Jumat, 15 November 2019

Imamah & Khalifah menurut buku SYI’AH MENURUT SYI’AH bagian 2

2. Imamah & Khalifah menurut buku SYI’AH MENURUT SYI’AH bagian 2

https://www.facebook.com/notes/teguh-bin-suhedi/imamah-khalifah-menurut-buku-syiah-menurut-syiah-bagian-2/10152453555563937

Sinar Agama: Dalam Tafsir Amtsal, karya Ayatullah Makaarim Syiraazii hf, dalam keterangannya mengenai ayat pengangkatan nabi Ibrahim as yang ditingkatkan dari maqam kenabian/kerasulan ke maqam imam (QS: 2:124). Beliau hf menulis:



((Apa imam itu?: Sudah menjadi jelas dengan pejabaran yang telah lalu di atas itu sehubungan dengan ayat ini (pengangkatan dari kerasulan nabi Ibrahim as ke pangkat keimamahan), bahwa derajat imamah telah dianugrahkan kepada nabi Ibrahim as setelah beliau as memiliki maqam tersebut, yang melebihi dari pangkat kenabian dan kerasulan.

Untuk menjelaskan hal di atas, maka KAMI (ulama Syi’ah, bukan yang baru menjadi dan merasa Syi’ah, penj.) berkata: Imamah itu, memiliki makna-makna yang berbeda:

b-1-1- Imamah adalah kepemimpinan dalam urusan-urusan keduniaan (horisontal). Pendapat ini dinyatakan oleh beberapa ulama Ahlussunnah.

b-1-2- Imamah adalah kepemimpinan dalam urusan-urusan agama (vertikal) dan dunia (horisontal). Pendapat ini, juga diutarakan oleh sebagian ulama Ahlussunnah.

b-1-3- Imamah adalah pengaktual atau pewujud atau penyata atau pelaksana sistem agama sebagaimana ia merupakan sistem hukum dalam artian luasnya pemerintahan dan pelaksana bagi hukuman-hukuman (seperti rajam, cambuk dan seterusnya, penj.) dan hukum-hukum Allah. Begitu pula untuk menegakkan keadilan terhadap umat dan membimbing setiap individu dalam tatanan batinnya dan cara hidup sosialnya. Derajat dan maqam ini, lebih tinggi dari maqam kenabian dan kerasulan. Karena maqam kenabian dan kerasulan, terbatas pada penyampaian agama dan pemberi harapan dan ancaman (vertikal) sementara imamah melingkupi/mencakupi tugas-tugas kenabian dan kerasulan dengan penambahan “Pelaksanaan Hukum-hukum” dan “Membimbing jiwa-jiwa secara lahir dan batin” (dan secara gamblang bahwa banyak nabi-nabi yang juga memiliki maqam imamah ini).

Maqam imamah, pada hakikatnya, maqam pewujudan tujuan diturunkannya agama dan hidayah. Yakni mengantarkan (umat) pada yang diinginkan (agama, horisontal). Karena itu, ia (imamah) bukan hanya menunjukkan jalan (kepada umat, vertikal). Selain itu, imamah juga memiliki dimensi “Hidayah Secara Natural”, yakni akses spiritual bagi imam dan pengaruhnya terhadap qalbu-qalbu yang memiliki potensi untuk menerima hidayah secara maknawiah (perhatikan hal ini dengan teliti, kata ayat Makaarim hf).

Sebagaimana matahari yang membuat tetumbuhan menjadi hidup, maka Imamah juga menghidupkan kehidupan ruhaniah dan maknawiah dalam kehidupan natural (hal yang ini yang sering difokus oleh orang yang baru Syi’ah hingga mengira bahwa imamah itu hanya merupakan wilayah takwiniah naturaliah hingga tidak memasukkan natural kehidupan sosial umat manusia dari segala sisinya termasuk keluarga, tetangga, sosial, budaya, politik, kenegaraan dan keinternasionalan, penj.).))

Kesimpulan:

Dengan beberapa penukilan dan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa maqam IMAMAH itu justru maqam horisontalnya sedang maqam kerasulan/kenabian, adalah maqam vertikal.

Beda Istilah Imam dan Khilafah.

Setelah mengetahui makna Imamah dari ulama Syi’ah (bukan dari kita-kita yang baru jadi Syi’ah dan tidak tahu Syi’ah kecuali secuil walau, merasa terlalu banyak tahu ini hingga berani menyalahkan seluruh ulama Syi’ah sepanjang sejarahnya), maka perlu kiranya mengetahui makna Khilafah.

KHILAAFAH, adalah penerus atau wakil Nabi saww. Karena Nabi saww adalah rasul (vertikal) yang sekaligus imam (horisontal), maka pengganti atau khalifahnya juga demikian. Jadi, khalifah dan pengganti atau wakil atau penerus Nabi saww, adalah orang yang memimpin umat dalam hal-hal ke agamaan (vertikal) dan penerapannya dalam suatu negara (pemerintahan/horisontal). Jadi, beda imamah dan khilaafh, hanya terletak pada sisi melihatnya, bukan pada esensinya.

Esensi imamah dan khilafah dalam kekhalifaan Nabi saww, tidak beda seatompun. Memang, bisa saja beda, kalau mengkhilafahi selain Nabi saww. Akan tetapi Nabi saww, karena disamping rasul Allah yang berwenang menjelaskan agama dan memursyidi umat secara maknawi (vertikal), juga berwenang memimpin umat dari sisi imamah atau imam (horisontal) sebagaimana posisi nabi Ibrahim as yang baru diangkat menjadi imam (menegakkan pemerintahan agama, wilayah yang horisontal) setelah tua dan setelah puluhan tahun menjadi rasul (wilayah yang vertikal).

Sudah sering dijelaskan di fb ini, bahwa beda rasul dan imam, yang terjelaskan dalam pengangkatan nabi Ibrahim as dan posisi kerasulan kepada posisi keimamahan, adalah dari sisi kepemimpinannya secara takwini itu. Nah, kalau takwini ini hanya diartikan esensi alam dan tidak memasukkan sosial politik manusia, itu kan namanya menjadikannya tidak beda dengan kerasulan yang bersifat vertikal dan melingkupi semua keberadaan natural. Apalagi Nabi saww yang merupakan rahmat bagi semua alam.

Jadi, pengangkatan dan penaikan nabi Ibrahim as dari kerasulan/kenabian menjadi keimamahan, adalah wewenang untuk mengejawantahkan hukum-hukum dan syari’at Tuhan, pada kehidupan sosial manusia. Yakni perintah untuk menegakkan aturan Islam dalam kehidupan sosial manusia. Karena itu, imamah itu yang justru pangkat horisontal, dan bukan pangkat vertikal. Setidaknya, merupakan kesalahan besar kalau imamah itu dieksklusifkan pada masalah-masalah vertikal.

Supaya saya tidak kelihatan ngibul dan sok tahu, maka saya nukilkan satu referensi yang menjelaskan perbedaan kedua, istilah tersebut (imamah dan khilafah):

Dalam kitab Al-Syii’ah Fii al-Islaam, karya ‘Allaamah Thaba Thabai ra, setelah merangkan imamah seperti yang telah dinukil di atas itu, beliau ra, meneruskan penjelasannya. Karena takut kepanjangan, saya mau meringkas poin-poinnya saja:

b-2-1- Bahwa tidak ada yang menolak bahwa kehidupan manusia yang berkelompok, walau hanya dalam satu rumah tangga kecil saja, harus memiliki pemimpin di dalamnya.

b-2-2- Dari sisi lain, semua tahu bahwa pemimpin ini, tidak selalu ada dalam umat atau kelompok yang dipimpinnya tersebut.

b-2-3- Semua orang tahu dengan mudah bahwa kalau seorang pemimpin mau meninggalkan umat atau kelompoknya, maka selalu menentukan KHALIFAH menggantikan dirinya dalam masa ketidakadaannya di tengah-tengah umat atau kelompok yang dipimpinnya.

b-2-4- Islam sebagai agama yang sempurna, juga tidak lengah dalam urusan kepemimpinan dan keKHALIFAH-an ini.

b-2-5- Lalu setelah itu, beliau as mengatakan:


((Karena itu, Nabi yang mulia saww, tidak pernah meninggalkan kelompok yang baru masuk Islam, atau kelompok yang telah dikuasai Islam, atau suatu kota/negeri atau desa yang telah dikuasai pemerintahan Islam, tanpa mengutus dengan cepat kepada mereka seorang wakil atau pejabat pelaksana, untuk mengatur urusan-urusan sosial-politik kelompok tersebut (yang baru masuk Islam atau yang baru dikuasai Islam itu). Dan hal ini juga merupakan kebiasaan/ajaran Nabi saww, dalam jihad. Karena itu, ketika mengirim surat ke suatu tempat, maka beliau saww menunjuk satu ketua diantara mereka (pengantar surat). Dan kadang menentukan lebih dari satu ketua, sebagaimana terjadi di perang Mu’tah dimana beliau saww menentukan 4 ketua yang bergilir dimana kalau yang pertama mati, maka di-KHILAFAHI (diteruskan) oleh yang ke dua dan kalau yang ke dua mati, di-KHILAFAHI oleh yang ke tiga dan begitu seterusnya.

Islam telah menunjukkan perhatiannya kepada masalah KHILAFAH dan PENGANGKATAN KHILAFAH ini, secara penuh. Dan tidak pernah lengah dari masalah ini. Kapan saja Nabi saww ingin meninggalkan kota Madinah, maka selalu mengangkat KHALIFAH (pengganti/wakil). Ketika Nabi saww ingin berhijrah dari Makkah ke Madinah, mengKHALIFAHKAN imam Ali as di Makkah, untuk mengurusi hal-hal tertentu di masa yang pendek itu, seperti menyerahkan amanat kepada pemiliknya. Begitu pula telah mengKHALIFAHKAN imam Ali as, untuk melakukan pembayaran hutang-hutang dan apa-apa yang berhubungan dengan beliau saww secara khusus setelah wafat beliau saww.

Sesuai dengan kaidah dan rumus ini, maka SYI’AH mendakwa bahwa sama sekali tidak mungkin Nabi saww, sebelum wafat beliau saww, tidak berwasiat kepada satu orang untuk mengKHALIFAHI beliau saww (meneruskan) untuk mengurusi masalah-masalah umat, setelah beliau saww. Yakni tidak mungkin beliau saww tidak menunjuk satu orang untuk memimpin pelaksanaan pemerintahan, dalam daerah-daerah yang telah dikuasai Islam.))

Kesimpulan poin b:

Dengan semua penjelasan di atas dapat dipahami bahwa:

KEIMAMAHAN DAN KEKHILAFAAN, SAMA SEKALI TIDAK BERBEDA DARI SISI ESENSINYA, YAITU SEBAGAI PEMIMPIN UMAT DARI SISI LAHIR (horisontal) DAN BATIN (vertikal), DARI SISI PRIBADI DAN SOSIAL, DARI SISI IBADAH DAN PEMERINTAHAN, DARI SISI SOSIAL MANUSIA DAN BAHKAN SELURUH KEBERADAAN SEMESTA. DIKATAKAN IMAM KARENA MEMIMPIN, DAN DIKATAKAN KHALIFAH, KARENA MENERUSKAN MISI DAN TUGAS-TUGAS KENABIAN saww (yang di samping memiliki wilayah kerasulan/vertikal juga keimamahan umat, horisontal) DI SELAIN MENERIMA WAHYU SYARI’ATNYA.

Alberto Mahaluby Miscionerry: Pak ustadz Anwar Luthfi, sedikit hal yang dijelaskan oleh ustadz kalangan Syi’ah dalam mengomentari konsep Imamah dalam tubuh Syi’ah. Semoga berkenan melihat alur dialognya secara berurutan...

Anwar Luthfi: Insya Allah kalau sedang kambuh hobby membacanya, ane tengok tuntas om Alberto Mahaluby Miscionerry.

Muhammad Wahid: Ditunggu sekali sambungannya ustadz Sinar Agama, ketika wacana berfikir pribadi mengatasnamakan sebuah keyakinan dalam hal ini adalah madzhab Ahlulbait, maka semua orang yang terkait terutama dari kalangan ulama berilmu dengan berbagai kapasitas & tingkatannya apalagi ada yang lebih tinggi dari sang penulis link itu, maka memang wajib menanggapi tulisan tersebut, karena secara umum bisa mempengaruhi pola pikir umat terhadap istilah Imamah & Khalifah, dan tanggung jawabnya dibawa sampai ke akhirat,.. afwan.

Sinar Agama:

KOMENTAR TULISAN PERPARAGRAF:

(1). Paragraf

Kepemimpinan setelah Nabi

Biang Perbedaan

Bagaimana konsep ......

Secara etimologis, khalifah berasal ....

Dalam konteks Nabi sebagai pemimpin,......

Dengan demikian, khilafah yang dimaksud di sini .....


KOMENTAR:

1- Sudah dijelaskan di mukaddimah, bahwa dalam Syi’ah, khilafah dan imamah, adalah sama. Perbedaan nama, hanya karena perbedaan pandang pada hakikat yang satu, yaitu pemimpin umat. Karena itu, tidak pantas mengatakan bahwa sebagian Syi’ah yang mengatakan bahwa imamah itu mencakupi kepemimpinan vertikal dan horisontal, akan tetapi semua Syi’ah.

2- Apalagi imamah ini, dalam Syi’ah, masuk dalam Ushuulu al-Diin, dimana WAJIB diimani dengan dalil gamblang dan tidak boleh taqlid. Nah, dengan demikian, maka makna yang mencakup itu, diketahui dan diimani oleh semua orang Syi’ah.

(2). Paragraf:

Sudah banyak polemik dan ......

KOMENTAR:

Mencari konsep keharmonisan, dengan menginjak-injak prinsip dasar sebuah golongan, bukan hanya tidak akan pernah mampu membuatnya, melainkan akan menambah berantakannya sosial keagamaan masing-masing golongan dan bahkan merupakan penghancuran tiang-tiang keagamaan, DISAMPING, pembodohan kepada orang-orang awam, teruma yang baru menjadi anggota pada masing-masing golongannya yang tidak tahu apa-apa selain kata-kata manis dan sastrais non argumentatis.

(3). Paragraf:

Bila isu kepemimpinan ini ......

KOMENTAR:

Ketika benang yang sudah merah jelas dalam sepanjang ajarannya yang sudah 14 abad lebih, dijatikan benang yang berwarna tidak karu-karuan (mending kalau dijadikan satu warta seperti hitam), maka jelas bukan hanya menghilangkan benang merah itu sendiri, akan tetapi menjadikannya menjadi debu sama sekali, hingga jangankan warna, benangnya saja menjadi hilang dari permukaan bumi DAN, sebagai gantinya banang lebah yang diindahkan dan dikuatkannya sendiri, dengan menyalahi semua ajaran para ulama, maraaji’, imam Makshum as, Nabi saww dan, Tuhan sendiri.

(4). Paragraf (yang ini saya nukilkan):

Konflik menjadi makin rumit karena Sunni menganggap konsep kepemimpinan (Imamah) yang diyakini Syi’ah sebagai tandingan konsep kepemimpinan (Khilafah) yang diyakini Sunni, dan Syi’ah menganggap konsep kepemimpinan (Khilafah) yang diyakini Sunni sebagai antikonsep kepemimpinan (Imamah) yang diyakini Syi’ah. Padahal, bila diperhatikan secara seksama dan bebas dari sentimen sektarianisme, rincian konsep Khilafah dan Imamah berbeda secara substansial dan tidak niscaya saling menafikan.

KOMENTAR:

Yang rumit itu justru ketika semua sudah memiliki dasar yang jelas dalam ajaran yang ditulis turun temurun, tidak dijadikan pijakan untuk mencari persatuan. Apa tidak rumit kalau mau menyatukan golongan, dengan meniadakan ajaran dari masing-masing golongannya tersebut?

Awal langkah mencari penyelesaian pertikaian adalah mendudukkan dulu pendapat masing-masing. Dari sanalah baru dicarikan jalan keluarnya. Lah, kalau nilai-nilai gamblang Sunni dan Syi’ah yang sudah terwarisi secara gamblang dalam qurun waktu 14 abad lebih (kecuali yang baru Syi’ah dan sok tahu Syi’ah), tidak diperhatikan dan bahkan dibuangnya, bukan hanya tidak akan pernah mampu menyelesaikan persoalan, akan tetapi akan dianggapnya anak kecil, yang menjual daging yang berupa pelepah pisang dan teman sejawatnya membelinya dengan uang dari dedaunan.

Langkah paling jitu yang diambil Tuhan, Nabi saww, para imam Makshum as dan para maraaji’ serta para intelektual sejati (yang ilmunya tinggi dan tidak pernah berhenti belajar karena tidak merasakan pandai walau sedetik) adalah:

MASING-MASING GOLONGAN BOLEH MEYAKINI DAN MENERANGKAN  SERTA MENDAKWAHKAN KEYAKINANNYA, AKAN TETAPI TIDAK BOLEH SALING MEMAKSAKAN KE GOLONGAN LAIN DAN WAJIB MEMBERIKAN KEBEBASAN KEPADA MASING-MASING GOLONGAN SERTA, BEKERJA SAMA DALAM BIDANG-BIDANG YANG SAMA UNTUK MEMBANGUN UMAT ISLAM DARI DALAM DAN UNTUK MENGHADAPI MUSUH BERSAMA DARI LUAR. DALAM DISKUSI DAN DAKWAH BOLEH SALING SALAH MENYALAHKAN DENGAN ARGUMENTASI KARENA HAL ITU MERUPAKAN KONSEKUENSI GAMBLANG DARI BERGOLONGAN, AKAN TETAPI TIDAK BOLEH SALING MEMAKSAKAN. SEMUA PIHAK MESTI MENYADARI BAHWA YANG DIYAKINI DAN DITABLIGHKANNYA, TIDAK LAIN HANYA MERUPAKAN TUGAS KEMANUSIAN DAN KEMUSLIMAN MASING-MASING, TANPA MERASA SEBAGAI NABI ATAU UTUSAN TUHAN UNTUK MENGHUKUM GOLONGAN LAIN DAN MEMUSUHINYA DI DUNIA INI. KARENA TUHAN SAJA, MENUNGGUKAN KE AKHIRAT KELAK.

Sinar Agama: (13). Paragraf:

Bentuk

Sebagaimana pernah dijelaskan tentang ....

KOMENTAR:

Dari awal sudah dapat dirasakan dimana letak kekeliruan pemikiran dan keyakinannya tentang imamah di Syi’ah. Yaitu pada informasi yang tidak lengkap yang, dikiranya hal yang sudah final dan lengkap. Merasa sudah puncak mengetahui Syi’ah hingga tidak ngotot belajar tapi bahkan sebaliknya, ngotot tabligh dan mengajar.

Pengangkatan nabi Ibrahim as sebagaimana sudah diterangkan di atas, yakni penaikan dari maqam kenabian/kerasulan menjadi keimamahan, adalah justru dari sisi horisontalnya, yakni penerapan hukum Islam sebagai suatu negara atau pemerintahan. Misalnya, bukan hanya mengajari bahwa zina itu mesti dicambuk, akan tetapi diusahakan untuk diaplikasikan dalam bentuk, benar-benar dicambuk dimana, hal ini jelas menuntut aktifnya kepemimpinan horisontal secara menyeluruh. Karena ajaran Islam bukan hanya cambukan terhadap penzina, akan tetapi juga militer yang kuat, pertanian, pendidikan ....dan seterusnya... yang juga harus kuat. Ekonomi dan politik, apa lagi tentu Kepemimpinan yang sesuai dengan konsep Tuhan, terlebih apa lagi.

Jadi, imamah itu merupakan kepemimpinan takwini yang, sangat jelas meliputi ketakwinian kehidupan sosial manusia. Di sinilah letak kekeliruan berfikir dan berkeyakinan penulis tulisan itu. Karena dikiranya, yang namanya takwini, hanya meliputi urusan-urusan malakuti hingga imamah diartikan atau dilebih cocokkan kepada kepemimpinan vertikal. Padahal, justru horisontal itulah yang dikatakan imamah. Tentu yang juga meliputi kepemimpinan takwini.

Sebenarnya takwini inilah yang justru horisontal itu, sekalipun terhadap urusan-urusan malakuti. Karena itulah, dalam keyakinan Syi’ah, seluruh malaikat dan makhluk-makhluk Tuhan, taat dan wajib taat, pada imam. Di malam lailatu al-qadr, para malaikat dengan seluruh urusannya masing-masing, wajib datang pada imam untuk mengajukan kerja-kerja setahun ke depannya. Dan imam memeriksanya sesuai dengan pangkat keimamahan dan kekhilafaan yang diberikan kepada mereka as.

Penulis tulisan, di samping telah mengkebiri makna imam itu sendiri, ia (atau mereka, karena katanya penulis buku itu adalah tim yang terdiri dari beberapa orang), juga mengkebiri makna khilafah. Karena khilafah di sini, bukan hanya sebagai nau’ dan untuk BUMI, melainkan khilafah yang merupakan insan kamil dan mengimami seluruh makhluk, baik yang berada di atas bumi atau di luar bumi, baik buminya sendiri atau planet-planetnya, baik materi atau non materinya.

Memahami kritik Syi’ah terhadap ketiga khalifah pertama, harus dengan keyakinan dan makrifah Syi’ah itu sendiri, bukan dengan orang dengan pemahaman orang yang baru menjadi Syi’ah dan merasa memahami Syi’ah. Karena itu, kritik Syi’ah terhadap ketiga khalifah itu, dari semua sisi kepemimpinannya. Apa saja yang dimaui dengan arti kepemimpinan mereka. Karena imamah dan khilafah dalam Syi’ah, benar-benar memiliki makna yang sama.

Jadi kritikan Syi’ah terhadap mereka adalah dari sisi tidak memenuhi syaratnya, baik dari persyaratan spiritual sebagaimana diyakini sebagian Sunni hingga mereka wajib dihormati dan diikuti, juga dari persyaratan adiministrasi. Yakni baik vertikalnya atau horisontalnya.

Karena Syi’ah yakin, bahwa pemegang kepemimpinan horisontal dalam Islam (bukan agama-agama terdahulu yang mungkin ada yang beda pada beberapa obyek ajaran Tuhan yang biasanya disesuaikan dengan kondisi masing-masing), juga harus pegang kepemipinan vertikal.

Jadi, yang mesti disayangkan itu, bukan ajaran Syi’ah yang menyala sepanjang jaman, akan tetapi penulis yang sama sekali tidak memahami Syi’ah TAPI MENGATASNAMAKAN SYI’AH.

Akhirnya saya jadi ragu, mereka itu Syi’ah siapa, yakni pengikut siapa? Wong semua tulisannya tidak ada sandarannya kok, baik agama, akal dan ulama.

Jadi, PEREDUKSI MAKNA KHILAAFAH DAN IMAMAH itu bukan para ulama dan maraaji’, dan bukan pula para imam Makshum as yang mengajarkan semuanya dalam hadits-hadits gamblang mereka as, dan bukan Nabi saww yang mengajarkan dalam hadits-hadits gamblang yang bertebaran di kitab Sunni dan Syi’ah dan bukan pula Tuhan yang mengajarkannya dalam al-Qur an, AKAN TETAPI PENULIS SENDIRI.

(13-1). Paragraf:

Kesalahpahaman tanpa Klarifikasi

Yang patut disayangkan, adanya orang-orang Syi’ah yang .....

Sejarah menunjukkan bahwa Imam Ali tetap mendukung dan membaiat khalifah Abu Bakar, meskipun setelah berlalu enam bulan. Pembaiatan tersebut justru menjadi indikator bahwa syarat aksep-tabilitas publik telah terpenuhi dan kebijakan khalifah telah diakui. Hal ini bisa menjadi dasar bahwa kekhalifahan tidaklah berada dalam posisi vis a vis dengan imamah. Sebaliknya, ucapan selamat dari Umar atas Imam Ali pada hari Ghadir Khum adalah pengakuannya kepada Ali bin Abi Thalib sebagai wali/Imam (spiritual) dan tidak menghilangkan peluangnya sebagai khalifah (struktural) pada periode selanjutnya. Imam Ali jelas tidak pernah mundur dari posisinya sebagai Imam, karena memang posisi Imam tidak bisa dianulir. Posisi Imam bukan kepemimpinan yang bersifat struktural dan ditentukan berdasarkan banyaknya suara pemilih. Syi’ah berkeyakinan bahwa Imam Ali ditunjuk langsung sebagai Imam oleh Nabi.

KOMENTAR:

Yang sangat disayangkan itu adalah penulis sendiri. Karena perampasan khilafah itu telah diterangkan oleh Nabi saww, para imam Makshum as dan para ulama dan maraaji’ dalam seluruh hidup mereka. Sebab sekali lagi, khilafah dan imamah itu sama sekali tidak ada bedanya. Memang dimensi ketercikalan imamah itu, tidak bisa dirampas. Namun bukan berarti kehorisontalannya, juga boleh dirampas atau, disyahkan untuk dirampas.

Ketidakbisaan dirampasnya dimensi vertikal itu, karena ia merupakan sesuatu yang non materi, bukan karena adanya pemilihan tugas imamah dan khilafah. Karena keduanya memang satu hakikat yang disebut dengan dua latar belakang penyebutan. Disebut imamah karena memimpin umat, dan disebut khilaafah karena meneruskan tugas Nabi saww di selain menerima wahyu syari’at. Nah, kalau Nabi saww itu memiliki dua bentuk kepemimpinan horisontal dan vertikal, maka khilaafahnya juga seperti itu mas.

Tentu saja, yang diajarkan Tuhan, Nabi saww dan para imam Makshum as serta para ulama dan maraaji’, bukan hanya tentang perampasan tersebut. AKAN TETAPI TERMASUK MENJAGA PERSATUAN, TIDAK MEMAKSAKAN KEHENDAK DAN TIDAK MENGEJEK TOKOH GOLONGAN LAIN SERTA DIBOLEHKANNYA BERTAQIAH DALAM RANGKA MENGGALANG DAN MEWUJUDKAN PERSATUAN MUSLIMIN.

Dan yang dipahami oleh semua umat tentang MAULA di Ghadiir Khum, termasuk oleh Abu Bakar dan Umar ketika mengucapkan selamat kepada imam Ali as di tempat tersebut, adalah dengan maksud kemaula-an vertikal dan horisontal. Karena terlalu mudahnya memahami hal itu sebagaimana sering dijelaskan dalam keterangan hadits Ghadiir Khum. Jadi, dakwa penulis, hanyalah dakwa kosong yang dikarang-karang sendiri dan, barangkali telah diilhami syaithan yang biasa membesitkan hal-hal unik dan rada sulit dipahami awam. Kesoktahuan penulis akan niat Abu Bakar dan Umar, sudah merupakan hal yang kegamblangannya melebihi matahari. Sok tahu ghaib dan betul-betul sudah melampai batas.

(14). Paragraf:

Dua Dimensi Kepemimpinan Nabi

Langkah dan kebijakan pertama yang diambil Nabi .....

Patut diingat bahwa .......

Syi’ah meyakini bahwa Rasulullah Saw .....

Kemudian setelah diteliti secara seksama .......

Dalam pandangan ini hanya ada dua asumsi, ........

Fakta sejarah menunjukkan bahwa kondisi masyarakat .......

Sedangkan kemungkinan kedua pada asumsi kedua di atas, ......

Umat Islam memerlukan pemahaman yang jelas dan sempurna tentang Islam ...


KOMENTAR:

Dalam ajaran Syi’ah, imamah itu wajib makshum, karena kalau tidak makshum, tidak bisa ditaati secara mutlak, padahal imam wajib ditaati secara mutlak kerena disejajarkan taat pada Allah dan Rasul saww. Begitu pula wajib makshum, karena kalau tidak makshum tidak boleh ditaati (QS: 76:24). Imam wajib makshum karena hanya yang makshum yang bisa mengatahui Qur an secara hakiki (QS: 56:79). Imam wajib makshum karena ia jalan lurus yang wajib diminta, dicari dan diikuti (QS: 1:6-7).

Kalau keyakinan Islam yang disinambungkan dan diestafetkan oleh Syi’ah, tentang imamah yang harus makshum itu, maka jelas tidak akan tergantung apakah umat sudah bisa bersyura atau tidak. Karena sekalipun seluruh umat manusia di dunia ini, baik sejak nabi Adam as sampai kelak imam Mahdi as keluar, baik sudah layak bersyura atau tidak, berkumpul untuk mengetahui siapa yang makshum, maka tidak akan pernah bisa. Karena kemakshuman itu sifat lahir dan batin manusia. Batinnya juga baik dari sisi keseratuspersenan-lengkap dan benarnya ilmu-amalnya, juga dari sifat-sifat lainnya seperti buruk sangka, syirik, riya’ ... dan seterusnya. Yang tahu hal-hal seperti ini, hanya Allah. Sementara kekasih-kekasihNya yang diberi tahu, akan tahu dengan bantuanNya, bukan dengan syura para nabi atau para rasul dan imam.

(15). Paragraf:

Kepemimpinan Spiritual dan Struktural

Kepemimpinan spiritual berbeda dengan kepemimpinan struk-tural (politik). ....

Karena itu, kepemimpinan spiritual lebih penting dari .....

Tapi setelah melalui beberapa masa sejak Rasul wafat dan ......

Secara nyata terbukti bahwa Ahlul Bait kehilangan fungsi .....

Sebagaimana telah terbukti dalam sejarah para shahabat, mereka ......

Sebagai akibat dari perselisihan dan perang tuduh yang .....

KOMENTAR:

Beda kepemimpinan vertikal dan horisontal itu, apa hubungannya dengan masalah imamah yang ada di Syi’ah dengan khalifah yang ada di Sunni mas??? Sebab imamah yang ada di Syi’ah, memiliki arti horisontal dan vertikal. Keberbedaan dimensi kepemimpinan, sama sekali tidak kena mengena dengan bahasan imamah dalam Syi’ah. Karena keduanya, sama sekali tidak bisa dipisahkan. Bagaimana mungkin orang bisa menjadi pemimpin horisontal manakala ia bukan pemimpin vertikal? Dengan apa seseorang bisa memimpin horisontal umat, kalau ia tidak makshum dalam ilmu keIslamannya dari sisi kelengkapan ilmunya dan kepastianbenarnya??? Bagaimana bisa pemimpin memimpin dengan adil atau bahkan benar, kalau ia tidak mengerti Islam dengan lengkap dan pasti benar?

Kerana itu terlalu sangat ra’syih ketika tulisannya mengatakan kelebihpentingan dan kelebihberperanan kepemimpinan spiritual. Sebab kepemimpinan politik, sama sekali tidak bisa dipisahkan dari kepemimpinan spiritual. Wong dasar dari setiap amal itu adalah ilmu dan keyakinan yang bersifat spiritual kok.

Kita/Syi’ah tidak menjadi bangga dengan perkataan Umar yang mengatakan bahwa kalau tidak ada imam Ali as dia menjadi celaka hingga menjadikannya ukuran berakidah dan bermakrifah kita dalam bersyi’ah. Karena dengan adanya imam Ali atau tidak adanya, yakni ditanyainya imam Ali as oleh Umar atau tidak, permasalahannya sangat jelas, yaitu bahwa Umar sama sekali tidak layak menjadi khalifah, karena khalifah itu adalah khalifah Nabi saww yang memiliki dua kepemimpinan sekaligus, yaitu vertikal dan horisontal.

Karena itu, maka kesemakinmemudarnya penghormatan pada kepemimpinan vertikal atau spiritual ini, sama sekali tidak bisa dijadikan pembenaran pada perujukan khalifah-khalifah kepada imam manakala mereka menghadapi masalah yang tidak bisa diselesaikan sendiri.

Karena bagi Syi’ah, apapun masalah yang mereka hadapi dan bisa diselesaikan sekalipun, maka tetap wajib merujuk kepada imam dan, bahkan wajib menyerahkan kepemimpinannya itu kepada imam.

(16). Paragraf:

Ambiguitas Mekanisme dan Kebijakan dalam Khilafah

Apakah Nabi Saw mewariskan sistem atau format tertentu .....

Tak ada konsep baku dalam pemilihan khalifah. Ia terus.......

Selain itu, bisa disimpulkan, tak semua kebijakan para khalifah .....

Banyak pihak menduga keputusan Abu Bakar memerangi ......

Selain itu, zakat termasuk salah satu devisa .....

Khalifah kedua, Umar bin Khatthab, juga .....

KOMENTAR:

BUKAN HANYA AJARAN DAN KONSEP IMAMAH YANG DIRUSAK OLEH PENULIS, AKAN TETAPI JUGA KONSEP KENABIAN. DIHANCUR LEBURKAN. Karena bukan hanya Nabi saww, Tuhan sendiri dalam Qur an telah merumuskan kepemimpinan horisontal, alias sosial politik itu. Sungguh saya benar-benar ragu terhadap kesyi’ahan penulis. Mana ada orang Syi’ah yang tidak meyakini atau boleh meyakini, bahwa Tuhan dan Nabi saww tidak merumuskan konsep kepemimpinan horisontal. Ngaco amat.

Lah, terus kelengkapan Islam itu apakah hanya karena mengatur masuk WC mas???? Kalau ada muslimin atau mayoritas muslimin atau bahkan seluruh muslimin sekalipun, yang menolak konsep baku kepemimpinan Islam/Syi’ah, maka hal itu, bukan berarti Islam tidak mengajarkannya. Dalam Islam, konsep itu bukan hanya baku di Qur an dan hadits Syi’ah, akan tatapi juga baku di hadits Sunni. Opo hubungane menungso karo agomo Islam sing lengkap lan suci niku mas???!!!

Mungkin dapat memudahkanmu memahaminya. Afwan dan wassalam.

(17). Paragraf:

Kritik terhadap Khalifah

Kritik Syi’ah terhadap khalifah-khalifah bersifat politis semata. ......

Tidak hanya Syi’ah yang meyakini khalifah bukanlah imam, ......

Dengan begitu kita bisa membedakan dua jenis kepemimpinan ini. .....

Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Hasan dan Husain adalah dua Imam, baik berkuasa

maupun tidak berkuasa.” Artinya baik saat kepemimpinan politik atau administrasi ia pegang

atau pun tidak, mereka tetaplah Imam.

Dalam konteks ini muncul dua istilah yang sebetulnya .....

Meski berbeda basis, Imamah yang basisnya .....

KOMENTAR:

Sekali lagi saya merasa menanggapi tulisan ini, tidak ada gunanya. Karena semuanya bersifat mendakwa, tanpa dalil. Lagi-lagi mengaku dan mengatasnamakan Syi’ah. Mana ada Syi’ah menerima dua bentuk kepemimpinan?

Kepemimpinan vertikal dan horisontal itu, keumatan dan kemasyarakatan, wajib dipegang oleh satu orang yang makshum sebagaimana diajarkan Allah dan Nabi saww. Kritik Syi’ah terhadap para khalifah, bukan hanya dalam masalah-masalah kemasyarakatan (horisontal), akan tetapi juga mencakup hal-hal kevertikalannnya. Artinya, bahwa pemegang tampuk kepemimpinan horisontal/kemasyarakan itu, wajib orang yang memegang tampuk kepemimpinan vertikal/keumatan. Kalau dalam obyek-obyeknya, banyak keritikan Syi’ah terhadap Saqifah (yang didakwa Sunni sebagai akseptabiitas publik), penghapusan mut’ah (kebijakan politik), peperangan dan pembantaian (kebijakan politik), semua dan semua, BUKAN KARENA TELAH MENGESAHKAN KONSEP KEPEMIMPINAN HORISONTAL DARI ORANG YANG TIDAK MEMEGANG KEPEMIPIMPINAN VERTIKAL, AKAN TETAPI KARENA DALAM BIDANG TERSEBUT, JUGA MEMBUKA PELUANG UNTUK DIKERITIKI DAN JUGA MENJADI DALIL BAGI KETIDAKLAYAKAN KHALIFAHNYA SERTA KARENA KEBANYAKANNYA, MEMANG HANYA DALAM URUSAN-URUSAN KEMASYARAKATAN/HORISONTAL ITULAH TEMPAT TERJADINYA BUKTI KESALAHAN.

Sudah sering saya katakan di fb ini bahwa hanya mujtahid yang berhak memberikan penjelasan tentang ayat dan riwayat secara langsung. Karena itu, kalau tidak, maka ia akan menjadi penafsir dengan akalnya sendiri yang, sudah tentu, belum dijejeli dan dicekoki berbagai ilmu yang dalam. Artinya, hanya ongkang sana sini, membuka hadits, mengkhayal paham, apalagi punya kepentingan seperti umumnya wahabi, langsung dicarikan makna yang sesuai dengan khayalannya tersebut.

Maksud dari imam Hasan as dan imam Husain as itu imam walau tidak memegang kekuasaan, adalah keduanya as tetapi imam vertikal dan horisontal, walau tidak diakui dunia sekalipun.

Jadi, merekalah imam dan khalifah yang syah sementara yang lainnya adalah batil. Bukan yang lain benar karena hanya menjadi khalifah (horisontal) dan bukan pula karena keduanya tetap imam lantaran kevertikalan kepemimpinan keduanya tidak bisa dirampas lantaran berupa spiritual non materi. Begitu pula, maksud Nabi saww (Allahu A’lam) memberikan peringatan bahwa keduanya as yang telah ditunjuk Allah sebagai imam dan khalifah itu, akan dikhianati setelah Nabi saww wafat. Karena itulah Nabi saww menangisi mereka as selagi masih kecil atau bahkan selagi baru lahir ke muka bumi ini.

Jadi, imam itu, wajib berkuasa. Dan kalau tidak berkuasa, maka umat yang tidak mendukungnya dan perampas kekhalifaannya, dan bahkan pendukung mereka, semuanya akan dimintai tanggung jawab kelak di akhirat. Bagi yang sengaja, yakni yang sudah tahu kebenaran imamah tapi tetap seperti itu, maka mendapat hisab yang berat. Dan yang tidak tahu karena belum sampainya penjelasan tentang hal itu dengan jelas, maka bisa dimaafkan oleh Allah swt. Namun demkian, selama di dunia, para imam as dan, apalagi pengikutnya, tidak boleh memaksakan kebenarannya ke atas umat yang tidak menerimanya. Karena asas Islam itu, adalah kesadaran, pengetahuan dan iman, bukan paksaan lantaran masalah kepahaman, hati dan iman, sama sekali tidak bisa dipaksakan karena bukan daerah materi badani, melainkan daerah spiritual non materi. Jangankan memaksakan, mencela golongan yang beda saja tidak dibolehkan mereka as.

(18). Paragraf:

Kesimpulan

Ternyata kesalahpahaman yang tidak segera diklarifikasi ........

Mungkin hipotesa dan analisa di atas tidak direstui oleh para .......

Dengan paparan di atas, kalangan Sunni secara de facto ......

Tentu penerimaan de facto Sunni terhadap ........

Menjadi Sunni atau Syi’ah bukanlah kesalahan. .......

Selanjutnya para pemikir kedua kelompok ini harus mengubah energi gontok-gontokan menjadi energi saling mendukung dan mem-bahu mencerdaskan akar rumput dan awamnya serta membuang semua isu elementer yang menjadi biang kebencian mutual. Kalangan Sunni harus rela memosisikan para khalifah dan shahabat sebagai manusia yang tidak sempurna, yang bila tidak diyakini kekhalifa-hannya tidak berarti keluar dari Islam. Kalangan Syi’ah perlu makin aktif mene-gaskan bahwa kepatuhan dan kecintaan kepada imam tidak bersifat primer, karena itu merupakan konsekuensi dari kepatuhan dan kecintaan kepada Nabi Saw dan bahwa orang yang tidak memosisikan mereka sebagai imam tidak menyebabkannya keluar dari Islam.

(Mohon tidak dishare. Tulisan ini dikutip dari buku SYI’AH MENURUT SYI’AH yang akan segera diterbitkan oleh DPP ABI).

KOMENTAR:

Lemahnya posisi Islam, bukan karena tidak mengklarifikasi ala kamu mas, tapi karena secara umum, saudara-saudara Sunni, masih ada yang belum mampu beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda seperti layaknya para imam-imam Syi’ah yang bukan hanya beradaptasi, tapi bahkan kawin dengan mereka. Karena itu, tidak heran kalau beberapa imam Makshum as, justru dibunuh/diracun para istri mereka sendiri, seperti imam Hasan as dan imam Hadi as, imam Haadi as.

Memang, ada dua model Syi’ah yang bisa dikagorikan menghambar persatuan.

Pertama, adanya Syi’ah yang ortodok dan ekstrim dimana dalam sepanjang sejarahnya hanya ada satu dua tokoh saja.

Ke dua, orang yang sok tahu Islam dan Syi’ah, yang telah mengacaukan bukan hanya persatuan, akan tetapi penyimpangan dan penipuan kepada saudara Sunni dimana nantinya bisa meletupkan perpecahan yang lebih parah karena merasa ditipunya.

Karena itu, bukan mungkin lagi bahwa hipotesa dan analisanya tidak akan direstuinya oleh kedua belah pihak, akan tetapi juga akan membuat murka mereka. Karena telah menafsir keduanya seenah udhelle (seenak sendiri).

Begitu pula, sekali lagi, yang mereduksi itu adalah kamu mas, karena itu, reinterpretasi kamu itu terhitung seburuk-buruk bid’ah. Karena bukan lagi dalam masalah fikih, melainkan sudah meranah ke masalah keimanan. Setidaknya dari kacamata Syi’ah yang memiliki ushuulu al-diin keimamahan.

Tidak ada Sunni yang menerima kepemimpinan imam Ahlulbait as secara Islami/Syi’ah, yaitu yang mencakup kepemimpinan vertikal/esoterik dan horisontal, kecuali imamah ala bid’ah kamu itu. Dan tidak ada orang Syi’ah yang menerima kekhalifaan selain Ahlulbait as, sekalipun secara de fakto. KARENA YANG DE FAKTO ATAU YANG TERJADI ITU, BUKAN KEKHALIFAAN AJARAN ISLAM HINGGA PERLU ATAU WAJIB DIAKUI. Yang diakui Syi’ah’dari de fakto itu, justru telah dan sering terjadinya, perampasan kekhilafaan.

Memang, di imam Ali as, saudara Sunni juga menerima kekhalifaan beliau as. Akan tetapi, bukan kekhalifaan Islami yang mesti diyakini, melainkan kekhilafaan horisontalik non makshumik yang, didukung oleh khayalanmu itu (afwan karena tidak bisa dikatakan analisa).

Penerimaan Sunni terhadap kepempinnan esoterik Ahlulbait as, memang dapat mendekatkan dua kubu untuk membuat persatuan. Akan tetapi, bukan berarti meresmikan dan membenarkan interpretasi mereka hingga yang Syi’ah, kamu suruh mereinterpretasikan lagi masalah imamah dan khilafah yang, apalagi disertai dengan tuduhan keji kepada Allah,

Nabi saww, para imam Makshum as dan para ulama dan maraaji’ sepanjang sejarah, dengan dikatakan telah mereduksi atau mendistorsi pahaman keduanya.

Sekali lagi, Tuhan, Nabi saww dan para imam as, tidak ada yang pernah mengajarkan kedua jenis kepemimpinan yang maknanya sudah kamu distorsi dan reduksi itu. Karena yang ditunjuk Nabi saww adalah bermaksud penunjukan terhadap kedua bentuk kepemimpinan (vertikal dan horisontal). Karena itu, buah yang kamu maksudkan itu, hanya buah karanganmu sendiri dan selain Syi’ah. Sementara buah yang diinginkan Islam, adalah mencakupi kedua dimensinya.

Kedua kelompok tidak bisa saling dileburkan, dan yang bisa hanya dipersatukan. Dan pemersatuannya, bukan dengan saling menerima konsep masing-masing seperti yang kamu usahakan itu, karena hal itu mustahil dan seperti anak kecil yang tidak tahu barat dan timur lalu jualan pelepah pisang yang dikatakan daging serta membelinya dengan dedaunan dengan mengatakan sebagai uangnya. Tapi dengan saling manahan diri untuk tidak saling paksa. Karena di ke dua atau banyak golongan Islam, Qur an-nya hanya satu dan di dalamnya mengajarkan “laa ikraaha fii al-diin” yakni “tidak ada paksaan dalam agama”. Kalau dalam agama saja tidak ada dan tidak boleh memaksakan, maka apalagi dalam madzhab dan kelompok.

Energi gontok-gontokan harus dirubah dan sudah dari abad-abad silam para ulama Syi’ah dan bahkan para imam as merubahnya. Para imam as bahkan kawin dengan selain Syi’ah. Jangankan teman, murid-muridnya, banyak yang bukan Syi’ah. Jangankan muslimin yang tidak pernah menyakiti imam as, yang menyakitipun, kalau bertaubat, segera dimaafkannya, misalnya Hur yang ikut syahid di Karbala setelah sebelumnya menjendrali pasukan musuh dalam pengepungan dan penyerangan terhadap imam Husain as.

Jadi, orang Syi’ah dan Sunni, tidak perlu konsep persatuan yang kamu berikan, karena ia adalah hakikat kekacauan. Syi’ah dan Sunni, sama-sama punya Tuhan dan Qur an serta Nabi saww yang, semuanya mengajarkan tidak ada paksaan dalam agama. Jadi, yang diperlukan bukan kesadaran dan pengetahuannya, karena semuanya sudah pada tahu, akan tetapi aplikasinya. Saling teman, saling temu, saling tolong dan semacamnya, adalah jalan menuju pengurangan gontok-gontokan itu, bukan dengan saling merubah interpretasinya dengan interpretasi buatanmu itu mas. Afwan.

Orang Syi’ah, yang mengambil dari para imam as dan ulama mereka, tidak pernah mengatakan bahwa imamah itu primer dari sisi hubungannya dengan kenabian mas. Karena imamah itu jelas setelah kenabian, emangnya kamu tidak pernah belajar ilmu Kalam apa, yakni lima ushuluddin hingga berani menganjurkan kepada Syi’ah untuk tidak memprimerkan imamah sehubungan dengan kenabian. Parah sekali mas. Imamah itu seconder (kalau bisa dikatakan seperti itu) dari sisi urutannya, bahkan yang ke empat. Karena sebelumnya adalah Tuhan, Adil Tuhan dan kenabian. Akan tetapi dilihat dari sisi ajaran Islamnya, maka IMAMAH JELAS PRIMER KARENA IA MERUPAKAN USHULUDDIN ATAU DASAR AGAMA. EMANGNYA ADA DASAR YANG TIDAK PRIMER MAS????

Tidak ada dalam sejarah Syi’ah yang tidak meng-Islamkan selain Syi’ah, yakni yang tidak taat pada imam Makshum as. Wong para imamnya as saja kawin dengan mereka kok. Emangnya kalau selain Syi’ah itu kafir, boleh kawin mas? Jadi, para imam as dan ulama Syi’ah, tidak perlu kamu ajari mas, bahkan kamu yang harus belajar banyak dan jangan pernah mengira sudah pandai, alim dan tokoh hingga memberikan jalan keluar kehidupan sendiri dan dari kocek sendiri (tidak taqlid), kepahaman sendiri dan menyalahkan semuanya, terutama para ulama dan tokoh-tokohnya dalam sepanjang sejarahnya. Kalau ingin tahu makna kafir di Syi’ah, kamu tidak perlu merujuk ke ulama yang mungkin tidak dapat kamu jangkau, tapi ana sendiri sudah menuliskannya dalam bentuk pasal dan nomor yang, , mungkin dapat memudahkan pemahaman. Afwan dan wassalam.

Sinar Agama: Teman-teman, antara poin (13) dan (14), ada poin sisipan yang berupa poin (13-1). Hal itu karena ada pelewatan kala mencopynya dari komputer ke fb. Terimakasih.

Sang Pencinta: Arull Weaslete Rock, tolong tidak menganggu keindahan penjelasan ustadz sinar ini dengan ss antum yang tidak relevan dengan komentar ustadz SA, kecuali memang ingin mengomentarinya.

Meyo Yogurt: Mohon ijin menyela. Pembahasan ini sangat baik untuk saya pelajari dan, kalau umpama telah jelas semua, saya mau bertanya apa yang terjadi ketika Nabi Adam as. belum turun dan belum ada manusia yang jadi khalifah atau imamah, apa perbedaannya di alam bumi ini dengan setelah ditunjuk Khalifah atau Imam. Terimakasih.




Artikel selanjutnya:
==================

Tidak ada komentar:

Posting Komentar