Tampilkan postingan dengan label Sedekap Orang Mati. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sedekap Orang Mati. Tampilkan semua postingan

Selasa, 17 Desember 2019

Sedekap Dalam Fatwa-Fatwa dan Kitab-Kitab Sunni, Bag-1


October 28, 2013 at 1:31 pm



Mukaddimah:

1- Sebenarnya, masalah sedekap ini adalah masalah yang tidak penting sama sekali. Karena di fikih Sunni manapun tidak diwajibkan melakukannya dalam shalat. Kecuali Sunni yang terlalu awam atau terlebih para wahabi yang biasa mengawamkan dirinya dengan sok tahu ayat dan hadits walau tidak pernah menyentuh pagar pendidikan agama yang jangankan universitasnya, sekolah-sekolah dasarnya saja, tidak pernah.


2- Di madzhab Sunni yang dibid’ahkan para wahabi yang anti madzhab, sedekap dalam shalat ini memiliki tiga hukum secara global:

a- Madzhab Hanafi menghukuminya sunnah bagi lelaki dan perempuan. Untuk lelaki diaf- dhalkan di bawah pusar dan untuk wanita di atas dada.

b- Madzhab Syaafi’i menghukumi sunnah untuk lelaki dan perempuan. Untuk lelaki diaf- dhalkan di atas pusar (di dada) agak miring ke kiri.

c- Madzhab Hanbali mensunnahkan bagi lelaki dan perempuan. Afdhalnya berposisi di bawah pusar.

d- Madzhab Maaliki membolehkannya dalam shalat sunnah dan memakruhkannya dalam shalat wajib serta mensunnahkan pelurusan tangan.

3- Di madzhab Syi’ah, sedekap itu tidak boleh dan membatalkan shalat. Karena itu wajib hukumnya pelurusan tangan, baik dalam shalat wajib atau sunnah.

4- Tujuan penguraian ini, bukan untuk memperuncing masalah yang tidak penting ini, akan tetapi justru ingin memberikan pengertian bahwa sedekap itu bukan hanya tidak termasuk rukun-rukun yang wajib dalam shalat, akan tetapi dalil-dalilnya bahkan merupakan dalil-dalil yang lemah menurut Sunni sendiri.

5- Penguraian kelemahan dalil Sunni menurut Sunni sendiri itu, dan penyebutan dalil pelurusan tangan di Sunni, sekedar ingin memberi tahu bahwa Syi’ah itu tidak mengada-ngada dalam Islam dan tidak mengatasnamakan Ahlulbait as sebagaimana sering dituduhkan. Akan tetapi benar-benarmengambil dari Ahlulbait as yang makshum dan bahkan dikuatkan dengan dalil- dalil Sunni.

6- Sedekap diistilahkan dengan beberapa istilah, seperti “al-Takfiir”, “al-Takattuf”, “al-Dham”, dll- nya. Sedang pelurusan tangan dengan “al-Irsaal”, “al-Isbaal”, “al-I’tidaal”, dll-nya.

7- Dalil-dalil sedekap yang akan dibawakan beserta dalil kelemahannya nanti, kalaupun dianggap kuat (dimana hal itu sangat mustahilsebagaimana yang akan kita lihat kemudian), tetap saja tidak bermakna wajib. Karena itulah maka tidak ada ulama Sunni manapun yang mewajibkan sedekap dalam shalat. Dan semua kitab dan hadits yang akan dinukil di sini, semuanya adalah hadits-hadits dan kitab-kitab Sunni.

8- Dalil-dalil sedekap, memiliki empat/lima bentuk secara global walaupun diriwayatkan dengan berbagai jalur. Akan tetapi, dilihat dari sisi makna/matan/isi, bisa dikatakan hanya dalam empat bentuk saja sebagaimana akan maklum nantinya, yaitu:

  • 8-1-Yang mengatakan bahwa sedekap itu bagian dari akhlak para nabi:

Nabi saww bersabda: “Kami para nabi diperintah untuk menyegerakan berbuka, menga- khirkan sahur dan meletakkan tangan kanan kami di atas tangan kiri dalam shalat.”

Hadits ini, diriwayatkan oleh beberapa shahabat: Ibnu ‘Abbaas, Ibnu ‘Umar, Abu Hurairah, Abu Dardaa’ dan Ya’laa bin Murrah. Saya tidak akan menukil semua bentuk riwayatnya dan hanya akan menyebut salah satunya dari masing-masing hadits dan jalur. Hal itu untuk memperpendek tulisan dan yang terpenting adalah bahwa isi dan maksudnya adalah sama saja. Memang, dalam ilmu hadits, kebermacaman bentuk kalimat hadits dalam satu masalah yang sama dan dari perawi yang sama, bisa membuat hadits tersebut menjadi lemah yang, diistilahkan dengan Muththaribah (bermacam model kalimat). Kita akan bahas sanadnya saja sudah cukup. Karena yang mempelajarinya, akan mencapai keyakinan pasti, bahwa hadits sedekap dalam shalat ini, sama sekali tidak bisa dijadikan pegangan dan hujjah sebagaimana yang akan maklum. Kalau hal ini ditambah dengan kebermacaman haditsnya, maka hadits-hadits itu akan semakin tenggelam dalam lautan kelemahan (dhaif) hingga semakin memustahilkan siapapun untuk menjadikannya hujjah.

    • 8-1-a- Yang dari Ibu ‘Abbaas, ada di kitab: al-Musnad al-Thayaalisi, 345 (2654); Sunan Baihaqii, 4/238. Jalurnya dari Thayaalisii dari Thalhah bin ‘Umar al-Hadhrami, dari ‘Athaa’ bin Abi Ribaah, dari Ibnu ‘Abbaas. Juga diriwayatkan di kitab Sunan al-Daaru Quthni, 1/284. Jalurnya dari Mukhallad bin Yaziid, dari Thalhah, dari ‘Athaa’ dan Ibnu ‘Abbas.

Kritikan hadits:

Pertama, Manuver hadits dari jalur ini, ada pada Thalhah bin ‘Umar al-Makki. Sementara dia, tidak dipakai (matruuk) oleh beberapa ulama hadits Sunni, seperti Ahmad bin Hanbal, Nasaai, Ibu Junaid dan Ibnu Hajar (lihat di: al-Jarhu wa al-Ta’diil, 4/278; al- Dhu’afaa-u al-Nasaai, 143; Tahdziibu al-Tahdziib, 5/21-22; Taqriibu al-Tahdziib, 1/379; dan lain-lain). ‘Umar bin ‘Ali dan Ibnu Mu’iin berkata bahwa ia: “Dia tidak ada nilainya, ditinggalkan dan Yahya dan Abdu al-Rahmaan tidak mau meriwayatkan darinya.” (al- Jarhu wa al-Ta’diil, 4/478).

Bukhari juga berkata: “Dia –Thalhah- tidak memiliki nilai sedikitpun dan Yahya sangat jelek pandangannya tentang dia.” (Tahdziibu al-Tahdziib, 5/21). Terlalu banyak lagi komentar-komentar para ahli hadits dan rijal Sunni yang menjadikan Thalhah bin ‘Umar itu tidak bisa diambil haditsnya.

Ke Dua, ‘Athaa’ termasuk tabi’iin (shahabatnya shahabat Nabi saww) yang meluruskan tangan dalam shalatnya (Mushannaf ‘Abdu al-Razzaaq, 2/276; al-Tamhiid, 20/75; Mu’jamu al-Maudhuu’aat al-Matruuhah, 2/774).
Jalur-jalur lain yang menyambung ke Ibnu ‘Abbaas:

      • 8-1-a-1- Dari Harmalah bin Yahya, dari Ibnu Wahab, dari ‘Umar bin al-Haarits, dari ‘Athaa’ bin Abi Ribaah dari Ibnu ‘Abbaas (lihat di kitab: Thabraani dalam al-Mu’jamu al-Kabiir, 11/199, no: 11485; Shahiih Ibnu Habbaan, 5/67, no: 1770).

Kritikan Hadits dari jalur ini:

Pertama, sebagaimana yang sudah dijelas di atas ‘Athaa’ adalah taabi’iin yang meluruskan tangannya dalam shalat. Jadi, riwayat ini dikatakan pengatasnamaan kepadanya (dipalsukan).

Ke Dua, Ibnu Wahab digolongkan oleh Nasaai dan al-Saajii, sebagai orang yang menggampangkan (sembarangan) urusan periwayatan (Tahdziibu al-Tahdziib, 6/67).

Ke Tiga, Abu Haatim berkata bahwa riwayat Harmalah itu hanya ditulis saja tapi tidak bisa dijadikan dalil (al-Jarhu wa al-Ta’diil, 3/274).

Ke Empat, Ibnu ‘Uddaa menggolongkan Harmalah sebagai orang yang dha’iif/ lemah (al-Kaamil fii al-Dhu’afaa-i, 2/863).

Ke Lima, Umar bin Haarits termasuk yang dilemahkan Ahmad bin Hanbal karena banyak kemungkaran-kemungkarannya, yakni hal-hal yang mesti ditolak darinya (Tahdziibu al-Tahdziib, 8/14). Dan al-Atsram menyerangnya dengan pedas dan berkata bahwa ia salah-salah dalam meriwayatkan dari Qutaadah (Miizaanu al- I’tidaal, 3/252).

Ke Enam, Harmalah adalah satu-satunya orang yang meriwayatkan dari Ibnu Wahab tentang hadits ini (Miizaanu al-I’tidaal, 1/472), jadi terhitung lemah. Dan masih banyak lagi dalil-dalil kelemahan jalur ini.

      • 8-1-a-2- Dari Muhammad bin Abi Ya’quub, dari Sufyaan bin ‘Iyyiinah, dari ‘Umar bin Diinaar, dari Thaawuus, dari Ibnu ‘Abbas (lihat di: al-Mu’jamu al-Kabiir, 11/7, no: 10851; al-Mu’jamu al-Ausath Thabraanii, 5/137 (4261). Jalur ini hanya dishahihkan oleh Haitsamii dalam Majma’u al-Zawaa-id-nya, 3/155. Tapi akan terlihat di bawah ini bahwa penilaiannya ini sama sekali tidak bisa diterima.

Kritikan jalur ini:

Pertama, Muhammad bin Abi Ya’quub adalah satu-satunya orang yang meriwayat- kan hadits ini dari Ibnu ‘Iyyiinah (al-Mu’jamu al al-Ausath Thabraanii, 5/137 (4261). Jadi, tidak bisa dikuatkan.

Ke Dua, Abuu Haatim mengatakan bahwa Muhammad itu majhuul atau tidak dikenal (al-Jarhu wa al-Ta’diil, 8/122; Tahdziibu al-Tahdziib, 9/34).

Ke Tiga, Bukhari sendiri menyebutnya sebagai anak Ya’quub (Taariikh al-Kabiir, 1/267) dan sebagai anak Ishaaq (Taariikh al-Kabiir, 1/41). Jadi jelas terdapat kerancuan tentangnya yang membuat haditsnya menjadi lemah.

Ke Empat, Hakim mengatakan bahwa ‘Umar bin Diinaar adalah orang yang menutupi kekurangan periwayatannya atau mudallis (Ta’riifu Ahli al-Taqdiis Bimaraatibi al- Ma’ruufiina bi al-Tadliis, 42, no. 20;. Bahkan Sufyaanbin ‘Iyyiinah sendiri mengatakan bahwa telah disepakati bahwa dia seorang yang mudallis (ibid, 65, no. 52).

    • 8-1-b- Yang dari Ibnu ‘Umar. Dari Yahya bin Sa’iid bin Saalim al-Qaddaah, dari ‘Abdu al-Majiid bin ‘Abdu al-‘Aziiz bin Abi Ruwwaad, dari ayahnya, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar (al-Mu’jamu al-Shaghiir, 1/176, no. 279; al-Mu’jamu al-Ausath, 4/41, no. 3053; al-Sunanu al-Kubraa, 2/92).

Kritikan Jalur ini:

Pertama, Baihaqi mengatakan bahwa ‘Abdu al-Majiid adalah satu-satu perawi yang meriwayatkan dari jalur ini dan ia dikenal dengan Thalhah bin Umar dan seorang yang tidak kuat haditsnya (al-Sunan, 2/92).

Ke Dua, Ibnu Habbaan berkata bahwa ‘Abdu al-‘Aziiz suka meriwayatkan dari Naafi’ hal-hal yang tidak bisa diragukan hanya karangannya saja (al-Majruuhiin, 2/136-137).

Ke Tiga, Ibnu ‘Uddaa mengatakan bahwa ‘Abdu al-Majiid meriwayatkan dari ayahnya dan dari Ibnu ‘Umar dimana semua hadits-haditsnyaini tidak terjaga (dari kelemahan).

Ke Empat, Diriwayatkan dari Yahyaa al-Qaththaan bahwa ‘Abdu al-‘Aziiz bin Abi Ruwwaad itu adalah pendusta (Tahdziibu al-Kamaal, 18/286).

Ke Lima, ‘Ali bin al-Junaid juga memasukkan ‘Abdu al-‘Aziid ke dalam golongan orang- orang dha’iif/lemah (Tahdziibu al-Tahdziib, 6/302).Begitu pula pandangan Ibnu ‘Uddaa (al-Kaamil fii al-Dhu’afaa-i).

Ke Lima, Daaru Quthnii mengatakan bahwa ‘Abdu al-Majiid tidak bisa dijadikan dalil (Tahdziibu al-Kamaal, 18/275). Begitu pula Ibnu Habbaan mengatakan bahwa hadits- haditsnya benar-benar harus ditolak (al-Majruuhiin, 2/160-161). Begitu pula yang dikatakan Ibnu Abi Haatim bahwa ia adalah tidak kuat dan dicela al-Humaini (al-Jarhu wa al-Ta’diil, 6/64-65). Bukhari juga mengatakan bahwa dia itu dicela al-Humaidii (Taariikh al-Kabiir, 6/112).

Ke Enam, dalam riwayat itu ada Yahya dimana didha’iifkan/dilemahkan oleh al-Haitsami (Majma’u al-Zawaahid, 3/155). Al-Daaru Quthnii juga mengatakan bahwa dia itu tidak kuat (Lisaanu al-Mizaan, 6/257). Dzahabii bahkan mengatakan bahwa ia banyak meriwayatkan yang mungkar –manaakir (Mizaanu al-I’tidaal, 4/378). Begitu pula ‘Uqaili menggolongkanya ke dalam manaakiir yakni banyak riwayatnya yangharus ditolak (al- Shu’afaa-u al-Kabiir, 4/203). Secara keseluruhan hadits ini adalah tergolong hadits yang dilemahkan ulama Sunni (Nailu al-Authaar, 2/200).

    • 8-1-c- Yang dari Abu Hurairah. Al-Daaru Quthnii, dari al-Nadhr bin Ismaa’iil, dari Abu Lailaa, dari ‘Athaa-u, dari Abu Hurairah (lihat: Sunanu al-Daaru Quthnii, 1/284).

Kritikan jalur ini:

Pertama, di dalam jalur ini terdapat Abu Lailaa yang banyak dibicarakan para ahli hadits dan rijal. Ibnu Habbaan berkata bahwa ia banyak kelirunya dan parah dalam periwayatan dan bahkan suka meriwayatkan dengan sangkaannya, karena itu riwayatnya harus ditinggalkan sebagaimana yang dilakukan Ahmad bin Hanbal dan

Yahya bin Mu’iin (al-Majruuhiin, 2/244). Syu’bah juga berkata bahwa tidak ada yang hafalannya lebih parah dari dia (al-Jarhu wa al-Ta’diil, 7/322). ‘Adbullah bin Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa ayahnya mengatakan bahwa dia itu sangat buruk hafalannya dan hadits-haditsnya tidak kokoh (al-Jarhu wa al-Ta’diil, 7/323). Dan masih seambrek lagi ulama Sunni yang melemahkan dia, seperti: al-Jauzjaani, al-Saajii, Ibnu al-Madiinii, Abu Haatim, Thabari, Hakim, dll-nya. Nasaai juga berkata bahwa dia tidak kuat (al-Dhu’afaa-u wa al-Matruukiin, terjemahan 214, no: 550).

Ke Dua, juga terdapat al-Nazhr bin Ismaa’il atau Nadhr bin Ismaa’iil. Ia juga banyak dilemahkan ulama hadits dan rijal. Ibnu Habbaan berkata bahwa ia banyak sekali melakukan kesalahan dan persangkaan hingga layak untuk ditinggalkan (al-Majruuhiin, 3/51). ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata bahwa ia bertanya kepada ayahnya tentang dia dimana ayahnya mengatakan bahwa ia tidak menghafal dan menjaga isnad/nama-nama perawi (al-‘Ilalu wa Ma’rifatu al-Rijaal, 2/256). ‘Abbaas al-Dauri dan Ibnu Syaibah meriwayatkan dari Yahya bin Mu’iin yang mengatakan bahwa dia itu tidak ada apa-apanya (Taariikhu Baghdaad, 13/433). Abu Daud mengatakan bahwa ia banyak meriwayatkan hadits-hadits mungkar yakni yang wajib ditinggalkan (Tahdziibu al-Tahdziib, 10/388; Miizaanu al-I’tidaal, 4/255). Abu Zar’ah mengatakan bahwa dia itu tidak kuat (al-Jarhu wa al-Ta’diil, 8/474) dan begitu pula yang dikatakan Nasaai (al- Dhu’afaa-u wa al-Mtruukiin, terjemah ke: 236, no. 624). Dll-nya dari para ulama yang melemahkannya.

    • 8-1-d- Dari Ya’laa bin Murrah. Jalur ini diriwayatkan Thabraanii, dari jalur ‘Abdu al- Rahmaan bin Musallamah al-Raazii, dari Abu Zuhair ‘Abdu al-Rahmaan bin Maghzaa-u, dari ‘Umar bin ‘Abdullah bin Ya’laa, dari ayahnya, dari kakeknya (al-Mu’jamu al-Kabiir, 22/263, no. 686).

Kritikan Jalur ini:

Pertama, Manuver dari hadits ini ada pada ‘Umar bin ‘Abdullah bin Ya’laa dan ayahnya dimana keduanya sangat lemah. Al-Daaru Quthnii mengatakan bahwa ‘Umar bin ‘Abdullah itu matruuk, yakni mesti ditinggalkan (Tahdziibu al-Kamaal, 21/420). Ahmad bin Hanbal, Nasaai, Ibnu Mu’iin, Abu Haatim dan al-Saaji, semuanya mengatakan bahwa dia itu perawi hadits yang mungkar, yakni mesti ditinggalkan (Tahdziibu al- Kamaal, 21/420). Bukhari mengatakan bahwa dia itu banyak dicela (Taariikh al-Kabiir, 6/170). Jariir bin ‘Abduullah bahkan mengatakan bahwa ia peminum khamr (al-Kaamil fii al-Dhu’afaa-i, 5/1693). Zaaidah juga mengatakan bahwa ia melihatnya sendiri minum khamr (Miizaanu al-I’tidaal, 3/211). Dzahabii juga mengatakan bahwa ia dilemahkan orang-orang banyak (al-Kaasyif, 2/274).

Ke Dua, terdapat juga yang bernama ‘Abdullah bin Ya’laa. Dia juga lemah. Bukhari mengatakan bahwa ia diragukan (al-Dhu’afaa-u al-Kabiiral-‘Uqailii, 2/318). Dalam kitab Tuhfatu al-Ahwadzii, 2/87 dikatakan bahwa kalau Bukhari mengatakan “diragukan”, maka jelas tidak bisa dijadikan sandaran hukum. Dzahabi mengatakan bahwa ia dilemahkan oleh banyak orang (Miizaanu al-I’tidaal, 2/528). Ibnu ‘Uddaa dan al-‘Uqailii memasukkannya dalam golongan perawi yang lemah (al-Kaamil fii al-Dhu’afaa-i, 4/1540; al-Dhu’afaa-u al-Kabiir, 2/318).

Ke Tiga, dalam sanad di atas ini juga terdapat orang yang bernama Abu Zuhair ‘Abdu al-Rahmaan bin Mugharraa-u. Dia juga lemah seperti yang sebelumnya. Banu al-Madiinii berkata bahwa dia tidak ada apa-apanya (Miizaanu al-I’tidaal, 2/592). Ibnu ‘Uddaa juga memasukkannya dalam orang-orang yang lemah (al-Kaamil fii al-Dhu’afaa-i, 4/1599. Al-Saaji juga melemahkannya (Tahdziibu al-Tahdziib, 6/247). Dll ulama.

    • 8-1-e- Abu al-Dardaa-i. Dalam Mu’jamu al-Zawaa-id diriwayatkan dari Thabraanii (Majma’u al-Zawaa-id, 2/105).

Kritikan Jalur ini: Haitsami mengatakan bahwa ia tidak melihat siapapun yang mener- jemahkan para perawinya. Dia juga mengatakan, “Aku tidak berhasil mendapatkan perawinya di Thabraani sebelum kemudian dilakukan penilaian. Mungkin saja ia menukilkannya dari naskah yang sudah hilang.”

  • 8-2- Yang mengatakan bahwa Nabi saww melalukannya (sedekap dalam shalat). Hadits ini diriwayatkan oleh Syadaad bin Syurahbiil, Ghuthaif bin al-Haarits dan Halb al-Thaa-i. Begitu pula diriwayatkan secara mursal (diriwayatkan dari Nabi saww oleh orang yang tidak pernah bertemu beliau saww) melalui Waa-il bin Hajar dan Ibnu Mas’uud dari Thaawuus al- Yamaanii. Bentuk haditsnya bermacam-macam yang secara keseluruhannya mengabarkan bahwa Nabi saww melakukannya.

Saya tidak akan menyebutkan semuanya karena bermuatan sama dan kajian kita lebih banyak ke sanadnya. Artinya kalau dari sisi sanad sajasudah lemah, maka kalau ditambah dengan kebermacaman bentuk matan atau isinya, maka akan membuat haditsnya semakin tidak berharga. Jadi, saya akan menyebutkan sebagiannya saja. Misalnya, Syadaad bin Syurahbiil berkata:


“Sekalipun aku bisa lupa, tapi aku tidak pernah lupa bahwa aku pernah melihat Rasul saww berdiri dalam shalat dan meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya dalam keadaan memegangnya.”

    • 8-2-a- Yang dari Syadaab. Diriwayatkan oleh Thabraanii (al-Mu’jamu al-Kabiir, 7/282, no. 7111), al-Bazzaar (Kasyfu al-Astaar, 1/254),Bukhaarii (Taariikh al-Kabiir, 4/225), dari Hayaat bin Syuraih al-Humsii, dari Baqiyyah bin al-Waliid, dari Habiib bin Shaalih, dari ‘Iyaasy bin Muannas, dari Syadaad bin Syurahbiil al-Anshaarii.

Kritikan Jalur ini:

Pertama, hadits ini mursal (diriwayatkan langsung dari Nabi saww oleh orang yang tidak melihat Nabi saww). Karena tidak ada bukti bahwaSyadaad adalah shahabat Nabi saww. Begitu pula ‘Iyaasy adalah orang yang tidak diketahui/majhuul. Ibnu ‘Abdu al-Bir berkata bahwa Syadaad tidak ada riwayatnya kecuali hadits ini (al-Ishaabah, 2/1393; al-Istii’aab, 2/137). Begitu pula yang dikatakan al-Bazzaar (Majma’u al-Zawaa-id, 2/105).

Ke Dua, hadits ini terputus silsilahnya (maqthuu’). Karena ‘Iyaasy itu adalah tidak diketahui identitasnya/majhuul. Al-Haitsamii berkata bahwa tidak ada seorangpun yang menerjemahkan dirinya (Majma’u al-Zawaa-id, 2/105; Nailu al-Authaar, 2/200). Bukharipun juga mengatakan hal yang sama (Taarii Kabiir, 4/225).

Ke Tiga, hadits dengan jalur ini juga hanya satu dari Baqiyyah dimana kehanyasatu- annya ini saja sudah membuat hadits ini lemah. Ditambah lagi diriwayatkan dari ‘Iyaasy yang tidak jelas itu. Ahmad bin Hanbal berkata: “Aku mengira bahwa Baqiyyah ini tidak meriwayatkan hadits mungkar, tapi dari majhul. Seandainya meriwayatkan hadits mungkar, maka aku pasti tahu dari mana dia ini (Tahdziibu al-Tahdziib, 1/417-419). Al-Khathiib juga berkata bahwa haditsnya –Baqiyyah- banyak mungkarnya (Taariikh Baghdaad, 7/123). Abu Mashar berkata bahwa hendaknya mesti berhati-hati terhadap hadits-haditsnya karena dia tidak bersih (Taariikh Baghdaad, 7/124; Tahdziibu al- Kamaal, 4/198). ‘Abdu al-Haq berkata bahwa dia tidak bisa dijadikan dalil (Tahdziibu al-Tahdziib, 1/417-419). Dzahabi berkata bahwa dia memiliki riwayat-riwayat yang aneh dan mungkar (Miizaanu al-I’tidaal, 1/339). Ada juga yang mengatakan bahwa dia itu lemah/dha’iif, seperti: al-Daaru Quthnii (al-Dhu’afaa-u wa al- al-Matruukiin, 187), al-‘Uqailii (al-Dhu’afaa-u al-Kabiir, 1/112) dan Ibnu ‘Uddaa dalam al-Dhu’afaa-u-nya. Baihaqii berkata bahwa semua bersepakat bahwa Baqiyyah itu bukan hujjah, yakni tidak bisa dijadikan dalil (Tahdziibu al-Tahdziib, 1/417-419).

    • 8-2-b- Yang dari al-Haarits bin Ghathyaf. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 1/342, no. 3933) dan Thabraanii (al-Mu’jamu al-Kabiir, 3/276, no. 339). Diriwayatkan melalui jalur Zaid bin al-Hubaab, dari Mu’awiyyah bin Shaalih, dari Yuunus bin Saif, dari al-Haarits bin Ghathyaf. Ahmad bin Hanbal juga meriwayatkan melalui jalur Hamaad bin Khaalid, dari Mu’aawiyyah, dari Yuusuf bin Saif dan dari Haarits bin Gathyaf (Musnad Ahmad, 4/105 dan 5/290). Dan juga melalui jalur ‘Abdu al-Rahmaan bin Mahdi, dari Mu’awiyyah, dari Yuunus bin Saif dan dari Haarits bin Ghathyaf (ibid). Dan Thabraani meriwayatkannya melalui jalur Ibnu Wahab, dari Mu’awiyyah bin Shalih, dari Yuunus, dari Rasyiid al-Habraanii dan dari Haarits bin Ghathyaf (al-Mu’jamu al- Kabiir, 3/276, no. 3400; Haamisy al-‘Awaashim wa al-Qawaashim, 3/10).

Kritikan Jalur ini:

Pertama, jalur ini sanadnya tidak kokoh (muththarib) dan tidak bisa dipakai, karena ada yang melalui Rasyiid setelah Yuunus, dan ada yang tidak memakainya sebagaimana maklum di atas. Begitu pula ada yang mengatakan Yuunus bin Saif dan ada yang mengatakan Yuusuf bin Saif.

Ke dua, rancu dalam nama perawi pertama hadits ini, yaitu al-Haarits. Ada yang mengatakan anak Ghathyaf, ada yang mengatakan anak Ghuzhaif, dan ada juga yang mengatakan anak Ghudhaif (al-Ishaabah, 1/287; Taqriibu al-Tahdziib, 2/105). Di samping itu, orang ini dikenal meriwayatkan dari shahabat di riwayat-riwayat lain selain hadits ini (dimana menunjukkan bahwa dirinya adalah tabi’iin, tapi di riwayat di atas ia mengakatan bahwa ia melihat langsung yang menunjukkan dirinya shahabat). Karena itu, hadits ini di samping rancu nama perawinya, juga mursal. Karena itu, tidak bisa dipakai.

Ke Tiga, adanya kejelasan pernyataan dari ulama rijal/hadits bahwa ia adalah dari tabi’iin generasi pertama. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Sa’ad (Sairu A’laami al- Nubalaa-i, 3/455), al-‘Ajali (Taariikhu al-Tsiqaat, 381). Karena itu hadits ini mursal dan tidak bisa dipakai. Mursal karena ia memutus satu sanad yang dari shahabat dan menjadikannya sebagai riwayat dirinya. Jadi, sama sekali tidak bisa dipakai.

Ke Empat, dalam sanadnya terdapat orang yang bernama Mu’awiyyah bin Shalih yang menurut Dzahabi dan Abu Haatim tidak bisa dijadikan hujjah, begitu pula Bukhaari tidak meriwayatkan darinya (Miizaanu al-I’tidaal, 4/135). Masih banyak lagi ulama- ulama rijal yang tidak menilai baik dirinya, seperti: Abu Haatim, Yahya bin Sa’iid dan Ibnu Mu’iin (al-Jarhu wa al-Ta’diil, 8/383). Dan masih banyak lagi yang melemahkannya.

    • 8-2-c- Yang diriwayatkan oleh Hullab al-Thaa-ii. Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal (Musnad Ahmad, 5/226-227), Turmudzii (Shahih Turmudzi, 2/32, no. 252) dan Ibnu Maajah (Sunan Ibnu Maajah, 1/266). Mereka meriwayatkan dari Abu al-Ahwash, dari Sammak bin Harb, dari Qubaishah bin Halab, dari ayahnya.

Riwayat ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Syaibah (al-Mushannaf, 1/341, no. 3934) yang mengambil juga dari Ahmad bin Hanbal (Musnad Ahmad, 5/226), al-Daaru Quthnii (Sunan al-Daaru Quthnii, 1/285), Baihaqii (Sunan Baihaqii, 2/29). Semua meriwayatkan dari Wakii’, dari Sufyaan, dari Sammaak bin Harb, dari Qubaishah bin Halab al-Thaa-i, dari ayahnya.

Riwayat ini juga diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal (Musnad Ahmad, 5/226) yang diambil dari jalur Yahyaa bin Sa’iid, dari Sufyaan, dari Sammaak. Di kitab al-Ishaabah, 2/517, dikatakan bahwa sebagian orang melakukan kesalahan, karena itu mereka meriwayatkan dari Sammaak, dari Tamiim bin Tharfah. Ibnu Abi Haatim dalam kitab ‘ilal, 1/142 mengatakan bahwa ia bertanya kepada ayahnya tentang dia (Sammaak) yang dijawab bahwa dia adalah Sammaak dari Qubaishah bin Halab dari ayahnya.

Kritikan Hadits dari jalur ini:

Pertama, Halab memiliki banyak masalah sebagaimana dikatakan dalam Jaami’u al- Tahshiil, 1/294 dan al-Tahshiil, 1/333. Diantaranya sulit membuktikannya sebagai shahabat karena hanya ada tiga riwayat darinya yang meriwayatkan dari Rasulullah saww dan semuanya dari jalur Sammaak dan Qubaishah, sementara Sammaak seorang yang lemah/dha’if dan Qubaishah seorang yang majhul (tidak diketahui). Dan dikatakan pula bahwa banyak beda pendapat tentang namanya. Ada yang mengatakan bahwa namanya adalah Halab, ada yang mengatakanYaziid yang dijuluki Halab, hingga karena itu sulit untuk memakai hadits ini.

Ke dua, terdapat kerancuan pada kalimatnya. Ada yang mengatakan bahwa Nabi saww mengimami shalat dan ada yang tidak menyebutkannya (padahal satu jalur). Sebagiannya juga ada menyebutkan tempat peletakan tangan yang di dada hingga karenanya yang model ini ditolak oleh al-Mubaarakfauri (Tuhfatu al-Ahwadzii, 2/92-95). Semua kerancuan membuat hadits ini tidak bisa dipakai.

Ke Tiga, riwayat ini hanya satu-satunya riwayat diriwayatkan oleh Sammaak dari Qubaishah. Sementara Nasaai mengatakan bahwa kalau Sammaak menjadi satu- satunya perawi, maka tidak bisa dijadikan dalil (Miizaanu al-I’tidaal, 2/233; Tahdziib al- Tahdziib, 4/204).

Ke Empat, banyak yang melemahkan Sammaak ini. Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa ia tidak kuat (al-Jarhu wa al-Ta’diil, 4/279). IbnuAbi Maryam mengatakan bahwa Syu’bah bin al-Hajjaaj melemahkannya (Taariikh Baghdaad, 9/215). Ibnu al-Mubaarak juga melemahkannya (Tahdziibu al-Kamaal, 12/120; al-Mughnii fii al-Dhu’afaa-i, 1/285).

Masih banyak yang melemahkannya seperti: Shaalih Juzrah, Ibnu Kharraasy, al-Daaru Quthnii, Ibnu Jauzii, Syu’bah dan Sufyaan.

Ke Lima, Qubaishah bin Halab adalah orang majhuul (tidak dikenal). Ibnu al-Madanii dan Nasaai mengatakan bahwa dia itu majhuul dimana tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Sammaak (al-Khulaashah, 315; Tahdziibu al-Tahdziib, 8/314). Dzahabi juga berkata hal yang sama (Miizaanu al-I’tidaal, 3/384) dan begitu pula al-Syaukanii (Nailu al-Authaar, 2/200). Abu Thaalib al-Abaadii berusa membela Qubaishah ini dari kemajhuulannya. Akan tetapi terlihat sangat memaksakan diri di hadapan para ahli yang sudah disebut di atas ini.

    • 8-2-d- Yang riwayat Waail bin Hajar. Jalur ini diriwayatkan oleh banyak pengumpul hadits, seperti: shahih Muslim, 1/301, no. 401; Ahmad bin Hanbal, 4/317-318; Abu ‘Awwaanah dalam Musnadnya, 2/97; Baihaqii dalam Sunan Kubraanya, 2/28; Thabraanii dalam al-Mu’jam al-Kabiirnya, 22/27, no. 60. Semuanya meriwayatkan dari Muhammad bin Jihaadah, dari ‘Abdu al-Jabbaar bin Waail, dari ‘Alqamah bin Waail dan dari pembantu mereka (keluarga Waail) yang mengatakan bahwa keduanya (anak Waail ini, yakni ‘Abdu al-Jabbaar dan ‘Alqamah) meriwayatkan dari ayah mereka, yakni Waail yang menyatakan:

“Bahwasannya ia –Waail- pernah melihat Nabi saww mengangkat tangannya ketika memulai shalat dan bertakbir (disifati Hammaam, sampai ke kedua telinga beliau saww), kemudian menyelimuti –badannya- dengan bajunya, kemudian meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya.”

Riwayat ini juga diriwayatkan melalui jalur, Muhammad bin Jihaadah, dari ‘Abdu al- Jabbaar, dari ayahnya (Thabraanii dalam al-Mu’jamu al-Kabiirnya, 22/27, no. 60. Begitu pula melalui Musa bin ‘Umair al-‘Anbari dan Qais bin Saliim/Sulaim, dari ‘Alqamah bin Waail, dari ayahnya (Nasaai dalam al-Sunanu al-Kubraanya, 1/309, no.961; al-Daaru Quthnii dalam Sunannya, 1/286 -dengan kalimat bahwa Waail melihat Nabisaww kalau berdiri melakukan shalat meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya). Dan juga dari jalur Musa bin ‘Umair (dengan dirinya sendiri), dari ‘Alqamah bin Waail al- Hadhrami, dari ayahnya (Ahmad bin Hanbal, 7/316; al-Daaru Quthnii, 1/286 –dengan kalimat yang mengatakan bahwa Waail melihat Nabi saww kalau shalat meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya). Dan dengan kalimat bahwa Waail melihat Nabi saww kalau berdiri melakukan shalat memegang tangan tangan kirinya dengan tangan kanannya, diriwayatkan oleh Thabraanii dalam al-Mu’jamu al-Kabiirnya, 22/9, no. 1; Baihaqii dalam al-Sunan al-Kubraanya, 2/28; Ibnu al-Mundzir dalam al- Ausathnya, 3/90, no. 1282 tapi dengan kalimat bahwa Nabi saww kalau masuk dalam shalat memegang tangan kirinya dengan tangan kanannya. Dan diriwayatkan pula melalui jalur, Hajar bin Abi al-‘Anbas, dari ‘Alqamah, dari Waail bin Hajar, dengan kalimat bahwa Nabi meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya (Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya, 4/317).

Diriwayatkan juga melalui Muhammad bin Hajar, dari Sa’iid bin ‘Abdu al-Jabbaar bin Waail bin Hajar, dari ayahnya, dari ibunya, dari Waail, dengan kalimat bahwa Nabi saww kalau masuk masjid dan masuk mihrab lalu mengangkat tangannya sambil bertakbir, lalu meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya (Baihaqi dalam al- Sunan al-Kubraanya, 2/30). Dan juga melalui jalur, al-Mas’uudii, dari ‘Abdu al-Jabbaar bin Waail, dari Ahlu Baitihi, dari ayahnya dengan kalimat bahwa Nabi saww ketika memulai shalat mengangkat kedua tangannya dan meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya (Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya, 4/316; Thabraanii dalam al-Mu’jamu al-Kabiirnya, 22/32-33 tapi di sini dikatakan dari keluarganya di kata-kata yang mengatakan dari Ahlulbaitnya). Juga diriwayatkan dengan jalur, Abu Ishaaq, dari ‘Abdu al-Jabbaar bin Waail dan Waail, dengan kalimat bahwa Nabi saww kalau shalat meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di dekat pergelangan tangan (Thabraanii dl, al-Mu’jamual-Kabiirnya, 22/25, no. 52). Dan dengan kalimat bahwa Nabi saww kalau shalat meletakkan lengan kanannya di atas lengan kirinya (Thabraaniidalam al-Mu’jamu al-Kabiirnya, 22/25, no. 50). Dan dengan kalimat bahwa ia shalat bersama Nabi saww lalu melihat Nabi saww meletakkantangan kanannya di atas tangan kirinya (Thabraanii dalam al-Mu’jamu al-Kabiirnya, 22/25, no. 51). Dan dengan kalimat bahwa ia melihatNabi saww shalat dengan meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di dekat pergelangan tangan (Ahmad dalam Musnadnya, 4/318; Thabraanii dalam al- Mu’jamu al-Kabiirnya, 22/25, no. 52). Dan dengan kalimat meletakkan tangan kanannya dalam shalat ke atas tangan kirinya (Ahmad dalam Musnadnya, 4/318).

Begitu juga diriwayatkan melalui jalur ‘Aashim bin Kulaib, dari ayahnya, dari Waail bin Hajar dengan kalimat bahwa ia melihat cara Nabi saww dimana beliau saww berdiri, lalu bertakbir dengan mengangkat tangannya sampai ke telinga dan kemudian meletakkan tangan kanannya di atas punggung tangan kiri di dekat pergelangan tangan (Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya, 4/318; al-Daaru Quthnii dalam Sunannya, 1/314 tapi tanpa kata-kata pergelangan tangan; Nasaai dalam Sunannya, 2/126 tapi tanpa kata- kata punggung tangan; Ibnu Khaziimah dalam Shahihnya, 1/243, no. 480; Ibnu Jaaruud dalam al-Muntaqaa, 62, no. 208 tapi kata-kata meletakkan telapak tangan kanannya di atas tangan kiri; Baihaqii dalam al-Sunan al-Kubraanya, 2/28 tapi ada kata-kata pergelangan dari lengan; Thabraanii dalam al-Mu’jamu al-Kabiirnya, 22/35, no. 82 dengan sisipan kata-kata antara pergelangan dan lengan;

Dan masih banyak lagi model-model hadits atau kalimat-kalimat haditsnya dimana dapat mempengaruhi nilainya (menjadi lemah).

Kritikan terhadap hadits ini:

Pertama, terdapat kerancuan dalam sanad/perawinya sehingga hadits ini tidak bisa dijadikan sandaran hukum. Sebagian mengatakan dari ‘Alqamah dari ayahnya. Yang lain mengatakan dari, ‘Abdu al-Jabbaar bin Waail, dari ibunya, dari Waail. Yang lainnya dari ‘Abdu al-Jabbaar, dari ayahnya. Begitu pula ada yang dari ‘Abdu al-Jabbaar, dari Orang-orang dari Ahlubaitnya/keluarganya, dari ayahnya. Juga ada yang mengatakan dari ‘Alqamah, dari pembantu mereka, dari Waail. Ada juga yang dari ahlulbait/keluarga ‘Abdu al-Jabbaar, dari ayahnya, Waail.

Ke Dua, terdapat kerancuan yang banyak dalam matan atau kata-katanya. Sebagian penukilan kalimat-kalimatnya sudah saya usahakan untuk dibuat seleterleks mungkin. Ada yang menyebutkan kata-kata meletakkan (wadha’a) dan ada yang tidak. Ada yang menyebut letak peletakan tangan kanannya dan ada yang tidak menyebutkan, seperti pergelangan, lengan atau antara pergelangan dan lengan. Ada yang menyebutkan letak sedekapnya dan ada yang tidak menyebutkan. Yang menyebutkan peletakan sedekapnya juga yang mengatakan di dekat dada dan ada yang menyebut di dada. Ada juga yang mengatakan memegang tangan kiri dengan tangan kanan, ada yang hanya mengatakan meletakkan. Masih banyak lagi kerancuan kata-kata yang membuat hadits ini menjadi tidak memiliki nilai keshahihan dilihat dari sisi matan atau isinya.

Ada juga yang berusaha membela kerancuan kalimat ini seperti al-Mubaarakfauri dengan alasan kalau ada salah satunya yang bisa dilebihkan dari yang lain, maka bisa dijadikan yang shahih (Tuhfatu al-Ahwadzi dalam Syarh Sunan al-Turmudzi, 2/83).

Pembelaannya ini sama sekali tidak bisa diambil. Karena kerancuan hadits di atas sangat parah hingga bagaimanapun tidak bisa keluar dari nilai kerancuan. Lagi pula, kerancuan itu memang masih diselamatkan dengan memilih yang paling shahih. Akan tetapi kalau bukan dari jalur yang satu dan perawi yang satu. Tapi sebagaimana maklum, kerancuan matan ini banyak terjadi juga pada yang satu jalur dan perawi. Karena itu, maka hadits ini tetap rancu dan tidak bisa dipakai.

Ke Tiga, hadits ini munqothi’/terputus. Karena semua riwayatnya kalau bukan dari jalur ‘Alqamah maka dari ‘Abdu al-Jabbaar yang mana kedua-duanya anak dari Waail. Sementara Ibnu Mu’iin mengatakan bahwa ‘Alqamah tidak pernah mendengar riwayat dari ayahnya (Jaami’u a-Tahshiil Fii Ahkaami al-Mursal, terjamahan no. 536; Miizaanu al-I’tidaal, 5/134; al-Mughnii Fii al-Dhu’afaa-i, 2/442; Tahdziibu al-Tahdziib, 7/248). Abu Bakar al-Bazzar berkata bahwa yang mengatakan “Aku sangat kecil hingga tidak bisa tahu shalatnya ayahku.”, adalah ‘Alqamah, bukan saudaranya yang bernama ‘Abdu al-Jabbaar (Tahdziibu al-tahdziib, 6/95). Sedang saudaranya, ‘Abdu al-Jabbaar, maka al-Aajiri bertanya kepada Abu Daud tentang dia dan ayahnya yang kemudian dijawab bahwa ia masih dalam kandungan ketika ayahnya, Waail meninggal dunia. Begitu pula yang dikatakan Bukhari (Taariikh Kabiir, 6/106) dan al-Durri (Tahdziibu al-Kamaal, 16/394), Abu Haatim (al-Jarhu wa al-Ta’diil, 6/30), IbnuHabbaan (al-Tsiqaat, 7/135). Begitu pula yang dikatakan oleh Ibnu al-Madanii, Ibnu Jariir al-Thabarii, Ya’quub bin Sufyaan, Ya’quub bin Syaibah, al-Daaru Quthnii dan Hakim (Hasyiah Sairi al-Nubalaa-i, 2/573).

Ke Empat, Kulaib bin Syahaab dan Ahlulbait ‘Abdu al-Jabbaar adalah orang-orang yang tidak dikenal (majhuul). Mungkin karena itu Bukhari tidak meriwayatkan darinya dalam shahihnya. Al-Aajiri menukilkan dari Abu Daud yang berkata bahwa ‘Ashim bin Kulaib dan ayahnya (Kulaib) dan kakeknya, tidak ada apa-apanya (Tahdziibu al- kamaal, 24/212). Kulaib bukan seorang shahabat sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar (Tahdziibu al-Tahdziib, 8/400). Sedang pembantu keluarga Abu Waail, Ahlulbait Waail dan Ahlulbait ‘abdu al-Jabbaar adalah orang-orang yangtidak dikenali siapapun hingga karena itu tidak memiliki nilai apapun.

Ke Lima, Waail bin Hajar ini adalah orang yang sangat negatif, seperti menjadi mata- mata Mu’awiyyah di pasukan imam Ali as. Yang ingin tahu keburukannya bisa melihat ke: Taariikh al-Thabarii, 4/186-213; Taariikh Ibnu al-Atsiir, 3/239-240; Sairu A’laami al- Nubalaa-i, 2/572).

Dengan semua uraian di atas ini, maka hadits dari Waail ini tidak bisa dijadikan dasar hukum dalam Islam.

    • 8-2-e- Yang riwayat Ibnu Mas’uud. Diriwayatkan oleh al-Daaru Quthni dalam Sunannya, 1/283. Ia meriwayatkan dari Ismaa’iil bin Abaan al-Warraaq, dari Mundil, dari Ibnu Abi Lailaa, dari al-Qaasim bin ‘Abdu al-Rahmaan bin ‘Abdullah bin Mas’uud, dari ayahnya dan kakeknya (yang isi haditsnya sama dengan di atas).

Kritikan jalur ini:

Pertama, terdapat perawi yang bernama Muhammad bin ‘Abdu al-Rahmaan bin Abu Laila, dimana sudah dibahas sebelum ini.

Ke dua, di riwayat ini juga ada perawi yang bernama Mundil bin ‘Ali al-‘Unziy. Orang ini dilemahkan Ahmad bin Hanbal (al-‘Ilal wa Ma’rifatu al-Rijal, 1/135) dan bahkan dinilai pembohong oleh Syariik dalam beberapa haditsnya (Bukhari dalam al-Taariikhu al-Shaghiir-nya, 2/151). Al-Daaru Quthni juga pernah ditanya tentang Mundil dan saudaranya dimana ia menjawab: “Keduanya ditinggalkan (matruuk).” (Haamisy Tahdziibi al-Kamaal ‘An Suaalaati al-Barqii. Ibnu Habbaan juga berkata bahwa Mundil itu marafa’ (menyambungkan ke Nabi saww) apa-apayang mursal (yang diriwayatkan dari Nabi saww oleh orang yang tidak pernah melihat Nabi saww) dan banyak menentang orang-orang tsiqah karena buruknya hafalannya hingga karena itu ia layak untuk dijadikan ditinggalkan/matruuk (al-Majruuhiin, 3/25). Abur Zar’ah mengatakan bahwa ia layyin/tidak kuat (al-Jarhu wa al-Ta’diil, 8/434). Ibnu Mu’iin juga berkata bahwa Mundil dan Habbaan adalah dha’if/lemah (Taariikh Yahya bin Mu’iin, 2/36, no: 3057). Begitu pula dia/Mundil dilemahkan oleh Nasaai dan Ibnu Qaani’ dan Ibnu Hajar (Tahdziibu al- Tahdziib, 10/266; Taqriibu al-Tahdziib, 2/280). ......dan lain-lain dari orang-orang yang melemahkan dirinya –Mundil.

    • 8-2-f- Yang diriwayatkan oleh Thaawuus. Diriwayatkan oleh Abu Daaud, dari Abu Taubah, dari al-Haitsam (Ibnu Hamiid), dari Tsaur, dari Sulaimaan bin Muusaa, dari Thaawuus, berkata:

“Rasulullah saww meletakkan tangan kanannyadi atas tangan kirinyalalu meletakkannya di atas dadanya sementara ia sedang dalam shalat.”(Sunan Abu Daaud, 1/198, no. 759).

Kritikan jalur ini:

Pertama, Thaawuus ini adalah orang yang tidak pernah bertemu dengan Nabi saww. Karena itu haditsnya mursal dan tidak bisa dijadikan sandaran apapun terutama hukum.

Ke dua, salah satu perawi hadits di atas ini terdapat orang yang bernama Sulaimaan bin Muusaa al-Damasyqy al-Umawi dimana orang ini digolongkan oleh Bukhari ke dalam orang-orang yang lemah/dha’iif dan dikatakan bahwa ia memiliki hadits-hadits mungkar (al-Dhu’afaa-u al-Shaghiiru, 110). Banyak sekali ulama yang menggolongkannya dalam orang-orang yang lemah/dha’iif seperti, ‘Uqailii (al-Dhu’afaa-u al-Kabiiru, 2/140), Nasaai (al-Dhu’afaa-u wa al-Matruukiin, 122), Ibnu ‘Udda (al-Kaamil fii al-Dhu’afaa-u, 3/1119).

Ke tiga, juga terdapat orang yang bernama al-Haitsam bin Hamiid dan Tsaur bin Yaziid yang dalam kitab-kitab rijal tidak dianggap sebagai orang yang kuat atau penghafal hadits (ahli hadits).

  • 8-3- Sedang riwayat model yang ke tiga adalah yang meriwayatkan bahwa Nabi saww membenahi shahabat yang salah dalam sedekapnya. Riwayat ini diriwayatkan oleh Inbu Mas’uud dan Jaabir bin ‘Abdullaah al-Anshaarii. Isi dan maksud haditsnya sama saja, seperti:

Ibnu Mas’uud berkata: “Nabi saww melihat aku yang meletakkan tangan kiriku ke atas tangan kananku dalam shalat, lalu –Nabi saww- mengambil tangan kananku dan meletak- kannya ke atas tangan kiriku.”

    • 8-3-a- Yang dari Ibnu Mas’uud. Diriwayatkan oleh Nasaai sesuai jalurnya dari al-Daaru Quthni, dari ‘Umar bin ‘Ali, dari ‘Abdu al-Rahmaan, dari Husyaim, dari al-Hajjaaj bin Abu Zainab, dari Abu ‘Utsmaan dari Ibnu Mas’uud. Riwayat ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Maajah dengan jalur dari Ibrahim bin ‘Abdullah bin Haatim, dari Husyaim, dari al- Hajjaaj bin Abu Zainab, dari Abu ‘Utsmaan al-Nahdii, dari ‘Abdullah bin Mas’uud. Juga, Abu Daaud dan al-‘Uqaili. Juga diriwayatkan oleh Abu Daaud dengan jalur Baihaqii, dari Muhammad bin Bakkaar, dari Husyaim dari al-Hajjaaj, dari Abu ‘Utsmaan, dari Ibnu Mas’uud. Juga diriwayatkan al-‘Uqailii dari kakeknya dan ‘Ali bin ‘Abdu al-‘Aziiz dari Hajjaaj bin al-Manhaal, dari Husyaim dari Hajjaaj bin Abu Zainab dari Abu ‘Utsmaan dan Ibnu Mas’uud.

Kritikan hadits ini:

Pertama, Manuver hadits ini ada pada Hajjaaj dimana ia terkenal dengan kedha’iifannya seperti al-Hasan bin Syujaa’ al-Balkhii, Nasaai (al-Dhu’afaa-u wa al-Matruukiin), al-Daaru Quthni, al-‘Uqailii, Ibnu ‘Uddaa (al-Dhu’afaa-u), dan lain-lainnya.

Ke dua, juga terdapat orang yang bernama Husyaim (atau Hasyiim) dimana orang ini dinyatakan terkenal dengan tadlisnya, yakni menutupi kekurangan haditsnya, seperti sanad yang tidak nyambung dan semacamnya (Huda al-Saari, 1/449).

    • 8-3-b- Yang diriwayatkan dari Jaabir bin ‘Abdullah al-Anshaari. Diriwayatkan oleh al- Daaru Quthni dari jalur Muhammad bin al-Hasan al-Waasithii, dari al-Hajjaaj bin Abu Zainab, dari Abu Sufyaan, dari Jaabir bin ‘Abdullah al-Anshaarii. Dalam hadits ini dikatakan bahwa Jaabir melihat satu orang yang dibenarkan sedekapnya seperti yang di riwayat Ibnu Mas’uud di atas.

Kritikan terhadap jalur ini:

Pertama, cukup dengan adanya al-Hajjaaj bin Abu Zainab di atas sudah menunjukkan bahwa hadits ini tidak bisa dipakai sama sekali sebagaisandaran hukum dalam agama Islam.

Ke dua, ditambah dengan perawi yang bernama Muhammad bin al-Hasan al-Waasithii yang digolongkan ke dalam perawi-perawi yang lemah/dha’iif oleh beberapa ahli rijaal seperti: Ibnu Habbaan (al-Majruuhiin), al-‘Uqaili dan ‘Uddaa (al-Dhu’afaa-u), dan lain- lainnya.


...........(bersambung ke bagian-2).........................

16 Shares

Neo Quisling, HenDy Laisa, Haidar Dzulfiqar and 44 others like this.


Sang Pencinta: Penganten Mercon

Rahmat Punggawa: Ijin share ustadz...

Dedy Setiawan Bin Ibrahim: Apa dalilnya bahwa ahlul bait itu ma’sum?

Reyza Pahlevi: Dedy Setiawan bin Ibrahim... Dalilnya ada di QS 33 ; 33 ....

Sang Pencinta: Dedy, https://www.dropbox.com/.../Imam%s20Makshum%20Urgensi%20%26...

Imam Makshum Urgensi & Wasiat Nabi Saww.pdf www.dropbox.com

Tatu: Bagaimana kalau posisi tangan orang mati di Sunni?

Sinar Agama: Tatu: Saya sudah berusaha mencari di beberapa kitab Sunni, tapi tidak dapat. Maksudnya yang berupa hadits kecuali yang di kitab: Al-Mausuu’atu al-Fiqhiyyati al-Kuwaitiyyah (insiklopedia fikih Kuwait).



Bunyi hadits Nabi saww-nya:

“Posisikan mayat kalian berbeda dengan posisi mayat kafirin. Mereka meletakkan tangan mayat di dadanya.”

By the way, kalau berupa fatwa, maka seperti Syafi’ii membolehkan pelurusan tangan mayat atau menjadikannya sedekap.


Dari beberapa perkataan ulama Sunni sendiri, dapat diraba dengan agak kuat, bahwa memang tidak ada aturan khusus tentang peletakan tangan mayat ini.

Tapi kalau di Syi’ah, maka diluruskan dan sama sekali tidak disedekapkan.

Tatu: Jadi betul-betul tidak ada perintah di Sunni untuk mensedekapkan tangan orang mati? Kalau shalat Dhuha, Taraweh dan shalat malam di Syi’ah bagaimana?

Sinar Agama: Tatu:

1- Kalau sedekapnya orang mati, memang tidak ada haditsnya di Sunni dan, imam Syafi’i juga membolehkan pelurusan.

2- Kalau shalat dhuha, sepertinya saya dulu sudah pernah menulisnya. Bisa minta ke akun Sang Pencinta.

3- Taraweh juga sudah menulisnya, seingatku. Coba minta ke pencinta.

4- Kalau shalat malam, maka tidak beda. Semua menyepakati kesunnahannya.

Rudi Suwandi: 1467. Dari Aisyah RA, sesungguhnya Aisyah membenci orang yang melaksanakan shalat dan meletakan tangannya di pinggangnya, dan ia berkata, “Karena sesungguhnya orang- orang yahudi biasa melakukannya.”

Rudi Suwandi: Pak Ustadz, hadits di bawah ini saya ambil sari kitab Bukhari yang di syarah oleh Albani....................... yang satu diterjemahkan bertolak pinggang (625) yang lainnya meletakkan tangannya di pinggang (1467)....Kelihatannya bahasa arabnya sama khoosiroti..... Mohon penjelasan 625. Dari Abu Hurairah RA, dia berkata, “Dilarang bertolak pinggang ketika shalat.” 1467. Dari Aisyah RA, sesungguhnya Aisyah membenci orang yang melaksanakan shalat dan meletakan tangannya di pinggangnya, dan ia berkata, “Karena sesungguhnya orang-orang yahudi biasamelakukannya.”

Rudi Suwandi: Apakah orang Yahudi sholatnya bertolak pinggang? Justru saya pernah melihat di TV tentara Yahudi sholatnya sedekap.

Sinar Agama: Rudi, afwan di shahih Bukharinya, no2 yang antum sebut itu tidak cocok. Coba teliti lagi dan, khosirat itu merugi, kok bisa jadi bertolak pinggang?

Rudi Suwandi: Begini bacaan arabnya Pak Ustadz. (1467) kaanat takrohu an yaj’ala yadahu fii khooshirotihi wa taquulu: innalyahuuda taf’aluhu. (625) nuhiya ‘anil khoshri fii sholaati. Artinya seperti yang saya kutip sebelumnya. Yang pertama dari kitab terjemah sarah Bukari oleh Albani 3/5. Yang kedua 2/5.

Rudi Suwandi: 1467 riwayat Aisyah. Yang 625 riwayat Abu Huraira.

Rudi Suwandi: Yang 625 masuk Bab dilarang bertolak pinggang dalam sholat. Yang 1467 masuk Bab Bani Israil.

Sinar Agama: Rudi S, ahsantum. Tadinya antum menulis “Khoosirati” dan sekarang menulis “Khooshirati”. Kalau pakai “siin” artinya “merugi” tapi kalau pakai “shaad” artinya rusuk” atau “lambung”.

Ini haditsnya yang shahih Bukhari:


Jadi, arti yang benar dari hadits itu bukan berkacak pinggang, tapi bersedekap. Jadi, terjemahan berkacak pinggang itu semacam telah memelintirkan terjemahannya supaya ia tidak kena batunya.

Jadi, sudah benar pahaman antum yang melihat yahudi bersedekap ketika ibadah. Jadi, yang dimaksudkan ‘Aisyah adalah larangan terhadap sedekap karena sedekap itu dilakukan yahudi.

Rudi Suwandi: Syukron Pak Ustadz. Cuma yang saya heran lagi, versi Arab yang dikutip Pak Ustadz lebih panjang dibandingkan versi terjemah sarah bukhari albani..

Sinar Agama: Rudi, sepertinya antum kurang memahami bahasa arab. Haditsnya itu pendek, yang panjang itu hanya perawinya dan sedikit keterangan haditsnya. Ini hadits tentang ucapan ‘Aisyah itu:



November 3 at 1:25am · Like



Bersambung ke :
==============




اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ