﷽
Seri tanya jawab: Z. Ali - Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Thursday, August 11, 2011 at 8:04am
Zulfikar Ali: Salam! Ustadz, saya mau nanya yang mungking sudah sering di bahas,tapi masih ada keraguan yakni tentang hukum merokok,dan menjual nya.wa salam terimakasih.
Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:
Merokok dan menjualnya itu halal bagi pemula atau penerus dan sebagainya. Tentu saja kalau belum difatwai dokter bahwa merokok baginya adalah mudharat. Seperti orang-orang yang sudah kena TBC dan semacamnya. Tapi mudharat yang ada pada rokok secara umum itu, hanyalah mudharat ilmiah dan filosofis, tapi belum sampai ke tingkat fikhis yang, didasarkan kepada ’uruf dimana mudharat secara ’uruf itu adalah kalau merokok sekali dua kali, atau seminggu dua minggu lalu pasti mati atau pasti impoten atau pasti rabun ....dan seterusnya. Tapi kalau tidak dalam waktu yang secepat itu, apalagi ditambahi dengan kenyataan bahwa belum pasti berlaku/ terjadi, maka ’uruf tidak mengatakan itu sebagai mudharat yang harus dihindari. Karena itu rokok dan menjualnya, tidak haram.
Memang, kalau antum taqlid kepada ayt Makaarim Syiiraazii hf, maka beliau mengharamkannya.
Ingat, sekali lagi, ketika dikatakan bahwa yang dipatok Tuhan itu adalah ’Uruf dan bukan ilmiah atau filsafat, bukan berarti Tuhan itu anti ilmu, ilmiah dan filsafat. Tapi hukumNya itu memang di atas dasarkan kepada ’Uruf. Yakni Tuhan tahu bahwa rokok itu mudharat secara ilmiah dan hakikatnya (filosofisnya). Akan tetapi mudharat yang seperti itu tidak diharamkanNya.
Nah, jangan sesekali salah sangka sebeperti sebagian ikhwan.
Misalnya juga, seperti air kencing. Kalau mengenai tangan kita, maka Allah mewajibkan kita untuk menyiramnya 2 kali setelah benda kencingnya dihilangkan dengan air (misalnya). Setelah dicuci 3 kali itu, maka ia dihukumiNya dengan suci. Padahal, secara ilmiah dan laboratoris, yakin banget bahwa di tangan tersebut pasti masih ada atom-atom kencing tersebut.
Nah, bukan berarti Allah tidak tahu atom-atom kencing itu. Tapi Allah sengaja tidak menajiskannya dan hanya menajiskan yang secara ’Uruf diketahui sebagai kencing.
Zulfikar Ali: Terimakasih ustadz! Pencerahannya sangat bermanfaat.
Sinar Agama: Tentu saja, semua itu ada hikmahnya. Misalnya -yang bisa kita raba- adalah supaya orang dulu dan sekaran terjangkau hukumnya. Sebab kalau nunggu majunya manusia mendalami ilmu keilmiahan yang terus berkembang dan belum pernah berhenti itu dimana yang baru menyalahkan atau menyempurnakan yang baru itu, untuk kemudian dituruni hukum, maka tidak akan pernah ada hukum Tuhan yang turun sampai detik hari ini sekalipun.
Misalnya juga: Kalau hukum Tuhan itu didasarkan kepada ketelitian ilmiah dan filsafat/hakikat, maka akan sangat memberatkan manusia hingga tidak mungkin manusia ini melaksanakannya. Masak orang cuci najis harus ke laboratorium?
Penutup:
Sudah tentu Tuhan Yang Maha Kasih itu, dengan KuasaNya sangat mampu untuk menepis efek- efek kecil dari mudharat-mudharat yang ada dan kecil itu. Atau efek itu memang suatu yang fitrawi dan alami hingga memang itulah batasan kita wujud-wujud materi. Karena itulah Tuhan menyuruh kita untuk berlindung kepadaNya dari efek-efek samping yang kecil dari ciptaanNya itu. Walhasil dengan efek-efek kecil yang tidak haram itulah manusia akan menemui kesempurnaanya dengan kematiannya. Bayangin saja, kalau tidak ada efek-efek samping itu, baik hukmis atau alamis, maka hampir dipastikan bahwa manusia tidak akan mati.
Wassalam.
16 people like this.
Adil Priyatama: Bukankah Tuhan yang menurunkan syariat itu adalah Tuhan yang sama dengan yang menciptakan alam semesta ini? Maka tidak mungkin Tuhan menurunkan syariat yang tidak bersesuaian dengan alam ciptaan-Nya.
Bila diizinkan berpendapat, berkaitan dengan cara penyucian najis yang diatur dalam hukum fikih, bisakah kemungkinan berikut yang terjadi:
1. Permasalahan esensi/batasan sesuatu sehingga dapat disebut sebagai sesuatu. Yakni, najis yang dimaksud adalah ketika memenuhi kriteria tertentu, dan manakala kriteria tersebut tidak terpenuhi, maka ia secara syariat (fikih) maupun hakikat (filosofis) ia bukanlah najis. Jadi, atom- atom air kencing dalam contoh yang dikemukakan dalam tulisan di atas tidak lagi disebut air kencing. Seperti halnya atom-atom H2O yang terkandung dalam uap air, tidak lagi kita sebut air, melainkan uap. Apalagi H2 (hidrogen) secara sendirian tentu bukan air, meskipun merupakan unsur pembentuk H2O.
2. Permasalahan perbedaan efek antara bagian dengan gabungannya. Yakni banyak/sedikitnya sesuatu berpengaruh terhadap efek yang diakibatkan oleh sesuatu. Seperti halnya ’air yang banyak’ memiliki kemampuan yang berbeda dengan ’air yang sedikit’ dalam menyucikan sesuatu, (yang mana secara hakikatnya pun memang berbeda), maka bila hal ini diterapkan kepada najis, demikian pula air kencing yang hanya berupa butiran atom tidak lagi memiliki efek seperti najis, sehingga ia bukanlah najis (secara syariat maupun hakikat).
3. Permasalahan bahasa, yakni perkataan ’najis’ yang diucapkan oleh Nabi sebagai utusan-Nya yang tidak pernah salah apalagi bohong, merujuk kepada makna najis yang tergolong najis secara hakikinya, bukan kepada makna najis yang dipikirkan oleh manusia saat ini dengan penemuan ”ilmiah/modern” nya yang berupa atom-atom tersebut.
Mohon koreksi kalau saya salah...
Fatimah Zahra: Salam ustadz, maaf di kalimat pertama jawaban antum, dikatakan rokok untuk pemula itu halal? Apa ini tidak keliru?
Maz Nyit Nyit-be’doa: Mohon ikut nyimak.... Timex@ maaf Di atas masih ada kata selanjutnya” merokok dan menjualnya itu halal bagi pemula atau penerus dan sebagainya....””
Tio Adjie: Pokoknya yang madharat belum tentu haram. Kalau haram berarti haram juga dong naik motor dengan tidak pakai jaket karena madharatnya bisa masuk angin. Salam.
Adil Priyatama: Bahwa “yang mudharat belum tentu haram” itu bagi saya tidak bermasalah. Yang menjadi masalah adalah ketika Sinar Agama menulis, ”Misalnya juga, seperti air kencing. Kalau mengenai tangan kita, maka Allah mewajibkan kita untuk menyiramnya 2 kali setelah benda kencingnya dihilangkan dengan air (misalnya). Setelah dicuci 3 kali itu, maka ia dihukumiNya dengan suci. Padahal, secara ilmiah dan laboratoris, yakin banget bahwa di tangan tersebut pasti masih ada atom-atom kencing tersebut.” Yang mana dari tulisan tersebut, terkesan adanya pertentangan antara pandangan ilmiah dengan pandangan fikih mengenai keberadaan benda najis di tubuh kita. Padahal menurut saya hal itu tidak boleh terjadi. Ada tidaknya benda najis di tubuh itu adalah fakta yang mesti sesuai antara fikih maupun hakikat. Adapun masalah dihukuminya hal tersebut sebagai najis atau suci, maka hal tersebut murni wilayah fikih. Maka itu, untuk mengatasi pertentangan tersebut, saya mengajukan pendapat di comment pertama di atas.
Sinar Agama: Adil:
(1). Tidak seperti itu. Karena yang dimaksud atom disini adalah air kencing yang kecil, bukan unsur-unsur kencingnya. Dan takwilan-takwilan antum ini sudah keluar dari hak antum sebagai muqallid atau yang bertaqlid. Jadi, apa yang dikatakan mujtahid itu jauh dari apa yang antum perkirakan ini. Antum boleh saja meraba-raba hikmah hukum, tapi tidak dasar hukumnya, apalagi dengan pendekatan kimia yang, apalagi salah-salah.
(2). No 2 ini juga demikian. Yakni tidak seperti yang antum uraikan. Jadi, fokuskan kepada taqlid (kalau antum Syi’ah). Tapi kalau mau meraba hikmah silahkan saja (tapi jangan dipastikan), tapi bukan dasar hukumnya seperti yang antum paparkan ini.
(3). No 3 ini antum semakin jauh. Karena itu, kalau memang antum tertarik mengetahui dasar- dasar hukum Islam, maka mari belajar bareng di hauzah hingga tahu ayat-ayat dan hadits dari perhurufnya sampai perkatanya dan perkalimatnya. Jadi, tolong jangan menebak-nebak maksud Nabi saww. Kalau mau, maka mari kita belajar seperti ushulfikih yang memberikan teori mengerti kata-kata sebelum kalimat-kalimat ayat dan hadits.
Sinar Agama: Fatimah Z: Apa yang sudah dikatakan itu memang demikian. Berita tentang rokok bagi pemula itu adalah haram, itu adalah berita tidak benar.
Sinar Agama: Adil: Untuk koment antum terakhir itu, saya hanya bisa berkata, coba renungi lagi tulisan-tulisan itu, karena ia sudah jelas.Semua hukum Tuhan itu berdasar pada lahiriah dan umumnya, bukan pada hakikatnya. Dan ini yang dimaui Tuhan. Artinya, mudharat yang tidak seberapa itu sudah cukup untuk dijadikan pensucian atau penghalalan sesuatu. Kalau tidak, maka kita tidak akan bisa hidup. Jadi, suci fikih, bukan berarti suci sama sekali dari keberadaan najis. Dan suci ini sudah cukup menjaga kesehatan badan dan ruh manusia, dan, sudah tentu najis filosofis/hakikat itu sudah tidak lagi memiliki efek bagi kesehatan badan dan ruh manusia. Renungi saja dulu baik-baik. terimakasih.
Sinar Agama: Adil: Semua yang saya tulis, dimana saja, merupakan pelajaran yang saya pelajari di hauzah dan tidak ada yang karangan. Memang, ada juga yang mungkin rincian dan pendekatan. Tapi dasar-dasarnya, tidak ada yang dari kocekku. Apapun yang kutulis, baik fikih, ushul fikih, logika, Kalam, filsafat, irfan ....dan seterusnya. Semua itu melalui pelajaran puluhan tahun. Memang, saya bisa salah dan bisa tidak paham (tapi merasa paham) dari pelajaran seorang guru. Akan tetapi, walaupun begitu, tetap tidak bisa dikorbankan dengan hanya ditukar semisal rabaan- rabaan yang secara yakin tidak ada dalam semua pelajaran agama yang ada selama berabad tahun lamanya ini. Jadi, kesalahanku itu hanya bisa antum buktikan dengan pelajaran juga yang biasanya dapat dilukiskan dengan pemaparan argumentasi yang valid (bukan rabaan sendiri dan memasukkan unsur kimia -apalagi salah-salah- pada penyimpulan hukum Tuhan).
November 15, 2011 at 8:06pm · Like · 2
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar