Rabu, 12 Desember 2018

Sujud di Atas Tanah dan Tanah Karbala (Bag: 2)

Sujud di Atas Tanah dan Tanah Karbala, Seri Nukilan dari Buletin Al-Muraasalaat 16, (Bag: 2)



by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, February 26, 2013 at 10:50 pm

Hikmah Sujud di Tanah 

Sesungguhnya hanya Allah yang tahu persis hikmah dari semua perintah-perintahNya. Jadi, di sini kami hanya akan mencoba mengira-ngira saja akan hikmah tersebut, demi melakukan perintah Tuhan yang lain, yaitu perintah berfikir atau bertadabbur untuk mengambil pelajaran dari semua keberadaan ( QS: 2: 164 ). 

1- Puncak Kehinaan di Hadapan Sang Kuasa. 

Sebab, ketika lambang kemuliaan yang paling tinggi dari manusia dan merupakan simbol harga dirinya, yaitu dahi/muka, di letakkan di tanah yang berposisi rendah dan hina secara lahir dan ianya berposisi sebagai simbol kerendahan karena tempat kaki berpijak, maka sudah jelas hal ini akan mempengaruhi manusia yang melakukannya. 

Yaitu, ia akan meletakkan dan melupakan semua kemulian-majazi yang dimilkinya dan begitu pula posisinya di masyarakat, dan hanya akan mengingat dan meninggikan ke-Agungan dan ke-Muliaan-Hakiki Tuhannya. Baik kemuliaan-majazinya itu seperti ke-Rasulan atau sekedar kemulian-dunia seperti presiden, guru, orang tua, mentri, dan lain-lain. Sebab seluruh kemuliaan- kemuliaan itu datang dan diberi oleh Tuhan pemilik semua kemuliaan secara hakiki. 

Nah, melucuti seluruh harga diri di hadapan Tuhan yang Maha Tinggi, merupakan tugas utama manusia, karena hal itu merupakan hakikat dan kenyataan yang tidak bisa diingkari. Inilah yang bisa dikatakan tugas tauhid dan keimanan manusia. Yakni tauhid yang dijelmakan dalam kehidupan. Jelasnya, pengakuan akan ke-Agungan Tuhan secara perbuatan yang dijelmakan dari rasa iman di hati akan hal itu. Sementara shalat adalah alat paling utama untuk menjelmakan rasa iman tersebut. Dengan demikian maka seseorang akan merasa semakin khusyu’ dan rendah serta hina di hadapan Sang Kuasa yang disembahnya itu, tentu ketika ia meresapi hikmah sujudnya itu. 

Semua ini tidak bisa dicapai -setidaknya sulit- manakala manusia sujud di atas permadani, sejadah dan keramik yang indah. Sebab ia justru bangga meletakkan dahinya ke atas semua itu, sehingga dengan demikian maka kuranglah rasa hinanya di hadapan Tuhannya. Orang yang menghiasi tempat sujudnya ( sejadahnya ) dengan aneka ragam warna yang indah-indah dan dibuat dari bahan yang mahal ( baca: berharga ), maka ia tidak sujud di atasnya kecuali dengan kebanggaan dan mungkin sampai ke tingkat kesombongan. Nah, orang yang masih sempat melihat kemuliaan dirinya dari sisi keduniaan ini, sesedikit apapun hal itu, maka ia tidak akan bisa menjadi hina-dina ( khusyu’ ) di hadapan Tuhannya. 

Sementara itu, hikmah lain yang bisa didapat oleh manusia yang shalatnya khusyu’ ( dina ) adalah rasa hinanya di hadapan Tuhannya secara mutlak. Yakni baginya tidak akan berbeda apakah ia di dalam shalat atau di luarnya. Sebab Tuhannya tetap ada dan Agung sekalipun dalam keadaan ia tidak menyembahNya. 

Orang yang selalu merasa hina di hadapan Tuhannya ini tidak akan pernah menyombongkan diri sedikitpun sebab ia tidak akan pernah merasa memiliki apa-apa yang bisa dijadikan kesombongan, sebab Tuhan yang Agung dan Mulia dan yang memiliki seluruh kebaikan dan kemuliaan secara hakiki itu dirasakannya lebih dekat dari urat nadinya sendiri. 

Begitu pula, orang yang seperti ini tidak akan pernah menyia-nyiakan hidupnya dengan mengejar kemulian dunia. Sebab kemulian itu adalah kemuliaan yang tidak hakiki dan abadi. Oleh karena itu ia akan mengejar dengan gigih dan sungguh-sungguh ketaatan kepada Tuhan dan menjauhi dengan sungguh-sungguh laranganNya. Sehingga dengan itu ia akan mencapai apa yang dikatan bersih atau makshum dari dosa dan kemungkaran. 

Jangan katakan bahwa makshum dari dosa itu mustahil dicapai, sebab kalau pembaca budiman berkata demikian , berarti pembaca tidak meyakini kebenaran al-Qur'an yang mengatakan bahwa Tuhan tidak memberi tugas kepada manusia kecuali sesuai dengan kemampuannya ( QS: 2: 286 ). 

Nah, kalau Tuhan memberi tugas kepada kita sesuai dengan kemampuan kita, dan Tuhan meng- haramkan semua dosa sehingga kita wajib menjauhinya ( sebab Haram hukumnya adalah wajib dijauhi ), berarti kita mampu menghindarinya. Dan kalau kita mau dan menghindarinya, berarti kita bersih dari dosa tersebut. 

Bukankah ini adalah makshum dari dosa? Dan bukankah dengan demikian bukan saja makshum itu mustahil dicapai, tapi bahkan wajib dicapai? Oleh karena itu tidak heran kalau Tuhan menjamin orang shalat (tentu yang shalat khusu’ dan diterima) bahwa ia akan jauh dari segala kemungkaran atau kesalahan yang tidak diridhai Tuhan. Allah berfirman: 

"Sesungguhnya shalat itu mencegah seseorang dari perbuatan-perbuatan keji dan tidak diridhoi ( oleh Tuhan )“ ( QS: 6: 45 ). 

Orang seperti di atas itu, tidak hanya akan hanya menyia-nyiakan umurnya untuk mencari kemulian dunia yang justru hina ini, tapi ia bahkan tidak akan pernah merasakan bahwa ia memiliki kemulian-kemulian maknawinya itu. Sebab semua itu dari tuannya dan tetap menjadi miliknya, yakni Tuhannya. Karena yang hakikatnya hina akan tetap hina. Oleh sebab itu ia akan menjadi hamba, budak dan abdi Tuhan yang sejati sepanjang jaman dan abadi, sebab ia tidak pernah merasa mulia, baik dengan kemulian dunia ataupun akhirat. Dia tidak akan merasa semakin mulia ketika kaya, begitu pula ketika ia taat dan banyak ibadat, atau bahkan menjadi seorang Rasul. 

Ringkasnya, ia tidak akan pernah merasa memiliki apa-apa yang dicapainya itu. Inilah hamba atau budak Tuhan ( ‘Abdullah ) yang hakiki. Sebab seorang budak tidak memiliki apapun kecuali milik tuannya. Tidak heran kalau dalam hadits-hadits kita dapat menjumpai hal ini ( ciri hamba Tuhan yang hakiki ). 

Bayangkan saja, kalau seseorang itu mencapai kemakshuman dari dosa, tidak pernah maksiat dan selalu taat, tapi ia tidak pernah merasa mulia karena ia merasa selalu di hadapan Tuhannya yang memiliki semua kemuliaannya secara hakiki ( dimana perasaan ini dicapai berkat pengertiannya terhadap hikmah sujud ke tanah itu, dan karena dilakukannya berulang kali setiap harinya ) dan bahkan Tuhannya dirasakannya lebih dekat dari urat nadi dan hidupnya, maka jelas orang seperti ini tidak akan pernah sombong sedikitpun sepanjang masa dan jaman. 

2- Ingat ke-Agungan Tuhan. 

Dengan memperhatikan tanah yang boleh dikata rendah, tapi keluar daripadanya seluruh kehidupan dunia ini, maka seseorang akan ingat pada Tuhan yang menciptakannya. Hal ini tidak lain kecuali hanya menggambarkan betapa Agung dan Kuasanya Sang Pencipta itu. Hal ini akan membuat orang tersebut selalu bersyukur karena memiliki Tuhan yang Agung, Kuasa dan Pemurah. Sebab Ia telah memberinya kehidupan dan keimanan serta ketaatan. 

Ia akan semakin khusyu’ dalam shalatnya dan selalu akan mengingatNya setiap ia melihat sembarang ciptaanNya. 

Jadi, disamping ia mendapatkan kekhusyukan di dalam shalatnya, di luar shalatnya ia akan selalu mengagungkan Tuhannya dan mensyukuriNya. Pengagungannya itu akan membuatnya selalu ingat Tuhannya, dan syukurnya terhadap dunianya itu akan membuatnya selalu Qona’ah ( menerima dan berterima kasih atas semua pemberian, yakni tidak kufur dan ingkar ) di dunia, serta syukurnya terhadap iman dan maknawiahnya akan membuat Tuhannya menambahinya selalu sesuai dengan janjiNya sendiri ( QS: 14: 7 ). 

3- Ingat Tempat Asal. 

Tanah adalah asal manusia, apakah secara langsung seperti nabi Adam as., atau tidak langsung seperti kita-kita ini. Sebab, semua mani dari makanan, dan makanan dari binatang dan pepohonan. 

Pepohonan, sudah jelas dari tanah. Sedang binatang juga dari yang dimakannya, baik binatang lain atau pepohonan. Wal hasil, semuanya berasal dari tanah secara pasti. 

Nah, ketika manusia ingat akan asal dirinya , yakni tanah yang rendah, maka ia tidak akan pernah merasa mulia sedikitpun. Oleh karena itu ia akan merasa rendah ( khusyu’ ) di hadapan Tuhannya ketika ia sujud di atasnya, dan ketika ia selesai dari shalatnya akan bertekad untuk selalu hidup mengabdi dan taat kepada Tuhannya. 

Tentu saja ketaatan di sini mencakupi dunianya juga disamping akhiratnya. Seperti mencari nafkah, menjaga kesehatan, menolong orang atau bangsanya, dll. dari yang kelihatan duniawi. Namun yang tetap mesti diingat adalah bahwa semuanya itu dilakukannya karena perintah Tuhannya dan ia tidak akan pernah mencintai semua yang didapatkannya itu. Begitu pula ia tidak akan pernah merasa memilikinya sehingga dengan sangat mudah ia gunakan di jalan Allah sesuai dengan perintahNya. Ia tidak akan pernah merasa khawatir dan takut miskin esok harinya ketika mesti menolong orang hari ini dengan seluruh yang dimilikinya. Ia tidak akan pernah sedih ketika tak punya, dan tidak akan pernah merasa bahagia ketika sebaliknya. Sebab, semuanya bukan miliknya. Dan kebahagiaannya hanya terletak bagaimana ia mentaati perintah-perintah Tuhannya. 

Dunia seperti ini, di dalam agama Islam tidak terhitung sebagai dunia, tapi justru terhitung akhirat yang tinggi. 

4- Ingat Tempat Kembali. 

Dengan melihat tanah seseorang bisa teringat bahwa ia akan kembali kepadanya, alias mati. Ketika manusia ingat bahwa kalau ia mati akan kembali ke tanah, dimana mungkin sehabis shalat hal itu terjadi, maka ia shalat dengan sepenuh perhatiaannya. Sebab, mungkin shalatnya itu adalah akhir shalat yang dapat dilakukannya. Dengan demikian maka ia akan selalu khusyu’ dalam shalatnya. 

Di samping itu, di luar shalat, ia tidak akan pernah tinggal diam tanpa berusaha meminta ampun kepada Tuhannya secara terus menerus, dan berusaha terus secara sungguh-sungguh untuk meningkatkan taatnya kepada Tuhannya itu. Sebab, ketika mati semua kemuliaan-majazinya akan ditinggalkan dan yang tersisa hanyalah ketaatan dan keshalehannya serta kemuliaan akhlaknya. 

Oleh karena itu tidak heran kalau para ulama akhlak mengatakan bahwa paling mulianya dzikir setelah dzikir-tauhid ( la ilaaha illallaah ) adalah dzikir-mati, yakni mengingat terus akan mati. Sebab, dengan mengingat mati seseorang tidak akan pernah diam tanpa usaha untuk memperbaiki akhiratnya. Oleh sebab itu mereka mengatakan bahwa, minimalnya, orang yang ingat mati memiliki dua alamat, usaha terus memperbaiki akhiratnya dan menyederhanakan kehidupan dunianya. 

5- Tawadhuk dan Tidak Sombong. 

Orang yang selalu meletakkan lambang harga dirinya ( dahi ) ke atas tanah yang rendah, dan dia tahu bahwa dia berasal dan akan kembali kepadanya, dengan kata lain, orang yang selalu melucuti seluruh harga dirinya, selau ingat bahwa dia dari barang hina, selalu ingat bahwa ia akan mati dimana semua kemuliaannya akan ditinggalkan kecuali akhlak mulianya, maka dia akan berusaha terus untuk taat dan memuliakan dirinya dengan akhlak-akhlak mulia, bukan dengan kesombongan dan akhlak-akhlak keduniaan. 

Orang seperti ini, jangankan melakukan kesombongan, berfikir untuk itupun tidak akan pernah dilakukannya. Dan bahkan dia tidak akan pernah punya waktu untuk itu, sebab semuanya ia persiapkan untuk akhiratnya. 

Mungkin ia lebih kaya, lebih alim, lebih taat, lebih tua, lebih tinggi posisinya ( seperti guru, ustadz, orang tua, petinggi, presiden, dll ), lebih tampan, lebih biru darahnya, dll. dari yang orang lain, tapi ia tahu bahwa hakikat zatnya adalah sama dan di hadapan Tuhan semua telanjang dan hina serta yang mulia justru ketika seseorang membajui dirinya dengan ketaatan dan kerendahan serta keikhlasan di hadapan Tuhannya ditambah dengan baju ketawadhuan dan kasih sayang yang hakiki di hadapan makhlukNya, bukan ketawadhuan yang palsu dan memancing penghormatan orang lain. 

6- Kesederhanaan di Dunia. 

Orang yang tidak memperhatikan kemuliaan-majazinya ( karena selain Tuhan tidak memiliki kemuliaan yang hakiki ) dan selalu ingat akan matinya, maka ia akan menyederhanakan keperluan dunianya secara pasti. Ia tidak akan pernah menumpuk kekayaan dan bahkan tidak akan sempat berfikir untuk itu. Kalau ia berusaha gigih dalam mencari harta, tidak lain hanya untuk keperluaan sederhananya dan keluarganya. Sedang selebihnya -dari ukuran sederhananya itu- selalu akan diinfakkan untuk agama dan masyarakatnya. Kesenangan dan kesedihannya terletak pada kesedihan dan kesenangan agama dan orang-orang miskin serta yatim. 

Dunia seperti ini akan dihitung oleh agama sebagai bagian dari “ Kebaikan Dunia “ atau “ Fi al-Dun- ya Hasanah “, bukan kekayaan atau kesehatan sebagaimana kebanyakan orang mengimaninya. 

Sebab maksud dari doa kebaikan dunia atau fiddun-ya hasanah adalah iman dan taat, baik dikala kaya atau miskin, dikala sehat atau sakit. 

7- Hikmah Kesehatan. 

Walaupun hal ini bukan tujuan asli agama, karena agama ber-orientasi akhirat, tapi karena Tuhan tidak mungkin mencelakakan hamba-hambaNya di dunia dengan perintah-perintahNya serta Ia Maha Hakim dan Bijaksana, maka sudah pasti perintah sujud ke tanah ini memiliki hikmat dunia juga. 

Sebagaimana perintah tayammum dengan tanah yang juga berhikmah dapat membersihkan anggota badan kita dari kotoran penyakit yang melekat padanya, dengan kandungan-kandungan yang dimiliki tanah-bersih, maka di sinipun demikian. Ia bisa membersihkan kaki, muka dan tangan kita dari bakteri-bakteri penyakit. Mungkin karena itulah, maka banyak sekali diriwayatkan dalam hadits bahwa Nabi SAWW melarang menghapus bekas debu yang melekat di dahi sehabis shalat, atau meniup tempat sujud sebelum sujud. 

Sujud di Tanah Karbala 

Di depan telah kami sebutkan, setidaknya dua tabi-’iyn yang bertabarruk dengan gunung Marwah, sehingga memakai batunya untuk alas sujud. Hal tersebut jelas tidak salah apalagi musyrik. Tidak salah karena sujud di tanah dan batu manapun adalah sah dan bahkan wajib sebagaimana maklum. Tidak syirik karena batu atau tanah tersebut tidak disembahnya, tapi hanya dijadikan alas sujud dimana sujudnya untuk Allah semata, persis seperti orang lain yang sujud ke sejadah dimana mereka tidak bermaksud menyembah sejadahnya. 

Nah, kalau sebagian tabi’iyn bertabarruk dengan gunung Marwah sebagai bagian dari tanah suci Mekkah, lalu apa salahnya orang-orang Syi’ah bertabarruk dengan salah satu tanah yang juga dianggap suci, seperti Karbala? Tanah dimana cucu-makshum ke dua Rasulullah SAWW dan keluarga serta shahabatnya dibantai dan dicincang-cincang di sana. Kalaulah hal itu menurut Ahlussunnah dianggap salah (dalam bertabarruknya), setidaknya sesuai dengan hadits-hadits di atas, hal itu tidak membuat mereka batal sujudnya apalagi syirik. Tapi mengapa sebagian saudara Ahlussunnah menstempel orang-orang Syi’ah dengan membuat bid’ah dan bahkan melakukan kesyirikan. 

Seandainya orang Syi’ah mewajibkan sujud di tanah Karbala itu, maka hal ini bisa dikatakan bid’ah. Begitu pula, seandainya orang Syi’ah menyembah tanah tersebut atau imam Husain as., maka hal ini jelas bisa dikatakan syirik. Tapi kenyataannya tak satupun dari mereka beraqidah dan berkeinginan seperti itu. Mereka hanya menganggap tanahnya itu sebagai alas dahi ( seperti sejadah dan karpetnya orang Sunni ) dan menganggap sebagai tanah suci yang layak ditabarruki. 

Kami akan merinci sedikit tentang masalah kesucian tanah secara umum, dan tanah Karbala secara khusus, menurut hadits-hadtis Ahlussunnah Waljama’ah sendiri. 

Kesucian Tanah 

Kesucian sebagian tanah dan kemuliaannya dari sebagian yang lain, disebabkan oleh beberapa faktor. Namun yang jelas semua itu dilihat dari kacamata agama dan fungsinya dalam agama, 

bukan dari kemauan dan sesuka-suka manusia. Jadi, pada asalnya semua tanah itu sama. Tapi setelah adanya penisbahan atau penghubungan sesuatu yang dianggap mulia dalam agama kepada sebagiannya, maka sebagian tanah tersebut akan dikatakan mulia dan suci. 

Di bawah ini akan kami sebutkan beberapa penyebab kesucian tanah: 
  • Penisbahan Ka’bah. Salah satu penisbahan yang mensucikan tanah itu adalah penisbahan/ penghubungan Ka’bah kepadanya. Dengan penisbahan Ka’bah, tanah biasa akan menjadi suci menurut agama. Sebab Ka’bah sebagai rumah yang dinisbahkan kepada Tuhan karena kemuliaannya yang disebabkan tempat menyembahNya, maka tanah tersebut akan menjadi mulia juga. Oleh karena itu tidak heran kalau salah satu tabi’iyn yang bernama ‘Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abbas bertabarruk dengan batu gunung Marwah ( untuk alas sujud ) sebagai bagian dari tanah Mekkah yang menjadi suci lantaran Ka’bah tersebut. 
  • Penisbahan Mesjid. Salah satu penisbahan itu adalah penisbahan mesjid kepada tanah. Ketika suatu tanah dijadikan tempat ibadah secara khusus, yakni mesjid, maka ia akan menjadi suci dan akan memiliki hukum fiqih yang lain dan baru dari hukum fiqih sebelumnya. Yang tadinya orang boleh saja kencing di situ, kini sudah menjadi haram hukumnya. 
  • Penisbahan Ibadah Khusus Seorang Nabi dan Turun Wahyu Pertama. Kalau mesjid menjadi mulia karena di sana mukminin beribadah kepada Allah, maka begitu pula tempat-tempat yang dijadikan tempat ibadah seorang nabi, seperti Gua Hira’. Sungguh gua itu berbeda jauh dari sebelum Nabi Muhammad SAWW bertirakat/menyepi secara khusus di sana dan menerima wahyu pertama, dengan yang setelahnya. Fiqihnyapun akan menjadi berbeda karena kesucian yang didapatnya itu. Atau seperti tempat ibadah nabi Ibrahim as. dimana tempat berdirinya terkenal sekali dengan nama Maqom Ibrahim as. Atau tempat lari-lari siti Hajar as. di antara Shofa dan Marwah. Tempat ini bukan hanya menjadi suci lantaran lari-larinya itu, tapi setiap muslim yang pergi haji mesti melakukan lari-lari kecil tersebut dan bahkan ianya merupakan salah satu rukun dan falsafah wajibnya haji. Atau seperti air yang dinisbahkan kepada kaki seorang nabi sekalipun masih kecil seperti air Zam-zam. Ia tidak bisa disamakan dengan air lain. Ia menjadi mulia karena keluar dari bekas gerakan kaki nabi Ismail as. sewaktu beliau masih bayi. 
  • Penisbahan Mayat Mukminin. Salah satu dari penisbahan di atas adalah penisbahan mayat kaum mukminin kepada sebuah tanah. Ketika tanah kosong diisi dengan tubuh mayat mukmin, maka tanah itu sudah menjadi terhormat dan memiliki hukum berbeda. Misalnya di sana disunnahkan mengucapkan salam kepada mukminin yang dipendam, orang haid tidak boleh lewat atau masuk di atasnya ( menurut sebagian pendapat ), tidak boleh kencing/berak, dan lain-lain. 
  • Penisbahan Mayat Nabi dan Wali. Kalau penisbahan mayat mukmin saja sudah bisa merubah tanah dari biasa menjadi suci sekalipun dalam tingkat tertentu, apalagi penisbahan seorang nabi atau wali. Di sini jelas bahwa tanah ke dua ini akan lebih mulia dan suci ketimbang yang pertama yang di dalamnya hanya terpendam seorang mukmin biasa. 
Kota Madinah menjadi suci dan mulia serta diziarahi oleh milyaran mukminin dari sejak dahulu kala, karena Nabi SAWW telah dikubur di sana. Begitu pula kuburan-kuburan para wali yang bertebaran di muka bumi ini. 

Semua ini bukan bid’ah, kesalahan/penyimpangan dan apalagi kesyirikan. Sebab penisbahan ini banyak dinukil dalam al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi SAWW. Seperti penisbahan kuburan siti Hajar as. dimana mesti diputari dalam tawaf dan kalau bertawaf di antara Ka’bah dan kuburannya itu tawafnya menjadi batal; penisbahan pelemparan batu di Mina ( sebagai ibadah taat kepada Tuhan dalam memerangi syetan ) oleh nabi Ibrahim as.; penisbahan Miiqoot nabi Musa as. sehingga beliau diwajibkan mencopot sandalnya; dan lain-lain yang banyak sekali. 

Imam Husain as adalah Nabi SAWW 

Kalau kewalian seseorang itu bisa menyebabkan tanah dimana ia dikuburkan menjadi mulia, padahal wali tersebut belum tentu wali menurut Tuhan -sekalipun orang yang mewalikannya itu tidak dianggap salah dan berdosa menurut Islam kalau memang tidak melihat kejanggalan di masa hidup walinya itu- apalagi kalau kewaliannya itu dijamin Tuhan atau Nabi SAWW sendiri. Sudah tentu tanah yang diisi wali yang sesungguhnya tersebut akan terjamin kemuliannya. Terlebih lagi kalau wali tersebut dianggap Nabi SAWW sebagai diri Nabi SAWW sendiri, maka sudah jelas kedudukannya. 

Nabi SAWW bersabda: 

“Husain dari aku dan aku dari Husain. Allah mencintai orang yang mencintai Husain.” 

“Al-Husain penghulu para Syuhada’.” 

“Husain dari aku dan aku darinya, Allah akan mencintai orang yang mencintainya".

Hadits-hadits jaminan kewalian imam Husain di atas ini dapat ditemui di: 

Bukhari dalam kitabnya al-Adabu al-Mufrodu, 1: 455, no: 364, dan dalam kitab Taariykhu al- Kabiyrnya, 8: 414-415; Sunan Tirmidziy, 5: 658; Sunan Ibnu Maajah, no: 144; Musnad Ahmad bin Hambal, 4: 172; Mu’jamu al-Thabraniy, 3: 20-22; al-Mustadrak, 3: 177; Ibnu al-Atsir dalam Usdu al-Ghaabahnya, 2: 19, 5: 130; Kanzu al-’Ummaal, no: 34289, 34264...; Ibnu Katsiyr dalam al-Bidaayah wa al-Nihaayahnya, 8: 206; al-Suyuuthiy dalam al-Jaami’u al-Shaghiyrnya, 1: 370; dan lain-lain dari banyak kitab Ahlussunnah dimana sampai melebihi 54 kitab mereka ( yang ingin melihat masing- masing kitab dan halamannya, lihatlah kitab al-Sujuud ‘Ala Turbati al-Husainiyah, karya Sayyid Muhammad al-Muusawiy, hal: 262-264 ). 

(berlanjut ke Fadhilah Tanah Karbala......!!!)


Catatan Lanjutan dan Sebelumnya:


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar