Tampilkan postingan dengan label Marja. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Marja. Tampilkan semua postingan

Minggu, 25 April 2021

Taqlid Pada Marja’ (walifakih) Dalam Fikih dan Berdalil Dalam Akidah

seri tanya-jawab Jack Marshal dengan Sinar Agama: http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/326163530761783/ by Sinar Agama (Notes) on Wednesday, December 21, 2011 at 12:19pm


Jack Marshal: Ustadz saya mau tanya. Kalau di Sunni ada madzhab yang harus dipilih untuk diikuti, kalau Syi’ah bagaimana?. Tolong jelasin apa itu wilayatul fakih dan marja’. Terimakasih ustadz.

Jumat, 13 November 2020

Bertaklid Kepada 1 Orang Marja’ yang A’lam


Oleh Ustadz Sianr Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/294587280586075/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 16 Desember 2011 pukul 17:34


Tio Adjie: Ustadz, menurut akal, akan lebih bagus kalau kita bermarja’ dengan lebih dari 1 marja, karena orang mempunyai spesialisasi masing-masing. Seperti dokter mata, dokter THT, Dokter kulit, dan lain-lain. Tolong jawabannya, Ustad mengapa kita hanya diwajibkan bermarja’ ke 1 marja saja.

Senin, 12 Oktober 2020

Kesaksian 2 Orang Adil Atas Ke-a’lam-an Rahbar HF


Oleh Ustadz Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/275881222456681/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 14 November 2011 pukul 22:39


Hidayatul Ilahi: Salam ustadz.

Dalam bertaklid harus adanya 2(dua) orang adil dalam menyaksikan seorang marja’ itu a’lam, benarkah demikian??

Jika benar, mohon ustad bersedia memberikan argumentasi aqli dan penjelasannya dengan sejelas-jelasnya..

Mohon ustad memberikan saya 2(dua) nama yang menyaksikan a’lamnya Rahbar hf. Mohon maaf sebesar-besarnya jika isi dan cara saya bertanya salah, ustad.

Terimakasih, ustadz.

Rabu, 02 September 2020

Taklid dan Ke-marja-an


Oleh Ustadz Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/274192782625525/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 11 November 2011 pukul 15:26


Socrates Mautauaja: Salam.

Semoga anda selalu diberikan kesehatan dan kesabaran dalam membimbing ummat, khususnya di wall fb anda ini. Saya ingin menanyakan beberapa hal, tapi sebelumnya mohon maaf bila mungkin agak kurang sopan.

1. Anda bilang bahwa untuk mengambil sumber hukum fiqih bagi para muqallid harus melalui marjanya. Nah, bagamana dengan saya yang tinggal di Indonesia yang jauh dari tempat tinggal marja. Apalagi, tidak ada wakil marja (saya bertaqlid ke rahbar) di Indonesia.

2. Bolehkah mengambil sumber hukum dari buku-buku yang ditulis oleh para ayatullah yang sudah banyak diterjemahkan di Indonesia.

3. Bolehkah kita langsung percaya terhadap seorang ustad di Indonesia dalam menjawab permasalahan hukum fiqih padahal kita tidak tahu ustad tersebut bertaqlid kepada siapa. Apakah harus menanyakan terlebih dahulu kepada ustad tersebut siapa marja-nya?

4. Saya sering membaca buku karangan para ayatullah dimana banyak mengutip hadist-hadist dari ahlul bait, dan saya tidak mendapatkannya dalam amaliyah Rahbar. Apakah boleh saya langsung menjadikan patokan hukum atau harus mengkonfirmasikan dulu ke marja, padahal sulit dan butuh waktu lama untuk menanyakan ke marja.

5. Saya ikuti di wall fb ini anda sering memutuskan sebuah hukum fiqih, apakah yang anda sampaikan bisa menjadi dasar hukum fiqih buat saya? Apakah yang anda sampaikan sudah sesuai dengan fatwa hukum dari Rahbar?

Maaf, ustadz...

Senin, 30 Desember 2019

Wilayatul Faqih (seri 2)


Oleh: Ustad Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068?view=doc&id=217520644959406 Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 13 Juli 2011 pukul 16:11


Muhammad Ali: Salam, bagaimana menurut antum wilayatul fagih (rahbar) apakah beliau dipilih dengan musyawarah atau ditunjuk oleh yang mempunyai otoritas tertinggi saat ini yaitu imam Mahdi Alaihissalaam.

Kalau beliau dipilih secara musyawarah, dimana konsep imamahnya? Dan berarti juga beliau “tidak wajib” diikuti.

Kalau beliau ditunjuk oleh yang mempunyai otoritas tertinggi saat ini yaitu imam Mahdi Alaihis- salaam, berarti beliau ma’sum pada tingkatan beliau dan wajib diikuti.

Indikasi apa kita sebagai awam meyakini saat kemunculan Imam Mahdi (semoga kita termasuk dalam barisannya).

Senin, 25 November 2019

Imamah & Khalifah menurut buku SYI’AH MENURUT SYI’AH bagian 6

6. Imamah & Khalifah menurut buku SYI’AH MENURUT SYI’AH bagian 6

https://www.facebook.com/notes/teguh-bin-suhedi/imamah-khalifah-menurut-buku-syiah-menurut-syiah-bagian-6/10152453831143937


Sinar Agama: @Ali, hanya sekedar nimbrung diskusi di atas yang nyampur antara dengan ana dan yang lain:

1- Pemimpin di negara manapun yang menjadikan hukum Islam itu sebagai hukum negaranya, sudah tentu WAJIB wali faqih. Jadi, president, parlemen (MPR), ... dan seterusnya...hanya merupakan bawahan wali faqih. Emangnya Nabi saww dan para imam as, mengerjakan semua pekerjaannya sendiri? Jadi, ada bagian-bagiannya. Karena itu, maka apapun keputusan MPR itu, wajib disetujui dulu oleh wali faqih yang diwakili 12 orang dan baru bisa dikerjakan oleh presiden. Presiden ini dipilih rakyat sebagai mukaddimahnya, bukan pengangkatannya.

Karena pengangkatannya, harus melalui wali faqih.

Untuk menjadi presiden, dua kali harus melewati persetujuan wali faqih. Pertama, di awal-awal mau mencalonkan diri. Kalau diluluskan wali faqih yang melalui wakilnya (majlis nigahbon yang terdiri dari 12 orang), maka bisa mencalonkan diri untuk dipilih atau tidak oleh rakyat.

Ke dua, kalau sudah terpilih, maka mesti juga diangkat oleh wali faqih. Kalau dalam masa kelulusan mencalonkan diri sampai dengan terpilih itu, tidak terjadi apa-apa terhadapnya hingga membuatnya tidak layak menjadi presiden, maka dia baru akan diangkat dan diresmikan oleh Wali Faqih. Jadi, presiden itu hanya pembantu wali faqih, bukan pemimpin negara. Dan wali faqih ini, juga dipilih rakyat melalui majlis Para Ahli (khubregon) yang dipilih rakyat. Yaitu yang terdiri dari ulama mujtahid.

Jadi, posisi wali faqih bukan formalitas, akan tetapi asas. Karena tanpa wali faqih, maka tidak bisa dikatakan negara Islam yang atas nama Tuhan. Karena jabatan wewenang mengurus umat itu, hanya diberikan kepada para nabi as, para imam as, dan wakil-wakil para nabi as dan imam as tersebut. Wakil-wakil ini ada yang ditunjuk langsung oleh para Makshumin as itu, dan ada yang melalui kreteria. Nah, para marja’ itu, dipilih menjadi wakil para Makshumin as melalui kriteria sebagai banyak dalam perintah dan hadits-hadits mereka yang memerintahkan umat untuk menaqlidi dan mengikuti serta menaati faqih yang mujtahid, tidak melakukan dosa besar dan kecil (adil) dan tidak tamak kepada dunia sekalipun halal.

Nah, ketika para Makshum dan Tuhan sendiri mewajibkan kita mengikuti para ulama yang memenuhi syarat tersebut, maka inilah yang disebut dengan WEWENANG itu yang, kalau disebutkan lengkapnya menjadi WEWENANG FAQIH atau WALI FAQIH.

Jadi, wali faqih itu aktif tiap harinya. Bukan hanya aktif mengikuti perkembangan pemerintahan wakil-wakilnya, akan tetapi, aktif dan terlibat dalam keaktifan bawahan-bawahan itu secara hakiki. Memang, ada perintah-perintah yang sudah diberikan sebelumnya. Dalam hal-hal seperti itu, wali faqih hanya mengawasi kerjanya dimana kalau keluar dari garis, diadakan peneguran dan perubahan. Hal ini tidak ada anehnya sedikitpun. Karena siapapun pemimpin dan dimanapun dan apapun sistemnya yang dipakai, maka pemimpin tertingginya, tidak langsung mendayung perahu di laut, menjadi jendral perang di lapangan. Tidak mesti seperti itu. Karena itulah, maka ada mentri-mentri dan wakil-wakil. Nah, untuk pemerintahan wali fakih ini, hanya ada semacam wakil-wakil saja, seperti presiden itu sendiri. Baru mentri-mentri ada di bawah presiden. Jadi, jangan dikira bahwa kalau presiden yang membawahi mentri lalu wali faqihnya tidak memerintah langsung secara aktif. Terlebih langsung tidaknya presiden, dilihat dari hal ini, juga tidak langsung. Karena dibawahi para wakil dan mentrinya.

Btw, hal ini sangat mudah. Koncinya, jangan samakan dengan pemerintahan yang pemimpin tertingginya presiden atau raja. Pemerintahan Islam yang disalurkan melalui Nabi saww dan Ahlulbait as adalah melalui kewenangan atau kewalian. Yakni wewenang yang diberikan Allah, baik langsung seperti Nabi saww, atau tidak langsung, seperti para imam dan wakil-wakil Nabi saww dan para imam as, baik melalui penunjukan langsung atau dengan kriteria sebagaimana sudah dijelaskan.

2- Tentang syaikh Shaduq ra dan syaikh Mufiid ra itu, sama sekali tidak bisa disamakan dengan bahasan kita ini. Karena mereka berdua adalah mujtahid yang telah mengeluarkan pendapatnya. Karena itu, mereka juga tidak menerakakan siapapun yang berbeda dengan ijtihadnya. Artinya, sekalipun mereka saling menyalahkan walau dengan kata-kata yang pedas sekalipun, mereka sama-sama menyadari bahwa sesama mujtahid sama-sama memiliki pandangan yang syah. Apalagi sudah menjadi kemuttafaqan ‘alaihi bahwa mujtahid yang salah itu tetap mendapat satu pahala dan kalau benar mendapat dua pahala.

Lah,...kalau tulisan dan penulis dari tulisan itu terlalu sangat beda. Wong belajar agamanya baru alif dan baa’, kok sudah mengeluarkan pendapat DAN, menyalahkan semua ulama termasuk syaikh Shaduq dan Syaikh Mufiidnya dan SELURUH ulama dari sejak jaman Nabi saww. Dan bahkan menyalahkan Nabi saww dan imam Makshum as itu sendiri, lantaran mereka mengajarkan makna imamah itu. Para mujtahidpun tidak sembarang berbeda mas.

Ada hal-hal yang jelas dan samar. Di yang samar itulah mereka berbeda. Lah...kalau hal makna imam ini, tidak ada kesamaran sedikitpun dan sepanjang sejarah adalah merupakan kesepakatan.

3- Warisan diskusi ilmiah itu memang wajib dipertahankan. Akan tetapi, tidak semua bisa mengutarakan pendapatnya. Kalau orang awam leluasa mengutarakan pendapatnya di media masa tentang kedokteran, maka jelas tidak ilmiah sama sekali. Mana ada diskusi dikatakan ilmiah kalau pemberi pendapatnya saja, orang awam walau, sarjana di bidang lainnya, atau sama-sama sarjana tapi di madzhab lainnya.

4- Tentang kecaman yang terhadap orang yang tidak percaya bahwa Nabi saww pernah ketiduran, hal itu bukan karena hal tersebut. Akan tetapi maknanya adalah “Yang tidak mempercayai bahwa Nabi saww itu bisa melakukan ketidaksengajaan”. Kan ada akidah yang mengatakan bahwa Makshumin, seperti Nabi saww, mustahil melakukan kesalahan walau tidak sengaja. Nah, hal ini, oleh sebagian orang/ulama, sudah dikatagorikan sebagai ghulu-kecil dan, karenanya dikecam/dilaknat. Nah, jadi terhitung masalah besar, bukan kecil. Itu dalam pandangan mereka. Karena kalau masuk ghulu, sebentar lagi sudah masuk ghulu besar dan akan menjadi syirik serta kafir, yaitu menuhankan Makshumin. Nah, ini yang dirasakan mereka hingga, di samping karena tidak masuk akal bahwa Makshumin tidak lupa dan kelupaan (bagi ijtihad mereka tentunya), juga berbahaya karena bisa masuk keksyirikan.

Kasarnya, tidak meyakini kelupaan Makshumin as, hampir menyamakan dengan Tuhan yang tidak pernah lupa. JADI, bagi mereka masalah sangat besar. Akan tetapi, bagi ijtihad mereka.

Hal sepeerti ini, sudah dijawab oleh meyoritas ulama setelah generasi mereka. Ijtihad mayoritas ulama setelah mereka, malah sebaliknya. Yakni yang tidak meyakini bahwa Makshumin tidak pernah lupa itulah, yang melakukan kesalahan fatal. Karena kalau Makshumin as bisa lupa dan terlupakan, maka bagaimana manusia/umat bisa yakin terhadap kebenaran ucapan dan perbuatan mereka hingga dijadikan ajaran dan hadits??? Tentang ketidaklupaan mereka, jelas karena Allah menjaga mereka dari lupa, lantaran mereka sudah makshum sesuai dengan ikhtiar mereka hingga karena itulah, maka masuk akal sekali kalau Allah memberikan pahala yang berupa penjagaan dari lupa yang walau tidak dosa tersebut. Apalagi hal itu sangat diperlukan menjaga keyakinan dan kemantapan beragama bagi umat.

5- Tentang syura, maka silahkan antum mau meyakini yang mana. Akan tetapi, dalam pandangan Islam yang diajarkan Nabi saww dan Ahlulbait as, syura untuk kepemimpinan umat, sangat menyesatkan. Karena itu, syura itu tidak ada ajarannya sedikitpun dalam hal kepemimpinan ini. Yang ada, hanyalah syura dalam pelaksanaan tugas keseharian para Makshumin as atau wakil-wakil Makshumin as seperti yang ditunjuk langsung atau dengan kriteria itu (mujtahid/faqih).

Artinya, syura dalam ajaran Islam, hanya bisa dilakukan untuk hal-hal di selain masalah kepemimpinan tertinggi. Karena itulah, maka sebagaimana kenabian tidak disyurakan, maka wakil mutlak nabi (imam) juga tidak disyurakan bahwa wakil yang tidak mutlak (seperti ketika Nabi saww menunjuk satu orang untuk menjadi panglima atau memimpin Madinah ketika Nabi saww keluar kota). Bagitu pula dengan wali faqih ini. Jadi, syura hanya bisa berlaku di masalah-masalah aplikasi, seperti perang harus bagaimana, ekonomi harus bagaimana.... dan seterusnya. ITUPUN, sudah diterangkan oleh semua ulama, bahwa kalau Makshumin as mengajak rapat/syura para pengikutnya, bukan karena mereka tidak tahu, akan tetapi supaya umatnya ikut berfikir, aktif dan terdidik hingga bisa menjadi lebih dewasa dan matang serta bermutu.

Wali faqih di jaman Makshumin as, juga tidak disyurakan. Bahkan wali faqih di jaman dan tempat yang jauh dari Makshumin as, juga tidak disyurakan. Karena wali faqih adalah mujtahid yang a’lam yang sangat menguasai ilmu dan keadaan. Yakni melebihi yang lain dari sisi ilmu agamanya, pengetahuan jamannya dan taqwanya. Jadi, pada hakikatnya, di Mata Tuhan, wali faqih itu tertentukan dengan sendirinya.

Akan tetapi di mata umat, karena umat tidak tahu lahir batin seseorang, maka Islam mengajarkan: Pertama, pembuktian siapa yang a’lam. Ke dua, kalau masih sama-sama a’lam, maka dibuktikan siapa yang paling taqwa.....dan seterusnya...sebagaimana sudah tertera dalam kitab-kitab fikih dan semacamnya. Saya sudah pernah menulis hal ini sebelumnya.

Di Iran, sekalipun pembuktian dalam Islam tentang kea’laman dan semacamnya itu, cukup disaksikan dua orang alim yang adil, dilakukan penyempurnaan. Yaitu tidak mencukupkan dua orang alim yang adil saja (ahli khibrah). Akan tetapi, bahkan mengikutkan umat semuanya. Akan tetapi, karena umat tidak alim agama, maka dibuatlah pemilu untuk memilih ulama/mujtahid untuk duduk di majlis para ahli yang disebut khubregon itu. Maka duduklah puluhan ulama adil yang telah dengan suka rela dipilih umat secara langsung dalam pemilu ulama khubregon tersebut.

Majlis khubregon ini, bertugas mengangkat wali faqih dan mengawasi kerja-kerjanya selama menjabat. Akan tetapi, karena seperti yang sudah saya katakan di atas, bahwa sebenarnya wali faqih itu adalah yang ter-a’lam, maka sebenarnya ia sudah tertentukan dengan sendirinya di Mata Tuhan. Karena itulah, maka ayatullah Jawadi Aamuli hf, mengatakan (maksudnya):

“Sekalipun dalam UU negara menyebutkan bahwa majlis Khubregon ini, bertugas mengangkat wali faqih, akan tetapi sebenarnya, mereka hanya mengumumkan keberadaan dan siapanya dari wali faqih itu. Karena wali faqih yang lebih a’lam dari mereka dimana sudah tertentukan di Mata Tuhan. Jadi khubregon pada hakikatnya hanya mencari siapa yang sebenarnya wali faqih itu dan bertugas mengumumkan kepada umat.”

6- Tentang wali faqih, maka kebijakannya adalah, “Mengesahkan semua pendapat yang diambil oleh para wakil, walau tidak sama dengan pandangan wali fakih, selama masih tidak bertentangan dengan UU yang sudah disyahkan oleh wali faqih.”

Jadi, sebenarnya, sekalipun ada perbedaan pandangan antara atasan dan bawahan, antara wali faqih dan wakil-wakilnya seperti presiden, maka hal itu bukan berarti bertentangan yang dalam makna pembangkangan atau tidak diijinkan wali faqih. Karena wali faqih sudah memutuskan dari awal, sejak imam Khumaini ra, bahwa apapun keputusan yang diambil oleh para bawahan, maka ia syah selama tidak bertentangan dengan hukum yang ada sekalipun, berbeda dangan pandangan wali faqih itu sendiri.

Hal seperti ini sangat wajar. Karena wali faqih, sekalipun sudah mendapat wewenang dari Tuhan, Nabi saww dan Imam Makshum as, akan tetapi mereka semua mengajarkan bawah wali faqih ini tidak makshum dan harus menghormati ijtihad orang lain dan pendapat orang lain selama masih dalam kategori Islam.

Jadi, bedanya bawahan dengan wali faqih, disyahkan oleh wali faqih selama tidak keluar dari ketetapan yang ada. Jadi, bukan perbedaan yang memaksiati wali faqih. Tentu saja, kalau perbedaannya itu sudah menyimpang dari UU yang sudah disyahkan wali faqih, maka wali faqih akan bertindak sesuai dengan kondisi yang ada, apakah memecat presidennya, atau menasihatinya dan semacamnya.

7- Dengan semua penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa GAMPANGNYA,

a- Wali faqih itu amanat dari Tuhan yang diberikan kepada faqih/mujtahid melalui Nabi saww dan juga para imam Makshum as.

b- Wali faqih itu adalah pewenang mutlak di dunia ini selama tidak ada imam Makshum as. Pewenang adalah pewali, yaitu yang berwenang.

c- Karena hanya faqih yang memiliki kewenangan dalam segala hal ke atas umat, maka selain wali faqih, akan memiliki kewenangan juz-ii atau partikular atau bagian/bidang, dalam bidang masing-masing, SETELAH DIANGKAT OLEH WALI FAQIH.

d- Jadi, Tuhan mengangkat Nabi saww sebagai pewali/pewenang mutlak (dalam segala urusan dan jaman), dan Nabi saww mengangkat wakil mutlak (dalam segala urusan dan jaman) yang makshum dan mengangkat wakil tidak mutlak (seperti dalam perang, utusan, wakil di semua tempat selain Madinah....dan seterusnya) yang tidak makshum. Lalu para imam Makshum as mengangkat wakil mutlak yang tidak makshum (karena tidak ada yang makshum, tidak seperti Nabi saww yang tidak mengangkat wakil mutlak kecuali makshum yakni imam Ali as).

e- Wakil mutlak yang diangkat imam-imam Makshum as itulah yang dikatakan wali faqih. Dan imam Makshum as, juga bisa mengangkat wakil tidak mutlak sebagaimana yang dilakukan Nabi saww, kalau diperlukan di jaman mereka as masih hidup.

f- Jadi, kesalahan teman-teman dalam menatap presiden, karena dikira pemimpin tertinggi, adalah penyebab kebingungannya. Karena presiden di pemerintahan Islam Ahlulbait, sama sekali bukan pemimpin tertinggi. Karena pemimpin tertinggi yang aktif dan keaktifannya melebihi presiden itu (bc: bukan hanya simbol agama) hanya dan hanya, wajib diterima dari Allah dan, karena itu, hanya faqih a’lam dari segala hal, yang bisa mendapatkannya.

8- Ketika seseorang tidak bisa mengerti tentang kewenangan dan tugas makshum, yaitu tentang kepemimpinan umat secara mutlak, baik wewenang Nabi saww atau para imam Makshum as, maka sudah jelas akan kebingungan sendiri hingga berkata, para Makshum as itu, tidak harus duduk sebagai pejabat. He he...ini namanya pendapat softoh/gurau. Terlebih hanya bernulis riya tanpa dalil sedikitpun. Karena itu, layak dikatakan sebagai asnul (asal nulis).

9- Semoga teman-teman yang ngalor ngidul tidak karuan berpendapat tentang imam Makshum as, dapat melihat betapa marahnya imam Ali as, hadh Faathimah as dan para Makshumin yang lainnya ketika tugas mereka diganggu dengan perampasan kewenangan di masyarakat.

Betapa imam Ali as di Nahju al-Balaghah mengatakan bahwa sampai-sampai hidup beliau as seperti orang yang ditenggorokannya makan tulang, di matanya ada pasir. Yakni tidak bisa membuka mata dan tidak bisa makan. Dan betapa para imam mengatakan bahwa Islam sudah dibawa ke waadi/tempat yang jauh dari yang diajarkan Nabi saww. Andaikan mereka punya pasukan, bahkan wasiat Nabi saww kepada imam Ali as yang tergambar dalam ucapan imam Ali as sendiri, bahwa kalau beliau as memiliki 40 orang saja yang berani mati, maka mereka para imam sudah berperang. Betapa imam Hasan as juga ditinggalkan tentaranya.

Lah, ngapain perang kalau penguasa itu bisa dilakukan orang yang tidak makshum dan tugas makshum hanya memonitor seperlunya??? Buat imam Husain as, karena sudah sampai waktunya menghentak umat yang hanyut pada sistem khilafah/politis atau syura (dalam kepemimpinan mutlak, bukan juz-i dan bagian/bidang tertentu) yang sama sekali tidak diajarkan Islam itu, bangkit walau tahu akan dirajang-rajang di Karbala.

EMANGNYA IMAM HUSAIN as BERPERANG DENGAN TEKAD KEMENANGAN PEMBANTAIAN

DAN PERAJANGAN TERHADAP DIRI BELIAU as DAN KELUARGA BELIAU as ITU (ingin meraih kemenangan dengan kesyahidan yang mengenaskan), HANYA KARENA YAZID TIDAK SYAH KARENA PEMINUM KHAMR TAPI KALAU ORANG LAIN YANG TIDAK MINUM BIR MAKA BOLEH-BOLEH SAJA KARENA YANG PENTING TUGAS IMAM HUSAIN as ADALAH MENGAWASI DAN MENGENDALIKAN SISTEM POLITIK???!!! ATAU KARENA YAZID TIDAK MAKSHUM DAN TIDAK LAYAK JADI PEMIMPIN MUTLAK UMAT, ARTINYA SIAPAPUN TIDAK BERHAK MENJADI KHALIFAH???!!! HAIHAAT (jauh dari kami) HAIHAAT KECEROBOHAN SEPERTI ITU DARI KAMI.

10- Saya sudah bersusah payah menulis hal di atas, begitu sampai ke giliran tulisan antum yang ini, saya jagi kaget:

“Nah pandangan itu berbeda dengan ustadz SA yang (dari yang saya tangkap) mewajib-mutlakkan imam sebagai PEMIMPIN POLITIS (bukan cuma sekedar mengamati seperti di Iran). Artinya dari sudut pandang ustadz SA mengimplikasikan bahwa seharusnya juga gak perlu ada Ahmadinejad wala Rouhani, semua kebijakan politis jadi mas’uliyah wali faqih. Ini yang saya hendak konfirmasi kepada beliau” Saya kaget, jangan-jangan antum tidak baca tulisan yang didiskusikan penulis (ML) dan jawaban-jawaban sebelumnya. Atau antum sedang membahas hal lain? Hal itu, karena imam yang harus dijadikan pemimpin politik itu, yakni di selain kepemimpinan vertikal itu, adalah imam Makshum mas, bukan imam-imam lain yang tidak makshum seperti wali faqih.
Jauhnya....

Memang, wali faqih sama sekali tidak beda dengan wali makshum (Nabi saww atau imam Makshum as), dari sisi kemestian dijadikan pemimpin politik. Yang membedakan wewenang mereka, adalah bahwa mereka bukan pemimpin vertikal atau, setidaknya tidak harus menjadi atau memiliki kepemimpinan vertikal. Karena itu wali faqih tidak harus ulama irfan yang bisa memiliki berbagai karamat atau mukjizat. Wassalam.

Sinar Agama: Nuhu, sepertinya antum mengetawakan diri antum sendiri. Sebab, tertawa antum itu, tertuju pada penolakan spesialisasi. Coba antum pergi ke ahli bedah syaraf, lalu tanyakan ini dan itu.

Apakah antum akan tertawa juga kalau ia menjawab:

“Kalau ingin tahu, maka jadilah dokter umum dulu, lalu ambil mejester dan baru nanti kuterangkan ilmu yang di tingkatan pertanyaanmu itu!” ???!!!

Sinar Agama: Untuk komentar-komentar yang lain-lain, afwan ana tidak menyempatkan membacanya.

Sinar Agama: Haidar, sudah jelas seperti yang mewenangi wali faqih, yakni internasional.

Tapi nanti kalau imam Mahdi as sudah datang, maka biasanya, akan menjadi lokal sesuai dengan kebijakan yang diambil oleh para Makshumin as sebelumnya.

Akan tetapi, kalau nanti ada perkembangan yang luar biasa, hingga wali faqih harus ada di negara tertentu karena hal-hal yang membuatnya seperti itu, TAPI, dari sisi kea’laman tidak kalah dengan yang ada di Iran, maka bisa saja di negaranya tersebut, ada wali faqih. Tapi kalau tidak a’lam, maka faqih yang ada di negara manapun, hanya bisa menjadi wakil dari wali faqih yang ada di Iran karena sudah dipilih dengan kea’lamannya dari segala bidang.

Ali Zayn Al-Abidin: Terima Kasih atas jawabnya ustadz..

Untuk pembahasan Ikhtilaf ahlul muhaddits Syaikh Shaduq dan ulama’ segolongan beliau (seperti Syaikh Majlisi, Syaikh Kulayni dan lain-lain) dengan ahlul kalam seperti Syaikh Mufid sudah ada tempatnya ustadz... Yang jawaban lain masih saya cerna..

Haidar Husein: Kalau WF secara internasional berarti pemilihan WF yang di lakukan oleh dewan marojik adalah juga dari dewan marojik dari luar Iran pula..

Apakah begitu yang terjadi?

Dan apakah kewajiban WF juga menyelesaikan urusan-urusan orang-orang yang ber WF (yang di luar Iran ) ????

Abdurrahman Shahab: Meyakini Imamah sebagai kewajiban dan keharusan yang harus saya pegang, adalah keyakinan mutlak bagi saya sebagai seorang Syi’ah, tapi kewajiban itu bagi saya, tidak serta merta harus dimiliki oleh saudara suni, sehinga menyebabkan mereka menjadi kafir dan masuk neraka karena mereka tidak memiliki keyakinan yang sama dengan saya. DAN JIKA ADA ORANG MENGANGAP BAHWA KEYAKINAN SYI’AH ADALAH YANG MENGANGGAP BAHWA ORANG SUNI TELAH “KAFIR” DAN MASUK NERAKA KARENA TIDAK MENG-IMAN-I IMAMAH, MAKA SAYA MENYATAKAN BERLEPAS DIRI DARI SYAIH SEMACAM ITU !!!

Secara sederhana, mungkin hal inilah yang tersirat yang ingin diutarakan oleh Ustadz Muhsin Labib dalam tulisannya, agar akar masalah yang krusial yang menyebabkab perseteruan awal yang terus berlanjut hingga kini antara Sunni-Syi’ah bisa dipertemukan, paling tidak dalam perspektif kesadaran untuk salin mencari kesejajaran/pertemuan dalam keyakinan baik suni maupun Syi’ah dalam perfektif sejarah.... Wallahu a’lam bissowab...

Sinar Agama: @Haidar, tidak begitu untuk sementara. Karena mujtahid yang terbukti menyintai hukum Islam dan telah mengorbankan dirinya sepanjang hidupnya lantaran menegakkan negara Islam dan mempertahankannya, adalah mujtahid dan marja’-marja’ yang ada di Iran. Lagi pula, sangat tidak mungkin ada mujtahid luar Iran yang a’lam tentang kondisi yang ada di Iran sehubungan dengan kenegaraIslaman. Karena itulah, maka mujtahid-mujtahid dunia yang berijtihad tentang wali faqih mutlak ini, semua sepakat dengan apa yang dipilih di Iran. Beda dengan para awam (bukan mujtahid) atau mujtahid yang hasud dan dengki seperti selama ini yang selalu berusaha merongrong wibawa negara Islam yang ada di Iran.

Sinar Agama: @Abdurrahman, wong tulisan ada di depan mata kok antum bermungkin-mungkin.

DIMANA ADA ORANG ATAU ULAMA SYI’AH MENGAFIRKAN DAN MENERAKAKAN SUNNI MASS??? DAN DIMANA TULISAN ML ITU BERKATA SEPERTI ITU MASSS???

TERLALU BANYAK TULISAN SAYA YANG SAYA TULIS DI FB INI, YANG ISINYA TENTU SAYA DAPATKAN DARI PARA GURU, BAHWA ORANG KAFIR SEKALIPUN, JUGA BISA MASUK SURGA. KARENA TERGANTUNG SEJAUH MANA HUJJAH TUHAN YANG SAMPAI KEPADANYA. APALAGI SAUDARA-SAUDAR SUNNI YANG BERTAUHID DAN BERNUBUWWAH DAN LAIN-LAIN. TOLONG JANGAN BERMUNGKIN-MUNGKIN KETIKA TULISANNYA ADA DI DEPAN MATA KITA SEMUA.

Abdurrahman Shahab: Maaf Ustadz SA, sangat banyak “orang Syi’ah” terutama yang dimotori kelompok pemecah belah ukhuwah, yang memulai kembali misi konflik Sunni-Syi’ah dengan mengatakan bahwa suni itu kafir dan di neraka karena menolak imamah... apakah Ustadz, menganggap kelompok ini tidak ada ?

Lalu bagaimana Mungkin Rahbar HF dan marja’-marja’ Syi’ah lainnya juga harus turun tangan untuk mengeluarkan fatwah, HARAM HUKUMNYA MELECEHKAN TOKOH-TOKOH YANG DIMULIAKAN OLEH SAUDARA SUNNI. Atau mengadakan berjuta-juta upaya untuk membuat agar terjalin ukhuwah dan persatuan Sunni-Syiah. Sepakat tidak sepakat sumber masalah utama dari timbulnya dua kelompok utama islam (Sunni-Syiah) adalah karena masalah imamah/khilafah.... lalu salahkah jika ada yang ingin membuat sebuah persfektif tengah (mungkin dalam taqihnya) agar sumber persolaan itu bisa dilihat dan memiliki jalan tengah yang lebih baik.

Singgih Djoko Pitono: Dari tulisan Ustadz ML itu malah berkembang di luar sana pembicaraan, bahwa Syi’ah sedang kebingungan, akhirnya mereka bertanya-tanya beneran yakin engga sih mereka dengan pemahaman Syi’ah mereka?

Maksud ustadz ML suci... Kita paham itu...

Tetapi ketika cara yang ditempuh memakai kaidah-kaidah yang mengkompromikan sesuatu yang tidak mungkin dikompromikan, maka alih-alih mencapai tujuan suci itu, yang ada malah menghancurkan bangunan yang kokoh itu sendiri...

Afwan.

Sinar Agama: @Haidar, para mujtahid yang tidak cinta dunia itu, tidak berlomba untuk jadi pemimpin. Ini secara umum. Karena itu, mereka sama-sama tahu diri, terhadap apa yang diraihnya dalam ilmu, apa yang telah dilakukannya untuk Islam dan seterusnya. Yakni tahu siapa yang selalu mengorbankan nyawanya untuk Islam. Memang ada orang-orang sakit, seperti sayyid Kamaal Haidari, yang besar di Iran dan belajar di Iran serta dilindungi dan dipromosikan Iran di TV Kautsar, akan tetapi, belakangan, sudah merasa sok jago padahal guru-guru besarnya ada di depan hidungnya dan masih hidup. Karena itu, ia sekarang sudah tidak diberi waktu untuk siaran langsung di TV Kautsar tersebut, walaupun ia berkoar-koar di youtube bahwa video yuotube yang mengkritiki Rahbar hf itu adalah fitnah.

Lah wong dia kok yang bicara, kok dikatakan fitnah. Btw, secara umum, dari sepuluh ribu ulama, mungkin ada satu dua yang punya penyakit. Akan tetapi secara umum, mereka itu sangat-sangat mementingkan umat dan agama Islam, bukan diri mereka sendiri. Mereka para mujtahid dunia sangat bersyukur karena Iran dan umat Iran sudah berani menegakkan syariat Islam walau menyumbangkan syahid sekitar satu juta dan walau ulamanya disiksai di penjara-penjara. Jadi, mereka dari awal sudah malu. Tapi kalau punya penyakit hati, maka bukan hanya tidak malu, melainkan mau berebut dengan wali faqih Iran yang dipilih dengan sangat hati-hati dan melalui puluhan mujtahid yang duduk di majlis para ahli tersebut.

Walau begitu, sayyid Kamaal tidak diapa-apain dan dia bebas hidup di Iran dengan seluruh kegiatannya dan bahkan tetap dibantu. Hanya saja yang di kautsar sudah tidak diberi lagi siaran langsung, dan hanya siaran rekaman saja. Karena takut ada yang gila-gilaan seperti yang direkam kaula Inggris yang kemudian tersebar kemana-mana itu.

Haidar Husein: Apakah benar bahwa Sayyed Fadhlullah tidak sepakat dengan adanya Wilayatul Faqih???

Sinar Agama: @Haidar, tidak benar. Beliau paling getol dengan wali faqih. Sampai-sampai sewaktu kantornya ditanya tentang MLM (menurut teman yang bertanya langsung), mengatakan bahwa sistemnya halal asal tidak di Iran. Kalau di Iran haram. Maksudnya, karena di Iran, dalam wilayah mutlak wali faqih yang tidak bisa diganggun gugat. Yakni dalam menaati kepemimpinan politiknya.
Jadi, sudah bukan hanya masalah fatwa yang beda, tapi sudah logika taat pada wali faqih.

Fatimah Umukulsum: Subhannallah, MaasyaAllah, Laa haula wala quwata illa billah. --- betapa gamblangnya penjelasan ustadz SA.

Haidar Husein: Masalah MLM kan itu berkenaan dengan hukum fiqih...dan bisa jadi sama dengan Rahbar...akan tetapi kesamaan hukum itu kan tidak menunjukkan urusan sepakat or tidak nya dengan masalah WF.

Sinar Agama: @Haidar, sepertinya antum tidak teliti. Justru di MLM itu ayt Fadhlullah berfatwa beda dengan Rahbar hf. Rahbar hf mengharamkan sistem tersebut, begitu pula marja’-marja’ yang lain, akan tetapi yang diberitakan kepada kami dari salah satu teman yang taqlid kepada ayt Fadhlullah, bahwa beliau menghalalkan MLM selama tidak di Iran.



Artikel selanjutnya:
====================

Minggu, 05 Mei 2019

Fikih Adalah Hiriz/Ajimat Untuk Keselamatan Dunia-Akhirat


Seri tanya jawab Sang Pencinta dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 11:00 am

Sang Pencinta: 8 Maret 2013, Salam, mohon penjelasan. Sebelum mandi, setiap anggota tubuh yang hendak dibasuh harus disucikan terlebih dahulu, akan tetapi tidak ada kewajiban bagi seseorang untuk mensucikan seluruh tubuhnya sebelum mandi, oleh karena itu bila anggota tubuh telah disucikan sebelum mandi, maka mandinya dihukumi benar. 

(Ajwibah al-Istifta’at, no.179, dan Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Thaharah, masalah 93). terimakasih ust. — bersama Sinar Agama. 

Nou-zel ‘uyunalmuha Arrushafah: Salam,, kalau dalam Fikih Sistani,, sesuatu yang najis dan yang berbatasan/berdekatan dengan najis teresebut,, akan seketika menjadi suci ketika proses pensucian berakhir. 

Seperti orang yang memandikan jenazah,, dia juga akan menjadi suci ketika dia selesai mensucikan jenazah ... 

Untuk fikih Ali Khamene’i,, saya menunggu ustadz Sinar Agama 

Sang Pencinta: Nou-zel ‘uyunalmuha Arrushafah: kalau punya fikih Sistani format PDF Indonesia, tolong share ya. Terimakasih. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Maksudnya adalah, yang wajib disucikan sebelum mandi itu, adalah anggota yang mau dibasuhnya. Jadi, kalau kakinya najis, tidak wajib disucikan kalau masih mau membasuh bagian pertama (kepala dan leher) atau bagian tubuh yang masih di bagian atasnya. Nah, baru setelah kepala leher dan tubuh bagian atasnya itu sudah dibasuh dengan basuhan yang diniatkan mandi besar itu, maka baru kakinya disucikan dari najis sebelum mandi-besarnya. 

Sinar Agama: Nou: Saya tidak melihat hubungan komentar antum dengan yang ditanyakan Pencinta dan saya tidak dapat memahami pertanyaannya. Dan saya mengira bahwa antum salah memahami fatwa tersebut karena yang biasanya dimaksudkan adalah, kesucian bittaba’ atau kesucian dengan mengikuti. Seperti jenazah yang najis dan menajisi tempat pemandiannya dimana ketika jenazah sudah selesai dimandikan dan menjadi suci, maka tempat pemandiannya itu juga menjadi suci. 

Sang Pencinta: Nou: Ketika seseorang menyentuh mayat/memandikannya, ia wajib untuk mandi menyentuh mayat’ jika ingin sholat dan amalan yang memerlukan kesucian. 

Nou-zel ‘uyunalmuha Arrushafah: @ sang pecinta : afwan,, kalau memakai pc,, bisa ke http://sistani.org 

Seseorang yang menyentuh mayat yang belum dimandikan,, memiliki hukum yang berbeda dengan orang yang memandikan jenazah,, 

@ ustadz sinar : afwan,, mungkin memang saya salah memahami ... Dalam Risalah Amaliah Ali Sistani masalah 378. 

378. It is not necessary that the entire body of a person should be Pak before Irtimasi and Tartibi Ghusl. So, if the body becomes Pak while diving in water or pouring water over one’s body with the intention of the Ghusl, the Ghusl will be in order. 

Terjemah

378. Tidak perlu mensucikan seluruh tubuh seseorang sebelum mandi Irtimasi and Tartibi. Jadi, jika badan menjadi suci ketika menyelam dalam air, atau menyiramkan air ke tubuh dengan niat Ghusl, maka mandinya sah. 

Dalam hal ini, ada sedikit perbedaan fatwa antara Rahbar dengan Ali Sistani. Mungkin ustadz bisa sedikit menambahkan penjelasan ... Syukran. 

www.sistani.org 

Sang Pencinta: Nou: Seseorang yang memandikan jenazah, apabila hendak shalat, maka (setelah mandi menyentuh jenazah) dia harus berwudhu, karena tidak sebagaimana mandi janabah, mandi menyentuh jenazah tidak mencukupi kewajiban wudhu. 

(Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Thaharah, masalah 104) 

Nou-zel ‘uyunalmuha Arrushafah: benar,, wajib berwudhu,, tapi tidak wajib mandi menyentuh jenazah. 

Nou-zel ‘uyunalmuha Arrushafah: untuk fikih Ali Sistani,, link rujukan 

http://www.almujtaba.com/malay/Al-Shia.Com%20Indonesian%20Page/Al-Shia.Com%20Indonesian%20Page/www.al-shia.com/html/id/islamic-laws/65.html 

afwan,, saya belum membuat terjemahnya. 

Ghusl for touching a dead body 

www.almujtaba.com 

Sang Pencinta: Coba perhatikan kalimat di atas (setelah mandi menyentuh jenazah)), di sini terlihat wajib pemandi jenazah wajib mandi. 

Nou-zel ‘uyunalmuha Arrushafah: hmm ... 

Tolong bantu penjelasan kalimat berikut 

532. If a person touches a dead body after it has been given three obligatory Ghusls, Ghusl for touching will not be wajib. However, if he touches any part of the dead body before the completion of 3 Ghusls he should do Ghusl for touching the dead body, even if the 3rd Ghusl of that part which he has touched may have been done. 

219. When a person washes something with water to make it Pak, his hands washed along with that thing, will be Pak when the thing is Pak. 

Sinar Agama: Nou: Belajar fikih itu tidak bisa sekali baca. Kalau antum memang taqlid pada Rahbar hf seperti yang antum katakan di inbox, maka tolong baca fikih Rahbar hf itu secara berulang kali supaya tidak terjadi kekeliruan. 

Beberapa kali saya melihat antum ada kesala pahaman memahami fatwa yang antum nukil itu. Perlu antum ketahui bahwa hal ini wajar. Saya yang puluhan tahun di hauzah dan sudah dibimbing para guru, masih saja kadang salah memahami fatwa. Oleh karena itu, jangan tambah beban lagi. Pelajari satu fatwa dari marja’ antum itu dengan seksama dan berulang kali, karena ia adalah ajimat atau hiriz menuju keselamatan dunia-akhirat. 

Kalau memang antum mau cari pelarian dari ihtiyath-nya Rahbar hf, untuk bisa memakai fatwa Sistani hf itu, maka cari yang ihtiyath-ihtiyath wajib yang punya Rahbar hf dan bandingkan dengan fatwa Sistani hf, supaya kalau ada perbedaan, antum bisa nukilkan ke diri antum dan orang lain (kalau antum mau). 

Contoh ke dua yang sempat ana lihat dari kekeliruan tentang tidak mandi junubnya orang yang memandikan mayit di atas itu. Kalau dari fatwa lain, mungkin saja seperti yang antum katakan. 

Tapi kalau dari fatwa yang antum nukil itu, jelas tidak ada hubungannya sama sekali. Karena fatwa itu mengatakan bahwa wajib mandi ketika menyentuh mayat (yang sudah dingin walau tidak disebut di nukilan fatwa antum itu) yang belum dimandikan dengan tiga pemandian sebagaimana yang sudah diatur dalam bab memandikan mayat. Dan di fatwa itu dikatakan bahwa kalaupun sudah dimandikan, tapi belum lengkap tiga kali (dengan air campur bidara, dengan air yang dicampur kafur dan dengan air murni) dan sekalipun yang ke tiga itu sudah diperkirakan sudah dilakukanpun, maka tetap wajib mandi kalau menyentuhnya. 

Saya juga tidak ada waktu dan tidak merasa perlu untuk menyimak pemahaman-pemahaman terhadap fatwa Sistani hf itu karena tidak diperlukan bagi yang taqlid pada Rahbar hf. 

Anjuranku, bacalah dengan seksama fatwa marja’ antum dan fokuskan pada hal itu karena biar sudah puluhan tahun belajar agama dengan guru sekalipun, masih bisa terjadi salah paham dan semacamnya. Kalau antum lihat ana sendiri beberapa kali meralat informasi fikih ini, maka antum akan lebih merasakannya. Lah, kalau kita kira-kira sama dalam kecerdasan, lalu yang puluhan tahun belajar spesifik masih bisa melakukan kesalahan, apalagi yang baru mempelajari fikih secara otodidak dan hanya bermodal bahasa. 

Menyentuh mayat yang tidak wajib mandi itu dalam tiga kondisi (mayat): 

1- Yang mayatnya berupa mayat syahid dan matinya di medan perang (bukan mati syahidnya di rumah sakit setelah luka di medan perang, misalnya). 

2- Yang badan mayatnya masih hangat. 

3- Yang sudah dimandikan tiga kali (sebagaimana yang sudah diterangkan di atas). 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Sabtu, 20 April 2019

Jangan Berpetuah Kalau Bukan Dari Marja’ dan Hakikat Syi’ah


Seri status Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 8:56 am

Sinar Agama: Rabu (27-2-2013) Bismillaah: Pemberitahuan Yang Tidak Memaksa:

Dengan sangat terpaksa sekali saya ingin mengumumkan sesuatu yang saya sendiri sangat tidak menyukainya. Akan tetapi, akal dan agama yang menjadi taruhannya. Mungkin juga tidak terlalu serius, tapi penting untuk diketahui bersama. Lagipula, semua ini sudah jelas diketahui bersama, akan tetapi mungkin kurang fokus saja masalahnya. Yaitu:

Saya mengingatkan diri saya sendiri dan semua teman-teman Syi’ah lainnya, baik yang rada liberal atau tergolong pesantrenan,agar:

“Hendaknya jangan memberikan ultimatum atau pedoman hidup apapun tentang kewajiban agama atau anjurannya yang tidak wajib sekalipun atau larangannya, dari kocek sendiri (ide atau ayat-riwayat). Tapi ambillah dari fatwa marja’-nya.”

Dan untuk para audien: “ Hendaknya jangan membiasakan diam dalam menghadapi semua itu dan menganggapnya sudah paten benar atau suatu kebenaran. Karena kewajiban kita semua adalah mengikuti marja’, bukan tokoh atau yang ditokohkan atau apalagi yang menokohkandiri.”

Tulisan ini saya buat karena sering kudengar atau kubaca, sesuatu yang merupakan urusan istimbati/ijtihadi, yakni merujuk ayat dan riyawat yang merupakan hak mujtahid/marja’, terasa terabaikan, hingga membuat konsep hidup yang, katakanlah mau meringan-ringankan atau sekalipun mau memberikan jalan hidup lebih baik. Kadang, saya rasakan tujuannya, tapi sangka ini kuserahkan padaNya saja karena sangkaan itu tidak ada harganya dalam Islam, kecuali yang memiliki alamat-alamat tertentu.

Ilustrasi:

Suatu hari saya ketamuan lulusan S2 hauzah Qom di rumah. Lalu dalam cakap-cakap rileks itu, terucap darinya bahwa itu sunnah lah, itu makruh lah ...dan seterusnya.. seraya menyandarkan kata-katanya itu kepada kitab Makaarimu al-Akhlaak (kitab kumpulan hadits-hadits tentang akhlak-akhlak Karimah Nabi saww dan Ahlulbait as).

Lalu saya berkata kepadanya: “Antum tidak boleh menyandarkan hukum kepada ayat atau riwayat.” Tamu itu berkata secara terperanjat: “Mengapa tidak boleh? Kan kitab itudiakui?”

Saya: “Tidak boleh karena hal itu hanya boleh dilakukan oleh mujtahid.”

Tamu bertanya lagi keheranan: “Lalu buat apa kita belajar di hauzah tentang ushulfiqih dan dalil- dalil hukum (salah satu materi pelajaran hauzah adalah al Fiqhu al Istidlaalii atau “Fikih Bedalil”) ???”

Saya: “Pelajaran itu hanya sebagai bekal untuk mencapai derajat ijtihad di kemudian hari, bukan pembolehan memakainya sebelum sampai kederajat ijtihad tersebut, dan bukan pula menafsirkan fatwa marja’ yang kita taqlidi dengannya karena bisa saja dalil marja’ kita itu beda dengan dalil yang ada dikitab tersebut sekalipun secara lahiriah, hukum yang dikeluarkan adalah sama.”

Tamu: Mantuk-mantuk seperti baru menyadarinya.

Catatan:

Perlu diketahui bahwa pelajaran ushulfiqih dan fikih berdalil itu, sebegitu berderajatnya dimana sebelum belajar Bahtsu al-Khaarij saja, harus dilalui sekitar 9 th lamanya (lihat catatan Kurikulum Hauzah). Baru setelah itu bisa masuk pelajaran Bahtsu al-Khoorij ini dimana kalau berhasil, sepuluh tahun kemudian atau dua puluh tahun kemudian, bisa menjadi mujtahid.

Wassalam.

Rosli Mamat, Singgih Djoko Pitono, Noezirwansyah KL dan 129 lainnya menyukai ini.

Ki Herjuno Boudhitama · 12 teman yang sama:
Ana orang awam. Jadi ikut aja dah. Asal sifat suni-isme jangan dipelihara lagi. Mentang-mentang lain marja dan tidak berwilayatufaqih dituding sebagai syiah error tanpa dalil bahkan silatuhrahim gak mau.

Jokoichi Keiko Prayitno · 7 teman yang sama:
Tanya ustadz, bagaimana jika, seorang “pemula” di AB, yang hendak belajar sedangkan untuk mengikuti kajian terkendala suatu hal, misal: Tempat dan waktu yang kurang mendukung, dan ia membaca tuntunan ibadah dan lain-lain melalui buku atau kitab fikih?

Haidar Jakfar · Friends with Sang Pencinta and 12 lainnya: Nyimak.

Adam Syarif: Fenomena yang “terlanjur” terabaikan. Syukron telah mengingatkan ustadz.

Ahmadi Joss · Friends with Haydar Ali: Kiherjuno@Lho’ datang ajhe kerumah ane entar ane kasih jamu biar Lhodar_dar_sadar....!

Zainab Ali Az Zahra · 49 teman yang sama:
Salam, afwan ustadz saya setuju dengan pertanyaan akhy jokoichi, saya pemula di AB dan saya hanya belajar lewat buku-buku dan di facebook? Syukron.

Enny Nurhuda · Friends with Aal Bsa: Anda ketemu orang yang salah..

Ki Herjuno Boudhitama · 12 teman yang sama: @ahmadi joss, boleh tuh jamunya, biar pikiran fresh, lagi galau banget.

Muhammad Nurahman · 119 teman yang sama: Syukron ustadz.

Bang Dei: Ahsantum. Syukron ya ustadz......

Akhir Zaman Debi · 29 teman yang sama: Rasulullah diangkat menjadi rasul dalam keadaan ummi ..gimana tuh pak ustadz.

Maz Nyit Nyit-be’doa: Nyimak..... makasih.....

Akhir Zaman Debi · 29 teman yang sama: Al-Mahdi yang tidak diketahui keberadaannya oleh sebagian manusia..tapi sudah diakui sebagai imam..,perjuangannya belum belum terealisasi layaknya rasulullah, tapi sudah diakui sebagai imam.

Mungkin sebagian ada yang menjawab kita bukan nabi, kita bukan imam mahdi, jadi beda.. tapi keduanya manusiakan?Apa bedanya dengan kita.. ummi diangkat jadi rasul bahkan oleh ALLAH.. so haruskah saya yang hanya manusia memfatwakan keharusan “ijazah” untuk menjadi seseorang ??!!

Fiuuhh ALLAH maha tinggi.. cukup berpegang pada caranya dalam menisbahkan kelayakan pada seseorang akankah ada baiknya..maaf ini hanya saran..anyway love sinar agama deh..

Ibad Black Id: Maaf pak ustadz saya rasa kalo kita mempelajari kitab itu, tidak ada habisnya. Bisa jadi kita cekcok dengan didasari membenarkan apa yang kita pelajari.. Kitab begitu banyak di bumi ini.. Tapi sayang kita pinter tapi bisa mengerti.. Pertanyaan saya pak ustad.. Kitab suci itu dimana.. Sampai kapan kita manusia bingung dengan hadist yang diambil dari Qur'an yang kata mreka miliki. Yang selalu ada perbedaan..TQ

Abi Dzar Algifari: Afwan ustadz.....obatilah kerinduan hati kami dengan bersedianya antum mampir kembali sejenak ke kota Karawang.....sangat, sangat, sangat saya nantikan.....

Sembilan Benua · Friends with Ramlee Nooh and 26 lainnya: Keburu meninggal sebelum menjadi mujtahid.

Mata Jiwa: Rasul memang harus ummi, lah kalo kita pengen ummi.. yaitulah yang banyak ngaku syiah tapi kerjanya cuma caci maki bikin panas Sunni-syiah.. ALHAMDULILLAH kita punya ustadz Sinar Agama, mau tanya apa saja, kapan saja, beranda ustadz terbuka... yang penting rajin membaca catatan-catatannya yang melimpah..jadi gak ada lagi alasan terkendala ini itu...kita patut syukuri, kehadiran pak ustadz di tengah-tengah kita termasuk salah satu dari rahmatNYA yang luar biasa..semoga kita semua dalam ridhoNYA...

Izzy Denver · Friends with Ahmad Arif and 1 other: Gitu aja ko repot.

Ndedi Sumarno: Saya setuju dengan Mata Jiwa.

Haera Haura Zahrah: Ustadz dari keinginan untuk betul-betul mempelajari AB secara detail saya masuk ke sebuah pesantren AB, tapi saya menemukan ustadz dari Qum juga yang sama seperti dalam pengalaman ustadz.

Ki Herjuno Boudhitama · 12 teman yang sama: Kalo boleh tau Sinar Agama ini nama aslinya siapa ya? Kali aja kenal atau jangan-jangan termasuk guru ana juga.

Haera Haura Zahrah: Di sana kami harus melaksanakan fikih sesuai dengan yang mereka lakukan padahal sebelum ke sana kami memilih marja, dan masih banyak hal yang lain. Kurang lebih 15 orang kabur itu sebelom saya.

Hadrah Ali · Friends with Ramlee Nooh:

الْحَمْدُلِلَّهِرَبِّالْعَالَمِينَ, ini adalah tatanan yang benar jangan terlalu perdulikan bisikan angin yang tak jelas asal-usulnya, mungkin dia lagi ngigau!! Ambil yang baiknya saja.. dan saya akan belajar syariah syiah.. hingga sempurna,..amiin..!!

Wasroi Aja: Variabel dalam pemikiran.....!!!!!! Tolong jangan djadikan wacana tetapi dijadikan pencerahan dan proses untuk mutlak mencapai kebenaran untuk pengikut ahlul bait.

Sinar Agama: Salam dan terima kasih atas semua jempol dan komentar-komentarnya, semoga Allah selalu menjaga kita dan kita melayakkan diri masuk ke dalam perlindunganNya itu, amin.

Sinar Agama: Ki H dan yang lain-lainnya:

Pedomannya cukup jelas, yaitu kapan seseorang itu tidak biasa terikat dengan fikih dalam setiap perkataannya, maka layak ditanyakan dimana fatwanya dan siapa marja’nya. Terutama yang biasa memberikan petuah-petuah, seperti dahulukan itu kek belakangkan ini kek, atau kalau ingin hidup tenang atau tidak buang energi maka dalam berdakwah harus begini kek atau begitu kek, atau mengatakan fikih itu harus diselaraskan dengan maslahatlah atau itu lah....dan seterusnya.

Karena jangan sampai petuahnya itu tidak bersumber dari fatwa atau dari fatwa tapi yang sudah dicampuri dengan hobi-hobinya dalam hidup hingga ingin meluaskan karakternya ke orang lain dengan merasa lebih pintar dari Tuhan yang menurunkan fikih dan dari marja’ yang mengerti fikih.

Tapi kalau seseorang itu memang sudah mengikat dirinya dengan fikih dan sudah sering teruji kebenarannya dan kecocokannya dengan fatwa-fatwa marja’, maka sudah bisa diambil infonya tanpa ragu. Tapi kalaulah suatu saat ragu, maka tetap wajib harus bertanya sumbernya supaya hilang semua keraguan. Surga neraka itu tidak basa basi, lalu mengapa kita mau mengorbankan diri dengan basa-basi kepada orang yang kita hormati sekalipun? Toh kalau orang yang kita hormati itu memang terhormat, demi Allah, dia tidak akan marah dan tersinggung manakala ditanya sumbernya, karena bertanya itu wajib dalam fikih dan memberitahu itu (kalau tahu) juga wajib dalam fikih.

Itulah mengapa saya dalam diskusisi apa saya, sudah sering menyampaikan bahwa saya-nya tidak perlu dan bukan hujjah. Hujjah itu adalah tulisan dan dalilnya. Kalau dalam akidah, dalil akal dan lain-lainnya, dan kalau fikih, maka dalilnya adalah fatwa marja’. Ini kunci ilmu, bukan orang dan maqomnya dan apalagi dimaqomkan kita sendiri.

Sinar Agama: Debi: Saya kurang bisa memahami maksud sebenarnya pertanyaan antum, tapi saya akan coba merabanya dan menjawabnya. Kalau tidak cocok, ampuni alfakir:

1- Kalau antum Syi’ah, maka berarti maksud antum menulis itu mungkin untuk mengesahkan orang yang belajar otodidak dan tidak berijazah.

Kalau ini maksud antum, maka sungguh di dunia yang sudah modern ini, dimana pengetahuan sudah merambah sebegitu rupa, yang untuk masak memasak saja sudah ada kampusnya, tulisan antum ini sangat asing dan sulit dipahami. Kalau urusan kesehatan saja antum tidak pergi ketukang bengkel mobil, dan hanya pergi kedokter dimana untuk menjadi dokter cukup hanya dengan beberapa tahun, maka bagaimana mungkin antum merujuk tentang urusan- urusan agama yang berefek pada surga dan neraka, kepada orang yang hanya berkaca mata tebal sementara ia tidak membidangi agama secara spesifik? Masih mending kalau tidak ada yangberijazah,lah..... ini banyak berijazah dan antum masih memilih juga yang tidak berijazah ?

Tentu saja, ijazah itu tergantung kepada disiplin sekolah masing-masing. Ada yang ijazah agamanya ditulis seperti sekolah-sekolah lainnya, dan ada yang dikuatkan oleh gurunya. By the way, tanpa pembelajaran spesifik, sudah tentu tidak akan bisa dijadikan jaminan.

Mungkin antum berkata bahwa yang berijazah saja tidak bisa dijamin kebenarannya karena tidak makshum. Akan tetapi, akal dan agama mengatakan bahwa yang tidak makshum ini wajib diikuti manakala yang makshum itu tidak ada. Memangnya kalau tidak ada rotan terus akar pohon tidak diambil untuk dijadikan alat, lalu kita merenung saja sampai ajal menyapa kita atau kita terjun saja kesungai tanpa alat akar untuk mengikat rakit kita, atau meninggalkan akar dan memakai tali dari sarang lebah, hingga binasa dengan nyata?

Kalau antum bingung dengan ke-ummi-an Nabi saww yang tetap diangkat jadi nabi oleh Allah, maka tanyakan dan cari sebabnya, jangan terus dijadikan alat untuk menabikan guru kita yang tidak berijazah itu. Memangnya sudah sebegitu makshumkah guru/tokoh kita itu hingga ia layak jadi pewaris Nabi saww tanpa belajar dimana belajar ini diperintahkan dan diwajibkan Allah dan Nabi saww, sebagaimana layaknya Nabi saww yang diangkat menjadi nabi olehNya tanpa tahu bacatulis?

Belajar itu, tergantung jaman dan budayanya. Dijaman Nabi saww, belajar itu tidak harus pakai alat tulis. Terutama dengan daya ingat yang luar biasa dimana kalau satu orang membaca seribu bait syair, banya korang yang langsung bisa menghafalnya dimana karena itulah Qur'an ini disertai mukjizat tentang sastra arab yang tidak tertandingi karena keadaan mereka seperti itu. Di Arab jaman itu, ribuan penyair dapat dengan mudah ditemukan, tapi dalam pada itu juga tidak bisa baca tulis.

Karena itu, ke-ummi-an Nabi saww sama sekali tidak mengurangi kepandaiannya karena beliausawwmempelajariagamakakek-kakeknyasampaikenabiIbrahimasdanbahkanbeliau saww terkenal sebagai genius di masa beliau saww masih muda sekalipun. Banyak masalah- masalah umat yang umat sendiri merujuk kepada beliau saww. Seperti sejarah berpindahnya batu Hajar Aswad dari tempatnya karena banjir yang terkenal itu. Dimana Nabi saww dengan kepiawaian beliau saww dapat meredakan pertumpahan darah yang hampir terjadi yang diakibatkan oleh berebutnya setiap kaum untuk mengembalikannya ke tempatnya semula.

Anggap saja deh, memang ada yang hebat (karena memang tidak mustahil secara akal filosofis) yang tanpa guru lalu hebat, tapi kan yang bisa menilai hebat itu bukan antum atau murid-muridnyayangmemangtidakpunyailmu???Nah,kalauadayanghebat,kanbisadilihat oleh orang yang memang belajar secara spesifik? Memangnya ilmu itu dinilai oleh orang yang tidak berilmu? Kan harus dinilai oleh yang berilmu??? Nah, kalau memang ada, kan antum bisa ajukan siapa orangnya, lalu para ulama bisa melihatnya apakah ia benar atau sesat.

Lagi pula, kan tujuan penulisan saya itu sudah jelas. Kalau akidah, maka dalilnya akal. Karena itu, siapa saja bisa ditanya. Artinya, tujuan penulisan itu adalah kita tidak boleh menelan bulat-bulat tanpa cek dalil sebelumnya. Dan kalau fikih, maka dalilnya adalah fatwa marja’. Padahal, kalau antum keberatan, maka sangat dimungkinkan bahwa kita harus menerima dari orang yang tidak berijazah sekalipun tanpa harus tahu dalilnya dengan alasan Nabi saww diangkat dalam keadaan Ummi dan dengan alasan Tuhan Maha Luas dan Tinggi (lah...apa hubungannya?).

Lagipula, saya sudah sering menjelaskan bahwa ummi itu tidak bisa baca tulis. Dan baca tulis, alat mencari ilmu dan informasi. Nah, kalau seseorang sudah dapat informasi itu dari Akalnya yang jenius dan kejeniusannya terbukti dalam sejarah dimana melampaui yang bisa baca tulis sekalipun seperti Nabi saww, dan juga mendapat ilmu dari Tuhannya karena kemakshuman beliau saww dari sejak kecil, lalu masih mencari ilmu baca tulis, maka hal itu benar-benar sesuatu yang pasti ditentang akal dan agama itu sendiri. Ibarat seseorang yang bisa mendapat ikan dari lautan hanya dengan keinginan hati, lalu siang malam pergi ke pasar untuk mencari dan membeli pancing atau jala.

2- Kalau antum saudariku dari Sunni, maka ketahuilah bahwa Imam Mahdi as itu, bukan ditunjuk Allah karena hasil kerja yang dilampaui tapi karena kerja-kerja yang akan dilampaui. Artinya, semua imam itu dipilih Tuhan karena Ilmu Tuhan tentang siapa-siapa yang makshum dan siapa-siapa yang tidak makshum.

Karena Islam ini tanpa makshum tidak ada jaminan, artinya tanpa makshum tidak akan ada jalan lurus, karena jalan lurus itu adalah jalan Islam yang tidak salah sedikitpun (wa laa al- dhaalliin) hingga karena itu maka ilmunya harus lengkap dan benar 100%, maka tanpa orang makshum, jelas Islam ini tidak akan pernah bertahan murni dan jalan lurus.

Tuhan Yang Maha Tinggi dan Tahu itu, yang mewajibkan kita meminta jalan lurus dalam setiap shalat itu (dengan mewajibkan kita membaca suratal-Faatihah dalam shalat) sudah jelas lebih tahu dari kita tentang kenyataan ini dan, karena itulah Ia mewajibkan kita memintanya setiap hari. Nah, kalau dari satu sisi Tuhan mewajibkan kita meminta jalan lurus yang tidak salah sedikitpun, lalu dari sisi lain Tuhan tahu tidak ada yang makshum, maka jelas hal ini adalah aniaya yang tidak akan pernah dilakukanNya.

Nah,karena jalan lurus ini harus bertahan sampai hari kiamat, dan Tuhan tahu bahwa manusia tidak bisa mengerti siapa manusia lain yang makshum secara lahir batin, maka karena itulah Tuhan mengumumkan dalam Qur'an siapa-siapa yang makshum itu dan begitu pula Nabi Nya saww.

Lebih dari itu, Tuhan tidak hanya mencukupkan dengan mengumumkan siapa yang makshum itu (Ahlulbait Nabi saww, QS: 33: 33), tapi bahkan menjadikan mereka imam-imam kaum mukminin (QS: 4: 59) yang wajib ditaati sejak di jaman Nabi saww.

Nah, itulah imamah dalam Islam yang diikuti Syi’ah. Yaitu imamahnya orang-orang makshum yang ditunjuk Allah sejak awal bahkan sebelum mereka as lahir ke dunia sekalipun. Artinya, sebelum berkarya sekalipun. Tapi bukan tanpa karya dan ukuran kreasi, hingga semena-mena. Ia juga karena kerja-kerja tersebut, tapi kerja-kerja yang bahkan sebelum dikerjakan itu dan bahkan sebelum lahirnya pelakunya itu. Nah, ketika Tuhan tahu siapa-siapa yang makshum di masa Nabi saww dan di masa setelah itu (akan datang) dimana berarti bahwa mereka itu sudah pasti bukan hanya gigih dan taqwa dalam menuntut ilmu dan amal shalih, tapi bahkan sampai ke derajat paling tinggi, yaitu kemakshuman, maka dengan dasar itulah makamereka layak jadi uswah dan pemimpin yang lain. Itulah mengapa Tuhan menunjuk mereka menjadi imam sebelum mereka berkarya dan bahkan sebelum lahir sekalipun. Karena bagi Allah, sebelum dan sesudah itu, tidak ada artinya, karena Tuhan Maha Tahu apa saja sekalipun belum terjadi. Lagi pula, tanpa penunjukan ini, lalu bagaimana bisa manusia memilih imam makshumnya supaya tidak keluar dari jalan lurus itu sementara mereka tidak tahu siapa-siapa yang makshum tersebut.

Jadi, jauh beda antara masalah imam makshum seperti imam Mahdi as dengan orang yang tanpa belajar secara spesifik itu. Artinya, imam Mahdi as itu jelas lulus seratus persen di Mata Tuhan dari sisi ilmu dan amal taqwa (karya dan perjuangan) yang diketahui dua ratus lima puluh tahun sebelum lahirnya dan bahkan sejak sebelum alam ini diciptakan. Beda dengan kita para gembel ini yang kalaupun sekolah agama secara spesifikpun sulit mendapat nilai seratus kala ujian dan, apalagi tahunan setelah itu (karena biasanya ilmu kita dilupakan kita sendiri) ditambah lagi dengan amal sebagiannya yang semrawut/kacau dan jauh dari taqwa serta, apalagi dari kezuhudan yang, sering hidup tidak beda dengan para preman,tapi kalau bicara agama bergaya melebihi para bijak, ulama dan arif atau filosof. Atau cintanya pada dunia tidak beda dengan para penyinta tapi kalau berbicara kearifan, seakan sudah menduduki‘ Arsyullah dan berada di kaki para makshumin as.

Semoga Tuhan selalu menjaga kita semua dan semoga kita melayakkan diri untuk masuk dalam rangkulan penjagaanNya itu, amin.

Sinar Agama: J.K.P dan Z.A.A: Belajar fikih itu memang bisa memakai kitab fikih marja’nya, yakni fatwa marja’-nya atau mujtahid yang ditaqlidinya. Karena itulah antum bisa download dari internet ini dan aku juga bisa memberikannya kepada antum-antum. Dan kalau ada yang tidak dipahami, maka bisa ditanyakan. Jadi, tidak harus kekajian untuk belajar agama. Kata orang,dunia ini sudah tidak selebar layar BB atauMonitor.

Memang, kalau ada berdekatan dengan guru yang alim dan amanat serta taqwa (adil, tidak melakukan dosa besar dan kecil), maka bisa belajar padanya dan, apapun itu, tetap dianjurkan dengan sangat antum sendiri memiliki dan membawa kitab fatwa tersebut, supaya bisa bertanya atau mengingatkan sang guru kalau tidak sama dengan fatwa yang ada dikitab yang antum miliki itu.

Ingat, kalau di akhirat, sesuai Qur'an, anak lari dari orang tua dan sebaliknya, suami lari dari istri dan sebaliknya, lalu apalagi guru dari murid dan sebaliknya???!!! Karena itu, jangan sembarang meletakkan kepercayaan kepada siapapun walau, tidak boleh juga merendahkan siapapun tanpa alasan. Jadi, tidak mempercayai sepenuhnya dalam urusan-urusan fatwa dan agama, bukan tanda merendahkannya. Karena itu, keluarlah dari rasa dan perasaan ketika sudah bicara agama dan fatwa, dan batasilah sopan santun dan penghormatan itu hanya dalam bidang-bidang sosial saja seperti cium tangan pada orang tua dan menaatinya (dalam hal-hal yang tidak haram) bukan berarti membenarkannya dalam masalah-masalah agama dan fatwa. Jadi, hormat itu ada tempatnya, dan ilmu yang mengkonsekuensikan surga-neraka juga ada tempatnya.

Neo Hiriz · Friends with Ramlee Nooh and 164 lainnya: Nasehat yang sangat diperlukan. Mamnun ustadz.

Mahdi Askariyyin: Allahumma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad wa ajjil faraja ali Muhammad.

Pendapat klasik yang saatnya sudah harus dikoreksi. Zaman sudah berubah, kesadaran para syiah tumbuh dewasa. Yang penting adalah menjaga diri dari mengikuti syahwat dan hawa nafsu, dan itu sesungguhnya sama dengan mengikuti marja meskipun tidak mengikuti secara lateral.

Nyoman Salim Al-Jufrie · 504 teman yang sama: Barakallah..sukron ilmunya..

Zaka Riya · Friends with Sang Pencinta: Assalamualaikum, saya mau tanya tentang ungkapan ‘’syi’atuna man yatakhollaku bi akhlakina’’ dari mana asalnya dan ada di kitab apa trimakasih wassalamualaikum.

Mata Jiwa: Mantaab pak ustadz...kelebihan pak ustadz yang belum ada tandingannya adalah: Jawabannya lengkaaap.. MasyaALLAH.. meski pak ustadz berada jauh dibalikawan, tiap pertanyaan diladeni seperti ngobrol tatap muka...Ya ALLAH, panjangkan umur ustadz kami ini..tak kenal di bumi, smoga ENGKAU kenalkan kami kelak di majlis langitMU...

Sugeng Iwan: Penjelasan yang membimbing, syukran....

Ana Kultsum: Salam warohmah wa barokatullah . . Afwan akhi numpang nyimak & ijin share.

Jokoichi Keiko Prayitno · 7 teman yang sama: Syukron...thankyou...arigato gozaimas, ustadz.

Sinar Agama: Mahdi: Jangan sampai antum mau katakan Qur'an itu klasik hingga perlu dikoreksi. Kan raksyih amat, dimana marja’nya mewajibkan taqlid leterleks, sementara antum berkata lain. Jangan sampai marja’ itu antum maksudkan dengan klasik yang perlu dikoreksi. Karena semua marja’ mewajibkan taqlid leteral, sementara antum berkata lain. Kalau antum memang benar, maka tolong sebutkan dimana ada fatwa marja’ seperti yang antum katakan itu, hingga kita-kita akan mengucapkan terima kasih kepada antum karena koreksiannya yang benar???!!!! Tentu saja kalau antum menulis itu atas dasar penukilan pendapat marja’. Tapi kalau antum hanya mengatakan apa-apa yang antum yakini, maka maaf kalau saya katakanbahwa:

“Kami bukan yang taqlid kepada antum hingga karena itu maka kami tidak akan memperhatikannya terlebih berlawanan dengan fatwa-fatwa marja’ kami. Lagi pula, apakah maksud antum dengan koreksi terhadap pendapat klasik itu adalah taqlid semau gua, yakni melakukan sesuatu dan menghubungkannya kepada marja’ walau si marja’ tersebut tidak menfatwakannya secara leteral???!!!! Kalau taqlid-taqlidan batin seperti itu, maka semestinya hujjahnya juga diam-diaman dan batin-batinan, artinya tidak bisa didiskusikan. Nah, ketika antum mendiskusikannya, maka berarti harus memiliki penyandaran yang lahiriah. Kok bisa diskusi dengan orang dan orang lain itu disuruh percaya saja terhadap sebuah pemahaman dan tidak boleh dicek leteralnya karena hal itu klasik dan harus dipercaya saja apa-apa yang ada di hatinya karena hal itu modern?” Ini namanya, ra’syih amat.

Sinar Agama: Zaka: Kata-kata itu bermakna “Syi’ah kami adalah yang berakhlak dengan akhlak kami.”

Kalau kita lihat akhlak mereka as dan perintah-perintah mereka as yang lain, maka tidak bisa dipungkiri bahwa mereka sangat taat kepada Allah dalam segala hukum-hukumNya hingga diumumkan Tuhan dalam Qur'an sebagai makshum. Makshum artinya bersih dari dosa, dan bersih dari dosa, artinya bersih dari segala pelanggaran fikih dan hukum.

Kemudian, salah satu dari perintah hukum yang diberikan Tuhan dan Nabi saww serta para imam makshum as, adalah wajib bagi orang-orang yang tidak spesialis tentang agama (bukan mujtahid) untuk menaqlidi/mengikuti yang spesialis/mujtahid dalam urusan-urusan fikih dan agama.

Karena itulah, kata-kata imam makshum as yang lain yang banyak ditemui di kitab-kitab Syi’ah dan yang mirip dengan kata-kata yang antum nukil itu, seperti:

“Syi’ah kami adalah orang yang tertaqwa di kampungnya.” Artinya, yang paling taat dalam fikih dan hukum-hukum Tuhannya.

Sinar Agama: Yang Lain-lain: Terima kasih atas semua perhatian dan baik sangkanya serta doanya, semoga dikabulkan Nya untuk alfakir, untuk antum semua dan semua teman di facebook ini, amin.

Zaka Riya · Friends with Sang Pencinta: Assalamu’alaikum, terima kasih atas penjelasannya ustadz, tapi yang saya ingin tahu, siapakah diantara ma’sumin yang telah mengatakan ungkapan itu ustad, sebelumnya saya ucapkan terimakasih, wassalamu alaikum warohmatulloohiwabarokaatuh.

Komarudin Tamyis: Sami’na wa atha’na.. Jazakumullah khoiron..

Muhammad Yasin · 2 teman yang sama: Allohummashollialaa Muhammad waaali Muhammad, semoga ustadz dalam lindunganNYA dan tidak bosan-bosan untuk menerangkan masalah- masalah agama yang ana belum ketahui.

Sinar Agama: Zaka: Kalau hadits yang antum tanyakan itu, sepertinya tidak ada. Tapi yang maksudnya sama, maka ada seperti hadits yang dikatakan imam Ali as yang menukil juga dari Nabi saww:

إنشيعتنامنشيعنا،واتبعأثارنا،واقتدىبأعمالنا

“Sesungguhnya Syi’ah kami adalah yang mengikuti kami, mengikuti lampa-lampa kami dan mencontoh perbuatan-perbuatan kami.” (Tafsir imam Hasan al-’Askari, 307; Bihaaru al-Anwaar, 68/154).

Ada juga yang dari hdh Faathimah as:

قالعليهالسالم:قالرجلالمرأته:اذهبيإلىفاطمةعليهاالسالمبنترسولاهللصلىاهللعليهوآلهفسليها

عني،أنامنشيعتكم،أولستمنشيعتكم؟فسألتها،فقالتعليهاالسالم:قوليله:إنكنتتعملبماأمرناك،

وتنتهيعمازجرناكعنهفأنتمنشيعتنا،وإالفال.فرجعت،فأخبرته،فقال:ياويليومنينفكمنالذنوبوالخطايا،فأناإذنخالدفيالنار،فانمنليسمن

شيعتهمفهوخالدفيالنار.فرجعتالمرأةفقالتلفاطمةعليهاالسالمماقاللهازوجها.

فقالت فاطمة عليها السالم:قوليله: ليس هكذا فان شيعتنا من خيار أهل الجنة،وكلمحبيناومواليأوليائنا، ومعاديأعدائنا،والمسلمبقلبهولسانهلناليسوامنشيعتناإذاخالفواأوامرناونواهينافيسائرالموبقات،وهممعذلكفيالجنة،ولكنبعدمايطهرونمنذنوبهمبالبالياوالرزايا،أوفيعرصاتالقيامةبأنواعشدائدها،أو

فيالطبقاالعلىمنجهنمبعذابهاإلىأننستنقذهم-بحبنا-منها،وننقلهمإلىحضرتنا.)3(

Berkata imam Hasan ‘Askari as: “Seorang lelaki berkata kepada istrinya: ‘Pergilah kamu ke hdh Faathimah bintu Rasulillah saww dan tanyakan tentang ku apakah aku ini Syi’ah kalian atau bukan Syi’ah kalian?’ Kemudian ia -istrinya- bertanya kepada beliau as. Dan beliau as berkata: ‘Katakan pada suamimu: Kalau melakukan apa-apa yang kami perintahkan kepadamu dan menjauhi apa- apa yang kami larang terhadapmu, maka kamu Syi’ah kami. Tapi kalau tidak, maka bukan Syi’ah kami.’

Kemudian wanita itu kembali ke suaminya dan memberitahukannya. Dan suaminya berkata: ‘Celakalah aku dan orang-orang pelaku dosa dan kesalahan. Kalau begitu maka aku akan kekal di dalam neraka. Karena yang bukan dari Syi’ah mereka, akan kekal di dalam neraka.’

Lalu si istri itu kembali lagi ke hdh Faathimah as dan mengabarkan tentang apa-apa yang dikatakan suaminya. Lalu beliau as berkata: ‘Katakan padanya: Bukan seperti itu. Sesungguhnya Syi’ah kami itu adalah orang-orang pilihan di surga. Sementara orang-orang yang menyintaikami dan berteman dengan teman kami dan bermusuhan dengan musuh kami, dan menerima kami (wilayah/imamah) dengan hati dan lisannya. Bukanlah Syi’ah kami kalau melanggar perintah- perintah kami dalam kewajiban dan larangan-larangan kami dalam kemaksiatan. Akan tetapi mereka akan tetap masuk surga setelah dibersihkan dari dosa-dosa mereka dengan bencana- bencana dan derita-derita, atau dengan suatu yang menyiksa dan berat di akhirat pada hari kiamat, atau disiksa di jahannam yang paling atas (tidak terlalu dalam) dengan adzab-adzab hingga kami mensyafaati mereka karena cinta mereka kepada kami dan mengangkat mereka dari jahannam itu lalu mendekatkannya kepada kami.’.” (ibid).

She Lha · Friends with Sang Pencinta and 120 lainnya: Pintar, cerdas, baik, akhlaknya mantaf, itu om Sinar Agama.

Muhammad Bob Ali: Untuk urusan fiqh memang seharusnya begitu.

Sarboz Osemon · 144 teman yang sama: Ustadz, orang-orang yang jauh dari pusat kota susah mengakses fatwa maraji, mereka mendengarnya hanya dari orang-orang yang punya akses ke kota, internet, buku, dan lain-lain.. yang dari mereka yang punya akses pun terkadang informasinya pun kurang dipercaya, kalaupun dipercaya masih kurang akurat, kalaupun akurat kadang informasinya ada tendensi pribadi di dalamnya, sementara orang-orang yang sedang dilanda masalah butuh yang instant..menurut ustadz bagaimana?

Bimo Mangkulangit: Menyimak...

Yoez Rusnika: Allahumma shali ‘alaa Muhammad wa aali Muhammad.

Sinar Agama: Sarboz: Harus ada tolong menolong di antara kita semua. Kemudahan yang bisa diraih di satu daerah, seperti yang terdekat yang kesulitan itu, berkewajiban membantu yang kesulitan tersebut. Sebenarnya, kalau antum sebutkan daerahnya, sangat mudah dan mungkin dalam tidak akan sampai seminggu sudah bisa diatasi i-Allah. Karena fikih Rahbar hf sudah sangat mudah didapat di internet ini, dan kita bisa minta tolong kepada daerah terdekat untuk membantu mereka.

Coba sebutkan saja daerah-daerah yang memang sulit, nanti kita coba cari jalan secepatnya membantu mereka. Sebutkan daerah yang sulit mengakses itu dan sebutkan alamat yayasannya atau yang dianggap mewakili supaya dapat kita-kita bantu mengirim kepada mereka print out dari buku fikih tersebut. Ana rasa mudah diatasi, Allahu A’lam. Coba saja, saya yakin akan cepat bisa diatasi.

Wassalam.

Maman Aja: Wilayah fiqih dan wilayah petuah/pedoman hidup itu satu paket apa terpisah? Ana belum paham betul dengan wilayah marjaiyyah, apakah meliputi wilayah, petuah, pedoman hidup(hikmah)? Mohon pencerahan....

Sang Pencinta: MA: https://www.dropbox.com/s/g2unyedhagftit3/WF%20Marja%20Taqlid.pdf,

Taqlid dan kelebih pandaian marja’ (a’lam), seri tanya-jawab Al Louna dan Sinar Agama http://www.facebook.com/note.php?note_id=229636837046872,

Wilayatul Faqih (Seri1)
WF Marja Taqlid.pdf

Sinar Agama: Maman: Petuah itu kalau hanya bersifat seperti jangan merokok, jangan makan pedas-pedas, jangan kebut-kebutan,.... dan seterusnya... yang bersifat nasihat yang tidak berbobot muatan agama (seperti haram dan wajib), maka jelas tidak masalah (diambil dari orang yang baik dan mengusai serta berpengalaman berhasil). Tapi kalau bobotnya memasuki daerah hukum fikih, seperti jangan beramar makruf dan bernahi mungkar kalau begini dan begitu, jangan berfikih ketika begini dan begitu, jangan shalat dengan cara Syi’ah kalau bukan begini dan begitu....dan seterusnya...maka jelas hal ini bukan wewenang atau wilayah selain mujtahid yang biasa disebut fakih/faqih.


هُمَّصَلِّعَلَىمُحَمَّدٍوآلِمُحَمَّدٍوعَجِّلْفَرَجَهُمْ