Rabu, 24 April 2019

Predikat Wujud Harus Berwujud Pula



Seri tanya jawab Muhammad Zaranggi dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 9:55 am

Muhammad Zaranggi mengirim ke Sinar Agama: 5 Maret 2013 melalui seluler, Salam ustadz. 


Mohon penjelasan dan contoh dari kaidah wujud sebagai berikut: Setiap yang mengiringi wujud dari sifat-sifat dan hukum-hukum atau berita -berita maka semua itu tidak keluar dari zatnya. Karena di luar zat-wujud adalah ketiadaan. Afwan ustadz... 



Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Wujud atau eksistensi, adalah keberadaan. Keberadaan ini, kalau dipredikati, apapun predikat itu, maka harus juga ada. Karena kalau mempredikati atau mengabarkan wujud dengan sesuatu yang tidak wujud (tiada), berarti telah membuat kontradiksi yang nyata. Karena itulah, maka wujud, tidak bisa dikabari atau dipredikati dengan sesuatu yang tidak wujud. 

Mungkin ada yang bertanya, bagaimana mungkin yang tidak wujud bisa dijadikan predikat atau berita? Jawabnya, sesuatu yang dijadikan berita itu tidak seutuhnya tiada. Dia hanya tiada di alam nyata atau di alam realitas, tapi ada di akal dan pahaman kita seperti pahaman tiada itu sendiri, atau sekutu Tuhan, atau ayah nabi Isa as...dan seterusnya....dimana hal-hal itu tidak ada di alam nyata, tapi ada di pahaman kita. 

Bahkan, yang tiada di alam nyata dan hanya ada dalam pahaman kita itu, bisa dijadikan subyek, seperti: “Sekutu Tuhan itu mustahil adanya” atau “Tiada itu tidak bisa dijadikan predikat.” atau “Kontradiksi itu mustahil terjadi”.....dan seterusnya. 

Dengan penjelasan-penjelasan di atas itu, maka dapat dipahami bahwa kalau yang diinginkan sebagai subyek itu adalah keberadaan, maka predikat-predikat atau berita-beritanya, harus pula berupa keberadaan. Karena selain keberadaan adalah tiada yang akan kontradiktif dengan keberadaan kalau mau dijadikan predikatnya hingga membuat pemberitaannya atau pempredikatannya, akan menjadi salah. Yakni proposisi atau kalimat berita atau subyek predikat itu, akan menjadi salah kalau dipredikati dengan hal-hal yang tiada. 

Karena itulah maka wujud atau keberadaan, hanya bisa dipredikati atau dengan kata lain diiringi, dengan hal-hal juga ada juga. 

Misalnya: “Ada itu adalah ada”, atau “Ada itu adalah substansi dan aksidental”, atau “Substansi itu adalah substansi”, atau “Substansi itu ada lima macam”, atau “Substansi itu sesuatu”, atau “Substansi itu sesuatu yang keberadaannya tidak perlu kepada pondasi/partner”, atau “Aksidental itu adalah aksidental”, atau “Aksidental itu perlu kepada substansi kalau ingin eksis/ nyata”....................... dan seterusnya. 

Atau seperti “Manusia itu manusia”, atau “Manusia itu rasional”, atau “Manusia itu beradab”, atau “Manusia itu memiliki ruh”, atau “Manusia itu memiliki ilmu”, atau “Manusia itu ada yang sarjana”, ....dan seterusnya. 

Semua berita atau predikat-predikat dari ada atau sesuatu yang ada itu, harus juga berupa ada dan keberadaan, tidak bisa dari hal-hal yang tiada, seperti “Ada itu adalah tiada”, atau “Ada itu sekutu Tuhan”, atau “Substansi atau Aksident itu adalah ayah nabi Isa as atau ayah nabi Adam as.”, atau “Ada/substansi/aksidental itu adalah ayah Tuhan”, atau “Isa adalah anak Tuhan”....dan seterusnya. 

“Tiada”, “Sekutu Tuhan”, “Ayah nabi Isa/Adam as” dan “Ayah Tuhan” dan “Anak Tuhan”, adalah hal-hal yang tiada. Karena itu, tidak bisa dijadikan predikat atau berita atau iringan, terhadap hal-hal yang ada seperti yang disebut dalam contoh di atas tersebut. 

Sang Pencinta: Logika (bgn 6 ): seri Tanya jawab Status Ustadz. Muhsin Labib 

(status) :Muhsin Labib: sebelum ada subjek, penilaian (predikat) apapun tidak berlaku.. = http://www.facebook.com/home.php?sk=group_210570692321068&view=doc&id=212301118814692 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar