Kamis, 02 Agustus 2018

Suluuk Ilallaah- 2 (10-18 dari 300 tingkatan)





by Sinar Agama (Notes) on Monday, January 3, 2011 at 7:55pm


Pembukaan

1. Yang berminat kepada tulisan ini, harus membaca dulu tulisan Suluk Ilallah-1, dan berusaha memahami setiap pointnya, baik yang ada di pembukaannya atau di isinya. 

2. Tulisan ini, seperti sebelumnya (Suluk Ilallah-1), adalah tidak untuk disebar. Jadi, peminatnya hanya bisa memanfaatkan untuk dirinya sendiri dan dengan tanggung jawabnya sendiri pula. 

3. Siapapun tidak bisa mengamalkan tingkatan Suluk Ilallah-2 ini kecuali telah menyelesaikan Suluk Ilallah-1. Jadi, bahasa dan kata-kata yang ada disini, hanya untuk yang telah mengamalkan tingkatan-tingkatan Suluk Ilallah-1 dengan baik dan sempurna. 

Jadi, jangankan bagi yang belum bersuluk sama sekali, untuk yang sudah bersulukpun tapi yang belum menyelesaikannya dengan baik tingkatan-tingkatan yang ada di Suluk Ilallah-1, tidak berhak menafsirkan dan berusaha memahami kata-kata yang ada di Suluk Ilallah-2 ini. Kecuali sekedar dalam bentuk pahaman Hushuli (gambaran, wawasan dalam ide), dan itupun dengan mengkacamatai diri dengan tingkatan-tingkatan sebelumnya. Karena kalau tidak demikian, maka pasti akan salah memahami dan bisa saja seseorang dengan mudah kembali lagi ke dalam determinisme sesat. 

4. Pengamalan dari semua teori yang ada di tulisan ini dengan niat menuju terbukanya hijab yang menutupi kenyataan Wahdatulwujud, oleh karenanya, seseorang tidak bisa mengamalkan tingkat sesudahnya kecuali sudah menyelesaikan tingkat sebelumnya. 

Tapi kalau ingin mengamalkan hanya lahiriahnya dan kulit-kulitnya saja, yakni dengan niat menjadi orang baik dan masuk surga, maka memulainya dari Sadar, lalu Taubat dari dosa (bukan dari mubah, surga, karamat, dan lain-lainnya), lalu Menghisap dan menghitung pahala- dosanya (bukan suka halal, karamat, surga dan lain-lainnya), lalu Inabah dalam arti kembali memperhatikan dan menyintaiNya saja dengan perhatian dan cinta umum, lalu setelah itu Berpikir lalu Berdzikir......dan seterunya sampai ke tingkat akhir, maka boleh saja teori di sini ini dilakukan dan tidak perlu bersih dari dosa serta apalagi dari suka mubah. 

1-4. Kembali/al-Inabah 

Beda Taubat dan Inabah adalah kalau Taubat kembali dari maksiat sedang Inabah kembali kepada Allah. Jadi, Inabah lebih afdhal dari Taubat. Allah berfirman: 

dan kembalilah kalian kepada Tuhan kalian” (QS: 39: 54) 

Inabah, memiliki 3 tingkatan: kembali kepada al-Haq sebagai pembenahan sebagaimana kembali kepadaNya sebagai permohonan maaf (dari maksiat di tingkatan Taubat); kembali kepadaNya sebagai pemenuhan janji sebagaimana kembali kepadaNya sebagai janji; kembali kepadaNya sebagai keadaan sebagaimana kembali kepadaNya sebagai pemenuhan janji. 

(1-4-1). Kembali Sebagai Pembenahan 

Kembali sebagai pembenahan adalah memperbaiki perbuatan dan ketaatan, sebagaimana Taubat yang bermakna kembali dari perbuatan maksiat dan pelanggaran. 

Pekerjaan ini tidak akan terlaksana dengan benar kecuali dengan 3 hal: 

Hal Pertama, adalah membebaskan diri dari akibat-akibat dan konsekuensi dosa. Seperti dengan beristighfar, memelas kepada Allah, kalau dosanya kepada Allah. Atau dengan membayar denda aniaya (raddu al-mazhaalil), membayar qishash (sesuai dengan bagian yang dihilangkan dari seseorang, seperti mata, atau bahkan nyawa, sesuai dengan rincian yang ada di fikih), atau denda dan semacamnya, kalau dosanya kepada manusia. 

Hal ke dua, adalah merasa sakit atas kejatuhannya itu atau kejatuhan manusia lain. Artinya sedih dan menangisi dosa-dosanya, dan sedih dalam batinnya atas dosa-dosa orang lain sebagai simpati dan kasih sayang, sekalipun dosa dan kesalahan orang tersebut kepada kita sendiri. Karenanya harus memaafkannya dan jangan membalas keburukannya dengan keburukan pula. 

Hal ke tiga, adalah menutupi kekurangannya itu dengan mengqada semua kewajiban yang telah ia lalaikan, seperti shalat, puasa, zakat dan khumus dan semacamnya. 

(1-4-2). Kembali Sebagai Pemenuhan Janji 

Kembali sebagai pemenuhan janji ini juga tidak akan terjadi kecuali dengan 3 hal: 

Hal Pertama, adalah dengan melepaskan diri dari lezatnya dosa. Hal ini akan terjadi kalau kita telah merenungi hakikatnya dan merasa sakit dikala mengingatnya sebagai- mana dulu telah melezatinya. Karena terkadang seseorang masih merasa lezat ketika mengenang dosanya sekalipun dia sudah bertaubat darinya. 

Hal ke dua, adalah tidak menghinakan orang-orang lalai (dari dosa atau selainNya) untuk menakutinya, sementara di lain pihak selalu mengharap kebaikan dan pahala untuk dirinya sendiri, serta terhindar dari siksa. Akan tetapi harus takut terhadap diri kita sendiri akan bencana yang mungkin datang kepada kita akibat dari kelalaian dan maksiat orang lain itu, karena bisa karena kelalaian kita dalam amar makruf dan nahi mungkar, seperti dosa anak dan teman yang diakibatkan perkataan kita dll-nya. Begitu pula harus mendo’akan rahmat (hidayah) buat mereka dan memaafkan mereka, tapi tidak memaafkan diri sendiri. 

Hal ke tiga, adalah dengan menjauhkan apa saja yang bisa merusak pengabdian kita kepada Allah dan orang lain. Artinya menjauhkan hal-hal yang dapat mengotori pengabdian itu yang, biasanya disebut dengan penyakit ruh atau kurang sehatnya jiwa. Agar supaya kita terlepas dari semua keuntungan jiwa dan pamrih dan menjadikan pengabdian kita itu benar-benar pengabdian murni karenaNya, bukan sehat, kaya, pahala dan semacamnya. 

(1-4-3). Kembali Sebagai Keadaan 

Kembali sebagai keadaan adalah menyaksikan kebenaran atau mengaktualisasikan per- kataan dan tekad yang telah dibuatnya. Karena ia telah mengakui dosanya dan telah bertekad dan berjanji untuk bertaubat. 

Tahapan ini juga tidak akan terwujud kecuali dengan 3 hal: 

Hal Pertama, adalah dengan putus asa terhadap perbuatan dan usahanya sendiri. Artinya, ia melihat bahwa pelaku sebenarnya adalah Allah swt., bukan dirinya. 

Hal ke dua, adalah ketika ia melihat bahwa perbuatannya itu adalah perbuatanNya, maka ia akan melihat keperluan dan ketergantungannya kepadaNya secara hakiki. 

Hal ke tiga, adalah ketika ia telah melihat dengan nyata bahwa semua perbutan adalah perbuatanNya, maka ia mulai mencium sambaran petir Kasih dan TajalliahNya. Artinya, ia telah mencium bau wahdatulwujud. 

1-5. Berpikir 

Pikir atau Berpikir, adalah gerak akal dari yang diketahui menuju yang tidak diketahui. Artinya, mencari data yang ada di dalam akal dan menyusunnya dalam bentuk argument atau jawaban terhadap masalah yang sedang dipikirkannya. 

Allah berfirman: 

Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur'an (dzikir) untuk menjelaskan kepada manusia apa-apa yang telah diturunkan untuk mereka itu, supaya mereka berpikir” (QS: 16: 44). 

Jadi, secara Qur'ani, berpikir itu adalah wajib. Sedang obyeknya adalah apa-apa yang ada di dalam Qur'an. Dan yang ada di Qur'an, adalah semua keberadaan. Baik Tuhan Yang Maha Ghaib, Sifat-sifat Tuhan Yang Maha Tinggi, para malaikat tinggi yang ghaib dan non materi, para malaikat pengatur semesta, al-Lauhu al-Mahfuzh, ‘Arsy, Barzakh, malakut, alam materi, alam non materi, rejeki, dosa, pahala, surga, neraka, ...dst. Jadi, tak satupun ada yang tercecer untuk dipikir, dan apalagi tidak boleh dipikir, seperti Tuhan. Karena Tuhan termasuk apa-apa yang telah diturunkan dalam Qur'an, baik keberadaanNya, sifat-sifatNya atau perbuatanNya. 

Berpikir memiliki 3 tingkatan: 

(1-5-1). Berfikir dalam Hakikat Tauhid 

Karena berpikir adalah mengolah data yang ada dalam akal kita, maka berpikir tentang hakikat tauhid adalah mencari dan mengolah data akal kita untuk dijadikan dalil terhadap hakikat tauhidNya. 

Berpikir tentang hakikat Tauhid ini memiliki 3 konsekuensi: 

Konsekuensi pertama, adalah kejatuhan. Artinya, jatuh ke dalam kehinaan pengingkar- an Wahdatulwujud. Karena berpikir menandakan keberadaan yang berpikir. Dan pikir, yang berarti mengolah data, juga memiliki konsekuensi mengakui keberadaan datanya. Serta, ketika berusaha mencapai obyek yang dipikir, berarti sama juga dengan mengakui keberadaannya dan, sekaligus keberlainan semua itu dengan sesamanya dan dengan Tuhan. Oleh karenanya telah jatuh ke dalam kehinaan pengingkaran wahdatulwujud. 

Konsekuensi ke dua, adalah berlindung kepada kasyaf. Artinya, dengan penjelasan di konsekuensi pertama itu, berarti tidak ada jalan selamat lagi kecuali mengharap kasyaf atau pembukaan tabir dari Tuhan sendiri. Jadi, harus berpegang dengan cahaya kasyaf, alias yang bukan dari jenis pikir. Ilmu inilah yang dikenal dengan “Ilmu Ladun” atau “Ilmu Ladunni”, yakni lmu yang dari dari SisiNya, artinya bukan dengan pikir. 

Sebenarnya, memang begitulah sebelum Mulla Shadra ra datang. Tapi dengan keda- tangannya, maka dengan akalpun manusia bisa mengerti dengan dalil gamblang akan kebenaran wahdatulwujud ini. Karena beliaulah ra yang bisa membangun argumentasi untuk wahdatulwujud ini hingga yang tadinya hanya bersandar pada kasyaf, kini sudah bisa terdalili dengan dalil akal. 

Sementara di lain pihak, akal, juga memahami dan menyuruh kita untuk membuang tabir-tabir yang mengkabuti kebenaran wahdatulwujud itu. Dengan demikian, akal, sebenarnya tidak menghadang wahdatulwujud, tapi malah mendukungnya. Yakni akal sendiri ingin menghilangkan dirinya. Memang, kalau akal hanya dipakai untuk memahami dan mengolah data, maka selamanya ia akan menjadi hijab. Dan inilah yang dikatakan oleh para urafa’ sebagai “Hijab Cahaya” alias “Hijab Ilmu”. 

Konsekuensi ke tiga, adalah berpegang kepada ilmu Lahiriah. Artinya, dalam urusan keimanan harus hanya mencukupkan dengan taklid saja seperti yang digambarkan dalam hadits “Berpikirlah tentang nikmat-nikmat Tuhanmu dan jangan berpikir tentang zat Tuhanmu”. 

Penjelasan pokok dan awal di konsekuensi ke dua dan ke tiga ini diringkas dari Manazilnya Anshari dan penjelasannya Qasani. Akan tetapi, sepertinya, kurang tepat. Allahu A’lam. Ketidaktepatannya itu karena mereka mengira bahwa wadatulwujud hanya bisa dike- tahui dengan kasyaf, bukan dengan dalil. Tapi pada kenyataannya tidak demikian sebagaimana maklum, yakni yang sudah saya jelaskan tentang Mulla Shadra ra itu. 

Jadi, kesimpulannya adalah bisa dengan akal, tapi harus mengaplikasikan konsekuensinya. Yakni tentang wahdatulwujud dan aplikasi peniadaan diri dan selainNya. 

Tingkatan “Berpikir tentang hakikat Tuhan” ini tidak akan sempurna dilewati kecuali dengan 3 hal: 

Hal Pertama, adalah Mengerti dan menyadari sepenuhnya akan ketidak mampuan akal. Artinya dalam mencapai hakikat nyata tauhid, bukan memahami tauhid. 

Sebelum Mulla Shadra ra, ketidakbisaan akal mencapai hakikat tauhid memiliki pe- ngertian bahwa akal tidak bisa memahami wahdatulwujud, bukan tauhid Teologis yang berarti “Tiada tuhan kecuali Tuhan/Allah”. 

Tapi setelah Mulla Shadra ra, maka akalpun telah bisa memahami dengan baik wahdatulwujud Irfaniini. Jadi, sekarang, maknadariketidakmampuanakal, bisadiartikan dengan ketidakmampuannya mencapai wahdatulwujud, bukan pemahamannya. 

Hal ke dua, adalah putus asa untuk mencapai tujuan dengan akalnya. Ketika akal sudah tidak mampu memahami wahdatulwujud, maka ia akan beralih kepada hal ke tiga. 

Tentu saja, penjelasan ini untuk orang-orang sebelum generasi Mulla Shadra ra sebagaimana maklum. Akan tetapi setelah beliau ra, maka akal tidak perlu melakukan peringkat ini dan bisa dialihkan ke maksud lainnya. Yaitu, akal harus putus asa mencapai  wahdatulwujud secara nyata, bukan secara pahaman. Karena jelas, bahwa akal hanya bisa mengerti (akal-nazhari) dan bisa menyuruh (akal-amali). Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa dalam mencapai wahdatulwujud itu kalau anggota lainnya tidak menaatinya. 

Hal ke tiga, adalah berlindung kepada Qur'an sebagai tali agung yang mengikatkan manusia dengan Tuhannya. Artinya, ketika Tuhan tidak bisa dicapai dengan berpikir, dan setelah ia putus asa terhadap usaha pemahaman tersebut, maka akal harus meninggalkan berpikir tentangNya, dan mencoba hanya dengan bergantung kepada Qur'an. 

Penjelasan seperti ini adalah ketika menusia belum mengerti hakikat pikir dan Qur'an. Akan tetapi sekarang manusia sudah mengerti tentang keduanya dan banyak hal lainnya. Kita sekarang juga mengerti bahwa sekalipun kita kembali kepada Qur'an juga tetap dengan akal kita. Dan sekarang ini, akal, jangankan tauhid teologis, tauhid irfanis juga sudah bisa dipahaminya dengan baik. 

Memang, yang dimaksud mereka kembali kepada Qur'an, bukan memahami Qur'an dengan akal di bagian-bagian ke-Tuhanan. Akan tetapi mengharapkan ilham-ilham dan kasyaf-kasyaf yang dicuatkan Tuhan melalui Qur'an. Dalam hal ini, memang bisa dikatakan benar. Akan tetapi, apapun dapatan yang didapat dari kasyafnya itu, tidak bisa menjadi dalil bagi orang lain, dan bisa saja tidak juga bagi dirinya sendiri. Karena tidak adanya jaminan kebenaran kasyaf dan pemaknaannya, kecuali adanya makshum yang menjaminnya. 

Jadi, paling bijaknya, kita bisa meraup wahdatulwujud dengan akal dan kasyaf kita. Oleh karenanya harus belajar tinggi-tinggi tentang Filsafat dan Irfan, dan berusa pula mengambil ilham dari Qur'an. Akan tetapi, setinggi apapun kasyaf yang didapat, sebisa mungkin, hanya diambil yang bisa didukung dengan dalil akal dan melepaskan –untuk hati-hatinya- yang tidak didukung dengan dalil akal. 

(1-5-2). Berpikir dalam Kehebatan Ciptaan 

Berpikir dalam kehebatan ciptaan ini dikatakan sebagai air bagi tanaman Hikmah. Sedang arti kata Hikmah adalah apa saja “yang kuat”. Jadi, ilmu-ilmu tentang hakikat ciptaan dan seluk beluknya, yakni filsafat, adalah tergolong Hikmah. Karena biasanya selalu diiringi dengan dalil yang kuat dan gamblang. Begitu pula tentang ilmu Fikih. Ia juga termasuk Hikmah dari dua sisi. 

Pertama, karena fikih diambil dari Qur'an dan hadits yang merupakan paling kuatnya konsep kehidupan karena dibuat oleh Allah swt. 

Ke dua, karena filsafat sendiri mewajibkan manusia untuk merujuk kepada Allah swt dalam perbuatannya sebagai konsekuensi nyata dari akalnya yang terbatas memahami asal muasal dan tujuan kehidupan serta ketidakmampuannya dalam meberikan upah dan hukuman bagi yang taat dan melanggar aturannya. 

Ketika Berpikir dalam ciptaan ini adalah air bagi Hikmah-hikmah itu, maka sudah tentu ia akan membantu penyuburan muncul dan menyeruaknya bibit-bibit hikmah dan pende- wasaannya. 

Berpikir dalam ciptaan ini juga memiliki 3 hal: 

Hal Pertama, adalah dengan positif thinking terhadap sebab-sebab keberadaan. Misalnya bahwa kita telah dicipta dari kepapaan, dengan kehebatan susunan badaniah yang menyimpan banyak seni tak terjangkau akal sampai kapanpun juga. Susunan tubuh yang terdiri dari tulang, daging, sumsum, darah dan seterusnya. Begitu pula dari susunan syaraf-syaraf dan sel-sel DNA yang kehebatannya tiada tara. Begitu pula ruh kita yang memiliki banyak daya dan kemampuan, seperti mengatur pertumbuhan, gerakan dan pikiran yang tidak bisa dibatasi dengan jaman dan terus berkembang. Begitu pula dengan alam sekitar kita, bumi, matahari, bulan, pepohonan, air...dst, semua dan semua, menunjukkan keagungan dari ciptaan ini. 

Hal ke dua, adalah menjawab panggilan isyarat. Maksudnya, ketika kita telah mela- kukan hal pertama di atas, maka akan memunculkan dalam diri kita apa yang dikatakan kagum, syukur dan aktualisasinya. Oleh karenanya akan muncul kesadaran dan tekad dalam diri untuk menaati Tuhan secara mutlak. 

Hal ke tiga, adalah membebaskan diri dari segala macam syahwat atau kelezatan. Artinya, dalam ketaatannya itu tidak boleh menyertakan apapun kelezatan yang biasa dijanjikan oleh nafsunya. Seperti lezatnya kawin, berbuka, sehat, rejeki, ilmu laddun, kasyaf, dan apa saja termasuk surga dan seterusnya ke atas. Ringkasnya, tidak melakukan apapun ketaatan kecuali murni karena Allah swt saja. 

(1-5-3). Berpikir dalam Arti Amalan dan Keadaan 

Memahami makna dari amalan dan perbuatan kita, akan membuat kita mengerti akan ketiadaan kita dan kehanya-beradaanNya. Karena semua yang kita jadikan modal perbuatan, seperti wujud kia, kekuatan, akal dan ikhtiar kita, semuanya adalah dariNya. Dengan demikian, maka ke-Esaan dalam perbuatan akan menjadi ternyatakan dalam pandangan kita, bahwasannya semua yang terjadi adalah dengan KehendakNya (hati-hati jangan sampai kembali ke takdir/diterminis). Ketika demikian halnya, maka pintu Fanaa’ dan wahdatulwujud sudah semakin terbuka. 

Sedang Berpikir tentang Keadaan adalah memikirkan capaian-capaian, manifestasi-mani- festasi, ilham-ilham, percikan-percikan cahaya yang datang dari cahaya Jamal (Indah) dan Jalal (Perkasa), yang masuk ke dalam hati/akal. Hal ini akan memudahkan pencapaian hakikat wahdatulwujud. 

Tingkatan ini juga memiliki 3 hal: 

Hal Pertama, adalah dengan mengandalkan ilmu. Karena untuk mengerti tingkatan- tingkatan perbuatan dan amalan, harus memakai ilmu. Dan karena ilmu itu adalah sesuainya info dengan kenyataan, maka ilmu haruslah benar. 

Hal ke dua, adalah dengan menghinakan ilmu. Ilmu, sebagaimana dapat diketahui dengan mudah, bahwa ia adalah pembeda kebenaran dari kebatilan. Artinya, ia adalah penentu. Dan kalau ia adalah penentu, maka keberadaannya semakin kuat. Begitu juga ilmu-ilmunya. Dan ketika semua itu adalah keberadaan, maka akan menjauhkannya dari wahdatulwujud. Disinilah ia harus dihinakan dan dicela. Jadi, tugas kita di sini adalah memukul mundur ilmu dengan kasyaf. Tentu saja setelah mendapat ilmu dengan argumentatis, benar dan gamblang. 

Hal ke tiga, adalah dengan mengerti posisi lingkungannya. Yaitu mengerti rangsangan dan kecemburuan yang muncul dari para Salik. Seperti cinta nabi Sulaiman as yang mengatakan: “sesungguhnya aku menyukai kesukaan terhadap barang yang baik karena  ingat kepada Tuhanku...” (QS: 38: 32). Atau seperti kecemburuan nabi Ibrahim as yang mengatakan: “Demi Allah akan kuhancurkan patung-patung kalian...” (QS: 21: 57). Atau kecemburuan para penyihir di masa Fir’un yang setelah diancam dengan potong tangan dan kaki serta salippun, mengatakan: “Tidak ada kemudharatan bagi kami....” (QS: 26: 49). 

1-6. Ingat/Dzikir 

Setelah seseorang Sadar, maka ia melakukan Taubat dari segala kesalahan dan kekurangan, setelah itu ia harus melakukan Muhasabah. Setelah Muhasabah, ia meneruskan ke peringkat Kembali kepada Allah dari diri dan kebaikannya. Setelah Kembali, melakukan Tafakkur, dan setelah itu baru ke peringkat Tadzakkur atau Ingat. 

Allah berfirman : 

“Tidak Ingat kecuali orang-orang yang Kembali” (QS: 40: 13) 

Dalam ayat ini jelas bahwa peringkat Ingat itu, setelah tingkatan Kembali. 

Ingat ini, tentu saja lebih tinggi dari Berpikir. Karena Berpikir untuk mencapai sesuatu yang belum ada, sementara Ingat adalah untuk yang sudah ada. Ingat ini, tentu sudah merupakan intinya sesuatu, yakni yang sudah dibersihkan dari segala macam kotoran dan hijab, hingga menjadi teringat. 

Allah berfirman: 

“Tidak Ingat kecuali orang-orang yang memiliki cerdik/isi” (QS: 2: 269). 

Jadi, Berpikir adalah mencari jawaban terhadap sesuatu yang belum ada, sedang Ingat adalah menghilangkan hijab dari yang sudah ada. 

Bagi sebagian urafa’ terdahulu ra., Ingat ini adalah ingatnya seseorang akan apa yang telah difitrahkan dari awal ciptaan oleh Allah, seperti makrifat kepada tauhid yang telah diberikannya sejak dari alam ruh yang, kemudian menjadi terlupakan manakala ruh tersebut terbungkus oleh kekotoran materi badani dimana juga menkonsekuensi-i hawa nafsu dll-nya. Jadi, Ingat adalah tersingkapnya semua hijab-hijab itu. 

Akan tetapi kalau mengikut pada konsep filsafat setelah Mulla Shadra ra dimana ruh dari awal penciptaannya dalam keadaan kosong, lalu berproses ilmu setelah diciptakannya materi, dengan Berpikir dan mencari ilmu, maka Ingat, adalah setelah manusia mendapatkan berbagai ilmu, baik melalui belajar, ilham dll-nya. Jadi, peringkat ingat ini adalah menghilangkan semua hijab yang bisa menghijabi ilmu tersebut. Yakni, menjadikan ilmu teori yang dikenal dengan “Hushuli” atau “gambaran” yang didapat dari belajar, menjadi “Hudhuri” atau “Nyata” atau menjadi “Ruh kita” dengan membuang semua kotoran-kotorannya (badani dan nafsu-i). 

Tadzakkur ini memiliki 3 tingkatan

(1-6-1). Menggunakan Pemberian 

Maksud dari Menggunakan Pemberian ini adalah tergetarnya jiwa kita manakala men- dengarkan nasihat hingga bertekad untuk selalu berusaha melaksanakan yang baik dan shalih, dan menjadi benar-benar ketakutan manakala mendengarkan peringatan dan  ancaman hingga menghindari kejelekan. 

Tingkatan ini akan menjadi teraplikasi manakala melakukan 3 hal: 

Hal Pertama, adalah merasa sangat perlu kepadanya (nasihat dan peringatan). Ayatullah Jawadi Omuli hf pernah mengatakan: “Kalau seseoang tidak merasa perlu kepada nasihat/peringatan, maka sekalipun malaikat Jibril as yang datang memberikannya, ia tidak akan tereaksi”. Jadi, seseorang harus benar-benar merasakan keperluannya itu, bukan basa-basi dan global serta gambaran dan ide. Tapi benar-benar terasa dalam jiwanya, seperti badannya yang merasa lapar yang kadang sampai gemetaran. 

Hal ke dua, adalah membutakan diri terhadap yang menasihati atau memberi peringatan. Artinya, seorang murid tidak boleh sibuk dengan urusan orang lain sekalipun gurunya sendiri. Jadi, dia harus memaksimalkan diri untuk mengoreksi aib-aibnya sendiri dan tidak membuang waktunya untuk mengecek aib orang lain. 

Tentu saja, sebelum seorang murid itu memilih guru, sudah memeriksanya terlebih dahulu dari segala sisinya sesuai dengan ilmu yang akan dipelajarinya itu. Misalnya siapa gurunya, dan bagaimana karakternya. Dan kalau sudah diyakini benar-benar profesional, dan sudah memutuskan belajar kepadanya (dalam irfan), maka tidak benar kalau meluangkan waktunya untuk mengoreksi aib-aib gurunya. 

Yang dimaksud dengan aib orang lain yang tidak boleh diurusi itu adalah aib-aib yang tidak ada hubungannya dengan amar makruf dan nahi mungkar. Karena kalau ada, maka kita wajib menasihati dan memperingatinya sesuai dengan syarat-syarat yang ada di kitab fikih tentang amar makruf dan nahi mungkar. 

Hal ke tiga, adalah selalu mengingati nasihat dan ancaman (peringatan). Artinya, ketika seseorang tidak dibolehkan menyibukkan diri dalam aib-aib orang lain, maka ia harus mengisinya dengan selalu ingat pada nasihat dan ancaman agama. Tentu saja, semua dengan tingkatannya sendiri-sendiri, baik ancaman neraka atau terhempas dari wahdatulwujud. 

(1-6-2). Memahami Contoh 

Maksudnya adalah kita harus mempelajari dan mengilhami apa saja dari semua kejadian, baik itu baik atau buruk. Kalau baik, maka kita harus mencontohnya dengan mengaplikasikannya dalam kehidupan kita, dan kalau jelek maka sebaliknya. Seperti kehidupan para nabi, imam, shalihin dll-nya; atau kehidupan para penjahat seperti Fir’un, Abu Lahab dll-nya. 

Tingkatan ini juga berkaitan dengan 3 hal: 

Hal Pertama, adalah dengan mengaktifkan akal. Kalau akal ini tidak diaktifkan terus menerus dengan Berpikir dan menuntut ilmu, maka dari mana seseorang bisa tahu bahwa sesuatu itu baik atau buruk secara hakiki, atau bisa tahu kebaikan dan keburukannya di tingkat apa. 

Hal ke dua, adalah dengan terus menerus melihat fluktuasi dirinya dalam segala tingkatan dan keadaannya. Dengan harapan selalu waspada dan selalu meningkatkan diri hingga sampai kepada tujuannya, yaitu berakhlak dengan akhlakNya. Tentu saja, tingkatan tertingginya, ketika sudah mencapai Fanaa’. 

Hal ke tiga, adalah dengan menyelamatkan diri dari tujuan-tujuan lain selainNya. Hal ini juga memiliki tingkatannya sendiri. Misalnya, harus membersihkan amalnya dari riya’, lalu harus bersih dari dunia halal dan begitu seterusnya. Walhasil tingkatan tertingginya adalah harus bersih dari segalanya dari selainNya.
(1-6-3). Memetik Hasil Pikir 

Buah dari Pikir atau Berpikir ada dua macam: Aplikasi atau amal, dan Bashirah/pahaman tentang makrifat. Sebagaimana saya sering menerangkan di berbagai catatan, bahwa kita, dari satu sisi, harus berusaha dan berikhtiar, dan dari sisi yang lain bahwa usaha kita itu bukan sebab pemberi, tapi sebab penyiap atau potensi. 

Di sini, juga demikian. Kita harus terus berusaha untuk berpikir agar hasilnya bisa diamalkan dan juga didatakan sebagai makrifah. Jadi, pemberi dari ilmu yang didapat dan taufik terhadap aplikasi itu, adalah hanya Allah swt. Artinya, ketika seorang hamba sudah menyiapkan diri dengan usahanya baik dalam pikir, ingat atau aplikasinya, maka Dia akan memberikannya. Jadi, sebab pemberi hanyalah Dia semata. Dan hal ini bukan diterminis atau jabariah, karena pemberianNya itu memang tidak pernah berhenti. Jadi, manusia yang mempotensikan diri dengan usahanya itulah yang akan mengambil pemberiaanNya tersebut. 

Tingkatan ini juga akan menjadi sempurna manakala telah melewati 3 hal: 

Hal Pertama, adalah memotong angan-angan. Memotong angan-angan ini dengan alat yang paling ampuh dan tajam. Yaitu dengan selalu mengingat dan mengenang mati dan kedekatannya. Karena dengan meresapi mati dan kedekatannya, akan membuat manusia tidak akan pernah menyia-nyiakan waktunya untuk mencapai taqwa, keba- ikan, kemuliaan dan pada akhirnya Fanaa’. 

Hal ke dua, adalah memperbanyak renungan terhadap Qur'an. Qur'an, dengan se- mua ayat-ayatnya, baik yang berisi nasihat, ancaman, sejarah dll-nya, semuanya dan semuanya, adalah hakikat hidayah bagi manusia dalam segala tingkatannya dan dengan segala tingktannya. 

Hal ke tiga, adalah dengan menyedikitkan 5 hal, yaitu: 

1. Pergaulan kecuali dengan orang shalih, ulama dan urafa’; 

2. Harapan dan cita-cita, karena banyak dijadikan alat oleh syetan hingga menyamar- kan kebenaran dan sering juga menyelewengkannya; 

3. Ketergantungan kepada selain Allah, karena ianya adalah syirik kepadaNya yang layak mendapatkan keterdepakan dan laknat; 

4. Kenyang, karena ianya akan menggelorakan segala macam syahwat dan kesenang- an pada kelezatan yang, akan mengurangi keaktifannya akal, renungan, ilham dll- nya; 

5. Tidur, karena akan mengurangi taat, mengaburkan pandangan, memperbanyak lupa, merangsang jiwa pada kebatilan, mematikan hati dan bisa menceburkan manusia ke dalam tingkatan binatang. 

Alhamdulillah dan shalli ’ala Muhammadin wa aalihi al-thahirin. 

Semoga bermamfaat, setidaknya sebagai khazanah pengetahuan Islam. Wassalam. 


Ramdhan Romdhon: syukron ustadz, mohon juga dipos juga ke grup Peace & Unity... 

Sinar Agama: Ramadhan_R: Untuk semua dari serial Irfan Amali (suluk ilallah) ini, tidak boleh disebar oleh siapapun dan lewat apapun, jadi hanya boleh digunakan sendiri dalam bentuk apapun. Jadi yang mau maka ambil sendiri di catatanku. Ingat hanya untuk dirinya sendiri. 

Ramdhan Romdhon: Siap ustadz... 

Sinar Agama: Semua itu demi mengurangi dampak buruknya, dan masih banyak yang lainnya. Jadi, sekali lagi saya hanya merelakan suluk irfani ini untuk dipakai sendiri dalam bentuk apapun, baik dicopy, diprint ...dst, tapi hanya untuk dirinya sendiri saja. afwan atas perhatian semua, dan bagi yang melanggar aku hanya bisa mengeluhkannya pada Pemilikku saja. Tapi antum-antum semua, bisa memberitahukan akan keberadaan catatan ini di sini dan mengatakan bahwa bisa mengambilnya sendiri di sini. Afwan. 

Anjuranku, jangan baca teori suluk ini kecuali setelah mencermati Pembukaannya yang ditulis di awal-awal setiap penulisan. Dan akan banyak berguna tulisan suluk ini bagi yang telah memahami wahdatulwujud 1-9 dengan baik. 

Gunawan Harianto: Ijin share untuk konsumsi sendiri ustadz...Afwan wa syukron. 

Momo Haddad: Syukran ustadana.. 

Dino Aja: Syukron ustazd..... moga cintanya Makshumin selalu menyertai antum, mohon ana disertakan dalam setiap doa-doanya antum. 

Sinar Agama: Terimakasih dan salam untuk semua teman yang telah menjempoli dan memberi komentar di sini, terkhusus pengertian dan do’anya, semoga kita benar-benar diridhai oleh imam Mahdi as, amin. Ingat ya, permintaan untuk tidak disebar itu hanya tentang suluk, sejak dari bagian awal sampai akhir. Yang lainnya, kalau tidak ada peringatannya maka bebas digunakan untuk apa saja dan siapa saja asal baik dan bukan untuk bisnis. 

Sinar Agama: Terimakasih untuk mbak Alghifari dan semua teman di fb, yang sekalipun kita hanya kenal di fb, sering menggunakan kata ustadz untukku. Semoga semua ucapan itu menjadi doa buatku dan, walau terkecil, aku dihitungNya sebagai guru, amin

Sinar Agama: Alghifari, afwan saya salah tulis, mestinya mbak....afwan.




اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ




Tidak ada komentar:

Posting Komentar