Rabu, 29 Juli 2020

Jatuhnya Hukum Qashar


Oleh Ustad Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/250779204966883/ Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 20 September 2011 pukul 16:47


Mohamad Bagir: Salam ustad.. mohon izinnya untuk bertanya ustad, kiranya ustad berkenan dan berkesempatan untuk menjawabnya. Apabila saya pergi ke luar kota (+- 65 km) untuk kuliah, berangkat setiap hari senin dan kembali setiap hari kamis/jumat.. apakah shalat qashar berlaku untuk saya? Terima kasih banyak sebelumnya..

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyannya:

Kalau jarak perbatasan kota antum dengan perbatasan kota tempat kuliah itu mencapai 23 km, maka shalat di kota tujuannya itu, baik sebelum sampai ke kampusnya atau setelah sampai, maka shalatnya sudah tentu qashar.


Mohamad Bagir: Kalau kuliah saya itu tugas belajar dari kantor apa tetap berlaku ustad? Afwan ustad, saya bingung karena ada kaitan dengan pekerjaan.. saya kuliah dibiayai kantor dan tetap memperoleh gaji seperti biasa.. biasa dibahasakan tugas belajar, bea siswa dari instansi tempat saya bekerja..


Sinar Agama: Kalau tugas itu adalah benar-benar ditugasi kantor untuk belajar dan belajar itu dianggap pekerjaan kantor oleh kantor, maka tidak qoshor. Tetapi kalau antum saja yang ingin menaikkan derajat ilmu dan jabatan antum, tetapi direstui kantor dan bahkan dapat bantuan dari kantor, maka ianya bukan pekerjaan dan shalatnya antum qoshor.


Mohamad Bagir: Syukran ustad AA atas detailnya, saya simpulkn saya shalat qashar. Afwan ustad tanya lagi,

1. Kalau kasus lain, kantor di kota A, oleh pimpinan diperintah ke kantor pusat di kota B, jarak batas kota kedua kota lebih dr 23 km, lama kurang dari 10 hari, hampir setiap bulan tapi tidak pasti menunggu undangan dari kantor pusat, qashar/tidak?

2. Kalau pernah salah dalam menentukan qashar atau tidak, seharusnya penuh tetapi dikerjakan qashar atau sebaliknya apa harus diqadha ustad?

Maaf ustad kalau merepotkan dan kelihatan bodohnya ga ngerti-ngerti..


Sinar Agama: Salam: Saya adalah SA, semoga saja antum tidak salah alamat.

(1). Kalau antum taqlid ke Rahbar hf, maka shalatnya penuh dalam kondisi pertama itu. Tetapi anjuranku untuk hati-hatinya, di perjalanan pertamanya, shalat dua kali, penuh dan qashar.

(2). Karena kewajiban qadhaa’ itu adalah yang tidak shalat pada waktunya, atau shalat pada waktunya tetapi ketahuan bahwa salah, maka yang salah dalam masalah qashar ini juga qodhoo’.

Bertanya tentang kewaiban dan kaharaman dalam fikih itu wajib, dan menjwabnya bagi yang tahu juga wajib dan bahkan haram mengambil upah. Karena itu tidak perlu minta maaf, karena sudah sama-sama kewajiban. Tentu saja saya tidak melarang antum memiliki akhlak mulia, karena secara akhlak minta maaf itu tidak mesti ketika salah. Tetapi saya tulis hukum bertanya dan menjwab itu supaya antum tidak punya rasa sungkan sedikitpun dalam hati.
Anjuran:

Dalam mengamalkan fikih dan menghadapi kebingungan, maka pilihlah yang lebih berat. Misalnya, qoshor atau tidak, maka shalat dua kali. Najis atau tidak, maka cucilah seperti mencuci najis. Haram atau tidak, maka jauhi seperti menjauhi haram. Ini yang dianjurkan agama. Kalau hal tersebut dilakukan, maka tidak akan terjadi kesalahan, dan in syaa Allah akan mensuburkan takwa itu dalam dada kita..

Mohamad Bagir: Salam dan maaf Ustad Sinar Agama. Maunya saya bertaqlid dengan yang sama bahasa dan paham kultur sendiri, seperti antum misalnya. Tapi saya perhatikan antum sendiri (maaf kalau kesimpulan saya salah) bertaqlid pada Rahbar hf. Jadi kalau ustad tidak mencantum suatu hal itu sesuai dengan pendapat Rahbar hf. sekalipun maka pendapat itu tetap sesuai pendapat Rahbar hf. Begitu ya ustad? Betul ustad kadang rasa ingin tahu (seharusnya kewajiban untuk tahu) terhalang oleh rasa pekewuh atau sungkan..

Istilah lebih berat emang tepat buat anjuran ustad, misalnya maunya shalat 2 rakaat jadi harus shalat 6 rakaat, bahkan jadi lebih berat dari sebelum “diberi keringanan” 4 rakaat.. aneh ya ustad.. tapi tetap lebih baik dengan meyakinkan diri dengan bertanya kepada yang tahu kan ustad? Misalnya ke ustad.

Saya tanya lagi ya ustad (gak sungkan lagi :))

1. Untuk perjalanan dinas yang sama juga, kalau kaitan dengan puasa Ramadhan ustad? Kafarat berlaku jika pernah tidak puasa karena salah/belum tahu?

2. Ibadah-ibadah yang dilakukan ketika saya suni tidak perlu qadha kan ustad.. bagaimana dengan ibadah-ibadah yang saya lakukan dengann cara syafi’i walau sudah beraqidah syi’ah karena mempelajari aqidah dulu baru fiqih dan itu karena kesempatan dan kemalasan saya jadi berlangsung cukup lama, +- 1 tahun saya baru melakukan ibadah dengan cara syi’ah (sesuai pengetahuan saya).. sahkah ibadah saya? Apa harus diqadha ibadah saya 1 tahun itu? Kafarat puasa?

Maaf ustad sebelumnya soal pertanyaan saya yang 1 ini. Apa benar ustad lahir tanggal 01 januari 1981 seperti yang tercantum pada profile FB ustad ini?

Maaf ustad skali lagi, karena ini berkaitan dengan kepercayaan saya terhadap ustad (supaya tidak perlu menanyakan dasar dari pendapat dari ustad).. bukan karena mudanya ustad, tetapi jika tanggal itu tidak sesuai (bukan tanggal lahir ustad), ada kesan sedikit “berbicara tidak benar” kasarnya “ada unsur kebohongan” yang tentu saja berkaitan dengan kepercayaan terhadap seseorang. Sekali lagi maaf ustad dan terima kasih.. saya cuma berniat meyakinkan diri saya yang jauuuh lebih kotor ini..

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

(*). Antum bisa mengamalkan jawaban fikihku karena antum taqlid ke Rahbar hf. Jadi, kesimpulan antum itu sudah benar. Karena jawabanku biasanya pakai imam Khumaini ra dan Rahbar hf, dimana fatwa imam Khumaini ra juga dijadikan fatwa Rahbar hf oleh Rahbar hf sendiri. Jadi, bisa diikuti sebelum ketahuan bedanya. Tetapi sering juga yang dijawabkan itu memang langsung fatwa Rahbar hf sendiri atau sudah gabungan keduanya yang paling selamatnya.

(**). Untuk anjuranku shalat dua kali itu, adalah terutama di saat sulit menentukan kewajibannya dan itu yang memang dianjurkan agama. Tetapi tentang anjuranku yang shalat dua kali setelah kepergian antum yang pertama kali ke tempat tugas itu, tidak terlalu ditekankan, dan, semoga saya bisa segera pastikan dalam waktu tidak lama lagi.

(1). Yang saya tahu kaffarah itu adalah kalau memutus puasanya dengan sengaja. Tetapi kalau salah penerapan, maka cukup dengan diqodho’ saja. Tetapi nanti kalau jawaban ini juga terjadi kesalahan akan diralat, walaupun kemungkinan salahnya kecil.

(2). Ukuran antum dan siapa saja dikatakan syi’ah adalah ketika sudah meyakini dan mengimani adanya imam maksum yang 12 orang as itu yang dimulai dari imam Ali bin Abi Thalib as dan diakhiri oleh imam Mahdi bin Hasan ‘Askari as yang telah lahir itu sejak abad 3 H itu. Nah, kalau antum sudah yakin dan beriman dengan keharusan adanya imam-imam maksum setelah Nabi saww ini, maka antum sudah dikatakan syi’ah dan, sudah tentu berkewajiban melaksanakan perintah-perintah agama sesuai dengan madzahb syi’ah.

Jadi, kalau tidak dilakukannnya, maka ibadah-ibadahnya menjadi batal. Beda kalau dulu masih sunni atau berpaham seperti wahabi (Muhammadiah, persis, jami’ah Islamiyyah, dan lain-lain), maka kalau ibdah-ibadahnya sudah sesuai dengan aliran sebelumnya itu, maka sudah dianggap syah dan tidak perlu diulang. Jadi, ibadah antum yang dilakukan dengan cara aliran lama, tetapi setelah antum jadi syi’ah, maka harus diulang lagi (diqodho’). Tetapi untuk kaffarahnya, walaupun sangat mungkin wajib juga, tetapi saya akan tanyakan kepastiannya ke kantor Rahbar hf, in syaa Allah.

(3). Untuk soalan ke tiga itu, maka saya tidak akan banyak koment. Jadi, antum bisa mempercayai saya atau tidak, benar-benar sepenuhnya ada di tangan antum, dan saya sama sekali tidak tersinggung. Mungkin ada baiknya antum membaca catatan baruku yang diterbitkan 7-September-2011 dan yang berjudul:

Shalat ayat & Filsafatnya & Hukum mengambil berita fikih dari Sinar Agama, seri tanya jawab Ali Assegaf & Widodo dengan Sinar Agama


Tambahan:

Tidak semua data yang ditulis di fb ini adalah benar. Ini kenyataan pertama dari ‘urufnya fb. Artinya, kalau orang baca data seseorang di fb, maka tidak ada yang langsung mempercayainya. Baik, tentang nama, kelahiran, hobi, status, keluarga, buku-buku kesukaan dan seterusnya. Jadi, menulis data di fb ini, tidak mesti menggambarkan hakikat aslinya. Tentu saja terdapat berbagai niat, bisa karena gurau, karena ingin menipu, karena menutupi diri, karena malu, karena keselamatan, karena penyerangan terhadap aliran tertentu, karena agen kafir, karena cari jodoh, karena ganggu cewek dan segudang niat lagi.


Maksud saya, bahwa dalam komunikasi tingkat fb ini, dari sisi data diri, tidak terlalu banyak dipusingkan orang. Tentu saja, ini menurut hemat saya dan sudah tentu tidak mesti begitu. Tetapi sebaliknya, data ilmiah dan dalil-dalil sangat diperhatikan. Hal itu karena fb ini tempat berlaga di depan umum. Jadi, kalau tidak ada dalilnya, maka akan terlihat oleh ratusan ribu orang dan bahkan jutaan orang. Antum lihat saja wahabiyun itu, kan bisanya selama ini menulis dakwa tentang syi’ah, lalu lari. Atau menulis dakwa yang disertai dalil palsu atau dalil salah, lalu lari. Dan larinya, bukan senyap-senyap, tetapi pakai ejek-ejekan dan olok-olokan. Itu tandanya karena mereka tidak punya dalil. Ngapain ngolokin orang kalau ia punya dalil? Karena dalil itu hujjah yang bisa menarik orang ke diri dan golongannya. Mereka juga tahu bahwa alangkah baiknya kalau mereka punya dalil hingga tidak perlu ejekan. Tetapi alangkah sedihnya mereka hingga semakin memperburuk wajah diri dan golongannya sendiri karena pakai ejekan sana sini dan umpatan premanism.

Karena itu, kalau antum, dengan penjelasan ini, dan dengan membaca catatanku yang sudah kuberikan itu, atau karena alasan apapun, tetap tidak bisa mempercayai alfakir ini, maka benar- benar itu hak antum. Tetapi kalau antum mau bisa diatasi, misalnya dengan menanyakan sumber fatwanya, atau meminta penukilannya. Tetapi kalau tidakpun, maka juga tidak masalah.

Walaupun saya tidak mendukung kebohongan, tetapi bukan setiap yang tidak sama dengan data sebenarnya itu adalah bohong. Karena dalam islam masih ada hukum lain yang bernama Tauriah yang, biasanya dilakukan manakala terpaksa dan belum sampai ke tingkat taqiah. Kan kalau taqiah itu dibolehkan kalau ada ancaman jiwa, pemukulan, pemerkosaan dan perampasan harta kehidupan. Tetapi kalau tidak sampai ke tingkat itu, maka seseorang bisa menggunakan cara Tauriah. Tauriah adalah menyalahpahamakaan orang lain. Misalnya antum punya uang sedikit di bank, dan teman antum mau pinjam. Tetapi dalam pandangan antum ia belum terlalu darurat sementara uang antum di bank itu sangat diperlukan antum sendiri. Kalau antum bilang punya uang di bank tetapi diperlukan, antum tidak enak hati pada teman antum itu, karena katakanlah teman akrab atau saudara yang dicintai dan dihormati. Karena itu, antum bisa menggunakan tauriah ini. Misalnya antum sambil menunjukkan kocek antum dan dengan niat bahwa di kocek antum tidak ada uang, antum berkata kepadanya: “Lihat nih, aku tidak ada uang” Tauriah ini dibenarkan kalau niatnya sudah benar, yaitu sebelum antum berkata-kata, antum sudah berniat bahwa antum ingin mengatakan bahwa di kocek antum tidak ada uangnya. Dengan harapan ia memahami bahwa antum secara keseluruhan tidak punya uang. Inilah yang dikatakan tauriah alias mengarahakan pahaman orang untuk salah memahami maksud sebenarnya antum. Tauriah ini tidak dianjurkan sering dipakai, karena bisa mengarahkan manusia kepada kebohongan di kemudian hari. Jadi, biasanya digunakan dikala terpaksa tetapi yang belum sampai ke tingkat taqiah.


Mohamad Bagir: Terima kasih ustad atas penjelasannya.. sangat memuaskan saya.. walaupun untuk saya yang imannya masih timbul tenggelam tentu sangat berat mengamalkannya terutama masalah qadha ibadah-ibadah saya yang jadinya sangat banyak itu, apalgi kalau dtambah kafarahnya itu. Mohon doanya ustad. Terima kasih..


Sinar Agama: Mohammad B: Antum tidak boleh menyalahkan siapa saja kecuali diri antum sendiri karena sudah punya imam kok mengambil dari orang yang bukan imam antum. Saya tahu antum tidak menyalahkannya, tetapi maksud saya bahwa hal tersebut sudah merupakan konsekwensi logis dari kita kalau melakukan kesalahan yang sengaja tersebut. Sengaja, karena punya imam maksum tetapi mengikuti orang lain.

Saya terpaksa harus tegas, karena disamping memang tuntutan agama, supaya juga sejarah buram ini tidak terulang lagi. Dulu saya juga mengqodho’ setahun ibadah saya. Untungnya puasanya tidak salah.

Kalau kaffarah itu bisa dicicil dengan uang. Tentu saja qodho’nya tetap. Yaitu perharinya membayar seukuran 60 piring nasi dan diberikan ke marja’nya atau wakilnya atau marja’ manapun juga, karena hal ini tidak harus ke marja’nya, tetapi disetor ke marja’ itu lebih aman karena mencari fakir yang 60 itu mudah bagi mereka karena biasanya sudah punya daftarnya.

Saya yang penuh hijab, sepertinya tidak pernah melewati hari tanpa mendoakan antum semua. Percayalah bahwa ujian kita sangatlah kecil dan tidak terlalu besar. Karena itulah imam Ali as mengatakan untuk menjauhi dosa karena taubat itu lebih berat dari pada menjauhi dosa.

Chi Sakuradandelion dan 4 orang lainnya menyukai ini.


Sattya Rizky Ramadhan: Allahumma shalli ‘alaa Muhammad wa Aali Muhammad 

27 Juli 2012 pukul 13:11 · Suka



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar