Tampilkan postingan dengan label Wilayatulfakih. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Wilayatulfakih. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 06 Juni 2020

Hubungan Konsep Imamah dan Wilayatul Faqih


Oleh Ustad Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/236089899769147/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 20 Agustus 2011 pukul 21:38


Ardhy Husain: Salam ustadz. Sebelumnya saya minta maaf kalau sudah terlalu banyak merepot- kan ustadz dengan pertanyaan-pertanyaan saya.

Saya mau tanya lagi ini ustadz.

Syi'ah meyakini bahwa masalah kepemimpinan/imamah setelah rasulullah ditentukan berdasar- kan wasiat beliau.

Tetapi kenyataannya berbeda dengan konsep wilayatul faqih yang dimana dalam masalah kepemimpinan itu ternyata ditentukan berdasarkan hasil musyawarah.

Tidak mungkinkah imam Mahdi as menunjuk wakilnya secara langsung? Afwan ustadz. Mohon penjelasannya.

Senin, 30 Desember 2019

Wilayatul Faqih (seri 2)


Oleh: Ustad Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068?view=doc&id=217520644959406 Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 13 Juli 2011 pukul 16:11


Muhammad Ali: Salam, bagaimana menurut antum wilayatul fagih (rahbar) apakah beliau dipilih dengan musyawarah atau ditunjuk oleh yang mempunyai otoritas tertinggi saat ini yaitu imam Mahdi Alaihissalaam.

Kalau beliau dipilih secara musyawarah, dimana konsep imamahnya? Dan berarti juga beliau “tidak wajib” diikuti.

Kalau beliau ditunjuk oleh yang mempunyai otoritas tertinggi saat ini yaitu imam Mahdi Alaihis- salaam, berarti beliau ma’sum pada tingkatan beliau dan wajib diikuti.

Indikasi apa kita sebagai awam meyakini saat kemunculan Imam Mahdi (semoga kita termasuk dalam barisannya).

Rabu, 04 Desember 2019

Hukum Menolak Wali Faqih Muthlaqah

Sinar Agama: Bismillaah: Hukum Menolak Wali Faqih Muthlaqah (inbox) Terharu terhadap penanya di inbox yang menunjukkan kepahamannya dalam membaca tulisan-tulisan si hina ini dan semoga ia selalu mendapatkan inayah dariNya dan perlindunganNya, begitu pula si hina ini dan semua teman-teman yang dimuliakan, amin. Sebagaimana biasa, saya akan menginisialkan namanya karena takut dia tidak rela dimuat di status:

Hari Ini (inbox)

Y: Ass wr wb, afwan ustad. Saya telah membaca diskusi antum tentang hukum penolakan wali faqih muthlak bagi orang Syi’ah. Dan saya alhamdulillah merasa memahami maksud antum (kalau salah tolong dikoreksi sebelum antum menjawab pertanyaan saya) bahwa menolak wali faqih mutlak itu adalah hal besar yang sekalipun belum dapat dipastikan kemurtadannya, akan tetapai ia merupakan hal yang sudah sampai ke derajat yang berbahaya sekali. Ini yang saya pahami dari penjelasan antum baik di asal penjelasannya atau dalam diskusi-diskusinya. Karena itu, saya juga melihat antum menolak mengomentari teman kita yang berisial Z.H, karena ia telah salah kira kepada antum. Ana memahami seperti itu ustad. Tolong kalau salah diluruskan.

Yang menjadi pertanyaan saya, sudikah kiranya antum menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya tentang masalah ini, supaya saya sendiri tidak sekedar berhati-hati sesuai dengan pesan antum, melainkan lebih jelas melangkah. Syukran ustad dan semoga antum sehat selalu dan sudi menerangkan pada ana yang ingin mendapatkan kepastian ini. Hari Ini (inbox)

Sinar Agama: Salam, ahsantum. Pemahaman antum sudah benar mengenai tulisanku itu. Yakni maksud saya untuk menghati-hatikan tindakan teman-teman supaya tidak sampai ke arah dan arena terebut karena sudah sangat berbahaya.

Menolak wali faqih muthlaqah itu, bisa bermacam bentuk seperti:

1- Bisa karena mujtahid yang memiliki pandangan tidak wajibnya wali faqih muthlaqah/muthlaq.

2- Muqallid (taqlid) pada yang mujtahid poin 1 di atas itu.

3- Jaahil, tidak tahu hukumnya.

4- Tahu bahwa hukum itu dari Islam dan menolaknya.

Hukumnya:

1- Tidak murtad, tapi haram membuat perpecahan di kalangan muslimin. Yang saya pahami seperti menghalang-halangi orang lain untum mempercayainya, atau membuat perseteruan dengan pengikutnya, atau memusuhi wali faqihnya itu sendiri.

2- Sama dengan hukum poin 1 di atas.

3- Sama dengan hukum poin 1 di atas.

4- Untuk poin 4 ini, ada dua pandangan dari sama-sama wakil Rahbar hf. Bagian fatwa bahasa Parsi mengatakan murtad. Dengan alasan karena sudah tahu hukum Islam akan tetapi terang-terangan menolaknya. Itu sama dengan menolak Islam. Ini penjelasannya. Bagian fatwa bahasa Arab, hanya mencukupkan kepada dosa dan tidak memurtadkannya. Saya juga kebetulan punya nomor telpon ayatullah Khatami hf, imam Jum’at Tehran dan mengatakan sama dengan yang bagian fatwa Parsi itu bahwa kalau seseorang tahu bahwa wali faqih muthlaq itu dari Islam dan ia menolaknya dan ia tahu bahwa penolakannya itu menolak Islam atau Nabi saww, maka ia murtad.

Kesimpulan: Kalau kita mau melakukannya, maka bentengilah diri kita ini dengan hukum yang berat itu, yakni murtad. Tapi kalau melihat orang lain melakukannya, maka hati-hatinya tidak perlu memurtadkannya. Hal itu karena di samping berbagai kemungkinan di atas itu, juga barang kali penjelasan bagian bahasa arab itu yang benar. Dan kita juga tidak rugi tidak memurtadkannya. Tapi kalau mau hati-hati tentang kenajisannya, asal tidak disebar-sebar ke orang lain, maka hal itu bagus dan sama sekali tidak bertentangan dengan agama.

Saya sendiri, dengan bekal informasi yang terlalu cetek/dangkal ini, memang memahami fatwa itu seperti yang dipahami wakil fatwa bagian bahasa Parsi itu. Akan tetapi, karena urusan memurtadkan seseorang itu tidak mudah, maka lebih baiknya kita hati-hati kalau berhubungan dengan orang. Karena barangkali sebenarnya ia belum tahu bahwa hal itu ada dalam Islam. Tapi kalau jelas ia mengatakan tahu bahwa hal itu ada dalam Islam, dan menolaknya, maka sekalipun tidak memurtadkannya kepada khalayak yang karena demi kehati-hatian itu, akan tetapi saya pikir, wajib kita berhati-hati pada kenajisannya untuk diri kita pribadi dan ingat, hati-hatinya juga tidak mengheboh-hebohkannya atau bahkan tidak mengatakannya kepada orang lain.

Kalau saya menulis ini, karena harus menjelaskan hukumnya. Sedang yang dibicarakan di atas itu, adalah masalah penerapannya manakala kita bertemu dengan penolak wali faqih muthlaq seperti yang terpahami di buku sms itu.

Karena itu, kembali ke tulisan sebelum-sebelumnya bahwa cukup mengatakan “bisa terhukumi murtad”, yakni tidak pasti murtad, dan sangat dianjurkan untuk tidak melakukannya dan tidak pula menghukumi orang lain.

Semoga suatu saat saya bisa menanyakannya langsung kepada Rahbar hf sendiri. Kalau antum masih penasaran dan tidak cukup dengan semua penjelasan di atas itu. Wassalam.

Sinar Agama: Syukur padaMu ya Rab, ada saja orang yang meringankan beban ini karena kejelian dan kecerdasan pahamannya, semoga Engkau sudi membantuku dan semua teman, untuk jeli, teliti dan cerdas dalam memahami apa-apapun hal sebelum Engkau ambil amanatMu ini, amin.

Abdurrahman Shahab: Maaf ustadz SA, point no 4 dan no satu memiliki ambiguitas yang sangat parah, seolah olah antum ingin mengatakan bahwa para mujtahid yang berada di point satu itu bukan islam...Mohon point no.4 antum koreksi kalimatnya agar antum tidak membuat perpecahan di kalangan kaum muslimin !!! Afuan sebelumnya...

Sinar Agama: Fahmi, opo gletek iku?

Bima Wisambudi: Apanya yang ambigu?

Abdurrahman Shahab: Semoga Ustadz SA diberi Allah ketulusan hati nya untuk dapat menjauhkan dari “kesombongan kaum berilmu” sehingga ia tidak pernah mau menundukkan hatinya dari nasehat dan peringatan...Afuan...

Ali Heyder: Maaf ustadz, apakah ada pandangan dari marja yang menyatakan bahwa wilayatul faqih itu bagian dari ushuluddin ?

Aries Wahyu Hidayat: Pembahasannya berat untuk saya yang bodoh ini.... semoga semua mendapat petunjuk dari Allah...... shalawat....

Sinar Agama: A.Sh dan lain-lainnya: Semua yang ditulis di atas itu sudah diambil dari fatwa. Misalnya

poin 1, Rahbar hf mengatakan:

نمز يف - اديلقت وا اداهتجا - ةقلطملا هيقفلا ةيلاوب داقتعلاا مدع)دئاقلا ديسلل لئاسملا ريرحـ( 14 :ةلأسم
ناهربلاو للادتسلاا هلصوا نمو زملاسلاا نع جورخلاو دادترلاا بجوي لا )هجرف للها لجع( ةجحلا ماملاا ةبيغ
نيملسملا نيب فلاخلاو ةقرفتلا ثب عل زوجي لا نكلو روذعم وهف اهب داقنعلاا مدع يلا

“Yang tidak meyakini wali faqih muthlaqah secara ijtihad atau taqlid, di masa ghaibahnya imam Mahdi (ajf) tidak membuatnya murtad dan keluar dari Islam. Siapa yang mendapatkan dalil dan argumentasi hingga penyimpulan tidak mesti meyakininya, maka ia ma’dzur (dimaafkan). Akan tetapi tidak boleh baginya untuk membuat perpecahan dan perbedaan di kalangan muslimin.”

Dan untuk nomor 4 itu kurasa sudah sangat terang benderang.

Sang Pencinta: Abdurrahman, hal itu sudah jelas, sepertinya antum sedikit emosi saat membacanya.
Mujtahid yang menolak WF mutlak sesuai ijtihadiiyahnya tidak menyebabkan murtad, coba lihat fatwa Rahbar berikut:

SOAL 59: Apakah orang yang tidak meyakini wewenang mutlak wali fakih dianggap muslim sejati? 

JAWAB: Tidak meyakini wewenang mutlak wali fakih pada masa kegaiban Imamul Hujah (semoga jiwa-jiwa kita menjadi tebusannya), baik berdasarkan ijtihad atau taqlid tidak menyebabkan kemurtadan atau keluar dari Islam.

Sinar Agama: Ali, bukan bagian dari ushuluddin, tapi cabang dari ushuluddin. Rahbar hf sendiri berfatwa:

عمتجملا ةدايق نع ةرابع يهو نيدلاب فراعلا لداعلا هيقفلا ةموكح ينعت هيقفلا ةيلاو)لئاسملا ريرحت( 14 :ةلأسم
روذج اهلو يرشع ينثلاا بهذملا ناكرا نم نامزو رصع لك يف ةيملاسلاا ةملال ةيعامتجلاا لئاسملا ةراداو
.ةماملاا لصا يف

Masalah ke 41 (bagian pertama dan yang di nukilan kolom sebelum ini adalah bagian ke duanya): “Wali faqih adalah kekuasaan seorang faqih (mujtahid) yang adil (tidak melakukan dosa) dan mengerti betul agama. Wali faqih adalah kepemimpinan sosial dan pengaturan masalah-masalah kesosialan terhadap kaum muslimin di setiap waktu dan jaman, dan DARI RUKUN MADZHAB SYI’AH DUA BELAS IMAM, DAN JUGA MEMILIKI AKAR DI USHULUDDIN-IMAMAH.”

Ali Heyder: Apakah sama posisi Rahbar sebagai wali faqih dan sebagai marja? Wilayatul Faqih adalah urusan tata negara, berbeda dengan marja. Misalnya seorang Iran yang bertaqlid bukan pada Rahbar tetap terikat pada keputusan konstitusionil Wali Faqih. Vis a vis, seorang yang bertaqlid pada rahbar namun bukan warga Iran, berarti tidak ada keterikatan kenegaraan. Dari sini ada dikotomi fungsi antara marja dan wali faqih, mohon pencerahan.

Bima Wisambudi: Afwan, ustadz, bagaimana dengan sebelum adanya revolusi Iran? Apakah sudah ada WF? Afwan, saya pernah baca catatan ustadz mengenai hal ini namun lupa belum ketemu.

Sinar Agama: Bima, itu antum lupa mulu sih he he.... Wali faqih itu tidak beda dengan imam Makshum as itu sendiri. Mereka memiliki wilayah itu baik diakui orang atau tidak. Jadi, wali faqih itu selalu ada dan mengatur umat, tapi sebatas penerimaan umat itu sendiri. Di dunia, tidak ada paksaan seprti yang sudah sering dijelaskan. Karena itulah, saya katakan terlalu naif kalau ada orang membuat wali faqih ini momok untuk Indonesia. Sebab Nabi saww sendiri hidup dalam berbagai keadaan, berkuasa dan tidak berkuasa, Umat Nabi saww juga demikian, ada yang dalam kekuasaan Islam dan ada yang dalam kekuasaan lain. Pada jaman imam Makshum as, apalagi.  Karena itu, jangan lupa mulu he he...

Sinar Agama: Ali, sepertinya antum harus baca lagi jawaban-jawabanku. Wali faqih itu dalam segala kondisi, tidak hanya negara. Lihat definisi yang diberikan Rahbar hf di atas itu. Antum simpan dulu ajaran orang, dan tatap ajaran Rahbar hf, nanti ketemu benang merahnya. Wali faqih itu seperti imam Makshum as, selalu ada dan wajib ditaati walau tidak ada negara Islam.

Ahmad Haidar:



ALito Alfian Mehmud: Abdurrahman Shahab, afwan silahkan antum pahami dulu kedudukan mujtahid dalam Syi’ah. Saya yakin jika antum pahami hal ini antum tidak akan berkomentar “....memiliki ambiguitas yang sangat parah.....” dan seterusnya. Apalagi sampai antum mengatakannya agar tidak membuat perpecahan di kalangan muslimin. Bagi saya pribadi apa yang disampaikan oleh beliau sangat jelas & tidak ada ambiguitas sama sekali. Apakah antum tidak mengetahui bahwa seorang yang telah sampai pada tingkatan mujtahid maka ia sudah harus mengambil keputusan sendiri berkenaan dengan hukum-hukum agama. Apabila dalam ijtihadnya yang benar-benar didasari qurbatan ilallah mereka benar maka dapat dua pahala & apabila salah dapat satu pahala. Olehnya itu bagi mereka sudah tidak dikenai lagi hukum dosa dalam apa-apa yang mereka ijtihadkan. Sedangkan pada poin 4 jelas-jelas berbeda di atas tertulis jelas coba antum perhatikan kalimatnya “,Tahu bahwa itu dari Islam dan menolaknya”. Ia mengetahuinya secara sangat yakin bahwa wilayatul faqih adalah wajib akan tetapi ia menolaknya/mengingkarinya. Maka bagaimana mungkin antum ini menilai hal ini ambigu.

Deddy Prihambudi: Salam. Teruslah diskusi. Jangan terputus. Terlepas apakah substansi diskusi ini kita terima atau kita tolak, namun KEBEBASAN untuk menyampaikan ide dan gagasan harus tetap dihormati, dan dijaga.

Sinar Agama: @Alito dan teman-teman lainnya, semoga antum semua dan saya yang terlalu hina ini, selalu dalam peluk hangat perlindungan Allah dan syafaat Nabi saww serta Makshumin as amin.

Bima Wisambudi: Afwan ustadz, bagaimana jika ada yang menerima WF namun menolak rahbar?

Sinar Agama: Ada teman seorang sayyid di inbox yang mengatakan “Ustadz, katakan yang haq itu haq dan yang batil itu batil, jangan menyembunyikan kebenaran.”

Dalam kondisi sesak dada seperti belakangan ini, karena tidak suka membahas buku sms itu akan tetapi karena terpaksa, maka sokongan sayyid luar Jawa itu, telah membuatku semakin merasa nyaman dan tenang. Rupanya hati-hati suci dan bersih yang tanpa kepentingan apapun, masih terlalu banyak di bumi pertiwi kita ini, syukur padaMu ya Rab.

Apapun itu, teman-teman tidak boleh keluar dari akhlak karimah walau panas dada sekalipun melihat Tuhan, Nabi saww, para imam as dan ulama dilecehkan. Kita memilih cara ilmiahnya saja yang indah tapi tefas seperti bunga merah.

Ali Heyder: Maaf ustadz, ana sudah baca, justru karena keterbatasan pemahaman ana minta penjelasannya. Ada definisi baru yang antum kemukakan dan baru buat ana, khususnya mengenai posisi wali faqih yang tidak terikat ada negara. Apakah mungkin terdapat beberapa wali faqih baik berbeda negara maupun di negara yang sama? Dan mengenai maulay Rahbar, ketika beliau naik menduduki jabatan wali faqih apakah benar beliau belum memproklamirkan marjaiyahnya? Hal tersebut menarik perhatian karena justru inilah yang membuat ana tiba pada kesimpulan bahwa wali faqih dan marjaiyah itu berbeda. Mohon pencerahannya ustadz.

Sinar Agama: @Bima, ana rasa bahasannya bercabang. Misalnya dia menolak Rahbar hf itu dengan alasan apa. Misalnya, apakah dia meyakini wali faqih yang lain? Misalnya apakah wali faqih yang lainnya itu mengaku wali faqih? ... dan seterusnya.

ALito Alfian Mehmud: Amien, terimakasih Pak Ustadz Sinar Agama....Btw, saya sangat berharap semoga suatu saat saya bisa bersahabat dengan antum di Fb ini. Apabila ada lowongan persahabatan sudilah antum memasukkan saya yang hina ini sebagai sahabat antum. Afwan....

Sinar Agama: Deddy, kita akan terus sesuai dengan fatwa marja’ in syaa Allah. Menjelaskan masalah merupakan tugas yang tahu. Setelah itu, maka terimalah dengan jelas, atau tolaklah dengan jelas. Bagi kami urusan di dunia ini hanya menjelaskan saja. Siapa yang mau tolak atau terima, maka hal itu sudah menjadi urusan masing-masing.

Bima Wisambudi: Semoga ustadz tidak keberatan menjelaskan di tengah kesibukan ustadz, dan semoga dirahmatiNya. Bagaimana bisa wali faqih yang lainnya itu mengaku sebagai wali faqih, sementara sudah ada rahbar yang disepakati ulama-ulama a’lam sebagai yang paling a’lam (wf)?

Sinar Agama: @Ali, silahkan merujuk ke catatan-catatan sebelumnya. Ringkasnya, wali faqih itu fungsinya adalah memberikan pengaturan umum, bukan fatwa khusus seperti ibadah-ibadah. Jadi, bersifat sosial dan politik. Dan di bidang sosial politik ini, sekalipun marja’, wajib mengikutinya.

Sebelum negara Islampun wali faqih ini ada, seperti pengharaman rokok oleh ayatullah Syirazai ra. Walhasil, kurasa tengok-tengok catatan yang sudah ada, bagus kalau antum ada waktu dan mau.

Sinar Agama: @Alito, apa antum sudah menjadi pendaftar?

Sinar Agama: Sebenarnya perndaftar pertemanan sampai sekarang masih sekitar seribu (900 lebih). Mungkin kalau antum sudah mendaftar, bisa dipertimbangkan untuk dikonfirmasi.

Ali Heyder Toyeb: Ustad, syukran atas waktunya wal afu.

Sinar Agama: @Ali, ahlan bikum.

ALito Alfian Mehmud: Afwan ya sayyidi, saya sudah sejak awal-awal dulu mencoba untuk menambahkan antum sebagai teman di fb ini. Akan tetapi saya bingung selalu ada pemberitahuan seperti ini dari fb : anda belum dapat menambahkan Sinar Agama sebagai teman anda saat ini. Afwan ya sayyidi, jadi saya belum bisa menjadi pendaftar.

Deddy Prihambudi: Salah satu ‘buku pengantar’ saya untuk memahami WF adalah 2 buku Kang Jalal itu, yang kini telah menjadi buku ‘klasik’ di antara kita. Sangat jelas sebenarnya. Seingat saya , yang awam ini, dahulu, Imam Khumayni QS, jika tidak keliru, memberikan syarat “mujtahid mutlak” untuk seorang Wali Faqih. Namun, karena beratnya beban syarat ini, konon syarat ini diubah menjadi agak lebih rendah. Jika saya keliru, mohon dikoreksi.

Deddy Prihambudi: Dan seingat saya pula, Imam Al Khamene’i HF tatkala ‘terpilih’ menjadi Wali Faqih, (atau menjadi Rahbar ? (mohon koreksi) juga belum sampai pada derajat Mujtahid. Bahkan konon, Imam Ali Khamene’i HF adalah pribadi yang sangat enggan untuk segera menjadi mujtahid.

Deddy Prihambudi: Saran saya : jika tema diskusi ini sudah dianggap cukup, maka tugas Sang Pencinta untuk merapikan semua tulisan, dikompilasi dengan baik, dan dijadikan buku. Agar semua diskusi ini menjadi “milik publik”. Salam.

Bima Wisambudi: Jangan buru-buru pak Deddy, masih menunggu jawaban ustadz.

Deddy Prihambudi: Ha ha ha... setuju ! Beta selalu ‘ingatkan’ agar kita semua menjadi peramu ilmu dengan baik. Dalam contoh sederhana yang pernah saya sampaikan di waktu lalu, perdebatan sengit antara almarhum Cak Nur dengan tokoh Masyumi Mohammad Roem, berhasil menjadi buku dengan baik. Dan publik mampu membacanya. Artinya : jadikan tradisi debat dan diskusi menjadi tradisi tulis dengan baik. Salam.

Dadan Gochir: Deddy Prihambudi, setahu ana ustad SA sudah menjelaskan bahwa rahbar hf sudah mujtahid, bahkan sebelum terpilih jadi Wali faqih.. mungkin Sang Pencinta bisa nukilkan..

Deddy Prihambudi: Ya, matursuwun pada Tuan Gochir. Mungkin benar Ustadz Sinar Agama sudah menjelaskan. Saya mungkin tidak menyimak kala itu, karena sedang terjadi ‘ketegangan’ yang tidak perlu tatkala item ini dibahas sehingga, saya ikut malas membacanya. Tapi, tetap saja terimakasih. Tetaplah bersuara, jangan takut !

Fahmi Husein: Sinar, gak tau nang bangil antum? Gletek, agak susah diartikan ke bahasa Indonesia. Yang ana maksud, sebelumnya dianggap murtad gak taunya tidak, gletek ae.

Satria Pmlg: Matur suwun ustadz.

ALito Alfian Mehmud: Salam Deddy Prihambudi dan juga teman-teman yang lainnya, silahkan antum merujuk kesini : https://www.facebook.com/notes/sang-pencinta/rahbar-hf-imam-khumaini-qs-dan-shirazi-bersaudara/676398572410052

Dan juga kesini

https://www.facebook.com/notes/sang-pencinta/seluk-beluk-wilayatul-faqih/657291477654095
ALito Alfian Mehmud: Kesini :

https://www.facebook.com/sinar.agama/posts/138429356210985

Juga yang ini :

http://sinaragama.org/111-kesaksian-2-orang-adil-atas-ke-alam-an-rahbar-hf.html

Widodo Abu Zaki: Alhamudullah baru ngerti maksudnya.

Sinar Agama: Deddy, seperti yang telah diterangkan sekitar satu dua tahun lalu, dan juga yang dinukil Alito, Rhabar hf atau sayyid Ali Khamenei hf itu, sudah mujtahid muthlaq sejak 30 tahun sebelum diangkat menjadi Rahbar hf.

Wali faqih itu wajib mujtahid muthlaq. Yang dirubah itu bukan kemujtahidannya akan tetapi kemarja’annya. Artinya, yang dipilih itu tidak mesti dari marja’. Karena yang paling dipentingkan adalah wali faqih itu a’lam dari mujtahid lain termasuk marja’ dari sisi urusan-urusan sosial dan politik.

Sinar Agama: Fahmi, ahsantum tentang gleteknya.

Fahmi Husein: Sinar, sebelumnya ana tidak meneliti komentar-komentar, setelah ana baca dengan seksama, ada dua hal yang ingin ana tanggapi/tanyakan.1. Antum memuji ALito Alfian Mehmud dengan pernyataannya, mujtahid kalau salah dapat pahala satu kalau benar dapat dua. Ini bukannya di Sunny?? Emangnya di Syi’ah juga demikian?? 2. Tentang Sayyid yang antum juga puji karena sarannya (meneruskan katakan yang haq..). Apakah antum kira yang menolak kritikan antum pada buku sms itu karena ‘ras’-nya?? Bahwa ada kepentingan golongan?? Bukannya yang menolak kritikan antum pada buku tersebut banyak juga yang bukan Sayyid?? Dan afwan, satu orang yang berbicara juga di inbox kepada ana bahwa kalian (ustadz sa dan iip) tidak muhibbin (kurang dalam penghormatannya pada durriyah), ana balas dengan menanyakan daerah dia, setelah dia bilang dari daerah ini (afwan ana gak bisa sebutkan), ana tanggapi yang ana tahu dari daerahmu itu juga gak ada muhibbin. Perlu alfaqir perjelas, tiada Sayyid yang mengikuti ashobiyah jahiliyyah, hanya tuduhan nashibi saja. Dan perlu alfaqir ulang lagi, alfaqir menolak sikap/cara mengkritik, bukan kritikan terhadap buku tersebut. Dan itupun tidak merubah sikap penghormatan alfaqir kepada antum tentang keilmuan antum (merasa banyak hutang budi, semoga dibalasNya).

Chai Syahrie: .

Sinar Agama: @Fahmi:

1- Itu justru di Syi’ah, sebab di Sunni sudah tidak ada mujtahid.

2- He he,,,,terimakasih banget ya sayyid. Saya mengatakan seorang sayyid, karena hanya ingin menghormatinya saja. Bukan mau menjadikannya sebagai alat untuk berkelahi dengan sayyid lain, na’udzubillah. Atau bukan saya ingin mengatakan bahwa beberapa sayyid yang diskusi beberapa hari ini membantahku karena kesayyidan mereka.

Antum peka banget dan saya pikir itu baik karena antum merasa harus menjadi insan kamil dan menemani, mengayomi dan mengasihi selain sayyid. Dan saya juga tidak perlu mengatakan siapa saya sebenarnya, dalam masalah ini. Btw, terimakasih perhatiannya.
Terimakasih banget pula telah mendoakan, semoga diterimaNya untuk kita semua, amin.

3- Kalau saya dalam puisi kemarin mengatakan di sini Indonesia dan bukan Yaman, sebab menurut sejarah, para Syi’ah yang saadaat yang hijrah ke Yaman, melalukan taqiah habis-habisan hingga keturunannya sendiri, tidak tahu tentang kesyi’ahan aba mereka. Hal itu demi supaya tidak terbunuh.

Nah, di Indonesia yang tidak ada bunuh membunuhnya. Karena itu, saya meminta dalam puisi itu, untuk tidak meYamankan Indonesia dan meminta untuk menghormati budaya kami di sini yang tidak suka kepada pertikaian dan bunuh membunuh seperti arab-arab barbar kala itu di Yaman.

Fahmi Husein: Ke masalah nomer satu dulu, betul-betul ana baru tau neh (tentang mujtahid yang salah dapat pahala satu, dan benar pahala dua, karena itu yang kami kritiki selama ini), di Sunny sudah tidak ada mujtahid? Mujtahid versi Syi’ah kali?? Anggap benar (udah gak ada mujtahid), berarti dulu juga dapat pahala satu kalau salah? AUU itu? Ajib. Mohon lebih dijelaskan lagi (detail lagi) 3. Perlu antum ketahui (kalau belum tahu), yang hijrah ke Yaman (hadramaut) tetap Syi’ah, hingga Al-Faqih al-muqaddam yang bermula ‘pindah madzab’ yang emang para nashibi sangat menentang mereka pada jaman beliau. Betul antum taqiyah habis-habisan hingga keturunan mereka sendiri tidak tahu tentang kesyiahan kakek mereka. Masalah nashibi ini dimana-mana, Indonesia juga demikian, juga Syi’ahnya. Kalau aman jelas Imam Mahdi afs muncul, hanya perlu 313 orang saja kan?!

Fahmi Husein: Tentang Ijtihad dalam Sunny (kebetulan majlas dengan staf Mufti Kerajaan Brunei), Dalam Sunny menggunakan hukum hakam, kalau ada sesuatu perkara (yang tidak jelas hukum hakamnya) yang pertama merujuk pada Alqur’an, kalau tidak menemukan jawabannya maka merujuk kepada hadits, bila masih belum juga menemukannya maka merujuk pada Qiyas (contoh, al-homru muskirun, kullu muskiriin haram, fal homru haram. Disini tentang semua yang memabukkam itu haram. Tentang narkoba misalnya yang tidak ada dalam al-qur’an dan hadits), lalu bila tidak menemukan di qiyas baru ke ijmak (kesepakatan), setelah tidak ada di ijmak baru ijtihad. Contohnya merokok. Fatwa mufti brunei rokok haram. Kalau benar dapat pahala dua, kalau salah dapat pahala satu.

Sinar Agama: Fahmi, saya tidak merasa perlu menambahkan penjelasannya. Saya kalau menulis lagi, sama dengan yang tulisan sebelumnya itu.

Ida Faridah: Heuheu rafidhah...Allah Yahfadz...semoga Allah menjaga iman umat Islam agar tidak terperosok ke dalam kehinaan..aamiin Ya Rabb...

Ida Faridah: Imam jafar ash shadik..»jangan banyak bicara dengan kaum Syi’ah terutama rafidhah kerna di setiap perkataannya penuh dusta....

Fahmi Husein: Sinar, cukup dapatnya diberikan dalilnya (Al-Qur’an atau Hadits) bahwa Ijtihad mujtahid (dalam Syi’ah) kalau salah dapat pahala satu kalau benar dapat pahala dua. Karena sepertinya kontradiksi dengan status antum di atas, Mujtahid menolak WF, (salah, dapet pahala satu dong) ??

Fahmi Husein: Dalil al Quran tentang Mujtahid sebagai Pemimpin/Pembesar yang diikuti, kalau salah disiksa 2x lipat:

﴾ Al Ahzab:67 ﴾ Dan mereka berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).

﴾ Al Ahzab:68 ﴾Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar.

Nagie Alcatraz: Hmmm

ALito Alfian Mehmud: Fahmi Husein, afwan ya sayyid. Antum Sunni atau Syi’ah. Jika antum Sunni maka saya maklum dengan permintaan antum kepada Ustadz Sinar Agama mengenai dalil dari hal ihwal pahala seorang mujtahid. Namun jika antum Syi’ah maka sebagaimana yang sudah sering disampaikan oleh Pak Ustadz bahwa seorang tasyayyu tidak boleh asal minta dalil. Karena kalaulah diterangkan juga, maka kita tidak akan mengerti. Karena penjelasannya akan memakai semua alat dan perangkat ijtihad itu sendiri. Seperti ilmu-ilmu, bahasa Arab, Logika, Ushul fikih, Kaidah fikih, Hadits, Rijal, Tafsir.....dan seterusnya yang diringkas dalam 4 perkara, Qur’an, Hadits, Akal dan Ijma’. Nah apakah kapasitas kita (antum & saya juga yang lainnya yang belum mujtahid) sudah sampai atau menguasai semua perangkat itu....

Fahmi Husein: ALito, afwan, mungkin itu Syi’ah versi anda. Syi’ah versi saya mesti berdalil, dan apa-apa yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadits jelas batil. Andaikan Fatimah mencuri niscaya aku potong tangannya. Syd Fatimah aja gak kebal hukum, apalagi ulama. Hanya karena ulama yang bilang gitu, ra’sye. Jadi keraknya neraka ulama yang ngaku-ngaku salah dapat pahala itu!!

Nagie Alcatraz: Kalau merasa Syi’ah ya harusnya malah kritis..bisa dicerna dengan logika akal sehat..Syi’ah kalau ga boleh minta dalil ga beda jauh dengan wahabi..ajarannya hanya penuh dengan doktrin,pokoknya kalau ustadnya sudah ngomong ya harus di iyakan, ga boleh banyak nanya...ckckck

ALito Alfian Mehmud: Fahmi Husein, ya sayyid nampaknya antum belum begitu memahami dengan apa yang saya nukilkan dari yang sering disampaikan oleh Ustadz Sinar Agama. Justru tidak dilarang meminta dalil asal sudah memenuhi atau menguasai perangkat-perangkat ijtihad tersebut di atas. Btw, saya tidak akan mengulanginya lagi karena kalau mengulanginya akan menulis sama seperti yang di atas & saya cukupkan hanya sampai disini. Syukron wa afwan ya sayyid.

Muhammad Zakariya: Kata siapa ga boleh minta dalil, yang disampaikan oleh marji’ itu bahasa yang sederhana yang dapat dicerna oleh pengikutnya.

Muhammad Zakariya: Kemudian nash dan dalilnya saya ingin tahu terkait wajib mengikuti WF. Kemudian kalau ga ikut maka murtad.

Muhammad Zakariya: Syarat seorang mujtahid itu apa sich? Kenapa kok bisa dikatakan dia mengeluarkan fatwa yang salah.

Muhammad Zakariya: Fatwa yang SA sampaikan ini mana teks aslinya kemudian dalil dan nashnya apa.

https://www.facebook.com/sinar.agama/posts/758563474197567



Artikel sebelumnya:
====================



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Sabtu, 20 April 2019

Keharaman Mencaci Simbol-Simbol Madzhab Lain


Seri status Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 9:11am



Sang Pencinta: (1-3-2013) Salam, masih terkait pertanyaan beberapa hari lalu, apakah marja anti Wali Faqih memfatwakan pengharaman pencacian simbol Suni? Ke dua, apakah marja anti Wali Faqih mengonsepkan taqlid juga? Ke tiga, apakah ada marja yang tidak memfatwakan taqlid? Ke empat, Syiah liberal dari mana asal usulnya? Terima kasih ustadz. — bersama Sinar Agama. 


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

  1. Menurut saya, tidak akan ada marja’ yang membolehkan pencacian atau pelaknatan pada simbol-simbol yang disucikan madzhab lain di depan umum/Sunni. Justru mereka biasanya menyarankan takiah bahkan dalam beribadah di depan Sunni kalau harta, nyawa, keselamatan diri dan keluarganya terancam. 
  2. Kalau yang anti Wali Faqih itu orang-orang liberal, seperti raja Iran dan konco-konconya, maka mereka anti taqlid. Tapi kalau dari kalangan ulama, maka biasanya semuanya mewajibkan taqlid. 
  3. Tidak pernah ditemui di muka bumi ini, seorang marja’ yang tidak mewajibkan taqlid.
  4. Syi’ah liberal itu sama dengan Sunni liberal. Mereka biasanya hanya memiliki keimanan pada Tuhan, Nabi saww dan imam (tentu kalau Sunni minus imam makshum). Tapi dalam aplikasi keseharian, mereka tidak meyakini akan perintah-perintah Allah, Nabi saww dan para makshum as yang menyuruh taqlid kepada ulama ini. Karena itu, mereka berjalan sendiri dengan inisiatif sendiri. 
Biasanya, para liberal ini, karena terpengaruh oleh konsep-konsep politik yang tidak mengimani tentang keharusannya bahwa harus dari agama dan mereka biasanya memisahkan agama dan politik atau kalaulah tidak memisahkan, tapi mereka merupakan pengikut hermeunitik modern yang membuahkan bebas penafsiran teks-teks agama. 

Jadi, sumber terbesarnya para liberal itu karena memisahkan politik dari agama dan/atau pengikut hermeunitik modern (bukan yang klasik dimana merupakan kebenaran seperti yang sudah sering dijelaskan). 

Sumber-sumber lain yang sangat mungkin seperti: 

  1. Suka main politik sementara ia tidak tahu agama. Karena itu, semua hasil-hasil renungan dan kerjanya, diambil dari pengalamannya sendiri yang, sudah tentu tidak diambil dari agama karena memang bukan ahli agama. 
  2. Ingin jadi pemimpin dunia dan ingin diikuti orang lain, baik dalam yayasan, organisasi atau partai sementara ia tidak membidangi agama secara spesifik. 
  3. Malas belajar agama dan bahkan mencela kalau ada orang belajar agama puluhan tahun (padahal di Syi’ah harus puluhan tahun belajar agama sesuai dengan yang sudah sering dijelaskan tentang kurikulum hauzah, kalau ingin tahu agama), tapi ingin beraktifitas dalam segala bidang terutama politik, sosial dan semacamnya. 
Yakni: 

Ketiga kelompok ini, karena cinta diri dan semacamnya (salah satu penyakit psikis), sudah tentu tidak ingin terikat dengan apapun. Bahkan mereka mengatakan bahwa semua itu adalah batasan yang diberikan orang yang tidak makshum. Padahal dirinya sendiri juga tidak makshum di samping tidak spesialis agama. Padahal kalau mereka sakit pasti ke dokter, dan tidak mengobati diri mereka sendiri. Kan raksyih manakala mau jadi ulama sementara tidak mau belajar agama pada ulama sesuai prosedur yang ada dan resmi. 

Kalau tadinya mereka bertaqlid, tapi hal itu hanya dalam bidang-bidang pribadi seperti shalat. Dan kalaulah tadinya taqlid juga dalam masalah-masalah umum, tapi ketika banyak benturan dengan fatwa dan apalagi melihat bahwa kerja mereka itu sudah batal dari awal karena tidak merujuk ke fatwa dari awal, maka mereka menjadi murtad dari taqlid (bukan dari Islam) dan menjadi pendukung dan pengikut liberalism. 

Tambahan: 

Liberal ini bisa dengan jidat hitam atau punya pesantren dan organisasi Islam. Jadi, jangan terkecoh dengan jidat hitam, hafal Qur'an dan hadits, ribuan pengikut, besarnya pesantren, tangisannya dalam shalat dan doa, puluhan karangan kata-kata agama, ......dan seterusnya. Karena Islam tidak melihat banyaknya amal saja, tapi juga tergantung pada profesionalismenya dan ketulusannya. 

Karena itu, maka yang tidak menerima konsep Islam secara utuh, maka ia adalah liberal, baik dalam rangka konsepnya itu sendiri (seperti tidak meyakini adanya hukum Islam tentang masalahmasalah politik) atau pengambilan konsepnya yang dari marja’ bagi yang Syi’ah itu. 

Wassalam. 

, فوزية عبد الرحمن 

Maskur Manggau, Hidayat Dayat dan 37 lainnya menyukai ini. 


Nazlah Kandia · Friends with Ramlee Nooh and 39 lainnya: Salam, afwan Ustadz. Ana pernah copas tulisan antum. Ana belum sempat meminta izin, ana sempat tulis dalam sebuah tautan acount lain saja. Alhamdulillah...ana kagum atas jawaban Ustadz. 

Nina Abubakar: Salam... Saya awam tentang agama, hanya sedikit tau. Tapi ada terbersit di hati kalo saya sepertinya akan butuh seorang Marja’ untuk rujukan syar’i hal-hal terkait dengan hidup saya. 

Bagaimana cara saya untuk bisa bermarja’ kepada seorang Marja ??. 

Hadrah Ali · Friends with Ramlee Nooh: Alhamdullillah,..lanjutkan saja sepanjang yang ustadz ketahui...Allahumma shali aala Muhammad wa Ali Muhammad..!! 

Sinar Agama: Salam dan terima kasih atas semua jempol dan komentarnya. 

Hadrah Ali · Friends with Ramlee Nooh: Insyaallah semuanya benar..cara pandang dari sudut yang berbeda saja ya ustadz,..salam..!! 

Sinar Agama: Nina: Kalau mau bermarja’, maka tinggal memilih mujtahid (yang mampu menyimpulkan semua hukum Islam dari Qur'an-Hadits dan lain-lainnya) yang terhebat (kalau ada beberapa orang mujtahid) dari sisi ilmu dan ketaqwaan, lalu berniat diri untuk mengikuti fatwanya, lalu mengambil fatwanya dari kitab-kitabnya atau dari orang adil/jujur yang tahu tentang fatwanya. 

Ulama terhebat pada masa kini, adalah ayatullah sayyid Ali Khamenei hf dimana ada ratusan atau ribuan mujtahid di belakangnya yang mendukungnya menduduki Wilayat Fakih atau Wewenang Fakih tertinggi dimana sekarang beliau memimpin Iran menggantikan Imam Khumaini ra. 

Sudah banyak juga fatwa-fatwa beliau hf yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dimana kalau antum perlu saya dan teman-teman yang lain, bisa mengirimkannya kepada antum, i-Allah. 


Akhir Zaman Debi · 29 teman yang sama: 

2- Ingin jadi pemimpin dunia dan ingin diikuti orang lain, baik dalam yayasan, organisasi atau partai sementara ia tidak membidangi agama secara spesifik.....jadi inget rasulullah, jadi inget peristiwa yang deket deket ma ghadir khum yaitu pada saat saat haji terakhir rasul..yaitu di saat Allah berfirman > pada hari ini telah kusempurnakan nikmatKU padamu dan ku ridhoi ISLAM jadi agamamu... firman tentang ISLAM telah di ridhoi ini hadir setelah rasul mendapat ummat yang percaya.. memenangkan makkah dalam arti kata belum ada ridhoi tapi sudah ada ummat atau dipercaya untuk sesuatu, khususnya iman, lucky rasulllah...so must be in something first? Than can get some?? Than you can prove some?!! Specially on your RABB?!! Not do something first than get something, for prove something..like Rasulullah, back to past..more past than you will be ikhlas let your passion for pride privacy satifaction..this if me. Anyway love Sinar Agama deh. 

Sang Pencinta: Memang saya hapus ustadz, saya pikir jawabannya sudah terdapat di arsip, walau hanya singgungan sikit saja, btw terima kasih sudah dijawab. 

Abi Syekh Daeng: Afuwan All@ ikut nyimak moga manfaat..... 

Nina Abubakar: Saya surpraise, ternyata jalannya ga terlalu rumit untuk bisa bermarja’ dengan seorang Marja’ ya. Sebelumnya bayangan saya, seorang muqollid (yang taqlid) keberadaannya harus sepengetahuan dan persetujuan Marja’ yang diikutinya. 

Kalo dari penjelasan tadi, sepertinya tidak harus seperti itu. Tetapi yang diperlukan adalah kesadaran seorang muqollid terhadap fatwa-fatwa dari Marja yang di ikutinya. 

Dari penjelasan tadi juga, sepertinya fatwa-fatwa Ayatullah sayyid Ali Khamenei hf sudah dibukukan tapi tidak dijual bebas ya?? 

Nina Abubakar: Jujur, memang saya tidak tau harus memulai dari mana untuk bertaqlid. Hehee... 

Nina Abubakar: Dan saya juga tidak tau/awam, siapa-siapa saja sosok Marja yang ada. Saya tidak bisa memilih. 

Dengan segenap keawaman saya, apakah berarti saya boleh langsung mengikuti/bemarja’ kepada Ayatullah sayyid Ali Khamenei hf seperti yang direferensikan tadi ?? 

Sasando Zet A · Friends with Sang Pencinta and 40 lainnya: Nyimak dengan kesungguhan... 

Sang Pencinta: Nina Abubakar: ini penjelasan ustadz, 

https://www.dropbox.com/s/g2unyedhagftit3/WF%20Marja%20Taqlid.pdf 

Panduan Fikih Rahbar, 
https://www.dropbox.com/s/515vzx25gjgzh9q/Fikih%20Pemula.pdf, tanya jawab Rahbar dengan mukalidnya, 

https://www.dropbox.com/s/cd7m6lnoadnjqi9/Ajwibah_1_pruf_udin.pdf, https://www.dropbox. 

com/s/aux17monj119edb/Ajwibah_2_pruf_udin.pdf. 

WF Marja Taqlid.pdf 

www.dropbox.com 

Sang Pencinta: Kalau berminat catatan ustadz terkait penerapan fatwa Rahbar, saya bisa tukilkan, i-Allah. 

Nina Abubakar: Sang Pencinta | terimakasih banyak kiriman link-link yang terkait. Boleh dibantu nukilkan. 

Sang Pencinta: Nina Abubakar: Sejauh ini arsip yang sudah dibuatkan per topik ini mbak, 

http://www.facebook.com/groups/KCUSA/doc/229211343876859/ 

Nina Abubakar: Sang Pencinta | terimakasih banyak invite ke grup Kompilasi Arsip Ustadz Sinar Agamanya... 

Sang Pencinta: Nina Abubakar: Sama-sama mbak, kalo mau mbak bisa add teman-teman yang lain. I-Allah diupdate secara reguler sesuai perkembangan arsip ustadz Sinar. 

Sinar Agama: Nina, Tolong minta sekalian fikih Rahbar hf ke Pencinta. Oh iya mbak Nina, di awal awal fikih itu, diterangkan dengan jelas cara taqlid. Semoga Allah selalu bersamamu, bersamaku dan bersama semua teman-teman facebook kita, amin. 

Sinar Agama: Pencinta, tolong kirimi sekalian mbak Nina itu fikih Rahbar hf yang berjudul Belajar Fikih Untuk Pemula itu atau Fikih Praktis. Terima kasih. 

Sang Pencinta: Sudah di atas ustadz. 

Sinar Agama: Oh Begitu, syukurlah, terima kasih. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Jumat, 19 April 2019

Anti Wilayatu Al-Faqiih


Seri tanya jawab Sang Pencinta dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes)on Tuesday, April 2, 2013 at 9:01am


Sang Pencinta: Rabu (27-2-2013) Salam, intermezzo ustadz, seberapa besar pengaruh gerakan anti WF di internal AB sendiri? Apakah anti WF ini bertaqlid pada marja? Apakah secara fatwa perbedaannya mendasar dengan yang WF sendiri? Tampaknya simpatisannya di Indonesia tumbuh subur. Terima kasih ustadz. — bersama Sinar Agama.

Nida Zainab, Daris Asgar, Irphan Zidney Ars dan 13 lainnya menyukai ini.

Abie Manyu: Apa tuh WF??

Maz Nyit Nyit-be’doa: Salam, nyimak....makasih,,,

Razman Abdullah Chokrowinoto: WF itu adalah Wilayatul Faqih, otoritas khas yang diberikan pada ulama unggul.

Sang Pencinta: AM:

http://www.facebook.com/home.php?sk=group_210570692321068&view=doc&id=211010885610382

Sang Pencinta: Adakah fatwa Rahbar tentang memperlakukan kelompok anti WF ini?

Sang Pencinta: Apakah mukalid bermarja anti WF ini berkewajiban mengikuti fatwa Rahbar urusan sospol?

Abie Manyu: Permasalahan mendasar yang menjadi perbedaan di aqidah syiah imamiah adalah sudut pandang mengenai naibul imam,,’

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

Sebagaimana yang sudah sering dijelaskan bahwa Wali Faqih ini adalah wewenang faqih/ ulama/ mujtahid dan ada dua pandangan, mutlak dan muqayyad/ terbatas. Yang kita bicarakan tentu yang mutlak, yaitu yang meliputi masalah sosial dan politik dan kepemimpinan umat di dalam urusan- urusan itu. Tidak seperti yang terbatas dimana hanya membatasi wewenang itu pada pemberian fatwa tapi tidak membolehkan melaksanakan fatwa-fatwanya yang bersifat sosial-politik dan hukum pengadilan dan peradilan. Jadi, hanya berfatwa pencuri itu dipotong tangannya, tapi mengharamkan memotongnya kalau bukan imam makshum. Rinciannya, lihat di catatan.

Yang anti WF ini, tentu minoritas, karena memang tidak sesuai dengan fitrah manusia dan agama itu sendiri.

Sikap kita dalam arahan fatwa, maka dikatakan bahwa selama mereka itu dalam tidak mengimani WF mutlak tersebut, karena ijtihad dan/atau taqlid pada yang berfatwa tidak mutlak itu, maka masih dihukumi sebagai muslim dan Syi’ah. Tapi kalau tidak, maka dihukumi pengacau. Tentu saja, yang tidak dihukumi pengacau itupun, disyaratkan tidak mengacau yang ber-WF dan tidak membuat kerusakan. Karena kalau tidak, maka hukumnya adalah sama.

Di Indonesia, gerakannya setelah banyak Sunni masuk Syi’ah karena WF itu. Biasanya di dunia juga demikian, suka dompleng dan baru mempengaruhi orang dari dalam. Mereka-mereka ini ada yang tidak segan-segan bekerja sama dengan para antek barat hingga negara Inggrispun memberikan mereka stasiun TV khusus di Inggris untuk menyerang WF dan persatuan umat yang dipelopori WF.

Kita tidak usah terlalu sedih dengan mereka ini, karena hidayah itu raihan, bukan berian. Jadi, kalau kita tidak bisa menasihati mereka di dunia ini, maka apa boleh buat, kita jaga akhirat kita sendiri dengan kuat dan dengan penuh keprofesionalan serta ketaqwaan dan keikhlashan yang tinggi. Kita serahkan urusan mereka kepada akal dan fitrah sehat mereka dan kepada Allah, semoga pada akhirnya mereka dapat pula menemukan kebenaran ini dan mengaplikasikannya dengan sempurna, amin.

Istiqomah Isti: Waduh pusing terlalu panjang intinya aja lah ustad, salam.

Singgih Djoko Pitono: Sangat jelas ustadz...

SinarAgama: Abie: Tentang wilayatulfakih itu bukan masalah akidah, tapi masalah fikih walaupun ia cabang dari masalah akidah yang tentang keimamahan.

Sinar Agama: Isti: Coba baca dengan sabar, wong cuma beberapa baris kok, he he...Nanti kalau sudah dibaca dua atau tiga kali, belum paham juga, silahkan tanya lagi. Terima kasih dan afwan.

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Rabu, 02 Januari 2019

Marja’ dan Sejarahnya



Seri tanya jawab Sang Pencinta dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 8:10 am

Sang Pencinta: Minggu (24-2-2013), Salam, sekiranya ustadz bisa menjelaskan sejak kapan sistem ke-marja-an digunakan dalam AB? Apakah dimulai ketika Imam Mahdi ghaib? Terima kasih ustadz. 


— bersama Sinar Agama. 

Alia Yaman, Damai Slaluww, Muslimah Ad Deen dan 13 lainnya menyukai ini. 

Armeen Nurzam: Nyimak. 

Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya: Kan sudah sering saya katakan bahwa mengikuti marja’ itu sudah sejak jaman Nabi saww karena tidak semua orang hidup dalam satu lingkungan (kota) dengan Nabi saww. 

Adam Syarif: Siapakah marja pertamakalinya selain nabi dan imam ma’sum? 

Sinar Agama: Adam: Nabi saww dan imam as itu bukan marja’ dalam peristilahan kita ini, tapi mereka as itu adalah sumber syariat itu sendiri. Nah, merujuk kepada yang dirujuk (marja’) untuk mengetahui syariat kepada orang-orang yang mengerti dari sumbernya itu banyak sekali dan tidak bisa dihitung. Karena semua shahabat senior adalah marja’ bagi yang yunior. Artinya, Nabi saww dan para imam makshum as, bukan hanya membolehkan umat mereka as, tapi bahkan menyuruh umat mereka as untuk bertanya dan meruju’/merujuk kepada yang tahu. Jadi, marja’ di jaman Nabi saww dan imam makshum as itu banyak sekali dan tidak bisa dihitung. 

Marja’-Marja’ itu, dalam berbagai hal. Ada yang hanya dalam satu masalah dan ada yang lebih atau bahkan yang semi lengkap. 


Menjadi marja’ di jaman itu, sangat mudah, karena mereka langsung bertanya kepada Nabi saww dan imam makshum as secara langsung untuk memahami berbagai hal yang kemudian akan dipraktekkan dirinya sendiri dan akan dijadikan rujukan oleh yunior-yuniornya. 

Akan tetapi menjadi marja’ di jaman sekarang, sudah tidak seperti dulu. Karena harus tahu arti ayat dari berbagai perbandingan, harus tahu hadits shahih dan tidak, harus tahu ini dan itu dimana sudah dibahas dan dikemas dalam satu ilmu yang bernama Ushulfiqih. Ushulfiqih inilah yang berusaha menjabarkan maksud Nabi saww dan maksud para imam makshum as ketika menjawab para shahabat-shahabat yang langsung bertanya kepada mereka as itu. 

Adam Syarif: Terima kasih ustadz. Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Sabtu, 01 Desember 2018

Hukum Menegakkan Negara Islam



Jajang Kl mengirim ke Sinar Agama
by Sinar Agama on Saturday, January 5, 2013 at 3:26 pm


Jajang Kl mengirim ke Sinar Agama: 2 November 2012 
Salam Ustadz, semoga sehat sehat aja. Maaf mau tanya. 
  1. Apakah hukumnya menegakkan negara Islam di negeri sendiri, merupakan kewajiban fardu ain bagi setiap muslim?
  2. Bagaimana proses penegakkannya menurut ajaran AB , apa dibutuhkan figur seperti ayatullah yang ada di Iran atau independen negeri sendiri?
  3. Bagaimana hukumnya orang muslim yang enggan menegakkan negara Islam menurut madz- hab jafari? 
Sang Pencinta: Hukum Menegakkan Negara Islam dan Kepemimpinan Tunggal Dunia, Oleh Ustadz Sinar Agama : http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/354008774643925/

Sang Pencinta: Melanggar Peraturan di Negara Islam dan Non Islam Oleh Ustadz Sinar Agama: http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/326183390759797/

Sang Pencinta: Syarat-Syarat Seseorang Menjadi Pemimpin/Imam Negara Oleh Ustadz Sinar Agama: http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/331117046933098/

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

1- Mengimani ajaran Islam sepenuhnya, merupakan kewajiban aini bagi setiap muslim. Akan tetapi, tidak boleh membuat pemaksaan kepada muslimin yang tidak meyakini agama Tuhannya secara menyeluruh ini, apalagi kepada selain muslim (la iqraaha fi al-diin), selama di dunia ini. 

2- Apapun bentuk dan jalannya selama berhubungan dengan mujtahid (baca: wilayatulfaqih), maka diperkenankan. Tapi tetap harus ingat bahwa tidak boleh ada paksaan. Hizbullah Libanon yang merupakan anak yang sah dari hizbullah Iran, sekalipun mereka sudah berjasa mengusir Israel sekalipun dan senjata tetap di tangan, tetap saja tidak boleh memaksakan negara Islam kepada penduduk Libanon. 

3- Meyakini dan membela Agama Islam yang Kaaffah dan menyeluruh itu bukan hanya kewajiban Syi’ah, tapi kewajiban semua kaum muslimin dengan seluruh madzhab dan pemikiran- nya.

Wassalam


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Sabtu, 29 September 2018

Sekelumit Tentang Wilayatulfakih

Sekelumit Tentang Wilayatulfakih {lanjutan catatan: Taqlid dan kelebihpandaian (a’lam) marja}





Seri tanya-jawab Al Louna dan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Saturday, June 18, 2011 at 11:33 pm




Adlh Murid Sejati: Salam wr. wb. ...mau tanya tentang konsep wilayatul faqih, syukron jawabannya. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

(1). Wilayatul fakih itu adalah wewenang para fakih. Pendek kata wewenang para marja’. 

(2). Marja’ adalah orang yang mencapai derajat ijtihad dan adil (tidak melakukan dosa besar dan kecil). Orang seperti ini, adalah wakil imam Makshum as yang ditunjuk dengan kriteria. Yakni mujtahid, adil dan tidak serakah pada dunia. 

(3). Sekarang, wewenangnya ini sejauh apa? Ada dua pandangan: Pertama, Mutlak (merupakan fatwa mayoritas mujtahid). Yakni marja’ itu menempati posisi imam makshum as dalam sosial karena memang mewakili mereka as. Karena itu harus mengatur masyarakat sejauh masyarakatnya menginginkannya, karena tidak ada paksaan dalam Islam. Karena itu, harus melakukan seruan perjuangan (sesuai dengan kondisi masing-masing tempat dilihat dari keluasan oyek yang akan diperjuangkannya) bila ada penindasan terhadap Islam dan masyarakat. Baik diikuti atau tidak. Dan kalau diikuti, maka harus membuat perjuangan membela Islam dan yang lemah sesuai dengan hukum-hukum islam. Dan kalau sudah berhasil dalam perjuangannya, dan telah pula membuat negara Islam (karena didukung masyarakat), maka harus pula menerapkan hukum Islam seperit qishash dan apa saja dalam sebuah sosial dan negara islam. Jadi, kewajibannya adalah menyeru kepada perjuangan membela Islam dan muslimin tanpa paksa, dan kalau diikuti orang dan berhasil, maka harus membuat negara Islam yang juga tidak boleh tanpa paksa.

(4). Ke dua, Tidak Mutlak. Yaitu yang mengatakan bahwa marja’ itu hanya memiliki wewenang memberi fatwa dan mangatus sedikit tentang sosil yang berupa pengaturan khumus, zakat, wakaf dan semacamnya. Jadi kalau dia berfatwa bahwa pembunuh itu harus dibunuh, bukan berarti harus dibunuh betulan. Tapi harus menunggu imam Mahdi as. Karena bagi mereka perjuangan membela Islam dan muslimin itu tidak boleh dan, apalagi mendirikan negara Islam. 

(5). Jadi, walaupun mereka -yang tidak mutlak itu- melihat para wanita diperkosa dan muslimin dibunuhi, maka mereka tidak boleh mengumandangkan suara perjuangan dan apalagi menegakkan negara Islam. Dan kalau berteriak dan berjuangpun, hanya untuk membela hak diri dari perkosaan dan pembunuhan itu. Artinya, kalau orang zhalim itu tidak memperkosanya dan tidak membunuhnya, sudah cukup, sekalipun di dunia ia melakuakn kekejaman dan kemungkaran. Inilah kira-kira pandangan wilayah faqih yang tidak mutlak itu.

(6). Kalau mereka ini melakukan hal seperti itu memang disebabkan ijtihadnya, yakni murni ijtihad dan bukan karena rasa takut, dengki kepada wali faqih dan semacamnya, atau karena menaklidi mujtahid yang seperti itu (bagi yang tidak ijtihad), maka masih tergolong muslim dan Syi’ah. Artinya di dunia ini, kita tidak bisa menghukumi mereka apa-apa. Jadi urusannya kita serahkan kepada Allah. Entah bagaimana mereka nanti menghadapi wanita-wanita yang diperkosa di depan mata mereka dan orang-orang yang dibunuhi itu, serta bagaimana menghadapi pertanyaan Tuhan terhadap kekacauan hukum sosial dan negara karena mereka tidak membolehkan membuat sistem negara yang sesuai Islam dan hukum Tuhan itu. 

(7). Akan tetapi bagi yang mutlak, keyakinan ini sangat dalam dan mendasar, bahwa Islam diturunkan Tuhan untuk mengatur umat manusia seperti menegakkan keadilan di segala bidang (ekonomi, budaya, politik ...dan seterusnya) dan memberantas kebatilan serta penganiayaan. Tentu saja tanpa dengan usaha-usaha pemaksaan seperti para terorist itu. Jadi, mengajak umat dengan bijak dan argumentatif tanpa boleh ada paksaan sedikitpun. Sementara masalah imam Mahdi as itu adalah masalah janji Tuhan untuk kemenangan di seluruh permukaan bumi ini. Jadi, jauh beda antara tugas di setiap tempat sesuai dengan kondisinya masing-masing, dengan imam Mahdi as yang merupakan janji Tuhan untuk kemenangan di seluruh dunia, bukan hanya di tempat-tempat tertentu. 

Artinya, bukan berarti sekarang tidak boleh berjuang. Jadi, kewajiban sekarang dalam membela Islam, sama persis dengan kewajiban membela islam ketika nanti imam Mahdi as telah datang. Dan, jangan dikira, orang yang tidak berjuang sekarang, nanti pasti berjuang dengan imam Mahdi as. Karena bisa saja ada keraguan di dalam hatinya terhadap beiau yang membuatnya tidak mau berjuang bersama beliau as. 

Misalnya, beliau as mengatakan bahwa perjuangan sebelum beliau as adalah kewajiban yang mereka tidak laksanakan. Nah, kalau mereka menerima teguran ini dan bertaubat, maka ia akan masuk di dalam tentaranya, tapi kalau tidak, maka sebaliknya. Semoga saja Allah membimbing kita ke jalan imam Mahdi as yang hakiki, . 

Tambahan: Dalam urusan agama Islam dan selainnya, yang penting adalah Islam. Dalam urusan madzhab antara Syi’ah dan lainnya, yang penting Syi’ah (tentu bagi pengikutnya). Tapi dalam Syi’ah taqwa dan peduli dengan lingkungannya sesuai dengan hukum-hukum Islam yang tidak pernah libur, dengan yang lainnya, maka di sini tidak bisa dikatakan bahwa yang penting adalah Syi’ah, sehingga dengan demikian para penakut dan penyinta dunia yang tidak peduli dengan derita islam dan umatnya (dari orang-orang Syi’ah) menyembunyikan dirinya. Karena itu, ketahuilah bahwa Syi’ah itu bukan satu-satunya ukuran masuk surga, tapi ketaatan di dalamnya dan kepedulian kepada Islam dan muslimin adalah ukurannya. 

Wassalam. 

Dadan Gochir: Salam, berarti untuk indonesia yang saya tangkap dari catatan ustadz adalah tidak mutlak (4) ya..terus untuk menjadi marja/marja yang lebih a’lam dan adil harus ada kesaksian dari mujtahid lain, bagaimana kita tau atau mujtahid lain tau seorang marja tidak melakukan dosa besar&kecil, karena kita tau dosa bisa dilakukan sendirian..apakah dikembalikan kepada Allah atau gimana? 

Atau yang a’lam dan adil meniscayakan tidak mungkin melakukan dosa sedikitpun, karena pengetahuan mereka akan dosa..atau gimana ustad , afwan. 

Sinar Agama: Gochir, Antum salah memahaminya: Wilyatulfakih mutlak itu tidak mengenal batasan-batasan negara dan tidak mengenal batasan penerapan. Persis seperti imamah itu sendiri. Apakah kalau imam tidak memegang kekuasaan dan tidak memiliki negara Islam (karena tidak didukung umat), lalu konsep keimamahannya atau ketaatannya menjadi terbatas pada masalah-masalah selain politik? 

Dengan demikian, karena wilayatulfakih ini adalah wakil mutlak imam makshum as (tentu selain memulai perang), dan karena ketaatan pada imam makshum as itu tidak dibatasi kekuasaan, maka taat pada wilayatulfakih itu juga demikian. Karena itu kita mesti menaati wilayatulfakih secara mutlak, baik pribadi atau politik, baik mereka memiliki kekuasaan/negara atau tidak, dan baik mereka itu senegara dengan kita atau tidak serta baik di negaranya negara islam dan di negara kita bukan negara Islam. 

Nah, dari sisi ketaatan kita kepada wilayatulfakih itu tidak beda dan tidak bisa dibedakan dengan bedanya keadaan wilayatulfakih atau bedanya keadaan para pengikutnya. 

Yang berbeda itu hanyalah perintah wilayatulfakih itu. Artinya, beliau sebagai marja’ dalam segala bidang, maka akan memberikan fatwa-fatwanya dalam urusan politik, sesuai dengan keadaan para pengikutnya. Misalnya, di Iran wajib mempertahankan negara Islam Iran dan maju perang ketika diserang musuh. Tapi kewajiban itu tidak ada pada Syi’ah di Indonesia sekalipun sama- sama taqlid kepada satu marja’ yang disebut wilayatulfakih itu (yang dalam hal ini adalah Rahbar hf). Akan tetapi ada fatwa-fatwa agama yang berkenaan dengan sosial dan politik Islam yang memang tidak mengenal batas negara dan keadaan. Misalnya muslimin diwajibkan untuk bersatu dan menjaga persatuan dimana kalau membuat perpecahan maka telah melakukan dosa besar. Nah, fatwa politik Islam ini, wajib dilakukan oleh orang-orang yang ada di Iran dan di lain Iran, seperti Indonesia. 

Dengan penjelasan di atas, maka pemahaman antum tidak benar dalam memahami wilayatulfakih itu. Harap teliti. 

Untuk kesaksian akan dosa tidaknya seseorang, ...(dilanjutkan di catatan no. 83. Beda adil dan makshum - seri tanya-jawab antara Dadan Gochir dan Sinar Agama) 

Abdul Malik Karim: Maaf boleh tanya, siapa wali faqih setelah wafatnya wakil imam Mahdi terakhir dan sebelum Khomeini? 

Dadan Gochir: Amin, Terimakasih ustadz ilmunya..semoga ustadz selalu dalam lindungan Allah. 

Dadan Gochir: Ustadz ada wahaboy datang..perusak acara. 

Abdul Malik Karim: Loh orang tanya kok dianggap merusak? Bertanya salah satu cara mencari ilmu, 

Tuan Taajiir: A.M. Karim @ pepesan kosong ngapain di tanggepin, entar ketularan sakit nt wkwkwkwkwkwk. 

Sinar Agama: Malik: he he masih aktif nih,,, kalau antum baca tentang tulisan di atas, maka sudah jelas jawabannya. Karena semua marja’ itu adalah walifakih. Akan tetapi karena belum punya pemerintahan yang disebabkan belum adanya dukungan, maka mereka seperti para imam makshum as yang tidak punya negara. Karena itulah dalam Syi’ah menjadi mujtahid itu adalah wajib kifayah. Karena tidak boleh ada jaman yang tidak ada mujtahidnya. Artinya tidak boleh ada jaman yang tidak ada wilayatulfakihnya. 

Sinar Agama: Kidung, di Syi’ah, belajar 20-30 tahun belum tentu bisa jadi mujtahid, padahal mujtahid itu hanya dalam bidang fikih. Belum lagi kalau mau menguasai filsafat dan lain-lainnya. 

Yang fikih keseharian itu adalah ilmu dasar yang membuat tidak berartinya lmu-ilmu lain tanpanya. Biar membahas filsafat dan irfan dan apa saja, tapi fikih kesehariannya tidak kuat dan apalagi tidak diamalkan, maka semuanya itu sia-sia. Beda halnya kalau fikih kesehariannya dipelajari dengan benar sesuai dengan fatwa marja’nya, lalu diamalkan, maka ia akan mendapatkan banyak ilmu rasa. Artinya ia bisa ke irfan dan makna-makna, walau tidak mengerti peristilahan ilmiahnya. 

Dadan Gochir: Ikut bertanya fikih, ustad maksud terbit matahari waktu akhir subuh..apakah terbit matahari itu mulai terlihatnya matahari di ufuk timur atau bagaimana, bagaimana kalau yang jauh dari laut..sekalian waktu awal subuh apakah ada perbedaan suni dan syiah? 

Sinar Agama: Akhir shubuh adalah munculnya matahari di ufuk timur, baik di lihat dari pinggiran laut atau tidak. Sedang awal shubuh antara Syi’ah dan Sunni tidak ada perbedaan kecuali di tanggal 13-22 setiap bulan hijriah, maka untuk shalatnya diakhirkan sekitar 15 menit, tapi untuk imsak puasa harus dari sejak adzan yang umum di Sunni itu. Tapi di lain tanggal itu sama saja baik shalat atau imsak puasa. Tentu saja mendahulukan imsak dari adzan shubuh sangat dianjurkan. 

Dadan Gochir: Terimakasih ustadz.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Selasa, 07 Agustus 2018

Wilayatulfakih Dalam Diskusi Lagi






Seri tanya-jawab: Giri Sumedang dan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, August 9, 2011 at 5:42 am


Giri Sumedang: Salam kak sinar.. aku mau nanya...semalam aku bertemu orang yang dari Qum dan telah belajar di sana selama hampir 6 tahun. Dia bilang bahwa dalil atau hadits tentang wilayah alfaqih itu tidak ada. Yang ada hanya dalil akal saja (atau asholatul ishlah atau kemendasaran pada mashlahat) padahal kan ada ”man kana minal fuqoha, shoinan linafsihi, hafidzon lidinihi, falil awam anyuqoliduhu”.. ini bagaimana ya kak penjelasannya? 

Widodo Abu Zaki, Siti Handayatini, Teratai Di Rawa Pasee dan 7 lainnya menyukai ini.

Sinar Agama: Kalau masalahnya akidah, maka dengan dalil akal yang gamblang karena memang tidak boleh taqlid. Tapi kalau tentang fikih maka dalilnya adalah fatwa. Dan pemahaman fatwanya, juga dengan dalil ’uruf dan akliah yang gamblang.

Giri Sumedang: Ya kak makasih... dalam beberapa hal sih giri nyambung banget gitu lho ama kak sinar secara eksistensial apa-apa yang telah kakak paparkan. Makasih ya kak.

Sinar Agama: Dalam hadits yang kamu bawa itu, yang mengatakan bahwa imam Mahdi as, mewajibkan kita mengikuti mujtahid yang menjaga diri dari maksiat, melakukan taat dan tidak serakah kepada dunia, sangat cukup untuk membuktikan bahwa ketaatan pada marja’ itu tidak hanya dalam hal-hal najis, wudhu, mandi, shalat dan puasa atau hal-hal lainnya dari ibadah- ibadah sehari-hari.

Tidak hanya itu saja. Tapi imam Mahdi as mengatakan ”fa lil’awam an yuqalliduhu”, disini tidak ada pembatasan kepada ibadah-ibadah pribadi.


Karena itu, yang membatasinya itu benar-benar memang belum menguasai dalil-dalil fikih. Dan, di hauzah, memang dengan beberapa tahun saja tidak akan mengerti dalil-dalil ini. Karena memang belum sampai.

Nah, kata-kata imam Mahdi as yang mengatakan ”maka bagi orang awam harus menaqlidinya -mujtahid”, tidak ada pembatasan kepada ibadah-ibadah pribadi. Akan tetapi ”muthlaq” (mut- lak), dalam istilah ushulfiqih. Yakni mutlak dan meliputi semuanya. Karena itu, selama tidak dikondisikan oleh hadits shahih lainnya yang membatasinya, maka ia harus diterima sebagai yang mutlak dan mencakup. Karena itu, maka hadits tersebut mencakupi seluruh ketaatan dalam masalah-masalah pribadi, keluarga, sosial, politik, ekonomi, kenegaraan dan dunia. Walhasil meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Dan hal seperti ini, merupakan hal yang sangat jelas bagi semua atau mayoritas ulama Syi’ah.

Giri Sumedang: Apakah ada referensi dari ayatullah atau setingkat marja’ dengan apa yang telah kakak katakan, sebab kalau ini diungkapkan pada dia.. dia akan ngomong apa dasarnya? Siapa yang ngomong? Marja’ atau bukan? Kalau bukan marja’ maka tidak wajib kita ikuti, begitu kak pernyataannya. Lucu sih kak orangnya.. jauh-jauh ke Qum eh malah begitu statemennya..he.

Sinar Agama: Uwwah ... kalau ditambah lagi dengan ayat-ayat yang mengatakan bahwa siapa yang menghukum tidak dengan hukum Tuhan maka ia telah kafir, taat pada pemimpin (yang juga mutlak), menegakkan keadilan agama dalam segala sisi kehidupan, ................. dan seterusnya, maka hadits itu akan sangat gamblang dan mudah dipahami tentang keumumannya itu. 

Uwwah ... kalau ditambah lagi dengan hadits-hadits yang mengatakan bahwa kalau ada dua orang saja diantara kalian harus ada satu yang menjadi imam, maka hadits dari imam Mahdi as itu, sangat mudah dipahami.

Kalau dia mengatakan seperti itu, yakni dari siapa, marja’ atau bukan, maka balas juga kamu tanya pada dia. Bahwa yang kamu katakan, yakni bahwa hadits imam Mahdi as itu hanya untuk ibadah- ibadah pribadi dan tidak mencakupi semua ketaatan, maka yang kamu katakan itu dari mana? Dari marja’ atau dari kamu? Kalau dari kamu yah ... berarti tidak harus didengarkan. Kalau dari marja” maka tanyakan marja’ siapa dan di dalam kitab apa?

Giri Sumedang: Ya kak dia kan ustadz.. jadi Giri masih punya adab mau berkata seperti itu.. he.

Sinar Agama: Itu untuk debatannya. Yakni dengan mengembalikan masalah kepadanya. Dan untuk penjelasannya, maka sudah cukup apa yang ditulis oleh para marja’ dalm semua kitab fikihnya. Karena semua marja’ menulis hukum-hukum fikih itu dari masalah-masalah pribadi ke masalah-masalah negara dan politik. Artinya, banyak hal yang difatwai itu yang tidak bisa dilaksanakan kecuali kalau memiliki negara Islam. Seperti hukum qishash, hukum cambuk, ...dan seterusnya. Nah, dengan adanya fatwa-fatwa itu, maka sudah jelas apa yang dimaksudkan hadits imam Mahdi as di atas itu.

Yang ke dua, banyak sekali kitab tentang wilayatulfaqih ini. Yang sudah di Indonesiakan sudah ada, yaitu alhukumah al-Islamiyyah karya imam Khumaini ra. Dan masih banyak lagi kitab-kitab yang ada bahkan yang berjilid-jilid hanya menerangkan tentang wilayatulfakih ini seperti karya Muntazhiri. Ada lagi karya ayatullah Jawadi Omuli hf...dan lain-lainnya.

Giri Sumedang: Oo begitu ya kak.. wah Giri kayaknya harus baca kitab itu.

Sinar Agama: Terkahir, katakan ke ustadznya itu, bahwa dalil taat yang ada di hadits imam Mahdi as di atas itu adalah mutlak. Trus antum menkondisikannya, atau mentaqyidnya, dengan dalil apa? Pertanyaan ini kelihatan lebih sopan.

Giri Sumedang: Giri sudah sampaikan kitab dari Javadi Amoli.. eh dia mengatakan saya tidak tahu.. karena saya belum baca.. lucu sih kak orangnya he.

Sinar Agama: Kitab itu seingat saya terbitan Cahaya.

Giri Sumedang: Dia bilang karena Javadi Amoli bukanlah seorang maroji’... he.

Sinar Agama: Lah .. kalau dia tidak tahu, kok bisa menkondisikan hadits mutlak tadi???? Ya ampun ngawur banget dia itu he he he ...ayatullah Jawadi hf itu sudah lama jadi marja’.

Dan yang ingin taqlid kepada beliau, beliau menyuruhnya merujuk kepada fatwa-fatwa Imam Khumaini ra.

Giri Sumedang: Dia asal saja mengatakan bahwa kesepakatan seluruh ulama Iran bahwa hadits itu tidak untuk dijadikan dasar adanya wilayatul faqih.

Sinar Agama: he he ... kesepakatan dimana? Tanya saja dimana ada kata sepakat itu?

Giri Sumedang: Jadi dia ustadz yang tergolong ngawur ya kak?

Sinar Agama: iyalah pasti ... tentu saja dalam hal ini, tapi dalam hal-hal lain mungkin tidak. Dan ketahuilah, bahwa 5-6 tahun di Qom itu memang tidak akan mengerti hal ini. Memang belum dipelajari fikih berdalil yang agak tinggi. Baru dasar-dasarnya saja. Apalagi kalau jurusannya bukan fikih atau ushulfikih, maka sangat mungkin memang tidak akan mempelajarinya.

Giri Sumedang: ooo begitu.. he memang sih kak tidak semuanya dia ngawur.. maaf perkataan Giri tadi.

Sinar Agama: Nah, itu dia, belajarlah ke siapa saja, tapi dengan dalil yang gamblang. Memang belajar ke yang lebih ahli tentu lebih afdhal. Tapi kalau tidak ada, yah .... apa mau dikata. Tapi asal dengan dalil gamblang tadi.

Hormat sih boleh tetap, karena demi menjaga tatanan sosial. Tapi berdiskusi dengan ustadz itu harus dibiasakan karena tidak terhitung kurang ajar di hadapan Islam.

Giri Sumedang: Terus kak, dia nanya apakah ada wilayatul faqih sebelum imam Khumaini ra? Wilayatul faqih itu secara konsep betul harus ada tapi orangnya tidak wajib ada.. itu kata dia kak? Jadi Giri semakin aneh aja ngelihat cara berpikir dia kak he. Dia bilang konsep nabi dan rosul itu harus ada tetapi nabi dan rosulnya boleh tidak ada gitu katanya kak..he.

Sinar Agama: He he he he ketika konsep wilayatul fakih itu ada, maka ini yang menjadi ukuran bagi kita untuk diikuti. Bukan ada tidaknya orangnya. Ini yang pertama

Yang ke dua: ketidak adaan wilyatul fakih sebelum imam Khumaini ra itu, dikarenakan tidak adanya umat yang menerimanya hingga melakukan revolusi dan mendirikan negara Islam. 



Persis seperti imam-imam makshum as sebelum imam Mahdi as. Apakah karena mereka tidak memegang tampuk pemerintahan, lalu konsep imamah itu kita ingkari dan orangnya juga kita ingkari? Kan malah wilayatulfakih itu masalah negara. Artinya, tidak hanya berdiri dengan satu tiang yang namanya pemimpin, baik makshum as atau wilyatulfakih? Tapi berdiri dengan dua tiang dimana yang satunya lagi adalah umat? 



Nah, di umat ini, jangankan wilayatulfakih, imam makshum as saja tidak diikuti hingga membuat negara? Lah ... imam Mahdi as itu untuk apa ghaib kalau diikuti umat dan bisa mendirikan negara di dunia ini? Lah ... apakah kalau para imam makshum as itu tidak menegakkan negara. Begitu pula para nabi-nabi sebelumnya, atau para wilyatulfakih itu juga tidak menegakkan negara, lalu konsepnya salah dan orangnya yang nabi, yang imam makshum atau yang fakih itu, juga tidak ada?

Giri Sumedang: Giri sih paham kak.. tapi ustadz itu tetep mengatakan bahwa wilayatul faqih boleh tidak diikuti dan tidak menjadikan kita kafir atau keluar dari keimanan kita kak, begitu katanya he 

Sinar Agama: Nah, dari para nabi itu hanya segelintir yang sempat mendirikan negara, misalnya nabi Sulaiman as, nabi Muhammad as, nabi Yusuf as, dan beberapa nabi lainnya. Begitu pula para imam makshum, hanya imam Ali dan imam Hasan yang sempat mendirikan negara. Begitu pula para mujtahid, yang katakanlah hanya imam Khumaini ra yang sempat mendirikan negara. Lah .... apakah mereka itu terus diingkari konsep kebenarannya dan keberadaannya?????? 



Kan tidak???? Karena punya negara atau tidak itu tergantung kepada umat yang mau mendukung atau tidaknya. Kalau didukung, maka berdirilah negara. 



Tambahan: Konsep wilayatul fakih ini terkadang bisa dicuatkanwalau tidak ada negaranya. Seperti ayatullah Syirazi yang mengharamkan rokok kepada seluruh umat dan bahkan marja’-marja’ketika petani tembakau Iran dizhalimi Inggris sebelum adanya negara Islam di Iran.

Giri Sumedang: Setuju kak.. ini baru kakak ku he. 

Sinar Agama: Nah, itu salah satu bukti dari adanya konsep wilayatulfakih dan adanya orangnya juga, yaitu para mujtahid tersebut. Tentu saja, yang menjadi wilayatulfakih hingga bisa membuat para marja’pun taat itu adalah yang a’lam. 



Giri Sumedang: Wah sangat mencerahkan sekali kak..he..kayaknya mendingan kakak aja dech yang jadi ustadz giri he..bercanda kak maaf he. 



Sinar Agama: he he he ... nggak apa-apa kalau kamu mau jadi murid he he he ... 



Widodo Abu Zaki: Pemikiran seperti ini makin banyak di Indonesia. Ternyata sudah merasuk kemana-mana ya? Padahal menunggu Imam Mahdi lebih baik aktif apa pasif pasti semua menjawab aktif. Tidak bakalan ada yang berani jawab pasif. Dengan pasif instrument hukum kan libur. Anehnya banyak yang ikut. Maaf ustadz saya ikut nyela, habisnya gerah dengan hal-hal seperti ini, kalau tidak karena Revolusi Islam dan Imam Khomeinii Mustahil ana syiah. 

Giri Sumedang: Hai kak Zaki apa kabar?? Ya begitulah kak.. eh tapi kak, biasanya yang punya ide juga harus ikut bertanggung jawab lho.. he maksudnya ikut membangun dalam mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara ini..cek ila.. ambil sistem yang ada dimana kakak gelutin saat ini.. hatta itu cuma peran di yayasan pendidikan ya kan kak he....

Sinar Agama: Abu: Benar yang antum katakan, benar ... semoga antum selalu dalam bayang sang imam besar revolusi itu... 

Sinar Agama: Giri: benar begitu, asal tidak menolak yang keseluruhannya. Jadi, walau aktif kayak apapun seperti di pendidikan (yang memang hanya seperti ini yang digeluti mereka-mereka itu), tapi kalau menolak yang universal (seperti menolak berjuang mencerahkan dan menegakkan hukum-hukum Islam tanpa paksa), maka semua itu bisa tidak berguna. Bagaimana bisa berguna, kalau kamu mengajar di sekolah yang disampingnya muslimat-muslimat diperkosa zionist, atau di sampingnya banyak bangkai muslimin yang dibunuh zionist, atau di sebelahnya banyak perumahan-perumahan muslim digusur zionist, atau di sampingnya banyak kezhaliman yang berlaku ke atas muslimin dan muslimat .... dan seterusnya??????!!!!! 



Wassalam.







اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ