Selasa, 07 Agustus 2018

Wahdatul Wujud Dalam Pandangan Filsafat Mulla Shadra ra, Masysyaa’ dan Irfan




Seri diskusi ulangan materi lalu, Giri S - Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, August 9, 2011 at 6:03 am



Giri Sumedang: Kak Sinar maaf ganggu lagi nich..he he he.
Giri masih rancu dengan relasi iluminasi yang kaitannya dengan pluralitas wujud... 

Bukankah yang banyak ini tidak bisa kita nafikan.. bahwa Dia yang ADA adalah ADA, dan ADA cuma sendirian (esa,satu, tidak terangkap, tidak berbilang, murni, sebab dari segala sebab, kausa prima, substansi, hakiki, niscaya, dan lain-lain sebutan dan macam istilah) bisa dipandang dalam 2 hal yaitu imanen dan transenden sekaligus.. intinya bagaimana yang banyak ini juga bisa dipandang sebagai yang satu. Mohon maaf kalau pertanyaannnya salah he dan terimakasih ya kak atas jawabnnya.

Siti Handayatini, Roni Astar, dan Giri Sumedang menyukai ini.

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

Saya sebenarnya sudah banyak menulis tentang hal-hal yang mirip dengan pertanyaanmu ini. Yaitu tentang wahdatulwujud yang sudah terdiri dari 14 bagian. Coba saja kamu rujuk ke sana dan telateni apa-apa yang ada di sana.

Ringkasannya: Pandangan terhadap wujud itu bisa dilihat dengan kacamata filsafat yang menetapkan adanya ada/wujud yang banyak. Tapi bisa dilihat dengan kacamata irfan yang mengatakan wujud itu hanya satu.

Kalau di filsafat, wujud yang satu itu memang satu, tapi bergradasi. Yaitu perbedaannya kembali ke persamaannya, yaitu wujud itu sendiri. Jadi, maksud gradasi adalah wujud yang bertingkat yang dibedakan dari sisi wujudnya, bukan esensinya. 


Tapi kalau dilihat dari Irfan, maka wujud itu memang hanya satu dan yang terlihat banyak ini hanyalah esensi saja. Dan esensi itu terdiri dari substansi dan aksidental. 

Koreksi terhadap tulisanmu: Tuhan tidak dikatakan substansi, karena substansi itu adalah esensi. Dan esensi itu adalah batasan. Sementara Tuhan adalah wujud yang tidak terbatas. Karena itu tidak memiliki esensi baik substansi apalagi aksidental.

Giri Sumedang: Maaf kak Sinar.. maksud Giri ya substansi hakiki he.., itupun kalau berkenan kak Sinar dengan istilah yang Giri pakai. Tapi ngomong-ngomong tentang relasi iluminasi antar keberadaanNYA sendiri bagaimana kak.. mohon penjelasannya.. makasih kak he.

Sinar Agama: Substansi hakiki kek atau tidak, maka tidak bisa dikatakan pada Tuhan. Saya belum paham pertanyaanmu misalnya ”antar keberadaanNya sendiri”.... 

Giri Sumedang: Oo begitu ya kak.. tapi kan kak subtansi itu tidak membutuhkan partner untuk disebut sebagai keberadaan.. jadi itu tidak pas ya kak dijadikan istilah untuk Tuhan?? Giri baru mengerti sekarang.

Giri Sumedang: Oo maksud Giri.. keberadaan ini kan pada hakekatnya satu (dari sisi irfan kata kakak ya kan).. tapi kita sebagai manusia pembahas dalam hal ini sebagai subyek yang mengesensikan keberadaan di luar dirinya kan melihat bahwa seakan-akan ada banyak keberadaan dalam peran- peran yang berbeda tentu itu semua sebagai kehadiranNYA yang berupa manifestasi, rupa-rupa, tajalliyah, dan lain-lain.. nah kak bagaimana kita ’’menganggap” bahwa manusia sebagai subyek yang mengesensikan sesuatu di luar keberadaan dirinya itu melihat bahwa semua keberadaan itu adalah satu.. mohon pencerahannya ya kak he terimakasih.

Sinar Agama: Ok, Sebenarnya kalau kamu mau berlelah menelusurinya di catatan wahdatul wujudku itu sudah bisa dijawab. Ringkasnya: 

1. Jawaban filsafat Mulla Shadra ra yang tidak meyakini adanya satu wujud “endil” (saja/hanya), tapi meyakini satu wujud yang bermakna satu yang masih memiliki banyak yang banyaknya ini bukan esensi (seperti manusia, kucing, pohon,air ..dll) tapi juga wujud yang perbedaannya kembali kepada persamaannya, yaitu wujud itu sendiri (inilah makna gradasi wujud), sebagai berikut: 

Wujud yang sebelumnya, seperti Tuhan atau Akal-satu, atau Akal-akhir atau makhluk-Barzakh, atau bumi (terhadap nabi Adam as, pohon dll) atau mani terhadap speciesnya sendiri- sendiri, atau air terhadap hujan ....dan seterusnya itu, adalah sebab bagi wujud berikutannya tersebut. Dan yang disebabkan itu adalah wujudnya, bukan esensinya. Jadi, semua wujud- wujud itu terikat dengan jaringan sebab akibat. 

Jaringan sebab-akibat itu adalah hakiki. Yakni tidak dibuat-buat seperti benda-benda produksi. Sebab itu adalah pesujud hakiki bagi akibatnya. 

Sebab itu mewujudkan akibat dengan dirinya, bukan dengan yang lainnya. Karena sebab dalam filsafat adalah ia sebagai pewujud (memang ada yang hakiki seperti Tuhan, dan ada juga yang perantara seperti selainNya). 

Dengan begitu maka semua akibat itu adalah pewujudan lain dari sebabnya masing-masing. Ini makna Tajalli dalam filsafat. Jadi, semua akibat adalah tajalli dari sebabnya. Yakni bentuk lain dari sebabnya. 

Nah, ketika semua wujud akibat itu adalah tajalli atau pewujudan lain dari sebabnya, dan, semua sebab-sebab perantara itu juga memiliki sebab hakiki yang kembali kepadaNya, maka semua wujud-wujud selainNya itu berarti tajalliNya. 

Dengan demikian semua wujud itu adalah DiriNya. Tapi bisa dilihat dari masing-masing wujud selainNya itu sendiri yang, dalam hal ini menjadi bukan WujudNya. Jadi, satu wujud selainNya bisa dilihat sebgai WujudNya, yaitu ketika dilihat sebagai wujud yang tenggelam dalam WujudNya karena wujudnya adalah PeWujudanNya atau peWujudan manifestasiNya. Tapi bisa dilihat sebagai wujud selainNya, yaitu ketika dilihatnya mandiri dari DiriNya.

2. Jawaban filsafat selain Mulla Shadra ra yang meyakini satunya wujud hanya dalam makna tapi memiliki banyak aplikasi dalam bentuk esensi-esensi, sebagai berikut: 

Hampir sama dengan di atas. Bedanya hanya di letak wujud selainNya itu. Karena wujud selainNya itu adalah keberadaan esensi. Jadi, esensinya itu menonjol dan tidak ditiadakan. Karena itu, keterikatan mata rantai sebab-akibat itu terjadi pada wujud esensi, bukan wujud ansikh/murni. Karena itu, sebagaimana wujud-wujud itu terikat, maka esensi-esensi itu juga terikat. 

Jadi, semua wujud dan esensi itu semuanya bergantung pada sebab hakikinya yang mana itu adalah WujudNya saja. Karena sebab-sebab selainNya itu masih memilki sebab keberadaan juga dimana pada akhirnya berakhir padaNya. 

Jadi, dalam pandangan ini, yang satu itu adalah makna wujudNya, yaitu ”Sesuatu yang memiliki efek -aktif atau pasif”. Tapi banyaknya yang terlihat kita itu adalah esensi-esensi tersebut. 

Kalau di pandangan pertama tadi, satu dan banyaknya itu tetap hanya terjadi pada wujud saja. Karena, bagi filsafat Mulla Shadra, esensi tidak pernah wujud. Dan ini tidak akan bisa dipahami kecuali benar-benar filsafat lama sekali. Dan, yang sudah lama sekalipun dan sudah allamah sekalipun kadang masih tetap tidak memahaminya seperti hujjatul Islam Fayyaadhi (allamah muda. muda bukan dibawah 30 th, tapi tidak senior maksudnya). Karena itu beliau (Fayyaadhi hf) ini mengira bahwa Mulla Shadra memaksudkan wujud disini juga esensi. Karena itu ia memiliki pandangan Ishaalatu Kilaihima. Yakni bahwa wujud itu esensi itu sendiri dan begitu pula sebaliknya. 

Tapi kalau di pandangan ke dua ini mudah dicerna. Karena yang satu itu adalah wujud, yakni pahaman wujudnya, dan yang banyak itu adalah esensinya. Sedang di pandangan pertama, yang satu itu adalah wujud dan yang banyak itu juga wujud.Jadi pandangan ke dua ini, sudah bisa melihat wujud itu tanpa adanya gangguan esensi. 

Tapi ingat, bahwa wujud itu sama sekali tidak terbentuk, tidak berwarna dan seterusnya karena kalau masih memiliki itu semua berarti ia adalah esensi. Karena itu penglihatan kepada wujud itu bukan penglihatan mata, tapi akal. 

Oh iya, nambahi disni bahwa esensi itu adalah batasan wujud. Seperti manusia dimana ia pasti memiliki wujud (walau wujudnya itu tidak terlihat) dan pasti juga memiliki batasannya, yaitu manusia itu sendiri dimana ia bukan pohon, air, kucing, batu ..dll. Nah, bagi filsafat pertama di atas, esensi-esensi ini sudah terlihat akal mereka karena memang tidak ada (dalilnya tidak bisa dipecahkan disini). Tapi bagi filsafat ke dua, masih terlihat dan justru dia yang terlihat. Yakni wujudnya tidak terlihat tapi batasannya atau esensinya itu yang terlihat. 

Tapi ingat, di filsafat pertama melihatnya pakai akal dan tidak mengandalkan mata, tapi di filsafat ke dua sebaliknya.

3. Jawaban Irfan yang hanya meyakini bahwa wujud itu hanya satu dan dia hanyalah Tuhan, sebagai berikut: 

Ketika wujud itu hanya satu (argumentnya lihat di wahdarulwujudku itu), maka selainNya ini, hanya esensi. Dan esensi-esensi ini tidak wujud dan bukan wujud. Dia hanyalah sesuatu yang bergelantungan pada wujud. Dan karena ia bergelantungan pada wujud, maka esensi-esensi itu banyak tapi wujudnya satu. 

Tapi ingat bahwa esensi-esensi yang banyak itu hanyalah dalam maya, karena ia bukan wujud itu sendiri. Jadi, dia hanya seperti ada, tapi bukan ada. 

Namun demikian, esensi-esensi yang maya itu, bagi kita, dapat mengantarkan akal kita kepada wujud itu. Artinya, dengan melihat maya-maya tadi, kita bisa memahami bahwa ada itu benar-benar ada. 

Karena itulah maka esensi-esensi maya itu disebut dengan Tajalli Wujud; Cermin Wujud; Wajah Wujud; Bayang Wujud; Cerita Wujud; Nama Wujud; ....dan seterusnya. 

Penutup: Semua itu adalah jawaban soalanmu yang bisa menelorkan soalan yang lain. Setidaknya dalil dan argumentasi dari semua pandangan di atas. Yakni dalil kebenaran dakwaan masing-masing pandangannya sebelum menjawab pertanyaanmu tentang keruwetan satu dan banyak itu. 

Nah, untuk mengetahui semuanya, maka bisa merujuk ke kitab-kitab filsafat dan Irfan, tapi bisa juga merujuk ke catatan-catatanku tentang wahdatu)al-wujud itu yang sudah terdiri dari 14 bagian.

Giri Sumedang: Ya kak makasih .. gamblang sekali jawabannya. Wassalam. 

Alia Yaman and 9 others like this.

Danesh: Kenapa ya ustadz... saya suka pusing kalau baca masalah irfan... apa akal saya tidak sampai ya? 

Sinar Agama: Irfan itu tidak wajib diketahui. Akidah dan fikih itu yang wajib. Tidak usah gelisah. 

August 9, 2011 at 7:40am · Like · 2




اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar