﷽
Seri tanya jawab Hikmah Munirah dengan Sinar Agama November 2, 2013 at 4:30 pm
Hikmah Munirah mengirim ke Sinar Agama: 19-4-2013, Salam Ustadz. Suatu hukum itu universal atau kondisional? Karena ada kasus seperti ini :
1. Ada penumpang pada sebuah kapal yang berlayar mengarungi samudera atlantik yang terkenal sangat dingin itu, karena ketakutan kapalnya mulai tenggelam, dia minum alkohol sebanyak- banyaknya, tujuannya agar ketika dia mati nanti dia dalam keadaan tidak sadar (meskipun dia bisa berenang tapi dia tidak sanggup menahan dinginnya air samudera atlantik itu sedangkan sekoci terbatas di utamakan penumpang wanita dan anak-anak) ternyata minuman alkohol itu yang menyelamatkan hidupnya karena alkohol yang mengalir ke tubuhnya telah menaikkan suhu tubuhnya, berbeda dengan teman-temannya yang mati dalam kedinginan karena tidak mengkonsumsi alkohol.
2. Hadits Imam Ali as. “bahwa kita tidak boleh menjadikan perut sebagai kuburan binatang”, bagaimana dengan penduduk eskimo yang setiap hari harus makan daging karena mereka tinggal di daerah dingin alias dekat kutub?
Sekian dan terimakasih sebelumnya. Wassalam.
Sulis Kendal, Chipoet Asli, dan Muhammad Faisal menyukai ini.
Sang Pencinta: Salam, ikut bantu Bu, setiap sesuatu dalam fikih ada hukumnya, tidak satu hal yang luput yang mana fikih akan menjelaskannya. Adalagi hukum tsanawi atau ke dua di samping hukum tsanawi di atas yaitu yang masalah darurat itu. Yaitu berbenturannya dengan hukum lain yang tidak dapat dihapus dengan hukum pertama itu. Tapi bisa saja hukum lain itu, tetap harus diabaikan manakala tidak bisa menghambat hukum pertama itu karena besar dan pentingnya. Seperti haramnya daging babi yang tidak bisa dihapus hanya dengan hukum menghormati orang lain. Atau seperti fikih Syi’ah yang tidak bisa dihapus hanya karena untuk menghormati orang Sunni. Beda kalau Sunni-nya ini jahat hingga bisa membunuh, memukul, memperkosa dan mengambil harta kehidupannya.
Salah satu hukum yang banyak bertabrakan dalam kehidupan, adalah hukum makruh dan sunnah. Misalnya, diberi makanan makruh oleh mukmin yang disunnahkan untuk menghormatinya. Atau kadang sunnah lawan sunnah yang lebih besar. Seperti puasa sunnah yang dapat dikalahkan dengan sunnah menghormati orang lain hingga karena itu, kalau kita puasa sunnah lalu diajak makan teman muslim, maka lebih besar pahalanya kalau kita berhenti puasa sunnahnya dan makan bersamanya, sebagai rahmat dari Allah.
Nah, salah satu hukum yang bisa dikatakan bertabrakan ini dimana harus dilihat mana yang paling pentingnya, adalah pakaian hitam. Misalnya, di kala pakaian hitam ini, dapat menjaga jelalatannya mata lelaki, maka bagi wanita, akan lebih baik kalau memakai baju hitam. Begitu pula kalau memakai pakaian hitam bisa menjadi syi’ar kesedihan atas kemazhluman pada Aulia dan Makshumin atau muslim yang tertindas, maka ia bisa menutupi kemakruhannya itu dan menjadikan yang afdhal memakainya.
Jangan katakan bahwa hal ini menentang Nabi saww atau para Imam as itu sendiri. Karena Syi’ah, tidak seperti wahabi yang sama sekali tidak memahami ayat dan riwayat dimana bahkan mewajibkan semua orang untuk berijtihad sekalipun tidak mengerti bahasa Arab sekalipun dan mengharamkan taqlid, tentu saja selain taqlid pada Ibnu Taimiyyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab.
Kembali ke masalah hukum tsanawi. Dalam hukum tsanawi ini, perlu diketahui bukan karangan ulama. Tapi ia memang hukum Allah, Qur'an, haditsdan para Makshum itu sendiri. Karena itulah, di Syi’ah, sebagaimana juga di Sunni (pengikut dan penaklid 4 madzhab, dan jelas bukan wahabi ygngaku-ngaku Sunni), seseorang untuk menjadi mujtahid yang bisa memahami ayat dan riwayat, diharuskan dulu mempelajari berbagai ilmu seperti ushul fiqih tersebut.
Kenapa begitu? Karena banyak sekali ayat dan riwayat yang tidak akan dipahami kecuali dengan meneliti dan membandingkan satu sama lainnya.
Intinya, hukum tsanawi ini diajarkan Islam itu sendiri seperti kebolehan makan babi ketika tidak ada makanan, menyentuh bukan muhrim ketikamenolongnya seperti dokter atau dari tenggelam di sungai, dan seterusnya.
Karena itu, maka baju hitam itu, akan menjadi dianjurkan kalau nilai syi’ar atau kebaikannya itu jauh melebihi kemakruhan yang biasanya hanya bersifat pribadi itu.
http://www.facebook.com/notes/sang-pencinta/ttg-kemakruhan-memakai-baju-hitam-dan-hukum-tsanawi-dalam-fikih/497063433676901
Hikmah Munirah: Maaf, mohon memperhatikan poin-poin pertanyaan saya, jazakumullah atas jawabannya yang normatif dan universal, tapi maaf saya belum menemukan kejelasan dan ketegasan jawaban untuk poin-poin tersebut.
Sang Pencinta: Tukilan di atas adalah untuk menjawab poin 1, di mana si peminum alkohol dalam kondisi terpaksa untuk meminumnya. Saya rasa tukilan tersebut dapat menjelaskan soalan pertama.
Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:
1- Yang dinukilkan Pencinta itu, tidak tepat untuk menjawab pertanyaan pertama. Karena peminum tersebut, tidak meminum alkohol tersebut untuk menyelamatkan diri, tapi justru ingin membuat dirinya mabok dan tidak sadar hingga kalau mati tidak terasa dingin dan deritanya. Hal seperti ini, jelas haram. Kalau ternyata selamat karena panas badannya dan menjadi hidup, tetap saja meminum alkoholnya itu tetap haram. Karena setiap sesuatu tergantung kepada niatnya.
Tapi kalau dengan ilmu pengetahuan yang sudah diketahuinya, bahwa kalau meminum alkohol tersebut, bisa menghangatkan badannya dan bisa menyelamatkan diri karena bisa berenang atau terlepas dari sebab kematian yang akan dihadapinya, maka kaidah terpaksa, bisa dipakai dan, sudah tentu nukilan Pencinta akan menjadi benar.
2- Yang dimaksudkan hadits nukilan antum itu adalah maksimalnya makruh. Itupun kalau haditsnya sudah benar dan shahih sebagaimana yang diteliti oleh marja’ yang kita taqlidi. Karena itu, kita tidak bisa merujuk hadits tersebut. Anggap makruh, itupun kalau tidak ada hukum tsanawi/ke-dua yang mengharuskannya seperti orang Eskimo itu. Di kala sudah darurat, jangankan makruh, haram juga bisa terangkat dengan sendiri. Tentu saja, dengan pengaturan yang sudah ada di fikih.
Sang Pencinta: Ustadz Sinar Agama: iya, komen saya yang pertama tidak tepat, saya membaca soalan yang tertulis, tapi memaknainya berbeda, entah mengapa. Afwan kurang fokus.
Mata Jiwa: Oh, jadi untuk kondisi-kondisi darurat pun niat harus diluruskan ya? Insyaa Allah sekarang saya tambah mengerti mengapa kita tidak boleh berhenti belajar. Semoga pak Ustadz panjang umur dan sehat serta terus dalam kesabaran membimbing kami.
Mata Jiwa: Sang Pencinta : doa yang sama juga untuk mas akhi bro. Selalu siap sedia membantu.
Sinar Agama: Mata: Kita semua memang tidak bisa berhenti untuk terus belajar walaupun sudah mujtahid sekalipun. Karena itulah Nabi saww bersabda:
“Menuntut ilmu itu, dari timangan ibu sampai ke liang lahad.”
Sinar Agama: Pencinta: Hal itu memang biasa. Yang sudah dibimbing guru juga bisa salah memahami. Di depan para Nabi as dan para Imam as jugabisa salah memahami. Karena itu, kita harus selalu saling mengingati.
Wassalam.
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ