Sabtu, 30 November 2019

Hubungan Tuhan Yang Mutlak dan Suci dengan Manusia (2)

2. Hubungan Tuhan Yang Mutlak dan Suci dengan Manusia (2)

https://m.facebook.com/notes/abil-ghifari/hubungan-antara-tuhan-yang-mutlak-dan-suci-dengan-manusia-2/750245645058845/?refid=21


Sinar Agama:

  • c-2- Ketika Tuhan yang Mutlak dan Maha Suci, berhubungan dengan manusia yang tidak mutlak TAPI BISA SUCI WALAU TIDAK MAHA SUCI, maka sudah pasti Tuhan, dapat diketahui manusia. Artinya, Tuhan yang ada dalam pengetahuan manusia itu, walau tetap terbatas, akan tetapi bisa suci dari kesalahan. Karena itulah, manusia dan ayat Qur an, memiliki padanan untuk pensucianNya itu, yaitu Maha Suci, Subhaanallaah dan semacamnya.
  • c-3- Akal dan Tuhan sendiri, banyak memberikan jalan dan petunjuk untuk mensucikanNya. Karena itulah, ketika imam Ali as dalam khotbah pertama Nahju al-Balaghah mengatakan:

أول الدين معرفته وكمال معرفته التصديق به . وكمال التصديق به توحيده وكمال توحيده الاخلاص له . وكمال الاخلاص له نفى الصفات عنه لشهادة كل صفة أنها غير الموصوف وشهادة كل موصوف أنه غير الصفة . فمن وصف الله سبحانه فقد قرنه . ومن قرنه فقد ثناه ومن ثناه فقد جزأه ، ومن جزأه فقد جهله.
ومن جهله فقد أشار إليه . ومن أشار إليه فقد حده. ومن حده فقد عده ، ومن قال فيم


Pangkal agama adalah mengetahuiNya, dan kesempurnaan mengetahuiNya adalah membenarkanNya. Kesempurnaan membenarkanNya adalah mentauhidkanNya, kesem-purnaan mentauhidkanNya adalah ikhlash diri kepadaNya. Kesempurnaan ikhlash kepadaNya adalah menafikan sifat-sifatNya, karena semua sifat itu, bukan yang disifati dan karena yang disifati, bukanlah sifatnya. Barang siapa yang mensifatiNya, maka ia telah menyekutukanNya.
Yang menyekutukanNya berarti ia telah menduakanNya. Dan yang menduakanNya berarti telah membagiNya. Yang membagiNya, berarti ia tidak mengenalNya....”

Catatan hadits:

--- Kalau mengetahui Tuhan itu tidak logis, maka imam Ali as mengajari ketidaklogisan karena justru menjadikan pengenalan terhadap Tuhan, sebagai dasar dan pondasi serta pangkal agama Allah.

--- Ikhlash tertinggi dalam makrifatullah ini, adalah meniadakan sifat-sifatNya. Karena yang namanya sifat, bukan yang disifati, dan begitu pula sebaliknya.

--- Nah, ketika imam Ali as mengatakan bahwa kesempurnaan ikhlash itu adalah meniadakan sifat-sifatNya, diterangkan oleh para ahli logika dan filsafat serta ahli agama dan cendikiawan, bahwa maksudnya adalah menegasikan atau menolak sifat-sifat yang beda dengan DzatNya.

Akan tetapi kalau sifat-sifat yang tidak beda dengan DzatNya, maka jelas tidak diperintahkan untuk dinegasikan atau ditolak.

  • c-4- Suci dan Terbatas, sama sekali tidak bertentangan. Jangan dikira bahwa kalau sudah terbatas, maka berarti tidak suci. Terlalu banyak keterbatasan manusia, akan tetapi terlalu banyak pula kebenarannya yang suci dan mutlak, yakni pasti benar. Milyarand ilmu manusia, memiliki sifat mutlak ini, yakni pasti benar. Padahal, ia adalah tergolong yang tidak mutlak dalam arti terbatas. Karena itu, keterbatasan dan kesucian dari kesalahan, tidak ada hubungannya sama sekali.
Pengetahuan manusia yang suci, dapat dimulai dari kesadaran akan keberadaannya sendiri, sampai pada sifat-sifatnya serta lingkungan dan sifat-sifat mereka. Begitu pula terus melanglang dan melambung tinggi sampai kepada kebenaran mutlak Tuhan (baca: tidak salah dan pasti benar, bukan yang bermakna tidak terbatas).

Saya ada, saya begini dan begitu, lingkungan saya ada, lingkungan saya begini dan begitu, satu tambah satu sama dengan dua, api itu panas, es itu dingin, gula itu manis, empedu itu pahit, perkataannya tidak logis, perkataannya logis, ....dan seterusnya dari pelbagai pengetahuan, adalah mutlak benar dan tidak mungkin salah. Tentu saja yang saya sorot adalah ilmu-ilmu yang benarnya, bukan yang salahnya. Karena tujuannya, adalah ingin mengingatkan bahwa milyarand ilmu manusia itu yang benar secara mutlak, yakni tidak bisa tidak.

  • c-5- Satu lagi yang tidak boleh dilewatkan. Yaitu, bahwasannya kesucian ilmu itu, yakni kesucian yang seiring dengan keterbatasan ilmu itu, sangat bertingkat. Lengah terhadap kesucian yang terbatas ini, akan membuat kita menafikan kebenaran dan kesucian ilmu manusia tentang Tuhan sebagaimana yang dilakukan para penulis itu.
Karena banyaknya tingkatan ilmu yang terbatas akan tetapi suci dan pasti benar tentang Tuhan ini, maka sebanyak itu pula tingkatan MUKHLASHIIN dalam ayat di atas itu.

Mulai dari yang sangat mudah seperti Allah itu ada, Allah itu Esa, Allah itu tidak beranak, Allah itu tidak diperanakkan, Allah itu tidak bernasab dengan jin dan siapapun, Allah itu Maha Pemurah, Allah itu Pencipta kita dan alam semesta, Allah itu Maha Melihat dan

Mendengar, Allah itu Maha Pengampun, Allah itu yang mengutus pada nabi dan rasul, Allah itu menerangkan DiriNya sendiri, Allah itu memerintah manusia mengetahuiNya, Allah itu memerintah manusia mengatahui sifat-sifatNya, ..... dan seterusnya..., sampai pada yang sangat tinggi seperti makna dari masing-masing pengetahuan dan pensifatan terhadapNya itu.

Karena itu, sesuai qarinah yang ada pada ayat penerimaan Allah terhadap pensifatan Mukhlashiin di atas itu, menolak penasaban Allah dengan selainNya seperti jin saja, sudah merupakan tingkatan Mukhlashiin. Padahal, penolakan ini, tergolong bukan penolakan yang tinggi. Karena itulah, maka yang akan diterima Allah, dimulai dari yang paling bawah dan sederhana, sampai kepada yang paling tinggi. Ini tandanya, KEBENARAN ILMU MANUSIA TENTANG TUHAN DAN SIFAT-SIFATNYA ITU, MEMILIKI BANYAK BATASAN DAN GRADASI SESUAI DENGAN KEMAMPUAN MASING-MASING MANUSIANYA DAN, SEMUANYA TETAP TERSIFATI DENGAN SUCI (baca: benar mutlak dalam artian pasti) DAN DITERIMA ALLAH SERTA DIKATAKANNYA SEBAGAI MENSUCIKANNYA (baca: tidak tercela).

Dengan kata yang lebih pendek:

ADANYA GRADASI PADA ILMU-ILMU MANUSIA YANG BENAR TENTANG TUHAN DAN SIFAT-SIFATNYA ITU, MENUNJUKKAN BAHWA YANG TERBATAS ITU, TIDAK MESTI TERCELA DAN TIDAK SUCI.

  • d- Kalau pada poin d-3-b di atas itu yang benar, yakni:

“Jadi tidak ada hubungan langsung antara yang pasti dan tidak tercela dengan yang tidak pasti dan tercela. Tuhan yang pasti dan tidak tercela tidak akan pernah berhubungan secara logis dengan manusia yang tidak pasti.”

Maka:

    • d-1- Kata-kata dan maksud di kalimat ini, jelas lebih parah dari yang sebelumnya. Sebab yang ditolak, adalah kepastianbenarnya ilmu tentang Tuhan yang ada pada manusia. Kalau sudah tidak pasti, maka tidak ada lagi jalan membuktikan kebenaran adaNya dan kebenaran agamaNya.
    • d-2- Saya heran, kok bisa seseorang atau beberapa orang penulis, mentidakpastikan ilmu orang lain, sementara ia memastikan ilmunya sendiri tentangNya? Yaitu dengan mengatakan dan mengurai semua tentang keilmuan tentang Tuhan di atas itu. Ketika mereka mensifati Tuhan dengan mutlak kek, suci kek, tidak berhubungan dengan manusia yang tidak mutlak dan tidak suci kek, .... dan seterusnya, bukankah mereka sedang menceritakan ilmu mereka tentang Tuhan? Nah, kalau ilmu manusia pasti salah atau tidak pasti benar tentangNya, maka berarti yang harus mereka tolak pertama kali, adalah ilmu mereka yang dilontarkan dalam tulisan-tulisan di atas itu.
    • d-3- Lain-lain dalil kegamblangansalahnya pernyataan di poin d-3-b itu, sama dengan yang sebelum-sebelumnya. Tinggal pembaca terapkan saja satu persatu. Karena nafasnya, seiring dan bisa dikatakan sama saja. 

  • e- Kalau yang dimaksudkan di poin d-4-1 itu yang benar, yakni:
“Begitu pula halnya dengan agama yang tidak mutlak (terbatas) dan tercela yang berasal dari Tuhan yang mutlak (tidak terbatas) dan tidak tercela kepada (sehubungan dengan) manusia yang terbatas dan tercela.”

Maka:

    • e-1- Sungguh keterlaluan ketika Tuhan mengatakan dalam agama dan ayat-ayatNya, sebagai Diri dan Sifat-sifatNya, sebagai tidak sama dengan makhlukNya (laisa kamitslihi syaiun), sebagai Tuhan Maha ini dan itu, dikatakan para penulis sebagai terbatas (salah satu makna dari tidak mutlak).
    • e-2- Sungguh keterlaluan ketika Tuhan mengatakan dalam agama dan ayat-ayatNya, bahwa agamaNya, ayat-ayatNya, Rasul dan Ahlulbait RasulNya, fitrah manusia, lauhu al-mahfuuzh, malaikat-malaikat, ... dan seterusnya, sebagai suci, dikatakan oleh mereka sebagai tidak suci.
    • e-3- Agama itu, tidak sepenuhnya terbatas. Sebab manakala Tuhan menerangkan tentang Diri dan sifat-sifatNya, sudah jelas tidak bisa dikatakan terbatas. Karena itu, yang mengatakan bahwa agama itu terbatas, maka jelas ia tidak mengerti apa itu agama dan, terlebih lagi terhadap yang ia tulis sendiri.
    • e-4- Jangan katakan bahwa tidak suci itu maksudnya terbatas, sebab tidak suci, sebagai lawanan suci dan tidak terbatas, sebagai lawanan Mutlak sebagaimana maklum. Karena itu, maka pernyataan di atas, merupakan pernyataan yang sama sekali tidak bisa diterima dan, tidak layak dikatakan orang berakal dan, apalagi beragama dan bersyi’ah. Allahu A’lam.

  • f- Kalau yang dimaksudkan dalam poin d-4-2 itu yang benar, yakni:
“Begitu pula halnya dengan agama sebagai wahyu yang berasal dari Tuhan dimana berarti agama itu mutlak (tidak terbatas) dan tidak tercela, kepada (sehubungan dengan) manusia yang terbatas dan tercela.”

Maka:

    • f-1- Ketika dari satu sisi agama disifati dengan tidak terbatas dan di lain pihak dikatakan bahwa manusia itu tidak suci, maka jelas bahwa menurunkan agama kepada manusia, berarti menurunkan sesuatu yang tidak mungkin bisa dipahami manusia. Sementara Tuhan, kita kenal sebagai wujud Maha Bijaksana yang tidak akan memerintahkan manusia kepada hal-hal yang tidak bisa dilakukannya. Karena itu, hal ini jelas bertentangan dengan akal gamblang.
    • f-2- Ketika dari satu sisi agama disifati dengan tidak terbatas dan di lain pihak dikatakan bahwa manusia itu tidak suci, maka jelas bahwa menurunkan agama kepada manusia, berarti menurunkan sesuatu yang tidak mungkin bisa dipahami manusia. Sementara Tuhan sendiri dalam QS: 2:286:

َلا يُ َكلِّ ُف اللَّهُ نـَْف ًسا إَِّلا ُو ْس َع َها

“Allah tidak memerintahkan manusia kecuali sesuai kemampuannya.”

Nah, kalau perintah-perintahNya sudah diturunkan, termasuk perintah wajib untuk mengetahui Diri dan sifat-sifatNya, di samping perintah-perintah yang lainnya, maka jelas bahwa yang dinyatakan penulis itu, bertentangan dengan ayat-ayat muhkamaatNya tersebut.

    • f-3- Dengan semua penjelasan di poin f ini, maka dapat dipahami bahwa Mutlak yang bermakna tidak terbatas itu, bukan satu-satunya yang suci. Sebab yang tidak mutlak atau yang terbatas itu, juga bisa tersifati dengan suci.
Karena itu, maka sekalipun Tuhan menerangkan Diri dan sifat-sifatNya yang tidak terbatas, pada manusia yang terbatas, akan tetapi, di samping banyak sekali pengetahuan manusia tentang Tuhan yang tidak berhubungan dengan ketidakterbatasanNya (seperti Tuhan Ada dan tidak beranak serta tidak bernasab dengan jin sebagaimana dijelaskan dalam ayat-ayat di atas itu), akan tetapi, pengetahuan terbatasnya itu, tetap benar, suci, mutlak (dalam arti pasti benar) dan, ini yang terpenting, diterima Tuhan dan disifatiNya dengan suci (Maha Suci Allah dari yang mereka sifatkan, kecuali dari hamba-hambaNya yang mukhlashiin). Dengan kata lain, pensifatan selain mukhlashiin itu, tidak mensucikanNya sementara pensifatan Mukhlashiin, sebaliknya. Nah, mana bisa pensucian Tuhan, dikatakan ketercelaan?

  • g- Kalau maksud di poin d-4-3 itu yang benar, yaitu:

“Begitu pula halnya dengan agama yang pasti dan tidak tercela yang berasal dari Tuhan yang pasti dan tidak tercela, kepada (sehubungan) dengan manusia yang tidak pasti dan tercela.”

Maka:

    • g-1- Sebagaimana agama itu bisa disifati dengan pasti dan tidak tercela, manusia juga bisa disifati dengan pasti dan tidak tercela. Perhatikan penjelasan-penjelaran terdahulu. Sebab kepastibenaran itu sangat seiring dengan ketidaktercelaan dan tidak bertentangan sama sekali.
Karena itu, membegitupulakan ketidaklogisan hubungan agama yang pasti dan tidak tercela kepada manusia, seperti yang terjadi pada ketidaklogisan hubungan Tuhan dengan manusia dalam pandangan para penulis itu, merupakan kata-kata yang tidak logis sama sekali dan, bahkan tidak layak dikatakan oleh seorang muslim, apalagi seorang Syi’ah.

    • g-2- Sebagaimana dalil-dalil sebelumnya, kalau agama yang disifati dengan tidak terbatas dan suci ini, diturunkan kepada manusia yang terbatas dan tercela, maka ia merupakan penurunan yang tidak sesuai dengan kemampuan manusia.
    • g-3- Jalan keluar yang bijak adalah, agama itu ada yang kandungannya tidak terbatas (seperti Tuhan dan sifat-sifatNya) dan ada yang terbatas. Sedang ayat-ayatNya, merupakan jalan menujuNya dan menuju hakikat-hakikat yang lainNya, seperti kesucian dan semacamnya. Selain Diri dan Sifat-sifatNya, dapat dicapai manusia dan, karenanya dikatakan bahwa pahaman manusia tersebut, adalah suci dan tidak tercela.
Sedang pahaman manusia tentang Diri dan Sifat-sifatNya, jelas tidak akan pernah mencapai hakikatNya. Namun demikian, bagian benarnya, tetap dapat disifati dengan mutlak yang dalam artian benar dan, dan disifati dengan suci yang dalam artian tidak salah dan tidak tercela.

    • g-4- Perhatian: Kalau saya mengatakan bahwa agamaNya, ada yang tidak terbatas, bukan berarti ingin menyekutukanNya dengan ayat-ayat yang menjelaskan tentang Diri dan sifat-sifatNya. Sebab Qur an, bagaimanapun, tetap terbatas. Akan tetapi, yang saya maksudkan agama, bukan Qur an dan hadits. Karena keduanya, hanyalah berupa jalan menuju kepada agamaNya itu. Sementara agama, adalah hakikat yang nyata, baik tentang Diri dan Sifat-sifatNya atau penjelasan tentang selainNya. Nah, kalau agama itu adalah hakikat apa saja, dimana termasuk hakikat Diri dan Sifat-sifatNya, maka jelas agama itu, memiliki dimensi yang tidak terbatas, yaitu yang merupakan Diri dan Sifat-sifatNya.
Para ulama seperti ayatullah Jawadi Omuli hf, sering mengatakan bahwa Qur an dan Hadits, sebagaimana akal, adalah alat untuk mencapai agama. Jadi, semuanya, adalah obor menuju agamaNya tersebut.

....bersambung ke (h)......

Ibnu Ahmad Al-Bimawy: SUDAH LAH KAMI SUDAH TAHU SYI’AH ITU DARI RATUSAN BUKU KALIAN. WALAUPUN ANJING MENYANYI ATAU BERSIUL TETAPLAH ANJING, KARENA NYANYIAN KALIAN JUGA TETAP, MENGGONGGONG. MUNGKIN KALAU SAYA KATAKAN SYI’AH ITU ADALAH ANJING ITU LEBIH SOPAN DARI PADA UCAPAN SYI’AH BAHWA SEMUA SHAHABAT KECUALI 3 ORANG ADALAH KAFIR MURTAD DAN AL QUR’AN YANG ADA HARI INI ADALAH PALSU.

Sinar Agama:

  • h- Kalau yang dimaksudkan di poin d-4-4 itu, benar, yaitu:
“Begitu pula halnya dengan agama yang berasal dari Tuhan dimana berarti agama itu pasti dan tidak tercela kepada (sehubungan dengan) manusia yang tidak pasti dan tercela.”

Maka:

    • h-1- Membegitupulakan ketidaklogisan hubungan antara Tuhan yang pasti benar dan suci dengan manusia, kepada hubungan antara agama yang pasti dengan manusia, adalah sangat tidak logis. Sebab, sebagaimana maklum, pentidaklogisan itu yang justru tidak logis sebagaimana sudah diterangkan.
    • h-2- Selain masalah di poin h-1 itu, juga dapat dikatakan bahwa pentidaklogisan itu, jelas tidak logis. Sebab, walaupun manusia itu terbatas, akan tetapi tetap tidak bisa dikatakan sepenuhnya tidak suci. Karena milyarand dari ilmu manusia tentang hakikat wujud, baik Tuhan dan selainNya, yang benar secara mutlak/pasti dan, karenanya adalah suci (dari kesalahan).

  • i- Penutup:
Sekali lagi, tidak ada maksud apapun dari penulisan ini selain menjawab pertanyaan dan masalah keilmuan belaka. Kita semua bisa salah, akan tetapi tidak boleh putus asa untuk berusaha benar dan merubah yang salah, kepada yang benar. Mungkin juga bisa terjadi perbedaan pandangan diantara kita.

Karena itu, kita mesti bersikap dewasa hingga tidak menjadikan salah menyalahkan atau sesat mensesatkan, sebagai sumbu penyulut bagi perpecahan umat. Sebab salah dan sesat itu kan, menurut kitanya yang, belum tentu menurut Tuhannya. Karena itu, janganlah menyalahgunakan kata-kata yang sekalipun pahit, pada tempat-tempat yang tidak pada tempatnya.

Kata salah dan sesat, sangat tidak dilarang oleh agama manakala disertai dengan argumentasi dan kepala dingin. Karena tanpa mengatakannya, permasalahan yang dihadapi manusia, tidak akan bisa didiskusikan dan dicarikan titik temu. Kasarnya, kalau tidak diucapkan di tempatnya, maka amar makruf dan nahi mungkar, tidak terlaksa dengan baik.

Apalagi kalau kata-kata itu, diucapkan untuk orang yang telah mentidaklogiskan hubungan Tuhan dan manusia, atau agama dan manusia dimana agama justru dibangun di atas keterhubungan keduanya dengan manusia. Btw, semoga tulisan ini, tidak terlalu pahit dan semoga benar adanya serta diridhai Tuhan. Saya tidak mengatasnamakan siapa-siapa dan hanya sebagai orang yang ditanya dan merasa juga secara GR, sebagai orang yang merasa akan dimintai tanggung jawab di akhirat kelak, tentang buku tersebut. Wassalam.

Cataleya Kashva: Afwan, menurut pemahaman saya yang awam terhadap buku tersebut, yang dimaksud dengan manusia yang tidak suci tidak mencakup Nabi saww dan Aimah. Tidak ada satu-pun yang dibahas dalam bagian pertama buku tersebut yang mengesankan ketidakmakshuman Aimah as. Sementara bagian ke-2 dan seterusnya benar-benar sangat mencerahkan baik bagi orang Syi’ah sendiri yang tidak belajar di hauzah-hauzah apalagi bagi saudara-saudara Sunni kita. Bagaimana mungkin buku sebagus ini yang membela mati-matian kemakshuman dan kehormatan para Aimah dianggap menyesatkan???. Sebaiknya kita merenungkan kembali maksud dan tujuan untuk apa buku tersebut diterbitkan, sehingga bisa lebih menjernihkan hati dan pikiran kita. Wallahu’alam.

Sinar Agama: @Cataleya, ahsantum. Anjuranku, baca lagi tulisan yang sedang kita bahas itu dan tanggapannya dengan seksama, in syaa Allah, akan ketemu ujung pangkalnya.

Cataleya Kashva: Salam ustadz, itu-lah seluruh pemahaman saya setelah membaca buku tersebut. Anggap-lah pendapat ustadz benar, apakah ustadz menyadari dampak dari pernyataan ustadz terhadap buku tersebut bagi kehidupan Syi’ah di Indonesia? Pendapat ustadz tersebut bisa dijadikan oleh para pembenci Syi’ah untuk melakukan pemukulan yang lebih dahsyat lagi. Saya hanya bisa berdo’a dengan tulus kepada Allah swt agar niat ustadz dalam memberi pernyataan terhadap buku tersebut juga benar-benar tulus dan ikhlas karena Allah.

Sang Pencinta: Cataleya, mungkin ada baiknya antum membaca ulasan ustadz SA yang sebelumnya di bulan oktober lalu tahap mukaddimah buku itu.

Irsan Fadlullah Al Hajj: Apresiasi positif dubutuhkan untuk buku tersebut.
Karena semua membutuhkan proses sesuai dengan tingkatan pemahaman ummat pada umumnya.

Irawati Vera: Salam ... ikut nyimak. Terkait ulasan ustadz SA yang di bulan oktober tersebut tolong minta linknya .... syukron Sang Pencinta.

Sang Pencinta: Ira, ok nanti saya tukil link note ya.

Azmy Alatas: Ya elah ustadz...ga perlu jelasin panjang lebar, jadi lebay gini...saya sekali baca buku tersebut langsung paham kok...

Idea Abdul Majid: Simplenya itu hak, hak itu milik ALLAH. ALLAH yang netapin enggak boleh di bantah.

Andika Karbala: Salam ustad, mohon kroscek pemahaman saya, dari berbagai catatan Ustadz mengenai tauhid dan juga catatan di status ini maka menurut saya lebih enak jika kembali ke dalil awal bahwa Tuhan itu tidak terbatas, dan tidak mungkin dibatasi. Karena apabila dibatasi maka berarti ada awal dan ada akhir, sesuatu yang ada awal dan ada akhirnya sudah pasti bukan tuhan. 

Karena Tuhan itu tidak terbatas maka tidak ada sekutu bagiNya. Hubungan manusia dengan Tuhan bukanlah teman juga bukan sekutu. Karena pada dasarnya manusia ( yang relatif ) hanyalah bayangan/atau kegelapan mutlak. Yang adanya karena bergantung sedemikian rupa kepada Tuhan (yang Mutlak dan suci). ketika ilmu manusia bersumber dari ilmu Tuhan yang mutlak maka ilmu manusia yang relatif akan menjadi ilmu yang mutlak benarnya. Dan manusia (yang relatif ) bisa menjadi suci manakala manusia telah menjalani/melaksanakan ilmu Tuhan tersebut dalam hal ini berarti ilmu fiqih sehingga menjadi insan taqwa dengan melaksanakan semua kewajiban dan tidak melakukan dosa-dosa baik kecil maupun dosa besar. Namun demikian mutlak dan sucinya manusia tersebut tidak mungkin menyentuh atau menjadi Tuhan yang yang mutlak dan suci. Karena mutlak dan sucinya manusia bergantung sedemikian rupa kepada Allah swt yang mutlak dan tiada terbatas.

Azmy Alatas: Mbahas kok di partikel-partikelkan... Kalau udah membaca tuntas, ternyata ga ada yang perlu dipolemikkan, sudah amat sangat gamblang dan tidak ada kontradiktif, kecuali bagi mereka yang menyimpan api ujub, dengki dan hasud.


======

((Bersambung ke: Hubungan Antara Tuhan Yang Mutlak dan Suci dengan Manusia (3).))




Tidak ada komentar:

Posting Komentar