Senin, 25 November 2019

Imamah & Khalifah menurut buku SYI’AH MENURUT SYI’AH bagian 5

5. Imamah & Khalifah menurut buku SYI’AH MENURUT SYI’AH bagian 5

https://www.facebook.com/notes/teguh-bin-suhedi/imamah-khalifah-menurut-buku-syiah-menurut-syiah-bagian-5/10152453769278937

Ali Zayn Al-Abidin: Karena yang horizontal itu bukan hanya politis, tetapi bahkan kalau kata ayt syd Kamal, itu sya’nun min syu’un..

Pertanyaan saya khusus di bab politis.

Sinar Agama: @Ali, ahsantum, semoga selalu dalam hidayahNya, begitu pula saya dan teman-teman yang lainnya, amin. Ketidakberfungsian imamah itu, sudah tidak lagi merupakan tanggung jawab konsepnya. Karena ia merupakan hal yang memerlukan kepada banyak unsurnya.

Ilustrasi:

Saya mendengar satu kisah menarik dari ulama hebat Indonesia yang mana sekarang sudah tidak ada lagi, semoga Tuhan merahmati beliau, amin. Beliau adalah ustadz Husain al-Habsyi ra yang bercerita tentang diri beliau ra sendiri dikala masih dalam mempelajari Syi’ah.

Beliau ra kagum sekali dengan umat Iran yang begitu hebatnya menyintai dan MENAATI imam Khumaini ra. Karena itu, beliau ra memiliki masalah keilmuan yang sulit dipecahkan. Yaitu tentang imam Ali as (sebagai wakil Ahlulbait as) dan imam Khumaini ra. Kebingungan beliau ra adalah apa yang menjadi sebab dari keberbedaan yang mencolok dari kedua pemimpin tersebut, mana yang lebih hebat diantara keduanya.

Ketika beliau ra berkesempatan berkunjung ke Iran untuk pertama kalinya, beliau ra bertanya kepada salah satu ulama Iran dan mengutarakan kebingungannya tersebut. Beliau berkata ketika bercerita itu:

“Ketika ulama Iran itu saya tanya, masyaAllah, dengan mudah dan gampangnya beliau menjawab.”

Almarhum ra meneruskan penuturannya: “Ulama Iran itu menjawab: ‘Imam Ali as dan imam Khumaini ra itu, bagaikan matahari. Keduanya mengeluarkan sinar tanpa tedengan halangan apapun. Akan tetapi, umat ini ibarat bumi. Karena itu, siapa saja yang menghadap matahari, maka ia akan mendapatkan kecerahan dan hidayah. Dan barang siapan yang membelakanginya, maka ia tidak akan mendapatkan cahaya tersebut dan sebagai gantinya, akan menjadi gelap gulita sebagaimana gelapnya malam. Nah, yang membedakan imam Ali as dan imam Khumaini ra, adalah di umatnya. Karena umat imam Ali as tidak menghadap beliau as dan bahkan membelakangi beliau as, maka umat imam Ali as hidup dalam kegelapan. Sementara umat imam Khumaini ra, menghadap kepada beliau hingga karenanya, menjadi cerah dalam hidayah. Jadi, kehebatan Iran terletak pada umatnya selain pada imamnya.’.”

Sang Ulama Iran, memang tidak menjelaskan posisi sebenarnya. Karena yang bertanya, waktu itu masih dalam madzhab Ahlussnnah Waljamaa’ah (Syafi’ii). Karena itu, walaupun imam Khumaini ra tidak ada apa-apanya dibanding imam Ali as yang makshum, dan imam Khumaini ra sendiri justru bangga menjadi Syi’ah mati-matian imam Ali as, akan tetapi, sang ulama, hanya mencukupkan penjelasannya, pada sebab keberhasilan Iran sekarang dan kegagalan umat di jaman imam Ali as.

Intinya, tugas/rahmat keTuhanan, tugas kenabian dan imam, sudah dipenuhi oleh yang memiliki wewenang di dalamnya, sementara yang lainnya, tergantung kepada umat itu sendiri.

Ali Zayn Al-Abidin: Amin, wa iyyakum bi haqqi Muhammad wa aalih. Kalau boleh saya lnjut bertanya, bagaimana dengan seorang wali faqih dalam tatanan kenegaraan Iran yang dibangun oleh Syd Imam Khumainy? Apa fungsi politisnya sama?

Maksud saya begini.. Seorang waly faqih kan tidak menjadi presiden (pemimpin politik)? Lalu dimana letak kepemimpinan politisnya?

Haidar Husein: Apakah wali faqih itu berwenang dalam skala internasional ataukah hanya di suatu negri???

Sinar Agama: @Ali, wali faqih itu adalah pengganti imam Makshum as. Ini menurut pandangan agama dan akal. Karena itulah, untuk mengirim surat saja, kalau beberapa orang sekaligus, Nabi saww memilih wakil diantara mereka untuk menjadi pemimpin. Nah, wakil tersebut wajib ditaati dan maksiat padanya sama dengan maksiat ke Nabi saww itu sendiri.

Nah, kalau dalam hal menulis surat dan demi kepentingan di jalan saja sudah seperti itu, maka apalagi kepemimpinan agama. Di jaman Nabi saww dan para imam Makshum as juga seperti itu. Yakni wakil-wakil agama itu ada dan diangkat, lantaran tidak semua orang ada bersama Makshumin as (satu kota) dan, wakil itu jelas wajib ditaati.

Begitu pula dengan wali faqih ini. Wali faqih adalah wewenang faqih. Dari mana wewenang itu datangnya? Jawabannya sudah tentu dari Tuhan yang disalurkan melalui Nabi saww dan para imam Makshum dari sejak jaman Nabi saww dan diukirkan di Qur an (QS: 9:122).

Jadi wali faqih itu bukan ijtihadiah biasa, tapi merupakan bagian dan cabang juga dari keimanan. Maksudnya, walau ia merupakan bagian dari keijtihadan sesuai dengan NASH YANG JELAS (Qur an dan hadits serta akal), akan tetapi kewenangannya itu, kalau sudah tepat kepada orangnya, maka merupakan cabang dari keimanan pada imamah. Memang, kecabangan ini, tidak menentukan seseorang jadi kurang beriman kalau tidak percaya wali faqih, akan tetapi, setidaknya masuk dalam maksiat kalau dia bukan mujtahid atau tidak taqlid pada mujtahid yang kebetulan memfatwakan tidak wajib taat pada wali faqih yang mutlak. Karena dia sendiri pasti beriman dengan wali faqih hingga karenanya mengeluarkan fatwa atas nama Tuhan, Nabi saww dan para Makshumin as. Tapi yang tidak mutlak. Rincian wali faqih mutlak dan tidak mutlak ini, bisa dilihat di tulisan-tulisan terdahulu atau mintalah ke Pencinta.

Jadi, wali faqih itu bukan mainan politik dan bukan buatan imam KHumaini ra. Akan tetapi dari sejak dulu sudah ada dan disepakati kebanyakan mujtahid dan marja’. Yang membedakan masa imam Khumaini ra dengan sebelum-sebelumnya, adalah umat yang mendukungnya. Sebelum jaman imam Khumaini ra bisa dikatakan tidak ada dukungan yang memadahi dari umat, baik kwalitas atau jumlahnya. Akan tetapi di jaman Imam Khumaini ra, dukungan itu ada dan jadilah negara Islam pertama di dunia ini yang dipimpin dan berundangan dasar di atas hukum Islam ajaran Ahlulbait as yang hakiki, tidak berupa kerajaan yang dipimpin orang Syi’ah seperti raja Iran yang digulingkan oleh imam Khumaini ra dan umat itu. Jadi, negara Islam itu bukan hanya menghukumkan negaranya dengan hukum-hukum Islam. Akan tetapi, termasuk dasar keIslaman pemimpinnya, harus syah sesuai dengan agama. Beda dengan raja-raja wahabi yang mengatasnamakan negara Islam, tapi posisi dia dari mana, ceritanya apa, kewenangannya dari apa dan akan diapakan, .... dan seterusnya...tidak mengikuti ajaran Islam.

Ali Zayn Al-Abidin: Saya terlalu sepakat kalau bab wilayatul faqih ustadz, wong saya cinta sama Sayyid Imam Khumainy, setiap saya sudah mulai “males” shalat saya baca buku-buku imam seperti adab shalat, sirr shalat, arbaun haddist, dan buku itu obat mujarab buat saya.

Ali Zayn Al-Abidin: Maksud ana yang gak paham-paham ini ustadz, apa waliy faqih yang tidak menjadi presiden (pemimpin politis) tidak menyalahi konsep tersebut? Alafu sebelumnya ustadz, semoga Allah mengganjar ustadz pada setiap hurufnya dengan CahayaNya, amin.

Ali Zayn Al-Abidin: Meski waliy faqih memiliki otoritas politis, tapi kan tidak menjadi pemimpin politis? Bagaimana itu ustadz?

Abu Alief Al Kepri: Alhamdulillah, sudah tahu masalah yang menjadi heboh ni. Sangat banyak kesalahan tulisan ML yang bisa melemahkan Syi’ah dalam hal wala dan baraahnya. Yang hitam mau dianggap biru donker oleh ML sehingga terkesan sah-sah saja karena bukan hitam. Hahaha.

Wajar saja jika U. Sinar Agama agak esmosi, soalnya tulisan ML ini bisa meracuni orang yang baru mengenal Syi’ah. Sebaiknya Tulisan ML ini dihilangkan saja agar tak meracuni banyak orang.

Nuhu Nuhu: Loh, bukunya dah beredar tuh. Justru dengan adanya hal seperti ini bisa menambah wawasan berpikir yang kritis.

Abu Alief Al Kepri: Judulnya diubah saja Syi’ah menurut Muhsin Labib itu baru cocok.

Ali Zayn Al-Abidin: Kalau gitu gak bakal ada Syi’ah menurut siapapun. Bisa jadi juga buku-buku ulama dulu tentang aqidah Syi’ah juga salah judul. Atau salah isi mungkin.

Abu Alief Al Kepri: Memang benar ko, tulisan ML sangat jauh dari apa yang diyakini Syi’ah.

Nuhu Nuhu: TOLONG DI JELASKAN MAKSUD TEKS INI.
Begitu pula dengan wali faqih ini. Wali faqih adalah wewenang faqih. Dari mana wewenang itu datangnya? Jawabannya sudah tentu dari Tuhan yang disalurkan melalui Nabi saww dan para imam
Makshum dari sejak jaman Nabi saww dan diukirkan di Qur an (QS: 9:122)

Ali Zayn Al-Abidin: Gimana dengan pandangan syaikh shoduq bahwa Syi’ah yang tidak meyakini bahwa rosul pernah ketiduran gak sholat subuh maka dilaknat juga Salah mutlak dan harus dibuang embel-embel syaikhnya dan diragukan ke-Syi’ah-an beliau.

Ali Zayn Al-Abidin: Syaikh Shoduq juga harus diragukan gak kesyiahannya dengan aqidah beliau itu? Harus dicap “baru mengenal Syi’ah” dan lain-lain gak?

Ali Zayn Al-Abidin: Syaikh mufid yang mendebat aqidah syaikh shoduq juga apa harus dicap merusak aqidah Syi’ah, mencela ulama-ulama, dan lain-lain?

Ali Zayn Al-Abidin: Diskusi ilmiyah dari dulu kalau kecampur emosi memang jadinya ga masuk dan rusak.. Antum bisa cek bagaimana “pedes”nya komentar syaikh Mufid pada syaikh shoduq di kitab beliau “risala fi adam shahw nabiy” atau “tashih i’tiqadat imamiyah”

Ali Zayn Al-Abidin: Syi’ah ini unggul dalam bidang perkembangan keilmuannya, khususnya di bidang filsafat, aqidah dan irfan. Nah di bab filsafat dan aqidah itu memang sangat disayangkan adanya komentar-komentar yang berbau opini emosional yang merusak isi diskusi ilmiyahnya.

Ali Zayn Al-Abidin: Tapi memang saya akui sangat sulit sambil berdiskusi ilmiyah sambil mengendalikan emosi.. Nah intinya mari kita bangun warisan budaya diskusi ilmiyah yang baik ini dan kita minimalisir sisi negatifnya itu.

Ali Zayn Al-Abidin: Kalau antum sebagai pengikut (seperti ana) yang masih jahil sudah berani melecehkan ulama, sekarang juga ana tunggu jawaban antum untuk memilih melecehkan syaikh Shoduq atau syaikh Mufid.. Perdebatan mereka lebih fatal.

Aqilla Husein Aqilla Husein: Diskusi /Apapun yang sejenisnya, akan berjalan Mulus. Tanpa di iringi rasa Emosi. Afuan.

Ali Zayn Al-Abidin: Itu sulit, bisa diminimalisir aja bagus.

Abu Alief Al Kepri: Nuhu Nuhu apa yang mau dijelaskan, emang begitu lah Islam menggariskannya.

Ali Zayn Al-Abidin: Saya ga pernah baca kisahnya. Jadi ga mungkin bisa bandingkan. Saya rasa esmosinya Ustadz Sinar Agama itu wajar saja, jangankan beliau, saya juga ga bisa terima apa yang ditulis ML itu, meski tak semuanya salah, namun sedikit argumen beliau itu punya dampak fatal dalam hal imamah lho.

Ali Zayn Al-Abidin: Iya, sy maklumi emosi beliau, itu wajar. Tapi baiknya dikurangi. Antum minta penjelasan deh sama ustadz Sinar Agama tentang perdebatan itu dan komentar-komentarnya yang pedas.

Abu Alief Al Kepri: Buat Ustadz Sinar Agama saya setuju dengan SEMUA JAWABAN USTADZ DI ATAS. Ali Zayn Saya rasa orang yang mengatakan bahasa SA sangat pedas dan tak punya etika, mungkin perlu mandi kembang 7 rupa. Hahaha. Maaf saya of dulu, anak minta laptop. Salam.

Ali Zayn Al-Abidin: Lebih fatal mana, mempunyai pandangan masalah kepemimpinan politik itu tidak harus selalu ditempati imam karena point akseptabilitas, atau aqidah bahwa nabi pernah ketiduran gak sholat subuh dan jika ada Syi’ah yang tidak percaya dengan hal itu maka dilaknat oleh aimmah?

Ali Zayn Al-Abidin: Antum ana sarankan baca buku itu biar tau gimana komentar syaikh Mufid yang jauh lebih pedas.

Aqilla Husein Aqilla Husein: @Sinar Agama. Ahsantum.

Abu Alief Al Kepri: Ali Zayn Saya rasa tak ada hubungan sama sekali antara status dengan apa yang anda sarankan. Kritik Ustadz SA adalah sangat tepat, karena tulisan ML bukan mewakili Syi’ah yang sebenarnya. Apakah dengan krikitkan ini menyebabkan Syi’ah itu terpecah lagi???? Adalah keterlaluan orang yang menyangka demikian. Tulisan ML bisa jadi hanyalah sebuah perbuatan taqiyahnya sebagai individu yang akan duduk di pemerintahan, dan hanya untuk kepentingan dirinya sendiri, bukan untuk Islam. Tidaklah sama taqiyah persatuan yang tidak mengorbankan prinsif wilayah, ianya sah-sah saja karena tidak sedikitpun menganjurkan bahwa selain faqih bisa dijadikan imam atau pemimpin.

Beda dengan tulisan ML, yang jika saya simpulkan adalah mengaburkan makna wilayah, sehingga orang akan beranggapan tak berdosa jika menganggap pemimpin pilihan manusia sebagai khalifah yang sah. Ini sangat bahaya.

Ali Zayn Al-Abidin: Ahmadinejad dipilih oleh rakyat juga kan? Hasan Rouhani? atau bahkan Sayyid Ali Khamenei? Apa dengan ijtihad itu tidak menyalahi pakem “imamah/khilafah” pada dairoh siyasah formalitas pada orang yang dipilih oleh bukan Allah membuang keyakinan wilayahnya pada Imamah Insan Kamil?

Ali Zayn Al-Abidin: Kalau antum telah mengkaji banyak pandangan-pandangan dan ijtihad-ijtihad ulama syi’i khususnya pada bab aqidah, antum akan kebingungan mencari pandangan mana yang asli milik Syi’ah, antum tunggu ulasan ustadz SA tentang syaikh Mufid dan Shoduq.

Nuhu Nuhu: Begitu pula dengan wali faqih ini. Wali faqih adalah wewenang faqih. Dari mana wewenang itu datangnya? Jawabannya sudah tentu dari Tuhan yang disalurkan melalui Nabi saww dan para imam Makshum dari sejak jaman Nabi saww dan diukirkan di Qur an (QS: 9:122)

BAGAIMANA MENJELASKAN AYAT TERSEBUT DI ATAS SEHINGGA DAPAT DI AMBIL SEBUAH KESIMPULAN BAHWA WALI FAQIH (Iran) ADALAH WAKIL IMAM AS ?????

Ali Zayn Al-Abidin: Kadang kepemimpinan secara syuro dan lain-lain yang bukan asli dari Allah ini memang tetap harus ada.. Saya meyakini kepemimpinan tasyri’i maupun takwiny aimmah di bidang politik bukan me”wajib-mutlak”kan posisi teratas/pemimpin politis, tetapi me-”wajib-ideal”kan. Tapi saya hormati pandangan ustadz SA, apalagi beliau hujjatul islam sedang saya cuma siapa..

Ali Zayn Al-Abidin: Saya analogikan dengan posisi wali faqih di Iran yang TIDAK MENJADI PRESIDEN. Bahkan yang Hjt.Islam Hasan Rouhani ini dari kalangan moderat yang dalam sebagian kasus “tidak sependapat “ dengan Sayyidul Qaid.

Abu Alief Al Kepri: @Ali Zayn. Pemilihan Rahbar jangan disamakan dengan pemilihan PM oleh rakyat. Rahbar itu dipilih oleh para faqih dan merupakan yang terfaqih.

@Nuhu Nuhu

Artinya: “Hendaklah ada sekelompok dari orang-orang yang beriman yang mendalami masalah-masalah agama untuk memberikan peringatan kepada kaumya.” (Qs. at-Taubah: 122)

PENJELASAN

Ayat tersebut menunjukkan wajibnya menunjukkan “indzar” (memberikan dan menyampaikan peringatan kepada umat manusia akan adanya siksa Allah Swt ketika mereka tidak mentaati dan melanggar huku-hukum-Nya). Sudah barang tentu tidak sema orang mampu menentukan, menetapkan dan menjelaskan hukum-hukum Allah Swt tersebut selain para ulama dan mujtahid yang mengkaji masalah-masalah agama puluhan tahun.

Dengan demikian, ayat tersebut tidak secara langsung mewajibkan orang-orang Muslim yang awam untuk bertaqlid kepadapara ulama, maraji’ dan mujtahidin yang telah memenuhi syarat Sehubungan dengan ayat tersebut sebagian ulama Ahli Sunnah berkata: “Maka dengan demikian Allah Swt telah mewajibkan kaum Muslimin untuk menerima “indzar” dan peringatan yang disampaikan oleh para ulama, dan hal itu berarti ‘taqlid’ kepada mereka.”

Ali Zayn Al-Abidin: Gampangnya gini lho..kalau kepemimpinan politis adalah hak mutlak imam, kenapa wali faqih tidak jadi presiden? Kenapa ada pemilu? Kenapa insan-insan kamil sepanjang sejarah hanya sedikit yang menduduki posisi itu. Saya yakin memang idealnya Insan Kamil pemimpin di semua bidang, itulah nanti zaman ideal dipimpin oleh alqaim afs.

Ali Zayn Al-Abidin: Kenapa wali faqih yang menurut konsep imam khumayni (ra. qs. syarif) harusnya mengemban mas’uliyat aimmah di masa ghaib kubro, tetapi di Iran tidak dijadikan presiden (pemimpin politis). Huna isykal ustadz..

Ali Zayn Al-Abidin: Ana tidak membahas tentang urgensi wali faqih dan lain-lain karena saya juga meyakini benar atas adanya waliy-waliy imam Mahdi.

Ali Zayn Al-Abidin: Dan komentar saya jauh dari penghinaan, dan lain-lain kepada ustadz Hjjt.Islam Sinar Agama. Saya menghargai adanya perbedaan cara pandang oleh para ulama, apalagi saya cuma muqallid semata.

Abu Alief Al Kepri: Ali Zayn: Bukankah Presiden itu di bawah Rahbar. Dan ketentuan dalam WF menyebutkan “Mendahulukan kepentingan WF atas Kepentingan Masyarakat Umum”, jadi apa saja kepentingan presiden yang bertentangan dengan WF adalah batal.

Jika presiden itu dibawah wali faqih, anggap saja mereka sebagai wakilnya WF. Saya rasa tak jadi soal.

Ali Zayn Al-Abidin: Dan nuqtah muhimmah (point penting) lainnya adalah bahwa PERBEDAAN

PENDAPAT DALAM SYI’AH ITU SUDAH TERJADI SEJAK ZAMAN SYAIKH ASSHODUQ, TETAPI HAL ITU MALAH MENGUATKAN KEILMIYAHAN MADZHAB SYI’AH.

Ali Zayn Al-Abidin: Makanya saya katakan IMAM TIDAK HARUS MENJADI PEMIMPIN POLITIS, TETAPI BAGAIMANA MENGENDALIKAN SISTEM POLITIK ITULAH MAS’ULIYYAHNYA. Kalau begitu antum artinya sependapat dengan ana.

Nuhu Nuhu: Saya pernah menanyakan terkait hal penunjukkan wali fakih yang ada di Iran. Lalu orang tersebut berkata : ANTUM BILA MAU TAHU TENTANG BAGAIMANA IJTIHAD DALAM PENUNJUKKAN WALI FAKIH, MAKA ANTUM MESTI JADI MUJTAHID... wak...wauw...

Aqilla Husein Aqilla Husein: @Ali Z. & Abu Alif. “Sepedapat juga kaaan.”. Afuan.

Aqilla Husein Aqilla Husein: @Nuhu-Nuhu. “Ngawur Kamu”. hehehehee

Abu Alief Al Kepri: Agama dan politik itu 1 adanya, adanya presiden yang mengurusi politik negara Iran namun masih dalam kepentingan WF bukanlah pemisahan politik dan agama, namun adalah pembagian kerja. Tak ada alasan orang buta agama diangkat menjadi pemimpin seperti di kebanyakan negara Islam, dan inilah yang menyebabkan terjadi pemisahan antara agama dan politik.

Nuhu Nuhu: Jawabannya sudah benar, anda saja yang ga faham.

Ali Zayn Al-Abidin: Nah pandangan itu berbeda dengan ustadz SA yang (dari yang saya tangkap) mewajib-mutlakkan imam sebagai PEMIMPIN POLITIS (bukan cuma sekedar mengamati seperti di Iran). Artinya dari sudut pandang ustadz SA mengimplikasikan bahwa seharusnya juga gak perlu ada Ahmadinejad wala Rouhani, semua kebijakan politis jadi mas’uliyah wali faqih. Ini yang saya hendak konfirmasi kepada beliau.

Nuhu Nuhu: Lalu siapa yang memberi otoritas kepada wali fakih Iran adalah wakil imam as ?

Abu Alief Al Kepri: @Aqilla Husein Aqilla Husein: ya iya dung, si Nuhu ini termasuk jenis produksi Gagal faham @Ali Zayn: Saya belum jumpa tulisan SA tentang hal itu.

Abu Alief Al Kepri: Maaf ya Sdr Ali Aqilla Husein Aqilla Husein...saya terpaksa of lagi. Soalnya sibuk di rumah. Salam.

Ali Zayn Al-Abidin: @nuhu : afwan sebelumnya, saya saran agar antum berkomentar tentang WF di catatan yang lain. Agar tidak memecah diskusi sehingga merusak kesimpulan.

Ali Zayn Al-Abidin: Kalau otoritas politis mutlak dipegang oleh WF maka kebijakan politik antara adanya Ahmadinejad dengan Rouhani tidak akan beda seperti sekarang..tapi nyatanya?

Nuhu Nuhu: Apakah di Indonesia atau di negara lain tidak ada wali fakih (rahbar) seperti di Iran ?Kok cuman Iran doang sih yang punya rahbar.

Ali Zayn Al-Abidin: Kalau kita mau flashback kembali ke zaman presiden Khattami, bagaimana dengan kebijakan Khattami (yang berbeda 180 drjt) dengan kebijakan Ahmadinejad. Kalau kebijakan ini otoritas mutlak bagi WF bagaimana perbedaan itu bisa terjadi? Lalu jika bukan otoritas WF maka artinya sepakat dengan pandangan saya dan ustadz Labib.

Ali Zayn Al-Abidin: Saya juga sarankan disini untuk menyimak penjelasan syd Kamal Haidary tentang perbedaan pendapat pada intern Syi’ah. Judulnya “masyru’iyah ta’addud al-qira’ah fi madrasah ahlbayt” (dalam bahasa arab) ada 2 bag video, bisa dlihat di youtube penjelasan beliau. Sebagai khazanah saja.

Haidar Husein: Ooo jadi WF itu hanya berlaku di Iran saja??? Bukan internasional?



Artikel Selanjutnya:
====================

Tidak ada komentar:

Posting Komentar