Tampilkan postingan dengan label Menghitung Khumus. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Menghitung Khumus. Tampilkan semua postingan

Rabu, 25 Desember 2019

Hutang Khumus Itu Dihitung Sejak Kerja (awal mendapat bayaran), Bukan Awal Menjadi Syi’ah?!


Tanya-jawab Sang Pencinta dengan Sinar Agama November 2, 2013 at 5:15pm


Sang Pencinta: 23-4-2013, Salam, ada yang bertanya, jika seorang Sunni lalu hijrah ke Syi’ah dan ketika di Sunni.

1) Tahu bahwa khumus itu wajib tapi tidak membayarkannya, apakah sekarang wajib bayar bagian yang harus dikhumusi?


2) Tidak tahu apa itu khumus, apakah wajib membayarnya sekarang? Terimakasih.


Jika wajib bayar, bagaimana dengan ibadah sholat dengan pakaian dari bagian yang belum dikhumusi, semasa Sunni dulu? — bersama Sinar Agama.

Indah Kurniawati, Achmadi Al Fauzi, Haladap Saw dan 32 lainnya menyukai ini.


Hidayatul Ilahi: Nyimak.

Ayuning Wins: Salam, ikut nyimak.

Hambali Return: Nyimak, saya belum mudeng itu khumus.


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

1- Yang tahu tapi tidak membayar khumusnya itu, wajib membayarkannya. Dan cara menghitung qadhaa’nya adalah dikira-kira setelah setahun masa kerjanya itu, apa ada kelebihan dari uang atau barang-barang konsumsinya seperti bensin, beras, nasi, tempe mentah, tempe goreng, pulsa, rokok dan seterusnya. Kalau ada, maka dikirakan jumlahnya, lalu dikeluarkan seperlimanya. Begitu pula, tahun-tahun berikutnya. Tapimengqadhaa’ khumus itu, harus dari uang yang bersih seperti harta yang sudah dikhumusi (kelebihan tahun sekarang yang sudah dikhumusi).

2- Kalau tidak tahupun, tetap wajib bayar khumus. Karena kewajiban ini tidak tergantung kepada pengetahuan sekalipun mungkin dimaafkan atas keterlambatannya kalau memang tidak tahu dan tidak ada jalan untuk mencari tahu. By the way, yang telah lalu wajib dikhumusi walau dengan mengira-ngira kelebihan dari hasil pengurangan pendapatan setahun dikurangi belanja normal (tidak berlebih) selama setahun juga.

Untuk yang telah lalu yang belum dikhumusi di kala Sunni itu, biasanya tetap harus diqadhaa’ (setidaknya sebagai kehati-hatian), dan dalam hal ini, bisa mencicil tapi dengan keridhaan marja’ atau wakilnya yang memiliki ijin perelaan terhadap penyicilan tersebut sesuai kemam- puan. Tapi kalau tidak mau melakukan kehati-hatian itu, maka cukuplah mengkhumusi apa- apa saja yang tersisa dari uang ketika Sunni yang tersisa sampai menjadi Syi’ah dan begitu pula barang-barang yang tersisa dari yang mesti dikhumusi, seperti rumah ke dua, mobil ke dua, tanah yang bukan untuk rumah, modal yang didapat dari hasil kerja dan semacamnya. Saya sudah memintakan ijin ke kantor Rahbar hf dan bahwa kalau tidak mau melakukan kehati-hatian tersebut dimana memang tidak wajib menurut kantor Rahbar hf (akan tetapi hanya baik), maka wajib mengkhumusi yang tersisa di kala sudah menjadi Syi’ah sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas itu. Lihat juga poin Tambahan di bawah.

Mata Jiwa: Pak Uztadz, jika ada kasus suaminya belum mau mengeluarkan khumus karena beranggapan bahwa setiap bulannya telah mengeluarkan sekitar 10 % dari penghasilannya untuk menyantuni faqir miskin dan beberapa sayyid/syarifah yang terhitung masih kerabat, bagaimana hukumnya?

Willy Bulao: Kalau tiap akhir tahun (bulan Desember) dapat uang kaget seperti bonus perusahaan apakah wajib dikhumusi?

Sang Pencinta: Mata Jiwa: terhitung wajib khumus, khumus itu wajib diserahkan pada marja’, tidak disalurkan sendiri oleh mukallaf.

Reyza Pahlevi: Persoalan marja bagaimana kita menentukan marja buat kita ya. Mohon penje- lasannya.

Sang Pencinta: Reyza, Penentuan seorang mujtahid yang diangkat sebagai marja di antaranya dilihat dari kelebih-pandai-an seorang mujtahid dalam menjelaskan dalil-dalil sebuah fatwa dibanding mujtahid lain, dan beberapa syarat lainnya. Kalau berminat untuk memahami lebih dalam silahkan rujuk ke sini,

https://www.dropbox.com/s/g2unyedhagftit3/WF%20Marja%20Taqlid.pdf?m

Reyza Pahlevi: Terimakasih banyak Akhina.

Sasando Zet A: Barang apa saja yang dikhumusi?

Kalau beli barang seperti motor sewaktu masih di Sunni, bagaimana hukumnya? Tapi belinya dengan cara hutang?

Sinar Agama: Willy: Kalau uang tersebut adalah hadiah yang tidak wajib dikeluarkan perusahaan dan bukan hak karyawan, atau bukan karena ada pemotongan bayaran di perbulannya yang akan diberikan di akhir tahunnya, maka ia terhitung hadiah dan tidak ada khumusnya.

Memang, pemberi hadiahnya, kalau banyak dan di luar keumuman, maka ia yang wajib mengeluar- kan khumusnya dari hadiahnya tersebut. Tapi yang diberi hadiah, tidak wajib khumus.


Sinar Agama: Mata: Penyantunan itu bisa dianggap pengeluaran belanja. Tapi tidak sebagai khumus. Artinya belanjanya boleh dipotong untuk sedekah dan membantu orang atau Islam. Yakni yang dimaksudkan dengan belanja yang boleh dipakai dari penghasilan itu, termasuk di dalamnya hal-hal seperti sedekah itu.

Jadi, kalau pada akhir tahun Khumusnya masih ada sisa dari uang dan barang-barang konsumsinya, maka wajib dikeluarkan seperlimanya dan diserahkan ke marja’ atau wakilnya untuk disalurkan kepada yang berhak dan tidak bisa disalurkan langsung karena bisa salah dan sebagainya. By the way, harus disetor ke marja’-nya atau amil khumus dari marja’nya itu.

Kalau suami tersebut Sunni, maka jangan dipaksa supaya tidak terjadi hal yang lebih buruk seperti pertengkaran atau perceraian, karena itu cukup diingatkan saja. Tapi kalau istrinya yang syi’ah, maka setiap ada kelebihan dari belanja atau uang apa saja yang diberikan dari penghasilan suaminya di tahun khumusnya, maka keluarkan khumusnya tanpa harus ijin kepada suaminya. Karena khumus itu hak Allah, Nabi saww, Ahlulbait dan para sayyid/syarifah (keturunan ‘Abdulmuthallib) yang fakir, baik yatim atau tidak, atau yang kehilangan uang di perjalanan.

Mata Jiwa: Maaf Pak Ustadz, ada teman yang minta dihitungkan khumusnya dari seluruh harta dan penghasilan dan lain-lainnya, merepotkan Pak Ustadz tidak ya? Saya sudah minta pada Sang Pecinta secara garis besarnya, tapi dia minta Pak Ustadz yang hitungkan secara detail. Teman saya ini baru masuk Syi’ah, bagaimana Pak Ustadz Sinar Agama?

Arief Syofiandi: Afwan Ustadz kalau seseorang mendapatkan hadiah, misalnya berupa uang 4 juta rupiah dari saudara atau seseorang yang kitatahu pekerjaan dia bergelut di bidang MLM dan bisnis lainnya yang halal, apakah hadiah tersebut harus dikhumusi? Yang kedua; kalau seseorang mendapat honor menulis sebagai tambahan penghasilan apakah juga wajib dikhumusi? Terima kasih sebelumnya.

Sang Pencinta: Arief Syofiandi, kalau tidak diketahui status harta itu haram atau tidak (hanya menduga-duga), harta itu halal dan hadiah itu tidak kena khumus. Sepahaman saya, honor tambahan itu dikenai khumus.

Sinar Agama: Mata: Sudah tentu saya bisa membantunya, in'syaa Allah. Karena itu, tentukan dulu kapan ia mulai bekerja, baik di Sunni atau di Syi’ah. Artinya yang penting awal kerjanya atau awal menerima bayarannya, bukan awal Syi’ahnya. Lalu kirakan apa-apa yang tersisa di tahun berikutnya pertahunnya. Baik sisa uang di kantong atau di tabungan, atau sisa-sisa dari barang- barang konsumsinya (beras, nasi, tempe, minyak goreng, minyak wangi, pulsa, rokok, gula, dan seterusnya) dan semua itu, bisa dengan dikira-kira saja. Kalau ada barang-barang yang cukup satu, lalu dibeli dua, seperti motor, mobil, handphone dan seterusnya maka juga dimasukkan ke dalam sisa-sisa harta dalam pertahunnya. Begitu pula kalau membeli tanah atau rumah yang tidak diperlukan untuk tinggal karena sudah punya dan seterusnya. Tapi jangan dilanjutkan di sini, karena semakin ke bawah, biasanya saya lupa atau tidak terjangkau karena berbagai hal. Jadi, tulis di dinding yang baru. Hari ini saya roll ke bawah, hanya karena mau mencopy yang perlu dicopy sebagai data, dan ternyata ada pertanyaan lanjutan.

Sinar Agama: Arief: Saya sudah menjawabnya di pertanyaan baru yang antum buat di dinding. Ahsantum. Kalau pertanyaan antum tidak terjawab dalam beberapa hari, terutama di kolom, maka tolong tanyakan lagi di dinding yang baru.

Tambahan:

Memang ada yang mengatakan (seperti kantor Rahbar hf) bahwa kalau selagi di Sunni itu uang-uang kelebihannya sudah habis terpakai di waktu Sunninya, dan sudah tidak tersisa sampai sekarang (sampai menjadi Syi’ah), apakah dalam bentuk uang atau barang (barang yang mesti dikhumusi seperti barang ke dua dimana sebenarnya cukup memiliki satu saja, seperti rumah ke dua, mobil ke dua dan seterusnya), maka sudah dimaafkan. Tapi saya memilih menganjurkan yang pertama karena lebih hati-hati dan disyahkan juga oleh salah satu wakil Rahbar hf kalau mau hati-hati sekalipun tidak wajib. Hal itu karena untuk kemudahan penerapannya daripada salah hitung dan salah lacak. Mungkin kalau ada teman-teman yang kesulitan amat karena besarnya hutang khumus itu dan tidak mampu mencicilnya (mencicil ini juga harus dengan ijin marja’ atau wakilnya), maka mungkin bisa shuluh/berunding atau meminta keringanan kepada marja’nya. By the way.

Ramlee Nooh, Alie Sadewo Nsc and 18 others like this.

Reyza Pahlevi: Kalau untuk yang marjanya Rahbar bayar khumusnya ke siapa di Indonesia.

Sinar Agama: Reza: Benar, tanya pada Sang Pencinta di inboxnya.




Baca juga, tentang Khumus lainnya:
==========================


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ