Tampilkan postingan dengan label Pendidikan Hauzah Qom Iran. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan Hauzah Qom Iran. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 20 April 2019

Jangan Berpetuah Kalau Bukan Dari Marja’ dan Hakikat Syi’ah


Seri status Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 8:56 am

Sinar Agama: Rabu (27-2-2013) Bismillaah: Pemberitahuan Yang Tidak Memaksa:

Dengan sangat terpaksa sekali saya ingin mengumumkan sesuatu yang saya sendiri sangat tidak menyukainya. Akan tetapi, akal dan agama yang menjadi taruhannya. Mungkin juga tidak terlalu serius, tapi penting untuk diketahui bersama. Lagipula, semua ini sudah jelas diketahui bersama, akan tetapi mungkin kurang fokus saja masalahnya. Yaitu:

Saya mengingatkan diri saya sendiri dan semua teman-teman Syi’ah lainnya, baik yang rada liberal atau tergolong pesantrenan,agar:

“Hendaknya jangan memberikan ultimatum atau pedoman hidup apapun tentang kewajiban agama atau anjurannya yang tidak wajib sekalipun atau larangannya, dari kocek sendiri (ide atau ayat-riwayat). Tapi ambillah dari fatwa marja’-nya.”

Dan untuk para audien: “ Hendaknya jangan membiasakan diam dalam menghadapi semua itu dan menganggapnya sudah paten benar atau suatu kebenaran. Karena kewajiban kita semua adalah mengikuti marja’, bukan tokoh atau yang ditokohkan atau apalagi yang menokohkandiri.”

Tulisan ini saya buat karena sering kudengar atau kubaca, sesuatu yang merupakan urusan istimbati/ijtihadi, yakni merujuk ayat dan riyawat yang merupakan hak mujtahid/marja’, terasa terabaikan, hingga membuat konsep hidup yang, katakanlah mau meringan-ringankan atau sekalipun mau memberikan jalan hidup lebih baik. Kadang, saya rasakan tujuannya, tapi sangka ini kuserahkan padaNya saja karena sangkaan itu tidak ada harganya dalam Islam, kecuali yang memiliki alamat-alamat tertentu.

Ilustrasi:

Suatu hari saya ketamuan lulusan S2 hauzah Qom di rumah. Lalu dalam cakap-cakap rileks itu, terucap darinya bahwa itu sunnah lah, itu makruh lah ...dan seterusnya.. seraya menyandarkan kata-katanya itu kepada kitab Makaarimu al-Akhlaak (kitab kumpulan hadits-hadits tentang akhlak-akhlak Karimah Nabi saww dan Ahlulbait as).

Lalu saya berkata kepadanya: “Antum tidak boleh menyandarkan hukum kepada ayat atau riwayat.” Tamu itu berkata secara terperanjat: “Mengapa tidak boleh? Kan kitab itudiakui?”

Saya: “Tidak boleh karena hal itu hanya boleh dilakukan oleh mujtahid.”

Tamu bertanya lagi keheranan: “Lalu buat apa kita belajar di hauzah tentang ushulfiqih dan dalil- dalil hukum (salah satu materi pelajaran hauzah adalah al Fiqhu al Istidlaalii atau “Fikih Bedalil”) ???”

Saya: “Pelajaran itu hanya sebagai bekal untuk mencapai derajat ijtihad di kemudian hari, bukan pembolehan memakainya sebelum sampai kederajat ijtihad tersebut, dan bukan pula menafsirkan fatwa marja’ yang kita taqlidi dengannya karena bisa saja dalil marja’ kita itu beda dengan dalil yang ada dikitab tersebut sekalipun secara lahiriah, hukum yang dikeluarkan adalah sama.”

Tamu: Mantuk-mantuk seperti baru menyadarinya.

Catatan:

Perlu diketahui bahwa pelajaran ushulfiqih dan fikih berdalil itu, sebegitu berderajatnya dimana sebelum belajar Bahtsu al-Khaarij saja, harus dilalui sekitar 9 th lamanya (lihat catatan Kurikulum Hauzah). Baru setelah itu bisa masuk pelajaran Bahtsu al-Khoorij ini dimana kalau berhasil, sepuluh tahun kemudian atau dua puluh tahun kemudian, bisa menjadi mujtahid.

Wassalam.

Rosli Mamat, Singgih Djoko Pitono, Noezirwansyah KL dan 129 lainnya menyukai ini.

Ki Herjuno Boudhitama · 12 teman yang sama:
Ana orang awam. Jadi ikut aja dah. Asal sifat suni-isme jangan dipelihara lagi. Mentang-mentang lain marja dan tidak berwilayatufaqih dituding sebagai syiah error tanpa dalil bahkan silatuhrahim gak mau.

Jokoichi Keiko Prayitno · 7 teman yang sama:
Tanya ustadz, bagaimana jika, seorang “pemula” di AB, yang hendak belajar sedangkan untuk mengikuti kajian terkendala suatu hal, misal: Tempat dan waktu yang kurang mendukung, dan ia membaca tuntunan ibadah dan lain-lain melalui buku atau kitab fikih?

Haidar Jakfar · Friends with Sang Pencinta and 12 lainnya: Nyimak.

Adam Syarif: Fenomena yang “terlanjur” terabaikan. Syukron telah mengingatkan ustadz.

Ahmadi Joss · Friends with Haydar Ali: Kiherjuno@Lho’ datang ajhe kerumah ane entar ane kasih jamu biar Lhodar_dar_sadar....!

Zainab Ali Az Zahra · 49 teman yang sama:
Salam, afwan ustadz saya setuju dengan pertanyaan akhy jokoichi, saya pemula di AB dan saya hanya belajar lewat buku-buku dan di facebook? Syukron.

Enny Nurhuda · Friends with Aal Bsa: Anda ketemu orang yang salah..

Ki Herjuno Boudhitama · 12 teman yang sama: @ahmadi joss, boleh tuh jamunya, biar pikiran fresh, lagi galau banget.

Muhammad Nurahman · 119 teman yang sama: Syukron ustadz.

Bang Dei: Ahsantum. Syukron ya ustadz......

Akhir Zaman Debi · 29 teman yang sama: Rasulullah diangkat menjadi rasul dalam keadaan ummi ..gimana tuh pak ustadz.

Maz Nyit Nyit-be’doa: Nyimak..... makasih.....

Akhir Zaman Debi · 29 teman yang sama: Al-Mahdi yang tidak diketahui keberadaannya oleh sebagian manusia..tapi sudah diakui sebagai imam..,perjuangannya belum belum terealisasi layaknya rasulullah, tapi sudah diakui sebagai imam.

Mungkin sebagian ada yang menjawab kita bukan nabi, kita bukan imam mahdi, jadi beda.. tapi keduanya manusiakan?Apa bedanya dengan kita.. ummi diangkat jadi rasul bahkan oleh ALLAH.. so haruskah saya yang hanya manusia memfatwakan keharusan “ijazah” untuk menjadi seseorang ??!!

Fiuuhh ALLAH maha tinggi.. cukup berpegang pada caranya dalam menisbahkan kelayakan pada seseorang akankah ada baiknya..maaf ini hanya saran..anyway love sinar agama deh..

Ibad Black Id: Maaf pak ustadz saya rasa kalo kita mempelajari kitab itu, tidak ada habisnya. Bisa jadi kita cekcok dengan didasari membenarkan apa yang kita pelajari.. Kitab begitu banyak di bumi ini.. Tapi sayang kita pinter tapi bisa mengerti.. Pertanyaan saya pak ustad.. Kitab suci itu dimana.. Sampai kapan kita manusia bingung dengan hadist yang diambil dari Qur'an yang kata mreka miliki. Yang selalu ada perbedaan..TQ

Abi Dzar Algifari: Afwan ustadz.....obatilah kerinduan hati kami dengan bersedianya antum mampir kembali sejenak ke kota Karawang.....sangat, sangat, sangat saya nantikan.....

Sembilan Benua · Friends with Ramlee Nooh and 26 lainnya: Keburu meninggal sebelum menjadi mujtahid.

Mata Jiwa: Rasul memang harus ummi, lah kalo kita pengen ummi.. yaitulah yang banyak ngaku syiah tapi kerjanya cuma caci maki bikin panas Sunni-syiah.. ALHAMDULILLAH kita punya ustadz Sinar Agama, mau tanya apa saja, kapan saja, beranda ustadz terbuka... yang penting rajin membaca catatan-catatannya yang melimpah..jadi gak ada lagi alasan terkendala ini itu...kita patut syukuri, kehadiran pak ustadz di tengah-tengah kita termasuk salah satu dari rahmatNYA yang luar biasa..semoga kita semua dalam ridhoNYA...

Izzy Denver · Friends with Ahmad Arif and 1 other: Gitu aja ko repot.

Ndedi Sumarno: Saya setuju dengan Mata Jiwa.

Haera Haura Zahrah: Ustadz dari keinginan untuk betul-betul mempelajari AB secara detail saya masuk ke sebuah pesantren AB, tapi saya menemukan ustadz dari Qum juga yang sama seperti dalam pengalaman ustadz.

Ki Herjuno Boudhitama · 12 teman yang sama: Kalo boleh tau Sinar Agama ini nama aslinya siapa ya? Kali aja kenal atau jangan-jangan termasuk guru ana juga.

Haera Haura Zahrah: Di sana kami harus melaksanakan fikih sesuai dengan yang mereka lakukan padahal sebelum ke sana kami memilih marja, dan masih banyak hal yang lain. Kurang lebih 15 orang kabur itu sebelom saya.

Hadrah Ali · Friends with Ramlee Nooh:

الْحَمْدُلِلَّهِرَبِّالْعَالَمِينَ, ini adalah tatanan yang benar jangan terlalu perdulikan bisikan angin yang tak jelas asal-usulnya, mungkin dia lagi ngigau!! Ambil yang baiknya saja.. dan saya akan belajar syariah syiah.. hingga sempurna,..amiin..!!

Wasroi Aja: Variabel dalam pemikiran.....!!!!!! Tolong jangan djadikan wacana tetapi dijadikan pencerahan dan proses untuk mutlak mencapai kebenaran untuk pengikut ahlul bait.

Sinar Agama: Salam dan terima kasih atas semua jempol dan komentar-komentarnya, semoga Allah selalu menjaga kita dan kita melayakkan diri masuk ke dalam perlindunganNya itu, amin.

Sinar Agama: Ki H dan yang lain-lainnya:

Pedomannya cukup jelas, yaitu kapan seseorang itu tidak biasa terikat dengan fikih dalam setiap perkataannya, maka layak ditanyakan dimana fatwanya dan siapa marja’nya. Terutama yang biasa memberikan petuah-petuah, seperti dahulukan itu kek belakangkan ini kek, atau kalau ingin hidup tenang atau tidak buang energi maka dalam berdakwah harus begini kek atau begitu kek, atau mengatakan fikih itu harus diselaraskan dengan maslahatlah atau itu lah....dan seterusnya.

Karena jangan sampai petuahnya itu tidak bersumber dari fatwa atau dari fatwa tapi yang sudah dicampuri dengan hobi-hobinya dalam hidup hingga ingin meluaskan karakternya ke orang lain dengan merasa lebih pintar dari Tuhan yang menurunkan fikih dan dari marja’ yang mengerti fikih.

Tapi kalau seseorang itu memang sudah mengikat dirinya dengan fikih dan sudah sering teruji kebenarannya dan kecocokannya dengan fatwa-fatwa marja’, maka sudah bisa diambil infonya tanpa ragu. Tapi kalaulah suatu saat ragu, maka tetap wajib harus bertanya sumbernya supaya hilang semua keraguan. Surga neraka itu tidak basa basi, lalu mengapa kita mau mengorbankan diri dengan basa-basi kepada orang yang kita hormati sekalipun? Toh kalau orang yang kita hormati itu memang terhormat, demi Allah, dia tidak akan marah dan tersinggung manakala ditanya sumbernya, karena bertanya itu wajib dalam fikih dan memberitahu itu (kalau tahu) juga wajib dalam fikih.

Itulah mengapa saya dalam diskusisi apa saya, sudah sering menyampaikan bahwa saya-nya tidak perlu dan bukan hujjah. Hujjah itu adalah tulisan dan dalilnya. Kalau dalam akidah, dalil akal dan lain-lainnya, dan kalau fikih, maka dalilnya adalah fatwa marja’. Ini kunci ilmu, bukan orang dan maqomnya dan apalagi dimaqomkan kita sendiri.

Sinar Agama: Debi: Saya kurang bisa memahami maksud sebenarnya pertanyaan antum, tapi saya akan coba merabanya dan menjawabnya. Kalau tidak cocok, ampuni alfakir:

1- Kalau antum Syi’ah, maka berarti maksud antum menulis itu mungkin untuk mengesahkan orang yang belajar otodidak dan tidak berijazah.

Kalau ini maksud antum, maka sungguh di dunia yang sudah modern ini, dimana pengetahuan sudah merambah sebegitu rupa, yang untuk masak memasak saja sudah ada kampusnya, tulisan antum ini sangat asing dan sulit dipahami. Kalau urusan kesehatan saja antum tidak pergi ketukang bengkel mobil, dan hanya pergi kedokter dimana untuk menjadi dokter cukup hanya dengan beberapa tahun, maka bagaimana mungkin antum merujuk tentang urusan- urusan agama yang berefek pada surga dan neraka, kepada orang yang hanya berkaca mata tebal sementara ia tidak membidangi agama secara spesifik? Masih mending kalau tidak ada yangberijazah,lah..... ini banyak berijazah dan antum masih memilih juga yang tidak berijazah ?

Tentu saja, ijazah itu tergantung kepada disiplin sekolah masing-masing. Ada yang ijazah agamanya ditulis seperti sekolah-sekolah lainnya, dan ada yang dikuatkan oleh gurunya. By the way, tanpa pembelajaran spesifik, sudah tentu tidak akan bisa dijadikan jaminan.

Mungkin antum berkata bahwa yang berijazah saja tidak bisa dijamin kebenarannya karena tidak makshum. Akan tetapi, akal dan agama mengatakan bahwa yang tidak makshum ini wajib diikuti manakala yang makshum itu tidak ada. Memangnya kalau tidak ada rotan terus akar pohon tidak diambil untuk dijadikan alat, lalu kita merenung saja sampai ajal menyapa kita atau kita terjun saja kesungai tanpa alat akar untuk mengikat rakit kita, atau meninggalkan akar dan memakai tali dari sarang lebah, hingga binasa dengan nyata?

Kalau antum bingung dengan ke-ummi-an Nabi saww yang tetap diangkat jadi nabi oleh Allah, maka tanyakan dan cari sebabnya, jangan terus dijadikan alat untuk menabikan guru kita yang tidak berijazah itu. Memangnya sudah sebegitu makshumkah guru/tokoh kita itu hingga ia layak jadi pewaris Nabi saww tanpa belajar dimana belajar ini diperintahkan dan diwajibkan Allah dan Nabi saww, sebagaimana layaknya Nabi saww yang diangkat menjadi nabi olehNya tanpa tahu bacatulis?

Belajar itu, tergantung jaman dan budayanya. Dijaman Nabi saww, belajar itu tidak harus pakai alat tulis. Terutama dengan daya ingat yang luar biasa dimana kalau satu orang membaca seribu bait syair, banya korang yang langsung bisa menghafalnya dimana karena itulah Qur'an ini disertai mukjizat tentang sastra arab yang tidak tertandingi karena keadaan mereka seperti itu. Di Arab jaman itu, ribuan penyair dapat dengan mudah ditemukan, tapi dalam pada itu juga tidak bisa baca tulis.

Karena itu, ke-ummi-an Nabi saww sama sekali tidak mengurangi kepandaiannya karena beliausawwmempelajariagamakakek-kakeknyasampaikenabiIbrahimasdanbahkanbeliau saww terkenal sebagai genius di masa beliau saww masih muda sekalipun. Banyak masalah- masalah umat yang umat sendiri merujuk kepada beliau saww. Seperti sejarah berpindahnya batu Hajar Aswad dari tempatnya karena banjir yang terkenal itu. Dimana Nabi saww dengan kepiawaian beliau saww dapat meredakan pertumpahan darah yang hampir terjadi yang diakibatkan oleh berebutnya setiap kaum untuk mengembalikannya ke tempatnya semula.

Anggap saja deh, memang ada yang hebat (karena memang tidak mustahil secara akal filosofis) yang tanpa guru lalu hebat, tapi kan yang bisa menilai hebat itu bukan antum atau murid-muridnyayangmemangtidakpunyailmu???Nah,kalauadayanghebat,kanbisadilihat oleh orang yang memang belajar secara spesifik? Memangnya ilmu itu dinilai oleh orang yang tidak berilmu? Kan harus dinilai oleh yang berilmu??? Nah, kalau memang ada, kan antum bisa ajukan siapa orangnya, lalu para ulama bisa melihatnya apakah ia benar atau sesat.

Lagi pula, kan tujuan penulisan saya itu sudah jelas. Kalau akidah, maka dalilnya akal. Karena itu, siapa saja bisa ditanya. Artinya, tujuan penulisan itu adalah kita tidak boleh menelan bulat-bulat tanpa cek dalil sebelumnya. Dan kalau fikih, maka dalilnya adalah fatwa marja’. Padahal, kalau antum keberatan, maka sangat dimungkinkan bahwa kita harus menerima dari orang yang tidak berijazah sekalipun tanpa harus tahu dalilnya dengan alasan Nabi saww diangkat dalam keadaan Ummi dan dengan alasan Tuhan Maha Luas dan Tinggi (lah...apa hubungannya?).

Lagipula, saya sudah sering menjelaskan bahwa ummi itu tidak bisa baca tulis. Dan baca tulis, alat mencari ilmu dan informasi. Nah, kalau seseorang sudah dapat informasi itu dari Akalnya yang jenius dan kejeniusannya terbukti dalam sejarah dimana melampaui yang bisa baca tulis sekalipun seperti Nabi saww, dan juga mendapat ilmu dari Tuhannya karena kemakshuman beliau saww dari sejak kecil, lalu masih mencari ilmu baca tulis, maka hal itu benar-benar sesuatu yang pasti ditentang akal dan agama itu sendiri. Ibarat seseorang yang bisa mendapat ikan dari lautan hanya dengan keinginan hati, lalu siang malam pergi ke pasar untuk mencari dan membeli pancing atau jala.

2- Kalau antum saudariku dari Sunni, maka ketahuilah bahwa Imam Mahdi as itu, bukan ditunjuk Allah karena hasil kerja yang dilampaui tapi karena kerja-kerja yang akan dilampaui. Artinya, semua imam itu dipilih Tuhan karena Ilmu Tuhan tentang siapa-siapa yang makshum dan siapa-siapa yang tidak makshum.

Karena Islam ini tanpa makshum tidak ada jaminan, artinya tanpa makshum tidak akan ada jalan lurus, karena jalan lurus itu adalah jalan Islam yang tidak salah sedikitpun (wa laa al- dhaalliin) hingga karena itu maka ilmunya harus lengkap dan benar 100%, maka tanpa orang makshum, jelas Islam ini tidak akan pernah bertahan murni dan jalan lurus.

Tuhan Yang Maha Tinggi dan Tahu itu, yang mewajibkan kita meminta jalan lurus dalam setiap shalat itu (dengan mewajibkan kita membaca suratal-Faatihah dalam shalat) sudah jelas lebih tahu dari kita tentang kenyataan ini dan, karena itulah Ia mewajibkan kita memintanya setiap hari. Nah, kalau dari satu sisi Tuhan mewajibkan kita meminta jalan lurus yang tidak salah sedikitpun, lalu dari sisi lain Tuhan tahu tidak ada yang makshum, maka jelas hal ini adalah aniaya yang tidak akan pernah dilakukanNya.

Nah,karena jalan lurus ini harus bertahan sampai hari kiamat, dan Tuhan tahu bahwa manusia tidak bisa mengerti siapa manusia lain yang makshum secara lahir batin, maka karena itulah Tuhan mengumumkan dalam Qur'an siapa-siapa yang makshum itu dan begitu pula Nabi Nya saww.

Lebih dari itu, Tuhan tidak hanya mencukupkan dengan mengumumkan siapa yang makshum itu (Ahlulbait Nabi saww, QS: 33: 33), tapi bahkan menjadikan mereka imam-imam kaum mukminin (QS: 4: 59) yang wajib ditaati sejak di jaman Nabi saww.

Nah, itulah imamah dalam Islam yang diikuti Syi’ah. Yaitu imamahnya orang-orang makshum yang ditunjuk Allah sejak awal bahkan sebelum mereka as lahir ke dunia sekalipun. Artinya, sebelum berkarya sekalipun. Tapi bukan tanpa karya dan ukuran kreasi, hingga semena-mena. Ia juga karena kerja-kerja tersebut, tapi kerja-kerja yang bahkan sebelum dikerjakan itu dan bahkan sebelum lahirnya pelakunya itu. Nah, ketika Tuhan tahu siapa-siapa yang makshum di masa Nabi saww dan di masa setelah itu (akan datang) dimana berarti bahwa mereka itu sudah pasti bukan hanya gigih dan taqwa dalam menuntut ilmu dan amal shalih, tapi bahkan sampai ke derajat paling tinggi, yaitu kemakshuman, maka dengan dasar itulah makamereka layak jadi uswah dan pemimpin yang lain. Itulah mengapa Tuhan menunjuk mereka menjadi imam sebelum mereka berkarya dan bahkan sebelum lahir sekalipun. Karena bagi Allah, sebelum dan sesudah itu, tidak ada artinya, karena Tuhan Maha Tahu apa saja sekalipun belum terjadi. Lagi pula, tanpa penunjukan ini, lalu bagaimana bisa manusia memilih imam makshumnya supaya tidak keluar dari jalan lurus itu sementara mereka tidak tahu siapa-siapa yang makshum tersebut.

Jadi, jauh beda antara masalah imam makshum seperti imam Mahdi as dengan orang yang tanpa belajar secara spesifik itu. Artinya, imam Mahdi as itu jelas lulus seratus persen di Mata Tuhan dari sisi ilmu dan amal taqwa (karya dan perjuangan) yang diketahui dua ratus lima puluh tahun sebelum lahirnya dan bahkan sejak sebelum alam ini diciptakan. Beda dengan kita para gembel ini yang kalaupun sekolah agama secara spesifikpun sulit mendapat nilai seratus kala ujian dan, apalagi tahunan setelah itu (karena biasanya ilmu kita dilupakan kita sendiri) ditambah lagi dengan amal sebagiannya yang semrawut/kacau dan jauh dari taqwa serta, apalagi dari kezuhudan yang, sering hidup tidak beda dengan para preman,tapi kalau bicara agama bergaya melebihi para bijak, ulama dan arif atau filosof. Atau cintanya pada dunia tidak beda dengan para penyinta tapi kalau berbicara kearifan, seakan sudah menduduki‘ Arsyullah dan berada di kaki para makshumin as.

Semoga Tuhan selalu menjaga kita semua dan semoga kita melayakkan diri untuk masuk dalam rangkulan penjagaanNya itu, amin.

Sinar Agama: J.K.P dan Z.A.A: Belajar fikih itu memang bisa memakai kitab fikih marja’nya, yakni fatwa marja’-nya atau mujtahid yang ditaqlidinya. Karena itulah antum bisa download dari internet ini dan aku juga bisa memberikannya kepada antum-antum. Dan kalau ada yang tidak dipahami, maka bisa ditanyakan. Jadi, tidak harus kekajian untuk belajar agama. Kata orang,dunia ini sudah tidak selebar layar BB atauMonitor.

Memang, kalau ada berdekatan dengan guru yang alim dan amanat serta taqwa (adil, tidak melakukan dosa besar dan kecil), maka bisa belajar padanya dan, apapun itu, tetap dianjurkan dengan sangat antum sendiri memiliki dan membawa kitab fatwa tersebut, supaya bisa bertanya atau mengingatkan sang guru kalau tidak sama dengan fatwa yang ada dikitab yang antum miliki itu.

Ingat, kalau di akhirat, sesuai Qur'an, anak lari dari orang tua dan sebaliknya, suami lari dari istri dan sebaliknya, lalu apalagi guru dari murid dan sebaliknya???!!! Karena itu, jangan sembarang meletakkan kepercayaan kepada siapapun walau, tidak boleh juga merendahkan siapapun tanpa alasan. Jadi, tidak mempercayai sepenuhnya dalam urusan-urusan fatwa dan agama, bukan tanda merendahkannya. Karena itu, keluarlah dari rasa dan perasaan ketika sudah bicara agama dan fatwa, dan batasilah sopan santun dan penghormatan itu hanya dalam bidang-bidang sosial saja seperti cium tangan pada orang tua dan menaatinya (dalam hal-hal yang tidak haram) bukan berarti membenarkannya dalam masalah-masalah agama dan fatwa. Jadi, hormat itu ada tempatnya, dan ilmu yang mengkonsekuensikan surga-neraka juga ada tempatnya.

Neo Hiriz · Friends with Ramlee Nooh and 164 lainnya: Nasehat yang sangat diperlukan. Mamnun ustadz.

Mahdi Askariyyin: Allahumma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad wa ajjil faraja ali Muhammad.

Pendapat klasik yang saatnya sudah harus dikoreksi. Zaman sudah berubah, kesadaran para syiah tumbuh dewasa. Yang penting adalah menjaga diri dari mengikuti syahwat dan hawa nafsu, dan itu sesungguhnya sama dengan mengikuti marja meskipun tidak mengikuti secara lateral.

Nyoman Salim Al-Jufrie · 504 teman yang sama: Barakallah..sukron ilmunya..

Zaka Riya · Friends with Sang Pencinta: Assalamualaikum, saya mau tanya tentang ungkapan ‘’syi’atuna man yatakhollaku bi akhlakina’’ dari mana asalnya dan ada di kitab apa trimakasih wassalamualaikum.

Mata Jiwa: Mantaab pak ustadz...kelebihan pak ustadz yang belum ada tandingannya adalah: Jawabannya lengkaaap.. MasyaALLAH.. meski pak ustadz berada jauh dibalikawan, tiap pertanyaan diladeni seperti ngobrol tatap muka...Ya ALLAH, panjangkan umur ustadz kami ini..tak kenal di bumi, smoga ENGKAU kenalkan kami kelak di majlis langitMU...

Sugeng Iwan: Penjelasan yang membimbing, syukran....

Ana Kultsum: Salam warohmah wa barokatullah . . Afwan akhi numpang nyimak & ijin share.

Jokoichi Keiko Prayitno · 7 teman yang sama: Syukron...thankyou...arigato gozaimas, ustadz.

Sinar Agama: Mahdi: Jangan sampai antum mau katakan Qur'an itu klasik hingga perlu dikoreksi. Kan raksyih amat, dimana marja’nya mewajibkan taqlid leterleks, sementara antum berkata lain. Jangan sampai marja’ itu antum maksudkan dengan klasik yang perlu dikoreksi. Karena semua marja’ mewajibkan taqlid leteral, sementara antum berkata lain. Kalau antum memang benar, maka tolong sebutkan dimana ada fatwa marja’ seperti yang antum katakan itu, hingga kita-kita akan mengucapkan terima kasih kepada antum karena koreksiannya yang benar???!!!! Tentu saja kalau antum menulis itu atas dasar penukilan pendapat marja’. Tapi kalau antum hanya mengatakan apa-apa yang antum yakini, maka maaf kalau saya katakanbahwa:

“Kami bukan yang taqlid kepada antum hingga karena itu maka kami tidak akan memperhatikannya terlebih berlawanan dengan fatwa-fatwa marja’ kami. Lagi pula, apakah maksud antum dengan koreksi terhadap pendapat klasik itu adalah taqlid semau gua, yakni melakukan sesuatu dan menghubungkannya kepada marja’ walau si marja’ tersebut tidak menfatwakannya secara leteral???!!!! Kalau taqlid-taqlidan batin seperti itu, maka semestinya hujjahnya juga diam-diaman dan batin-batinan, artinya tidak bisa didiskusikan. Nah, ketika antum mendiskusikannya, maka berarti harus memiliki penyandaran yang lahiriah. Kok bisa diskusi dengan orang dan orang lain itu disuruh percaya saja terhadap sebuah pemahaman dan tidak boleh dicek leteralnya karena hal itu klasik dan harus dipercaya saja apa-apa yang ada di hatinya karena hal itu modern?” Ini namanya, ra’syih amat.

Sinar Agama: Zaka: Kata-kata itu bermakna “Syi’ah kami adalah yang berakhlak dengan akhlak kami.”

Kalau kita lihat akhlak mereka as dan perintah-perintah mereka as yang lain, maka tidak bisa dipungkiri bahwa mereka sangat taat kepada Allah dalam segala hukum-hukumNya hingga diumumkan Tuhan dalam Qur'an sebagai makshum. Makshum artinya bersih dari dosa, dan bersih dari dosa, artinya bersih dari segala pelanggaran fikih dan hukum.

Kemudian, salah satu dari perintah hukum yang diberikan Tuhan dan Nabi saww serta para imam makshum as, adalah wajib bagi orang-orang yang tidak spesialis tentang agama (bukan mujtahid) untuk menaqlidi/mengikuti yang spesialis/mujtahid dalam urusan-urusan fikih dan agama.

Karena itulah, kata-kata imam makshum as yang lain yang banyak ditemui di kitab-kitab Syi’ah dan yang mirip dengan kata-kata yang antum nukil itu, seperti:

“Syi’ah kami adalah orang yang tertaqwa di kampungnya.” Artinya, yang paling taat dalam fikih dan hukum-hukum Tuhannya.

Sinar Agama: Yang Lain-lain: Terima kasih atas semua perhatian dan baik sangkanya serta doanya, semoga dikabulkan Nya untuk alfakir, untuk antum semua dan semua teman di facebook ini, amin.

Zaka Riya · Friends with Sang Pencinta: Assalamu’alaikum, terima kasih atas penjelasannya ustadz, tapi yang saya ingin tahu, siapakah diantara ma’sumin yang telah mengatakan ungkapan itu ustad, sebelumnya saya ucapkan terimakasih, wassalamu alaikum warohmatulloohiwabarokaatuh.

Komarudin Tamyis: Sami’na wa atha’na.. Jazakumullah khoiron..

Muhammad Yasin · 2 teman yang sama: Allohummashollialaa Muhammad waaali Muhammad, semoga ustadz dalam lindunganNYA dan tidak bosan-bosan untuk menerangkan masalah- masalah agama yang ana belum ketahui.

Sinar Agama: Zaka: Kalau hadits yang antum tanyakan itu, sepertinya tidak ada. Tapi yang maksudnya sama, maka ada seperti hadits yang dikatakan imam Ali as yang menukil juga dari Nabi saww:

إنشيعتنامنشيعنا،واتبعأثارنا،واقتدىبأعمالنا

“Sesungguhnya Syi’ah kami adalah yang mengikuti kami, mengikuti lampa-lampa kami dan mencontoh perbuatan-perbuatan kami.” (Tafsir imam Hasan al-’Askari, 307; Bihaaru al-Anwaar, 68/154).

Ada juga yang dari hdh Faathimah as:

قالعليهالسالم:قالرجلالمرأته:اذهبيإلىفاطمةعليهاالسالمبنترسولاهللصلىاهللعليهوآلهفسليها

عني،أنامنشيعتكم،أولستمنشيعتكم؟فسألتها،فقالتعليهاالسالم:قوليله:إنكنتتعملبماأمرناك،

وتنتهيعمازجرناكعنهفأنتمنشيعتنا،وإالفال.فرجعت،فأخبرته،فقال:ياويليومنينفكمنالذنوبوالخطايا،فأناإذنخالدفيالنار،فانمنليسمن

شيعتهمفهوخالدفيالنار.فرجعتالمرأةفقالتلفاطمةعليهاالسالمماقاللهازوجها.

فقالت فاطمة عليها السالم:قوليله: ليس هكذا فان شيعتنا من خيار أهل الجنة،وكلمحبيناومواليأوليائنا، ومعاديأعدائنا،والمسلمبقلبهولسانهلناليسوامنشيعتناإذاخالفواأوامرناونواهينافيسائرالموبقات،وهممعذلكفيالجنة،ولكنبعدمايطهرونمنذنوبهمبالبالياوالرزايا،أوفيعرصاتالقيامةبأنواعشدائدها،أو

فيالطبقاالعلىمنجهنمبعذابهاإلىأننستنقذهم-بحبنا-منها،وننقلهمإلىحضرتنا.)3(

Berkata imam Hasan ‘Askari as: “Seorang lelaki berkata kepada istrinya: ‘Pergilah kamu ke hdh Faathimah bintu Rasulillah saww dan tanyakan tentang ku apakah aku ini Syi’ah kalian atau bukan Syi’ah kalian?’ Kemudian ia -istrinya- bertanya kepada beliau as. Dan beliau as berkata: ‘Katakan pada suamimu: Kalau melakukan apa-apa yang kami perintahkan kepadamu dan menjauhi apa- apa yang kami larang terhadapmu, maka kamu Syi’ah kami. Tapi kalau tidak, maka bukan Syi’ah kami.’

Kemudian wanita itu kembali ke suaminya dan memberitahukannya. Dan suaminya berkata: ‘Celakalah aku dan orang-orang pelaku dosa dan kesalahan. Kalau begitu maka aku akan kekal di dalam neraka. Karena yang bukan dari Syi’ah mereka, akan kekal di dalam neraka.’

Lalu si istri itu kembali lagi ke hdh Faathimah as dan mengabarkan tentang apa-apa yang dikatakan suaminya. Lalu beliau as berkata: ‘Katakan padanya: Bukan seperti itu. Sesungguhnya Syi’ah kami itu adalah orang-orang pilihan di surga. Sementara orang-orang yang menyintaikami dan berteman dengan teman kami dan bermusuhan dengan musuh kami, dan menerima kami (wilayah/imamah) dengan hati dan lisannya. Bukanlah Syi’ah kami kalau melanggar perintah- perintah kami dalam kewajiban dan larangan-larangan kami dalam kemaksiatan. Akan tetapi mereka akan tetap masuk surga setelah dibersihkan dari dosa-dosa mereka dengan bencana- bencana dan derita-derita, atau dengan suatu yang menyiksa dan berat di akhirat pada hari kiamat, atau disiksa di jahannam yang paling atas (tidak terlalu dalam) dengan adzab-adzab hingga kami mensyafaati mereka karena cinta mereka kepada kami dan mengangkat mereka dari jahannam itu lalu mendekatkannya kepada kami.’.” (ibid).

She Lha · Friends with Sang Pencinta and 120 lainnya: Pintar, cerdas, baik, akhlaknya mantaf, itu om Sinar Agama.

Muhammad Bob Ali: Untuk urusan fiqh memang seharusnya begitu.

Sarboz Osemon · 144 teman yang sama: Ustadz, orang-orang yang jauh dari pusat kota susah mengakses fatwa maraji, mereka mendengarnya hanya dari orang-orang yang punya akses ke kota, internet, buku, dan lain-lain.. yang dari mereka yang punya akses pun terkadang informasinya pun kurang dipercaya, kalaupun dipercaya masih kurang akurat, kalaupun akurat kadang informasinya ada tendensi pribadi di dalamnya, sementara orang-orang yang sedang dilanda masalah butuh yang instant..menurut ustadz bagaimana?

Bimo Mangkulangit: Menyimak...

Yoez Rusnika: Allahumma shali ‘alaa Muhammad wa aali Muhammad.

Sinar Agama: Sarboz: Harus ada tolong menolong di antara kita semua. Kemudahan yang bisa diraih di satu daerah, seperti yang terdekat yang kesulitan itu, berkewajiban membantu yang kesulitan tersebut. Sebenarnya, kalau antum sebutkan daerahnya, sangat mudah dan mungkin dalam tidak akan sampai seminggu sudah bisa diatasi i-Allah. Karena fikih Rahbar hf sudah sangat mudah didapat di internet ini, dan kita bisa minta tolong kepada daerah terdekat untuk membantu mereka.

Coba sebutkan saja daerah-daerah yang memang sulit, nanti kita coba cari jalan secepatnya membantu mereka. Sebutkan daerah yang sulit mengakses itu dan sebutkan alamat yayasannya atau yang dianggap mewakili supaya dapat kita-kita bantu mengirim kepada mereka print out dari buku fikih tersebut. Ana rasa mudah diatasi, Allahu A’lam. Coba saja, saya yakin akan cepat bisa diatasi.

Wassalam.

Maman Aja: Wilayah fiqih dan wilayah petuah/pedoman hidup itu satu paket apa terpisah? Ana belum paham betul dengan wilayah marjaiyyah, apakah meliputi wilayah, petuah, pedoman hidup(hikmah)? Mohon pencerahan....

Sang Pencinta: MA: https://www.dropbox.com/s/g2unyedhagftit3/WF%20Marja%20Taqlid.pdf,

Taqlid dan kelebih pandaian marja’ (a’lam), seri tanya-jawab Al Louna dan Sinar Agama http://www.facebook.com/note.php?note_id=229636837046872,

Wilayatul Faqih (Seri1)
WF Marja Taqlid.pdf

Sinar Agama: Maman: Petuah itu kalau hanya bersifat seperti jangan merokok, jangan makan pedas-pedas, jangan kebut-kebutan,.... dan seterusnya... yang bersifat nasihat yang tidak berbobot muatan agama (seperti haram dan wajib), maka jelas tidak masalah (diambil dari orang yang baik dan mengusai serta berpengalaman berhasil). Tapi kalau bobotnya memasuki daerah hukum fikih, seperti jangan beramar makruf dan bernahi mungkar kalau begini dan begitu, jangan berfikih ketika begini dan begitu, jangan shalat dengan cara Syi’ah kalau bukan begini dan begitu....dan seterusnya...maka jelas hal ini bukan wewenang atau wilayah selain mujtahid yang biasa disebut fakih/faqih.


هُمَّصَلِّعَلَىمُحَمَّدٍوآلِمُحَمَّدٍوعَجِّلْفَرَجَهُمْ

Sabtu, 20 Oktober 2018

Metode Memahami Fikih



Seri tanya jawab Muhammad Dudi Hari Saputra dengan Sinar Agama 
by Sinar Agama (Notes) on Sunday, September 30, 2012 at 10:13 pm


Muhammad Dudi Hari Saputra mengirim ke Sinar Agama: 

Salam ustadz,,, 

Saya sedikit resah dalam hal penerapan fiqih, terutama di kalangan mukallaf yang mengalami kebingungan ustadz tentang aturan fiqih yang mana harus diikuti dan dijalankan,, 

Saya sangat senang kita memiliki rahbar sekaligus marja’ sekaliber ayatollah al-uzhma Ali Khamenei,, dan mayoritas di indonesia menjadikan beliau sebagai marja’ namun di kalangan ummat masih saja terjadi perbedaan ustadz bahkan antar s...Lihat Selengkapnya 


(Keterangan S.A: Karena agak sulit mencari lanjutan pertanyaannya, maka saya hanya memperkirakannya seperti berikut ini. Perkiraan ini berdasar pada jawaban-jawaban saya, yaitu: 1- Mengapa beda pahaman fikih itu terjadi pada umat Syi’ah. 2- Mengapa juga terjadi pada para ustadznya. 3- Apa tidak ada tindakan tertentu untuk merapikan semua perbedaan itu. 4- Apa tanggung jawab kita menghadapi berbagai perbedaan tersebut?) 

Irsavone Sabit: Nyimak. 

Bande Husein Kalisatti: Hal ini pernah ditanyakan oleh seseorang kepada salah satu ulama yang datang dari Iran tentang perbedaan penafsiran fiqih dikalangan ustadz-ustadz..jawab beliau (ulama)..”kalau terjadi perbedaan, tanyakan pada guru mereka” 

Zakky Adam LovestHawa: Nyimak” 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

(1). Metode memahami fikih itu jelas baku, tapi tidak semua yang tahu kebakuan tersebut, karena harus banyak tahu hukum fikih dan berbagai ilmu hingga tahu maksud sebenarnya fikih tersebut.
 
(2). Untuk menjawab pertanyaan ke dua antum, saya nukilkan dialog di bawah ini: 

{{{ Sang Pencinta mengirim ke Sinar Agama: 

Salam ustadz, sedikit uneg-uneg ya ustadz, yang saya tahu ustadz-ustadz AB yang terjun ke masyarakat banyak yang belajar dari hauzah Qom, apakah ketika beliau-beliau itu sebelum terjun ke lapangan tidak melalui tes penyaringan atau katakanlah dibaiat sehingga apa yang disampaikannya sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh marjanya, sehingga keorisinilan ajaran AB tidak sampai pada kita-kita yang awan/tidak ke hauzah? Terimakasih wa afwan. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

1. Pendidikan di sana itu bertingkat dimana semakin lama belajar maka akan semakin paham pelajaran yang telah lalunya sekalipun. 

2. Kan sudah dibilang bahwa 4 tahun - 5 tahun pertama itu adalah mukaddimah. Tahun- tahun ke 6 sampai ke 12 atau ke 14, adalah tingkatan tengah dan dari tahun ke 14 itu masuk ke pelajaran tinggi yang dikenal dengan Bahtsu al-Khoorij. 

3. Sekarang ini, dengan tetap memperhatikan dasar-dasar pendidikan hauzah, sudah dibuat sistem penjurusan bagi yang tidak ingin mencapai ijtihad dalam fikih dan ushulfikih. Karena itu ada s1, s2 dan s3. Dan jurusannya banyak sekali, seperti filsafat, madzhab-madzhab, fikih, ushulfikih, sejarah, bahasa arab, tafsir, keperempuanan, ...... dan seterusnya. 

4. 5 tahun pertama bisa menyelesaikan s1, kira-kira 4 tahun atau 5 tahun kemudian bisa menyelesaikan s2, dan 5 tahun kemudian bisa menyelesaikan s3. 

5. Di sana, juga ada ujian-ujian dalam setiap pelajaranya dimana kalau tidak lulus dalam satu pelajaran, maka harus mengulang atau mengulang ujiannya setidaknya di akhir semester depan. 

6. Saking ketatnya ujian, maka untuk masuk ke peringkat yang lebih tinggi (misalnya dari s1 ke s2, dari s2 ke s3)i, juga diuji dengan berat dimana kalau tidak lulus dua kali, akan disuruh pulang dan banyak juga yang gagal di sini. Saya bicara untuk semua murid-murid dunia, bukan hanya Indonesia. Dan bahkan sudah ada yang kabur duluan sebelum disuruh pulang setelah menyelesaikan satu peringkatnya, seperti s1 atau s2-nya. 

7. Bahasa dipulangkan atau DO, yang dipakai di sana adalah “disuruh tabligh”. 

8. Sedang untuk yang jurusan ijtihad, maka cara di poin dua itu yang dipakai dan di Bahtsu al-Khoorij itu dibagi dua untuk pelajar luar negeri yang mau ikut programnya, yaitu menjadi 5 tahun. Kalau lulus di 5 tahun pertama, ia dikatakan Mujtahid Mutajazzi’ (mujtahid belum lengkap) dan kalau lulus di 5 tahun ke dua, dimana sampai sekarang belum ada lulusannya dan bahkan muridnya sampai sekarang baru 12 orang, maka ia akan disebut Mujtahid Penuh (ayatullah). 

Tentu saja, yang jurusan fikih atau ushulfikih, atau bahkan jurusan lainnya, dari yang lulus s2, kalau ingin merubah jurusannya dan ingin menjadi mujtahid, maka bisa masuk ke program ijtihad ini. 

9. Ujian yang dihadapi murid-murid tingkat 4, yaitu yang di 5 tahun pertama Bahtsu al- Khoorij itu, adalah, tiap bulan menghadapi satu mujtahid dan di akhir tahun harus menghadapi 2 mujtahid yang mengeroyoknya. Begitu seterusnya sampai 5 th. 

10. Yang lulus di peringkat 4 itu, selain disebut Mujtahid Mutajazzi’ juga disebut Doktor atau sejajar dengan Doktor. 

11. Ada juga orang yang belajarnya bebas seperti sistem lama ketika belum revolusi, yaitu belajar sendiri sesuai dengan tahapan-tahapan yang ada di nomor dua di atas itu, lalu ujian sendiri pada guru-gurunya setelah belajar kitabnya itu atau ujian ke sekolahnya. Dan kalau sudah sampai di Bahtsu al-Khoorij itu, terserah dia untuk mengujikan dirinya. Apakah pertahap atau keseluruhan. Kalau nanti sudah dinyatakan lulus oleh mujtahid, maka ia akan dinyatakan sebagai mujtahid, baik penuh atau sebagian/mutajzzi’ itu. 

Tapi cara ini, tidak dipakaikan untuk orang-orang luar negeri. Karena itu, ujian-ujian mereka harus tetap ke sekolah yang mengurusnya dan baru dikatakan bisa bebas, kalau sudah selesai dari tingkat 4 atau sudah menjadi Mujtahid Mutajazzi’. 

Ada satu dua orang, yang karena alasan-alasan tertentu, dia dibolehkan tetap tinggal di Iran, walaupun tidak ikut dalam pelajaran-pelajaran dan ujian-ujian formal tersebut. Misalnya sebagai penulis, peneliti dan semacamnya. Tapi orang-orang, kalau pelajar asing di sana, benar-benar hanya satu dua orang saja. 

12. Untuk pelajaran-pelajaran ilmu Kalam dan Filsafat, maka jenjangnya sudah saya terang- kan di catatan yang menulis tentang Kurikulum Hauzah dimana untuk selesai sampai Irfan, diperlukan 35 tahun secara normalnya. Tapi kalau belajarnya berjam-jam sehari dan kuat hingga misalnya belajar dua kali lipat kecepatannya atau lebih, maka ukuran waktu tersebut bisa diperpendek menjadi separuhnya atau lebih cepat. 

13. Islam dan Ahlulbait as itu, tidak bisa dibahas dalam satu dimensi dan, apalagi dibatasi pembahasannya. Karena itu, semakin lama orang belajar, maka sudah tentu akan semakin tahu dengan ijinNya. Karena di sana, selalu dipantau dengan ujian-ujian sebagaimana sudah dijelaskan. 

14. Karena itu, para ulama mengatakan bahwa taqlid kepada yang lebih pandai itu dalah wajib. Nah, dilihat dari sisi ini, maka mereka juga menasehati bahwa belajar agama juga demikian, terutama manakala terjadi perbedaan penjelasan. Yakni belajar kepada yang lebih pandai dan lebih banyak tempuhan pembelajarannya. Karena akal dan agama yang menyuruh demikian, terlebih ketika yang lebih pandai itu dapat menjelaskan dengan gamblang teori-teori yang disampaikannya dan terlebih lagi, tidak bisa dibantah oleh yang di bawahnya atau yang tidak lebih pandai darinya atau tidak lebih tinggi darinya dalam jenjang tempuhan pendidikanya itu.

Tambahan:

Karena agama, terutama dalam masalah akidah dan pemikiran, tidak ada taqlid menaklid, maka di sini, siapa saja bisa mengajukan pendapat yang disertai dalil-dalilnya. Karena itu, medannya lebih terbuka dari bidang-bidang agama yang lebih spesifik seperti tafsir, fikih, ushulfikih, hadits, ..dan seterusnya. Karena itu, dalam hal akidah bisa dengan pengajuan dalil dan tidak memperhatikan jenjang capaian pelajaran itu, tapi dalam bidang-bidang lainnya, sudah seyogyanya memperhatikan dengan bijak, paparan yang lebih alim tersebut. 

Ayatullah Jawodi Omuli hf dalam menafsirkan kata-kata imam Ali as yang mengatakan (sesuai yang dinukil ke kita dan dengan terjemahan yang menyebutkan inti-intinya): 

“Kalau kalian ingin tahu mutu seseorang, maka lihatlah makanannya.” 


Beliau hf menjelaskan bahwa makanan itu ada dua macam, makanan badan dan makanan ruh. Makanan badan adalah makanan sehari-hari itu. Dalam hal ini, kalau ingin melihat mutu seseorang, maka lihatlah hartanya itu, apakah ia adalah harta halal atau tidak, dibayarkan khumusnya atau tidak, korupsi atau tidak ...dan seterusnya. Kalau halal dan tidak ada tercampur apapun keharaman seperti khummus/zakat yang tidak diberikan, maka ia orang baik dan kalau tidak, maka sebaliknya. 

Beliau hf meneruskan: Kalau makanan ruh itu adalah ilmu. Karena itu, lihatlah apa ilmu, dari mana ia mendapatkannya, siapa gurunya, seberapa banyak ia mengambilnya (dengan bahasa sekarangan, kitab apa saja yang ia khatamkan dari gurunya itu).......dan seterusnya.

Anjuran Gamblang: 


Kalaulah tidak mau memperhatikan semua yang dijelaskan di atas itu, setidaknya, dalam belajar, jangan mencampur dengan kecenderungan dan kesamaan karakter dengan pengajarnya, apalagi masalah kelompok dan keturunan. Jadi, carilah semua ilmu dalam kehingaran informasi itu, dengan melihat dalilnya yang lebih gamblang, bukan yang lebih cocok dengan rasa, perasaan dan kecenderungannya. 

Kalaulah dengan hal itu, belum juga terobati karena berbagai hal seperti tidak bisa memahami dengan baik dalil-dalil yang terungkap, maka setidaknya, pilihlah yang lebih hati-hati dan lebih berat. Karena memilih yang lebih berat, walau ada kesalahannya, maka ruginya hanya sedikit berat di dunia saja, tapi di akhirat sudah pasti lolos. Tapi kalau nekad memilih yang lebih ringan lalu salah, jangankan di akhirat, di dunia ini sudah pasti akan menghadapi banyak masalah seperti qadhaa’, kaffarah dan semacamnya.

Rabaan yang Sangat Mungkin:


Sebenarnya, tingkatan-tingkatan itu tidak terlalu mencampuri urusan kehingarbingaran informasi di Indonesia ini. Yang sangat mungkin, adalah bahwa dalam masalah Ahlulbait as di Indonesia ini, sama dengan masalah-masalah yang dihadapi saudara-saudara Sunni. Yaitu, tidak adanya spesifikasi dalam bidang para penyampainya dan, yang tidak lebih kalah parahnya, adalah tidak adanya spesifikasi dalam jenjang pelajarannya itu. Karena itu, semua orang atau penyampai, bisa menjelaskan semua masalah sekalipun tidak pernah ia pelajari di masa ia menempuh pendidikan, baik karena bukan bidangnya atau bukan tingkatannya. }}}

(3). Memang tidak ada dan bahkan tidak boleh menindak siapapun yang memahami fikih dan mengajarkannya. Jadi, kita hanya bisa adu argumentasi dalam memahami fikh tersebut dan, semua mukallaf dibebaskan memilih yang terkuat dan, kalau hal itu pun masih salah juga, maka dalam berbagai hal, tetap saja diwajibkan mengulang perbuatannya atau meng- qadhaa’’nya atau bahkan membayar kaffarah. 

(4). Pilih yang terkuat dan terberat. Misalnya ada perbedaan antara haram dan halal, maka pilih yang haram. Antara najis dan suci, maka pilih yang najis. Antara sudah masuk buka puasa atau belum, maka pilih yang belum. Antara sudah imsak atau belum, maka pilih yang sudah imsak. 

Perintah ini, memang dianjurkan di fikih supaya tidak merepotkan diri sendiri di kemudian hari. 

Wassalam. 

Muhammad Dudi Hari Saputra: Syukron atas penjelasannya ustadz.. 

Ustadz menjelaskan bahwa jika tetap terjadi kesalahan maka kita wajib mengqadhaa’’ bahkan membayar kaffarah, bisa dijelaskan lebih rinci ustadz apa yang dimaksud dengan qadhaa’ dan kaffarah itu? Dan dalam kondisi apa saja kita harus melaksanakannya?? 

Kemudian di atas jika kekeliruan yang dialami oleh mukallaf,, namun bagaimna dengan tanggung jawab seorang ustadz yang salah/keliru menyampaikan aturan fiqihnya ustadz? Dan kemudian mukallaf mengikuti beliau karena ketidaktahuan mukallaf itu sendiri tentang aturan fiqih yang benar ,, syukron. 

Sang Pencinta: Macam-macam Kaffarah Dan Waktu Pelaksanaannya, oleh Ustadz Sinar Agama = http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/438351299543005/

Muhammad Dudi Hari Saputra: Syukron mas pencinta. Oh ia mas pencinta ada menyimpan data tentang macam-macam kontradiksi/fallacy menurut ustadz sinar agama? Syukron. 

Khommar Rudin: Allahumma shalli alaa Muhamamd wa aali Muhammad. 

Sang Pencinta: Dudi@ Mungkin antum bisa dapatkan di file dengan judul “Logika. Saya sendiri belum mencek secara detail. Afwan. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ