Tampilkan postingan dengan label Benci. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Benci. Tampilkan semua postingan

Selasa, 21 Agustus 2018

Lensa (Bgn 14): Tentang Benci



Oleh Ustad Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 19:14


Benci sebagaimana sudah saya sering berikan contohnya, di catatan-catatan atau koment alfakir selama ini, adalah sifat yang ada di hati manusia, yang, secara filsafat dikatakan ada di ruh bagian daya-hewani. Artinya benci adalah kerja hati seperti cinta.

Nah, benci hati ini, tidak boleh diletakkan kepada makhluk Tuhan dari sisi kemakhlukanNya, seperti jeleknya, hitamnya, cebolnya, baunya, ganasnya (seperti harimau dan ular) dan seterusnya. Dan karena itu benci itu hanya bisa diletakkan kepada Karekter Ikhtiari Manusia atau jin (seperti Iblis). Ingat sekali lagi amal-amal ikhtiari atau akhlak-akhlak ikhtiari. Maksud akhlak disini adalah kebiasaan, bukan akhlak baik. Jadi dalam pembahasan akhlak, akhlak itu adalah kebiasaan, baik kebiasaan baik atau buruk.

Nah, benci itu hanya bisa diletakkan ke atas akhlak buruk seseorang dari sisi akhlak buruknya itu. Jadi kalaulah membenci pelakunya, jangan karena jelek rupanya, tetapi benar-benar karena akhlak buruknya itu. Ini baru boleh, dan bahkan merupakan keharusan. Karena kalau kita tidak membencinya, bisa mengakibatkan kebagian dosanya. Karena itulah dalam Islam dikenal dengan Tabarri, alias berlepas diri. Yakni berlepas diri dari keburukan orang yang dibenci karena keburukannya itu. Dan Rasulpun saww bersabda: “Kalau di ujung timur dunia ada yang membunuh orang tanpa kebenaran, dan di ujung barat ada yang mendengar dan dia rela terhadap perbuatannya itu, maka ia telah mendapatkan dosanya juga.”.

Namun demikian benci ini tetap berupa amal hati, bukan badani nan aplikatif. Karena kita baru membahas tinjauan hatinya. Nah, benci di hati ini, sekalipun merupakan keharusan ketika tempatnya sudah benar secara argumentatif gamblang, bisa dibarengi dengan amal-amal hati lainnya. Tentu selain amal hati yang berkata “Aku berlepas diri dan tidak suka pada perbuatannya”. Yaitu amal-amal hati seperti harapan dan doa akan perubahan terhadap pelaku amal buruk itu. Semua itu tergantung kepada besar-kecilnya keburukan seseorang dan tergantung kepada tekak tidak tekaknya (bc: keras tidaknya kepalanya).

Tentu saja ukuran keras kepala ini tidak mudah dinilaikan. Karena sering orang karena di debat sekali dua kali saja sudah mengecap lawan bicaranya sebagai keras kepala. Walhasil, kalau memang keras kepala sekalipun, tetap bisa dilihat, apakah karena lingkungan yang membentuknya menjadi orang-orang yang nampak bodoh seperti para Wahhabi yang terhitung latah, atau karena dia sendiri telah menjadi keras kepala dengan penuh kesadaranya dalam memilih jalan buruk itu. Walhasil, dengan modal agama yang tidak bisa sedikit, seseorang akan mampu dengan ijinNya, melihat derajat-derajat obyek bencinya itu dan hatinya diselaraskan sesuai dengan ilmu Islam yang argumentatif agamis dan aklis itu, bukan argumentatif perasaanis yang dipaksakan dengan ayat-ayat dan hadits-hadits.

Tapi ingat, bahwa sekalipun ada perasaan harap itu, maka perasaan benci akan perbuatannya itu, harus tetap ada di hati. Karena hilangnya itu akan membuat kerusakan pada diri kita sendiri. Akibat awal yang paling sederhana tetapi memiliki kadar luar biasa besarnya, adalah tidak jelasnya nilai hidup dan budaya. Coba lihat di Indonesia. Korupsi dan zina misalnya. Sebenarnya, dalam tinjauan sosialnya, korupsi dan zina itu bukan suatu yang besar. Karena ia merupakan penyakit pelakunya.

Tetapi ketika yang lain tidak membencinya, atau membenci karena tidak kebagian (seperti di Indonesia yang secara lahir melakukuan reformasi terhadap KKN, yakni memperbaiki KKN hingga menjadi adil dan rata), maka budaya yang akan muncul adalah “biasa” menghadapi keduanya. Dan kalau sudah “biasa” atau “hal biasa”, terlebih dibumbui lagi dengan “Manusia itu tempatnya salah dan doa” dan “tidak tega”, maka langkah berikutnya adalah kita sendiri akan jatuh di dalamnya.

Jadi, maksiat pribadi, seperti korupsi dan zina, tidak sebesar maksiat sosial yang sudah mengang- gapnya hal biasa. Bayangin saja budaya kita, kalau ada anak hamil di luar nikah, orang tuanya, tidak marah dari awal ketika ia tidak pakai hijab atau ketika ia pacaran. Tetapi marahnya, kenapa sampai hamil dan membuat malu. Artinya hubungan maksiat sebelumnya, asal tidak sampai hamil, maka dianggap biasa. Nah, budaya seperti ini, yang timbul dari tidak bencinya pada keburukan dan maksiat itu adalah seburuk-buruk budaya dan bisa dikatakan tidak memiliki harapan di masa depan.

Karena itulah, sebagian orang berkata bahwa Arab Jahiliyyah masih jauh lebih bagus dari budaya kita. Karena di jahiliyyah, kejujuran masih disanjung tinggi, kesatriaan dan membela yang lemah jadi pujaan. Tetapi kita, oh..betapa malangnya kita... yang memiliki budaya tidak ke barat dan tidak ke timur ini. Indonesia, akan menjadi baik, kalau budayanya dirubah. Dan perubahan itu, tidak bisa terjadi kecuali dengan pengawasan seorang alim tentang agama yang mencakupi filsafatnya, sosiologinya, psikologinya.

Tentang aplikasi bencinya: Dalam aplikasi benci ini, agama dan akal-gamblang, telah memberikan cara-caranya secara rinci. Namun ingat, dengan tetap menjaga perasaan benci itu. Penanganan terhadap obyek yang dibenci itu sangat banyak dan sangat rinci. Kadang dengan merengutkan alis saja, kadang dengan ucapan. Dan ucapan ini bisa banyak gradasinya. Bisa dengan argument, yakni ketika ia memiliki potensi untuk memahami argument. Argument adalah proposisi-proposisi yang disusun sebagai dalil yang dikenal dengan Premis.

Argument adalah memakai premis yang memiliki kebenaran yang sudah teruji dengan argu- mentasi. Artinya, kebenarannya itu adalah hakiki dan niscaya, baik diterima orang atau tidak. Seperti 1+1=2; yang terbatas pasti diadakan; rangkapan terbatas juga keterbatasan;.....dan seterusnya. Akan tetapi, kalau pelaku buruk itu tidak mengerti hal ihwal argumentasi dan premisnya itu, maka bisa memakai cara debat. Debat adalah premisnya memakai hal-hal yang diakui oleh lawan bicaranya. Misalnya orang syi’ah berdalil tentang 12 imam maksum as,. dari kitab Bukhari yang diterima sunni (sekalipun syi’ah tidak menerimanya).

Jadi, apapun yang diterima lawan bicaranya dijadikan dalilnya. Inilah yang dikatakan debat. Ada juga yang pakai setengah umpatan. Seperti kamu tidak belajar dengan baik, kamu tidak membidangi agama secara akademis, kamu banyak bicara terhadap hal-hal yang tidak kamu tahu, dan seterusnya. Semua itu akan menjadi sesuai dengan obyeknya, manakala seseorang telah benar-benar alim dan berhati mulia. Artinya setiap langkahnya hanya mengikuti argument, agama dan dengan niat ridhaNya.

Ada juga dengan cara-cara yang lebih kelihatan keras, seperti meninggalkannya. Yang ke tiga ini dikenal dengan amar makruf dengan badan. Artinya, sejauh yang diijinkan agama. Bukan menamparnya dan semacamnya. Karena menyakiti orang lain secara fisik, di samping merupakan dosa besar, ia juga memiliki kaffarah, apakah hanya memar, atau luka, atau luka sampai ke tulang, atau luka sampai melukai tulang...dan seterusnya seperti yang sudah diterangkan di kitab fikih.

Jadi, aplikasi kebencian itu diterangkan dalam amar makruf dan nahi mungkar. Begitu pula syarat- syaratnya. Karena itulah maka kita tidak bisa sembarang melakukan amar makruf dan nahi mungkar yang biasa kita kenal dengan “Dakwah”. Terlebih Dakwah Sosial dan Media Masa dimana yang dihadapi bukan seseorang yang jauh lebih gampang diketahui psikologinya.

Penjelasan tentang aplikasi benci di atas belum hanya berupa gambaran umum dan tidak mencakupi semua bagiannya. Karena ada yang kadang kala memakai cara perang, dan pengrusakan, manakala diperlukan dan sudah difatwai dengan bijak oleh seorang mujtahid yang bersih dari dosa. Hal mana seperti itu memang jarang sekali terjadi. Dan biasanya ketika sudah sangat terpaksa untuk melawan kemungkaran dan kekafiran.


Wassalam.



Tika Chi Sakuradandelion, Khommar Rudin, Ammar Dalil Gisting dan 7 lainnya menyukai ini.

Jaid Alfarizi: Akhsantum....Allahumma shalli alaa Muhammad wa alaa Aali Muhammad bihaqqi Aali Muhammad wa ajjil farajahum.

Khommar Rudin: Allah humma shalli alla Muhammad wa alli Muhammad.

Ammar Dalil Gisting: Salam. Syukran Ustadz.. Jazakallahu khaeran katsir... Ooh,. Ternyata masih dan masih banyak yang kurang peduli dan mengerti dalam hal Tabarri..?! Pantas saja penyakit sosial bertambah hari bukannya berkurang malah bertambah ‘gila’... 

Ya Rasullah..! Ya Amiril mukminin..! Tolong dan bantulah kami untuk bisa bersikap dan ber akhlak sebagaimana yang kau ajarkan... Ya Rabbiy karuniai hamba ilmu yang bermanfaat.. Ilahi amin.. 


27 Mei 2012 pukul 22:59 · Suka



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ