﷽
by Sinar Agama (Notes) on Sunday, April 3, 2011 at 10:00pm
Oleh Hendy Al-Qaim pada 03 April 2011 jam 15:26
Afwan... ada yang bisa jawab “attack” dari kelompok salafy ini..??
Keyakinan Syi’ah Tentang Nikah Mut’ah.. Beserta Sumbernya :
1. Syi’ah meyakini mut’ah sebagai salah satu dasar pokok (ushul) agama, dan orang yang meng- ingkarinya dianggap sebagai orang yang ingkar terhadap agama. (Sumber: Kitab Man Laa Yahd- huruhu Al-Faqih, 3/366 dan Tafsir Minhaj Ash-Shadiqin, 2/495)
2. Syi’ah menganggap mut’ah sebagai salah satu keutamaan agama dan dapat meredam murka Tuhan. (Sumber: Tafsir Minhaj Ash-Shadiqin, karya Al-Kasyani, 2/493)
3. Menurut Syi’ah seorang wanita yang dimut’ah akan diampuni dosanya. (Sumber: Kitab Man Laa Yahdhuruhu Al-Faqih, 3/366)
4. Syi’ah menganggap mut’ah sebagai salah satu sebab terbesar dan utama seseorang masuk ke dalam surga, bahkan dapat mengangkat derajat mereka hingga mereka mampu menyamai kedudukan para nabi di surga. (Sumber: Kitab Man Laa Yahdhuruhu Al-Faqih, 3/366)
5. Syi’ah selalu menyebutkan bahwa orang yang berpaling dari mut’ah akan berkurang pahala- nya pada hari kiamat, mereka katakan: “Barangsiapa keluar dari dunia (meninggal) sedangkan dia belum pernah melakukan mut’ah maka pada hari kiamat dia datang dalam keadaan pin- cang yakni terputus salah satu anggota badannya.” (Sumber: Tafsir Minhaj Ash-Shadiqin, 2/495)
6. Tidak ada batasan jumlah wanita yang dimut’ah, seorang laki-laki dapat melakukan mut’ah dengan wanita sesukanya sekalipun mencapai seribu wanita atau lebih. (Sumber: Al-Istibshar, karya Ath-Thusi, 3/143 dan Tahdzib Al-Ahkam, 7/259)
7. Syi’ah beranggapan boleh melakukan mut’ah dengan gadis sekalipun tanpa izin dari walinya dan tanpa ada saksi atasnya. (Sumber: Syarai’ Al-Ahkam, karya Najmuddin Al-Hulli 2/186 dan Tahdzib Al-Ahkam, 7/254)
8. Dalam Syi’ah diperbolehkan melakukan mut’ah dengan anak perempuan kecil yang belum baligh, dimana umurnya tidak kurang dari sepuluh tahun. (Sumber: Al-Istibshar, karya Ath-Thusi, 3/145 dan Al-Kafi fi Al-Quru’, 5/463)
7. Dalam Syi’ah diperbolehkan liwath dengannya (perempuan kecil) dengan cara mendatang- inya di bagian belakangnya (duburnya). (Sumber: Al-Istibshar, karya Ath-Thusi, 3/243 dan Tahdzib Al-Ahkam, 7/514)
8. Syi’ah memandang tidak perlu menanyakan terlebih dahulu kepada wanita yang akan dinikahi secara mut’ah, apakah wanita itu telah bersuami atau wanita pelacur. (Sumber: Al-Istibshar, karya Ath-Thusi, 3/145 dan Al-Kafi fi Al-Quru’, 5/463)
9. Mereka juga beranggapan bahwa batasan minimal dalam melakukan mut’ah bisa dilakukan dengan sekali tidur saja bersama wanita, mereka menamakanya dengan (meminjamkan ke- maluan). (Sumber: Al-Istibshar, karya Ath-Thusi, 3/151 dan Al-Kafi fi Al-Quru’, 5/460)
10. Wanita yang dinikahi secara mut’ah tidak mendapatkan harta waris dan tidak pula dapat mewariskan harta. (Sumber: Al-Mut’ah wa Masyru’iyatuha fi Al-Islam, karya sejumlah ulama Syi’ah, hal 116-121 dan Tahrir Al-Wasilah, karya Al-Khomeini, 2/288)
Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya, Karena jawabanku tidak bisa masuk di komentarnya al-Qoim, maka kutulis di catatan ini saja:
Sebenarnya, saya dulu sudah pernah membahas tentang mut’ah ini, yaitu di catatan yang berjud- ul “Jawaban Atas Kesamaan Mut’ah Ala Spesies Syi’ah Ame Zina” terbitan 09 Oktober 2010. Akan tetapi, karena ada kelainannya, maka sekalipun dengan sangat ringkas, maka saya akan mencoba menjawab permasalahan ini.
Definisi Mut’ah: Mut’ah adalah kawin dengan ijab-qabul seperti kawin daaim/permanent, akan tetapi menyebutkan akhir waktunya.
Syarat-syarat Mut’ah: Syarat-syarat mut’ah, sama dengan kawin permanen, seperti ijin wali bagi wanita yang bukan janda dan lain sebagainya.
Jawaban Soal:
(1). Untuk soalan no satu, sebenarnya saya tidak perlu cek sumbernya karena maksudnya jelas, bahwa yang mengingkari hukum Tuhan dengan sengaja, yakni sudah tahu bukti-bukti kebenarannya bahwa hukum itu dariNya, maka ia termasuk mengingkari agama, walaupun setidaknya dalam hukum yang dimaksudkan itu. Semua musliminpun meyakini hal itu. Misalnya orang yang tidak shalat, tidak keluar dari agama, tapi kalau mengingkari kewajiban shalat, maka kalau sengaja, ia bisa keluar dari agama. Ini semua pandangan kaum muslimin. Karena itu Allah dalam Qur'an (QS: 5: 44) berfirman: “dan barang siapa yang tidak menghukum dengan hukum yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.”
Perlu diketahui, bahwa alamat pertama dari yang diberikan itu tidak benar. Karena di alamat tersebut membahas tentang kaffarahnya sumpah. Sedang alamat ke dua, untuk sekarang ini saya belum punya dan belum menjangkaunya. Dan kalaulah memang ada, tidak menjadi masalah, karena hukum seperti itu diyakini semua muslimin dan sesuai dengan Qur'an. Tapi bukan berarti dari dimensi terhitungnya mut’ah dalam ushuluddin atau keimanan. Karena jelas, hukum halal dan haram itu adalah hukum fikih alias furu’, bukan ushul.
Penyerang itu, mengira bahwa orang yang dihukumi dengan kafir adalah hanya karena mengingkari akidah saja. Padahal dalam pandalangan Islam, mengingkari hukum Islam dengan sengaja (sudah tahu kebenaran hukum Islamnya tapi tetap mengingkari) terhitung mengingkari agama.
Mirip dengan, kalau seseorang mengingkari adanya jin dengan sengaja yang mana bisa kafir. Padahal iman pada jin bukan ushuluddin, karena di sunni hanya 6 perkara. Kalau sang
penyerang mengatakan bahwa mengingkari jin sama dengan mengingkari Qur'an (karena masalah jin ada di Qur'an) hingga menjadi kafir, maka kami akan mengatakan hal yang sama. Yakni mengingkari hukum Tuhan yang ada di dalam Qur'an (asal sengaja) maka sama dengan mengingkari Qur'an hingga bisa menjadi keluar dari agama.
(2). Hukum kawin dalam syi’ah adalah sunnah, baik permanen atau temporer (mut’ah). Karena itu, siapa saja yang melakukannya akan mendapat pahala. Asal dengan benar, misalnya ijin ayah bagi wanita yang bukan janda. Dengan demikian, maka pahala ini, dan pahala apapun, sudah tentu dapat mengurangi dosa. Dan karena dosa itu adalah murka Tuhan, maka pahala berarti mengurangi murkaNya.
Terlebih lagi, mut’ah ini diusahakn untuk diberangus oleh umat Islam itu sendiri sejak jaman shahabat yang dimulai oleh Umar sebagaimana di hadits-hadits sunni seperti riwayat Baihaqi, jilid 7, halaman 206, dimana Umar sendiri mengatakan bahwa mut’ah dengan perempuan ini adalah halal di jaman Nabi saww dan “aku” kata Umar, melarangnya dan akan menghukum pelakunya. Jadi, dengan usaha pemberangusan umat Islam sendiri terhadap halalnya Tuhan ini, maka melakukannya, bisa mendapat pahala tambahan. Misalnya pahala perjuangan mempertahankan agama dan hukum-hukum Tuhan.
(3). Untuk soalan ke tiga ini juga, saya tidak perlu mengecek sumbernya, karena baik benar atau salah dalam penukilannya itu, tidak menyamarkan kejelasan hukum kawin dalam Syi’ah. Yaitu bahwa hukum kawin dalam syi’ah adalah sunnah, baik permanen atau mut’ah. Karena itu, siapa saja yang melakukannya dengan benar (sesuai syarat-syarat syahnya seperti ijin ayah bagi wanita yang bukan janda, dll-nya) maka sudah pasti akan mendapat pahala. Dan pahala, sudah tentu dapat mengurangi dosa. Jadi, hukum sunnah ini, meliputi lelaki dan wanita. Artinya, saya tidak perlu mengecek di tafsir Minhaju al-Shaadiqiin itu apakah dalam kalimatnya itu hanya menyebut pengampunan wanita pelakunya atau tidak. Karena pernyataan itu, bukan berarti menolak fadhilahnya bagi lelaki.
(4). Untuk soalan ke 4 ini, kitab yang ada di saya, pada alamat yang diberikan itu, membahas tentang kaffarah sumpah, bukan seperti yang dikatakannya itu. Namun demikian, kalaulah hal itu ada (misalnya di lain tempat), maka tidak heran setelah kita paham tentang penjelasan pada jawaban no 2 di atas itu. Artinya, melakukan mut’ah pada masa setelah usaha pemberangusan hukum itu oleh umat Islam sendiri, merupakan perjuangan mem- pertahankan hukum-hukum dan agama Allah. Maka dari sisi ini, sama dengan para nabi yang berjuang untuk menyebar dan menegakkan hukumNya. Tentu saja, derajat itu hanya dilihat dari sisi perjuangannya, tidak dari segala dimensinya.
(5). Untuk yang no 5 inipun, dengan memahmi hukum sunnahnya kawin, maka sudah terjawab dengan sendirinya.
(6). Memang jumlah wanita dalam mut’ah tidak dibatasi dengan 4 atau angka lainnya. Jadi, bisa saja lebih dari 4, 9 dan seterusnya. Tentu saja asal dengan semua syarat-syarat syahnya seperti yang dijelaskan di semua kitab fikih.
(7). Untuk no 7 itu saya tidak tahu orang tsb mengambil dari mana. Sepertinya, mengambil dari alam khayalnya. Karena dalam bab wali nikah, di kitab Syarayi’u al-islam, karangan Allamah al-Hilli itu (bukan al-Hulli sebagaimana yang ditulis dalam serangan di atas), dikatakan bahwa:
وتثبت والية األب والجد لألب، على الصغيرة، وإن ذهبت بكارتها بوطء أو غيره، وال خيار لها بعد بلوغها على أشهر الروايتين
“Kewalian ayah dan/atau kakek terhadap anak perempuan yang masih belum dewasa, adalah wajib (tsaabit), walaupun sudah tidak perawan lagi, baik karena pernah dikumpuli (seperti diperkosa orang) atau karena sebab lain. Dan ketika ia sudah dewasapun, tetap tidak ada pilihan baginya –yakni tetap wajib ijin wali- sesuai dengan lebih kuatnya hadits yang ada.” (Jilid 2, halaman 502. Tentang kewalian nikah ini tidak ada di alamat yang diberikan penyerang itu).
Dengan keterangan ini, maka jelaslah bahwa si penyerang itu sangat mengada-ngada terhadap kitab yang dimaksud. Karena jangankan anak kecil yang masih suci, anak perempuan dewasapun, kalau belum janda, wajib ijin walinya dalam nikah (baik permanen atau temporer).
(8). Untuk no 8 ini, maka tidak perlu saya cek penukilannya itu. Karena syi’ah dan sunni, hal seperti itu diperbolehkan. Yakni mengawinkan anak yang belum baligh, seperti ‘Aisyah yang dikawin Nabi saww sebelum 9 tahun. Akan tetapi jelas, bahwa sebelum baligh itu, tidak boleh dikumpuli. Dan setelah baligh, harus pula dengan keridhaan si anak. Karena dalam Islam, hak yang ada pada anak perawan adalah dibagi dua, dirinya sendiri dan walinya. Jadi, ayah tidak bisa memaksa anaknya dan begitu pula sebaliknya. Karena itulah, ketika ‘Aisyah sudah baligh, baru disuruh ayahnya, Abu Bakar, untuk mengantar anggur ke Nabi saww dan menyuruhnya berkata: “Ya Rasulullah, anggurnya sudah matang.”
(9). Dengan jawaban no 8, no 9 ini sudah terjawab dengan sendirinya. Bahwa anak kecil sebelum baligh tidak boleh dikumpuli, sekalipun bisa dinikahi. Dan kumpul itu, dalam syi’ah, bisa dari depan dan bisa pula dari belakang. Dengan dalil QS: 2: 223 yang berbunyi +/-: “Istri-istri kamu itu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu annaa kamu sukai.” Sedang “annaa” bisa diartikan “dari mana” dan bisa diartikan “kapan”. Syi’ah mengambil makna “dari mana”, yakni: “ … datangilah dari mana saja yang kamu sukai.”
Dengan demikian, maka hukum mengumpuli istri dari belakang itu adalah boleh, kalau dengan ridha sang istri. Tapi kalau tidak dengan ridhanya, maka makruh keras. Karena itu, maka pernyataan boleh meliwat anak kecil itu, adalah fitnah yang nyata dan tidak ada dalam alamat yang diberikan itu.
(10). Sedang untuk no 10 itu, maksudnya adalah menjelaskan hukum wajib-tidaknya percaya kepada pengakuan seorang wanita bahwasannya ia tidak mempunyai suami. Dalam hal ini, al-Kaafi, menyebut dua riwayat dimana yang pertamanya, bahwa imam ditanya tentang bertemunya seorang lelaki dengan perempuan yang diragukan statusnya, lalu apakah wajib mengetahui dengan jelas sebelum mengawininya? Imam Abu ‘Abdillah as. menjawab:
ليس هذا عليك إنما عليك أن تصدقها في نفسها
“Tidak wajib bagimu untuk mengetahui hal itu (baca: detailnya sampai yakin), akan tetapi kewajibanmu adalah mempercayai dia terhadap keadaan dirinya.”
Dan riwayat ke dua menerangkan bahwa shahabat imam Abu ‘Abdillah as. bertanya kepada beliau as bahwa ia menjumpai wanita di perjalanan dan kemudian ia bertanya:
هل لك زوج؟ فتقول :ال، فأتزوجها؟ قال :نعم هي المصدقة على نفسها
“Apakah kamu mempunyai suami? Ia menjawab: ‘Tidak’, apakah aku boleh mengawininya?
Imam as. Menjawab: Boleh, dia adalah saksi bagi kebenaran dirinya sendiri.”
Kalau orang berakal dan tanpa emosi, memperhatikan dua riwayat di atas, maka dapat dengan mudah menangkap ruh keduanya. Yaitu bahwa kesaksian perempuan terhadap dirinya itu dapat dipercaya, baik kesaksian itu berupa kata-kata “Aku tidak punya suami”, atau berupa perbuatan, yaitu dengan menerima tawaran untuk dinikahi.
(11). Untuk point 11, maka yang namanya mut’ah itu memang kawin dalam waktu tertentu. Maka dari itu, bisa panjang dan bisa pendek. Dan pendeknya bisa dalam waktu seukuran sekali tidur. Saya, tidak mendapatkan riwayat di alamat pertama yang diberikannya itu, sepertinya asal-asalan saja. Akan tetapi di alamat ke duanya, yakni yang ada di al-Kaafi maka benar adanya, dan di Syi’ah memang jelas bagi setiap orang, yakni tidak aneh. Akan tetapi jawaban imam as ketika ditanya “Apakah kawin mut’ah itu bisa dibatasi waktunya dengan sekali kumpul? Imam as. menjawab: “Boleh.” Yakni tanpa embel-embel penamaan “meminjamkan kemaluan”. Tentu saja di hadits yang lain diterangkan bahwa kalau sudah selesai kumpulnya, maka sang suami harus segera meninggalkannya dan tidak boleh melihat lagi kepadanya.
(12). Kawin mut’ah itu memang tidak ada waris mewaris dengan suaminya. Sang penyerang itu sudah semakin pusing rupanya. Karena semestinya, justru kalau ada pewarisan yang harus dianggap aneh. Karena bagi mereka, mut’ah itu haram dan tidak syah. Bagaimana mungkin seseorang tidak percaya mut’ah, tapi mengkritiki mut’ah karena tidak adanya waris mewaris antara suami istri tersebut.
Wasaslam.
Haidar Dzulfiqar and 53 others like this.
Arwinsyah Pml: Salam ustad warahmatullahi wabarakatuh. Ijin Copy notenya yah ustad sebagai tambahan referensi, Afwan Wa Syukran.
Sinar Agama: Salam dan terimakasih untuk semua jempol dan komentarnya.
Sinar Agama: Pml: Silahkan saja, tapi kalau bisa lengkapi dengan catatan lain yang sudah saya sebutkan judulnya dalam catatan ini, yaitu yang berjudul: ”Jawaban Atas Kesamaan Mut’ah Ala Spesies Syi’ah Ame Zina.”
Sinar Agama: Tentu saja, semua tulisan itu, ala fb-kan, yakni ringkas sekali dan biasanya kurang teratur.
Muhammad Hanafi: Note Antum Sebelumnya Yang Bahas Masalah Ini Udah Ana Baca, Copy & Jadi Rujukan. Syukran.
Arwinsyah Pml: Syukran Katsiran ustad.
Sinar Agama: Tolong teman-teman yang kucintai ikutan rajin. Yakni kumpulin komentar-komentar atau catatan-catatan alfakir ini, tentang mut’ah ini, karena terkadang alfakir untuk menulis satu baris saja, perlu meneliti kitab-kitab berjam-jam. Walau tetap tidak sempurna karena bahasa percakapan. Jadi, antum-antum kumpulkan sendiri, dan terutama poin-poin pentingnya seperti dalilnya, hadits sunninya atau pemahaman hadits syi’ahnya. Tolong bantu alfakir ini dengan ke- cerdasan dan fokus antum semua. Karena saya pasti kewalahan menjawab mereka sendirian. Tapi alfakir tetap saja tidak akan putus asa. Semoga jemari-jemariku ini tidak kelu karenanya.
Sinar Agama: Pml. ok sama-sama.
Aziz Enrekang: Hukum nikah (daim maupun mut’ah) saya pikir memang harus disebaluaskan, dan biarlah perzinahan bagi orang-orang yang suka berzina saja, yang suka menikah untuk yang suka menikah saja.
Basuki Busrah: Ijab Kabulnya silahkan ambil di Aat Laparuki (ada versi laminatingnya)...hihi.
Irsavone Sabit: Wah terimakasih Ustad, telah mencerahkan.
Nurmandi Nurman: Ustad...orang-orang banyak yang berpikiran sempit, maksudnya kalau sudah mut’ah lantas harus di “kumpuli”, apakah cuma itu tujuan mut’ah itu? Cobalah orang itu berjalan bukan hanya kekuatan argumentasi ilmunya saja, tapi cobalah dengan argumentasi selain dengan ilmunya juga dengan argumentasi melalui perjalanan spiritualnya. Maaf apakah kaum salafi tidak ada yang ”BERJALAN”..? Syukron ustad.
Nur Syamsul: Bagi dong kak Bas ame kak Aat...xixixixixix.......
Ali Alaydrus: Ahsan jawaban !!!
Yuddi Masaling Batam: Allahumma shalli ‘alaa Muhammad wa aali Muhammad wa ‘ajjil faraja aali Muhammad.
Irsavone Sabit: Allahumma shalli ‘alaa Muhammad wa aali Muhammad wa ‘ajjil faraja aali Muhammad.
Sinar Agama: Salam dan terimakasih sekali lagi atas jempol dan komentar serta perhatiannya. Saya sebenarnya kurang suka menulis hal ini, apalagi sudah beberapa kali, tapi karena mereka yang memulai, dan hal inipun adalah hukum Tuhan, nah.... Tuhan saja tidak malu, mengapa saya harus malu...?
Karena itu kulenyapkan perasaaan diri dan kuberusaha menggantinya dengan mauNya, karena Dia yang Maha Tahu dan Bijak. Aku berpasrah kepadaNya.
Haedar Alidar: Allahumma shalli Ala Muhammad wa Ali Muhammad wa’ Ajjil Farajahum...
Abuzahra Gagah: MAHA BENAR ALLAH DGN SEMUA FIRMAN2NYA., ALLAHUMMA SHALLI’ALA MUHAMMAD WA AALI MUHAMMAD.
Mujahid As-Sakran: Ya Allah masukkanlah kami kedalam golongan hambamu yang menghalal- kan apa yang engkau halalkan dan mengharamkan apa yang engkau haramkan.
HenDy Laisa: Syukran... makasih banyak 1000x atas jawabannya ustad Sinar Agama.....
Sinar Agama: Salam dan terimakasih sekali lagi buat semua jempol dan komentarnya, serta baik sangka dan doanya.
Sinar Agama: Hendy: ok, sama-sama. Aku kemarin sampai bisa dikatakan tidak tidur malam menjwab pertanyaanmu itu. Tapi setelah selesai dengan ringkas, kucoba untuk dimasukkan ke dalam komentarmu tapi tidak masuk. Dan sudah kutulis surat padamu di dindingmu, juga tidak ada jawaban. Akhirnya kubuat catatan sendiri seperti ini.
HenDy Laisa: Afwan ustad.. saya barusan buka hari ini akunku karena baru hari ini ada kesem- patan....
Salim Madhi: APAKAH ANAKNYA SINAR AGAMA RIDHO DI MUT.AH 1 HARI SAJA.. ATAU ANAK- ANAK KAMU SEMUANYA. INI SAMA AJA CEK IN SATU MLM DI HOTEL. DAN KALAU HAMIL PUNYK ANAK, ANAKNYA TIDAK PUNYA BAPAK... GIMANA NAFKAHNYA.. SEDANG KAN SUAMI ADALAH PE-
MIMIMPIN RUMAH TANGGA.? DAN SAYA TIDAK PERNAH DENGER ANAK-ANAKNYA USTAD SYIAH YANG DI MUT‘AH.. INI SAMA SAJA PEMUAS SEX.
Salim Madhi: Dan gimana orang syiah yang selalu meninggikan akalnya tapi berbuat seperti itu...
Mujahid As-Sakran: Nikah mut’ah itu jelas hukumnya, perkara kita mau atau tidak kita melakukannya, itu soal lain sama halnya dengan nikah daim boleh sampai 4 yang penting kehalalannya.
Fazri Sukma Praja: Salam ustad. (Penjelasan untuk fikihnya udah bagus sayangnya penjelasan filosofis tentang pernikahan terasa kurang. Seperti bahwa nikah itu termasuk ”perkataan yang berat” karena wanita menyerahkan dirinya kepada suaminya di depan Tuhan. Sosiologisnya juga diliat jangan sampai perkataan seperti Salim Madhi itu ada lagi karena tidak menangkap esen- sinya karena lelaki terhormat itu haruslah dengan wanita yang terhormat. Niat kita apa jangan sampai menjadikan wanita merasa tertipu. Mungkin ustad bisa menjelaskan lebih detail. Karena ini sebatas pengetahuan saya yang dangkal. Nuhun ustad.
Anandito Birowo: Mut’ah itu sesuatu hal yang hukum dasarnya HALAL tetapi bisa jadi HARAM jika dilakukan tidak sesuai syarat-syaratnya. Khalifah Umar mengharamkan mut’ah karena meli- hat banyak penyimpangan yang dilakukan oleh para pelaku mut’ah. Umat muslim di Iran banyak melakukan mut’ah sekedar untuk menghalalkan pacaran sebelum nikah da’im, dan itupun harus ada surat legalnya. Mereka juga pantang berhubungan sex selama mut’ah untuk mejaga kesucian diri. Tapi di Indonesia, sebagian ustad-ustad syiah kemaruk mut’ah sampai istri mut’ahnya ada yang mau bunuh diri karena hamil dan disuruh aborsi. Ini kisah nyata, bukan fitnah. Nah yang be- gini ini, yang haram dan berdosa adalah pelaku mut’ahnya yang semena-mena. Mut’ahnya tetap halal, pelakunya yang berdosa. SEBAGIAN UMAT SYIAH MEMANG TIDAK BISA MENJAGA KESUCIAN AJARAN AHLULBAIT AS, MUNGKIN MEREKA ITULAH YANG NANTI AKAN DIPERANGI PULA OLEH IMAM MAHDI AL MUNTAZHAR AS. KAMI BERLINDUNG PADA ALLAH DARI KEBURUKAN-KEBURUKAN SEPERTI ITU. Wallahu a’lam.
Sinar Agama: Salim, sepertinya kamu tidak baca catatannya dengan cermat. Wong namanya kawin, yah....kalau ada anak, maka anak keduanya dan nafkah si anak ditanggung ayahnya. Persis seperti kalau ada orang kawin daim/permanet lalu setelah hamil terjadi perceraian. Nikah Mut’ah ini dibuat Allah, untuk yang darurat. Ini tujuan utamanya. Seperti lelaki yang sedang jauh dari keluarganya dan takut jatuh ke dalam yang haram. Itupun, harus dengan wanita yang syah, seperti tidak punya suami, tidak dalam keadaan iddah, janda, kalau bukan janda wajib ijin kepada walinya dengan jelas (seperti dengan siapa kawinnya, berapa maskawinnya, tanggal berapa kawin dan tanggal berapa selesainya). Btw, bahasan ini, akan diteruskan di kemudian hari in'syaaAllah.
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar