan) atau sebaliknya, yakni ilmu mudah selainnya (akal) lawan ilmu sulit Qur'an. Di sini, kita seyogyanya mengambil yang ilmu mudahnya. Apakah Qur'an atau selainnya. Dan meninggalkan yang sulitnya, apakah Qur'an atau selainnya.

Akan tetapi, untuk lebih hati-hatinya, maka harus ditengok ulang terlebih dahulu, apakah kemudahan ilmunya itu –Qur'ani atau selainnya itu- sudah benar-benar demikian, atau kita yang salah menerka hingga mengatakan bahwa ilmu pikir itu sebagai ilmu mudah. 

(c). Ilmu sulit Qur'an berlawanan dengan akal gamblang. Disini kita harus ambil yang akal gamblangnya. Kemudian mencarikan jalan keluar bagi pemahaman akan Qur'annya itu, dengan dalil-dalil akal gamblang tadi. Seperti., di dalam Qur'an dikatakan bahwa Tuhan mencipta nabi Adam as. dengan dua tanganNya. Di sini, kalau tangan ini dimaknai dengan arti yang biasa dipakai sehari-hari secara lebih banyak, maka Tuhan akan menjadi Benda. Karena akal gamblang mengatakan bahwa kalau punya tangan pasti punya tubuh, kepala dan semacaamnya. Karena itu pasti terangkap seperti yang diyakini Kristen (satu dalam tiga dan sebaliknya).

(d). Kalau sama-sama sulitnya, maka dilihat, mana yang memiliki dasar argument yang berakhir pada ilmu-mudah dan gamblang. Kalau salah satunya memiliki, maka ialah yang kita ambil. Dan kalau sama-sama, tidak memiliki karena belum ditemukan, maka tugas kita adalah tawaqquf, yakni no koment dulu.

Sementara untuk memahami Qur'an, maka banyak sekali syaratnya. Seperti bahasa Arabnya (termasuk sastranya), akal sehat, dalil sehat, asbabunnuzulnya, sejarah, hadits- hadits, ayat yang berhubungan.....dan seterusnya.

Sedang Untuk Pendekatannya:

(a). Bisa memakai metologi Pemahaman Qur'an lewat Qur'an. Yakni, bisa dikatakan metologi konstektual. Yaitu membandingkan ayat yang mau dipahaminya dengan ayat-ayat lain yang berhubungan, dan melihat kondisinya. Jadi tidak bisa memahami Qur'an hanya dengan tekstualnya saja. Yakni memahami satu ayat dan tidak membandingkannya dengan ayat-ayat lainnya.

(b). Bisa memakai metodologi Hadits. Yakni melihat penjelasannya dari hadits-hadits yang ada, baik menyangkut langsung atau tidak langsung. 

(c). Bisa memakai metodologi ilmu Kalam. Yakni memakai dasar-dasar pemikiran dan konsep yang ada dan sudah teruji di ilmu Kalam, lalu menerapkannya pada pemahama ayat-ayat Qur'an.

(d). Bisa juga memakai metologi Filsafat. Yakni memakai kaidah-kaidah dan konsep-konsep yang sudah diyakini kebenarannya di filsafat sesuai dengan dalil gamblangnya, lalu menerapkannya kepada pemahaman ayat-ayat.

(e). Bisa juga memakai metodologi Irfan. Yakni menggunakan nilai-nilai dasar yang ada dalam Irfan, lalu menerapkannya pada pemahaman ayat Qur'an.

(f). Dan lain-lain metodologi, seperti sejarah dan seterusnya.

Pendekatan paling bagusnya adalah memakai semua metodologi yang ada. Karena semua itu tidak bertentangan, akan tetapi bisa saling melengkapi.

Tentang buku kritikan terhadap penafsiran teks itu saya tidak bisa koment, karena harus cari bukunya dulu dan membacanya dengan bijak. Tetapi kalau yang dimaksudkan teks itu adalah teks ayat tanpa mengkomparasikannya dengan ayat-ayat lain setidaknya, maka penafsiran seperti itu, memang lebih menyesatkanya dari benarnya, kecuali kalau hal-hal yang terbukti mudah.

Saepul Rochman : Terima kasih jawabannya, ustadz. Afwan jika saya bertanya lagi, tidak bermaksud mendebat, karena apa yang ustadz katakan memang benar adanya. Hanya kegelisahan saja. Akhir-akhir ini sering muncul persoalan-persoalan, seperti “membebaskan Al-qur’an dari sejarah turunnya”, atau “asbabun nuzulnya hari ini”, “membahasakan Al-qur’an sebagai asas-asas teori sosial”. Kemudian saya pernah membaca Teorinya Asghar Ali tentang pendekatan teologi sosial, yang saya pahami adalah mendekati ayat-ayat teologis sebagai analogi dari proses sosial. Menurut ustadz sendiri tentang persoalan tersebut bagaimana...??. ,. Wassalam.

Sinar Agama: Saepul, Tak masalah antum bertanya atau berdebat. Yang diutamakan adalah memakai dalil, dan terlihat mencari kebenaran. Karena saya sendiri juga dalam pencarian yang tidak pernah henti. Memang, kalau debatannya itu dibahasakan yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing orangnya, maka akan lebih nyaman.

Membebaskan Qur'an dari Asbabunnuzulnya, bukan berarti mensosialkan bahasanya. Karena kedua- nya itu, tidak bertentangan, tetapi bahkan saling teriring. Kecuali kalau maksud pensosialisaiannya itu, adalah sosial sekarang. Karena, sosial sekarang, banyak yang tidak sama dengan sosial masa diturunkannya Qur'an. Karena itu, kalau sosial sekarang ini dijadikan tolok ukur pemahamannya, maka sudah pasti Qur'an akan keluar dari maknanya. 

Namun demikian, sosial manusia di setiap jaman tetap bisa menjadi pertimbangan makna Qur'an. Akan tetapi setelah memaknai terlebih dahulu dengan kondisi diturunkannya Qur'an itu. Artinya, kita harus tahu dulu makna asalnya. Setelah itu, baru menyesuaikannya dengan kondisi sekarangan. Hal itu agar tidak terjadi penyelewengan makna, dan tidak pula terjadi penyesuaian liar terhadap kondisi sekarang.

Kalau ulama, sudah sangat mengerti apa yang harus dilakukan. Karena dari masa ke masa hanya mengkaji Qur'an dan hadits-hadits. Jadi, mereka mengerti makna awal diturunkannya Qur'an itu yang tentu disesuaikan dengan kondisi sosial di masa turunnya Qur'an. Setelah itu, mereka mencoba mengerti makna sesungguhnya yang, biasa dikenal dengan ‘ilalusysyaraayi’ (filsafat atau sebab hukum). Dan setelah itu, ditranfusikan dari ulama sebelumnya ke ulama setelahnya secara akademis dan sistematis sampai pada hari ini. Jadi, penyesuaian itu sangat dilakukan dengan hati-hati pada setiap estafet sosial masyarakat, alias tidak sembarangan. Karena itulah yang tidak membidangi agama, mesti ikut mereka yang membidanginya.

Misalnya, dulu kita tahu bahwa yang memabokkan itu hanya ada satu macam, yaitu khamer (minuman memabokkan) yang juga telah dihukumi dengan haram. Tetapi kita juga tahu bahwa pengharamannya itu karena kemabokannya itu, bukan karena minuman kerasnya semata. Misalnya dengan adanya hadits yang mengatakan bahwa “Minuman keras itu diharamkan karena memabokkan.” Maka dengan ini kita menjadi tahu bahwa yang diharamkan itu bukan minuman keras itu sebagai minuman keras, tetapi sebagai sesuatu yang memabokkan (menghilangkan kesadaran).

Karena itulah maka apapun yang memabokkan, hukumnya adalah haram. Apakah ia beer, heroin, ganja ...dst. memabokkan. Jangan lupa, bahwa pembahasan sosial itu, adalah sebab dasar ke dua setelah akidah dari diturunkannya Qur'an. Artinya, hukum-hukum Tuhan itu diturunkan untuk menata sosial. Jadi, bahasa Qur'an memang sosial. Jadi, justru Qur'an itu untuk menata sosial kita manusia. Tentu saja dengan memahaminya terlebih dahulu dengan cara di atas itu.

Tentang teori teologi menuju sosiologi, itu memang inti dari Qur'an seperti yang diterangkan di atas itu. Artinya, apa arti kita bertauhid, kalau dalam urusan-urusan sosial kita mengambil dari hukum dan tata cara selain dariNya. Apa gunanya kita mengatakan Allah Maha Alim, Tahu, Kuasa, Kasih, Penyayang, Adil, Bijaksana......dan seterusnya, tetapi aturan hidup bersosial, berpolitik, berseni, berekonomi, berdakwah, .......dan seterusnya mengambil dari kocek sendiri, budaya sendiri dan, apalagi dari barat yang kafir? 

Wassalam.


Tika Chi Sakuradandelion, Bande Husein Kalisatti, Khommar Rudin, dan 13 orang lainnya menyukai ini.

Ammar Dalil Gisting: Shalli ‘ala Muhammad wa aali Muhammad..

Khommar Rudin: Allah humma shalli alla Muhammad wa alli Muhammad.

Saifulbahrein Abdullah: http://www.facebook.com/.../Melawan.../434230616597552 Melawan Propaganda Musuh Membina Kesatuan Islam

Saifulbahrein Abdullah: Afwan enggak tahu mahu dikongsi dimana. Afwan. 

Daris Asgar: Allohumma Sholli ‘Alaa Muhammad Wa Aali Muhammad Wa ‘Ajjil Farojahum. 

Khommar Rudin: Allohumma Sholli ‘Alaa Muhammad Wa Aali Muhammad Wa ‘Ajjil Farojahum. 

20 April pukul 17:36 · Suka



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar