Tampilkan postingan dengan label Ibnu Arabi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ibnu Arabi. Tampilkan semua postingan

Senin, 30 Juli 2018

Wahdatu Al-Wujud (Bagian: 1)



Seri Tanya – Jawab: Anggelia Sulqani Zahra dan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, December 14, 2010 at 8:31pm 


Anggelia Sulqani Zahra” dan Ustad’ Sinar Agama 

Anggelia Sulqani Zahra: Ustad. Apa hubungan antara wahdatul wujud dalam pandangan Ibnu Arabi dan Filsafat Hikmah Mulla Shadra..? 



Sinar Agama : Karena kebetulan saya sudah mempelajari buku Mulla Shadra yang 9 jilid itu dan begitu pula Ibnu Arabi, yakni Fushushnya. 


Untuk Mulla Shadra, dalam bukunya itu memiliki banyak peringkat penjelasan tentang hakikat/ ada yang umum diketahui orang tentang konsepnya tentang wahdatul wujudnya adalah bahwa wujud itu memiliki satu makna. 

Pohon ada, manusia ada, air ada... dan seterusnya, menggambarkan adanya dua hal, ada dan kepohonan pohon yang biasa disebut esensi. Jadi, setiap sesuatu yang terbatas memiliki 2 hal, ada dan esensinya, sekarang, ada itu yang ditanyakan, memiliki satu makna atau banyak makna sebanyak esensinya? 

Dengan argument yang panjang lebar dibuktikan memiliki ”satu makna”, karena lawannya juga satu makna, yakni ”tiada”, karena kalau ”tiada” memiliki banyak makna, berarti berbeda dan yang berbeda pasti ”ada”, bukan ”tiada”. 

Dengan demikian, karena ”tiada” itu satu dan dia lawan ”ada”, maka berarti ”ada” ini juga satu. 

Inilah yang disebut dengan ”Wahdatulwujud” dalam filasafat Mulla Shadra. Dari sinilah teori ini mengepakkan sayapnya ke-mana-mana. 

Seperti Gradasi Wujud, ...dan seterusnya. Dari teori ini, dapat dipahami bahwa Wujud ini satu, tetapi dalam satunya itu bergradasi dan bertingkat, dimana yang tertingginya adalah Tuhan sebagai wujud yang tidak terbatas. Di sin wujud, dalam satunya terdapat banyak, dan dalam banyaknya terikat dengan satu makna. Tetapi wahdatul wujud dalam irfan, adalah wujud itu hanya satu dan tidak ada tingkatan di dalamnya. 

Dalam teori irfan wujud itu hanya satu dan tidak bertingkat, Dialah Allah, dan yang lainnya tidak ada, karena mereka hanya esensi belaka. 

Jadi, wujud esensi yang dikira milik esensi dalam filsafat, dalam irfan adalah milik Tuhan. Jadi, esensi tidak ada, dan yang ada hanya Dia. 

Ini sekelumit tentang beda keduanya. 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad. Jika esensi tidak ada lalu dimana dapat dikenali wujud-wujud partikular....? Terus apakah dengann seperti itu predikat air, manusia, hewan tumbuhan, sesuatu yang tidak memiliki relitas...? 

Sinar Agama : Kalau tulisanku itu dibaca dengan baik, maka dapat dengan mudah memahami akan dua hal yang terkandung dalam setiap esensi atau wujud-wujud terbatas, dan bisa mengatasi dua tanyamu ini. 

Jawaban untuk yang pertama bagian pertama, sama dengan pertanyaanmu yang ke dua, yakni esensi-esensi itu sama sekali tidak memiliki wujud atau realitas. 

Jawab untuk tanyamu yang pertama bagian ke dua adalah kita dapat mengenali esensi- esensi itu di alamnya sendiri, yakni di akal dan di kewajahannya bagi wujud. 

Dalam akal kita dapat mengenali semua esensi-esensi tersebut. Ini mudah. Tetapi mengenali kewajahannya bagi wujud, mungkin tidak terlalu mudah. Ketika esensi-esensi itu kita jauhkan dari wujud, karena dia memang bukan wujud dan wujud bukan pula esensi, karena keduanya adalah dua hal yang berbeda, maka jelas esensi tidak lagi memiliki makna wujud. 

Dengan demikian keberadaan atau kewujudan esensi seperti pohon, adalah bukan esensi yang wujud atau pohon yang wujud, karena, sekali lagi, esensi itu bukan wujud sebagaimana maklum. 

Terus apa? Jawabannya adalah ”wajah” dari pada ”wujud”. Jadi, kalau orang biasa melihat pohon, dia akan berkata bahwa ”pohon itu ada/wujud”. Tetapi kalau seorang arif melihat pohon, maka dia akan berkata ”Wujud itu di sini berwajah dengan pohon” atau ”wujud itu di sini mengenalkan dirinya dengan pohon”. 

Dengan demikian dapat dipahami bahwa esensi-esensi itu tidak memiliki realitas/wujud, tetapi menjadi wajah, bayang, cerita dan cermin dari pada wujud itu sendiri. 

Dalil wahdatu al-wujud ala irfan seperti irfannya Ibnu ’Arabi: 

Dalilnya sangat mudah dipahami, tetapi sangat sulit diterima, yaitu ketidakterbatasan wujud Tuhan. Kalau Wujud Tuhan itu tidak terbatas, maka tidak mungkin ada wujud lain yang terbatas. 

Karena adanya wujud lain yang terbatas, akan membatasi ketidakterbatasan wujudNya. Ketika ada air yang tidak terbatas, bisakah ada air lain segelas, setetes atau seperseribu tetes? Atau mungkinkah ada gelas, pohon, manusia, ikan, dan seterusnya..? 

Dengan demikian wujud itu hanya satu, yaitu ”WujudNya”, dan semua esensi itu hanyalah ”BayangNya”, ”WajahNya”,”IdentitasNya”, ”CerminNya”. Semua nama-nama ini tidak dikarang oleh para ’arif, tetapi diangkat dari ayat-ayat dan riwayat, walau dari sisi dalil akalnya, jelas juga bahwa tidak ada masalah dengan penyebutan-penyebutan itu. 

Dengan penjelasan-penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Wahdatulwujud Mulla Shadra beda jauh dengan Wahdatulwujud irfan. 

Tetapi bukan berarti Mulla Shadra anti Wahdatul wujudnya irfan. Justru beliu/Mulla Shadra satu- satunya filosof yang bisa membuktikan kebenaran Wahdatul wujud ala irfan itu. 

Makanya beliau dikenal dengan ”pembertemu” filsafat dengan irfan. Tetapi pembertemuannya itu bukan di Wahdatul wujud filosofis itu. Karena yang dalam filosofis itu, dimana saya sudah menjelaskan di atas, jauh beda dengan yang di irfan. Karena yang dimaksudkannya di filsafat adalah ”wahdah/satu” dalam ”Makna Wujud” yang, mengandungi banyak sekali wujud-wujud yang banyak, hal mana beliau menyebutnya, ”Satu dalam Banyak dan Banyak dalam satu”. Dan dari sinilah beliau lalu membedakan wujud-wujud yang banyak dalam satu itu, dengan derajat wujud itu sendiri, bukan dengan esensi yang sudah di tendangnya keluar dari gelangang wujud sebagaimana sudah diterangkan di atas. 

Dan dari sinilah konsep beliau mencuat ke permukaan bumi pengetahuan apa yang dikenal dengan ”Gradasi Wujud”. Maksudnya ”Wujud-wujud yang Berderajat yang mana Beda Derajatnya itu Dibedakan dengan Tingkatan Wujudnya dan bukan dengan Esensinya”. Sebagian orang yang tidak lengkap belajarnya hanya mengira bahwa ”Gradasi Wujud”nya Mulla Shadra, hanyalah ”Tingkatan Wujud”, padahal ”Tingkatan Wujud Karena Wujud dan Bukan Karena Esensi”. 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad. Tolong dijelaskan maksud anda: 

Wahdatulwujud Mulla Shadra beda jauh dengan Wahdatulwujud irfan. Tetapi bukan berarti Mulla Shadra anti Wahdatul wujudnya irfan’ Justru beliu/Mulla Shadra satu-satunya filosof yang bisa membuktikan kebenaran Wahdatul wujud ala irfan itu. Apakah tidak berkontradiksi...? Lalu apa perbedaannya dengan konsep pantheisme......? 

Sinar Agama : Terus dimana Mulla Shadra membuktikan Wahdatul wujudnya irfan? Di jilid 2 buku Asfaru al-Arba’ahnya. Yakni di bab tentang ”Sebab-akibat”. 

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa sebelum Mulla Shadra wahdatul wujud irfan tidak bisa dibuktikan dengan dalil-dalil akal, dan hanya dengan ”Kasyf”. 

Sebenarnya mereka sudah banyak berusaha membuktikannya dengan akal, tetapi belum mampu karena mereka biasanya rata-rata tidak mementingkan selain mencapai ”fanaa’ ” hingga kurang mendalami teori-teori akal. 

Ibnu ’Arabi sebenarnya bisa dikata telah banyak mengilhami Mulla Shadra hingga mencapai penemuannya itu. Dan Mulla Shadra sangat hormat dan mengguru kepadanya melalui kitab- kitabnya. 

Tetapi sekali lagi, bukan di wahdatul wujud ala filsafat itu Mulla Shadra membuktikan kebenaran Wahdatulwujud ala irfan, tetapi di bab ”Sebab-akibat”, dan maksud Mulla Shadra mencuatkan Wahdatulwujud ala filsafat itu bukan untuk membuktikan kebenaran wahdatulwujud ala irfan ini, bukan sama sekali. 

Jadi, keduanya berbeda jauh dan tidak saling berhubungan. Walau demikian dapat pula dijadikan pengantar, agar lebih mudah untuk memahami wahdatulwujud ala irfan. Yakni kalau seseorang memahaminya secara filsafat maka akan lebih mudah memahaminya secara irfan, tetapi bukan sama dan berhubungan. 

Dengan dalil ”Ketidak Terbatasan Wujud Tuhan” yang saya bawa di sini, adalah penemuan Guru Besar saya yang tidak bisa saya sebutkan namanya di sini. Beliau seorang penerus dari Mulla Shadra yang juga mengguru pada Ibnu Arabi melalui kitab-kitabnya. 

Sebenarnya, kalau anda teliti dan melepaskan dulu pikiran-pikiran atau info-info sebelumnya dan mencoba untuk memahami yang saya urai dengan maksud saya sesuai dengan mukaddimah- mukadimahnya, bukan sesuai info-info anda, maka saya rasa sangat mudah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan anda tersebut. 

Apapun itu, kalau ternyata memang masih ada hal, silahkan komentar lagi, semoga saya bisa membantunya. Sekali lagi cobalah untuk memahami yang saya tulis tanpa memaknainya dengan info-info sebelumnya dari yang anda dapat. 

Dengan penjelasan-penjelasan di atas dapat dipahami jauhnya konsep wahdatulwujud irfan ini dengan panteisme. Karena yang pertama menyatakan bahwa hanya Tuhan yang Ada yang, berarti menyatakan ke-Tiadaan alam/esensi dan hanya menyisakan kewajahanNya bagi Ada, dengan yang ke dua menyamakan alam denganNya dimana berarti menganggapnya ada sebagaimana Dia atau 

bahkan menyatakan ke-Tuhan-an alam/esensi. 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad. mohon dijelaskan perbedaan : 
yang dimaksudkannya di filsafat adalah ”wahdah/satu” dalam ”Makna Wujud” yang, mengandungi banyak sekali wujud-wujud yang banyak, hal mana beliau menyebutnya, ”Satu dalam Banyak dan Banyak dalm satu”. 
dengan : phanteisme: menyamakan alam denganNya dimana berarti menganggapnya ada seba- gaimana Dia atau bahkan menyatakan ke-Tuhan-an alam/esensi.? 
Bukankah keduanya berakhir pada wujud eksistensi...? 

Sinar Agama : Maksud pernyataan pertama adalah: Mengakui keberadaan Tuhan dan lainnya, walau dalam makna wujud adalah sama dan satu. Inilah yang disebut dengan wahdatulwujud ala filsafat yang berakhir pada eksistensi. Tetapi ingat, bahwa berakhir pada eksistensi yang banyak yang, satu sama lain dibedakan derajat wujudnya, bukan dengan esensi sebagaimana maklum. 

Sementara pernyataan ke dua adalah: Tidak mengakui adanya apapun kecuali Tuhan yang karena ketidak pahaman mereka mengatasi kenyataan alam ini, mereka lalu mengatakan bahwa alam ini adalah Tuhan. Jadi, jauh beda dari kedua pernyataan itu walau keduanya berakhir pada wujud. 

Akan tetapi yang pertama, pada wujud yang banyak, dan yang ke dua pada wujud yang satu. Sekalipun panteisme ini, sebagaimana yang sampai kepada kita-kita, pada akhirnya tidak mampu menyelesaikan konsekwensi dari wahduatulwujudnya. Yakni ketika ditanya, kalau ada itu hanya Tuhan, terus kita-kita dan alam ini apa? Mereka menjawab, Tuhan. 

Beda halnya dengan irfan Ibnu ’Arabi dan Mulla Shadra, mereka mengatakan bahwa kita dan alam ini adalah tajalliNya, WajahNya. Ingat, semua orang memang membahas wujud dan akan berakhir kepada wujud, tetapi beda semua ilmu-ilmu itu. 

Bukan di wujud itu, tetapi di banyak dan satunya wujud tersebut. Dan beda sufisme (seperti panteisme) dengan irfan atau sufi yang hakiki seperti yang dibawa Ibnu Arabi dan Mulla Shadra, bukan terletak di ada yang satu, tetapi di bagaimana menjawab tentang alam ini. 

Dimana di panteisme dikatakan Tuhan hingga muncul perkataan Ana al-haq/saya tuhan”, sementara di Ibnu Arabi dan Mulla Shadra dikatakan sebagai ”Tajalli dan WajahNya”. Dan ingat juga, bahwa yang kita bicarakan ini hanyalah kata-kata belaka, bukan irfan yang sesungguhnya. 

Karena kita yang masih suka dunia halal, surga dan kebaikan-kebaikan, tidak mungkin merindukan ”ketiadaan”. 

Dan supaya tidak kepalang tanggung, tolong baca sekalian diskusiku tentang antologi yang dibawa amran abstrack di statusku. 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad’ apakah ada perbedaan pengetahuan/pemahaman dengan yang diketahui/dipahami...? 

Sinar Agama : Pertama, kalau tidak beda berarti tidak perlu ditanyakan. Pertanyaan anda ini menunjukkan secara fitrah kepada adanya perbedaan itu. Namun, dilihat dari eksistensinya, bukan dari esensinya. Karena kalau beda dalam esensi, berarti semua informasi kita, salah semua. Dan kalau tidak tidak beda maka kita segera akan mati kala mengerti dan membayangkan api. 

Ilmu yang saya terangkan barusan ini adalah ilmu-ilmu Hushuli atau Gambaran, bukan Hudhuri atau kehadiran. Jadi, dalam ilmu tersebut yang hadir dalam akal kita adalah gambaran dan copy- annya, bukan asli obyeknya. 

Ke dua, kalau ilmu-ilmunya itu adalah Hudhuri, yakni obyek ilmunya yang hadir dalam akal, maka ilmu dan obyeknya adalah sama, karena yang hadir sebagai penginfo bukan gambarannya, akan tetapi dianya sendiri. 

Ke tiga, wahdatulwujud ala Mulla Shadra dalam filsafatnya adalah dari golongan ilmu Hushuli atau ilmu/info yang datang ke akal kita melalui gambaran obyek infonya, bukan infonya sendiri secara langsung. Tetapi wahdatulwujud ala Mulla Shadra dalam irfannya adalah dari golongan ilmu Hudhuri alias yang penginfoannya melalui obyeknya langsung. 

Allah dalam banyak ayat-ayatNya seperti QS:2:126; 2:285 dan sekitar 21 ayat lainnya menggunakan kata Mashir (menjadi) untuk kembalinya manusia kepadaNya, bukan masir (berjalan/menuju). Tentu ayat-ayat ini saya bawa di sini sebagai penguat dalil akal kita ini, bukan sebagai pemaksa anda untuk terima, tetapi hanya sebagai pereda ketakutan akan kebenaran dalil akal kita ini manakala hal itu terjadi, supaya tidak seperti para wahhabi yang terus anti pati dan mengecam para arif. Allah dalam ayat-ayat tadi, baik bagi orang yang akan ke neraka atau ke surga, memakai kata-kata Mashir alias menjadi. Hal itu karena memang kembalinya manusia itu kalau bukan menjadi hakikat murkaNya, akan menjadi hakikat RidhaNya. Jadi, dua-duanya menjadiNya. Tetapi karena Tuhan mengatakan (dan akal juga mengatakan hal yang sama) bahwa ”menjadi kepadaNya”, bukan ”menjadiNya”, maka selamanya manusia tidak akan pernah mencapaiNya, sekalipun menjadi kepadaNya, bukan menujuNya. 

Simpulan, semua ilmu, apa saja, baik tentang alam, agama, akhirat dan Tuhan, manakala kita membahasnya, bukan mencapainya, maka berarti ilmu-ilmu kita itu adalah Hushuli alias info yang melalui gambaran obyek infonya, sekalipun ilmu-ilmu kita itu adalah wahdatulwujud irfani. 

Oleh karena itu cocok sekali dikatakan pahaman. Di sini, sudah pasti obyek pahaman dan pahamannya berbeda, tentu dalam eksistensinya, bukan pada esensinya sebagaimana sudah diterangkan. 

Akan tetapi, kalau ilmu-ilmu itu bukan dalam bahasan dan lamunan, tetapi dalam capaian, maka ilmu-ilmu tersebut termasuk wahdatulwujudnya itu, sudah pasti sama dengan obyeknya. Yakni ilmu = hakikat obyek ilmunya. 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad’ jadi apakah perbedaan wujud satu dengan wujud lain harus dikembalikan kepada persamaannya...? 

Sinar Agama : Kamu bertanya apakah perbedaan wujud itu harus dikembalikan pada persamaannya? 

Jawab: Wujud yang mana dan ala siapa dan dalam tingkatan apa?. Kalau dalam tingkatan umum yang mungkin seperti kita-kita ini, atau juga ilmu Kalam, maka perbedaannya dikembalikan kepada esensi. Tetapi kalau Mulla Shadra di filsafatnya maka dikembalikan ke derajat wujud itu sendiri, dan inilah yang dikatakan Gradasi/tasykik. Akan tetapi kalau Mulla Shadra di irfannya, maka tidak ada perbedaannya, karena wujud hanya satu, titik. Yakni tidak tidak ada tingkatannya, sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya. 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad’ jika Kebenaran adalah : bersesuaiannya antara ide/pikiran/ konsep manusia dengann realitas.....? bagaimana maksud dari bersesuainya......? 

Sinar Agama : Kamu bertanya apa maksud berkesesuaiannya ilmu dengan realitas itu. 
Jawab: realitas itu adalah hakikat dan dia memiliki dua macam, pertama adalah esensi sebagai realitas batasan atau ilmu atau ide atau juga nyata kalau berbaju kenyataan karena tidak semua esensi memilikinya seperti gunung berlian, dan yang ke dua adalah eksistensi sebagai realitas nyata. 

Ilmu itu dikatakan benar manakala esensi yang ditangkap akal persis sama dengan esensi yang ada di alam nyata. Dan akan dikatakan salah manakala sebaliknya. Dan hal seperti ini hanya ada di ilmu-ilmu Hushuli yang memang memiliki kemungkinan salah. Karena yang datang dan ditangkapnya adalah copy-an dari esensi nyatanya. Tetapi kalau dalam ilmu-ilmu Hudhuri, maka tidak mungkin salah karena yang datang dan tertangkap adalah hakikat nyata dari esensinya itu. 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad’ maaf..... Akan tetetapi, kalau ilmu-ilmu itu bukan dalam bahasan dan lamunan, tetapi dalam capaian, maka ilmu-ilmu tersebut termasuk wahdatulwujudnya itu, sudah pasti sama dengan obyeknya. 

Dan kalau tidak tidak beda maka kita sgr akan mati kala mengerti dan membayangkan api. 

Sinar Agama : Anda bertanya bukankah kita akan mati kalau kita memiliki ilmu hudhuri tentang api? 

Jawab: Ilmu Hudhuri itu adalah ilmu yang mendatangkan hakikat obyek yang diketahui. Penghadiran seperti ini, kebanyakannya, hanya dapat didapat oleh sebab terhadap akibatnya. 

Walaupun Mulla Shadra ra ada dua jalan lagi yang tidak perlu dibahas di sini karena tidak nyangkut. Nah, ketika manusia memiliki ilmu-ilmu Hudhuri dengan suluknya atau proses ”menjadi kepadaNya’ tadi itu, maka berarti manusia sudah mencapai derajat sebab dari ilmu-ilmunya itu. 

Dengan demikian mana mampu akibat membunuh sebabnya? Mana mampu yang namanya akibat mengalahkan sebabnya? 

Oleh karena itulah Nabi saww dikatakn dalam Qur'an sebagai Rahmatan lil ’alamin yakni rahmat bagi semua alam (materi dan non materi, di masa lampau atau akan datang, dunia atau akhirat) karena beliau saww sudah mencapai derajat yang tidak ada lagi derajat lain di atasnya. 

Jadi, beliau adalah sebab bagi semua alam, artinya sebab perantara Tuhan untuk menyentuh yang dibawahnya. Kalau sudah demikian, mana mungkin yang namanya akibat bisa berefek pada sebabnya? Apalagi membunuhnya? 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad’ bukankah perbedaan derajat wujud tersebut bukan hal lain selain wujud itu sendiri....? sehingga perbedaannya dikembalikan pada persamaannya yakni wujudnya... 

karena esensi tersebut jika dipadang dalam kontes wahdat al wujud adalah wujud itu sendiri.... 

Sinar Agama : Esensi yang dipandang sebagai wujud dalam pandangan wahdatulwujud, adalah sufi panteis yang jelas-jelas tidak ada dasarnya. Anda mau lari dari panteis atau mau memasukinya? Anjuran saya, print tulisan-tulisan saya itu dan baca sambil direnungi, supaya dapat dipahami berbagai pandangan tentang wujud tersebut.? 
Tentang lari dan panteis: 

Dan sekarang saya akan Jawab pertanyaan-pertanyaanya. Tentang panteis itu kan anda sendiri dalam mendebat dalil saya mengatakan ”..lalu apa bedanya dengan konsep panteisme?” 

Kata-kata anda ini menunjukkan tidak setujunya Anda dengan panteisme dan, sudah tentu Anda lari darinya. Tetapi ketika Anda mengatakan bahwa: ”bukankah perbedaan derajat wujud tersebut bukan hal lain selain wujud itu sendiri....? sehingga perbedaannya dikembalikan pada persamaannya yakni wujudnya...karena esensi tersebut jika dipadang dalam kontes wahdat al wujud adalah wujud itu sendiri....”, di sini, berarti telah memasuki panteisme itu sendiri, karena telah menyamakan semua esensi dengan wahdatulwujud yang, dengan kata lain adalah Tuhan. 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad’ para filosof sering menamakan Nur Muhammad sebagai Akal-1, menurut anda....? Kenapa bisa dikatakan akal...? 

Sinar Agama : Kalau saya bertanya kepada Anda, dimana dan siapa yang mengatakan bahwa Akal-1 itu adalah Nur Muhammad? apakah anda mampu menjelaskannya? 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad’ okey kita lupakan saja tentang akal 1..... 

Sinar Agama: Dalam riwayat setidaknya ada dua keterangan tentang awal ciptaan ini, ada yang mengatakan Nur Nabi saww, ada yang mengatakan Akal yang diperintah berpaling maka dari berpaling begitu pula sebaliknya. 

Terlalu rumit bagi anda kalau saya jelaskan semuanya, karena mengerti semua ini sebenarnya memerlukan perjalanan ilmu kurang-lebih 30-35 tahun, itupun yang tiap hari dibimbing guru dengan segala argumentasinya. 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad’ berdasarkan apa ada katakan : Terlalu rumit bagi anda kalau saya jelaskan semuanya,...? Jika demikian...mohon maaf atas keterbatasan ilmuku..... 

Bisakah anda mengurai kerumitan-kerumitan yang saya akan hadapi dalam memahami penje- lasan-penjelasan anda ? apakah jumlah waktu tersebut merupakan persyaratan mutlak....? 

Sinar Agama : Dasar yang harus dimiliki oleh orang yang ingin tahu secara benar hakikat wahdatulwujud adalah: Mempelajari bahasa arab (karena buku aslinya bahasa arab) dan Logika yang, biasanya dicapai dalam 4 tahun. Lalu belajar ilmu Kalam (supaya kuat ilmu-ilmu lahiriah Islamnya) secara ringkas, sedang dan rinci yang, biasanya paling cepat dicapai dalam waktu 3-4 tahun. Lalu setelah itu belajar filsafat (supaya kuat pengetahuan dalil-dalil akalnya) secara ringkas, sedang dan rinci yang, paling cepat dicapai dalam waktu 11-18 tahun, baru setelah)itu belajar irfan yang ringkas dan rinci paling tidak 5-7 tahun. 

Pelajaran agama, jauh lebih ketat dari sekolah modern. Buku-buku yang tertera sama sekali tidak akan dapat dipahami oleh yang tidak memiliki mukaddimah-mukaddimah dengan benar dan baik. Dan maksud ”Paham” di sini bukan secara ”Gambaran”, tetapi benar-benar tahu sesuai dengan argument-argument yang ada dan merasakan karena tahu dasar-dasar pijakan argument- argumentnya itu. Bukan ”Tahu” dalam artian menggambarkannya yang, biasanya kalau ditanya dan didebat, tidak tahu harus menjawab apa, dan bisanya mengambil dari koceknya sendiri. Dan hal itulah yang telah membuat ajaran irfan dan shufi yang hakiki yang dibawa Ibnu Arabi menjadi ajaran-ajaran yang jauh dari yang diajarkan dan jauh dari akal dan agama. Mulla Shadra menjuluki mereka dengan ”Sok Shufi”, yakni ”Sok Ngerti ke-Shufian” 

Penjelasan saya ini bukan berarti mau membuat orang pesimis dan melarang diskusi, karena dari awal saya sudah mengajak Anda dan pembaca yang lain untuk berdiskusi tentang ini. Tetapi bukan pula berarti saya harus mengatakan bahwa semua tulisan-tulisan ini dapat dimengerti dengan baik dan argumentatif sampai ke akar-akarnya, dan dapat dirasakan lantaran tahu dasar- dasar argumentnya itu. Misalnya tahu dasar argument irfannya ini adalah filsafat fulan, dan dasar filsafatnya ini adalah Kalam dan Logika fulan. 

Memang untuk sekedar mencapai keyakinan diri dan jadi modal bersuluk, diskusi-diskusi ini bisa dijadikan modal, karena ianya sudah terbekali dengan argument-argument akal yang sudah diusahakan sesederhana mungkin dengan menghindari istilah-istilah yang sesungguhnya karena setiap istilah yang ada perlu kepada penjelasan dan argument. 

Sebenarnya, saya hanya ingin memberitahukan bahwa bahasan kita ini bukan mainan dan bisa dianggap enteng serta dapat dikuasai dengan baik tanpa mukaddimah-mukaddimah tadi. Bahasa kasarnya, harus tawadhu menghadapinya, dan jangan sesekali mengatakan sudah memahaminya dengan baik. Itu saja. Bahasan kita ini, dilihat dari ketidaklayakannya, jauh melebihi pembahasan kedokteran tentang bedah otak diantara orang-orang agama atau teknik mesin. Lalu apakah kalau kita membahasnya, yakni bedah otak atau jantung, kita akan mengerti sekalipun bahasanya Indonesia? 

Bahasa premannya (kasarnya), tawadhu’lah dan jangan merasa paham. Afwan. 

Dalam hal awal penciptaan ini ada beberapa kemungkinannya. Kalau hadits yang mengatakan akal tadi, berarti dia tidak bisa dikatakan sebagai Akal yang dikenal dalam filsafat. Karena dalam filsafat, Akal adalah Tenang dan Tsabit dan Tidak Memiliki Proses (perubahan dalam jaman), sementara Akal yang dalam riwayat, adalah wujud yang menerima perintah-perintah Tuhan dalam artian proses, seperti kemarilah dan berpalinglah dalam riwayat tersebut. Jadi, Akal-filsafat tidak sama dengan Akal-riwayat. 

Dan kalau dua hadits itu diterapkan, maka artinya Nabi saww adalah Akal-riwayat yang merupakan ciptaan pertama Allah, bukan Akal-filsafat. 

Padahal dalam filsafat Akal seperti itu adalah Akal-manusia, bukan Akal-filsafat atau Akal-Jabaruut. Dan posisi Akal-manusia itu ada di tingkatan Barzakh yang paling atas, yakni setingkat di bawah Akal-Terakhir, dan sangat jauh dari Akal-Satu. 

Namun demikian, walau apapun isyarat-isyarat hadits itu, tidak akan pernah mengurangi fadhilah Nabi saww, karena kalaulah benar adanya tafsir ini, berarti Tuhan ingin menjelaskan kepada kita bahwa yang pertama kali dicipta dari ”Makhluk”, bukan dari ”Urusan”. Yakni pertama kali yang dicipta dari ”alam materi” atau yang menyangkutnya/barzakh, bukan ”alam non materi”. 

Dalam filsafat ”alam non materi” tidak disebut ”makhluk”, tetapi disebut ”Amrun” atau ”Urusan” Tuhan, karena ”makhluk” artinya ”Bentukan” atau ”Membentuk”, sementara ”non materi” tidak berbentuk, terkhusus Akal-Akhir sampai dengan Akal-Satu. 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad’ kalau bisa lanjutkan penjelasannya... 

Sinar Agama : Jadi, apapun makna dari makhluk pertama itu, dan apapun kenyataan wujud- wujud itu, tidak dapat mempengaruhi fadhilah Nabi saww. Karena Nabi saww bergerak ”Menjadi” dari tanah ini menuju Tuhan dan menjadi hakikat derajat-derajat yang dicapainya sampai tidak ada lagi ciptaan melebihi dekatnya dengan WujudNya. Dengan ini, mau ditafsir apapun hadits tersebut, dan apapun kenyataan sesungguhnya dari keberadaan ini, tetap Nabi saww merupakan ”Yang Awal dalam Fadhilah” yang, oleh karenanya ”Yang Awal dalam Ciptaan”. 

Karena ketika seseorang mencapai yang tertinggi dan awal, seperti Akal-Pertama, mk ia menyatu dengannya, karena maqam-maqam dan derajat-derajat ini bukan kesepakatan, tetapi ”capaian”, ”menjadi” dan ”mashir”, apalagi ”Non Materi’ yang hukumnya adalah satu ditambah satu atau dikurangi seribu tetap satu karena tidak terikat dengan volume. Dan karena semua itu harus dicapai dengan ikhtiar, maka mungkin karena itulah Nabi saww mengatakan kepada Jabir ra ketika 

bertanya tentang Awal Ciptaan, bahwa yang pertama kali dicipta adalah ”Nur Muhammad”, yakni ”Hakikat yang dicapai Muhammad yang pada waktu belum diciptakannya Berupa Ilmu Tuhan alias Nur Muhammad”. 

Bahasa brutalnya adalah, yang pertama kali dicipta Allah adalah ”Maqam Nabi saww yang akan dicapainya nanti” yang, dibahasakan dengan Nur. Sedangkan dengan) mengapa Nabi saww yang jadi fokus dan bukan Akal-Satu? 

Jawabannya mudah, karena Akal-Satu memilikii maqam tersebut dengan kejadiannya, tanpa melakukan usaha apapun. Tetapi Nabi saww mencapainya dengan usaha yang gigih dengan modal yang sama dengan yang dimiliki orang lain. Oleh karenaanya jawaban Nabi saww terhadap pertanyaan Jabir as itu sudah benar, karena mengandung pendidikan dan merangsang orang untuk mencintai dan meniru Nabi saww. Silahkan kalau masih ada yang mau ditanya, tetapi usahakanlah untuk memahami sekalipun tidak menerimanya. 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad’ lalu apa perbedaan Irfan teoritis dan Irfan praktis....? 

Sinar Agama : Irfan Teori dengan Irfan Praktis adalah sama, yakni sama-sama Teori. 
Yang pertama ”Teori Pembuktikan Wahdatulwujud”, dan yang ke dua ”Teori Bimbingan Mencapai Wahdatulwujud” 

Orang yang mengerti seluk beluk, sekali lagi, seluk beluk ”Teori Pembuktian Wahdatulwujud” ini, bisa dikatakan sebagai ”Arif dalam Ilmu”. Dan orang yang memperaktikkan ”Irfan Teori” bisa disebut ”Pesuluk”. Dan orang bisa melakukan ini hanyalah orang-orang yang sudah bersih dari dosa, makruh, semua yang halal dan semua keutamaan-keutamaan seperti karomat, kasyaf dan surga. Yakni bersih dari dosa dan makruh harus bersih hati dan badannya, dan dari halal dan keutamaan-keutamaan itu harus bersih hatinya, yakni dari rasa suka. 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad’ maaf...Kalau Bisa Saya Dijelaskan Tentang : diktum yang ber- bunyi “al-majâz qantar al-haqiqah” 

Sinar Agama : Qantar atau qanthar? 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad’ Qantar atau qanthar? yang mana yang tepat...? silahkan... 

Sinar Agama : Saya rasa Qanthar? 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad’ iya,, mohon penjelasannya... 

Sinar Agama: Di tempatku signal/sinyal sering nggak bagus. Yang benar adalah Qantharatun yang bisa dibaca Qantharah yang berarti jempatan. Jadi, artinya Majazi adalah Jempatan Hakikat Sepertinya banyak juga masalah di dalamnya. Karena sepertinya banyak juga yang salah mengarti- kan dan menggunakannya. Ada juga bagian-bagiannya. 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad’ bisa saya dijelaskan: Sepertinya banyak juga masalah di dalam- nya. Karena sepertinya banyak juga yang salah mengartikan dan menggunakannya. Ada juga bagian-bagiannya. 

Sinar Agama : Asal kata Majazi adalah sesuatu yang bukan hakikatnya. Seperti kata ”Singa” yang dipakai untuk orang berani manakala kita berkata ”Saya bertemu Singa ketika sedang belanja di pasar”. Di sini kata ”Singa” tidak dimaksudkan hakikinya yang berarti binatang buas dan ganas, tetapi Majazinya yaitu ”orang pemberani”. Dengan penjelasan) ini dapat dimengerti pula makna ”Hakiki”nya, yakni suatu makna yang diambil dari asal ”kata” itu sendiri yang diletakkan atau disepakati pertama kalinya secara asal. Ini asal muasal Hakiki dan Majazi. 

Nah, dari sini baru meluas kemana-mana seperti ilmu-ilmu irfan atau ke-Tuhanan dalam tingkat tinggi ini. Yakni ketika semua sudah ketahuan bahwa selain Tuhan tidak ada, berarti yang kita lihat ini adalah ”Majazi”, karena Ada itu milikNya, tetapi kita nisbahkan/hubungkan kepada selainNya. Dengan demikian penisbahan wujud kepada selainNya adalah Majazi dan kepadaNya adalah Hakiki. 

Dalam hal ini masih benar, kalau ada orang berkata bahwa ”SelainNya adalah Jempatan Menuju- Nya”, yakni kalau diartikan bahwa ”SelainNya adalah WajahNya yang untuk mengenali atau menyadari keberadaanNya”. Atau juga dipakai dalam ilmu selain keTuhanan. Dikatakan bahwa ”Ilmu-ilmu selainNya, seperti matematika ...dst, juga wajib dipelajari karena mempelajari selainNya berarti mempelajariNya karena selainNya pada hakikatnya tidak ada yang, oleh karenanya mempelajari selainNya akan menjadi jempatan mengenaliNya”. Kata-kata dalam dua kategori di atas masih bisa dibenarkan. 

Akan tetapi, sepertinya, ada kelompok yang tidak memahami artinya atau sengaja menyelewengkan- nya untuk menutupi auratnya sendiri. Yakni yang mengatakan bahwa ”Untuk mencapaiNya perlu menggunkan selainNya, yaitu dengan mencintai dan melezati selainNya supaya dapat mencintai dan melezatiNya”. 

Jadi, bisa dikatakan bahwa yang golongan pertama dan ke dua, yakni menjadikan selainNya atau ilmu selainNya sebagai jempatan menujuNya adalah benar dan irfan serta sufi yang hakiki. Tetapi yang ke tiga, bisa ditakan sufi yang nyasar yang, bisa dijuluki dengan mutashawwifah, alias sok sufi, kata Mulla Shadra ra. Ada pertanyaan lagi? 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad’ pada saat saya membaca buku-buku akhlak dan irfan Saya menjumpai beberapa istilah teknis seperti “syariat”, “tarikat”, “hakikat”. bisa jelaskan ke tiga hal tersebut dan hubugan ke tiganya..? 

Sinar Agama : Bismillaah. Nabi saww dalam hadits Mustadraku Wasailu al-Syi’ah, juz: 11, hal: 173, hadits ke 12672, bersabda +/-: 

”Syariat itu adalah kata-kataku, Thariqat itu adalah perbuatanku, Haqiqat adalah keadaanku, Ma’rifat itu adalah modalku, Akal adalah dasar agamaku,... Cinta adalah dasarku, Kerinduan adalah tumpanganku, Takut adalah temanku, Ilmu adalah senjataku, Lembut adalah sahabatku, Tawakkal adalah bekalku, Qana’ah adalah harta karunku, Jujur adalah rumahku, Yakin adalah tempat berlindungku, Kemiskinan adalah kebanggaanku dan dengannya aku melebih banggakan dari segenap nabi-nabi dan rasul-rasul." 

Dalam tiga potong pertama hadits di atas, Anda dapati apa yang Anda tanyakan itu: Syari’at, Thariqat dan Hakikat. Pada tingkatan pertama adalah Syari’at yang, dita’birkan oleh beliau saww sebagai Kata-katanya. 

Kita bisa memahaminya sebagai ajarannya. Ajaran disini bisa mencakupi kata-kata dan perbuatan yang berposisi sama dengan kata-kata, yakni yang bersifat ajaran. Misalnya shalat beliau yang memiliki posisi sama dengan kata-kata beliau yang terucap dengan ”Shalatlah kalian sebagaimana aku shalat”. Di sini tentu Nabi saww, tidak memaksudkan kekhusukan beliau, karena jelas kita- kita tidak akan mencapainya. Tetapi yang dimaksudkannya adalah hukum-hukum lahiriahnya. Dengan demikian maka Syari’at adalah ajaran dan hukum-hukum yang telah diajarkan Nabi saww, baik melalui perkataan atau melalui contoh-contoh perbuatan yang berposisi sebagai kata-kata. 

Sedangkan Thariqat/jalan adalah peringkat setelahnya yang, memiliki makna perbuatan Nabi saww. Di sini yang dimaksud perbuatan, bukanlah perbuatan yang berposisi sebagai kata-kata alias pengajaran. Tetapi perbuatan yang memiliki kekhususan beliau. 

Oh....betapa... amal-amalan beliau dapat menyejukkan gelora api neraka sekalipun, apalagi sekedar kekurangan-kekurangan akhlak lingkunganya. Tentu bagi yang mau mengambil ibrah dan barakah. Tidak seperti wahhabi yang lontang lantung dengan sama sekali tidak peduli terhadap lingkungan dan udara yang dihimbuskan amal-amal Nabi saww, lalu berteriak sana-sini seakan merekalah nabi-nabi itu. 

Dengan uraian di atas, dapat dipahami bahwa tingkatan ke dua adalah amal-amal Nabi saww sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, bukan sebagai penjelas hukum sebagaimana peringkat pertama. Sedangkan dengan) peringkat ke tiga adalah keadaan Nabi saww atau Capaian dan Hal beliau saww. 

Oh... Ya Nabiyallah, percikkanlah setetes saja, atau sepersejuta tetes saja dari sejuta butiran air matamu, demi redakan kehinaanku yang bergejolak ini, yang membakari segala kebaikan sampai ke akar-akarnya. Kehinaan yang berawal dari kehinaan ilmu yang, dalam pada itu juga masih melahirkan keyakinan dan kebanggaan serta percaya diri. 

Oh ...ya Nabiyyallah, andai aku jadi pasir-pasir yang diatasnya engkau menginjakkan kaki, maka sudah cukuplah untukku, untuk kuyakini sebagai kebaikanku, dari pada kehinaanku sekarang ini, sekarang ini. 

Ya Nabiyyallah, kuhingarkan dan kubingarkan kesyi’ahanku, seakan aku sudah ada di dalam barisanmu dan barisan Ahlulbaitmu dari keduabelas imam makshummu. 

Kegenderangkan beduk wahdatulwujudmu seakan aku sudah tenggelam di dalamnya, padahal aku masih menyukai butir-butir nasi yang kumakan setiap hari, terlebih lauknya. Afwan kalau jawabanku ini bercampur keluhan hati, afwan. 

Dengan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa Keadaan atau Hal Nabi saww adalah capaiannya. Artinya capaian-capaian yang telah diperoleh Nabi saww dengan semua apa-apa yang telah dilakukannya dengan hukum yang benar dan prasyarat-prasyarat lahir batin yang benar pula, serta berada pada tahap paling tingginya syarat-syarat dan kondisi. Semua itu adalah syarahan pendek tentang makna dan arti dari masing-masing tingkatan. Sedangkan dengan hubungannya, sebenarnya, sangat jelas. Yaitu bahwa tingkatan awal/pertama dan/sebelumnya, adalah tingkatan dasar dan pondasis bagi tingkatan-tingkatan setelahnya. 

Artinya... orang yang belum mengamalkan syariat dengan benar, maka dia tidak akan pernah menyentuh tingkat ke dua, bagitu seterusnya. Karena darimana dan dengan dasar apa dia akan melakukan hal itu yang, katakanlah salah satu dari sejuta keadaan itu seperti khusyu’. Apa yang akan dia khusyu-i kalau tidak tahu dengan benar hukum-hukum dari amalan-amalan yang akan dilakukannya. 

Dengan demikian, maka syariat akan menjadi batu dasar bagi pijakan pesuluk. Mungkin ada orang bertanya, bahwa kalau sudah sampai di tingkat thariqat apa masih diperlukan syariat? 

Pertanyaan ini sebenarnya muncul dari ketidakpahaman hubungan antara sebab-akibat. Perta- nyaan ini persis seperti, menanyakan pondasi bangunan gedung bertingkat, bahwa setelah bangunan itu berdiri, apakah masih memerlukan pondasi? 

Dengan pendekatan ini maka jelas dapat dipahami bahwa pondasi dan/atau tingkatan sebelumnya akan selalu diperlukan pada tingkatan ke dua atau tingkatan-tingkatan berikutnya. 

Dengan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa syariat adalah dasar selamanya bagi thariqat dan hakikat, begitu pula thariqat bagi hakikat. Oleh karena itu seorang yang ingin menjadi pesuluk, maka harus belajar fikih dengan benar, baik taqlid atau ijtihad, dan selamanya perbuatannya harus diatas dasarkan pada hukum-hukum yang telah dipelajarinya itu. 

Dan jangan sesekali mengira bahwa tanpa fikih atau tanpa kesinambungannya, akan bisa mencapai thariqat atau langgeng di dalamnya. Karena kalau belum sampai, tanpa fikih yang benar, tidak akan pernah sampai, dan kalalu sudah sampai dengan fikih yang benar tapi tidak dipertahankannya maka amalan-amalannya akan batal seketika dan akan runtuh serta jatuh ke peringkat sebelumnya secara seketika pula, karena fikih adalah sebabnya. 

Tuhan dalam membuat hukum-hukum itu tidak kalaulah sia-sia dan permainan. Oleh karenanya semakin seseorang itu meningkat dalam suluknya, maka dia semakin taat dan bagus dalam berfikihnya. 

Oleh karena itulah sampai-sampai kaki Nabi saww bengkak karena kebanyakan shalat. Bagaimana mungkin, tanpa ketaatan hukum seseorang bisa mencapai peringkat setelahnya, atau bagaimana mungkin tanpa ketetapan hukum seseorang bisa tetap berada di tingkat setelahnya? 

Maksiat yang dapat menghancurkan manusia di peringkat syariat, dia juga menghancurkan siapa saja yang berada di tingkat setelahnya. Begitu pula tanpa mengerti hukum yang benar yang dapat mengganjal manusia melesat ke peringkat setelahnya, begitu pula dapat menurunkannya dari peringkat yang lebih tinggi itu kalau tidak dilanggengkan kedisiplinan hukumnya. 

Apa yang akan dikhusyu-i, dan apa dan bagaimana khusyu’ itu, perlu kepada pengertian hukum. Begitu pula tentang kelanggengan dan keistiqomahannya. Begitu pula hal-hal lain selain kekhu- syukan, seperti jujur, ikhlash, murah hati, memaafkan, thaharah, suci badan dan hati .dan seterusnya. 

Dengan semua penjelasan di atas dapat dipahami, bahwa kalau seseorang ingin melakukan suluk maka harus belajar fikih dengan benar dan mengamalkannya. Setelah itu atau dalam pada itu ia harus belajar dimensi batin dari hukum-hukum itu dengan benar pula, supaya bisa tahu dan mengejarnya, seperti ikhlash, khusyu’,tawadhu’....dst dimana hal-hal ini merupakan usaha mengetahui dan mencontoh perbuatan Nabi saww yang disebut dengan Thariqat. 

Kalau kedua hal itu dilakukan maka ia akan menyentuh apa-apa yang disebut Hal atau Keadaan. Tentu saja semua itu harus dilakukan dengan ikhlash, yakni bukan untuk mencapai apapun kecuali Allah. Sering orang ketika sedikit saja dibukakan tabir, atau seperti karomat-koramat keci/besar, dia sudah bangga dan merasa jadi musrsyid bagi yang lainnya. Seperti seorang raja dia telah membangun perguruannya. Padahal dengan semua itu dia berarti tergolong ke dalam penyinta dunia, sekalipun dunia di sini adalah batin, yakni semacam karomat-karomat atau kasyaf-kasyaf itu. 

Karena semua itu masih disenanginya di dunia ini. Pesuluk hakiki, sekalipun mampu melakukan yang tidak lumrah, tanpa perintah Tuhan dengan ilhamnhya, maka mereka tidak akan pernah melakukannya. Karena mereka selalu dalam latihan untuk tidak melihat diri, alias melatih diri untuk fanaa’ dan selalu dalam fanaa’. Bagaiamana mungkin seseorang akan mencapai fanaa’, ketika bisa sedikit saja melakukan keajaiban, dia sudah bertengger di situ? 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad’maaf.......jika saya bertanya lagi.....insya Allah saya akan meluangkan waktu untuk melakukan renungan atas jawaban-jawaban ustad..semoga Allah memberikan hida- yahNya agar saya dapat masuk dalam hikmahNya.... 

jika boleh saya bertanya lagi...: 
Apa yang menjadi latar belakang penolakan kaum teolog atas doktrin wahdat al-wujud? 

Sinar Agama : salam, kirain sudah tidur, apa masih bangun sekarang? bisa jawab? 

Anggelia Sulqani Zahra : okey...dilanjut.... 

Sinar Agama : Bismillaah. Saya tanya karena kukira sudah tidur. Tetapi kalau sudah tidur atau mau tidur, maka jangan tunggu jawabanku,. 

Biar kujawab terus dan baca besok. Saya tadi tanya hanya agak heran karena belum tidur dan ingin menyapa saja. 

Oh iya, jawabannya pendek-pendek karena lagi gangguan signal/sinyal. Kamu tidak usah menjawab apa-apa, kalau tidak tidur, 

Ada tahapan ilmu dalam mencari hakikat ke-Tuhanan, Teologi/Kalam, Filsafat dan Irfan/Gnosis. 

Teologi adalah cara memahami hakikat, termasuk Tuhan, melalui naql, yakni Qur'an dan Hadits. 

Teolog bisa dikatagorikan pada yang ekstrim, sedang dan ilmiah. Yang ekstrim, mengingkari semua ilmu lain. Mereka menolak semua cara selain Qur'an-hadits. Mereka juga menolak cara lain dari yang lahiriah dalam memahami keduanya. Mereka mengira bahwa yang mereka pahami tentang keduanya adalah benar-benar keduanya. Mereka ini biasanya gampang sekali menyalahkan dan menyesatkan orang lain, dan, mungkin juga menkafirkannya. 

Sebagian orang-orang sunni salafi, adalah bagian dari golongan ini, termasuk wahhabi yang munculnya beberapa ratus tahun yang lalu. Sedangkan golongan sedang berani menggunakan akal dalam memahami keduanya, tetapi keakalannya hanya sebatas yang umum-umum diantara manusia-manusia berakal yang, biasa disebut dengan akal-’urf/umum. 

Sedangkan dengan yang ilmiah, mereka berani menggunakan kaidah logika dan filsafat untuk memahami keduanya. Namun demikian, penggunaannya hanya di tempat-tempat yang mereka merasa harus memakainya, tidak di semua tempat. Oleh karenanya, di tempat-tempat yang merasa bahwa cukup dengan menggunakan akal-umum, mereka hanya menggunakan akal- umum dan tidak merasa perlu menggunakan logika-filsafat. 

Dengan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa ciri Kalam adalah berdasar kepada Qur'an dan Hadits dalam memahami hakikat. Sementara filsafat adalah metologi memahami hakikat dengan kaidah-kaidah akal-gamblang. Sebenarnya, bisa dikatakan sebagai pengemabangan logika. Kare- na logika cara menyusun pikiran, dan filsafat, adalah memahami hakikat dengan pikiran yang tersusun. Ringkasnya, filsafat adalah ilmu akal yang tujuannya memahami hakikat wujud. 

Kalau orang Kalam, merasa harus selalu menjaga lahiriah Qur'an dan hadits, hingga kalaulah menggunakan akal, maka sebatas yang diperlukan. Tetapi kalau filosof sebaliknya. Yang jadi pedoman adalah kaidah-gamblangnya. Yakni kaidah akal yang gamblang alias berbobot ilmu- mudah. Seperti kita ada, alam ada, kita dan alam sama-sama terbatas dst. Mereka yakin, bahwa tidak mungkin Qur’an dan hadits bertentangan dengan akal-mudah ini. 

Karena keduanya diturunkan untuk dipahami manusia dan akal kita ini dicipta Allah sebagai alat untuk memahami keduanya. Oleh karenanya para filosof menjadikan akal dasar dari pencariannya, dan kalau menjumpai Qur'an-hadits bertentangan dengan akal, maka mereka tidak ragu menak- wilnya. tidak seperti para Teolog. 

Sedangkan irfan, dulu, adalah cara untuk memahami hakikat dengan membersihkan hati dari cinta dunia. Tetapi sejak Mulla Shadra ra, temuan-temuannya sudah bisa membuktikan dengan filsafat dan akal. Tentu saja beda rasa diantara temuan keduanya. Artinya temuan irfan lebih afdhal karena dengan pencapaian, sementara dengan filsafat hanya pemahaman. 

Nah, setelah kita tahu semua itu, perlu diketahui, bahwa wahdatulwujud ini hanya temuan irfan/ sufi hakiki. Sementara filsafat, tidak dapat menjangkaunya, kecuali filsafat Mulla Shadra ra yang dikenal dengan Hikmah Muta’aliyah. Itupun hanya beberapa baris dari kitabnya yang 9 jilid itu. Jadi, tidak heran kalau ada pengajar filsafat Mulla Shadra tetapi anti pada wahdatulwujud irfani. 

Jadi, jangan dikira bahwa filsafat Mulla Shadra berisi wahdatulwujud irfan. Dia penuh dengan filsafat dan paling tingginya hanya wahdatulwujud filsafat. 

Maksud dengan penuh dengan filsafat yakni penuh dengan bahasan seperti sebab-akibat, esensi, substansi dan aksiden, gerak....dst..dimana merupakan bahasan filsafat. Maksudnya, penuh dengan pembuktian dan pembahasan mereka alias tentang semua wujud yang, di dalamnya termasuk wujud Tuhan. Jadi, filsafat, sekalipun filsafat Mulla Shadra, secara umum, mengakui dan membuktikan semua keberadaan selainNya. Oleh karenya, secara umum, filsafat tidak dapat menerima kenyataan wahdatulwujud irfani ini. 

Sekarang baru sampai kepada jawaban pertanyaan Anda: Bahwa kalau filsafat saja nasibnya seperti itu, maka Kalam dan Teologi sudah tentu lebih parah darinya. Oleh karenanya, secara umum, para Teolog menolak konsep wahdatulwujud ini. Oleh karenanya, Teologi tidak memiliki pendekat untuk menerima konsep wahdatulwujud ini dan bahkan menganggapnya sebagai konsep sesat yang bertentangan dengan akal dan Qur'an-hadits. Sekian.... Terima kasih 

Al-Fatihah- sholawat.. 


Sinar Agama: Salam, maaf Anggelia, terpaksa kuterbitkan lagi karena banyak yang mau, dan sepertinya sulit mencari di tempatmu, sepertinya sudah ada orang yang pakai namamu sebagai akun, dan lain-lain.





اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ