Minggu, 28 Februari 2021

Makna Penyempurnaan Filsafat dan Mempertemukan Filsafat dengan Irfan oleh Mullah Shadra ra


seri tanya jawab Dedy Hadi dengan Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/324612974250172/ by Sinar Agama (Notes) on Thursday, December 1, 2011 at 1:59am


Dedy Hadi: Ustadz.....jika Mulla Shadra telah berjasa mempertemukan/menjembatani antara filsafat dan Irfan (akal dan kasyaf). Namun persoalannya, pembentangan wujud menjadi gradasi wujud Mulla Shadra. akan mengembalikan ketidakberadaan menjadi berada dalam pencapaian? Apabila Panteis dimana menyatakan ke-Tuhan-an alam/esensi dan Mulla Shadra bahwa alam itu wujud berarti juga menyatakan ke-Tuhan-an alam/esensi (dalam gradasi wujud). hal kedua pendapat ini akan sampai pada akhir yang sama , seperti pengakuan Al-Hallaj ”saya Tuhan”. Itu bagaimana ustad ?

Senin pukul 18:29 dekat Daerah Khusus Ibukota Jakarta


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

(1). Tidak demikian. Karena yang dimaksud dengan Gradasi Wujud dalam Filsafat dan Irfan berbeda. Gradasi Wujud.

(2). Gradasi Wujud dalam Filsafat adalah Wujud itu memiliki satu pahaman dan makna tapi memilki perbedaan dimana perbedaannya ditentukan oleh wujudnya sendiri. Jadi, tidak dibedakan dengan esensi seperti yang dikatakan oleh filsafat Masysyaa’ (parepatetik). Jadi, Gradasi Wujud dalam filsafat Mulla Shadra ra adalah bahwa perbedaan wujud itu kembali kepada persamaannya, yaitu wujud itu sendiri.

Yaitu bahwa perbedaan wujud yang satu dengan yang lainnya adalah di derajat wujudnya, bukan di esensinya. Karena esensi dalam hakikkat filsafat Muta’aaliyyahnya Mulla Shadra ra, sudah dikeluarkan dari hakikat nyata, yakni tidak nyata. Nah, ketika yang nyata itu hanya wujud, maka di samping persamaan wujud yang satu dengan yang lainnya adalah di wujud, perbedaannya juga di wujud, yakni di tingkatan dan derajat wujudnya. Istilah Tasykiik yang kemudian diterjemahkan menjadi “Derajat Wujud”, sebenar penerjemahan sesuatu pada konsekkuensinya, bukan pada hakikatnya. Sebab hakikat Tashkiik adalah perbedaannya (wujud) kembali kepada persamaannya (wujud), bukan derajat wujud itu sendiri. Jadi, terjemahannya itu kurang tepat walau, dalam artian katanya memang sudah bisa dikatakan benar. Akan tetapi kalau dilihat dari kacamata peristilahan filsafat, maka kurang benar.

(3). Yaitu mirip memiliki makna Gradasi Dalam Tajalli, Gradasi Wujud dalam Irfan denganfilsafat Masysyaa’ dari satu sisi. Karena bagi masysyaa’ esensi itu pembeda satu wujud dengan lainnya, maka di Irfan, esensi itu adalah bukan wujud tapi saling membedakan satu sama lainnya. Karena itu, maka hakikat gradasi itu sebenarnya tidak pernah terjadi pada wujud, tapi terjadi pada tajalli saja, yaitu esensi.

(4). Kalau dikatakan bahwa Mulla Shadra ra itu mempertemukan filsafat dengan irfan, bukan berarti keduanya sama-sama bertahan dengan konsepnya tapi saling bertemu dan satu makna. Bukan begitu. Tapi semua konsep filsafat ditutup dengan kehilangan identitasnya dan menjadi konsep irfan saja. Karena itulah di kitab Asfarnya, jilid 2, hal 292, mengatakan bahwa ia berusaha melengkapi filsafat dan seterusnya sampai pada kata-kata hingga Allah menghidayahiku ... dan seterusnya sampai pada kata-kata: ”. bahwa sesungguhnya wujud itu hanya Allah swt ”.

Nah, jadi maksud bahwa Mulla Shadra ra mempertemuakan filsafat dengan irfan adalah menutup semua konsep filsafat dan menjadikannya konsep irfan atau wahdatulwujud. Yakni bahwa filsafat itu adalah batu loncatan menuju irfan. Karena itulah ustad besar ayatullah ’uzhma Jawadi Omuli mengatakan +/-:

”Pelengkapan filsafat yang dimaksud di sini (di hal tersebut) bukan pelengkapan bab-bab filsafat (misalnya seribu bab lalu ditambahi satu bab lagi, bukan begitu), tapi mengantarkan filsafat ke irfan. Yaitu menjadikannya batu loncatan menuju irfan dan wahdatulwujud.”

(5). Jadi maksud sebenarnya dari kehebatan Mulla Shadra ra dalam mempertemukan filsafat dengan irfan adalah bahwa Mulla Shadra ra mampu membangun argumentasi irfan, yakni tentang wahdatulwujud, dengan akal dan kaidah-kaidah filsafat. Jadi, begitu konsep-konsep filsafat -yang bersangkutan dengan premis/dalil irfan- ditata, maka kepengakuan terhadap konsep-konsep filsafat yang memang mesti dan gamblang itu, akan mengantarkan kita ke irfan atau wahdatulwujud tersebut.

Penutup:

Dengan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa:

(1). Filsafat yang masih mengakui keberadaan selain Tuhan, apakah beda diantara sesama wujud itu dengan esensi seperti dikatakan filsafat masysyaa’, atau dibedakan oleh wujud itu sendiri (derajatnya) seperti yang dikatakan Mullah Shadra ra (dalam konsep filsafatnya), maka apapun pembahasannya tentang wujud ini, adalah tetap mengakui kewujudan selain Tuhan yang dikatakan makhluk atau akibat. Jadi, apapun konsep Mulla Shadra ra yang berkenaan dengan keberadaan selain Tuhan, maka sudah tentu dilihat dari kacamata filsafat atau, filsafat yang belum disempurnakan.

(2). Irfan adalah hanya mengakui keberadaan Tuhan dan yang lainnya adalah tidak ada. Mereka hanyalah bayangan, wajah ...dan seterusnya. Karena itu, maka ketika Mulla Shadra ra menerangkan tentang kehanyaan wujud Tuhan ini, maka penjelasan itu adalah irfan atau filsafat yang sudah disempurnakan. Jadi sudah keluar bahkan dari filsafat dia sendiri yang diberi nama ”Filsafat Tinggi”.

(3). Ketika dikatakan bahwa selain Tuhan tidak ada, bukan berarti alam ini Tuhan. Tapi dikatakan bahwa alam ini tidak ada. Karena itu, alam ini hanyalah wajahNya, ceritaNya, manifestasiNya, tajalliNya. dan seterusnya.

Rincian dari semua penjelasan di atas, dapat diambil di catatan-catatan yang ada tentang Wahdatu al-Wujud yang sudah belasan catatan itu.

Wassalam.

Haidar Dzulfiqar and 15 others like this.


Tiyang Jawi: Salam Ustadz, ana mau tanya, bolehkah ijab mut’ah menggunakan bahasa indonesia?

Sinar Agama: TJ: Kawin daim atau mut’ah itu harus dengan ijin yang jelas dari walinya kalau wanitanya bukan janda. Jelas siapa calon suaminya, jelas tanggal kawinnya dan jelas kapan berakhir kawinnya (kalau mut’ah). Ijab dan Qabul kawin itu harus dengan bahasa arab. Tapi kalau tidak tahu dan tidak ada yang bisa membimbingnya, maka bisa pakai bahasa Indonesia yang sesuai dengan terjemahannya. Tentu saja, ketika orang sudah tahu kewajiban bahasa arab ini, maka wajib belajar sebelum melakukannya, karena hal itu mudah dilakukan. Jadi, usahakanlah untuk tidak memakai bahasa lain selain arab, karena mempelajarinya (ijab dan qabul) itu sangat mudah. Jaid, bisa dipahami bahwa kebolehan bahasa lain itu adalah dikala seseorang tidak ingin melakukannya, lalu tahu-tahu ingin melakukannya dan tidak bisa menghubungi yang tahu bacaaannya baik telepon atau sms, maka kala itu baru bisa memakai bahasa yang lainnya selain arab.

Zahidiyah Ela Tursina:

1. Ustadz, saya mau memastikan kebenaran. Kata teman saya, menurut Marja’ Imam Khamenei, kalau nikah Mut’ah dengan hubungan badan, seorang gadis perawan harus pake izin wali dan kalau janda tidak harus izin wali. Sementara itu, kalau Mut’ah sekedar muhrim, maka gadis perawan tidak harus izin wali. Apakah ini benar?

2. Kalau menurut Marja’ Imam Khamenei, apakah tingkatan keharusan memakai wali bagi gadis perawan di nikah mut’ah maupun nikah Daim adalah wajib, ihtiyath wajib, atau ihtiyath mustahab?

3. Ustadz, bagaimana tata cara nikah mut’ah maupun Daim menurut marja’ Imam Khamenei? Maaf, ustad. Saya baru praktek fiqh Ja’fari.


Sinar Agama: ZET:

(1). Mut’ah pakai hubungan atau tidak, dua-duanya wajib ijin wali dengan jelas, baik tanggal mula atau tanggal berakhirnya. Aneh sekali nukilan itu. Minta saja padanya dimana fatwa itu berada.

Janda adalah orang yang sudah nikah dengan syah/benar dan dikumpuli setelah nikah itu. Selain itu, walau perawan, maka dihukumi gadis dalam hal ijin wali ini, yaitu wajib ijin pada walinya.

(2). Tingkatan kewajiban ijin wali bagi wanita rasyidah (matang) yang bukan janda itu adalah hati- hati wajib. Yakni wajib diikuti atau dalam hal ini bisa pindah ke marja’ lain yang satu tingkat di bawahnya. Dan wanita rasyidah itu bukan hanya dewasa, tapi matang. Misalnya, tahu baik- buruknya, tidak mudah dikibuli lelaki hingga menyerahkan dirinya dan semacamnya.

(3). Tata cara nikah mut’ah atau Daim itu sama saja selain menyebutkan waktu mulai dan berakhirnya pada nikah mut’ah. Jadi, syarat2nya sama saja, seperti syarat ijin wali dan semacamnya. Dalam ijin juga tidak boleh diplomatik, tapi harus jelas dan dipahami si wali. Seperti siapa calon suaminya, berapa maskawinnya, dan tanggal nikahya. Begitu pula kapan tanggal berakhirnya, kalau kawinnya mut’ah. Tapi kalau daim, hanya menjelaskan tanggal kawinnya, karena tidak ada tanggal berakhirnya.

Setelah semuanya jelas, dan sudah sampai ke tanggal yang diijinkan walinya itu, maka seorang wanita bisa mengawinkan dirinya kepada lelaki yang dimaksudkan dalam ijin tersebut dengan maskawin yang sudah pula diijinkan walinya itu.

Nah, dalam kawin ini, pertama adalah yang wanita mengawinkan dirinya. Hal ini bisa dilakukan sendiri, dan bisa diwakili wakilnya atau siapa saja yang dianggap bisa mengawinkan.

Wali dan saksi tidak harus ada dalam perkawinan itu, tapi sangat dianjurkan bagi/dengan kehadiran mereka. Bahkan saksi ini sunnah hukumnya. Jadi, kalau jauh dari wali, maka tidak mengapa melaksanakan kawin tersebut, asal walinya mengijinkan seperti yang sudah diterangkan di atas itu. Walimahan juga disunnahkan dalam hal kawin ini.

Kawin harus pakai bahasa arab, kalau tidak bisa belajar dulu. Dan kalau mendadak dan sulit belajar, dan juga tidak ada yang bisa mewakilinya, maka bisa memakai bahasa yang lain. Tapi kalau benar-benar tidak ada yang bisa membantunya, walau dengan menuntun atau mewakilinya.


Nasihat:

Walau wanita tidak punya dan sudah rasyidah, atau yang merasa rasyidah dan mendapat ijin walinya, maka tetap saja hindari mut’ah itu kalau jarak ke masa kawinnya masih jauh, seperti lebih dari sebulan. Artinya, sabar lebih baik dari pada tidak mengendalikan dirinya. Tentu saja kalau bisa. Dan kalau tidak bisa, maka usahakan dulu untuk menahannya itu semampu mungkin. Karena, kalau main mut’ah saja, lalu hubungan itu putus di tengah jalan, maka ia sudah menjadi barang bekas yang mungkin akan membuat dirinya menderita berkepanjangan. Karena kalau kawinnya dengan lelaki yang hanya bisa main halal haram saja, tidak memiliki rasa santun dan tidak memiliki harga diri, dan hanya pandai merengek dan merayu untuk dapat menjamah wanita, maka bisa saja nanti ia akan main haram halal ketika ingin meninggalkannya. Jadi, harap waspada.

Kalaulah lelakinya juga sudah bagus, tapi bisa saja ia terganggu syaithan yang membisikkan bahwa istri yang baru dikawininya mut’ah itu kurang ini dan kurang itu, sementara mencerainya tinggal cerai saja (bc: menghibahkan waktunya), atau tinggal tunggu waktu habisnya saja. Nah, kalau ia memutuskan untuk meneruskan atau untuk menghibahkan waktunya, maka wanita tersebut hanya bisa menyesalinya dan tidak dapat lagi merubah dirinya dari belum pernah tersentuh menjadi sudah pernah tersentuh dimana nanti mungkin hanya lelaki yang juga pernah menyentuh yang akan menyapanya lagi.

Jadi, sebisa mungkin waspadalah dan jangan main pacaran yang haram atau mut’ah yang walaupun sudah halal karena sudah dapat ijin wali. Karena hal tersebut bisa membuat penderitaan sekalipun halal, seperti orang sakit perut dan mencret karena makan cabe yang halal. Atau yang paru-parunya berdarah karena rokok yang halal. Wassalam.


Zahidiyah Ela Tursina: Maaf, saya kurang faham definisi wanita Rasyidah menurut Imam Khamenei. Soalnya setiap daerah negara tentu mempunyai kualifikasi sendiri dalam mengkategorikan wanita matang. Misalnya; kalau di desa wanita yang berumur di bawah 20 tahun sudah dianggap dewasa. Kalau di kota, wanita yang berada di bawah 20 tahun belum dianggap dewasa alias masih kecil.

Terima kasih.

Maulana Kumara:Assalamualaikum wr wb,ustad, ana mau nanya, kalau anak hasil kawin mut’ah apa berhak mendapat waris dari bapaknya, bagaimana urus akta kelahirannya karena ga ada surat nikah, bagaimana menjaga agar tidak terjadi nikah antara saudara apabila si lelaki mempunyai anak banyak dari istri-istri mut’ahnya, bagaimana setatus perempuan yang dimut’ah setelah berakhir masa mut’ahnya, perawan apa janda.?

Wassalamu alaikum wr wb.


Sinar Agama: Maulana,

a- Anak dari mut’ah itu anak halal dan mewarisi.

b- Urus akte kelahirannya bisa dijelaskan kepada pejabat. Wong anak zina saja diaktein, apalagi kawin syah. Kalau nggak bilang saja anak hasil kawin sirri seperti di Sunni.

c- Tidak perlu dijaga supaya antar anak tidak saling nikah. Wong dari sejak di kehamilan sudah dibiayai ayahnya kok. Kan biaya hidupnya si anak dalam tanggungan ayahnya, persis seperti wanita hamil yang dicerai suaminya. Jadi, dari awal akan selalu berhubungan dengan orang tuanya hingga karena itu tidak mungkin akan terjadi kekeliruan di masa depan.

d- Kalau kawin mut’ahnya si wanitanya itu syah dan sesuai syarat-syaratnya seperti wajibnya ijin wali yang jelas dan gamblang (siapa calon suaminya, tanggal berapa kawinnya, tanggal berapa selesainya dan berapa maskawinnya, sebagaimana sudah sering dijelaskan), maka setelah selesai mut’ah statusnya janda. Tapi kalau tidak syah, dan apalagi zina, maka antum bisa merujuk ke catatanku yang berjudul “Definisi Perawan dan Janda”

December 8, 2011 at 9:52pm



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ


Tidak ada komentar:

Posting Komentar