Minggu, 25 April 2021

Taqlid Pada Marja’ (walifakih) Dalam Fikih dan Berdalil Dalam Akidah

seri tanya-jawab Jack Marshal dengan Sinar Agama: http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/326163530761783/ by Sinar Agama (Notes) on Wednesday, December 21, 2011 at 12:19pm


Jack Marshal: Ustadz saya mau tanya. Kalau di Sunni ada madzhab yang harus dipilih untuk diikuti, kalau Syi’ah bagaimana?. Tolong jelasin apa itu wilayatul fakih dan marja’. Terimakasih ustadz.

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyannya:

(1). Syi’ah adalah satu madzhab yang sebenarnya ia itu adalah Islam itu sendiri. Karena Islam sangat gamblang dan jelas mengajarkan taat pada Allah, Nabi saww dan para pemimpin yang makshum as.

(2). Ketika seseorang yang jauh dari Nabi saww atau Imam makshum, baik jauhnya karena jamannya tidak sama atau karena tempatnya yang memang jauh, maka orang tersebut diwajibkan mengikuti yang alim diantara orang-orang yang dekat dengannya atau terjangkau olehnya.

(3). Orang Alim yang juga disebut sebagai perawi hadits, atau mujtahid atau ulama atau faqih ..dan sebagainya... dijadikan wakil oleh Nabi saww atau para makshumin as tersebut.

(4). Perwakilan itulah yang kemudian dikenal dengan wilayatulfaqih atau wewenang para alim/ mujtahid.

(5). Perwakilan disebut perwakilan kalau dilihat dari atas, yakni dari para makshumin as, tapi disebut wilayah atau wewenang, kalau dilihat dari bawah, yakni umat yang mengikuti.

(6). Perwakilan ini hanya berlaku dalam masalah-masalah fikiyyah atau hukum syariat. Karena dalam aqidah, dalam Islam atau Syi’ah, tidak boleh taqlid. Jadi, harus pakai dalil akalnya sendiri.

(7). Perwakilan ini ada dua macam. Wakil khusus, yaitu yang ditunjuk oleh para makshumin as langsung, seperti yang banyak kita kenal dalam sejarah. Memang terkadang ada juga perwakilan dalam bab tersendiri, seperti perang, uang/baitulmal dan semacamnya. Tapi yang kita bahas ini adalah perwakilan dalam hukum-hukum syariat dan pengambilan hukum- hukum Islam itu.

(8). Ada juga yang disebut wakil umum, yaitu yang tidak ditunjuk langsung dengan penunjukan nama, tapi penunjukan yang melalui kriteria. Yaitu yang ada dalam hadits-hadits shahih. Seperti alim/mujtahid/faqih, adil (tidak melakukan dosa besar dan kecil) dan tidak tamak pada dunia sekalipun halal.

(9). Perwakilan yang ada setelah ghaib besarnya Imam Mahdi as, hanyalah perwakilan umum tersebut. Yakni yang ditunjuk dengan kriteria.

(10). Secara riwayat keperwakilan para alim/mujtahid itu adalah dalam pengambilan semua hukum syariat dan, sudah tentu penerapannya. Karena, banyak sekali hukum-hukum yang meminta penerapan, seperti qishash, cambuk, perang, kenegaraan, internasional ...dan seterusnya. Karena itu, merupakan kewajiban merujuk kepada mujtahid dalam segala aspek kehidupan selain akidah yang harus memahaminya sendiri (artinya, tidak boleh taqlid pada siapapun). Karena itu, kemerujukan itu bersifat umum dan mencakup. Inilah yang dikatakan ”wilayatulfaqih mutlak”. Tapi ada sebagian kecil mujtahid yang mengatakan bahwa kemerujukan itu hanya pada hukum-hukum teori dan pribadi saja. Yakni tidak boleh melaksanakan fikihnya yang bersifat penerapan umum seperti politik, ekonomi dan sebagainya. Kelompok kecil ini, walaupun rada aneh, tapi tetap dihormati. Pandangan mereka itulah yang dikenal dalam istilah fikih dengan ”wilayatulfakih tidak mutlak”.

(11). Kewenangan mutlak mujtahid itu, akan terlaksana kalau masyarakatnya menginginkan seperti itu. Karena jangankan mereka yang hanya mujtahid, para makshum as saja, kalau tidak ditaati umat, maka tidak ada kewajiban mendirikan dan mengamalkan segala hukum fikih tersebut, seperti qishash, cambuk, perang, kenegaraan ...dan seterusnya. Jadi, konsep tidak ada paksaan bagi manusia, diberlakukan dalam hal wilayah atau kewenangan ini, baik kewenangan makshumin as atau wakil-wakilnya.

(12). Kalau wakil makshumin itu banyak, maka dipilih yang paling a’lam atau paling tahu. Semua aturannya sudah dijelaskan di setiap kitab fikih.


Firman Asyhari: Perwakilan ini hanya berlaku dalam masalah-masalah fikiyyah atau hukum syariat. Karena dalam aqidah, dalam Islam atau Syi’ah, tidak boleh taqlid. Jadi, harus pakai dalil akalnya sendiri. Maksudnya bagaimana Pak kalau dalam akidah?

Jack Marshal: Menurut saya akidah itu sangat personal berhubungan dengan tingkat pemahaman akal tiap manusia, sehingga sulit dibakukan. Kalau salah mohon di koreksi.


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

(1). Kalau orang tidak mengerti hukum fikih, harus mengambil dari mujtahid yang ditaqlidinya yang juga biasa dikenal dengan marja’. Pengambilan hukum ini, tidak mesti tahu dalil dari hukum tersebut. Karena mengerti dalil hukum dalam Syi’ah/Islam, perlu belajar intensif sekitar 30 tahunan hingga menjadi mujtahid atau ayatullah. Nah, di fikih ini, taqlidnya adalah taqlid buta. Karena penaklidnya memang tidak punya mata, alias ilmu yang cukup yang dipelajari dalam 30 tahunan itu.

(2). Tapi kalau seseorang tidak tahu masalah-masalah akidah, maka ia boleh bertanya kepada siapapun yang bisa, terutama ulama. Akan tetapi kalau hanya mencukupkan dengan mengikuti pendapatnya, maka keimanan yang seperti ini, masih tergolong taqlid dan tidak mencukupi untuk naik ke kelas iman yang sejati. Jadi, untuk naik ke iman yang sejati, seseorang harus mendengarkan dalil-dalilnya dan memahaminya dimana kalau tidak paham atau tidak cocok harus bertanya atau mendebatnya sampai permasalahannya menjadi jelas. Nah, ketika masalah sudah jelas, artinya keimanan yang dimaksud sudah jelas sampai ke dalil-dalilnya dan dipahami bahwa dalilnya itu benar, maka iman seperti ini yang dianggap sudah memadahi kriteria iman sejati. Artinya sudah tidak ikut-ikutan lagi dalam keimanan.

(3). Mengikuti orang lain dalam masalah keimanan ini, tidak memiliki syarat apapun, termasuk syarat yang diikutinya. Jadi, bukan hanya mengikuti orang tua atau nenek-nenek yang tidak dianggap mencukupi, tapi mengikuti ulama bahkan para Imam makshum dan Nabi saww juga dianggap tidak mencukupi. Bahkan sekalipun mengikuti Qur'an. Jadi, kalau dalam masalah- masalah keimanan, harus benar-benar memahaminya dengan dalilnya, baik diurai orang tua, guru, ulama, para Imam makshum as, Nabi saww atau bahkan Qur'an.

(4). Memang keimanan yang ranting, artinya yang bukan dasar-dasar keimanan yang lima (Tauhid, keAdilan Tuhan, kenabian, keimamahan dan hari akhirat), seperti beriman kepada Qur'an, kitab-kitab, detail-detail sifat Imam dan jumlahnya, detail-detail akhirat dan semacamnya, bisa mengambil dari Qur'an dan Hadits walau tidak tahu apa dasarnya. Misalnya, di akhirat begini dan begitu, Imam makshum as itu berjumlah 12 orang, kitab Qur'an itu begini dan begitu, kitab-kitab terdahulu itu begini dan begitu dan semacamnya, harus mengikuti Qur'an dan hadits.

Akan tetapi dasar-dasar iman yang lima itu, maka harus menggunakan nalar untuk memahami dalilnya walaupun si penyaji dalil itu Qur'an atau Nabi saww atau Imam makshum itu sendiri. Karena mengikuti Tuhan, Nabi saww dan para Imam makshum as itu tidak cukup untuk mengantar keimanan kita kepada keimanan sejati.

(5). Misalnya, kita mau mengikuti Tuhan dalam beriman pada Tuhan. Nah, ini kan tidak benar. Karena ketika kita mau mengimani Tuhan, berarti kita masih mencariNya. Tapi ketika kita mau mendengarkan Tuhan, maka berarti kita telah mempercayaiNya. Ini kan mutar-mutar ??!?. Kasarnya, wong kita masih mau mencari dan mengimani Tuhan kok sudah percaya pada Qur'an sebagai firman Tuhan. Bagiamana mungkin seseorang belum percaya Tuhannya, tapi sudah percaya firmanNya.

Nah, begitu pula dengan Nabi saww dan Imam makshum as. Wong kita belum percaya Tuhannya kok sudah percaya pada utusanNya dan penerus utusanNya?????!!!?

(6). Karena itulah Tuhan dalam QS: 49:14 berfirman: ”Orang-orang desa berkata: “Kami telah beriman”. Katakan -Muhammad: “Kalian belum beriman sebelum iman itu masuk ke dalam hati kalian”.

Padahal, jelas mereka itu sudah beriman kepada Allah dan RasulNya saww. Yakni beriman dengan sebenar-benar iman karena tidak ada yang memaksanya. Tapi karena mereka masih mengikuti Nabi saww, artinya karena kepercayaan mereka kepada Allah mengikuti Nabi saww karena beliau saww seorang yang jujur, maka keimanan mereka itu belum diatas dasarkan dalil. Jadi, masih mengikuti orang lain yang dalam hal ini adalah Nabi saww itu sendiri.

Karena itulah, iman yang masuk ke hati itu bukan yang dipercaya-percayai, bukan yang diwirid- wiridkan, bukan yang dijejel-jejelkan ke dalam hati, tapi yang masuk ke hati dengan argumentasi dan dalil.

Selengkapnya lihat catatan tentang akidah, terutama yang berjudul : ”Pokok-pokok dan Ring- kasan Ajaran Syi’ah.” 

Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar