﷽
by Sinar Agama (Notes) on Monday, May 20, 2013 at 3:25am
seri tanya jawab Andri Kusmayadi dengan Sinar Agama
Afwan ya jangan bosen-bosen dengan pertanyaan ana....:)
1. Dalam sebuah buku ana baca bahwa imam itu akan selalu ada dalam setiap zaman, dan selalu yang jadi imam adalah keturunan Nabi Ibrahim as. Nah, pertanyaannya siapakah imam-imam tersebut apakah sama dengan nabi-nabi keturunan nabi Ibrahim atau tidak? Kemudian, sebelum zaman Nabi Ibrahim berarti tidak ada imam?
2. Antum berpendapat ketika ada menjawab pertanyaan salah satu teman, bahwa kemungkinan Hugo Chavez masuk neraka, tapi ana pernah juga dapat penjelasan dari antum kalau orang Kristen juga mendapat syafaat, nah apa mungkin juga Hugo itu dapat syafaat?
3. Ustadz, kita kan dalam melaksanakan fatwa marja itu salah satunya merujuk langsung kepada buku fatwa marja tersebut. Nah, terkadang kita tidak bisa memahaminya secara langsung, jadi kita bertanya pada ustadz. Tapi, terkadang kita sudah benar-benar jelas dan paham dengan yang dimaksud dalam buku fatwa itu. Nah, tapi ternyata ada perbedaan dengan pendapat Ustadz, baik itu ustadz lain atau antum sendiri. Bagaimana kita harus bersikap ketika menghadapi kasus seperti itu? Apakah kita harus mengikuti pendapat ustadz itu atau pendapat kita sendiri terhadap pemahaman di buku fatwa itu? Terimakasih. Wassalam.
Sang Pencinta: Salam, jawab no 1: Makna Kalimat Imam ( ےاًامَ مِ إ ) dalam Ayat-Ayat Al-quran Oleh Ustad Sinar Agama = http://www. facebook.com/groups/210570692321068/doc/437410649637070/
510. Keharusan Pemimpin/Imam Setiap Zaman Oleh Ustadz Sinar Agama = http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/331112203600249/
553. Para Imam Harus Dari Keturunan Rasul Oleh Ustad Sinar Agama = http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/331127286932074/
71. Penjelasan Para Imam Dari Keturunan Imam Husein Oleh Ustad Sinar Agama = http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/252590638119073/
Beberapa link sedikit melebar dari soalan antum, tapi in'syaa Allah esensi link-nya bisa menjawabnya.
Sang Pencinta: Untuk no 3, ijin komen, justru saya melihat dan membandingkan fatwa marja dan
penjelasan ustadz Sinar sejalan dan konsisten.
Beberapa minggu lalu saya mencoba mengkhatamkan tanya jawab Rahbar dengan mukalidnya yang diposting di leader.ir, sejauh ini yang saya amati dan pelajari tidak ada kontradiksi esensi.
Ada fatwa yang pengamalan dan penafsirannya dikembalikan kepada mukalaf, misal masalah waktu buka puasa, yakni hilangnya mega merah, di mana dalam fatwa tidak ditentukan secara pasti berapa menitnya, yang menurut ustadz adalah 45 menit berdasarkan pengamatan di berbagai titik di Indonesia selama bertahun-tahun. Dan bukan barang baru hal ini menjadi polemik (seharusnya tidak perlu dan memang tidak perlu menjadi polemik) di kalangan asatidz kita.
Jika melihat ada dua kontradiksi seperti ini (dalam hal penafsiran fatwa), yang kita lihat argumentasi yang dibawanya, mana yang tepat sesuai dengan apa yang dimaui fatwa tersebut. Tentang hal ini ustadz sudah pernah menyampaikan, kalau ketemu linknya akan saya bawakan. In'syaa Allah
Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: Sekedar menambah sedikit dari nukilan Pencinta:1- Untuk no. 1 ini, karena panjang, maka silahkan rujuk ke nukilan di atas.
2- Ana sudah menjawab teman kita tentang Chaves itu dengan alasannya, silahkan merujuk lagi dengan seksama.
3- Untuk fikih itu harus diadu argumennya untuk memicu pada pemahaman yang benar. Tapi kalau bedanya antara yang spesialis dengan yang tidak, maka kalau tidak mampu memilih yang paling berat, maka bisa mengambil dari yang spesialis itu asal dia adil atau setidaknya jujur secara aklamasi alias bagi semua orang (belum ada yang membuktikan kebohongannya).
Tapi kalau perbedaan itu antara para ahli/spesialis agama itu, maka kalau tidak bisa melakukan yang lebih berat, harus ikut kepada yang paling alim dan paling senior dalam ilmu (bukan dalam umur) yang keseniorannya itu terbukti di pendidikan agamanya. Kalau sama-sama senior, maka pilih yang lebih taqwa. Kalau juga sama dari sisi semuanya itu, maka kewajibannya adalah ikut yang paling berat. Ini juga perintah fikih itu sendiri.
Sang Pencinta: 1020. Syarat Penafsir Hukum Fiqih dari Marja oleh Ustad Sinar Agama = http:// www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/464413876936747/
Sang Pencinta: Kupilih Baju Kecaman dan Kebencian Siapapun (kalau itu harus), Ketimbang aku dilaknatiNya Oleh Ustad Sinar Agama = http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/524482297596571/
Andri Kusmayadi: Terimakasih banyak buat Ustadz Sinar Agama dan Sang Pencinta atas link, penjelasan, dan jawabannya. Mungkin saya perlu memberikan contoh mengenai perbedaan ini.
Di dalam salah satu jawaban, ust. Sinar Agama pernah menjawab bahwa mencuci najis dengan mesin cuci, belum bisa memutuskan boleh tidaknya, tapi di fatwa Rahbar jilid pertama versi terjemahannya, soal no 283 disebutkan bahwa ”Setelah benda najis (’ain an-najasah) lenyap, bila air yang bersambung dengan keran sampai ke pakaian dan semua bagian dalam mesin kemudian terpisah darinya dan keluar, maka ia dihukumi sebagai suci.”
Andri Kusmayadi: Contoh yang lainnya. Ustadz pernah menjawab pertanyaan kepada saya, bahwa sisa obat-obatan yang masih ada dalam akhir tahun khumus, harus dibayarkan khumusnya. Tapi, berdasarkan fatwa Rahbar di buku Daras Fikih versi terjemahan, disebutkan sebagai berikut. ”Obat-obatan yang dibeli dengan uang penghasilan pada pertengahan tahun-khumus dan hingga awal tahun-khumus masih tersisa tanpa mengalami kerusakan, bila pembeliannya adalah untuk dipergunakan pada saat-saat dibutuhkan dan memang dibutuhkan, maka tidak dikenai wajib khumus. (Awjibah al-Istiftaat, no. 908). Afwan....
Andri Kusmayadi: kemudian satu lagi untuk Sang Pencinta link-link yang antum berikan itu hanya memberikan jawaban para imam setelah zaman rasul, yaitu 12 imam...padahal yang ana tanyakan itu para imam sebelum Rasul, bahkan sebelum Nabi Ibrahim as. Syukron...
Sang Pencinta: Untuk komen antum yang pertama, tidak ada kontradiksi sama sekali dengan pernyataan ustadz yang antum nukil. Menurut antum terkesan kontradiksi karena antum mengambil/memaknai kalimat ustadz sepotong saja. Silahkan di sini, http://www.facebook.com/ groups/210570692321068/doc/464408436937291/.
Sang Pencinta: Untuk komen ketiga, coba saya cari dulu di arsip, kalau gak salah mas Orlando Banderas pernah menanyakannya.
Sinar Agama: Andri,
1- Untuk komentar pertama antum itu tidak ada kontradiksinya sama sekali. Karena syarat kesucian itu seperti yang sudah diterangkan di fatwa Rahbar hf itu. Tapi kalau mesin cucinya, dengan alat pemasok air yang otomatis itu dimana baru separuh saja sudah mati secara otomatis, lalu setelah itu mesinnya berputar, maka bukan hanya bersih, tapi justru memindahkan najisnya ke seluruh mesin cuci bagian dalamnya. Apalagi disertai dengan masuknya sabun cuci secara otomatis dimana airnya akan menjadi mudhaf.
2- Untuk hal yang ke dua itu, antum tidak pernah adu argument dengan saya. Kan kalau argumentasinya diadukan, maka bisa dipadukan atau yang satu diluruskan. Itulah mengapa saya dari awal mengatakan bahwa harus diadu argumentasikan. Tapi antum adu argumentasi dengan saya dan hanya bertanya lalu pusing sendiri. Padahal, kalau antum ajukan, dan pas kebetulan saya salah dalam menukil fatwa atau menukil fatwa imam Khumaini ra yang kebetulan tidak sama dengan fatwa Rahbar hf, maka sangat-sangat bisa diluruskan. Artinya, saya akan segera meluruskannya kalau ternyata antum yang benar. Dan hal ini, sangat-sangat wajar dalam bahasan agama.
Untuk masalah yang antum tulis itu, maka asal fatwanya seperti ini:
س908:داروهايىكهازدرآمدوسطسالخريدهشدهوپولآنتوسطسازمانتأميناجتماعىپرداخت
مىشود،
اگر بدون فاسد شدن تا سر سال خمسى باقى
بماند، خمس به آن تعلّق
مىگيرد يا خير؟
ج:اگرخريدداروهاجهتاستفادهازآندرمواقعنيازباشدودرمعرضاحتياجهمباشد،خمسندارد.
Soal: Obat-obatan yang dibeli di pertengahan tahun dan uangnya dari Badan Bantuan Kesejahteraan Masyarakat Negara, kalau ternyata belum rusak sampai akhir tahun khumus, apakah harus dikhumusi?
Jawab: Kalau pembelian obat-obatan itu dibeli untuk digunakan kala diperlukan dan memang memerlukannya, maka tidak perlu membayar khumus.
Keterangan: Sangat mungkin ketidakwajiban khumusnya itu dilihat dari dua sisi:
a- Karena uangnya dari Badan Kesejahteraan Negara. Jadi, bukan penghasilan keseharian.
b- Karena hal itu darurat. Karena obat itu diperlukan dan dalam pemakaian dimana kalau tidak mencukupi bisa tambah sakit atau mati. Jadi, kalau dibeli dari hasil kerja dan, apalagi sudah tidak diperlukan lagi, yakni tidak dalam pemakaian kontinyu sampai tahun khumus itu, maka kalaulah ragu terhadap kewajiban khumusnya, maka sangat masuk akal dan dianjurkan agama, kalau kita berhati-hati supaya tidak masuk ke dalam haram dan dengan itu, maka mengeluarkan khumusnya.
3- Yang poin tiga itu juga sudah ana tulis sebelumnya. Ana tadinya mengira bahwa Pencinta sudah menukilkan hal itu. Afwan.
Tambahan:
Lain kali, kalau secara lahiriah terlihat jawaban saya tidak sesuai dengan fatwa Rahbar hf, maka langsung ditanyakan ke saya, supaya saya kalau keliru segera meralatnya dan kalau ada hal yang perlu dijelaskan, maka saya bisa membantu menjelaskannya. Jangan mikir selain kebenaran. Jadi, tidak usah ragu mengatakan saya salah, karena hal itu, kalau benar, merupakan kenikmatan buat alfakir hingga terlepas dari adzab Tuhan akibat keteledoran. Afwan dan terimakasih.
Andri Kusmayadi: oh jadi jelas sekarang, afwan Ustadz. Sinar Agama jadi maksud ana gitu, kalau secara lahir ana memaknainya sudah jelas, nah kalau menurut antum jadi berbeda, oh kalau gitu nanti harus ana adu lagi ya ustad dengan argumen lagi..iya baik ustadz...tapi, seandainya sudah dijelaskan seperti ini, tapi ana misalnya lebih bisa menerima pemahaman yang dari yang lain gapapa ustad?
Jadi, misalnya mesin cuci yang ana pakai itu kan ga otomatis, jadi airnya bisa penuh, luber gitu ustad. Kalau seperti itu gapapa? Jadi, ana masih tetap ngambil pendapat bahwa kalau benda najisnya sudah ana bersihkan, ana boleh tetap mencuci dengan mesin cuci ana itu? Atau contoh lain, dalam masalah maghrib, ana tetap tidak mengambil pendapat antum yang harus 45 menit, tapi yang 15 menit saja, itu gapapa kang Ustad?
Sang Pencinta: AK: sebenarnya, kalau lebih teliti, jawabannya sudah ada di atas mas. afwan.
Sinar Agama: Andri,
1- Antum bebas mengambil pendapat siapapun bagi ana. Tapi bagi agama, sudah dijelaskan di atas itu, yakni di jawaban awal. Karena itu perhatikan, karena agama sudah memberikan jalan keluarnya, bukan antum atau saya. Seperti diambil yang paling pandai, yang paling taqwa dan yang paling berat.
2- Kalau mesin cuci yang tidak otomatis itu justru yang bagus. Karena bisa sambil menghidupkan mesinnya, airnya dari pam atau sanyo yang hidupnya itu, bisa tidak dimatikan walaupun kecil sehingga kalau sudah yakin dengan sekian putaran mesin cuci itu benda najisnya sudah hilang, maka sudah menjadi bersih selama tiga sifat airnya itu tidak berubah. Karena berputar-putarnya baju itu sudah sama dengan diperas (ini di fikih juga diterangkan). Jadi, tidak perlu meluber dan kalau meluber antum bisa kena setrom listrik mesin cuci itu dan sangat bahaya.
Jadi, ketika baju itu sudah diisi air dan bisa diputar maka hidupkan mesinnya dan kecilkan airnya yang dimasukkan supaya tidak cepat penuh. Begitu yakin benda najisnya sudah lepas dari baju dan sudah menyatu dengan airnya, maka semuanya sudah bersih dan kalau mau lebih hati-hati lagi, maka kosongkan mesin cucinya sambil air pipanya yang kecil tadi itu tetap hidup dan tetap diarahkan ke dalam mesin cucinya itu sampai air di dalamnya sudah menjadi sat/habis.
Ingat, kita bukan Sunni hingga tidak ada urusan luber dalam pencucian. Kalau Sunni memang kalau luber dihitung mengalir. Padahal kalau di Syi’ah tidak seperti itu dan yang pentingnya adalah tetap menyambungnya air di dalam bak atau mesin cuci itu dengan air yang banyak seperti pam, sanyo yang hidup mesinnya, atau menyambung dengan air kur yaitu kurang lebih 378 liter.
3- Dalam masalah maghrib, kalau 15 menit itu antum ambil dari orang yang masih melakukan dosa, dan kalau salah, maka antum dosa dan shalatnya diqadhaa’ dan puasanya, selain qadhaa’ wajib membayar kaffarah juga. Tapi kalau benar, maka oke-oke saja.
Tapi kalau antum mengambil informasi 15 menit itu dari orang adil (yang tidak melakukan dosa), maka kalau ternyata salah, maka antum tdk dosa, tapi shalat dan puasanya wajib diqadhaa’ tapi tidak perlu kaffarah.
Tapi kalau 15 menit itu dari diri antum sendiri, maka kalau antum sudah mengeceknya dengan ru’yat yang benar yang disesuaikan dengan arahan fikih, maka kalau benar sudah oke. Tapi kalau salah, maka selain qadhaa’, maka dilihat apa sebab kesalahannya.
Kalau salahnya karena mendung, yakni antum sudah tahu dengan benar bahwa maghrib itu sekian menit setelah adzan Sunni dengan profesional dan benar menurut agama dan Tuhan, lalu karena mendung, antum mengira seperti kemarin-kemarin itu, yakni sudah merasa sudah gelap (mega merah sebelah timur sudah hilang), maka tidak wajib qadhaa’. Tapi ingat, hal itu didahului dengan pengetahuan tentang gelap yang benar sebelumnya. Bukan dari awal tidak tahu masalah ru’yat lalu hanya melihat langit yang gelap terus berbuka.
Tapi kalau kesalahannya itu bukan mendung, tapi gelapnya langit, maka hanya wajib qadhaa’. Kalau ada waktu, coba baca lagi catatan-catatan yang sudah pernah ditulis tentang hal ini, insya Allah akan dapat dipaham hingga tidak perlu bertanya ke saya apakah boleh beda dengan saya atau tidak. Karena saya ini siapa? Kalau saya bisa selamatkan diri sendiri saja, sudah sangat bagus. Jadi, beda saya tidak ada masalah. Tapi beda dengan marja’-nya jelas haram dan membatalkan ibadah. Jadi, kalau antum beda dengan saya dan merasa lebih benar dalam memahami fatwa marja’ antum, dan ada dalil untuk pemahaman antum itu, maka hal itu sudah bisa dilakukan dan tidak dosa. Tapi kalau salah, ya...berbagai hukum.
Kalau masalah najis, maka harus mencuci semua baju dan alat-alat dapur dan rumah (semua yang kena tularan najis itu) selain mengqadhaa’ shalatnya. Kalau wudhu dan mandi yang salah, wajib mengqadhaa’ shalatnya.
Kalau masalah puasa yang salah, maka seperti yang sudah dijelaskan di atas itu yang mana sekurang-kurangnya wajib qadhaa’ selain satu masalah yang sudah dijelaskan itu. Dan hati-hatilah pada yang keharusan kaffarah itu. Wassalam.
Khommar Rudin: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ
Andri Kusmayadi: iya ustadz Sinar Agama sekarang tambah paham....afwan, boleh ga ana simpulkan seperti ini...dan ini ana pikir penting, karena akan menjadi dasar ana untuk mengamalkan suatu fatwa...mohon luruskan kalau salah...
Jadi, pertama kita beramal sesuai dengan fatwa marja dengan mengacu kepada buku fatwanya... jika tidak ada keraguan di dalam memahami makna lahir dari fatwa tersebut, ana sudah benar melaksanakan fatwa tersebut. Jadi, ana tidak ada kewajiban untuk meminta kejelasan dari setiap fatwa yang sudah ana anggap jelas pemahamannya.
Kedua, jika ada keraguan tentang fatwa tersebut, ana harus mempertanyakan ke orang yang lebih tepat (dalam hal ini ustad)...dan jika ana masih ragu, ana berhak untuk menanyakan ke ustad yang lainnya lagi,...dan setelah itu kalau ana masih belum yakin, ana bisa konfrontasi dengan ustad tersebut berdasarkan argumen yang mungkin bertentangan. Nah, setelah dikonfrontasikan pemahaman ana dengan ustad itu, dan ana mendapat penjelasan baru, baru ana yakin, dan bisa mengamalkan keyakinan itu. Ana pikir kalau seperti itu gimana ustad?
Kalau harus membandingkan yang paling pintar, yang paling taqwa, itu gimana caranya, sedangkan ana pada umumnya tidak mengenal ustad-ustad itu dengan baik, kalau yang lebih berat, bisa jadi bisa dilakukan. Kalau dilihat otoritas lembaga bisa ga ustad? Maksudnya, kalau kita anggap ICC itu sebagai lembaga resmi perwakilan rahbar, bisa ga kita berpatokan karena itu? Mereka juga sudah mempunyai tim rukyat dalam menentukan waktu magrib atau ramadan dan sebagainya? Maaf nih jadi panjang lagi, karena terus terang, sekarang ana baru menyadari tentang pentingnya fikih. Terimakasih.
Sang Pencinta: Ikut bantu lagi mas Andri, tentang argumentasi fatwa buka puasa/waktu Maghrib Syiah (Islam), Waktu Buka Puasa Oleh Ustadz Sinar Agama = http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/?id=224696444241826
Tanya Jawab Lanjutan Catatan Waktu Buka Puasa Oleh Ustad Sinar AGama = http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/?id=225145680863569
Dasar Dalam Menetapkan Waktu Berbuka Puasa Oleh Ustad Sinar Agama = http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/440864955958306/
Syair “ Keluh Mega Merah “ Dan Waktu Buka Puasa Oleh Ustad Sinar Agama = http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/445207495524052/
http://www. facebook.com/notes/sinar-agama/lagi2-diskusi-waktu-maghribberbuka-puasa-seri-tanya-jawabmuhammed-almuchdor-dg-/478208152189738?comment_id=6836146&ref=notif¬if_t=note_ reply
Sang Pencinta: Pentingnya keadilan seseorang dalam penafsiran dan penerapan fatwa seperti dalam hal penentuan buka puasa, apakah bisa dilihat secara lahiriah atau pengakuan orang lain, Memahami Definisi Keadilan Dalam Fiqh Oleh Ustad Sinar Agama = http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/243410945703709/
77. Beda adil dan makshum – seri tanya-jawab antara dadan Gochir dan Sinar Agama = http://www.facebook.com/home. php?sk=group_210570692321068&view=doc&id=211005742277563
Okki Deh: Salam.... Ikut nimbrung... Kalau saya yang masih tinggal dengan orang tua dan menggunakan satu mesin cuci yang otomatis bagaimana nih..... Mau beli mesin cuci yang biasa gak ada dana nya.....
Sang Pencinta: Okki: jalan yang paling aman adalah bersihkan semua pakaian yang bernajis di bawah air kurr/selang/sanyo, lalu setelah suci, baru masukkan ke mesin cuci. Saya punya kasus yang sama seperti antum dan akhirnya saya pilih untuk cuci tangan sendiri dengan alasan kepastian-suci dan cara kerja mesin cuci.
Detailnya silahkan di sini http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/464408436937291/
Okki Deh: Sang Pencinta @ takut mereka tersinggung, karena cuci pakaiannya terpisah....
Sang Pencinta: Okki Deh, Saya juga awalnya seperti itu, mencuci mengendap-ngendap, karena takut ortu tersinggung, tapi seiring berjalannya waktu saya sharing dengan mereka arti pentingnya dan pemahaman fikih, sekarang cucian saya ga mereka sentuh sama sekali.
Okki Deh: Begitu ya. InsyaAllah kalau begitu. Mudah-mudahan mereka bisa mengerti. Terimakasih untuk bagi pengalamannya.....
Sinar Agama: Andri: sepertinya apa yang ana tulis belum antum pahami dengan benar:
1- Kebolehan mengamalkan setiap pahaman seseorang itu, sudah pasti boleh kalau sudah disandarkan pada buku fatwa. Tapi kebolehan ini, tidak menjadikan amalnya itu benar. Jadi, pembolehan itu hanya mentidakdosakan dirinya kalau terjadi kesalahan. Karena sudah bersandar pada fatwa. Tapi kalau salah memahami, maka jelas tetap harus diqadhaa’ sekalipun tidak dosa.
Karena itulah, maka bagi yang berakal sehat, ketika memiliki teman yang lebih menguasai fikih fatwa tersebut, sudah sangat masuk akal untuk bertanya. Karena akalnya mengatakan bahwa bisa saja pemahamannya salah dan melakukan qadhaa’.
2- Ketika terjadi multi tafsir pada penafsiran fatwa tersebut, maka dicari yang lebih pandai, kalau tidak ketemu atau sama-sama pandai/alim maka dipilih yang paling taqwa, tapi kalau tidak bisa dengan berbagai halnya, maka diambil yang paling berat. Ingat, apapun pembolehan mengambil yang paling alim itu atau yang paling taqwa itu, hanya melepaskan antum dari dosa kalau salah. Tapi tidak melepaskan antum dari qadhaa’.
3- Tim rukyat itu bukan satu-satunya pemecah masalah, tapi juga harus bersandar kepada fikih tentang rukyat itu, seperti harus tahu perukyatan, harus tidak melakukan dosa (adil), harus jelas orang-orangnya hingga diketahui tentang sifat-sifat dan syarat-syarat perukyatan itu, ..... dan seterusnya.
Dan, itupun, yakni kalau sudah memenuhi semua syarat-syaratnya itu, bukan berarti puasa antum dan shalat antum sudah benar manakala ternyata salah. Karena itu, pembolehan mengikuti yang sudah memenuhi syarat itu, hanya mengeluarkan antum dari dosa dan kaffarah. Tapi tidak mengeluarkan antum dari qadhaa’ manakala terjadi kesalahan.
Jadi, kalau mengikuti orang yang tidak memenuhi syarat tersebut, lalu salah, maka selain qadhaa’ puasa dan shalatnya, juga wajib bayar kaffarah untuk puasanya.
Mengikuti ICC, kalau maksudnya mengikuti ketuanya yang kita yakini alim dan adil, maka boleh saja sebagai penerapan fikih rukyat di atas itu. Tapi sekali lagi, pembolehan ini hanya mengeluarkan antum dari dosa dan kaffarah kalau terjadi kesalahan, tapi bukan dari qadhaa’.
Tapi kalau maksudnya ICC adalah selain ketuanya yang dari Iran itu, maka masing-masing orangnya harus diskrening dengan syarat-syarat ru’yat di atas itu, seperti tahu masalah rukyat dan adil (tidak melakukan dosa) dimana kalau tahu agama dan rukyat serta adil, boleh diikuti tapi kalau salah tetap qadhaa’, dan kalau tidak, maka tidak boleh diikuti dan kalau diikuti dan salah, maka selain qadhaa’ juga wajib kaffarah. Wassalam.
Baca juga kajian terkait:
- Akhlak dan Fiqih
- Ada Apa Dengan Fikih
- Fikih adalah Hiriz/Ajimat untuk Keselamatan Dunia Akhirat
Baca juga kajian terkait:
- Akhlak dan Fiqih
- Ada Apa Dengan Fikih
- Fikih adalah Hiriz/Ajimat untuk Keselamatan Dunia Akhirat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar