Tampilkan postingan dengan label Murtadha Mutahhari ra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Murtadha Mutahhari ra. Tampilkan semua postingan

Rabu, 15 Mei 2019

Makna Adil dalam Poligami


Seri tanya jawab Sang Pencinta dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Monday, May 20, 2013 at 3:14 am

Sang Pencinta mengirim ke Sinar Agama: (12-3-2013) Salam, ada yang bertanya terkait penjelasan ustadz mengenai poligami: Salam. ana mau tanya sedikit, kalau bisa disampaikan ke beliau karena ana tidak berteman dengan beliau. Pernyataan Ust Sinar Agama ”Adil adalah dalam hal menginap dan belanja, bukan termasuk cinta dan kasih sayang” 

Ustadz, yang saya dapat dalam buku Murtadha Mutahari bahwa para hukum islam sependapat bahwa diskrimanasi dalam bentuk apapun tidak diperkenankan. Artinya dalam segi apapun itu baik lahir maupun bathin. 

Dan ini pernyataan Murtadha Mutahari keadilan adalah kebajikan manusia yang paling luhur. Menetapkan keadilan sebagai syarat berarti menuntut manusia untuk mencapai kekuatan moral yang paling tinggi. Tapi pada kenyataannya, emosi dan kesukaan suami tidaklah sama maka kita pahami bahwa perlakuan yang sama secara sereagam terhadap setiap istri, melaksanakan keadilan dan berpantang dari diskriminasi, adalah tugas yang paling sulit bagi seorang laki-laki. 

Jadi kita bisa simpulkan secara gamblang bahwa cinta kasih sayang itu juga termasuk bathin dan harus menjadi bagian keadilan suami terhadapa istrinya. 

Karena ada sabda Rasulullah ”Barangsiapa mempunyai dua orang istri dan tidak memperlakukan mereka secara adil, tapi lebih cenderung daripada yang lainnya, maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dengan satu sisi badannya diseret di atas tanah sampai akhirnya ia akan masuk ke neraka. — bersama Sinar Agama dan Anditenri Waru. 

Sang Pencinta: sumber : 
http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/385455331499269/ 

Anditenri Waru: Salam. Ini pernyataan ustadz, ”kalau adil dalam semua hal, maka ia mencakupi adil terhadap diri sendiri, pada keluarga, Tuhan, agama, Nabi saww, imam as .....dan seterusnya. dimana dengan semua itu berarti telah mencapai taqwa secara yang paling tingginya.” 

Jadi kalau kita melihat definisi adil artinya laki-laki untuk melakukan poligami tidaklah semudah yang dia bayangkan (apalagi kalau adilnya seperti yang ustadz katakan di atas hanya mencakup menginap dan belanja kan kalau laki-laki baca apalagi yang umum, ini mudah) afwan. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

1- Sekali lagi, adil itu bukan syarat syahnya poligami. 

2- Adil adalah dalam hal-hal lahir, seperti menginap dan belanja. Itupun masih ada lagi bahasan-bahasan lainnya. 

3- Cinta itu tidak wajib sama dan adil. Karena di samping mustahil, juga tidak diwajibkan agama. 

Mustahilnya, bisa dari sisi obyek bisa dari sisi subyek. Yang lebih mirip dengan sifat-sifat subyek dari obyeknya/ istrinya, maka secara natural akan lebih terasa nyaman. Itu kalau kita lihat sebagai kecenderungan natural. Apalagi setiap orang itu memiliki ketaatan dan ketaqwaan yang sangat mungkin berbeda. Lah, bagaimana mungkin manusia normal, sama dalam menyintai istrinya yang taat pada dirinya dan taqwa pada Allah dengan istrinya yang kasar padanya dan tidak taqwa pada Allah. Allah sendiri justru melarang mencintai yang tidak taqwa dalam arti pembuat ketidaktaqwaan itu. Mana mungkin istri yang khianat dalam amanat disuruh cintai seperti menyintai yang taat dan amanat. Islam sendiri menolak hal ini. 

4- Islam hanya melarang kesamaan dalam pergaulan lahiriah yang, itupun dalam batasan menginap dan belanja. Tidak dalam kelembutan, senyum... dan seterusnya. Bagaimana mungkin senyum dan lembut pada istri yang kasar dan bengal??? 

5- Islam hanya melarang berbuat aniaya kepada istri terutama yang baik dan taqwa. Adil dalam arti tidak aniaya ini juga dapat dipahami dengan jelas dari agama. Jadi, yang baik harus disikapi dengan baik pula. Jangan sampai yang baik dianiaya dan yang tidak baik justru yang disayangi. 

6- Semua pernyataan di atas, baik dari ayt Muthahhari dan hadits-hadits itu, semua memiliki maksud apa-apa yang saya jelaskan ini. Jadi, bukan hanya tidak bertentangan dengan penyataan saya, tapi bahkan sama dan mendukungnya. 

Misalnya

a- Yang dilarang itu diskriminasi. Jadi, makna diskriminasi itu adalah diskriminasi aplikatif. 

Misalnya, istri yang satu kurang dicintai dan karena kurang cintanya itu mendiskrimanisikannya. Ini yang tidak boleh. Dan pewujudan diskriminasi di sini, adalah tidak adil dalam dua hal itu, yaitu menginap dan belanja. 

b- Kalau antum membaca adil dalam buku Muthahhari ra itu, maka beliau ra sangat-sangat menentang makna sama rata itu. Artinya, adil yang memiliki arti sama rata itu sangat kondisional, yaitu ketika obyeknya memiliki hak yang sama. Itu baru adil yang bermakna sama rata. Karena itu, adil yang hakiki menurut beliau ra, yakni tidak memiliki kondisi tertentu, adalah tidak mengambil hak orang lain dan, ini yang terpenting, meletakkan sesuatu pada tempatnya. 

Nah, karena itulah, lebih menyintai yang lebih taqwa adalah keadilan dan, menyamakannya dengan yang lain, justru kezhaliman. Akan tetapi, karena istri memiliki hak yang sama dari sisi nginap dan belanja, maka di sini yang dikatakan bahwa makna adil itu adalah sama rata. 

Hal itu karena kesamaan hak obyeknya, bukan karena hakikat keadilan itu sama rata. Karena itulah, waris tidak sama antara anak lelaki dan wanita. 

c- Hadits itu sangat jelas bahwa yang dimaksudkan adalah diskriminasi aplikatif, bukan cinta. 

Nabi saww sendiri yang mengatakan lebih cenderung kepada salah satu istrinya. Yakni lebih menginapinya, lebih membelanjainya. 

Itulah mengapa saya sering mengatakan bahwa belajarlah fikih secara lengkap dari fatwa-fatwa marja’-nya, seperti tahu apa arti kata-kata dari para ulama itu. Adil di ulama bukan adil di benak kita, diskriminasi di ulama, bukan diskrimansi di benak kita. Artinya, semua masalah sudah ada istilah-istilah tersendiri. 

Kalau kita tidak mengerti fikih, maka semua itu, yakni adil, diskriminasi, zhalim, cenderung, .... dan seterusnya....akan diisi dengan peristilahan yang ada di antara kita. Padahal, bahasa fikih dan hadits itu, memiliki maknanya tersendiri. 

Dalam konteks di atas itu, bacalah hukum perkawinan, perkawinan poligami dan syarat-syaratnya, kewajiban belanja (dimana yang tidak taat dan tidak menuruti sex saja sudah tidak wajib belanja bahkan tidak bermake up yang disuruhkan suaminya saja sudah masuk dalam nusyuz -lihat catatan sebelumnya- dan lain-lain hukum yang pasti akan membedakan bahkan dalam dua hal itu, atau setidaknya dalam hal belanja). Baca juga makna adil dalam poligami, makna zhalim ...dan seterusnya yang biasanya sudah dibab-babkan di masalah hukum perkawinan itu. Termasuk baca juga hak-hak istri dan suami. 

Setelah memahami fikihnya, maka baru kita akan mampu memaknai ucapan dan tulisan ulama dengan benar dan baik dan, baru bisa mengatakan gambalng. 

Tambahan

1- Kalau kita sering membahas makna sabda Nabi saww yang berbunyi: ”Aku diutus untuk menyempurnakan Akhlak Mulia” yang memiliki makna bukan mengajar akhlak mulia karena diketahui seluruh manusia secara umum, maka makna seperti yang kita bahas ini. Yakni tentang penyempurnaan akhlak-mulia itu, yaitu selain memberikan dasar-dasarnya yang benar dan kuat, seperti akidah dan keimanan, juga memberikan batasan-batasannya, seperti yang kita bahas tentang adil di atas itu. Yaitu, apa adil itu dan apa batasannya dimana tidak sampai ke masalah batin yang bermakna cinta. 

2- Bathin atau batin, jangan dimaknai ruh dan hati. Dalam perkawinan, ketika dikatakan belanja batin, maknanya adalah jimak yang juga bisa dihaluskan menjadi ”menginap” seperti yang kita bahas di atas itu. 

Tambahan Lagi

Ada lagi yang perlu ditambahkan di sini. Kalau bahasa ulama dan apalagi fikih, atau yang sedang menjelaskan hak-hak wanita dan keluarga, kalau memakai kata ”kecenderungan”, memiliki arti kecenderungan sex dan bahkan kadang memiliki makna jimak (bersetubuh). Karena itu, bagi penerjemah yang menerjemahkan buku-buku ulama, kalau dia sendiri tidak belajar di hauzah, sungguh akan menjadi teramat sulit dan sangat mungkin terjemahannya akan menyimpang dari maksud penulisnya. Karena itulah, maka kecenderungan kalau dalam masalah keluarga dan hakhak suami-istri, tidak bisa diterjemahkan dengan ”cinta”. 

Bagitu pula masalah kata ”batin”. ”Batin” ini, bukan berarti batin manusia alias hati dan cinta. Tapi maksudnya sex dan jimak walau, dengan melihat konsteknya memiliki makna lain. Tapi batin ini, tidak bisa diterjemahkan dengan ”cinta” seperti yang dikatakan sebagian teman itu. 

Wassalam. 

Anditenri Waru: makasih banyak ustadz, soal adil tentang cinta ana udah paham. Tapi afwan kalau bertanya kembali. Dalil pernyataan ustadz tentang ”adil bukan syarat syahnya poligami itu apa?” kemudian surah annisa ayat 3 itu mengatakan bahwa ”kalau kamu merasa khawatir tidak bisa berlaku adil maka nikahilah seorang saja. Apa ayat tersebut tidak mensiratkan bahwa adil merupakan syarat untuk melakukan poligami. Jadi ketika laki-laki ini tidak mampu berlaku adil atau ragu untuk berlaku adil, maka laki-laki wajib untuk tidak melakukan poligami. Mohon penjelasannya kembali ustadz. 

Sang Pencinta: AW: aturan hukum dalam Islam (AB) atas segala sesuatu untuk Syi’i tingkat mukalid adalah fatwa marja, bukan langsung ke ayat Qur'an, hadis, sejarah atau yang lain-lain. Apa yang disampaikan ustadz adalah fatwa marja, Fikih (fatwa marja) tidak hanya tentang sholat, puasa, khumus tapi seluruh aspek dalam hidup termasuk masalah poligami ini. Di paragraf terakhir di komen ustadz di atas sudah ditegaskan tentang hal ini. 

Sang Pencinta: untuk bahasan poligami, 

http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/273260719385398/, 

http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/294547793923357/, 

http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/295769370467866/, 

http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/326160120762124/, 

http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/385455331499269/ 

Anditenri Waru: Terima Kasih. 

Khommar Rudin

اللَّهُمَّے†صَلِّے†عَلَى†مُحَمَّدٍ†وآلِے†مُحَمَّدٍ†وعَجِّلْے†فَرَجَهُمْے

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ