Tampilkan postingan dengan label Ulama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ulama. Tampilkan semua postingan

Senin, 30 Desember 2019

Wilayatul Faqih (seri 2)


Oleh: Ustad Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068?view=doc&id=217520644959406 Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 13 Juli 2011 pukul 16:11


Muhammad Ali: Salam, bagaimana menurut antum wilayatul fagih (rahbar) apakah beliau dipilih dengan musyawarah atau ditunjuk oleh yang mempunyai otoritas tertinggi saat ini yaitu imam Mahdi Alaihissalaam.

Kalau beliau dipilih secara musyawarah, dimana konsep imamahnya? Dan berarti juga beliau “tidak wajib” diikuti.

Kalau beliau ditunjuk oleh yang mempunyai otoritas tertinggi saat ini yaitu imam Mahdi Alaihis- salaam, berarti beliau ma’sum pada tingkatan beliau dan wajib diikuti.

Indikasi apa kita sebagai awam meyakini saat kemunculan Imam Mahdi (semoga kita termasuk dalam barisannya).

Sabtu, 28 Desember 2019

Sekilas Tentang ‘Allaamah Thaba Thabai ra dan Tabarruk


Seri tanya jawab Sang Pencinta dengan Sinar Agama November 2, 2013 at 5:20 pm


Sang Pencinta: (23-4-2013) Salam, Mas Fahmi Husein bertanya, menurut cerita beliau RA (Allamah Thathaba’i) bercelak dengan debu peziarah, dan kepandaian/kejeniusan beliau RA didapat karena dipeluk oleh Imam Zaman AFS? Terimakasih bersama Sinar Agama.


Agoest D. Irawan, Zahra Herawati Kadarman, Yoez Rusnika dan 9 lainnya menyukai ini.


Armeen Nurzam: Menyimak.

Tebe TB: Ikut.

Fahmi Husein: Sang Pencinta; kok fotonya tidak di ikut sertakan? Takdzim.

Yoez Rusnika: Menyimak.

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

Sepertinya saya sudah pernah menceritakan tentang ‘Allaamah Thaba Thabai ra. Beliau termasuk seorang yang kurang cerdas hingga dalam belajar kitab paling dasar bahasa Arab di hauzah, yaitu al Juruumiyyah, yang biasanya selesai dalam beberapa bulan saja, dipelajarinya dalam tiga tahun dan, itupun belum paham-paham dengan baik. Tapi beliau ra, jangankan dosa, hal-hal yang tidak perlu, juga tidak dilakukan. Setelah sekitar umur 16 tahun (kalau tidak salah ingat), beliau ra memimpikan Nabi saww dan mengeluhkan keadaannya serta minta disyafaati supaya bisa lebih baik. Nabi saww mengatakan bahwa telah membantunya sejak umur 14 tahun (seingatku). Beliau ra pun, mengingat-ngingat apa yang terjadi pada tahun itu. Beliau ra ingat, bahwa tahun itu, tahun pertama beliau ra memakai serban.

Sebagaimana maklum, memakai serban untuk para pelajar agama, biasanya dilakukan melalui peresmian dalam upacara nasihat dan doa oleh para ulama besar.

Hikmah Cerita:

Biasanya guru-guru akhlak sering membawakan cerita hikmah dari para tokoh. Dari cerita beliau ra di atas, biasanya penekanannya kepada menjauhi dosa dan hal-hal yang tidak perlu. Karena itu, dikatakan, sejak kecil ‘Allaamah Thaba Thabai ra, kalau berjalan di jalan, selalu menundukkan kepala supaya tidak menengok dosa dan supaya tidak menengok apapun yang tidak perlu, seperti melihat barang di toko padahal tidak mau membelinya.

Itulah yang dikatakan para pembesar ulama seperti imam Khumaini ra dan ayatullah Jawodi Omuli hf dan yang lainnya, bahwa hati/akal itu harus disehatkan dulu sebelum ditumpahi ilmu agama karena kalau tidak, maka sekalipun mendapatkan ilmu agama, maka akan digunakan untuk jalan dunia, bukan akhirat. Dan, kalau sudah disehatkan, yakni akalnya difungsikan supaya dapat mengontrol daya-daya lainnya seperti khayal, nafsu dan seterusnya, maka ia akan mendapat pertolongan Allah dalam memahami banyak hal dan, akan mendapat kekuatan lebih untuk lebih mengontrol daya-daya ruh lainnya itu.

Jangan Salah Paham:

Dengan semua uraian itu, janganlah memahami cerita ajib atau karamah di Syi’ah, seperti sewaktu kita di Sunni yang mau terbang dengan kemalasan belajar dan hanya bertabarruk dengan ini dan itu lantaran percaya takdir Tuhan atas nasib manusia. Jalan dalam semua karamah dan keajaiban itu, adalah jalan Islam. Tidak lebih. Yaitu, usaha dalam mewujudkan potensi dalam diri dengan taqwa (menjauhi semua dosa dan melakukan semua kewajiban), lalu setelah itu barulah ia layak mendapatkan apapun pertolongan itu. Sementara salah satu jalan taqwa itu, yaitu yang menjauhkan kita dari dosa itu, adalah belajar fikih atau akidah dan mengamalkannya.

Karena itu jiwa tabarruk itu jangan dipahami negatif, yakni datang pada orang yang tidak potensial. Tapi harus dipahami secara positif, yaitu datang pada orang yang potensial. Tentu saja, kalau hanya pahala, maka dengan tabarruk sudah bisa didapatkan. Karena tabarruk itu sudah menandakan keimanan pada yang ditabarruki dan tawadhu padanya serta mencintai yang dicintai Tuhan. Semua ini, sudah cukup mendatangkan pahala. Tapi untuk hajat-hajatnya, seperti pandai, cerdas, taqwa, dan seterusnya harus dilengkapi dengan usaha keras melakukan semua mukaddimah-mukaddimahnya atau prasyarat-prasyaratnya, seperti belajar, menjauhi dosa, dan seterusnya sesuai dengan berbagai ragam hajat yang diinginkan dari tabarruk itu.

KARENA ITU, TABARRUK BUKAN INGIN MEMBUAT MANUSIA MENJADI MALAS. TAPI SEBALIKNYA, INGIN MEMBUATNYA OPTIMIS, BANGKIT DAN MELAMPAI (mencontoh) YANG DITABARRUKI UNTUK MENCAPAI HAJAT-HAJATNYA DI DUNIA INI ATAU DI AKHIRAT KELAK.


Penutup:


Cerita di atas, saya dengar sendiri dari guru akhlak saya walaupun mungkin saya bisa saja salah ingat dalam beberapa rinciannya. Dan, sudah tentu cerita itu tidak menolak adanya cerita lain tentang tabarruk beliau ra itu. Yang penting memahami kejiwaan dari makna tabarruknya.

Tambahan:

Kalau tidak salah ingat, beliau ra, dalam banyak puasanya, berbuka dengan debu yang menempel di maqam dari hdh Faathimah Makshuumah ra yang ada di Qom. Wassalam.


Fahmi Husein: Sinar Agama; Syukron atas penjelasannya, ada juga hubungan Sunni dan Syi’ah dalam cerita beliau RA? Afwan, debu (tanah yang dimaksud?) dalam fiqih Syi’ah tidak haramkah di konsumsi (buat berbuka)? Afwan, atau antum tidak salah dengar mungkin di pakai bercelak?

Sinar Agama: Fahmi: Yang haram itu tanah yang dikatakan tanah. Bukan atom-atom tanah yang tidak terlihat mata tapi hanya terlihat akal yang menempel di maqam kuburan. Karena maqam itu selalu dipegang orang dan diciumi. Jadi tidak pernah terlihat ada debunya. Kalau sampai ada terlihat debu, maka haram dimakan. 

Wassalam.




اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ


Minggu, 28 April 2019

Beda Ulama dan Ustadz


Seri tanya jawab Sang Pencinta dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 10:12 am

Sang Pencinta: 6 Maret 2013, Salam, secara asal kata dan istilah, apakah definisi ulama’, apakah ulama sama dengan ustadz? Kapan ulama ini layak/bisa disandangkan pada seseorang? Terima kasih ustadz. — bersama Sinar Agama. 

Apakah penyandangan ulama disandarkan pada akademisi atau syarat-syarat spesifik? 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Ulama (baca: Ulama Islam) menurut idiomnya dan istilahnya tentu diberikan kepada orang yang secara spesifik mempelajari agama Islam secara lama dan sampai ke tingkat tertentu yang secara ‘uruf (‘urf) dan peristilahan para ahli agama, dapat dikatakan sebagai ulama. 


Ustadz (baca: Ustadz agama) adalah para guru dan pengajar agama dengan segala bidang dan latar belakang serta tingkatannya. Misalnya ustadz tajwid, ustadz qiraat, ustadz bahasa arab, ustadz hadits kitab awal/ mukaddimah, ustadz ushulfikih kitab awal/mukaddimah atau pertengahan atau tingkat tinggi...dan seterusnya. 


Jadi, ulama menguasai semua atau banyak ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan agama Islam sekalipun tidak mengajar dan tidak menulis. Tapi ustadz, belum tentu menguasai semua ilmu dan sangat belum tentu menguasai satu bidang ilmu yang di tingkat pertengahan sekalipun. 

Singgih Djoko Pitono: Hari ini banyak yang menyandang sebutan ustadz, baru nyadar setelah penjelasan di atas, bahwa ustadz itu memang bukan ulama... Tetapi anggapan umum mengatakan bahwa ustadz itu didefinisikan seperti penjelasan “ ulama” di atas. 

Susi Noorhayati: Assalamualaikum ustadz Sinar Agama, afwan mau tanya ustadz. Bagaimana caranya agar seorang murid bisa berada di dalam hatinya sang guru?? Dan bagaimana pula kita mengetahui bahwa seorang murid telah berada di dalam hati gurunya?? Mohon penjelasannya ustadz!! 

Sinar Agama: Susi: Guru tidak akan pernah meletakkan muridnya dalam hatinya kecuali dalam arti ingin melihat muridnya bahagia dengan ketaqwaan dunia-akhirat. Dan murid yang benar, tidak mengharap apapun dari gurunya kecuali ingin selalu dalam taat yang diajarkan gurunya dunia-akhirat. 

She Lha: Ana cinta om Sinar Agama. 

Panda Bms: Asalamu’laikum wr wb, salam,? Betulkah bagi siapa yang ingin masuk surga bagi umat muslim beragama islam harus mencintai Rasulullah Nabi Muhammad saw & Keluarganya? Mohon dijelaskan makasih? Tolong jawab untuk Sinar Agama? 

Sinar Agama: Panda: Ketika setiap muslim diwajibkan bershalawat dalam shalatnya kepada Nabi saww dan Ahlulbaitnya/ keluarganya, maka sudah pasti ada maksud di dalamnya. Yaitu wajib menyintai dan menaati serta mencontohnya. Perintah ini juga ada di Qur'an dan ratusan di hadits-hadits Nabi saww. 

Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Minggu, 02 Desember 2018

Jubah Kholiq




Seri komentar terhadap tag-an Komar Komarudin oleh Sinar Agama
by Sinar Agama on Sunday, January 6, 2013 at 2:54 pm



Komar Komarudin: 9-11-2012, Kebebasan dalam berfikir dan memilih adalah harga MATI, jangan terjebak dalam satu komunitas/Golongan tertentu, sehingga memasung dalam mengutarakan pendapat. Doktrin berguna pada saat itu masuk dalam wilayah hukum-hukum yang mewajibkan hambanya untuk taat Pada Rasul dan Allah SWT. 

Allah SWT yang Maha segala-galanya tidak pernah memaksa hambaNya, bagaimana mungkin sang mahluk memakai jubah sang Kholik.... — bersama Muhsin Labib dan 2 lainnya. 


Mohammad Jesus Kristus: Foto di atas memiliki Aura “Kesejukan”, Herannya kalau di Indonesia Orang yang berkostum seperti foto di atas, anak-anak muda yang beraura “Fasik”. 

Faizal Haris: Ijin share Mas 

Zila Rahim: Salam, wajahmu tenang dan menentramkan jiwaku. 

Komar Komarudin: “Ya Allah panjangkanlah umurnya, sehingga kaum muslimin mendapatkan banyak manfaat dari apa saja yang menjadikan kami semua terbimbing dari kepemimpinan-MU menuju kebenaran yang hakiki”, Ilahi ya Rabb. 

Fibri Behesyti: Semoga Allah selalu menjaga beliau. Amiiin. 

Ajeg Sinau: @MJK, maksudnya yang dahinya diitemin dan berbaju gamis? 

Abu Mohsein Ahmad: Ya Allah peliharalah anak cucu Muhammad ini, dan panjangkanlah umur Rahbar, dan perkuatkan kaki-kaki kami untuk mempertahankan kebenaran Muhammadi dan kesucian Ahlul Bait, a.s 

Dul Siaga: Allahumma Sholli Alaa Muhammad Wa Aali Muhammad, Wa Ajil farojahum. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih tag-annya, terlebih dengan foto Sang Rahbar hf yang kita cintai besama. 

Sedikit komentar terhadap pemaksaan. Ada beberapa model pemahaman tentang pemaksaan dan penerapannya serta gaya-gayanya sehubungan dengan hal-hal yang berkenaan dengan Islam. Dan hubungan keduanya dengan keTuhanan. 

Model-model Pemaksaan

1- Memaksakan pandangannya kepada orang lain dengan kekerasan fisik. 

2- Memaksakan pandangannya kepada orang lan dengan pemboikotan. 

3- Memaksakan pandangannya kepada orang lain dengan kata-kata kasar, hardikan, cemoohan, lecehan, penjuluran lidah dan seterusnya. 

Model-Model Pandangan

1- Pandangan yang bermodel pemberian, yakni memberikan pandangannya kepada orang lain. 

2- Pandangan yang bermodel penolakan, yakni panolakan terhadap pandangan orang lain. 

Model-model Gaya Pemaksaan

1- Kasar dan kaku. Artinya, dalam memberikan atau menolak suatu pandangan, memakai retorika yang kasar (baca: pede banget) dan kaku hingga tidak memberikan kemungkinan akan kesalahannya, baik di dalam dirinya atau audiennya/umatnya. Kata-kata seperti “sesat”, atau “gila”, atau “tidak sehat akal”, atau “kaku”, atau “bid’ah”, atau “musyrik”, atau dan atau ... 

2- Argumentatis. Maksud argumentatif disini, bukan yang sesungguhnya, karena kalau sesung- guhnya, tidak akan pernah memaksakan pandangannya atau penolakannya kepada orang lain. Jadi, argumentasinya dan dalil-dalilnya, berupa dalil-dalil yang sebenarnya belum tuntas dan belum akhir dan, sudah tentu masih memiliki kelemahan sana-sini. Kelemahan-kelemahannya ini, biasanya tidak terlihat oleh murid-muridnya yang mungkin maqom ilmunya lebih rendah dari dirinya. Karena itu, cara ini, banyak sekali menjaring umat dan sering cara ini dipakai oleh orang yang tidak jujur dan tidak takut kepada Allah alias mengutamakan diri dan harga dirinya ketimbang Tuhan dan agamaNya. 

3- Akhlakis. Maksudnya bukan akhlak yang sebenarnya. Karena akhlak yang sebenarnya, kalau dalam ilmu, adalah dengan mengajukan argumentasi/dalil terbuka. tapi gaya ke tiga ini, sebenarnya penentang akhlak dengan corak akhlak. Jadi, trik yang dipakai adalah premis- premis akhlak yang sebenarnya tidak berhubungan dengan topik yang sedang dibahas dan dihadapinya. 

Kata-kata seperti “kita harus ikhlash kepada Tuhan”, atau “kita tidak boleh berjubah Kholiq”, atau “orang itu berjubah kholiq”, atau “kita tidak boleh mengotori malam qadr dengan kajian dan pembahasan ilmu yang mengutarakan perbedaan”, atau “Acara ritual tidak boleh dicampur dengan kajian dan politik”, atau “masjid bukan tempat politik tapi tempat ibadah”, atau “asyura bukan tempat membahas perbedaan”, atau “kita jangan mengotori hati dengan bedebat”, atau “kita harus takut kepada Allah”, atau “kita harus meniru makshumin”, atau “kita harus menghormati para marja’”, atau “kita harus menghormati dan menaati Rahbar hf”, atau ..........atau...........dan atau...... 

4- Irfanis. Maksudnya bukan irfan yang hakiki, karena kalau irfan yang hakiki, sudah tentu dalam membahas ilmu dan pandangan-pandangannya harus tuntas dan karenanya harus terbuka. Karena yang dikejar adalah kebenaran sebelum mengaplikasikannya, bukan mengokohkan pandangan atau penolakannya. 

Gaya ke 2-4 ini, sering berhasil menjaring dan menipu umat. Karena secara umum, masyarakat kurang menggunakan akalnya dalam menghadapi masalah. Kalau ngaji dan diskusi dengan lingkungannya, mungkin cerdas dan mengutamakan akal. Akan tetapi, ketika berdiskusi dengan orang atau kelompok lain atau menghadapi masalah-masalah kehidupan dan pene- rapan, maka perasaan dan seleranya yang didahulukan dari akalnya. 

5- Puitis. Disini, keindahan natural dari sebuah puisi, dimanfaatkan untuk mencapai hal-hal yang tidak natural, yaitu pemaksaan dalam pemberian atau penolakannya terhadap suatu pandangan atau teori. Orang-orang yang lebih menguatkan perasaan, rasa dan khayalan, akan banyak terjebak dalam keindahan puisi ini hingga terseret kepada pahaman yang diembannya itu. Kata-kata indah seperti “Jubah Khaliq” akan sangat mampu menjebak orang ke dalam perangkat kejumudan. Tentu kalau digunakan dengan maksud pemaksaan tersebut, walau secara lahiriah dalam rangka menolak pemaksaan itu sendiri. 

6- Tangisan. Oh......air mata ini adalah jalan yang termasuk canggih untuk menipu diri dan orang lain. Dikira, air mata itu bukti kebenaran dan ketidakjumawaan. Padahal air mata yang menolak kebenaran, adalah kesombongan yang nyata selain, tentu saja, keriya’an yang menjijikkan. Tangisan, yang tersalur di bawah pimpinan akal, merupakan tangisan yang menyelamatkan. Akan tetapi air mata ini, lebih palsu dan berbahaya dari pada air mata buaya. Karena yang mau ditipu, bukan hanya seorang wanita/lelaki, akan tetapi dirinya sendiri, umat, agama dan bahkan Tuhannya. 

Keterangan

  1. Pembagian-pembagian di atas itu, mungkin tidak jami’ dan mani’, artinya tidak mencakup semua bagian-bagiannya dan tidak menolak masuknya bagian-bagian lain ke dalamnya.
  2. Komentarku ini, hanya sekedar adanya suatu lintasan yang melintas di benakku yang ku- khawatirkan tidak terlintas di benak sebagian teman. Karena itu, kadang ketika seseorang ditekan atau ditindas orang lain seperti ditekan wahabi, ia berteriak-teriak sebagai mazhlum/ tertindas, tapi kadang ketika ia sendiri menghadapi orang lain yang lebih lemah atau kelompok lain yang lebih sedikit, maka ia sendiri tidak beda dengan si wahabi itu. Kasar dan jumawa.
  3. Pemaksaan pandangan, biasanya selalu tergambar dengan pemberian pandangan. Padahal, sesuai dengan kenyataannya, dan sesuai dengan pembagian di atas itu, bisa juga berupa penolakan. Karena itu, pemaksaan ini, bukan hanya bisa berupa pemberian, akan tetapi juga bisa berupa penolakan.
  4. Dalam keadaan seperti di atas itu, maka akan sangat sulit bagi kita untuk selamat. Keindahan kata, ayat, hadits, akhlak, kelembutan sikap, ketawadhuan lahiriah, sopan santun dan seterusnya. 
Jalan Selamat: 

1- Kita tidak boleh memancing atau terpancing dan apalagi memberikan reaksi, terhadap apa- apa yang kita sukai atau kita benci (tidak suka). Karena kalau terpancing karena hal ini, jelas akan membuat diri kita keluar dari jalan ilmu dan kebenaran. Jaminan keluarnya itu, atau setidaknya kesangat mungkinan keluarnya itu, disebabkan karena dalam kondisi seperti ini, yang mana rasa/perasaan diutamakan, maka jelas akalnya dijauhkan atau setidaknya dikotori dengan rasa/perasaannya ini. Dan, kalau akal sudah diliburkan, maka apa lagi yang bisa diharapkan untuk dijadikan pegangan membedakan yang benar dan salah secara hakiki, bukan hanya sekedar islami secara lahiri. 

2- Akal adalah satu-satunya jalan keselamatan. Karena akal ini, diberikan Tuhan sebelum Ia 
memberikan agamaNya yang meliputi akidah, hukum, akhlak dan semacamnya itu. Jadi, kalau tidak ada akal, sudah pasti tidak akan penah ada yang namanya agama. Nah, ketika demikian halnya, maka mengapa akal ini sekarang bisa ditipu dengan hanya atas nama agama???!!! Mengapa kecerdasannya menjadi tumpul hanya dengan menghadapi nama-nama, Tuhan, Nabi saww dan Ahlulbait as???!!! 

Dulu, sebelum memilih Islam (bagi yang muallaf), cerdas menimbang hingga menentukan pilihannya kepada agama Islam. Nah, sekarang, ketika ada perbedaan di dalam Islam itu sendiri, mengapa menjadi tumpul dan tertipu hanya atas nama Islam itu juga? 

Dulu, sebelum menjadi Syi’ah, sangat hati-hati berdiskusi dan sangat cermat hingga tidak bisa tertipu dengan hanya pengajuan ayat-ayat, hadits-hadits makshumin as. Lah sekarang ketika sudah menjadi Syi’ah, mengapa akalnya menjadi tumpul dan mudah tertipu hanya karena pengajuan ayat-ayat, hadits-hadits makshumin dan hanya karena ustadznya seorang Syi’ah, cendikiawan, alumni hauzah, sarjana dan seterusnya. 

Padahal, semua itu, secara langsung tidak ada hubungannya dengan ilmu dan penyelesaian perbedaan pendapat dan pandangan, karena yang berhubungan, jelas dalil dan argumentasinya. Memang, kealiman atau keilmuan seseorang menjadi petunjuk bagi penguasaannya dalam bidang yang ia tekuni itu. Akan tetapi, ketika ada perbedaan pendapat, maka jelas semua embel-embel selain argumentasi itu sendiri, tidak bisa dijadikan pedoman untuk memilih salah satu dari pandangan-pandangan yang berbeda tersebut. 

Karena itulah, maka seorang alim yang tulus, akan tetap mengutarakan pandangannya dengan argumentasi dan dalil, serta akan malu meneriakkan titelnya dalam membela pandangannya. Seorang guru yang bijak dan arif, akan tetap memaparkan pandangannya dengan dalil dan akan malu meneriaki muridnya yang dari awal sudah jatuh mental itu. 

Penutup

Jangan sampai salah paham dengan tulisan di atas hingga mengatakan bahwa saya sudah meremehkan ayat, hadits, agama, Tuhan dan makshumin as. Na’udzubillah. 


Ayat-ayat, hadits-hadits, puisi, irfan, akhlak, tangisan, munajat, dan seterusnya itu jelas dapat digunakan untuk jalan kebenaran. Akan tetapi, setelah meluruskan akal kita dan membersihkannya dari pengaruh rasa dan perasaan. Karena kalau tidak, maka kita akan menjadi pembeli ayat- ayat dan syi’ar-syi’ar Tuhan dengan harga yang teramat sedikit, yaitu demi diri kita sendiri, baik langsung atau tidak langsung (seperti keluarga, kelompok dan seterusnya). Allah swt berfirman: - QS: 2: 41-42: 


“Dan berimanlah kalian kepada apa-apa yang telah Kuturunkan dimana membenarkan yang telah ada bersama kalian dan janganlah kalian menjadi orang yang pertama yang mengingkarinya dan janganlah kalian beli ayat-ayatKu dengan harga yang sedikit serta bertaqwalah kepadaKu (41). Dan jangan bungkus kebenaran itu dengan kebatilan dan janganlah menyembunyikan kebenaran sementara kalian menyadarinya!” 

- QS: 5: 44: 


“...., maka janganlah kalian takut kepada manusia dan takutlah kepadaKu serta jangan beli ayat- ayatKu dengan harga yang sedikit (murah), dan barang siapa yang tidak menghukum dengan apa-apa yang telah diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir” 

Ringkasan Dalam Satu Kalimat

Ikutilah dalil yang terbuka dan waspadailah dalil-dalil yang nyelip-nyelip dan menyelinap-nyelinap di gang-gang universitas semesta, serta tekan kuat-kuat gejolak rasa dan perasaan hingga akal kita menjadi jernih dan tanpa pamrih dan dapat memahami kebenaran itu dengan mudah, baik yang dicuatkan melalui rangkaian kata-kata argumentasi, rangkaian keindahan semesta alam ini, rangkaiana ayat-ayat, hadits-hadits, munajat-munajat, kidung-kidung, puisi-puisi dan tangisan ratapan ke hadiratNya. 

Wassalam. 


Khommar Rudin: Allahumma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad 

Komar Komarudin: @ S A: Syukron Jazilah atas uraian/penjelasan yang mendalam terhadap status di atas, pandangan dunia tauhid yang argumentatif, dari sisi sosial masyarakat yang hetorogen, budaya, karakter dan lain-lain. Paramaternya jelas (akal) cara mensikapi Daya TOLAK dan daya TARIK, terhadap sebuah persoalan. 

Dul Siaga: catatan S.A, sebagaimana Imam Ali as, menghadapi LAWAN dan KAWAN senantiasa mengedepankan kepentingan umat, ketimbang pribadi dan keluarganya. Persoalanya adalah, apakah sesuai tanggung jawabnya, dan apakah pemikiran dan argumen yang kita bangun itu memang kehendak hukum Allah SWT, atau hal lain, tentu saja perlu ilmu yang mendalam untuk menilainya. Akal itu sendiri adalah karunia atau potensi yang diberikan kepada setiap manusia, tapi ketika dikembalikan ke masing-masing hambanya dan teraktual akan menjadi beda dalam penerapannya, artinya akal itu sendiri masih relatif sesuai fungsi-fungsinya pada saat diaplikasikanya 

Artinya, tidak cukup dengan akal saja sebagai parameternya, tapi harus terstruktur dan terbimbing berdasarkan proposal-proposal yang diajukan atas nama kebenaran hakiki (Agama), dan lebih mendalam lagi adanya pembawa kebenaran hakiki itu terwujud asli yang dapat menjawab persoalan-persoalan masyarakat, dan masyarakat itu sendiri menyambut dan menerima keberadaanya secara totalitas, tanpa itu menurut hemat saya, claim-claim atas nama golongan/ komunitas dan lain-lain. Sudah hampir pasti tanpa disadari bermuara kepada kepentingan kelompok/golongan, dengan kata lain “politik hewani”, afwan Ustadz mungkin komen ana terlalu jauh, kalau ada yang melenceng tolong diluruskan 

Sinar Agama: Dul S: Antum ini mungkin belum memahami yang saya tulis. Kalau semua dengan nama agama menjadi selesai, Tuhan lebih mudah dari awal menyelesaikan masalah umat ini. Bagaimana tidak, Dia yang diterima semua orang sebagai Tuhan (setidaknya bagi muslim), Dia Yang Maha Tahu, Dia yang punya surga-neraka, Dia yang melihat dan mendengar semua perbuatan manusia, Dia yang menurunkan Rasul-rasul as, Dia yang menurunkan imam-imam makshumin as, dan seterusnya. Akan tetapi, kapan Tuhan pernah berhasil dalam arti keseluruhan dan tuntas? Bukankah umat ini sejak dari nabi Adam as ya....selalu begini, yakni bisa dikatakan lebih banyak yang tidak baiknya? 

Nah, kalau Tuhan saja tidak bisa membuat manusia ini menjadi baik, lah apalagi kita yang hanya mengatasnamakan agamaNya? 

Mengapa wahabi itu sulit diperbaiki? Karena mereka meyakini sampai ke tulang sumsumnya sesuatu yang sebenarnya bersifat khayalan dan tidak ada ilmiahnya sama sekali, yaitu meyakini seratus persen di jalan Tuhan. Artinya, mereka benar-benar membuat jauh-jauh apa-apa selain agama Tuhan sekalipun itu dikatakan akal atau apapun juga. Inilah yang dalam sejarah Islam dikatakan ahlulhadits, salaf, wahabi dan seterusnya. 

Dengan demikian, pengatasnamaan agama, kemerasamerujukan kepada agama dan bahkan Yang Memiliki Agama itu sendiri, tidak bisa membuat kita menjadi benar dan menjadi baik. 

Mungkin ada orang berkata: “Uwwah si sinar agama yang Syi’ah bukan hanya mengatakan bahwa nabi-nabi as itu gagal, tapi Tuhan juga gagal.” 

Pernyataan ini, karena mereka masih merasa bahwa agama yang mereka pahami itu benar adanya. Jadi, mereka yang dengan seluruh lapisannya, baik yang tidak sekolah, yang SD, yang SMP yang SMA yang universitas, yang kiyai, yang ustadz dan seterusnya, merasa benar memahami agama. Memang, kalau ditanya secara sadar “apakah ilmu merkea sudah lengkap tentang Islam dan pasti benar/makshum?”, mereka pasti akan menjawab “Tidak”. Akan tetapi, dalam kehidupan, mereka mengamalkan kemakshuman mereka itu. Karena itu, mereka secara rata (padahal berbagai derajat pendidikannya), akan menanggapi setiap persoalan dengan meyakinkan dan mengatakan yang ini benar/Islam dan yang itu salah/bukan-Islam, yang ini hidayah dan itu sesat dan seterusnya. 

Karena itulah, bagi mereka yang Namanya Tuhan dan para nabi as, harus sukses dan tidak boleh salah hingga kalau ada yang berkata sebaliknya maka ia telah kafir dan melecehkan Tuhan dan para nabi as itu. Terlebih kalau mereka bergaya hidup dengan rukun iman “Apapun telah digariskan Tuhan”, wah....tambah berabe/hancur. Karena dari satu sisi akan mengatakan bahwa Tuhan dan para nabi as itu pasti berhasil dalam mendidik umat, di sisi lain, yang berbunuh- bunuhan dari umat nabi as seperti shahabat Nabi saww, sama-sama hebat, sama-sama benar, harus ditiru dengan baik dan sama-sama diridhai Tuhan di surga dan seterusnya. 

Akal mereka tidak akan pernah dibuka untuk mengerti kekontrasan dua proposisi: “Tuhan dan para nabi as pasti benar dalam mendidik manusia” dan “Kegagalan manusia/umat yang nyata dalam sepanjang sejarah agama dan kenabian”. Mereka sangat-sangat tidak mampu memecahkan masalah yang sangat sederhana ini. Mengapa? Karena mereka sangat menyanjung agama dan menepis semuanya terlebih yang namanya akal. 

Kata-kata: “Agama adalah tempat kembali manusia”, atau “Agama dari Tuhan karenanya lebih unggul dari semua pemikiran”, atau “Agama adalah tempat kembalinya akal.”, atau “Agama adalah pemecah hakiki dan bukan akal yang relatif.”, atau “Agama dari Tuhan dan pemikiran akal dari manusia”, atau “Agama adalah pembimbing akal.” , atau “Akal tanpa bimbingan agama akan sesat.”, atau “Agama adalah kebenaran hakiki dan akal adalah kebenaran relatif dan hewani”, dan seterusnya adalah pernyataan yang sangat indah dan mempesona hingga berabad tahun yang lalu dan ke depan, akan tetap menelan korban dari kebanyakan manusia dimana kebanyakannya justru umat yang beriman. 

Mengapa demikian? Karena ia tidak menyadari dan tetap tidak mau menyadari bahwa agama yang ia pahami itu adalah hasil dari akalnya sendiri. Dia mengira, kalau sudah agama, kalau sudah ayat, kalau sudah hadits shahih, kalau sudah hadits mutawatir, kalau sudah Nabi saww, kalau sudah imam makshum as, kalau sudah imam Khumaini ra, kalau sudah Rahbar hf, kalau wilayatulfakih, dan seterusnya sudah pasti benar, harga mati, kebenaran hakiki, tanpa kepentingan, dan seterusnya. Padahal, yang ia pahami dan yakini sebagai ayat, hadits, Nabi saww, para imam as, para marja’, wilayatulfakih, Rahbar hf, imam Khumaini ra, tanpa kepentingan, agamis dan tidak hewanis dan seterusnya itu, adalah seuatu kenyataan yang ada dalam bayang akal dia sendiri. Inilah yang saya mungkin sering katakan “Ingin menjadi Tuhan”. Gaya hidup seperti ini, biasanya dimiliki wahabi dan umat lain yang bergaya hidup seperti mereka termasuk sebagian teman Syi’ah di Indonesia ini (semoga antum tidak seperti itu walau hal itu tercium dari tulisan antum tersebut, amin). 

Premis-premis atau proposisi-proposisi atau statement-statement seperti “Tuhan adalah segala- galanya.”, atau “Agama adalah kebenaran hakiki dan tempat kembalinya akal” dan seterusnya dari kalimat-kalimat di atas itu, memang merupakan proposisi yang benar. Ini persis dengan pertanyaan Sarboz Osemon tentang pendahuluan akhlak kubro terhadap akhlak sughra yang namanya fikih. Artinya, tanpa penerapan ke premis kecilnya, sama sekali tidak akan menghasilkan apa-apa. 

Misalnya, “Agama adalah tempat kembalinya akal”. Nah, terus mau apa? Apakah kalau kita buka Qur'an, lalu itu agama? Bukankah Qur'an yang kita pahami, hadits yang kita pahami, wilayatulfakih yang kita pahami dan seterusnya itu merukan pahaman akal kita? Lah, kalau akal kita ini harus dikembalikan ke agama, lalu pemahaman agamanya juga tergantung kepada akal kita dan kecerdasannya, maka adalah keberputar-putaran lebih jelas dari hal ini? Adakah kekusutan melebihi kekusutan cara berfikir ini? Mengapa sangat sulit menerangkan yang sangat sederhana ini? 

Karena itu, untuk melepaskan diri dari kepentingan apapun, maka harus ikut dalil akal dan menjauhi selainnya sekalipun itu atas nama agama itu sendiri. Karena sering kali, agama ini, dijadikan tumbal bagi pemahaman akal seseorang yang sangat sempit dan kebodoh-bodohan dalam memahami agama, tapi sok pada dan mengatakan “Inilah agama”, “Ini ayatnya”, “Ini haditsnya”, “Ini fatwa Rahbarnya” dan seterusnya. 

Ayatullah Jawadi Omuli hf, sering menyampaikan keherannya (tidak dalam kalimat langsung) tentang orang-orang yang mengkontrakan akal dan Qur'an (agama). Karena akal, bukan untuk dihadapkan kepada agama atau bukan untuk dibandingkan dengan agama atau diadu dengan agama. Akan tetapi, ia adalah dasar memahami agama itu sendiri. Artinya, tanpa akal (maksudnya yang argumentatif dan bukan akal-akalan), maka manusia seperti hewan yang sama sekali tidak akan memahami ajaran agama itu sendiri. 

Beliau hf mengatakan (ini bukan untuk ditaqlidi, sekedar menukilkan salah satu petuah-petuah hikmah/argumentatif-nya) bahwa “Akal dan agama itu adalah sama-sama alat untuk memahami hakikat dan jalan hidup.” 

Jadi, ketika Tuhan mencipta alam semesta ini dan manusia di dalamnya, maka karena manusia memiliki akal, mestilah ada tanggung jawabnya. Karena itu, Tuhan mengurai tentang alam dan tanggung jawab manusa ini di alam ini. Uraian Tuhan inilah yang dikatakan agama. 

Nah, akal sendiri, sangat mengetahui hal itu. Yakni bahwa karena ia dicipta Tuhan dan memiliki akal, maka ia harus hidup sebagaimana layaknya makhluk berakal dan tidak hidup seperti hewan. 

Inilah yang dikatakan sebagai tangung jawab itu. 

Banyak sekali hakikat yang diurai agama, sebenarnya bukan penguraian sebagai penjelasan, akan tetapi penguraian sebagai pengingatan. Yakni mengingatkan kepada yang sudah diketahui manusia. Karena itulah, salah satu nama agama itu adalah sebagai peringatan atau pengingat. Karena itu Nabi saww dikatakan sebagai Mudzakkir/ Pengingat. 

Memang, dalam beberapa hal, terutama yang berupa ghaib seperti akhirat, walaupun akal dapat tahu secara globalnya, akan tetapi untuk mengetahui rinciannya, akan terasa sulit. Begitu pula tentang rincian-rincian dan detail-detail tanggung jawab di dunia ini. Karena itulah Tuhan menurunkan agamaNya untuk merincikan semua tanggung jawab dunia itu dan hal-hal ghaib akhirat. 

Tapi ingat, Tuhan menurunkan agamaNya itu bukan dengan tujuan membunuh akal dan mele- cehkannya sebagai kepentingan hewani, tapi justru menurunkannya untuk membimbing akal tersebut hingga menjadi paham dan benar menjadikannya akal yang sempurna dan keluar dari akal-akalan yang diatas namakan kebenaran dimana justru yang seperti inilah yang layak dikatakan sebagai “kepentingan hewani”, walau bersembunyi di ketiak agama. 

Nah, ketika Tuhan menurunkan agamaNya untuk dipahami akal, maka disinilah kita mesti memaksimalkan daya tangkap agama ini. Yaitu akal kita. Karena itulah, kita tidak boleh sama sekali mengatasnamakan agama hanya karena kita memahami agama tersebut seperti itu. 

Jadi, satu-satunya tempat kembali dalam memahami masalah, termasuk dalam memahami agama itu sendiri, adalah akal semata. Dan akal, sudah tentu adalah yang benar-benar akal, bukan yang akal-akalan dan abu-abu. Yakni harus berupa akal argumentatif, gamblang, terbuka, teruji di atas ring dunia/umum seperti fb ini (bukan teruji di depan murid-muridnya yang memang sudah kuduk/tunduk duluan dari awal dan sering menjadi korban pembodohannya dengan berbagai tangisan, kekhusukan, anjuran akhlak, sopan santun dan seterusnya di mana tidak ada hubungannya dengan pencarian kebenaran secara langsung dan bahkan dimaksudkan untuk menutupi kesalahannya dan kebodohannya, baik sengaja atau tidak, baik langsung atau tidak). 

Hanya kepada Allah kita harus berharap agar kita bisa benar-benar menjadi manusia yang manusia yang terbedakan dari makhluk lainnya, yaitu manusia berakal yang sempurna. Di mana akal ini jelas dua bagian: Akal-pahaman (untuk memahami masalah dengan benar melalui argumen yang jelas) dan Akal-aplikatif (yang menyuruh mengamalkan yang sudah benar dipahami), amin. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Sabtu, 01 Desember 2018

Dosa Ulama dan Orang Biasa



Seri tanya jawab Sang Pencinta dengan Sinar Agama 
by Sinar Agama on Saturday, January 5, 2013 at 3:22 pm


Sang Pencinta mengirim ke Sinar Agama: 2 November, 

Salam, apakah maksiat itu sudah mulai dihukumi dosa ketika baru sedetik saja memikirkannya? Terima kasih Ustadz. 


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: sudah tentu tidak seperti itu. Maksiat itu, sebelum dilakukan, belum dikatakan dosa. 

Mata Jiwa: Afwan nimbrung pak Ustadz, saya pernah baca bahwa para ‘alim akan dihitung sebagai dosa segala fikiran-fikiran buruknya, sementara untuk orang awam tidak, benarkah demikian? 

Sinar Agama: Mata: Dosa yang dimaksud, bukan dosa yang menyebabkan orang masuk neraka sebagaimana umumnya dosa, akan tetapi dosa yang berarti buntut. Karena dzambun asal kata dari buntut. Jadi, dosa yang memasukkan orang ke neraka itu dikatakan buntut, karena merupakan buntut dari perbuatan maksiat atau melanggar Tuhan. 

Nah, buntut yang dimaksud di pertanyaan antum itu, adalah akibat secara mutlak, bukan neraka. Karena itu, harus dipahami oleh penerjemah maksud kata-kata Tuhan, Nabi saww, imam makshum as dan para alim. Tidak bisa sembarangan menerjemah. 

Jadi, yang dimaksud buntut dari pikiran jahat pada ulama, adalah buntut yang bukan neraka. Akan tetapi buntut lain yang tidak layak dimiliki oleh para ulama, seperti buntut memikirkan dunia, kurang berakhlak pada Tuhan dan seterusnya. Bayangkan saja, bagi ulama, Tuhan itu kan semestinya selalu dirasakan kehadiranNya. Nah, dalam keadaan harus dirasakan kehadiranNya itu, masih sempat-sempatnya ia berfikir untuk menentangNya? Kan ini sudah kekurangakhlakan kepadaNya? Beda dengan orang umum yang biasanya tidak merasakan kehadiranNya. Disitu, kalau ia berfikir untuk maksiat, maka tidak terlalu kurang ajar kepadaNya. 

Walhasil, kedua pikiran maksiat itu, belum masuk maksiat, baik dilakukan oleh orang awam atau ulama. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ