Selasa, 31 Juli 2018

Lanjutan Wahdatu Al-Wujud (Bagian: 5) Tahap: 2





Sebuah Pengantar Wahdatul Wujud Bgn: 6,
Seri Tanya – Jawab : Fathul Andalush dan Ustad. Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, December 14, 2010 at 9:33pm 


Fathul Andalush: Seharusnya ustad Sinar bersyukur punya murid-murid yang sangat patuh sama ustadnya, kalo bisa dibilang taqlid, kenapa tidak satupun murid yang menanyakan dalil-dalil syar’i dari uraian tersebut ?, Atau mungkin ucapan-ucapan imam-imam kalian ?, 

Terkesan uraian di atas hanya hasil uraian akal ustad Sinar semata..!, Siapa yang jamin bahwa akal-akalan ustad Sinar akan selalu benar ?, 

Karena akal tidak ma’shum, terpengaruh oleh mood, emosi dan lingkungan. Makanya akal harus tunduk kepada dalil syar’i, karena dalil syar’i dari Allah dan RasulNYA sedang akal dari makhluk yang dho’if. Sekedar mengingat kembali bahwa iblis dikeluarkan dari surga karena mengikuti akalnya, iblis brkata ”dia (Adam) Kau diciptakan dari tanah sedang aku Kau ciptakan dari nur” maka merugilah iblis karena mendahulukn akalnya daripada perintah Allah..!!, 

Untuk ke sekian kalinya saya katakan konsep antum tidak jelas, berbelit, miskin dalil syar’i..!!, Untuk para murid saya sarankan untuk cari tahu kemampuan bahasa arab, hafalan qur’an, hafalan hadits-hadits ustad antum, supaya kalau ustadnya beri ta’lim berada di atas hujjah dari Allah, bukan hujjah dari akal..!!! 

Sinar Agama: Terima kasih atas komentarnya. Dan untuk komentar saya, maka ada beberepa point sebagai berikut: 

1. Pembahasan wahdatul wujud ini masih dalam tema pembuktian dengan dalil akal yang sudah pasti akan dilanjutkan dengan dalil ayat-ayatnya. Namun demikian, kalau antum ikuti dari awal (bag 1-5), maka akan antum temui bahwa dalam pembahasan ini tidak juga terlalu sepi dari dalil syar’inya. 

2. Ketahuilah bahwa kalau kita harus meninggalkan akal dan mengikuti Qur'an-Hadits, maka akhirnya kita harus meninggalkan keduanya pula (Qur'an-hadits), baik dipemilihan awal sebagai kitab pedoman kita dan kita tidak mengambil kitab lain seperti Weda, atau dipemahaman keduanya. 

Karena ketika kita pilih Qur'an sebagai pedoman, pasti karena akal kita, dan kita tidak bisa beralasan karena ayat-ayat Qur'an, karena akan dipertanyakan lagi bahwa mengapa kita mengikuti ayat- ayatnya itu. Kalau dijawab karena ayat-ayat tersebut, berarti kita mutar-mutar tidak menentu. Seperti kalau ditanya mengapa makan dan dijawab karena makan. 

Kalau kita jawab karena akal, maka karena akal ini tidak makshum, berarti kita harus tinggalkan pula pilihannya, yakni berarti kita harus tinggalkan Qur'an. Dengan ini terbuktilah bahwa kalau kita ikut syariat dan meninggalkan akal, berarti kita harus pula menolak syariat itu sendiri sejak dari awal pemilihannya. 

Begitu pula kita harus pula meninggalkan syariat/keduanya (Qur'an-hadits) dalam pemahamannya. Mungkin Anda bertanya mengapa begitu, bukankah kita telah mengikuti keduanya? Kami men- jawab: Qur'an-hadits mana yang anda ikuti? Kalau Qur'an-hadits yang makna dan maksudnya ada di sisi Allah dan NabiNya saww, maka berarti kita tidak mungkin mengikutinya, karena kita tidak tahu apa makna keduanya yang ada di sisi Allah dan Nabi saww. 

Kalau kita mengikuti Qur'an-hadits yang kita pahami, maka dengan alasan bahwa pemahaman kita itu dengan akal yang tidak maksud, harus pula ditinggalkan. Yakni kita tidak boleh mengikuti pemahaman akal yang tidak makshum ini karena tidak ada jaminan, karena syethan bisa menipu kita dalam memahami keduanya. Jadi, kemanapun kita pergi, kalau meninggalkan akal, maka harus pula meninggalkan syariat. 

Lagi pula, anda menyuruh kami meninggalkan akal karena ketidak makshumannya itu, anda dapat dari mana? Kalau dari akal, berarti perintah dan pernyataan anda ini, harus ditinggalkan karena tidak makshum. Dan kalau pernyataan anda yang menyatakan akal harus ditinggalkan karena tidak makshum, ini harus ditinggalkan karena salahnya yang karena ketidakmakshumannya, maka berarti kita harus mengikuti akal. 

Kalau anda katakan bahwa perintah dan pernyataan anda itu didapat dari Qur'an, maka Qur'an sebelah mana dan Qur'an yang mana? Karena Qur'an sendiri menyuruh kita memakai akal. Kata- kata Ya’qilun ada 22 kali terulang, kata Ta’qilun 24 kali terulang, dan kata Yafhamun 13 kali. Yakni kata-kata kamu pakailah akal, mereka pakailah akal dan mereka memahami. Jadi, artinya, antum menyuruh kami meninggalkan akal dan menyuruh kami mengikuti Qur'an padahal anda sendiri yang lari dari Qur'an. 

Dan anggaplah antum dapat ayat yang nyelip yang kami tidak tahu, bahwa Qur'an melarang kita mengikuti akal, anggap seperti ayat iblis yang antum bawa itu dimana antum katakan bahwa iblis jadi sesat karena menggunakan akal, maka pertanyaannya adalah dari mana antum dapat pemahaman seperti itu? Kalau Tuhan dan Rasul saww, maka mana buktinya. Apakah malaikat Jibril as telah turun ke antum dan mengatakan bahwa yang antum pahami itu benar-benar dari Tuhan? Kalau antum katakan bahwa begitulah antum mamahami, maka berati antum harus lebih awal dari kami untuk lari dari pemahaman antum ini karena tidak makshum dan karena antum yang melarang mengikuti akal. 

Dengan penjelasan di atas ini, dapat disimpulkan bahwa Quran dan hadits yang makshum hanyalah yang di Allah dan NabiNya saww dan imam makshum (bagi yang syi’ah). Dan Qur'an- hadits yang di pahaman kita jelas tidak makshum. 

Masalahnya sekarang, kita mau ngapain? Siapa yang bisa kita ikuti? 

Kalau orang Syi’ah gampang saja, karena bisa ikut imam Makshum as. Tetapi bagi saudara-saudara sunni maka tidak bisa mengikuti siapapun karena semuanya tidak makshum, dan dengan ini pula maka shiratulmustaqim itu juga tidak lagi bisa diminta kepada Allah, karena tidak ada. 

Kalau Anda berkata, imam syi’ah sedang ghaib, lalu bagaimana cara mengikutinya? 

Jawabannya dengan cara mengikuti perintahnya yang memerintahkan kita menggunakan dalil dalam akidah dan taklid dalam fikih kepada ulama yang secara spesifik belajar agama dan yang sampai ke derajat ijtihad. 

Yakni tak ada rotan akarpun jadi sambil meminta Allah untuk mengeluarkan rotan tersebut, yakni jalan-lurus itu. 

Mungkin anda bertanya berarti syi’ah tidak ikut Qur'an dan hanya ikut akal? 

Jawabannya adalah tidak demikian. Dalam Islam gaya syi’ah, akal ini adalah alat utama memahami Qur'an hingga karena itulah sekalipun orang arab yang tahu arab dan hafal Qur'an, tetapi kalau akalnya tidak sempurna, maka dia tidak akan bisa menyentuh makna yang ada yang diinginkan Tuhan. 

Mungkin anda bertanya lagi, apa jaminan akal yang tidak makshum? 

Selain jawaban kami terdahulu yakni yang juga menanyakan kepada anda apa jaminan pema- haman anda terhadp Qur'an karena pemahaman anda juga tidak makshum, di sini kami akan menambahi penjelasan tentang masalah yang kita hadapi sekarang ini. 

Ketahuilah: Bahwa akal ini memiliki kemakshuman disamping kepemilikannya hal-hal yang bersifat relatif atau bahkan salah. Banyak sekali ilmu akal ini yang makshum, misalnya ilmu mudah atau dharuri dalam istilah mantik dan filsafat. Seperti kapas itu ada dan putih serta ringan, air itu cair, batu itu padat, kita terbatas, alam terbatas, yang terbatas perlu pada pengada, Nabi saww harus makshum supaya bisa diyakini ajaran yang dibawanya, penerus Nabi saww juga harus makshum karena sudah tidak bakalan ada Nabi lagi dan supaya shiratulmustaqim yang tidak tersesat atau salah (wa laa al-dhaallin) sediktipun tetap eksis dan bisa diminta, pengada keterbatasan mestilah tidak terbatas, Tuhan yang tidak terbatas tidak mungkin bisa dilihat dengan mata baik di dunia atau akhirat, dan milyaran lagi dari ilmu-ilmu yang pasti kebenarannya dan makshum yang diketahui manusia sejak sebelum keNabian, dan dikuatkan Quran setelah keNabian. 

Setelah kita tahu bahwa akal ini memiliki milyaran kemakshuman, maka ilmu-ilmu yang pasti benarnya itu dapat dijadikan landasan berpijak untuk memecahkan masalah-masalah yang dianggap rumit dan memiliki keterperbedaan diantara sesama manusia. 

Masalah ini persis dengan Qur'an yang mengatakan bahwa di dalamnya ada yang gamblang dan jelas dan ada pula yang samar-samar dimana yang samar ini harus ditafsirkan dengan yang jelas tadi karena yang samar tersebut diturunkan olehNya bukan untuk gaya-gayaan, tetapi untuk dipahami. 

Nah dengan akal yang pasti dan mudah serta makshum inilah kita memilih agama dan madzhab (oh iya lupa, mungkin anda belum melakukan pilihan itu, karena mungkin masih berapa ketu- runan), yakni akal mengatakan bahwa akal tidak dapat menjangkau banyak hal di dunia dan entah dimana lagi, begitu tentang kehidupan kita dari mana sedang dimana? Dan hendak kemana? Begitu pula akal tidak tahu apa yang harus dilakukan dihadapan Tuhannya, dirinya, dan lingkuangannya dan seterusnya sehingga karena itulah kita perlu agama, dan agama karena jauh dari jaman kita maka kita harus punya imam makshum . 

Begitu pula dengan ilmu akal yang makshum itu pula kita berusaha memahami agama atau Qur'an-hadits, hingga kalau bertentangan dengan akal mudah ini, kita harus memaknainya dengan : yang bisa diterima akal mudah. Misalnya Tuhan mengatakan mencipta Nabi Adam dengan dua tangan, tapi akal mudah mengatakan kalau Tuhan berdua tangan berarti akan menjadi terangkap dengan tangan, badan sebagai tempat tangan, hingga membuatNya terbatas dan kalau sudah terbatas berarti Dia Makhluk. Dengan demikian maka tangan ini tidak bisa dipakai pada salah satu maknanya yaitu yang bermakna tangan, tetapi harus dimaknai dengan makna ke duanya yang bermakna kekuatan. 

Dengan demikian maka akal yang rumit dan relatif dan begitu pula pahaman Qur'an-hadits yang juga relatif, harus disaring dengan akal-mudah atau ilmu mudah. Tentu saja sambil menunggu makshum yang dijanjikan Tuhan kepada manusia. 

Dengan uraian di atas dapat dipahami bahwa akallah yang sebenarnya menjadi penentu garis- garis global agama. Karena akallah yang mengerti bahwa harus ada agama yang membimbing manusia yang akalnya tidak bisa menembusi asal muasalnya, sudah dimana dan hendak kemana. Oleh karena itu, sebenarnya, syetan, kalau ia ikut akalnya, maka pasti selamat dan tidak mungkin membantah Tuhannya. Bagaimana mungkin akal mudah seperti tadi itu dia tidak dapat jangkau dan balik menggurui Tuhan? Lagi pula bukankah dirinya dari api karena di JIN (QS: 18:50) yang karena taatnya sekarang ia menempati maqam malaikat yang dicipta dari nur yang lebih mulia dari api? Dengan ini maka dapat dipahami bahwa iblis itu sama sekali tidak menggunakan akalnya dan hanya hanya akal-akalanan belaka. 

Betapa jelasnya akal mana yang mengijinkan membantah perintah Tuhan yang didengarnya sendiri? 

Jadi, jelas Iblis hanya ikut hawa nafsunya hingga akalnya gelap. Dan semua disebabkan oleh kedengkiannya kepada Nabi Adam as karena telah diangkat menjadi Khalifah Tuhan. 

Nah, dengan semua penjelasan di atas itu, ijinkan saya bertanya kepada Anda saudara Fathul Andalus: 

”MURID-MURID SAYA YANG TAKLID DALAM AGAMA, MADZHAB DAN ILMU, ATAU BAHKAN ANDA- LAH YANG TAKLID DALAM KETIGA HAL TERSEBUT?????!!!” 

"ORANG YANG MENGIKUTI AGAMA, MADZHAB DAN ILMU DENGAN DALIL YANG DIKATAKAN TAKLID ATAU YANG MENGIKUTI KETIGANYA DENGAN TANPA DALIL???!! ” : ORANG YANG MENGIKUTI Qur'an-HADITS DAN ILMU-ILMU LAINNYA DENGAN DALIL, YANG DIKATAKAN TAKLID, ATAU ORANG YANG MENGIKUTI Qur'an-HADITS DAN ILMU-ILMU YANG DOKTRINER YANG SANGAT SUBYEKTIF DAN HANYA DENGAN PENGATASNAMAAN SAJA YANG LALU DIIKUTINYA JUGA DENGAN PERASAAN DAN TANPA DALIL????!!! ” 

Sekian. Wassalam. Terimakasih. Al-fatihah-Sholawat.. 

Mohon maaf dikarenakan terjadi ganguan pada alat elektronik saya sehingga penerbitan ini berada pada posisi yang kurang tepat yang semestinya diterbitkan sebelum Wahdatulwujud bag: 6 semoga dapat dipahami *.




اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar