Selasa, 21 Agustus 2018

Lensa (Bgn 13): Tentang Shiraatu al-Mustaqiim



Oleh Ustad Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 19:11



Makna shiraatu al-Mustaqiim itu adalah jalan Islam yang lurus dan tidak memiliki kesalahan sedikitpun. Hal ini dapat dipahami dari dua jalan (setidaknya). Pertama dari kata-katanya, yakni “jalan lurus” dimana kalau ada bengkoknya sekalipun sedikit, jalan itu sudah tidak bisa lagi disebut dengan “jalan lurus”. Dalam logika, pahaman makna dari kata “jalan lurus” itu termasuk pahaman yang sangat mudah (dharuri, necessary knowledge).

Dapat dipahami dari ayatnya itu sendiri bahwa “jalan lurus” itu adalah yang tidak memiliki kesalahan sedikitpun. Karena dalam ayat itu, telah diterangkan adanya tiga sifat untuk “jalan lurus” tersebut:

Jalan orang-orang yang diberi nikmat (dalam ayat lain dikatakan bahwa meraka adalah para nabi, syhid, shalih dan shiddiqin), dan yang tidak dimurka (ghairi al-maghdhub) dan tidak tersesat (wa laa al-dhaalliin). Nah, pada kriteria ke tiga ini, dikatakan sebagai jalan yang tidak tersesat sedikitpun. Artinya tidak salah sedikitpun. Ini adalah arti jalan lurus atau “shiraatu al-mustaqiim” itu.

Tentang hubungannya jalan lurus dengan kenabian, sudah pasti ada hubungannya. Dan bahkan bukan lagi hubungan, tapi dasar dan pondasinya. Artinya, jalan lurus itu justru tidak bisa diambil kecuali dari ajaran Nabi saw, baik yang diterangkan melalui wahyu Qur'an (wahyu yang makna dan susunan katanya dari Tuhan dan berupa kitab suci al-Qur'an), atau baik melalui wahyu selain Qur'an (baik hadits Qudsi, atau seluruh ucapan dan perbuatan Nabi saww. karena seluruhnya itu adalah wahyu Tuhan yang maknanya dari Tuhan dan susunan kalimat atau penyampaiannya diserahkan ke Nabi saww.).

Dengan demikian, maka sudah tentu tanpa Nabi saww. jalan lurus itu tidak akan pernah terwujud. Masalahnya sekarang adalah apa setelah Nabi saww? Kalau tidak ada orang seperti Nabi saww, yang lengkap ilmunya dan benar semua tentang Islam, yakni tidak ada orang maksum (dalam ilmu dan amal) setelah Nabi saww, maka “jalan lurus” itu sudah pasti tidak akan ada.

Jadi, tanpa imam maksum yang ilmunya seratus persen lengkap dan benar, maka jalan lurus itu tidak mungkin ada.

Tentang hubungan jalan lurus dengan pengembangan ilmu, sudah pasti ada hubungannya. Karena jalan lurus itu dari sisi akhlakiahnya. Yakni jalan lurus itu adalah jalan kehidupan. Sementara pengembangan ilmu itu, adalah alat kehidupan. Jadi, dengan alat apapun, Islam tetap seiring denganya. Karena Islam bagian pengarahan hidupnya itu. Kalau dulu orang diharamkan mengganggu orang dan alat mengganggu seperti merusak alat rumah tangganya atau berteriak- teriak di waktu tengah malam (waktu tidur), maka sekarangpun tetap haram mengganggu orang sekalipun alat ganggunya seperti menyebar virus komputer dan seterusnya.

Saya dulu pernah menerangkan tentang Relatif-vertikal, yakni relatif meningkat ke atas yang sama-sama benar.

Di ini juga berlaku dengan dua dalil setidaknya. Nabi saww bersabda bahwa para nabi tidak berbicara dengan umatnya kecuali sesuai dengan kemampuan umatnya.

Nah, di sini sudah tentu di awal-awal islam, karena peradaban teknologi (bukan akhlaki yang cenderung sama dalam setiap generasi) jaman itu jauh di bawah masa sekarang, sudah tentu Nabi saww, menyesuaikan penerapan syariatnya dengan peradaban teknologi yang ada.

Jadi, hukum keharaman menyebar virus komputer waktu itu belum dinyatakan. Tetapi jelas ada dalam Islam, karena Islam adalah agama yang lengkap sampai hari kiamat. Karena itulah dalam Syi’ah tidak diperkenankan adanya qiyas (meminjam hukum pada suatu benda yang ada pada jaman Nabi saww ke atas benda yang tidak ada pada jaman itu tetapi mirip dengannya). Karena kalau kita meyakini Qiyas berarti meyakini akan ketidaklengkapan hukum Islam. Apalagi tidak ada suruhan Qur'an atau hadits yang menyuruh mengqiyas.

Dalam riwayat Ahlulbait as, dikatakan bahwa setiap ayat Qur'an itu memiliki 7 batin, dan masing- masing masih memiliki 7 batin lagi.

Dengan dua mukaddimah itu, maka dapat dipahami bahwa Islam Yang Jalan Lurus-pun memiliki tingkatan kebenaran. Artinya semuanya jalan lurus, tetapi dari sisi tingkatannya tidak sama.

Ketidaksamaan derajat jalan lurus itu, bisa dilihat dari dua sisi:

Dari sisi alatnya, yakni teknologinya, dimana jelas hal ini tidak menentang perkembangan ilmu. Jadi dari sisi kedalaman hukum atau karakternya yang dimunculkan adalah sama, seperti haram mengganggu orang lain. Tetapi dari sisi alatnya yang sudah dikembangkan, jauh berbeda dimana saking jauhnya teknologi yang baru tidak akan bisa dibayangkan dan dipercaya oleh orang masa lalu.

Contohnya, pernah imam Ja’far as berdebat dengan orang kafir yang sok ilmiah yang mengatakan bahwa hujan bukan dari Tuhan, tetapi dari air yang menguap karena panas matahari dan membeku kembali di langit karena dingin. Imam as, setelah menerangkan bahwa semua yang ada dari air, matahari dan hukum alamnya dicipta Tuhan (tidak terjadi dengan sendirinya) dimana dengan itu maka semua itu bisa dan bahkan harus dikatakan dari Tuhan (seperti hujan).

Setelah itu imam as bertanya pada orang itu “coba kamu lihat batu di sampingmu itu, apakah dia diam atau bergerak?”. Orang itu dengan tertawa menghina mengatakan “jelas diam”. Imam as berkata “dia dalam diamnya itu sedang aktif bergerak dan orang-orang di masa datang yang akan membuktikannya”. Dari riwayat ini dapat disimpulkan bahwa dari sisi alat hukum syariat, jelas tidak bisa disamakan. Tapi dari sisi hakikat hukumnya, maka Islam tetap sama.

Dari sisi hakikat hukumnya itu sendiri. Di sini, hukum yang dimaksud adalah dari sisi syariat Islamnya secara umum. Apakah ia berupa keilmuan tentang ke-Tuhanan atau adab di hadapan Tuhan. Ilmu ke-Tuhanan, sekalipun sudah dijelaskan dalam Qur’an dan Hadits, tetap saja memiliki peringkat-peringkat. Karena itulah Tuhan mengatakan untuk mengambil yang lebih baik dari wahyu-wahyu yang diturunkanNya (QS: 39: 55).

Atau di sebuat riwayat dikatakan bahwa Allah menurunkan surat Tauhid karena di masa yang akan datang ada orang-orang yang mendalami tentang ke-Tuhanan.

Jadi, disini perkembangan ilmunya terjadi langsung pada syariat islam itu sendiri. Tetapi ingat , ia tetap vertikal, jadi sama-sama benar. Orang yang memahami bahwa “Katakan bahwasannya Allah itu Satu” adalah benar. Dan yang memahami bahwa “Katakan bahwa Dia adalah Allah dan Allah adalah Satu”, juga benar. Dan kedua pahaman itu berbeda jauh bagai langit dan bumi. Tetapi dalam bentuk vertikal. Karena bagi pemahaman pertama maqam tertinggi itu adalah Allah, sementara bagi yang ke dua, Allah itu adalah Asma dan tajalli dari Huwa/Dia. Karena itulah bagi pahaman pertama kata huwa/dia itu diartikan sebagai kata sambung, yakni “bahwasannya dia adalah”, sedang bagi yang ke dua bermakna “Dia” yang tentu sebagai Subyek kalimat pertama, bukan kata sambung. 

Sedang tentang adab di hadapan Tuhan jelas, bisa dilihat perkembangan vertikal dari syariat Islam dalam bentuk-bentuk seperti irfan amali. Kalau di jaman dulu, mungkin jalan yang terlihat hanya beberapa jalan saja, hingga mencapai fana’ misalnya, tetapi kemudian terlihat ada seribu jalan atau bahkan sejuta jalan. Tentu saja semua itu dari Islam dan Qur'an, tetapi orang dulu tidak mampu melihatnya seperti orang kemudian.

Wassalam. 


Eman Sulaeman dan 6 orang lainnya menyukai ini.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar