Selasa, 31 Juli 2018

Lanjutan Wahdatu Al-Wujud (Bagian: 5) Tahap 1




Seri Tanya – Jawab: Muhammadabdulsalamb Salam dan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, December 14, 2010 at 9:26pm


Muhammadabdulsalamb: Salam, mungkin di atas (Wahdatuluwujud bagian; 5) maaf... barang- kali semuanya adalah “kata” Misalnya uraian ibnu Sina.. Yakni, kalau saja forma dan lainnya itu adalah noumena-noumena yang secara langsung diketahui diri pengetahu tanpa melalui perangkat (rasio dan indera) ataupun refleksi (gambaran), sudah barang tentu ‘Aku’ pun diketahui sebagai noumena oleh dirinya sendiri secara langsung. Konsep-konsep dasar dan lain-lainnya itu ialah citra-citra ‘Aku’ yang diketahui secara noumenal dan langsung, tentunya ‘Aku’ mengetahui kenyataan dirinya sendiri secara noumenal dan langsung pula.

Oleh karena ini, Ibnu Sina mengatakan, realitas noumenal ‘Aku’ tidak bisa didemonstrasikan melalui citra-citranya, karena citra-citra tidak akan ada dan nyata, dan tidak akan pula difahami kecuali dengan menyadari realitas ‘Aku’ terlebih dahulu.

Kendati demikian, Suhrawardi berusaha mendekatkan kehudhurian realitas ‘Aku’ dengan dua argumen. Salah satunya mirip dangan dalil Kierkegaard tersebut dahulu, yaitu jika realitas ‘Aku’ diketahui dengan pencerapan, dengan perantara, dan sebatas fenomena dan refleksi, maka realitas dan noumena ‘Aku’ tidak tersentuh dan berada di luar diri (ghaib). Dengan demikian, realitas ‘Aku’ bukan ‘Aku’, tetapi ‘Dia’, karena ‘Dia’ berarti Yang di luar dan selain diri. Sebuah impulaikasi yang bertentangan dengan identitas ‘Aku’. 

Ba’dal-lutayya wallati, baik Ibnu Sina maupun Suhrawardi menentang cara Decartes membuktikan realitas aku melalui citranya, yakni berfikir. Aku adalah realitasku, jauh sebelum berfikir, dipikirkan, didalilkan dan dinyatakan. Mereka sama-sama menyatakan bahwa pengetahuan hudhuri manusia pada dirinya adalah dasar segenap pengetahuan. Bahwa pengetahuan sesorang akan keraguan, pengetahuan, perasaan, dan konsep-konsep di mental berlandaskan pada pengetahuan dirinya akan dirinya sendiri. 

Pengetahuan hudhuri sebagai perasaan, peresapan dan penjiwaan ini bersifat sederhana dan tidak terbagi-bagi. Ia bukan layaknya proposisi “Aku berfikir” atau “Aku ada” yang tersusun dari dua konsep. Dua proposisi ini atau proposisi lain semacamnya berfungsi sebagai pengungkap dan pengurai pengetahuan itu dalam bentuk-bentuk logika (proposisi) dan bahasa (kata-kata). Ia menggambarkan apa-apa yang dirasakan, diresapi dan dijiwai oleh seseorang. Maka, ‘Aku’ dan citra-citranya adalah noumena-noumena atau hakikat-hakikat yang bisa ditangkap oleh pikiran untuk lalu diungkapkan dan dipahamkan. Hakikat yang ditangkap oleh pikiran itu bukan lagi hakikat, namun gambaran, refleksi, fenomena, shurah zihniyah. Jadi, pikiran bisa menyadari dan memahami ‘Aku’ serta citra-citranya melalui gambaran dan refleksinya. Secara istilah, pengetahuan tentang sesuatu melalui gambaran mentalnya adalah pengetahuan hushuli. Sejak saat itu, yakni Suhrawardi, sampai generasi filsuf muslim terakhir sekarang, secara jelas dan tegas pengetahuan manusia dibagi kepada dua macam; hudhuri (langsung) dan hushuli (berperantara). 

Sinar Agama: Abdussalam, salah satu dalil yang dianggap paling mudah dan gamblng serta Hudhuri oleh para filusuf untuk menolak konsep wahdatulwujud, adalah kemudahan dan kehudhurian makna wujud yang ada pada kita manusia dan alam sekitar. 

Ilmu Hushuli adalah ilmu yang diketahui akal melalui gambaran obyek ilmu, walau dia juga disebut sebagai obyek ilmu tetapi karena penisbahan ilmunya atau infonya kepada obyek luar akalnya, maka ia dikatakan ilmu hushuli. 

Jadi, ilmu hushuli itu karena dinisbahkan atau dihubungkan kepada yang diluar akal. Tetapi hakikat dia atau ilmu itu dalam akal adalah ilmu hudhuri. 

Ilmu Hudhuri adalah ilmu yang didapat akal, atau ruh atau barzakh/malaikat atau Tuhan melalui obyek ilmunya sendiri, bukan gambarannya. Yakni ilmu terhadap obyek itu sendiri adalah ilmu hudhurinya dan kepada gambarannya adalah hushuli. 

Dan ilmu hushuli adalah hushuli bagi yang di luar akal alias obyek yang diinginkan, dengan hushuli ini adalah hudhuri kalau dinisbahkan pada diri ilmu itu sendiri. 

Tetapi ingat bahwa ilmu hushuli ini adalah ilmu terhadap hakikat atau batasan atau esensi sesuatu itu, bukan ada dan wujudnya. Oleh karena ilmu hushuli ini adalah ilmu terhadap esensi sesuatu yang nyata di luar akal itu, maka ia adalah hakikat yang di luar akal tersebut. Artinya esensi yang ada di dalam akal adalah sama persis dengan yang di luar akal. Karena kalau tidak sama, maka berarti manusia tidak ada yang mengetahui apa-apa, karena yang diketahuinya bukan yang diketahuinya, yakni yang ada di dalam akalnya adalah bukan yang di luar akal. Ini berarti kita tidak bisa memahami apapun dan semua yang kita tahu dan kita bicarakan atau tulis adalah kesalahan semata. Ini pasti tidak benar dan nyata. 

Jadi, kalau ada yang mengatakan bahwa hakikat yang ada di dalam akal kita itu bukan hakikat yang ada di luar akal kita, atau kalau esensi yang diketahui akal bukan esensi yang ada diluar akal kita, maka kalaulah dia termasuk atau terjebak dalam Shopist yang mengingkari segala pengetahuan kita dan semua keberadaan atau dia belum menyelami dengan hikmat apa-apa yang telah dikatakan para guru besar filsafat. 

Nah, kalau penyebabnya adalah jatuh ke Shopistme, maka cara mudah mengobatinya adalah dibawa ke harimau. Kalau lari berarti ia mengimani bahwa yang diketahuinya dalam akalnya adalah hakikat yang di luar. Dan kalau tidak lari, biarkan saja dimakan sama si harimau itu, he he he (gurau). Tetapi kalau penyebabnya adalah kekurangtelitian, maka hendaknya lebih teliti lagi. Saya tidak bermaksud menjelaskan tentang ilmu di sini. Tetapi karena saya melihat keharusan adanya pembenahan, maka saya lakukan sebisanya. 

Ok, kita terusin dulu sedikit lagi. Nah, ilmu hudhuri ini, yakni ilmu terhadap obyek melalui obyek sesungguhnya tersebut, memiliki 3 bagian: 

1. Ilmu sesuatu terhadap dirinya sendiri. 

2. Ilmu sesuatu terhadap akibatnya. 

3. Ilmu sesuatu terhadap sebabnya tetapi seukuran dirinya. 

Memang, Mulla Shadra ra ada lagi nun jauh disana yang masih dalam perdebatan, yaitu ilmu sesuatu terhadap konsekuensi dari sesuatu yang diketahuinya secara hudhuri. Ilmu hudhuri ini, tidak mungkin salah karena info atau ilmu di sini adalah hakikat yang diinfokan atau yang diketahui. Tetapi ilmu hushuli adalah ilmu yang bisa benar dan salah, karena info atau ilmu di sini benar informasi dari yang diinfokan. 

Jadi, hudhuri=info=yang diinfokan, sementara hushuli=info=informasi dari yang diinfokan. 

Semua ini adalah ilmu tentang esensi suatu keberadaan. Bagaimana dengan keberadaan itu sendiri? dalam filsafat pengetahuan terhadap wujud/ada tidak termasuk kategori ilmu yang di atas itu, kecuali bagi hudhuri yang berupa pengetahuan terhadap wujud obyeknya, bukan batasan obyeknya. Oleh karenanya ilmu terhadap wujudnya sesuatu di luar akal kita, bukan tergolong kategori atau esensi, tetapi tergolong Pencerminan Wujud Luar. 

Oleh karenanya tidak bisa didefinisi. Karena definisi adalah gabungan genus dekat dan pembeda dekat. Sementara ada/wujud, sama sekali tidak memiliki genus dan differentia itu. Ilmu terhadap sesuatu itu, baik pada esensi atau wujudnya, dibagi menjadi dua: Mudah (tanpa pikir dan dalil dapat diketahui dengan pasti) dan ada pula yang Pikir (harus dipikir dulu baru bisa dipahami). 

Dan ilmu mudah itu juga dibagi menjadi paling mudah atau asas dari segala ilmu ada yang mudah biasa saja. Nah, memahmi tentang ada/wujud, yakni adanya ada atau adanya wujud, yakni seperti adanya kita dan lingkungan kita ini, adalah paling mudahnya sesuatu yang juga menjadi asas paling dasar bagi ilmu-ilmu yang lain. Oleh karenanya, bagi yang mengingkari wujud seperti Sophist atau selain mereka, pasti akan disebut bukan gila lagi, tetapi GHILLAA. 

Nah, dalam pada itu, bagaimana mungkin seorang filusuf bisa menerima konsep ”wahdatul wujud mungkin tadz?? 

Nah, paling mudahnya dari semua yang mudah itu adalah ilmu terhadap keberadaan kita sendiri yang, dalam Mulla Shadralah yang dibawa mas Abdussalam ini disebut dengan ”Aku”. Terserah saja, apakah pengetahuan ini dari sebab ke akibatnya atau sebaliknya, karena dua-duanya adalah hudhuri. 

Namun demikian, bagi alfakir, beliau kurang tepat membawakannya di sini. Karena tidak berhubungan langsung dengan wahdatul wujud dan saya tidak tahu apa yang berkecamuk dalam pikiran beliau itu. Tetapi saya berusaha memahaminya atau setidaknya menakwilnya supaya jadi berhubungan dengan wahdatulwujud. Jadi, kalau tebakan saya terhadap apa yang ada di benak beliau ini adalah benar, maka saya syukur. Dan kalau tidak benar, maka jadikan bahasan ini yang bermanfaat karena telah dihubungkan kepada wahdatulwujud. 

Dengan uraian terdahulu itu, dapat dipahami bahwa seorang filusuf sangat tidak mungkin menerima konsep wahdatul wujud, kecuali kalau sudah Ghillaa. Oleh karena dua madzhab pemikiran ini, filsafat dan irfan, tidak pernah ketemu dan, kebetulan memang para arif tidak pernah bisa memberikan dalil yang ilmiah terhadap pandangan mereka, dan, begitu juga memang kebetulan bagi mereka tidak penting orang mau percaya atau tidak. Oleh karenanya mereka selalu hanyut dalam kasyaf dan fanaa’’nya, dan selalu menerangkan masalah ke murid-muridnya melalui kasyaf yang dicapainya. 

Sedangkan para filusuf sebaliknya, selalu berusaha membuktikan kebenaran dirinya dengan argumentasi-argumentasi dan bahasa-bahasa ilmiah. Dan pondasi berpijak mereka yaitu di atas Ilmu-mudah dan bahkan yang termudah ini, yakni pengetahuan tentang wujud kita sendiri yang, pasti lebih tinggi dari mengerti wujud lain yang dicapai melalui gejalanya atau akibat-akibatnya. 

Ini adalah takwilan yang baik terhadap maksud mas Abdussalam yang telah membawakan masalah ilmu dan ilmu terhadap ”aku” di tempat ini. Takwilan nggak baiknya adalah, beliau mengira bahwa selain aku, tidak dapat diketahui, karena tidak mungkin terjangkau hakikatnya, dan hanya ”aku”-lah yang bisa diketahui. Oleh karena itu, maka pertanyaan apa esensi itu, atau wujud itu, atau apa Tuhan itu, atau wahdatul wujud itu, maka sudah tidak lagi menjadi tanggung jawab kita membuka hakikatnya. 

Alasannya adalah, jagankan lingkungan kita, diri kita saja, kalau sudah masuk dalam pahaman kita, maka sudah bukan lagi hakikat kita yang sesungguhnya (lihat tulisan beliau). Masih ada takwilan tidak baiknya terhadap tulisan beliau itu di sini, yakni beliau salah total dalam menempatkan bahasan. Dan takwilan baiknya untuk beliau selain yang sudah itu, adalah beliau benar dalam hal ini, tetapi sayalah yang tidak paham. Jadi, afwan, tentu saja saya akan teruskan kepada penyelesaian takwilan baik pertama itu, yakni tentang filusuf dan ’arif/irfan. 

Ok, ijinkan saya untuk tidak mengomentari masing-masing kemungkinan dari mengapa mas Abdussalam membawakan hal itu di sini. Saya akan menjabar tentang dua pandangan di atas itu, yakni filusuf dan irfan tentang wujud ini. Para filusuf mengatakan bahwa lingkungan kita atau alam ini jelas sekali adanya. Lebih jelas dari semua itu, adalah diri kita sendiri atau ”aku” yang diketahui dengan ilmu khudhur(khuduri) yang tidak mungkin salah. Nah, kalau ilmu yang dharuri atau mudah ini salah, maka semua ilmu kita menjadi salah karena selainnya kembali kepada pemahaman tentang adanya ada ini. 

‎›Arifin atau ‹urafa› atau para ‹arif mengatakan «Itu kan kata kamu. Kamu yang menganggap pengetahuannmu ini lebih jelas dari ada atau Tuhan, maka kamu menjadikannya obor dan dalil untuk menjelaskannya. Padahal kamu tahu bahwa ada dan Tuhan adalah paling jelasnya sesuatu hingga diobori atau didalili seperti apapun tetap yang diobori tersebut lebih terang dari obor dan dalilnya. Bagi kami maka pensucian hati/jiwa/akal dan apa saja yang menyangkut kita dari semua hal yang selainNya atau ada, maka akan dapat menyentuh ada itu sendiri dimana membuat diri kita yang akan terobori dengannya, bukan sebaliknya.” 

Dengan takbir atau kata-kata yang lebih preman ”Karena ada itu ada, maka kita bisa merasa ada, memahami ada, merasa dengan perasaan, berbicara dan seterusnya. Bukan sebaliknya, yakni karena kamu merasa ada maka ada itu menjadi ada”. Begitulah pergelutan diantara dua madzhab ini. Yang satu mengatakan ”Kamu telah mengingkari termudahnya ilmu” dan yang lainnya mengatakan ”Kamu mau menerangi matahari dengan lilin” Begitulah sampai pada Filusuf yang Arif yang bernama Mulla Shadra ra. 

Mulla Shadra ra dalam buku al-himatu al-muta’aliahnya itu sebenarnya tidak membuktikan wahdatul wujud, karena hampir seluruh bahasannya adalah filsafat, walaupun filsafatnya ada kelainan dari yang lain. Yakni bisa kepada yang tertinggi yang bisa dicapai akal (bukan wahyu) yang, sampai sekarang bisa dikata tidak terbantahkan dan tidak pula bisa dimajukan. 

Memang ada beberapa filusuf yang membantah beberapa konsepnya, seperti Ayatullah Taqi Misbah Yazadi, tetapi sebenarnya bisa dijawab. Jadi, pendek kata sampai sekarang belum ada yang bisa nyaingi beliau ra. dan karena ketinggiannya itulah beliau sendiri menamakan bukunya dengan ”Filsafat Tinggi”. Namun demikian buku tersebut bukan dalam rangka membuktikan wahdatul wujud, tetapi dalam rangka membuktikan wujud-murni ala flsafat, hingga dapat membuktikan dengan baik tentang keberadaan Allah dan sifat-sifatNya, begitu pula tentang diri manusia sebagai jalan-lurus atau wujud yang terproses naik. 

Namun demikian, dalam topik yang tepat, walau hanya beberapa baris dari ribuan halaman dalam 9 jilidnya itu, beliau telah pula membuktikan kebenaran wahdatul wujud ala irfan. Bayangkan saja, filsafat yang harus berpijak pada ilmu mudah dan termudah, yakni wujudnya alam dan diri kita, dengan argument-argumentnya di jilid 2 itu, maka semua barang jualan terpenting di filsafat, yakni tentang wujud kita dan lingkungan kita yang darinya berkembang pada pengetahuan tentang esensi, wujud, gerak dan seterusnya, semua itu menjadi terbakar habis dan menjadi arang. 

Yaitu ketika beliau ra membuktikan bahwa 3 hal yang kita ketahui dari sebab, akibat dan hubungan keduanya, menjadi 2 hal saja. Selama sebelum beliau ra para filusuf melihat bahwa dalam proses sebab akibat terlihat dan terketahui adanya 3 hal. Misalnya mani ke janin. Mani adalah sebab, janin adalah akibat, dan hubungan keduanya yakni keselarasan dan keberprosesan keduanya adalah hubungan. Karena kalau tidak ada hubungannya, anggap mani di tanah dan janin di perut ibu, maka jelas keduanya tidak akan memiliki kaitan sebab akibat. Atau antara batu dan janin yang tidak berhubungan sama sekali. 

Hakikat hubungan antara sebab akibat itu adalah ”ketergantungan” akibat pada sebabnya. Yakni bahwa akibat selalu bergantung padanya dan selalu memerlukannya sejak dia/akibat itu ada dan sampai kapanpun selama ia langgeng adanya. Yakni bahwa akibat itu memerlukan sebab untuk adanya dan kesinambungan adanya. 

Sampai di sini, masalah ini adalah masalah yang diketahui semua orang berakal, apalagi filusuf. Tetapi sejak dari hal berikut inilah maka tidak ada yang mengetahuinya sebelum beliau ra. 

Pertama beliau membuktikan bahwa sebab dan akibat itu tersifati dengan kesebaban dan keakibatan, sebenarnya, bukanlah sifat atau bukan pula semacam aksiden. Yakni sebab itu bukanlah sesuatu yang ada dan kemudian disifati dengan ”sebab”. Bukan begitu. 

Begitu pula akibat itu bukan sesuatu yang ada yang kemudian disifati dengan ”akibat”. Dan begitu pula bukanlah ketergantungan akibat atau hubungan ketergantungan itu adalah sesuatu yang tadinya tidak ada lalu menjadi ada setalah dua hal itu yakni sebab-akibat, menjadi berhubungan satu sama lain. Bukan begitu. 

Mengapa tidak bagitu? Karena ketersebaban sebab itu dan keterakibatan akibat itu, setelah terjadinya akibat. Yakni bukanlah akibat itu ada duluan baru dihubungkan dengan sebabnya lalu dengan itu dikatakan sebagai akibat. Bukan. Kalau akibat itu ada duluan, dan baru setelah itu dihubungakan dengan sebabnya, maka bisa kita katakan bahwa ketergantungan akibat pada sebabnya adalah sifat akibat tersebut. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Karena dengan kemunculannya akibat dalam medan wujud itulah yang menyebabkan dia dikatakan sebagai akibat. Artinya keakibatan akibat adalah zat atau substansi yang dimiliki akibat, bukan sifat. 

Begitu pula sebaliknya yang terjadi pada sebab. Ia, bukanlah suatu wujud yang kemudian disifati dengan kesebaban. Bukan begitu. Tetapi kesebabannya itu menakala dia telah mencuatkan akibat ke permuakaan melalui dirinya sendiri. 

Bukan seperti tukang yang membuat tembok dari bukan dirinya, seperti pasir dan semen. Kalau tukang, memang bisa dikatakan tersifati, karena bahan-bahan temboknya sudah ada dan dia hanya mendekatkannya saja yang, karenanya dia dikatakan bukan sebagai sebab hakiki, tetapi hanya pendekat, atau bukan sebab penjadi atau pewujud. 

Dengan sedikit uraian di atas itu, maka dapat diketahui bahwa kesebaban sebab dan keakibatan akibat, bukanlah sifat bagi keduanya, tetapi merupakan zat yang tidak bisa tidak atau zat yang tak dapat dipisahkan dari dirinya. Begitu pula dapat dipahami bahwa ketergantungan akibat pada sebab tersebut, bukan pula sifat bagi akibat, tetapi suatu hakikat dan zat yang bukan sifat. Artinya ketergantungan itu bukan sifat akibat. Padahal akibat jelas tergantung padanya. Dengan uraian ini, dapat diketahui bahwa tergantung itu tidak lain adalah akibat itu sendiri. 

Jadi, di sini kesebaban adalah zat sebab, keakibatan adalah zat akibat, dan ketergantungan itu adalah akibat itu sendiri. Karena makna ketergantungan akibat adalah munculnya atau wujudnya akibat dari sebabnya, bukan sesuatu yang sudah ada lalu dihubungkan seperti baju yang sudah ada yang digantung di gantungan. 

Dengan uraian ini yang tadinya 3 hal sudah menjadi 2 hal. Sekarang, apa arti tergantung? 

Tergantung di sini adalah dalam kewujudan, keterjadian dan kemunculan. Kalau ketergantungan itu dalam keterjadian, yakni keterjadian akibat, maka katergantungan itu sebenarnya adalah ketergantungan akibat yang, berarti ketidakpernahan mandirinya akibat. Dengan kata yang lebih ekstrim, akibat sebenarnya adalah hakikat ketergantungan itu, dan hakikat ketergantungan adalah ketidak ketidakpernahan mandirinya. Pendeknya, Zat Akibat itu adalah Ketergantungan atau Ketidak mandirian itu sendiri. Ingat, yang disebut Ketidakmandirian ini adalah Zat akibat dan Wujudnya. 

Kalau sudah demikian, yakni kalau akibat itu sudah lagi bukan wujud mandiri, karena dia adalah hakikat ketergantungan pada sebabnya, maka yang ada, sebenarnya hanyalah sebabnya. Yakni ketergantungan itu memiliki konsekwensi ketidak terwujudan, karena bukan sesuatu/wujud yang tergantung, tetapi ketergantungan itu sendiri. 

Dengan demikian maka jelaslah bahwa yang ada itu hanyalah sebabnya, dan akibat tidak pernah muncul ke permukaan ada karena dia hakikat ketergantungan tersebut. 

Dengan demikian dapat dipahami bahwa akibat itu tidak lain dari wajah sebabnya, yakni namanya, yakni pengenalnya, yakni bayangnya, yakni tajallinya, yakni manifestasinya, yakni jelmaannya. Yakni sebenarnya akibat tersebut adalah jelmaan sebabnya dan wajahnya. Dan karena sebab- sebab yang ada di alam ini bukan sebab yang hakiki, artinya bukan sebab yang tidak bersebab, dan karena hanya Allah-lah sebab hakiki itu, maka jelaslah bahwa ”Yang Ada Hanyalah Dia Semata” dan selainnya hanyalah wajahNya. Itulah mengapa Tuhan dalam QS:2:115, berfirman:

”Kemana saja kamu palingkan wajahmu maka kamu akan melihat Wajah Allah”

Di sini Allah tidak mengatakan makhlukNya, tetapi wajahNya,sementara wajah kiyasan dari Identitas Pengenal Diri, Bukan Pengenal Sebab Atau Khaliq. 

Inilah argumentasi Mulla Shadra tentang wahdatul wujud ala irfan itu yang, sebenarnya saya tidak mau memuatnya karena panjang dan perlu banyak mukaddimah. Tetapi argument dari guru saya sangatlah mudah sebagaiamana sudah disebut di awal bahasan kita ini. Yaitu Ketidak Terbatasan Wujud Allah. Yakni kalau Wujud Allah itu tidak Terbatas, Maka Mustahillah Adanya Keberadaan Lain SelainNya Sekalipun Sangat Terbatas. 

Dengan dua penjelasan tentang dua madzhab pemikiran ini, sekarang tergantung pada Anda- anda mau memilih yang mana. Semoga kita saling do’a. 

Sekian. Terma kasih. Alfatihah- sholawat.. 

Ahmad Muhammad Yunus, Muhammad Al Khudzry, Miftah Fadhlullah dan 14 lainnya menyukai ini. 

Etika Maria: Makasih mbak Angel, Tika tunggu note-note berikutnya.. Syukran dah memberi bahan untuk belajar! 

Haerul Fikri: Sangat argumentatif, lurus dan mengalir..Pencerahan yang dahsyat..Terima kasih Ustad.. 

Muhammadabdulsalamb: Salam Mungkin maaf.... sekiranya ilmu hudhuri dijelaskan atau di- ungkapkan maka pasti disebut ilmu ushuli. Misalnya.. seseorang mengalami luka atas dirinya, tentu antara dirinya dengan luka, disebut ilmu hudhuri akan tetapi ketika dia mengungkapkan atau menjelaskan maka itu bisa disebut ushuli, lebih-lebih jika seorang dokter menjelaskan luka tersebut, pasti jadi hushuli. Sementara semuanya butuh penjelasan atau kata dan kadang kata tidak mampu mewakili penjelasan dimaksud. Thnx. 

Sinar Agama: Mas Abdussalam: Sebagaimana ilmu HUSHULI dikatakan hushuli sehubungan dengan obyek luarnya, tapi obyek dalamnya adalah HUDHURI, maka obyek luar dari hudhuri ini, kalau diterangkan yakni dinukilkan, sudah pasti menjadi Hushuli, tapi bagi sipendengar, begitu pula bagi si pemenjelasnya manakala ilmu hudhurinya itu direnungkan dalam pikirannya. Jadi, sakit yang pemenjelas RASAKAN adalah ILMU HUDHURI, dan ILMU SAKIT YANG DIGAMBARKAN DALAM AKAL PEMENJELAS adalah ILMU HUSHULI. Begitu pula si dokter yang mendengarkan keluhan sakitmu adalah ILMU HUSHULI, tapi kesadaran dokter bahwa dia mengetahui tentang sakitmu setelah kamu memberitahukannya, adalah ILMU HUDHURI. Namun demikian bahasan ini tidak menyangkut WAHDATULWUJUD yang sedang kita bahas. 

Muhammadabdulsalamb: Salam Maaf.... Mungkin yang saya maksudkan tentang ”kata” adalah ketika kita menjelaskan ilmu hudhuri atau pengalaman penyaksian yang biasa disebut oleh Mulla Shadra ” Al’ithad al’aqil wal ma’qul” maka pasti jadinya atau disebut ilmu ushuli. Sementara... antara ilmu hudhuri dan ilmu ushuli yang saya fahami dalam kedhoifan saya adalah hal yang ngga mungkin dipisahkan sebab keduanya saling terkait satu sama yg lain. Mengenai wahdatul wujud, mungkin kalau ngga dipahami dengan baik teori-teori di atas seperti teori irfan dan irfan amali dan lainnya, kayaknya akan menimbulkan banyak masalah dalam menginterpertasikan. Allahuma sholli ’ala Muhammad wa’alih. 

Sinar Agama: Untuk mas Abdussalam, terimakasih atas komentnya, dan saya rasa uraian Wahdatulwujud yang sudah sampai pada 5 bagian dimana sudah ditambah lagi dengan bagian lanjutan dari bag 5 yaitu yang terkhususkn kepada mengomentari komentar antum, masih cukup untuk komentar antum yang sekarang ini, tolong perhatikan bagian penjelasan ilmu hudhuri dan hushuli itu. Afwan. 

Sinar Agama: Salam, Anggelia maaf diterbitin lagi karena beberapa sebab.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar