Jumat, 16 Juli 2021

Syi’ah-Sunnah: Tentang Qur'an, Hadits, Shahabat, Ushulfikih dan Persatuan


seri jawaban Sinar Agama untuk Bambang Ariyanto Widjaya. http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/326179687426834/ by Sinar Agama (Notes) on Saturday,

December 31, 2011 at 12:24am


Bambang Ariyanto Widjaja: Tetapi perlu diingat, MUI telah mengeluarkan Fatwa tentang kesesatan ahmadiyah dan mewaspadai manuver/gerakan Syi’ah. Mengapa Syi’ah diwaspadai? Karena perbedaan masalah hal-hal yang sangat pokok. Al Qur’an dan riwayat Hadist berbeda sehingga masalah fikh pun tidak sama dengan Sunni. Perlu dicermati pula sikap Syi’ah Indonesia terhadap para Shahabat Rasulullah Shallahu’alayhi Wassalam dan para Ahlul Ba’it non keluarga Ali ra. Perbedaan Sunni dan Syi’ah sangat tajam sekali. Jika mereka ikut meng-kafirkan para Shahabat, maka jelas Syi’ah tidak akan pernah bisa bersatu dengan Sunni dan juga hati-hati dengan Taqiyyah mereka (sikap taqiyyah inilah yang menyebabkan peristiwa di YAPI, bangil, pasuruan).

{{ Catatan dari Sinar Agama: Tulisan ini diambil dengan mencuplik komentar mas Bambang yang ada di komentar status Pencerah Hati yang ditag ke saya. Dan karena takut kepanjangan, maka komen-komen lainnya, baik dari mas Bambang atau yang menjawabnya dari teman-teman Syi’ah, tidak dimuat dalam catatan ini. Harap maklum. Karena tujuannya hanya ingin menjelaskan secara KTP tentang Syi’ah yang saya ketahui dan pentingnya persatuan (setidaknya tidak saling paksa) dalam menjaga kedamaian di bumi pertiwi yang damai selama ini. }}


Sinar Agama: Bambang:

(1). Afwan saya tidak menyempatkan diri membaca semua komen-komen di atas: 

(2). Aqidah Syi’ah itu jelas sekali ajarannya:

  • (a). Tentang Qur'an: Diyakini suci dan terpelihara sampai sekarang, karena Allah sendiri yang menjaganya sesuai dengan ayatnya, karena itu sangat menolak apapun masukan baru ke dalamnya. Baik masukan 112 bismillaah yang diyakini Sunni di setiap permulaan surat yang diyakini bukan Qur'an di Sunni, atau juga penyusunannya. Karena itu di Syi’ah Qur'an mesti disusun Allah sendiri, dan di Sunni disusun tim Utsman dan atas usulan Utsman. Jadi, kalau di Sunni Mushhaf Utsmani, tapi kalau di Syi’ah Mushhaf Allah. Sedang mushhaf (lembaran- lembaran) Faathimah as itu adalah ilmu-ilmu beliau as yang dituliskan Imam Ali as menjelang wafatnya yang ditulis demi supaya beliau as ikut andil dalam mendidik para Imam makshum as. Jadi, makshum as mengajari makshum as. Karena yang makshum tidak bisa diajari yang tidak makshum. Tentang pengumpulan Qur'an oleh Allah itu, bukan oleh Utsman dan bahkan bukan pula oleh Nabi saww sekalipun (karena memang tidak ada yang berhak terhadap Kitabullah selain yang punya, yaitu Allah), antum bisa melihat QS: 75: 17:

”Sesungguhnya hanya Kamilah yang berhak mengumpulkannya -Qur'an- dan membacakannya.”

  • (b). Hadits: Hadits Syi’ah adalah jelas. Yakni diambil dari orang-orang yang tsiqah dan tidak mau mengambil dari orang yang tidak tsiqah sekalipun dari shahabat. Kalau dari selain shahabat berdusta sekali saja haditsnya sudah jatuh, maka apalagi membunuh. Nah, kaidah ini di Syi’ah diterapkan kepada semua perawi, tidak perduli siapa orangnya. Ketika sampai ke shahabat dari perawi-perawi yang di bawahnya, juga demikian. Harus dilihat siapa shahabat yang merawikan itu. Tapi kalau di Sunni, kalau sudah sampai pada shahabat, diangggap sama seperti sudah sampai kepada Nabi saww itu sendiri. Jadi, kedudukan kebenaran shahabat di Sunni, dalam masalah hadits ini, disamakan dengan Nabi saww, yakni sudah pasti benar. Bedanya, Nabi saww penyatanya, dan shahabat perawinya. Tapi dilihat dari sama-sama benarnya ucapan dan maqamnya ketsiqahannya yang mustahil salah, adalah sama dengan Nabi saww. Ini di Sunni. Tapi kalau di Syi’ah, selama tidak ada dalil makshumnya, maka semuanya harus dilihat tsiqah tidak-nya.

Kalau dilihat secara global, shahabat dengan shahabat, puluhan ribu dengan puluhan ribu lainnya, saling berperang di jaman itu. Abu bakar saja menyerang keluarga Nabi saww sampai ia menangis dan menyesal sebelum matinya dan mendamba tidak pernah menyerang rumah siti Fathimah as.(Tariikh Thabari, 4/52; Miizaanu al-I’tidaal, 2/215; dan lain-lainnya). Atau kalau kita lihat di sejarah-sejarah Sunni juga kita lihat sewaktu Abu Bakar mengutus Khalid bin Walid menyerbu shahabat lain (Bani Tamiim), malah Khalid bin Walid berani membakar beberapa shahabat hidup-hidup di depan umum. Atau kita lihat perang ’Aisyah yang memerangi Imam Ali as sebagai khalifah yang syah (Sunni) atau sebagai Imam makshum as (Syi’ah) yang peperangannya disebut perang Jamal, menelan korban sampai 110.000 orang shahabat dan tabi’iin. Belum lagi perang-perang lainnya. Semua itu adalah puluhan/ratusan/ ribuan shahabat dan tabi’iin yang saling berperang. Sudah tentu saling menyalahkan, dan membunuh. Nah, kalau yang dibunuh itu salah, maka ia adalah shahabat. Kalau yang membunuh itu salah, maka ia adalah shahabat. Kalau dusta masalah dagangan saja sudah mendhaifkan hadits riwayatnya, apalagi saling mengkafirkan, saling menyesatkan dan membunuh.

Karena itu, di Syi’ah, perawi yang diteliti, termasuk shahabat. Apakah ini dosa? Qur'an saja menurunkan surat bernama Munaafiqin dan ayatnya mengatakan bahwa Nabi saww tidak mengetahuinya, apalagi yang lainnya. Allah berfirman:
”Dan di sekeliling kamu dari orang-orang desa, terdapat ORANG-ORANG munafik, dan begitu pula di sekeliling kamu di antara orang-orang kota dimana mereka sangat keterlaluan dalam kemunafikan. Kalian tidak tahu mereka sedang Kami mengetahuinya. Kami akan mengadzab mereka dua kali lipat dan kemudian dipulangkan ke adzab yang sangat agung.”

Catatan ayat: Banyak tafsiran Sunni menerjemahkan munafik itu pada salah satu orang atau tiga orang. Hal ini jelas bisa dikatakan lemah. Sebab Tuhan mengatakan bahwa para shahabat yang baik dan Nabi saww tidak mengetahui para munafik itu, lalu bagaimana penafsir itu mengetahuinya hingga menerjemahkan pada satu atau tiga orang. Karena itu, kemunafikan itu tidak akan diketahui kecuali kalau Nabi saww sudah tidak ada dan mereka sendiri mengeluarkan kemunafikannya itu ke permukaan amal mereka. Dan hal ini mesti kita serahkan padaNya saja sebab hanya Dia yang tahu secara sebenar-benarnya. Tujuan keterangan ini hanyalah untuk menolak penafsiran dan pemastian kepada beberapa orang. Karena sebagaimana kita tahu, bahwa para shahabat saling berperang. Sudah tentu ketika sudah saling menghalalkan darahnya, maka semacam sudah menetapkan kemunafikannya. Karena itu, kesalingpenghalalan mereka sulit dijadikan sandaran kita tanpa bukti dan dalil lainnya).

By the way, kalau bohong sekalinya para perawi saja sudah melemahkan haditsnya, apalagi membunuh. Dan para shahabat, saling berbunuh dalam jumlah partai/banyak/kelompok, yakni dalam jumlah ribuan lawan ribuan, atau puluhan ribu lawan puluhan ribu.

Syi’ah tidak memaksa orang lain untuk memakai hadits-hadits yang dihasilkan melalui penelitiannya itu, akan tetapai apakah orang lain bisa memaksakannya?

Hadits Syi’ah juga tidak hanya dari Nabi saww, tapi juga dari makshumin as. Jadi, hadits adalah ucapan, perbuatan dan taqrirnya para makshum, baik itu Nabi saww atau para penerusnya yang makshum as. Dan kemakshuman mereka ini tidak boleh asal dakwaan atau didakwa. Karena selain Allah dan NabiNya saww tidak ada yang tahu siapa yang makshum, jadi harus ditentukan Qur'an dan Nabi saww. Dan, di riwayat Sunni seambrek dalil Qur'an dan hadits yang menyatakan bahwa Ahlulbait as itu makshum. Lihat QS: 33: 33.

”Sesungguhnya Allah HANYA ingin membersihkan/menepis dari kalian Ahlulbait, segala kekejian/ kekotoran (dosa) dan membersihkan kalian sebersih bersihnya.”

Karena itulah maka diyakini di Syi’ah bahwa jalan lurus atau shiratulmustaqim itu adalah jalan Islam yang lengkap dan benar seratus persen. Ilmu Islamnya dan Amalan Islamnya, lengkap 100% dan benar 100% juga. Karena Allah sudah berfirman bahwa jalan lurus itu ”wa laa al- dhaalliin”, yakni ” tidak salah sedikitpun”. Dan kalau jalan lurus ini ada, maka sudah pasti orang makshum juga harus ada. Itulah yang dikatakan penerus Nabi saww dalam menjaga agama terakhir yang telah diturunkan ke Nabi saww tersebut. Memang sudah tidak ada ajaran baru lagi, tapi yang sudah diturunkan ini harus dijaga 100% oleh dan dengan adanya orang makshum as tersebut. Sebab kalau tidak ada makshum, maka sudah pasti tidak akan ada jalan lurus itu, dan kalau demikian, maka Tuhan telah mempermainkan kita. Karena Ia telah mewajibkan kita shalat dan dalam shalat mewajibkan membaca fatihah di mana di dalamnya juga terkandung doa meminta jalan lurus itu. Nah, kalau jalan lurus itu tidak ada karena tidak adanya makshum, lalu kita disuruh memintanya, berarti Ia telah mempermainkan kita. Kan tidak mungkin? Dengan demikian maka makshum itu mestilah ada.

Nah, Nabi saww yang makshum dan sumber ajaran, dan Imam yang makshum as sebagai penerus ajaran, semua ucapan, perbuatan dan taqrirnya diyakini sebagai hadits kalau di Syi’ah. Yakni sebagai sumber pemahaman terhadap Islam di samping Qur'an.

  • (c). Kalau taqiah atau taqiyah atau takiah atau takiyah itu, adalah ajaran yang jelas di Qur'an (QS: 16 : 106):
”Siapa yang kafir setelah ia beriman -akan dimurka dan diadzab-, kecuali kalau ia dalam keadaan terpaksa sementara hatinya tetap dalam keadaan iman.”

Nah, taqiyah itu boleh sebagaimana Ammar ra yang melakukannya dan menjadikan ayat tersebut turun. Artinya, menyatakan kafir, kalau dipaksa, seperti terancam dibunuh, maka itu dibolehkan. Jadi, kalau dalam keadaan aman, maka menyatakan kafir itu adalah munafik dan akan diadzab Allah swt.

Lah antum kok mempermaslahkan taqiyah ini, kok tidak mempermasalahkan umat penyebab taqiyah ini. Sebegitu parahkan umat islam ini hingga menyebabkan orang Syi’ah bertaqiyah?

  • (d). Tentang kitab hadits, sesuai dengan penjelasan di atas, maka Syi’ah memiliki kitab-kitab hadits yang ditetlitinya sendiri dengan rijal yang ketat dan tanpa pilih kasih. Nah, apakah beda penelitian hadits-hadits Nabi saww ini merupakan keanehan? Di Sunni saja ada sekitar 20 kitab hadits dimana penelitian yang satu beda dengan yang lainnya. Lah .. kok bisa masing- masingnya itu tidak disesatkan, tapi kalau kitab hadits penelitian Syi’ah terus jadi sesat?
  • (e). Kalau tentang mengkafirkan shahabat itu sudah sering saya katakan, bahwa yang dimaksudkan itu adalah kafir terhadap imamah dan adanya kepenerusan makshum as dalam menjaga syariat ini. Jadi, kafirnya adalah kafir terhadap Imam, bukan pada Tuhan dan Rasul saww dan Qur'an, dan hari akhirat.

Beda dengan kalau orang selain Syi’ah mengkafirkan orang Syi’ah, atau wahabi menghafirkan Sunni. Karena biasanya maksud mereka adalah dari tauhid. Kecuali sedang membahas akhlak yang sering juga membahas kafir nikmat. Begitu pula beda dengan hadits shahih Bukhari kalau mengkafirkan shahabat dimana sudah pasti maksudnya adalah murtad dari agama. Perhatikan hadits berikut ini:

Diriwayatkan dari Muhammad ibnu Katsiir, dari Sufyaan dan al-Mughiirah bin al-Nu’maan dari Sa’iid bin Jubair dari Ibnu ‘Abbaas dari Nabi saww yang bersabda: “Sungguh kalian akan dikumpulkan di padang makhsyar dalam keadaan telanjang kaki, (dan seterusnya).

Kemudian segolongan dari shahabatku dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang celaka, karena itu aku berkata: ‘Mereka itu shahabatku, mereka itu shahabatku.’ Allah berkata: ‘Mereka itu menjadi murtad ketika kamu telah meninggalkan mereka.’Karena itu aku berkata, seperti yang dikatakan hamba yang shalih (seperti nabi Isa as, pent.): ‘Aku menjadi saksi bagi mereka dikala aku masih hidup bersama mereka ’.” (lihat hadits ini dan yang mirip dengannya di: shahih Bukhari hadits ke: 3349, 3447, 4625, 4740, 6526; Shahih Muslim, hadits ke: 5104, 7380; dan lain-lain-nya).

Karena itu kalau ada Syi’ah mengkafirkan shahabat, maksudnya adalah dari imamah dan kepemimpinan Imam-Imam makshum as. (jadi masih muslim karena tidak kafir dari Allah, Nabi saww, Kiamat, Kitab-kitab Ilahi dan seterusnya). Tapi kalau di hadits-hadits Bukhari dan

Muslim ini, maka maksud pengkafiran shahabat ini adalah dari Islam, yakni menjadi Murtad. Kan beda jauh dari keduanya itu, lalu mengapa sikap yang diambil beda jauh dan tidak adil terhadap Syi’ah???!!!!?

  • (f). Kalau masalah Ushulfikih, lah ..lucu amat. Di Sunni saja banyak perbedaan, terus mengapa kalau Syi’ah memiliki kaidah sendiri? Lagi pula tidak semua kaidah itu berbeda. Biasanya lebih banyak samanya dengan bedanya.

Misal bedanya, kalau di Sunni boleh pakai kiyas dan bahkan harus. Tapi kalau di Syi’ah tidak boleh. Karena qiyas adalah meminjam hukum yang ada untuk dipakai ke benda-benda lain yang mirip dan tidak memiliki hukum. Di Syi’ah hal ini terlarang. Karena kalau demikian, sama dengan meyakini bahwa hukum Islam itu ada kurangnya, Qur'an dan hadits itu ada kurangnya, sehingga hukumnya tidak mencakupi semua hal. Misalnya tidak mencakupi durian, komputer, pesawat ...dst. Dan kalau hukum Islam itu tidak mencakupi semua itu, berarti ia kurang dan tidak layak jadi agama terakhir karena dunia dan budaya itu luas serta benda-benda itu bukan hanya di Arab dan juga akan ditemukan oleh mansuia atau dibuat manusia.

Kalau di Syi’ah, semua ajaran Islam itu sudah ada untuk apa saja sampai hari kiamat. Karena itu, tidak boleh melakukan kiyas. Jadi, harus dicari di Qur'an dan hadits-hadits hal-hal yang sesuai dengan benda yang tidak ada di Arab itu dan/atau belum dibuat manusia itu. Itulah mengapa di Syi’ah keberadaan mujtahid itu harus ada di setiap jaman. Tapi kalau di Sunni mujtahid itu sudah dilarang dan hanya pada 4 orang dimana yang lainnya dimustahilkan dan dilarang mengaku mujtahid.


(3). Penutup:

  • (a). Saya walaupun tidak mewakili Syi’ah, tapi meyakini Syi’ah dan sudah banyak menulis tentang apa saja ajaran Syi’ah ini di fb ini sesuai dengan kemampuan yang cetek ini. Kalau antum ada waktu silahkan mengunjunginya.

Syi’ah ini tidak bisa disamakan dengan ajaran sesat ahmadiah karangan Mirza Ghulam Ahmad yang sesat dan mengaku Imam Mahdi as dan nabi Isa sekaligus itu. Karena Syi’ah adalah ajaran Nabi saww sendiri, bahkan penamaannya, walaupun yang dimaksudkan adalah maknanya. Bisa dilihat di beberapa tafsir Sunni seperti Suyuuthi, dalam al-Durru al-Mantsuurnya:

Jabir ra berkata: Kami sedang bersama Nabi saww, lalu datang Ali as, lalu Nabi saww bersabda:

”Demi nyawaku yang ada ditanganNya, sesungguhnya orang ini dan SYI’AHNYA (pengikutnya) adalah orang-orang menang di hari kiamat.” Lalu turunlah ayat: ”Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, maka merekalah sebaik-baik manusia.” (QS: 89: 7).

  • (b). Syi’ah walau Imam-Imamnya saja dibunuhi, tapi ketika mendapat kemenangan, tidak pernah mengusik para muslimin yang lain yang tidak menentang pemerintahan hukum Islam. Bahkan di Iran, di beberapa kota yang mayoritas Sunni, dibolehkan menghukumi perkara- perkara mereka, baik kriminal dan sebagainya, dengan hukum Sunni. Yang penting Islamnya. karena itu, Syi’ah selalu mengajak bersatu untuk menghadapi kafirin yang tidak peduli Sunni-seperti Palestina- atau Syi’ah seperti Iran. Karena kalau kita ribut sendiri, maka sudah pasti mereka yang untung karena memang itulah yang diinginkan mereka supaya negara muslimin tetap dijajah atau hartanya terus dikeruk. Lagi pula, bersatu, damai dan berakhlak baik, itu, adalah ajaran Islam. Artinya saling manahan diri dalam keberbedaan dan keberlainan, adalah ajaran tinggi islam. Tapi Islam juga tidak mengajarkan menerima apa-apa yang tidak dianggapnya benar. Tapi saling toleransi adalah ajaran Islam, karena Islam adalah la iqraaha fi al-diin, yakni tidak ada paksaan dalam agama. Masehi yang menyesatkan nabi Muhammad saja ditolirer, mengapa yang mengkritik shahabat tidak bisa ditolerir? Kan jadi tidak lucu?!!?

Sunni yang sering mendukung shahabat yang mengkritiki Nabi saww saja bisa dan boleh, mengapa yang mengkritiki shahabat terus tidak boleh dan tidak bisa??!!? (tentang kritikan shahabat pada Nabi saww itu, antum bisa lihat di sebab turunnya ayat hijab dimana kala itu Umar yang menasehati Nabi saww supaya istrinya pakai hijab, lalu Tuhan menurunkan ayat hijab itu, begitu pula di tempat-tempat lain seperti ketika Nabi saww mau menyolati orang munafik sampai Nabi saww ditarik-tarik oleh Umar supaya jangan menyolatinya karena munafik dan Tuhan mendukung Umar ...dan lain-lain). Kalau Sunni mau menerima hadits Abu Hurairah yang dihukum cambuk oleh Umar karena korupsi sewaktu menjadi gubernurnya Umar di Bahrain, lalu apakah mengikuti hadits-hadits riwayat Syi’ah yang begitu katatnya dianggap salah?

Nabi saja di Sunni dikritiki dengan melengos dan bermuka masam tanpa akhlak pada seorang buta, mengapa mengkritiki shahabat terus tidak boleh? Di Sunni Nabi saww dikritiki telah mengharamkan yang halal, lalu mengapa mengkritiki shahabat jadi tidak boleh? Nabi saww saja di Sunni dikatakan telah kencing berdiri di depan umum (shahih Bukhari 1: 62), lalu mengapa mengkritiki shahabat menjadi tidak boleh ??????!!!!!!!!?

Arti semua tulisan ini, adalah bahwa kita bukan hanya bisa, akan tetapi wajib bersatu sebagai sesama muslim. Tentu saja dalam keberbedaannya itu. Kalau semua sama, maka itu bukan persatuan namanya, tapi memang satu. Persatuan itu adalah berbeda akan tetapi saling tidak memaksa dan bahkan saling menolong dan menghormati. Tapi sudah pasti, kalau bicara dan diskusi ilmu, sudah tentu masing-masing madzhab boleh menyatakan keyakinannya terhadap madzhabnya sendiri bahwa ia benar dan yang lainnya salah. Tapi tidak boleh memaksakan kehendaknya pada orang lain dan sebisa mungkin saling tolong menolong dalam kehidupan sosial. Muhammadiah yang membid’ahkan dan menjahannamkan orang Sunni karena bid’ahnya, dan memusyrikkan orang Sunni karena berbagai perbuatan yang dianggapnya syirik, selama ini masih bisa hidup berdampingan, lalu mengapa bisa ada pembatasan pada Syi’ah??? Masehi yang menyesatkan nabi Muhammad saww saja, hidup senang dan damai walau bersebelahan dengan Sunni dan wahabi, tapi mengapa terus ada pembatasan pada Syi’ah? Kalau mau dialog, maka lakukan dengan baik, kalau tidak ketemu, mengapa tidak bisa saling tidak memaksa seperti pada sesaling berbedanya akidah, fikih dan bahkan agama selama ini di Indonesia???!!!!!?

Wassalam..


Tio Adjie: Mantabs. Allahu Akbar. Alhamdulillah Allah menganugerahiku dengan cahaya Ahlul Bayt. Salam.


Sinar Agama: Muhammad:

(1). Kalau ada yang tanya mengapa antum bershalawat pada Ahlulbait Nabi saww dalam setiap shalat antum? Saya sih ragu apa antum sadar atau tidak bahwa antum dalam melakukan kewajiban itu menyadari Aalu Sayyidinaa Muhammad itu apa? Ketahuilah, Syi’ah dan sunnah menyepakati bahwa mereka itu adalah Ahlulbait as yang dimulai dari Imam Ali, siti Fathimah, Imam Hasan dan Imam Husain as sebagai sebab turunnya ayat kemakshuman QS: 33: 33 itu.

Akan tetapi masih ada lagi yang belum lahir yang dimasukkan oleh Nabi saww ke Ahlulbait, yaitu Imam-Imam makshum lainnya yang 12 seperti yang ada di shahih Bukhari dan Muslim.

Nah, kalau antum sendiri tidak tahu siapa yang antum shalawati terus dalam shalat itu, dan tidak tahu sejarah yang antum shalawati itu, maka sudah jelas antum akan berkata seperti di atas itu.

Coba antum tahu bahwa mereka itu adalah Ahlulbait as, dan mereka itu tidak ada yang mati biasa melainkan dibunuhi oleh umat Nabi saww, baik shahabat atau tabi’iin, atau tabi’iinnya tabi’iin (raja-raja Bani Umayyah -Mu’awiyyah dan Yazid dan yang lain- dan Bani Abbas, maka sudah pasti antum akan lebih nyaring menangisnya ketimbang kita. Karena Ahlulbait as yang antum shalawati yang dititipkan Rasul saww kepada kita disisi Qur'an (”Kutinggalkan dua perkara berat kepada kalian, Kitabullah dan Ahlulbaitku”) supaya yang ada di hadits shahih Muslim dan lain-lain-nya, maka sudah pasti akan meratapi sebagaiamana Rasul saww yang banyak sekali di riwayat Sunni yang telah menangisi sejak lahirnya Imam Husain as karena diberitahu Allah melalui malaikat Jibril as bahwa Imam Husain as akan dibantai oleh umatnya sendiri.

(2). Ahlulbait as itu tidak perlu ratapan kita. Tapi ratapan itu untuk kita sendiri. Karena yang tidak menangisi keluarga Nabi saww yang dibantai padahal beliau saww menitipkannya kepada kita, maka ia sudah pasti tidak tahu terima kasih kepada beliau saww. apalagi kalau berpihak kepada shahabat dan tabi’iin yang membatainya. Kita akan lihat nanti di akhirat bagaimana antum menjawab pertanyaan Nabi saww terhadap hal ini.

December 31, 2011 at 7:58pm


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar